• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA PROFESI HUKUM ADVOCAT ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ETIKA PROFESI HUKUM ADVOCAT ILMIAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA PROFESI HUKUM

“ADVOCAT”

Disusun oleh:

firasaputriyanuari@students.unnes.ac.id

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Apabila profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka profesi itu disebut profesi hukum. Menurut Prof. Subekti, advocat adalah seorang pembela dan penasihat, sedangkan pengaca adalah seorang ahli hukum acara yang memberikan jasanya dalam mengajukan perkara ke pengadilan dan mewakili orang-orang yang berperkara di muka pengadilan.1

Sebagai bagian dari elemen penegakan hukum, advokat tentu saja memegang peranan penting dalam menegakkan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Advokat berdasarkan yang tertulis dalam Anggaran Dasar Peradi bertanggung jawab untuk menegakkan hukum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melindungi hak asasi manusia, meningkatkan kesadaran hukum, dan berperan memelopori pembaharuan pembangunan dan pembentukan hukum demi terselenggaranya supremasi hukum.

Kode etik advocat Indonesia menjadi hukum tertinggi yang menjamin dan melindungi tetapi juga membebankan kewajiban kepada setiap Advocat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri, dan setiap Advocat yang melanggar Kode Etik ini dapat diadukan dan dikenai tindakan

Kode etik profesi advokat merupakan instrumen penting untuk mencegah advokat melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum. Dengan adanya kode etik profesi advokat, diharapkan advokat dapat menyadari akan pentingnya tugas dan kewajiban dari profesi advokat bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar inilah, maka pemakalah akan membahas tentang Kode Etik Profesi Advokat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja instrumen kode etik profesi advocat?

2. Bagaimana prosedur pengaduan pelanggaran kode etik profesi advocat? 3. Apakah ada masukan terhadap UU profesi advocat?

(2)

1.3 Tujuan

1. Mengetahui instrumen kode etik profesi advocat

2. Mengetahui prosedur pengaduan pelanggaran kode etik profesi advocat 3. Memberikan masukan terkait UU profesi advocat

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Instrumen Kode Etik Profesi Advocat

Organisasi advokat di Indonesia bermula dari masa kolonialisme. Jumlah advokat pada masa itu masih sedikit, advokat hanya ditemukan di kota-kota yang memiliki landraad (pengadilan negeri) dan raad van justitie (dewan pengadilan). Para advokat yang tergabung dalam suatu organisasi advokat disebut balie van advocaten. Wadah advokat di Indonesia dibentuk pada tanggal 4 Maret 1963 di Jakarta pada saat Seminar Hukum Nasional di Universitas Indonesia, yang diberi nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI). Pembentukan wadah atau organisasi advokat di Jakarta tersebut disusul dengan pembentukan organisasi PAI di daerah-daerah.2 Kemudian, dalam Musyawarah I/

Kongres Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Toba di Solo, pada tanggal 30 Agustus 1964, secara aklamasi diresmikan pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), sebagai pengganti PAI. Semenjak itu PERADIN konsisten mengawal konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP, dan UU yang bertentangan dengan konstitusi diprotes keberadaannya. Karena kiprahnya tersebut, PERADIN sampai disebut I’enfant terrible (si anak nakal). Bahkan pernah dianggap disiden.3

Pada akhirnya IKADIN yang merupakan pengganti PERADIN tidak dapat bertahan lama, karena tidak ditindaklanjuti secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan di tubuh IKADIN sebagai akibat dari pengurus IKADIN tidak setuju terhadap beleid (kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, puncaknya adalah insiden pada saat berlangsungnya Kongres sekitar tahun 1990 di Hotel Horison.4

Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo5 berpendapat

bahwa agar hukum dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, maka harus ada tiga elemen yaitu struktur, substansi, dan kultur hukum yang berinteraksi dengan baik sebagai sebuah sistem. Seperti wadah independen yaitu Perhimpunan Advocat Indonesia (PERADI).

Maka organisasi advokat yang terdiri dari beberapa organisasi advokat sepakat untuk membentuk sebuah komite yang akan bertugas untuk membentuk kode etik advokat Indonesia. Kesepakatan advokat tersebut melahirkan sebuah komite yang disebut Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang bertugas membentuk satu kode etik yang akan

2 Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), Hlm. 89-90. 3 Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2010), Hlm. 69.

4 Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1995), Hlm. 80.

(3)

diberlakukan untuk semua advokat Indonesia. Organisasi advokat yang menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia dan sekaligus terlibat dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah6:

a. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN); b. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);

c. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (HAPI); d. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);

e. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI); f. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);

g. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHM).

Beberapa instrumen hukum kode etik profesi advocat:

a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);

c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);

f. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);

g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);

(4)

h. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);

i. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);

j. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);

k. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

Undang-undang yang mengatur tentang keadvokatan adalah Undang-undnag No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Undang-undang ini dibuat karena mempertimbangkan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia di Indonesia. Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh produk hukum berupa undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum yang kuat.

Dalam Undang-undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat ini diatur berbagai ketentuan mengenai advokat, di antaranya mengenai pengangkatan, sumpah, status, penindakan, serta pemberhentian advokat. Untuk lebih lengkapnya silakan pelajari Undang-undang tentang advokat ini lebih lanjut.

Di dalam provesi adokat juga terdapat kode etik yang harus ditaati oleh setiap advocat. Dalam pembukaan Kode Etik Keadvokatan Indonesia disebutkan secara jelas bahwa:

"...setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku"

2.2 Prosedur Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Profesi Advocat

(5)

dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2003 telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang advokat tersebut memuat landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada seorang advokat. Kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat meliputi:

1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau oleh masyarakat.

3. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau peroleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

4. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

5. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

6. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.

Undang-Undang Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat, yakni ketentuan Pasal 6 Undang-undang Advokat yang menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan7:

1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;

3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundangundangan, atau pengadilan;

4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;

6. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menetapkan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.” Kemudian berdasarkan Pasal 36 ini, dikeluarkan peraturan

(6)

pelaksana berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Berdasarkan SKB ini, maka advokat selain berada di bawah pengawasan badan yudikatif (Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung), juga berada di bawah pengawasan badan eksekutif (Pemerintah/Menteri Kehakiman). Loekman Wiriadinata, mantan Menteri Kehakiman RI pernah menyatakan bahwa SKB ini tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.8

Pedoman yang digunakan dalam mengadili seorang advokat diatur dalam Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memeriksa dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia, yang ditetapkan pada tanggal 5 Desember 2007. Beberapa bagian penting dari Keputusan tersebut diringkas di bawah ini.

1. Legal Standing

Pengadu KEAI menetapkan pada Pasal 11 ayat (1) bahwa pengaduan dapat diajukan oleh “pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan.” Pasal ini dijabarkan lebih rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI No. 2 tahun 2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah:

a. Klien;

b. Teman sejawat; c. Pejabat Pemerintah; d. Anggota Masyarakat; e. Komisi Pengawas;

f. Dewan Pimpinan Nasional PERADI;

g. Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan Pimpinan Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;

h. Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota. Dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum serta hal lain yang dipersamakan untuk itu, Dewan Pimpinan Nasional/Daerah/Cabang PERADI dapat juga bertindak sebagai Pengadu.

Jika melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan “Anggota Masyarakat” sebagai pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang “berkepentingan dan merasa dirugikan” oleh malpraktik seorang advokat boleh mengadu ke PERADI.

2. Tahap Pengaduan

Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas para pihak, hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti yang dianggap perlu. Pengaduan ditujukan kepada:

a. Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan Daerah/Cabang; dan/atau

b. Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota; dan/atau

(7)

c. Dewan Pimpinan Nasional.

3. Tahap Persidangan

4. Putusan Tingkat Pertama

Putusan Majelis diambil secara mufakat namun apabila tidak tercapai mufakat maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Anggota Majelis yang kalah dalam pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang dimuat di dalam Putusan. Dalam putusan yang tidak dapat diterima, penggugat masih dapat mengajukan gugatannya lagi. 9Majelis dapat mengambil Putusan berupa:

- Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;

- Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi kepada Teradu.

- Menolak pengaduan dari Pengadu;

Sanksi yang diberikan dalam Putusan dapat berupa:

- Teguran lisan sebagai peringatan biasa; - Teguran tertulis sebagai peringatan keras;

- Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;

- Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

5. Pemeriksaan Tingkat Banding

6. Putusan Tingkat Banding

Majelis Kehormatan Pusat mengeluarkan Putusan Tingkat Banding berupa:

a. Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;

b. Mengubah atau memperbaiki putusan Dewan Kehormatan Daerah; atau c. Membatalkan putusan Dewan Kehormatan Daerah denga mengadili sendiri.

7. Pemeriksaan Prorogasi

Pemeriksaan Prorogasi adalah pemeriksaan perkara langsung ke tingkat akhir oleh Majelis Kehormatan Pusat yang bersifat final, tanpa melalui pemeriksaan tingkat pertama oleh Majelis Kehormatan Daerah.

2.3 Masukan Terhadap UU Terkait Profesi Advocat Peraturan Magang

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terus berupaya merampungkan tugasnya mengantar ribuan calon advokat baru untuk menjadi advokat sesuai dengan ketentuan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pekerjaan yang saat ini tengah fokus dilaksanakan

(8)

PERADI adalah pelaksanaan magang sebagai syarat untuk menjadi advokat sebagaimana digariskan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat.

Melengkapi peraturan-peraturan menyangkut magang sebelumnya, pada 11 Desember 2006 lalu, PERADI menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat. Sebelumnya, selain

Peraturan No. 1 Tahun 2006, PERADI juga menerbitkan Peraturan No. 2 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006.

Pada petunjuk teknisnya didominasi oleh pengaturan mengenai kantor hukum yang akan dijadikan tempat magang, termasuk di dalamnya lembaga bantuan hukum cuma-cuma. Menilik substansinya, Juknis yang terdiri dari 16 butir ini diantaranya mengatur tentang kewajiban-kewajiban administratif yang harus dipenuhi kantor advokat tempat magang tanpa menyertakan sanksinya.

Menurut Kanter dan Sianturi berpendapat bahwa tugas sanksi adalah:10

a. Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang, sifatnya preventif.

b. Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum, sifatnya represif.

Kantor advokat, misalnya, diwajibkan mengajukan surat permohonan untuk menjadi tempat magang yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) atau Nomor Induk Advokat (NIA) pendirinya, daftar advokat pendamping, dan surat pernyataan tentang kesediaan memberikan laporan dan surat keterangan magang. Kewajiban yang sama juga diberlakukan bagi lembaga bantuan hukum cuma-cuma yang ingin dipersamakan dengan kantor advokat.

Ketentuan yang terkesan membebani kantor advokat yang dijadikan tempat magang, ada kewajiban tetapi tidak ada sanksi. Aturan magang yang banyak membebankan kewajiban kepada kantor advokat tetapi tanpa disertai sanksi. PERADI terkesan setengah hati menerbitkan peraturan magang karena mencantumkan klausul kewajiban tanpa disertai sanksi. Ketidaktegasan ini dapat diartikan PERADI tidak melindungi kepentingan para calon advokat. Sangat mungkin, kantor advokat tempat magang hanya karena like or dislike (suka atau tidak suka, red.) tidak mau mengeluarkan surat keterangan magang.

Jika ditelusuri, beberapa peraturan magang yang diterbitkan PERADI memang tidak menetapkan sanksi bagi kantor advokat yang lalai atau tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan. Sanksi tegas justru ditimpakan kepada advokat pendamping dan calon advokat.

Pasal 11 ayat (2) Peraturan No. 1 Tahun 2006 menyatakan:

Jika ternyata isi Surat Keterangan Magang dan atau Laporan Berkala dan/atau Laporan Sidang ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, misalnya Calon Advokat ternyata tidak pernah melakukan magang atau melakukan magang kurang dari jangka waktu yang disebutkan dalam Surat Keterangan Magang, baik Advokat Pendamping yang menerbitkan Surat Keterangan Magang dimaksud maupun Calon Advokat yang menggunakannya akan dikenai sanksi berupa diberhentikan dari profesi advokat secara tetap. Apabila Calon Advokat dimaksud belum diangkat sebagai Advokat, yang bersangkutan tidak akan pernah dapat diangkat sebagai Advoka”.

(9)

Kelemahan aturan magang ini berpangkal pada peraturan induknya, UU Advokat. Pelibatan kantor advokat dalam pelaksanaan magang memang dimulai ketika UU Advokat lahir. Sayangnya, kata kewajiban' dalam ayat tersebut juga tidak dibarengi dengan sanksi

Pasal 29 ayat (5) UU Advokat menyatakan:

Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.”.

BAB III KESIMPULAN

(10)

DAFTAR PUSTAKA

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

cetakan ke 3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002).

Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2010).

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1995).

Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989).

Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan, cetakan pertama, (Jakarta: YLBHI, 1989).

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-5, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982).

Sukris Samadi, Advokat Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan, (Bandung: Mandar Maju, 2009).

Sinaga Harlen, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip yang berpengaruh pada praktikum ini adalah penetrasi zat warna, yaitu jika sitoplasma terwarnai, maka sel- sel bakteri akan menahan zat warna tersebut dan

Layanan kepada mahasiswa terkait program akademik juga dilakukan melalui peningkatan pelayanan secara online sistem informasi akademik (siakad) dan pengembangan

Apabila Saudara tidak hadir sesuai jadwal tersebut di atas, maka Pokja Pengadaan berkesimpulan Saudara menerima hasil evaluasi/kesimpulan akhir terhadap penawaran yang saudara

Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari pokok- pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak lain

menanggapi perkataan mereka itu dengan mengatakan bahwa Khalifah berikutnya adalah para sahabat yang ikut serta di dalam peperangan Badar dan merekalah yang akan dipilih

Saat ini saya sedang melakukan penelitian dalam rangka menyusun skripsi yang berjudul "Hubungan antara Adversity Quotient dengan Intensi Berwirausaha Menggunakan Media Instagram

Parameter yang digunakan adalah rendemen produk, komposisi gliserida (MG, DG dan TG), kadar asam lemak bebas (ALB), bilangan peroksida, bilangan iod, titik leleh, nilai

ƒ Sequence number is not changed for hello message ƒ Nodes can not rebroadcast hello messages (TTL=1). ƒ Local Connectivity Is