• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toleransi Beragama dalam Tafsir Klasik Perspektif Qira’at dan Semiologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Toleransi Beragama dalam Tafsir Klasik Perspektif Qira’at dan Semiologi"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

TOLERANSI BERAGAMA DALAM TAFSIR KLASIK PERSPEKTIF QIRA’AT DAN SEMIOLOGI

Disertasi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Dr)

Oleh:

DINI MARDINA NIM: 319440059

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1444 H / 2022 M

(2)

TOLERANSI BERAGAMA DALAM TAFSIR KLASIK PERSPEKTIF QIRA’AT DAN SEMIOLOGI

Disertasi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Dr)

Oleh:

DINI MARDINA NIM: 319440059

Pembimbing

Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1444 H / 2022 M

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

v Abstrak

Toleransi Beragama dalam Tafsir Klasik Perspektif Qira’at dan Semiologi.

Dini Mardina, 319440059

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti toleransi beragama dalam khazanah tafsir klasik. Toleransi beragama dari dulu hingga sekarang masih menjadi isu sentral. Ia mudah untuk dikatakan tapi sulit untuk dijalankan.

Dari tahun ke tahun ada saja yang mencoba mengganggu toleransi antarumat beragama. Uniknya, masalah agama cukup sensitif sehingga rawan memantik pertikaian, apalagi di lingkungan yang plural. Isu agama bahkan dapat dengan mudah menyulut peperangan yang tak berkesudahan.

Penelitian ini memperkuat pendapat sarjana sebelumnya yakni Said Agil Husin Al-Munawar yang dalam tulisannya “Fikih Hubungan Antar Agama”

mengatakan bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.

Penelitian ini menggunakan jenis/tipe penelitian yang bersifat kualitatif.

Peneliti menggunakan analisis qiraat dan semiologi. Sementara teori yang digunakan adalah teori rekonstruksi sosial yang digagas oleh Peter L.Berger.

Adapun sumber penulisan berupa sumber primer yakni lima kitab tafsir yang ditulis oleh mufasir klasik seperti Ibn Jarīr aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn

‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, Fakhr ar-Rāzī. Sedang sumber sekunder adalah berupa literatur atau buku-buku tentang persoalan toleransi beragama, qiraat dan semiologi.

Pada saat menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256, aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn

‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, Fakhr ar-Rāzī menafsirkannya secara toleran.

Kemudian pada waktu membedah QS. Al-Kafirun [109]: 1-6, aṭ-Ṭabarī dan Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkannya secara toleran. Sementara al-Bagawī, az- Zamakhsyarī dan Fakhr ar-Rāzī justru memaknainya dengan intoleran.

Ketika mengulas QS. Al-Baqarah [2]: 139-141, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, az- Zamakhsyarī dan Fakhr ar-Rāzī memahaminya dengan semangat toleran.

Sementara al-Bagawī menafsirkannya dengan nuansa intoleran. Kemudian tatkala menganalisis QS. Al-Maidah [5]: 5, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, az- Zamakhsyarī dan Fakhr ar-Rāzī mendeskripsikannya secara toleran. Sedang al-Bagawī memahaminya secara intoleran. Sewaktu menelusuri makna QS.

Al-Baqarah [2]: 62, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, dan az-Zamakhsyarī menafsirkannya secara intoleran. Sedang al-Bagawī dan Fakhr ar-Rāzī memaknainya secara toleran.

Kata Kunci: beragama, toleransi, tafsir klasik

(8)

vi Abstract

Religious Tolerance in Classical Interpretation of Qira'at and Semiological Perspectives.

Dini Mardina, 319440059

This study aims to examine religious tolerance in the perspective of classical interpretation. Religious tolerance from the past until now is still a central issue. It's easy to say but hard to do. From year to year, there are those who try to disrupt inter-religious tolerance. Uniquely, religious issues are sensitive enough that they are prone to trigger conflict, especially in a pluralistic environment. Religious issues can even easily ignite endless wars.

This study strengthens the opinion of a previous scholar, Said Agil Husin Al-Munawar who in his writings "Fiqh of Inter-religious Relations" says that tolerance occurs and applies because there are differences in principles and respect for the differences or principles of others without sacrificing one's own principles.

This study uses the qualitative research type. Researchers used qiraat analysis and semiology. While the theory used is the theory of social reconstruction initiated by Peter L. Berger. The sources of article are primary sources, which are five books of interpretation written by classical interpreter such as Ibn Jarīr aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn 'Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, Fakhr ar-Rāzī. While secondary sources are in the form of literature or books on issues of religious tolerance, qiraat and semiology.

At the time of interpreting QS. Al-Baqarah [2]: 256, aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn ‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, Fakhr ar-Rāzī interpret it tolerantly. Then at the time of dissecting QS. Al-Kafirun [109]: 1-6, aṭ-Ṭabarī and Ibn ‘Aṭiyyah, interprets it tolerantly. Meanwhile al-Bagawī, az-Zamakhsyarī and Fakhr ar- Rāzī actually interpret it with intolerance. When reviewing QS. Al-Baqarah [2]: 139-141, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī and Fakhr ar-Rāzī understand it with a tolerant spirit. Meanwhile, al-Bagawī interprets it with an intolerant nuance. Then when analyzing QS. Al-Maidah [5]: 5, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī and Fakhr ar-Rāzī describe it tolerantly.

While, al-Bagawī understands it intolerantly. While exploring the meaning of QS. Al-Baqarah [2]: 62, aṭ-Ṭabarī, Ibn ‘Aṭiyyah, and az-Zamakhsyarī interpret it intolerantly. While al-Bagawī and Fakhr ar-Rāzī interpret it tolerantly.

Keywords: Religious, Tolerance, Classical Interpretation

(9)

vii

يديرجت حماستلا ريسفتلا يف ينيدلا

ىمادقلا رظنلا تاهجوو تاءارقلل

ةيئايميسلا انيدرم ينيد . ٣١٩٤٤٠٠٥٩

زونك يف ينيدلا حماستلا نع ثحبلا ىلإ ةساردلا هذه فدهت ايزكرم امامتها بطقتسي لازي لاو لازام هنأ ثيحب ،ىمادقلا ريسفتلا

،اذه انموي ىتح ديعب نمز ذنم ناكو

هب قطنلا لهسي عوضوملا اذه

نيحو تقو لك يف كانه ذإ هقيقحتل ةثيثح ادوهج بلطتي هنكلو

تانايدلا عابتأ طسو حماستلا ليطعت ىلإ امود ىعست يتلا فارطلأا

، نأب املع

ةجردب ةلباق نوـكتو ةساّسح ارومأ ّدعت ةينيدلا اياضقلا

ةئيبلا يف اميسلاو ،يرصنعلاو يفئاطلا عارصلا ةراثلإ ةيفاك ةيددعتلاب ةروهشملا ا نأ لب

ةوادعلا ران لعشت دق ةينيدلا اياضقل

ةيهانتملا ريغ برحلاو نيسح ليقع ديعس وهو ، قباسلا يأرلا ةساردلا هذه ززعت .

ي يذلا رونملا حماستلا نأ "نايدلأا نيب تاقلاعلا هقف" هتاباتك يف لوق

نيدلا ئدابم يف تافلاتخا دوجول قبطنيو ثدحي مارتحاو

ءرملا ئدابمب ةيحضتلا نود نيرخلآا ئدابم وأ تافلاتخلاا ىلع دامتعلاا عم يعونلا ثحبلا جهنم ةساردلا هذه مدختست

تاءارقلا ساسأ و

ا ةيرظنلا ّنأ نيح يف ،ةيئايميسلا يتلا ةمدختسمل

اهحرط يتلا يعامتجلاا ءانبلا ةداعإ ةيرظن يه ةثحابلا اهيلإ أجلت يهف ةثحابلا اهيلإ دنتست يتلا رداصملل ةبسنلاب امأ .رغريب .ل رتيب ةسمخ نم فلأتت يتلا ةيساسلأا رداصملا امهلوأ نيمسق ىلإ مسقنت او يوغبلاو يربطلا ريسفت لثم ىمادقلا نيرّسفملل ريسفتلا بتك ةيوناثلا رداصملا امهيناثو .يزارلا نيدلا رخفو يرشخمزلاو ةيطع نب يتلا ةلصلا تاذ تايرودلاو تلااقملاو عجارملاو بتكلا لكشب ةيئايميسلاو تاءارقلاو ينيدلا حماستلا اياضق لوح تثدحت يرشخمزلاو ةيطع نباو يوغبلا يربطلا ةمئلأأ نأ اندجو

ةيلآا اورّسف امدنع يزارلا رخفو ٢٥٦

اوناك ،ةرقبلا ةروس نم

مهنم اضعب نأ امنيب ،حماستلا حورب اهنورسفي –

يربطلاك نباو

ةيطع -

ةيلأا نورفاكلا ةروسل هريسفت دنع ٦

- حورب اهرّسف دق ١

رخفو يرشخمزلاو يوغبلا نم لك اهرسف دقل نيح يف ،حماستلا

(10)

viii

تايلآا ةشقنم دنعو .بصعتلا نم عونب يزارلا ١٤١

- ١٣٩

نم رخفو يرشخمزلاو ةيطع نباو يربطلا ةمئلأا ناك ةرق بلا ةروس اهرسفي ناك يوغبلا نأ مغر حماستم حورب اهنومهفي يزارلا نيدلا ةيلآا ليلحتب اوماق امدنع كلذ دعب مث .حماستم ريغ لكشب ٥

نم يرشخمزلاو ةيطع نباو يربطلا نم لك اهحرش دقل ،ةدئاملا ةروس يوغبلا اهمهف امنيب ،حماستلا اهبحصي ةقيرطب يزارلا نيدلا رخفو ىنعملا فاشكتسا ءانثأ يفو .حماستم ريغ وحن ىلع ةيلآا نم

٦٢ نم

ةيطع نباو يربطلا نم لك اهرّسف دقل ،ةرقبلا ةروس ملالا بصعتلا حورب يرشخمزلاو رخفو يوغبلا اهرّسفو حماست

حماستلا نم حورب يزارلا نيدلا .

ةلادلا تاملكلا ينيدلا :

, حماستلا ,

ريسفتلا

ىمادقلا

(11)

ix

PERSEMBAHAN

Buat,

orang yang mempunyai hati

atau menggunakan pendengaran

dan mau menyaksikan kebenaran

QS. Qaf [50]: 37

(12)

x

Kata Pengantar

ِمي ِح هرلا ِنَمْح هرلا ِ هاللَّ ِمْسِب

Alhamdulillah, puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan Rahman dan Rahim-Nya sehingga penulis dapat merampungkan disertasi berjudul “Toleransi Beragama Dalam Tafsir Klasik Perspektif Qira’at dan Semiologi”. Shalawat beserta salam tak lupa pula penulis kirimkan buat junjungan alam Nabi Muhammad saw dan Ahlul Baitnya.

Penulisan disertasi selalu melibatkan pemikiran dan kontribusi banyak orang, terutama karena karya ini merupakan buah dari pergumulan teoritis minimal dua tahun sebelum akhirnya dituangkan ke dalam bentuk disertasi seperti yang bisa dibaca saat sekarang ini. Dalam penulisannya, kerapkali saya harus menegosiasikan pikiran-pikiran saya dengan promotor dan co promotor. Proses negosiasi itu sangat mencerahkan karena saya belajar bagaimana menjadi sarjana yang baik dan benar. Hasilnya, disertasi ini memang tidak menyuguhkan gagasan yang akan menggetarkan jagat intelektual, tetapi jelas menyangkut isu-isu yang telah terlalu sering

“meributkan” dunia.

Tema disertasi ini merefleksikan ketertarikan personal dan intelektual saya. Dari berbagai perbincangan soal toleransi beragama yang saya ikuti, baik secara offline maupun online, saya berkesimpulan bahwa persoalan paling rumit dalam setiap diskusi antaragama selalu menyangkut doktrin Kitab Suci yang bisa ditafsirkan untuk mendukung toleransi atau intoleransi antarumat beragama.

Disertasi ini diharapkan membuka ruang diskusi terkait isu-isu sensitif yang telah sekian lama memicu konflik keagamaan. Sebagai seorang sarjana yang baik, tugas saya adalah mengeksplorasi tafsir Muslim Klasik untuk berbicara soal toleransi. Mungkin sebagian pembaca mempertanyakan pilihan saya terhadap sumber-sumber yang dipakai untuk mendiskusikan persoalan toleransi beragama yang rumit ini. Walaupun kriteria pemilihan tafsir sudah saya diskusikan pada bab pendahuluan, dapat saya katakan di sini bahwa untuk mengenal bagaimana toleransi dipahami oleh kaum muslim, tafsir klasik perlu dijadikan rujukan utama.

Saya yakin, persoalan toleransi beragama menjadi perhatian banyak kalangan yang mencintai kehidupan damai dan harmonis. Apabila disertasi ini menginspirasi kajian dan perbincangan lebih lanjut untuk mewujudkan kehidupan damai, sehingga tujuan penulisannya telah tercapai.

(13)

xi

Tentu saja banyak pihak berkontribusi terhadap studi saya hingga melahirkan penelitian ini. Secara khusus saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr.Hj.Nadjematul Faizah, SH., M.Hum, Rektor IIQ yang telah menyemangati penulis untuk merampungkan disertasi ini.

2. Dr. H. Muhammad Azizan Fitriana, M.A, Direktur Pascasarjana IIQ yang dengan keramahannya selalu memantau perkembangan studi kami para mahasiswa Program Kader Ulama Perempuan (PKUP).

3. Dr. H. Ahmad Syukron, M.A, Ketua Prodi Pascasarjana IAT IIQ yang selalu mengingatkan kami para mahasiswa PKUP agar segera merampungkan studi.

4. Prof. Dr. KH. Hamdani Anwar, M.A selaku promotor yang selalu menyambut hangat setiap kedatangan saya ke rumahnya untuk mendiskusikan perbaikan disertasi.

5. Dr. KH. Ahmad Fathoni, M.A selaku co promotor yang telah bersedia mengkoreksi dan memberi masukan baik secara offline maupun via zoom demi kesempurnaan disertasi ini.

6. Para Dosen Pasca Sarjana IIQ yang telah memberikan ilmunya kepada kami mahasiswa PKUP.

7. Ayahanda Drs. Mardius Syarif, M.Si, Apt (Alm) dan ibunda tercinta Yenti Murni Y, yang telah membesarkan dan selalu mendo’akan saya hingga saat ini.

8. Edomi Saputra, MA, suami yang selalu siap sedia untuk diajak berdiskusi, mencari referensi sembari memberikan solusi demi kelancaran studi hingga saya bisa menyelesaikan disertasi ini.

9. Drs. A. Murady Darmansyah yang telah bermurah hati memberikan penginapan secara gratis selama menempuh studi di IIQ Jakarta.

Beliau selalu menanyakan perkembangan studi saya sembari memotivasi agar saya memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan bila perlu hingga ke luar negeri.

10. Ernawati, Uwok yang selalu mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan.

11. dr. Hampri Seda, Sp.M, paman yang telah menghadiahkan kepada saya Tafsīr al-Kasysyāf dan Tafsir Ma’ālim at-Tanzīl yang merupakan rujukan utama disertasi ini.

12. Merri Yesti, kakak yang selalu menanyakan kapan aku pulang.

13. Zilfa Yuliani, S.S, kakak yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil agar saya bisa menyelesaikan studi tepat waktu.

14. M.Mutsaqaful Fikri, M. Hafizul Haq dan Khalilul Rahman, keponakan-keponakanku yang selalu menanyakan kapan aku wisuda.

(14)

xii

15. Armainingsih, Eka Prasetiawati, Dr. Fatchiatuzahro, Istiqomah, Laela Fitriyani, Muhim Nailul Ulya, Mutmainah, Dr. Nur Hamidah, Ulfatun Hasanah selaku anggota PKUP yang selalu “heboh” saling menyemangati satu sama lain dalam merampungkan disertasi.

16. Rekan Kerja Dosen STIT Diniyyah Puteri Rahmah El-Yunusiyyah Padang Panjang yang telah bersedia menggantikan peran dan tugas saya selama saya mengikuti studi di Pascasarjana IIQ.

17. Adinda-adinda PC IMM Kabupaten Cirebon yang telah meluangkan waktu untuk menemani saya mengunjungi dosen dalam rangka merampungkan disertasi ini.

18. Yipyip, kucing kesayangan yang selalu setia menemani saat penulisan disertasi hingga dini hari. “gangguan-gangguan kecil” darinya menjadi hiburan tersendiri.

Saya berharap disertasi ini bisa berkontribusi dalam mengatasi berbagai persoalan toleransi antarumat beragama. Akhir kata semoga disertasi ini menjadi langkah awal saya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, amiin.

Kebon Jeruk, 10 Desember 2022

DINI MARDINA

(15)

xiii

DAFTAR ISI

Persetujuan Pembimbing ... i

Pengesahan Penguji ... ii

Pernyataan Penulis ... iii

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... iv

Abstrak ... v

Persembahan ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Pedoman Transliterasi ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 12

1. Identifikasi Masalah... 12

2. Pembatasan Masalah ... 13

3. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Kegunaan Penelitian ... 14

E. Kajian Pustaka ... 15

F. Kerangka Teori ... 19

G. Metode Penelitian ... 24

H. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG TOLERANSI A. Defenisi Toleransi ... 28

B. Jenis-Jenis Toleransi ... 33

C. Lazy Tolerance ... 39

D. Toleransi Menuju Kerukunan ... 42

E. Dialog Lintas Agama ... 49

BAB III TAFSIR KLASIK DAN KATEGORISASI AYAT-AYAT TOLERANSI A. Defenisi Tafsir Klasik ... 57

B. Mufasir Klasik ... 59

C. Ayat-Ayat Toleransi ... 81

BAB IV DISKURSUS QIRAAT DAN SEMIOLOGI A. Qiraat dan Permasalahannya ... 83

B. Semiologi ... 116

BAB V ANALISIS QIRAAT TERHADAP AYAT-AYAT TOLERANSI A. Kebebasan Beragama ... 154

B. Klaim Ahl al-Kitāb ... 190

C. Makanan dan Pernikahan ... 209

D. Keselamatan di Akhirat ... 224

(16)

xiv

BAB VI ANALISIS SEMIOLOGI TERHADAP AYAT-AYAT TOLERANSI

A. Kebebasan Beragama ... 246

B. Klaim Ahl al-Kitāb ... 287

C. Makanan dan Pernikahan ... 305

D. Keselamatan di Akhirat ... 328

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan ... 359

B. Saran ... 361

DAFTAR PUSTAKA ... 362 Glosarium

Curriculum Vitae

(17)

xv

PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan Tunggal

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

ا

Alif Tidak

dilambangkan

Tidak dilambangkan

ب

Bā’ b -

ت

Tā’ t -

ث

Ṡā’ s (dengan titik di

atas)

ج

Jim j -

ح

Hā’ ḥa’ h (dengan titik di

bawah)

خ

Khā’ kh -

د

Dal d -

ذ Żal ż z (dengan titik di atas)

ر

Rā’ r -

ز

Zai z -

س

Sīn s -

ش

Syīn sy -

ص

Ṣād s (dengan titik di

bawah)

ض

Ḍaḍ d (dengan titik

bawah)

ط

Ṭā’ t (dengan titik di

bawah)

ظ

Zā’ z (dengan titik di

bawah)

ع

‘Ayn Koma terbalik ke

atas

غ

Gain g -

ف

Fā’ f -

ق

Qāf q -

ك

Kāf k -

(18)

xvi

ل

Lām L -

م

Mīm M -

ن

Nūn N -

و

Waw W -

Hā’ H -

ء

Hamzah - Apostrof

ي

Y -

2. Konsonan rangkap karena tasydīd ditulis rangkap:

ةددعتم

Ditulis Muta’addidah

ةدع

Ditulis ‘Iddah 3. Tā’ Marbutah di akhir kata:

a. Bila dimatikan, ditulis h

ةمكح

Ditulis Hikmah

ةيزج

Ditulis Jizyah

(Ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti zakat, shalat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal aslinya).

b. Bila Ta’ Marbūtah diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h

ءايلولأا ةمارك

Ditulis karāmah al-ulyā’

c. Bila Ta’ Marbūtah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t

يرطفلا ةاكز

Ditulis zākat al-fitr

4. Vokal Pendek

ٙ Fathah Ditulis A

ٙ Kasrah Ditulis I

ٙ dammah Ditulis U

5. Vokal Panjang

1. fathah + alif Ditulis Ā

ةيلﻫاج

Ditulis jāhiliyah

2 fathah + ya’ mati Ditulis Ā

ىسنت

Ditulis tansā

(19)

xvii

3 kasrah + ya’ mati ditulis Ī

ميرك

Ditulis karīm

4 Dammah + wawu mati Ditulis Ū

ضورف

Ditulis furūd

6. Vokal Rangkap

1. fathah + ya’ mati ditulis Ai

مكنيب

ditulis Bainakum

2. fathah + wawu mati ditulis Au

لوق

ditulis Qaul

7. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan apostrof

متناا

ditulis a’antum

تدعا

ditulis u’iddat

متركش نئل

ditulis la’in syakartum 8. Kata sandang Alif + Lām

a. Bila diikuti huruf Qamariyyah

نآرقلا

ditulis Al-Qur’ān

سايقلا

ditulis al-Qiyās

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah, ditulis dengan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-nya

ءامسلا

ditulis as-samā’

سمشلا

ditulis asy-syams

9. Penulisan kata-kata dalam rangkaian Ditulis menurut bunyi atau pengucapan

ضورفلا يوذ

ditulis zawi al-furūd

ةنسلا لﻫا

ditulis ahl as-sunnah

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, keanekaragaman termasuk paham keagamaan adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah, karena itu masyarakat amat menanti riset-riset yang positif dalam membangun kerukunan antarumat beragama.1 Joshua N. Hook (2017) menyatakan sangat penting untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat mencegah terjadinya konflik agama baik dalam bentuk perpecahan maupun kekerasan.2 Jika ini tidak dilakukan akan berdampak buruk terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam pandangan Hoffman (2020), ketika konflik dibingkai dengan nilai- nilai agama yang bersaing, kekerasan antarkelompok menjadi tak terelakkan, bahkan dapat berlangsung selama beberapa dekade hingga berabad-abad.3

Juergensmeyer meyakini bahwa agama cenderung mendorong intoleransi bahkan kekerasan daripada membawa kedamaian. Sebab, ada pola dalam agama yang cenderung membawa ke arah konflik. Kekerasan atas nama agama mungkin tidak tak terelakkan, tetapi seharusnya tidak mengejutkan bagi siapa pun.4 Dalam pandangan Nurcholish Madjid yang menjadi halangan utama bagi agama untuk berperan positif dalam bingkai pluralisme keagamaan atau kemajemukan adalah adanya prasangka- prasangka dan kecurigaan. Hal ini diperparah oleh pelabelan negatif

1M.Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015), h.4-5.

2Joshua N.Hook, (et.al), “Intellectual Humility and Religious Tolerance”, dalam The Journal of Positive Psychology, 2017, h. 34.

3Michael Hoffman,“Religion and Tolerance of Minority Sects in the Arab World”, dalam Journal of Conflict Resolution, 2020, h. 435.

4Mark Jurgensmeyer, Teror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, (Berkeley: University of California Press, 2003), Vol 13. h. 291.

(21)

2

terhadap suatu komunitas, seperti “Islam yang ekstrem” atau “Katolik yang konspiratif.”5

Dalam telaah Thijl Sunier, selama ini toleransi beragama lebih diartikan sebagai suatu kesediaan untuk mentolerir orang yang berbeda agama selama tidak mengancam status quo. Pendatang baru yang religius sering dilihat sebagai Kuda Troya (tipu muslihat). Benang kusut sepanjang sejarah yang sulit diurai bukanlah karena terlalu banyak toleransi tetapi lebih pada perhatian tentang kemungkinan dampak agama pendatang baru pada masyarakat dan politik.6

Keadaan yang demikian mengakibatkan berlangsungnya perilaku intoleran antarumat beragama. Ada banyak contoh kasus tentang sikap intoleran dalam persoalan agama. Pada Sabtu malam, 13 Januari 2018, terjadi penyerangan Klenteng di Kediri.7 Kemudian pada 21 September 2020 umat Nasrani di Desa Ngastemi, Mojokerto, dilarang menunaikan ibadah oleh kepala desa.8 Sedangkan pada akhir Mei 2022 Nupu Sharma juru bicara Bharatiya Janata Party (BJP) menghina Nabi saw saat debat di sebuah stasiun TV India.9 Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ketegangan antarumat beragama senantiasa menghiasi perjalanan hidup umat manusia. Entah berapa banyak korban jiwa, kerugian harta benda

5Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2008), h.137.

6Thijl Sunier, “A Tolerant Social Climate? Questioning the Validity of an Overly Positive Self-image”, dalam V. Mamadouh, dan A. Wageningen van (Eds.),Urban Europe: Fifty Tales of the City, Amsterdam University Press, 2016, h. 33.

7https://www.idntimes.com/news/indonesia/linda/5-kejadian-penyerangan-rumah ibadah-di-indonesia, diakses tanggal 7 Agustus 2022 jam 12.13 WIB

8https://www.suara.com/news/2020/09/26/211016/viral-kades-ngastemi-mojokerto- larang-warga-kristen-ibadah-di-wilayahnya?page=all, diakses tanggal 7 Agustus 2022 jam 14.20 WIB

9https://www.republika.co.id/berita/rd9dy2366/siapa-nupur-sharma-politikus-india- si-penghina-nabi-muhammad, diakses tanggal 7 Agustus 2022 jam 15.05

(22)

3

akibat konflik antarumat beragama. Kasus-kasus seperti ini apabila dibiarkan berlarut-larut dapat membahayakan keutuhan bangsa.

Salah satu cara membendung terjadinya gesekan antarumat beragama adalah dengan menumbuhkan perilaku toleransi. Dalam tinjauan Johannes L. Van der Walt, toleransi beragama adalah pengakuan atas kebebasan dan hak orang lain untuk mengikuti hati nurani mereka dan mencari kebenaran sebagaimana yang mereka lihat. Toleransi juga mengandaikan proses keterlibatan dengan pilihan moral atau etika yang dihadapkan pada seseorang dalam sikap dan perilaku orang lain.10 Idrus mengatakan ketika kata toleransi dihubungkan dengan agama, ia akan bermakna sikap menerima dan menghormati keragaman dan keanekaragaman agama yang dianut oleh pihak lain.11

M.Quraish Shihab mengatakan, inti dari toleransi adalah menghormati pendapat, sikap atau keyakinan orang lain, meskipun tidak menyetujuinya.

Ia rela mundur setapak guna meraih keserasian hubungan. Dengan kata lain, ia rela surut atau “menyimpang” agar meraih yang terbaik, tetapi bukan berarti menghilangkan prinsip yang ada. Itulah Islam yang penuh muatan toleransi. Nabi saw sendiri menamai Islam sebagai agama yang al- hanifiyyah as-samhah.12 Ajaran tersebut tidak hanya berlaku untuk kalangan yang seagama saja, tapi juga mesti diterapkan dalam pergaulan dengan mereka yang tidak seagama. Dengan kata lain, seseorang yang menganut sikap toleransi beragama mengakui bahwa kemajemukan keagamaan adalah sebuah keniscayaan.

10Johannes L. Van der Walt, Religious Tolerance and Intolerance: ‘Engravings’ the Seoul, (Faculty of Education Science, North-West University, Potchestroom Campus, South Africa: Aosis, 2016), h.45.

11Idrus, Konstruksi Lembaga-lembaga dalam Pengembangan Toleransi Antarumat Beragama, (Bandar Lampung: Arjasa Pratama, 2020), h. 57.

12M. Quraish Shihab dan Najwa Shihab, Shihab & Shihab Edisi Ramadhan, (Tangerang: Lentera Hati, 1440/ 2019), h. 89.

(23)

4

Pada dasarnya Islam memberi kebebasan untuk memilih. Tapi, setiap pilihan tentu ada konsekuensinya. Jika pilihan seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikannya. Namun, bila buruk tentu ia sendiri yang akan menanggung resikonya.13 Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, Tuhan tidak memaksa hamba-Nya agar menganut atau tidak menganut agama tertentu. Karena itu siapapun tidak diperkenankan untuk memaksakan sesuatu dengan mengatasnamakan Tuhan atau agama. Sebab, yang demikian merupakan penyelimpangan terhadap agama itu sendiri.14

Sementara M. Amien Abdullah menjelaskan bahwa apabila dibaca secara dialektis dan hermeneutis, doktrin Al-Qur’an lebih liberal bahkan radikal tapi tetap bijak pada saat menyikapi isu pluralisme agama. Al- Qur’an memerintahkan agar saling kenal-mengenal, berdialog, dan tidak memaksa seseorang untuk menganut agama tertentu termasuk agama Islam itu sendiri. Namun, secara historis-empiris, anjuran dan ajaran tersebut tidak mesti berlaku secara mekanis-otomatis dan berjalan dengan sendirinya. Dalam realitas hidup sehari-hari, “norma-norma”, “ajaran- ajaran” kitab suci yang baik dan ideal dapat dengan mudah disubordinasikan oleh “kepentingan-kepentingan” “historis-empiris” yang bersifat sesaat dan berjangka pendek. Karena itu persoalan “pluralitas”

perlu dikembalikan dan didialogkan pada level historis-empiris, untuk tidak sekadar puas dan berhenti pada level normatif.15

13M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an tentang Toleransi” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over Melintasi Batas Agama, (Jakarta:

Gramedia, 1998), h. 127.

14Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an dan Realitas Umat, (Jakarta: Republika, 2010), h. 15-16.

15M.Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural,(Bandung: Mizan, 2000), h.78-79.

(24)

5

Perbedaan keyakinan jangan membatasi, apalagi sampai melarang terwujudnya kerjasama Muslim dan Non-Muslim. Kerjasama keduanya amat diperlukan terutama saat menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup bermasyarakat. Sebab, dalam kehidupan bersama, tiap-tiap pemeluk agama berkewajiban mengupayakan kesejahteraan dan keadilan, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dari sini diharapkan persamaan antarpemeluk agama dapat tercapai dengan sendirinya, tapi tentu saja bukan dalam ranah akidah. Sementara kerjasama baru dapat terjadi, apabila ada dialog antarumat beragama.16

Namun, berbicara tentang pluralisme dalam komunitas agama bukanlah hal yang mudah. Sebab, banyak orang yang beragama menolak gagasan tersebut. Masing-masing mereka melakukan klaim kebenaran (truth claim) secara sepihak. Sejauh ini belum ditemukan formula yang tepat untuk mengkompromikan klaim eksklusif mereka atas kebenaran.

Klaim ini secara inheren menjadi pondasi bagi komunitas iman untuk keselamatan eksklusif mereka. Jadi, dalam komunitas agama hampir tidak ada diskusi tentang pluralisme agama sebagai metode penting untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Sebab gagasan semacam itu merupakan kompromi terhadap monopoli mereka atas kebenaran agama.17

Pada dasarnya klaim kebenaran adalah wajar. Sebab, suatu agama tentu saja akan melihat entitas agama lain sebagai sesuatu yang asing.

16Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2006), h.133-135.

17Abdulaziz Sachedina, “The Qur’anic Foundation of Interreligious Tolerance”, Richard J. Jones (eds) (International Institute of Islamic Thought, 2020), h.169.

(25)

6

Mereka tidak melihat kemungkinan untuk melakukan tukar-menukar atau pinjam-meminjam doktrin agama satu sama lain.18

Whitehead mengatakan adalah sesuatu yang sah apabila seseorang mengklaim agamanya sendiri sebagai sesuatu yang benar, walaupun klaim tersebut hanya dilandasi dengan dogma semata.19 Karena tanpa dibarengi klaim kebenaran, agama tak ubahnya seperti pohon rindang yang tak berbuah. Ia akan kehilangan kekuatan simbolik yang menjadi “magnet”

bagi pengikutnya.20 Siapapun boleh mengklaim bahwa yang benar hanyalah agama yang diyakininya, sedang agama yang lain salah semua.

Tapi, ia tidak boleh menghakimi agama lain yang berbeda dari yang dianutnya. Hal ini tentunya membutuhkan toleransi yang tidak hanya sebatas teori tapi benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Persoalan toleransi beragama ini juga menjadi perhatian sarjana Muslim di Zaman Klasik, di mana karya-karya mereka menjadi rujukan otoritatif hingga dewasa ini.

Para sarjana termasuk sarjana klasik dibuat bingung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mendua termasuk dalam soal toleransi. Ayat-ayat tersebut menimbulkan diskusi panjang tentang sikap Al-Qur’an terhadap umat agama lain. Dalam lingkungan kesarjanaan Muslim sendiri, belum ada kata sepakat tentang pandangan etis Al-Qur’an berkenaan dengan bagaimana semestinya kaum Muslim memperlakukan umat beragama lain.

18Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2004), h.

242.

19Alfred North Whitehead, Religion in the Making, (New York: New American Library, 1974), h.57.

20M. Amin Abdullah, Studi Agama…, h. 49.

(26)

7

Ketidakjelasan ini berpotensi menggiring orang pada kesimpulan bahwa tidak mungkin mendapatkan konsep Al-Qur’an yang baku tentang itu.

Al-Qur’an seperti kitab suci-kitab suci agama lainnya memuat materi- materi yang dapat digiring untuk membenarkan pandangan yang toleran ataupun intoleran. Hal ini menjadikan Al-Qur’an sebagai pembenaran terhadap sikap apapun yang dianut oleh kaum Muslim dalam berinteraksi dengan umat agama lain. Kelompok yang intoleran selain berpegang kepada ayat-ayat yang bersesuaian dengan pendapatnya, mereka juga menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa toleran menjadi intoleran. Begitu pula sebaliknya, kelompok yang toleran selain bersikukuh mempertahankan segenap ayat yang memperkuat keyakinannya, mereka juga menafsirkan ayat-ayat yang terkesan bermuatan intoleran menjadi toleran.

Misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 120 yang menggambarkan kebencian kalangan Yahudi dan Nasrani kepada umat Islam. Nuansa kebencian ini tentu akan semakin bertambah bila ditafsirkan oleh sarjana yang cenderung pada sikap intoleran. Sebaliknya, penafsiran terhadap ayat tersebut akan melunak di tangan sarjana yang mengusung semangat toleran. Seperti al-Qurṭubī (w.1273 M), ia menarik kesimpulan dari QS.

Al-Baqarah [2]: 120 dengan mengatakan bahwa millah hanya ada dua yakni Islam dan kafir.21 Dalam hal ini al-Qurṭubī tentu memandang Islam sebagai millah yang benar sedang kafir berada di luar garis kebenaran.

Sama seperti al-Qurṭubī, Muhammad Abduh (w.1905 M) menafsirkan QS.

Al-Baqarah [2]: 120 sebagai isyarat bahwa harapan Nabi saw agar Ahl

21Abī ‘Abdillah Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Beirūt: Muassasah ar-Risālah, 1427 H / 2006 M), Juz II, h. 345

(27)

8

Kitāb beriman kepadanya adalah sia-sia. Sebab, kalangan Ahl Kitāb cukup fanatik terhadap agama mereka. Mereka tidak akan senang sebelum Nabi saw memeluk agama mereka.22

Di tempat lain, al-Qāsimi (w.1914 M) memaknai QS. Al-Baqarah [2]:

120 sebagai peringatkan bagi kaum Muslim. Sebab, Yahudi dan Nasrani hanya menginginkan umat Islam mengikuti agama mereka secara mutlak.23 Peringatan yang sama juga disampaikan oleh Sayyid Qutub (w.1966 M). Menurutnya, kalangan Yahudi dan Nasrani sebenarnya mengakui kebenaran Nabi saw dan ajarannya. Namun, mereka tidak akan senang, sebelum Nabi saw melepaskan misi kenabiannya, untuk kemudian mengikuti agama mereka. Inilah persoalan abadi yakni masalah akidah yang dapat dilihat di setiap waktu dan tempat.24

Sa’īd Hawa (w.1989 M) memposisikan QS. Al-Baqarah [2]: 120 sebagai ketetapan Allah dan Rasul-Nya bahwa kalangan Yahudi dan Nasrani tidak menyukai kaum Muslim. Mereka bahkan menginginkan kaum Muslim meninggalkan Islam dan masuk ke dalam agama mereka.

Karena itu barangsiapa yang meridhai Yahudi dan Nasrani maka ia tidak dinilai sebagai Muslim. 25

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi (w.1975 M) juga memaknai QS. Al-Baqarah [2]: 120 dengan sikap kurang simpatik terhadap kalangan Yahudi dan Nasrani. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Nabi saw tidak

22Muhammad ‘Abduh, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, (Kairo: Dār al-Manār, 1366 H / 1947 M), Juz I, h. 443-444

23Jamaluddin al-Qāsimī, Maḥāsin at-Ta’wīl, (Beirut; Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418 H /1997 M), Juz I, h. 387.

24Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terjemahan, As’ad Yasin dkk, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2000), h. 131-132.

25Sa’īd Hawa, al-Asās fī at-Tafsīr, (Kairo: Dār as-Salām, 1419 H / 1999 M), Jilid I, h. 228.

(28)

9

perlu terlalu mengharap agar orang-orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Sebab mereka hanya menginginkan Nabi saw mengikuti agama mereka.26

Namun QS. Al-Baqarah [2]: 120 akan dimaknai secara berbeda bila dihadapkan pada sarjana yang berkecenderungan toleran. Misalnya aṭ- Ṭabarsī (w.548 H), ia memang melihat ayat tersebut sebagai cercaan Allah terhadap kalangan Yahudi dan Nasrani. Namun, cercaan Allah itu hanya ditujukan kepada sebagian saja dari mereka yakni yang mengklaim para rasul berasal dari kalangannya dan yang enggan melaksanakan perintah rasul. Sedang sebagian yang lain dari kalangan Yahudi dan Nasrani dipandang aṭ-Ṭabarsī mendapat ridha dari Allah yakni mereka yang istiqamah menjalankan perintah agama.27 Seperti halnya aṭ-Ṭabarsī, dalam telaah M. Quraish Shihab, QS Al-Baqarah [2]: 120 memang menggunakan redaksi yang menunjukkan kepastian yang berlanjut terus-menerus sebagaimana dipahami dari kata lan. Artinya, kalangan Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada umat Islam selama-lamanya. Namun, maksud dari ayat ini bukanlah untuk semua kalangan Yahudi dan Nasrani melainkan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Sebab, pada kenyataannya terbukti ada dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang memeluk Islam.28

Dari aspek qiraat, ayat-ayat Al-Qur’an juga bisa dipahami secara toleran ataupun intoleran. Misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 119, di sana

26Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), Juz I h. 195-196.

27Abī ‘Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan at-Tabarsī, Majma’ al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur’ān, (Mesir: Dār al-Ma’rifah aṭ-Ṭibā’ah wa Nasr 1418 H), Juz I, h. 373.

28M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol. 1, h.295.

(29)

10

terdapat beberapa bacaan. Pertama, membaca

ِباَحْصَأ ْنَع ُلَأْسُت َلَ َو ِمي ِحَجْلا

. dengan me-rafa’-kan huruf ta’ dan menjadikan huruf

َلَ

sebagai nafi yang berarti berarti “kamu tidak ditanya”. Kedua, membaca

ُلَأْسُت ْنَل َو ِمي ِحَجْلا ِباَحْصَأ ْنَع

. Dengan argumentasi menjadikan makna huruf

ْنَل

sebagai larangan sehingga berarti “jangan ditanyakan”. 29

Az-Zamakhsyari membaca lafaz

ِمي ِحَجْلا ِباَحْصَأ ْنَع ُلَأْسُت َلَ َو

dengan makna nafi. Ia mengkorelasikannya dengan

ُغ َلََبْلا َكْيَلَع اَمَّنِإَف ُباَس ِحْلا اَنْيَلَع َو

(QS. Ar-Ra’d [13]: 40) yang melahirkan makna “kamu tidak diminta pertanggungjwaban tentang penduduk neraka”. Az- Zamakhsyari juga memaparkan bacaan lain yakni

ُلَأْسَت َلَ َو

yang berarti larangan. Dari sini QS. Ar-Ra’d [13]: 40 bisa dimaknai dengan “janganlah kamu mempertanyakan tentang keadaan kekufuran dan kepentingan musuh-musuh Allah”. Di sini, terlihat adanya penghargaan terhadap apa yang terjadi atas kaum kafir yang sedang diazab Allah. Walaupun diazab tapi Allah tidak menghendaki orang mengetahui lebih jauh soal nasib mereka, Seperti pertanyaan: “Bagaimana si Fulan?” Penanya menanyakan kejadian yang akan terjadi setelah itu (berikutnya): Lalu dikatakan kepadanya: “Jangan bertanya tentangnya”.30

Pemaknaan dari bacaan tersebut memunculkan kesan toleran. Hal ini terlihat ketika az-Zamakhsyari mengutip qiraat ‘Abdullah ibn Mas’ud

ْنَل َو ِمي ِحَجْلا ِباَحْصَأ ْنَع ُلَأْسُت

. Makna kata

ْنَل

berlangsung untuk

29Ibn Khālawaih, al-Hujjah fi al-Qirāāt as-Sab’ lil Imām ibn Khālawaih, pentahqiq

‘Abd al-‘Ali Sālim Makram, Kuwait: Dār Asy-Syuruq, 1979/1399), h. 87

30Abī al-Qāsim Mahmud ibn ‘Umar az-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al- Kasysyāf ‘an Haqāiq Gawāmid at-Tanzīl wa‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh at-Ta’wīl, (Kairo:

Dār Ibn al-Jauzī, 1440 / 2019), Jilid I, h. 234

(30)

11

selamanya. Jadi “selamanya jangan dipertanyakan tentang keadaan kekafiran penduduk neraka”.31

Sementara Al-Qurtubi mengatakan “Jika ayat ini diturunkan untuk Yahudi maka mereka akan beriman”, sehingga turunlah ayat ini

ُلَأْسُت َلَ َو

ْنَع

ِمي ِحَجْلا ِباَحْصَأ

. Ayat ini dibaca dengan me-rafa’-kan huruf ta’

ُلَأْسُت

oleh jumhur qurrā’ yang berposisi sebagai hāl, dan mengikut (‘aṭaf) kepada lafaz

ا ًريِذَن َو ا ًريِشَب

. Sehingga QS. Al-Baqarah [2]: 119 bermakna

“Sesungguhnya kami utus kamu dengan kebenaran sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan bukan penanggung jawab”. 32

Dari bacaan dan penafsiran di atas yang dikorelasikan dengan Yahudi, maka akan menimbulkan kesan “intoleran”. Karena secara objektif penjelasan ayat hanya pada titah Tuhan kepada Nabi Muhammad saw agar tidak mempersoalkan tentang nasib penghuni neraka secara keseluruhan bukan kalangan Yahudi secara khusus.

Sa’īd al-Akhfasy berkata:

ِمي ِحَجْلا ِباَحْصَأ ْنَع ُلَأْسَت َلَ َو

dengan

fathah ta’ dan dhammah lam. Lafaz

ُلَأْسَت َلَ َو

merupakan hāl yang mengikut (‘aṭaf) kepada lafaz

ا ًريِذَن َو ا ًريِشَب

. Maknanya “Sesungguhnya kami utus kamu dengan kebenaran dan bukan bertanya tentang mereka.

Dan Allah lebih mengetahui kekafiran mereka setelah diberi peringatan bukan diperkaya dengan pertanyaan tentang mereka”.33

Imam Nafi’ membaca dengan men-jazam-kan

ْلَأْسَت َلَ َو

yang

mengandung makna larangan.34 Larangan di sini menurut al-Qurtubi mempunyai dua makna; pertama, larangan bertanya terhadap siapa yang

31 Az-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf…, h. 234

32 Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ …., h. 343

33 Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ …., h. 344

34 Ibn Mujāhid, Kitāb as-Sab’ah fī al-Qirā’āt, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 2009), h.169

(31)

12

durhaka dan siapa yang kafir dalam kehidupannya. Karena sesungguhnya Allah atau Rasul menukar keadaan mereka dari kekafiran kepada keimanan ataupun dari kemaksiatan menuju ketaatan. Kedua, larangan bertanya terhadap siapa saja yang mati dalam keadaan kafir. Menghargai keadaannya dengan kondisinya yang berat (sulit).35 Bacaan tersebut tampak ia lebih toleransi karena tidak hanya dalam kehidupan di dunia, di akhirat pun kita tidak boleh mempertanyakan keadaan kekafiran seseorang.

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa satu ayat Al-Qur’an dapat memuat dua penafsiran dalam istilahnya Stephen Schwartz “The two faces of Islam”36 yang saling bertolakbelakang yakni toleran atau intoleran.

Untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan penelitian ilmiah. Penulis berkeyakinan bahwa rentetan ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa ditafsirkan dengan nuansa toleran atau intoleran harus dikaji dalam rangka memahami Al-Qur’an secara lebih baik.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Setelah mencermati pemaparan pada latar belakang masalah, bisa ditemukan identifikasi beberapa permasalahan, diantaranya;

a. Keragaman agama memicu konflik antarumat beragama

b. Adanya klaim kebenaran tunggal di antara penganut masing-masing agama.

c. Adanya kecurigaan terhadap pemeluk agama lain.

d. Perbedaan penafsiran berdampak pada sikap toleran atau intoleran.

35 Al-Qurṭubī, al-Jāmi’ …., h. 344

36Stephen Schwartz, The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terorism, (New York: Anchor Books, 1998).

(32)

13

e. Ragam qiraat yang digunakan mempengaruhi toleran atau tidaknya seorang mufasir.

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasannya tidak terlalu melebar, penulis membatasi pada sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an dalam beberapa persoalan sebagai berikut;

a. Kebebasan Beragama b. Klaim Ahl al-Kitāb c. Makanan dan Pernikahan d. Keselamatan di Akhirat

Keempat persoalan tersebut menurut penulis bisa mewakili penafsiran Al-Qur’an dalam soal toleransi antarumat beragama. Penulis memfokuskan kajian pada karya mufasir klasik yaitu:

a. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl āy al-Qur’ān karya Abī Ja’far Muḥammad bin Jarīr aṭ-Ṭabarī (w.310 H)

b. Ma’ālim at-Tanzīl karya Abī Muḥammad al-Ḥusain bin Mas’ūd al- Bagawī (w.516 H)

c. Al-Muḥarrar al-Wajīz fi al-Kitāb al-’Azīz karya Abī Muḥammad

‘Abd al-Ḥaq Ibn ‘Aṭiyyah (w.541 H)

d. Tafsīr al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmid at-Tanzīl wa ‘Uyūn al- Aqāwīl fi Wujūh at-Ta’wīl karya Abī al-Qāsim Muḥammad Ibn

‘Umar az-Zamakhsyarī al-Khawārizmī (w.538 H), e. Tafsīr al-Kabīr karya al-Fakhr ar-Rāzī (w. 606 H).

Penulis memilih lima kitab tafsir klasik ini dengan pertimbangan ulasan kebahasaan atau qiraat yang terdapat di dalamnya. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa persoalan toleransi antarumat beragama telah dibahas sejak Zaman Klasik dimana pada waktu itu umat Islam sedang berada pada masa kejayaannya termasuk dalam segi ilmu pengetahuan dan politik.

(33)

14

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam dua bentuk:

a. Bagaimana analisis qiraat dalam penafsiran ayat-ayat toleransi antarumat beragama dalam tafsir klasik?

b. Bagaimana analisis semiologi dalam tafsir klasik tentang toleransi beragama?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan antara lain;

1. Mengelaborasi pemahaman mufasir klasik tentang toleransi beragama dalam tinjauan qiraat.

2. Menelaah toleransi beragama dalam tafsir klasik perspektif semiologi.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

a. Menjelaskan secara komprehensif persoalan toleransi beragama dalam kajian tafsir klasik.

b. Mengembangkan konsep-konsep teoritis tentang toleransi beragama berdasarkan tafsir klasik perspektif qiraat dan semiologi.

2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan masukan berupa saran kepada pemerintah dalam merumuskan kebijakan berkenaan dengan toleransi antar umat beragama.

b. Perguruan Tinggi, diharapkan bisa memperkaya perbendaharaan kajian keilmuan dalam bidang tafsir tematik.

c. Peneliti lain, diharapkan dapat memantik keinginan peneliti-peneliti lain untuk mengkaji konsep atau postulat tentang toleransi beragama yang tertuang lewat Al-Qur’an.

(34)

15

E. Kajian Pustaka

Penelitian tentang toleransi sudah digarap oleh sekian peneliti. Akan tetapi belum ada yang meneliti secara khusus tentang toleransi beragama perspektif tafsir klasik dengan analisis qiraat dan semiologi. Adapun penelitian tentang toleransi beragama dalam kajian tafsir telah ditulis oleh beberapa peneliti diantaranya;

Dzikriyatul Fikriyah (2018),37 menulis tentang toleransi beragama yang dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan pada QS. Al-Kafirun. Lokus penelitian sama-sama menggunakan QS. Al-Kafirun. Namun terdapat perbedaan yang signifikan dengan yang penulis lakukan. Penulis tidak menyinggung soal nilai pendidikan, tapi nilai toleransi kehidupan bermasyarakat secara luas. Meskipun demikian, penelitian tersebut berkontribusi untuk menelusuri seberapa jauh penafsiran Q.S Al-Kafirun tehadap nilai-nilai toleransi beragama.

Dina Mardiana (2018),38 menulis tentang toleransi beragama ditinjau dari tiga tafsir bil ma’ṡur. Peneliti mengulas secara deskriptif asbab an- nuzul dan pendapat ketiga mufasir klasik yakni Aṭ-Ṭabarī, Ibn Kaṣīr, serta as-Suyuti. Objek penelitiannya QS. Al-Baqarah [2]: 256, Yunus [10]: 99, Al-Kahfi [18]: 29, Al-Kafirun [109]: 6. Lokusnya sama-sama menggunakan QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan Al-Kafirun [109]: 6.

Perbedaannya, selain kedua ayat di atas penulis juga menjadikan QS. Al- Baqarah [2]: 62, Al-Baqarah [2]: 139-141, Al-Maidah [5]: 5. Meskipun demikian, penelitian tersebut berkontribusi untuk menelisik penafsiran mufasir klasik dalam persoalan toleransi beragama.

37Dzikriyatul Fikriyah, “Nilai-nilai Pendidikan Toleransi Beragama Dalam Surat Al- Kafirun: Kajian Tafsir Al-Misbah,” Skripsi IAIN Pekalongan, 2018.

38Dina Mardiana, “Pemaknaan Toleransi Beragama Perspektif Tafsīr Bi al-Ma’ṡur (Studi Tentang Tafsīr Jami’ al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur’ān, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Aẓīm dan Tafsīr ad-Dūr al-Manṡur fī Tafsīr bī al-Ma’ṡur)”, dalam Islamuna Jurnal Studi Islam, Vol. 5 No.1 Juni 2018, h. 16-29.

(35)

16

M.Thoriqul Huda dan Luthfiah (2018),39 menulis tentang toleransi yang digagas oleh Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di pada QS. Al- An’am [6]: 108, Al-Kafirun [109]: 1-6, Yunus [10]: 99, Hud [11]: 118.

Lokus penelitian sama-sama menggunakan QS. Al-Kafirun [109]: 1-6.

Perbedaannya, terletak pada tokoh mufasir yang dijadikan objek kajian.

Mereka mengkaji pendapat Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di sementara peneliti membedah pendapat aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn

‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, dan ar-Rāzī. Meskipun demikian, penelitian tersebut berkontribusi untuk memahami interaksi dengan non-muslim.

Baharuddin Zamawi, Habieb Bullah, dan Zubaidah (2019)40 mendeskripsikan tentang ayat-ayat toleransi dalam Tafsir Mar’ah Labid pada QS. Al-Baqarah [2]: 256, Al-An’am [6]: 108, Yunus [10]: 99-100, Al-Hajj [22]: 40. Lokus penelitian sama-sama menggunakan QS. Al- Baqarah [2]: 256. Penelitian ini berkontribusi dalam menelusuri penafsiran tentang larangan memaksakan agama. Peneliti hanya mengulas lima ayat toleransi beserta penafsirannya tanpa mengaitkannya dengan klaim Ahl al- Kitāb, makanan dan pernikahan serta keselamatan di Hari Akhir sebagaimana yang peneliti lakukan.

Wahyu Pebrian (2019)41 mengulas tentang toleransi dalam Tafsir Al- Azhar pada QS. Al-Baqarah [2]: 139, 213, 256; Al-An’am [6] : 108, Al- A’raf [7]: 199, Al-Anfal [8]:61, Yunus [10]: 41, An-Nahl [16]: 125, Al- Kahfi [18]: 29, Al-Hajj [22]: 67, Al-Qashahsh [28]: 77, Al-Hujurat [515]:

11-12, Al-Mumtahanah [60]: 8-9, Asy-Syura[42]: 15, Luqman [31]: 15,

39M. Thoriqul Huda dan Luthfiah, “Toleransi dalam Kitab Tafsīr Taisir al-Karīm ar- Rahman fī Tafsīr al-Kalām al-Mannān”, dalam Jurnal Qolamuna, Vol. 4 No. 1 Juli 2018, h. 249-266

40Baharudin Zamawi, Habieb Bullah dan Zubaedah, “Ayat Toleransi Dalam Al- Qur’an: Tinjauan Tafsir Mar’ah Labīd” dalam Jurnal Diyā’ al-Afkār, Vol 7. No 1, Juni 2019, h. 186-197.

41Wahyu Pebrian, “Toleransi dan Kebebasan Beragama Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar”. Tesis IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2019.

(36)

17

Al-Kafirun [109]: 1-6. Lokus penelitiannya sama-sama memuat QS. Al- Baqarah [2]: 139, 256, Al-Kafirun [109]: 1-6. Namun peneliti tidak mengaitkan dengan pembahasan makanan, pernikahan, serta keselamatan di akhirat sebagaimana yang penulis lakukan. Penelitian ini berkontribusi dalam menelaah penafsiran ayat-ayat toleransi beserta kaitannya dengan riwayat.

Yulia Halimatus Zahroh (2019),42 menyingkap tentang toleransi pada QS. Al-Kafirun [109]: 1-6 dalam Tafsīr Ribāt Al-Qur’ān. Lokus penelitiannya sama-sama mengkaji penafsiran QS. Al-Kafirun [109]: 1-6.

Perbedaannya, ia mengulas Tafsīr Ribāt Al-Qur’ān sementara penulis memotret karya aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn ‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, dan ar-Rāzī. Namun, penelitian ini berkontribusi dalam melihat pemahaman mufasir terhadap dakwah di kalangan pemeluk agama yang berbeda.

Bani Badarurrakhman (2019),43 menguraikan tentang penafsiran kebebasan beragama, interaksi dengan non-muslim, model komunikasi dengan non-muslim dalam Tafsir Al-Misbah. Penelitian tersebut tidak seperti yang penulis lakukan. Penulis mengkaji ayat-ayat yang bernuansa toleransi dengan pendekatan analisis qiraat dan semiologi. Tapi penelitian ini berkontribusi dalam meneliti persoalan toleransi beragama dari sisi interaksi sosial, kebebasan beragama.

Mufidatul Bariyah (2019),44 mendeskripsikan tentang toleransi pada pada QS. Al-Baqarah [2]: 256, Al-Maidah [5]: 5, Al-Kafirun [109]: 1-6 dalam Tafsir al-Qurtubi. Lokus penelitiannya sama-sama memuat

42Yulia Halimatus Zahroh, “Toleransi Antarumat Beragama (Kajian Tematik Surat Al-Kafirun dalam Tafsīr Ribāt Al-Qur’ān Karya Abuya Misbah Sadat),” Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya 2019.

43Bani Badarurrakhman “Konsep Toleransi Beragama Menurut M.Quraish Shihab (Studi Ayat-ayat Toleransi dalam Tafsir Al-Misbah),” Skripsi IAIN Purwokerto, 2019.

44Mufidatul Bariyah, “Ayat Toleransi dalam Al-Qur’an; Tinjauan Tafsīr Al- Qurṭubī” dalam Al-Mada : Jurnal Agama, Sosial dan Budaya, Vol. 2, No. 2, 2019.

(37)

18

penafsiran QS. Al-Baqarah [2]: 256, Al-Maidah [5]: 5, Al-Kafirun [109]:

1-6. Namun, berbeda dengan peneliti, penulis menelaah persoalan toleransi merujuk kepada lima tafsir klasik yang kemudian dibedah berdasarkan qiraat dan semiologi. Meskipun demikian penelitian ini juga berkontribusi dalam menelusuri persoalan toleransi beragama dalam tafsir.

M. Thoriqul Huda, Uly Dina (2019)45 menulis tentang fungsi dari sebuah toleransi antar agama menurut Asy-Sya’rawi pada QS. Al-Baqarah [2]: 256, Al-An’am [6]: 108. Yunus [10]: 99-100. Lokus penelitiannya sama-sama memuat penafsiran QS. Al-Baqarah [2]: 256. Perberbedaannya ada pada pemilihan tokoh dan analisis yang digunakan. Ia menjadikan Asy-Sya’rawi sebagai tokoh mufasir yang akan diulas dengan analisis deskriptif. Sementara peneliti memilih aṭ-Ṭabarī, al-Bagawī, Ibn ‘Aṭiyyah, az-Zamakhsyarī, dan ar-Rāzī sebagai tokoh yang akan dikaji dengan analisis qiraat dan semiologi.

Fadly Alannajmi Assegaf (2021),46 mengungkap tentang toleransi pada QS. Ali Imran [3]: 64, Yunus [10]: 99-100, Al-Kafirun [109]: 1-6 dalam Tafsir Al-Mishbah. Lokus penelitiannya sama-sama memuat penafsiran QS. Al-Kafirun [109]: 1-6. Penelitian tersebut berbeda dengan yang penulis lakukan. Ia memilih tafsir era modern dengan analisis deskriptif sementara penulis mencoba menganalisis pandangan beberapa mufasir klasik dengan tinjauan qiraat dan semiologi. Penelitian tersebut berkontribusi untuk melihat persoalan toleransi terutama dalam rangka memperkenalkan agama dalam kehidupan sehari-hari.

45M.Thoriqul Huda, Uly Dina, “Urgensi Toleransi Antar Agama Dalam Perspektif Tafsir Al-Sya’rawi,” dalam Tarbiya Islamia: Jurnal Pendidikan dan Keislaman, Vol 8, No 1, 2019, h. 44-60.

-Toleransi Antar Umat Beragama Menurut Tafsir Al“ ,Fadly Alannajmi Assegaf46 Mishbah Karya M. Quraish Shihab,” Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2021.

(38)

19

F. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis mencoba menggunakan teori konstruksi realitas sosial (Social Construction of Reality) yang dicetuskan oleh Peter L. Berger untuk membedah setiap dimensi dari penafsiran ayat-ayat Al- Qur’an yang bermuatan toleransi.

Berger mengatakan bahwa realitas sosial tidak berpisah dari manusia.

Manusia adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk manusia. Keduanya menggambarkan sifat dialektik inheren dari fenomena masyarakat. Jika kenyataan ini diterima, masyarakat akan bisa dipahami dalam kerangka-kerangka realitas empiris yang memadai. Di dalam masyarakat, manusia berinteraksi atau mengalami proses sosial sehingga seorang individu menjadi pribadi yang memiliki identitas. Ia melaksanakan berbagai proyek yang menjadi bagian kehidupannya. 47

Berger mengatakan setiap usaha untuk memahami suatu “dunia”

manusia senantiasa menuntut tugas intelektual untuk menjelaskannya.

Upaya “berteori” dalam disiplin ilmu apapun adalah suatu pekerjaan di mana agregat empiris dikelompokkan dalam pikiran dan segenap unsur yang dihasilkannya disusun dalam beberapa jenis hierarki kausal atau fungsional atau hermeunetis.48

Dalam proses dialektik masyarakat ada tiga momentum yang perlu diperhatikan yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah proses seorang individu dalam melihat realitas sosial sesuai pemahaman subjektif dirinya. Lewat eksternalisasi manusia menampilkan kediriannya baik dalam aktivitas fisikal maupun mental.

Sebab, kedirian manusia tidak bisa selamanya bertahan untuk tidak

47Peter L. Berger, Langit Suci, penerjemah Hartono, (Jakarta: LP3ES, IKAPI, 1991), h. 3- 4 .

48Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis, penerjemah, Mohammad Oemar, (Jakarta:

LP3ES, 1990), h.17.

(39)

20

mengungkapkan dirinya. Karena itu ia keluar untuk mengaktualisasikan diri di lingkungan sekitarnya.49

Kemudian, objektivasi, ia didefenisikan sebagai penyandangan produk aktivitas manusia. Ia merupakan suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya dalam bentuk suatu kefaktaan yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produser itu sendiri. Objektivitas yang diperoleh dari produk kultural manusia ini mengacu kepada benda-benda material maupun non material.50

Khususnya untuk produk kultural yang mengacu kepada benda non material seperti kebudayaan, dialami oleh semua orang. Ini menunjukkan bahwa objek kebudayaan bisa dimiliki secara kolektif. Yang demikian membedakan objek-objek itu dari suatu konstruksi kesadaran subjektif individu. Kemudian, dunia kultural dihasilkan secara kolektif. Ia nyata karena adanya pengakuan kolektif. Berada dalam kebudayaan berarti memiliki bersama dengan orang lain suatu dunia objektivitas-objektivitas khusus. Kondisi-kondisi yang sama juga berlaku bagi segmen kebudayaan yang disebut masyarakat, sehingga masyarakat merupakan aktivitas manusia yang diobjektivasikan. Dalam artian suatu produk aktivitas manusia yang telah memperoleh status realitas objektif.51

Objektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya.

Lembaga-lembaga, peran-peran, dan identitas-identitas itu eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara objektif dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak lain dari produksi manusia. Misalnya keluarga sebagai pelembagaan seksualitas manusia dalam suatu masyarakat tertentu dialami dan dimengerti sebagai realitas objektif. Objektivitas yang sama juga

49Peter L. Berger, Langit…, h. 5.

50Peter L. Berger, Langit…, h.12.

51Peter L.Berger, Langit…, h. 13-14.

(40)

21

terdapat pada peran-peran yang diinginkan dilakukan oleh individu dalam konteks kelembagaan yang bersangkutan, walaupun ia tidak menyukai apa peranannya. Peranan seperti ibu, bibi, nenek, secara objektif didefenisikan dan dapat digunakan sebagai model untuk perilaku model bagi perilaku individual.52

Dengan memainkan peranan tersebut, individu mewakili objektivitas- objektivitas kelembagaan dengan cara yang dapat dipahami oleh dirinya maupun orang lain secara terpisah dari peristiwa-peristiwa yang hanya kebetulan dalam eksistensi individualnya. Lebih jauh, masyarakat tidak hanya mencakup suatu kelompok lembaga-lembaga dan peran-peran yang tersedia secara objektif, tetapi juga sekelompok identitas yang diberi status realitas objektif yang sama. Dengan kata lain, individu tidak saja diharapkan berperan sebagai ibu, bibi, nenek. Bahkan lebih mendasar, menjadi seorang perempuan, apapun makna dan statusnya dalam masyarakat. Pada akhirnya, objektivitas aktivitas manusia mengandung makna bahwa manusia mampu mengobjektivasikan bagian dari dirinya di dalam kesadarannya sendiri. Ia bisa menghadapi dirinya sendiri dalam gambaran-gambaran yang biasanya tersedia sebagai unsur-unsur objektif dunia sosial.53

Contoh lain dari objektivasi, sikap marah yang subjektif diungkapkan secara langsung atau tatap muka lewat berbagai macam isyarat seperti air muka, sikap badan, gerak-gerik tangan, kaki dan lain sebagainya. Isyarat- isyarat tersebut terus ada dalam situasi tatap muka. Namun, kemarahan dapat bisa diobjektivasi dengan menggunakan senjata. Misalnya golok, ia tidak dirancang dengan tujuan khusus untuk melampiaskan kemarahan.

52Peter L. Berger, Langit…, h. 17.

53Peter L. Berger, Langit…, h. 18.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Cd (kadmium) pada kerang darah (Anadara granosa) yang terdapat di perairan Tambak Lorok Semarang

Ukuran : D = 80 mm Bahan : Plastik PS (injeck) Warna : Berwarna, transparan menunjukkan rumus volume dengan menggunakan media pasir/ barang cair Seluruh alat dimasukkan

Penurunan kemampuan absorbsi ini tentunya kan memperkecil performa dari sel surya yang difabrikasi, karena material ini akan digunakan sebagai material

Memasuki hari ke-39 di padepokan orangtua tak dikenal itu, Pita Loka bertanya: “Jadi, setalah tuan berkisah tentang si Talam Pendekar Pedang, yang mewariskan pada puteranya dua

Isolasi dan Uji Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Daun Jambu Biji Putih (Psidium guajava Linn ).. Bali: Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit

Misalnya ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil untuk menetapkan adanya kewajiban berbuat adil pada semua keadaan; tidak boleh mencelakakan diri sendiri dan orang

08 Penyediaan Jasa Kebersihan Kantor Terlakasananya Jasa Kebersihan Kantor Terlakasananya Jasa Kebersihan Kantor Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung - - -2. 11 Penyediaan

Sebagian besar perempuan yang teratur memanfaatkan layanan infertil dalam penelitian ini adalah perempuan yang tidak menggunakan pengobatan selain yang didapatkan di