ABSTRAK
Al Fais (E84212072),
“
INTERAKSI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA (Studi Kasus Desa Gemarang
Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun)
”
.
Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana interaksi aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten
Madiun? (2) Faktor apa saja yang menghambat interaksi aktor dalam
implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan
Gemarang Kabupaten Madiun?
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan Jenis
penelitian
case study, dan pengumpulan data dilakukan melalui observasi
partisipan, adapun observasi yang dilakukan termasuk jenis observasi terus terang
atau tersamar, wawancara semi terstruktur dan dokumentasi. Informan penelitian
ditetapkan secara
sampling purposive. Analisis data menggunakan analisis model
interaktif. Sedangkan keabsahan data menggunakan perpanjangan keikutsertaan,
ketekunan/ keajegan, triangulasi, pemeriksaan sejawat dan uraian rinci,
Hasil penelitian ini menunjukkan Aktor yang berperan penting dalam
implementasi kebijakan alokasi dana desa yaitu hanya segelintir Elite Desa seperti
Perangkat Desa, peran legislatif yang disandang oleh BPD tidak dilaksanakan
dengan maksimal dan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam alokasi dana
desa kurang. Faktor yang menghambat interaksi aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten
Madiun diantaranya: Sumber daya manusia yang rendah, Lemahnya pengawasan,
Minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I :
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian... 11
E.
Definisi Konsep ... 12
F.
Metode Penelitian... 13
1.
Lokasi Penelitian ... 13
2.
Pendekatan dan jenis penelitian ... 14
3.
fokus Penelitian ... 16
4.
Jenis dan Sumber Data ... 16
5.
Teknik Pengumpulan Data ... 18
6.
Informan ... 20
7.
Teknik Analisi Data ... 21
8.
Teknik Keabsahan Data ... 22
G. Penelitian Terdahulu... 23
H. Sistematika Penulisan... 25
BAB II : KAJIAN TEORITIK... 27
1.
Studi Aktor ... 27
2.
Interaksi Aktor Dalam implementasi Kebijakan ... 36
3.
Karakteristik Interaksi Aktor... 43
4.
Tipologi Interaksi Aktor ... 44
6.
Good governance
... 48
BAB III :SETTING PENELITIAN ... 51
A. Setting Lokasi ... 51
1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 51
a. Sejarah Desa ... 51
b. Letak Geografis Desa ... 52
c. Letak Demografi Desa ... 52
2. Kondisi Ekonomi ... 53
a. Penduduk ... 53
b. Sarana Dan Prasarana ... 54
1) Fasilitas Pendidikan ... 54
2) Fasilitas Peribadatan ... 56
c. Karakteristik Perekonomian Desa ... 57
3. Kondisi Sosial Dan Keagamaan ... 59
4. Kondisi Interaksi Sosial ... 60
B. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan ... 61
1. Aktor Internal Birokrasi ... 62
a. Elit Politik... 62
b. Perangkat Desa ... 62
2. Aktor Eksternal ... 65
a. Tokoh Masyarakat ... 66
b. Masyarakat ... 66
BAB IV :PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA... 69
A. Penyajian data ... 69
1. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi
Dana Desa ... 69
2. Faktor Yang Menghambat implementasi aktor dalam
implementasi kebijakan alokasi dana desa... 72
a. Sumber daya manusia ... 72
b. Lemahnya pengawasan ... 74
c. Minimnya Partisipasi Masyarakat ... 76
B. Analisa Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan
Alokasi Dana Desa ... 77
1. Tahap Perencanaan ... 78
2. Tahap pelaksanaan ... 83
BAB V :PENUTUP ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kebijakan dalam upaya
memberikan ruang gerak masyarakat di tingkat lokal agar bisa lebih
meningkatkan partisipasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang demokratis agar
masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan dapat terwujud. Asumsinya
adalah ketika kekuatan-kekuatan lokal diberi ruang dalam proses politik, akan
terbentuk tata pemerintahan yang baik karena masyarakat lokal bisa
menyelenggarakan pemerintahan sendiri, terjadi partisipasi publik dan
transparansi. Kekuatan lokal merupakan bagian dari kemajemukan yang akan
mendorong terwujudnya masyarakat demokratis sejauh kesadaran tertib sosial
(civility) merupakan semangat dari penguatan masyarakat warga (civil society)
menjadi pijakan utamanya. Lokalitas akan menjadi destruktif bila negara dan
kekuatan-kekuatan sosial tidak mampu memfasilitasi.
1Meski relasi kuasa pusat dan daerah dalam negara kesatuan berjalan dalam
kerangka demokrasi, tetapi relasi kuasa tersebut menjadi isu penting ketika
1
diletakkan dalam konteks implementasi desentralisasi politik dan administrasi
yang berwujud otonomi daerah.
2Dalam hal ini kewenangan desa merupakan
elemen penting dalam kajian otonomi desa. Kewenangan desa merupakan hak
yang dimiliki desa untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangga sendiri.
Berdasarkan sejarahnya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa memosisikan desa berada di bawah kecamatan dan kedudukan
desa diseragamkan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini
menghambat tumbuhnya kreatifitas dan partisipasi masyarakat desa setempat
karena mereka tidak dapat mengelola desa sesuai dengan kondisi budaya dan adat
dari desa tersebut.
3Pada era reformasi diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang memberikan keleluasaan kepada desa untuk dapat
mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi adat dan budaya
setempat. Undang-Undang tersebut selanjutnya dipertegas dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa memuat tentang kewenangan
desa. Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut diharapkan dalam
pelaksanaannya sesuai dengan tujuan, yaitu mewujudkan otonomi desa agar desa
dapat mandiri dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
42
Siti Aminah,
Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal
(Jakarta: Kencana: 2014) 85
3
Adon Nasrullah Jamaludin,
Sosiologi Perdesaan
(Bandung: Pustaka Setia: 2015) 179
4
Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimaksudkan agar
daerah mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut
prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang
kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pemberian kewenangan otonomi harus berdasarkan asas
desentralisasi dan dilaksanakan dengan prinsip luas, nyata, dan bertanggung
jawab.
5Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah propinsi, dan / atau pemerintah kabupaten kepada desa harus disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Bahkan,
pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia.
Dengan demikian, intervensi dari pemerintah supradesa semakin bisa terkurangi.
Terkait dengan Alokasi Dana Desa (ADD), sebetulnya ini merupakan
program lanjutan dari dana bantuan desa sejak tahun 1969 yang disediakan oleh
Pemerintah Pusat dalam bentuk Inpres Pembangunan Desa. Dalam perkembangan
5
selanjutnya, ketika mulai diberlakukan otonomi daerah, ADD kemudian
dialokasikan melalui APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
6Alokasi Dana Desa dalam APBD kabupaten / kota dianggarkan pada
bagian pemerintah desa. Pemerintah desa membuka rekening pada bank yang
ditunjuk berdasarkan keputusan Kepala Desa. Kepala Desa mengajukan
permohonan penyaluran Alokasi Dana Desa kepada Bupati c.q Kepala Bagian
Pemerintah Desa Sekretariat Daerah Kabupaten/ Kota melalui Camat setelah
dilakukan verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintah desa
pada Setda Kabupaten/ Kota akan meneruskan berkas permohonan berikut
lampirannya kepada Kepala Bagian Keuangan Setda Kabupaten/ Kota atau
Kepala Badan Pengelola Keuangan (BPKD) atau Kepala Badan Pengelola
Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (BPKKAD). Kepala bagian keuangan Setda
atau Kepala BPKD atau Kepala BPKKAD akan menyalurkan Alokasi Dana Desa
langsung dari kas daerah ke rekening Desa. Mekanisme pencairan Alokasi Dana
Desa dalam APBDesa dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan
kemampuan dan kondisi daerah Kabupaten/ Kota.
7Kucuran dana yang besar ke desa tentu akan berpengaruh besar pada
perubahan wajah desa. Tidak saja infrastruktur, tetapi program-program
penguatan ketahanan ekonomi masyarakat juga bisa dikembangkan. Desa akan
6
Moch. Solekhan,
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
(Malang: Setara Press: 2014) 87
7menjadi basis pembangunan. Desa akan menjadi wilayah otonomi yang terkait
langsung dengan kehidupan warga.
Dewasa ini, Kebijakan Alokasi Dana Desa telah diimplementasikan
berdasarkan payung hukum UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diikuti
dengan ditetapkannya aturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 2014 tentang Peraturan pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014, serta
Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa,
memberikan jaminan otonomi kepada pemerintah desa lebih besar dari yang
sebelumnya. Dengan harapan pemerintah desa berperan aktif dalam pembangunan
desa.
Lebih lanjut prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa
berdasarkan ketentuan Permendesa No. 5 pasal 5 Tahun 2015, yakni Prioritas
penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai
tujuan pembangunan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, Melalui:
pertama,
Pemenuhan kebutuhan dasar,
kedua
yaitu Pembangunan sarana dan prasarana
desa,
ketiga
Pengembangan potensi ekonomi lokal dan
keempat
Pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
88
Ketentuan pasal tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Desa untuk
mengalokasikan dana perimbangan yang diterima Kabupaten kepada Desa dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya pemerataan. Dalam hal ini
Pemerintahan Desa memiliki peranan yang signifikan dalam pengelolaan proses
sosial di dalam masyarakat. tugas utama yang harus diemban Pemerintahan Desa
adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokrasi, dan memberikan pelayanan
sosial yang baik, sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang
sejahtera, tentram, aman, dan berkeadilan.
Guna mewujudkan tugas tersebut, pemerintah desa dituntut untuk
melakukan perubahan yang serius, apakah dari segi kepemimpinan, kinerja
birokrasi yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dan bermakna
sehingga kinerja pemerintahan desa benar-benar semakin mengarah pada praktek
good governance
bukan
bad governance.
9Untuk mendorong terwujudnya tata pemerintahan desa yang baik
seharusnya diletakkan pada level desa perlu dibangun
good governance
yang
memungkinkan keterlibatan seluruh elemen desa dalam urusan publik,
penyelenggaraan pemerintahan, dan merumuskan kepentingan desa. Sebab
demokratisasi proses penyelenggaraan pemerintahan desa bisa terbentuk melalui
perluasan ruang publik, pengaktifan kelompok-kelompok sosial dan forum-forum
9
warga serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan
self helf
kelompok, tetapi juga sebagai wahana
awareness
warga,
civic engagement
dan
pertisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas. Dengan berbasiskan
pada model ini, maka pembuatan keputusan dan rumusan kepentingan desa tidak
ditentukan oleh elit desa yang terbatas, melainkan dilakukan oleh komunitas desa
secara partisipatif.
10Selain itu, dalam konsep
good governance, pemerintah desa merupakan
salah satu elemen (stakeholder) dari sekian banyak
stakeholder
dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Stakeholder
yang lain tersebut adalah BPD
(sebagai representasi masyarakat politik), public sector (elemen masyarakat sipil,
seperti: desa adat, LSM, dan kelompok-kelompok sosial), serta
private sector
(elemen masyarakat ekonomi). Dalam pergeseran paradigmatik dari konsep
government
ke
governance
tersebut, maka proses penyelenggaraan pemerintahan
desa seharusnya bersendikan pada
trustee
(saling kepercayaan), dan
partnership
(kemitraan)
antar
elemen
dalam
masyarakat
(stakeholders).
Karena
bagaimanapun, setiap persoalan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan tidak bisa dipecahkan hanya oleh Pemerintah Desa semata. Oleh
karena itu, Pemerintah Desa harus bekerjasama dengan elemen masyarakat yang
lain berdasarkan prinsip kemitraan.
1110
Ibid., 30
11
Dalam proses implementasi kebijakan alokasi dana desa terjadi interaksi
antara masyarakat dengan instansi penyelenggara pemerintah desa. Faktor yang
menunjang bekerhasilan implementasi kebijakan yang lebih berpihak kepada
kesejahteraan masyarakat akan terkait dengan interaksi antar aktor yang tercipta.
Dan juga, bahwa kebijakan publik yang paling efektif adalah produk sinergi
interaksional dari beragam aktor atau institusi.
Dari perspektif interaksi anggaran dilihat sebagai ruang perebutan
berbagai aktor yang terlibat seperti eksekutif, legislatif dan kelompok masyarakat.
Posisi masyarakat dalam penganggaran masih lemah yang seringkali menciptakan
rumusan anggaran timpang dan pengalokasian anggaran kurang berpihak pada
masyarakat.
12Di lihat dari data yang ada hanya segelintir aktor yang memainkan
peranannya di sistem pemerintahan Desa Gemarang. Terbukti tidak ikut serta
masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol dana desa. Bahkan banyak
masyarakat Desa Gemarang yang tidak mengetahui tentang persoalan dana desa
yang mereka peroleh untuk mensejahterakan desa mereka baik dari sistem,
infrastruktur maupun sumber daya yang ada di Desa Gemarang tersebut.
12
Menurut hasil observasi awal peneliti sebenarnya secara idealnya ada
Pendamping Lapangan di Desa Gemarang namun tidak terlaksana dengan baik.
Karena domisili pendamping lapangan tidak berada di Desa tersebut. Selain
permasalahan tentang Aktor tersebut di atas ada permasalahan krusial yang
menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu tentang alokasi dana desa. Dana alokasi
dana desa yang di bagi kesetiap Dusun yang ada di Desa Gemarang dibagikan
secara merata tanpa harus melihat terlebih dahulu kebutuhan di setiap Dusun.
Karena melihat dari data lapangan di setiap Dusun tentunya mempunyai
kebutuhan yang berbeda pula. Walaupun dibagi secara merata pembangunan yang
ada di Desa tersebut banyak yang terkendala, penyebabnya karena pembangunan
infrastrukur yang dilakukan tidak terfokus pada apa yang dibutuhkan terlebuh
dahulu. Terlebih lagi infrastruktur yang ada di Desa tersebut tergolong jelek.
Jika melihat dari permasalahan tersebut ada keterkaitan yang mendalam,
dimana keberadaan Pendamping Lapangan sangat berguna untuk mengontrol
implementasi alokasi dana desa agar tepat sasaran.
Dari penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul
“Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, serta untuk
menjelaskan lebih lanjut tentang interaksi aktor dalam implementasi kebijakan
alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.
Maka dalam penelitihan ini, Peneliti mengangkat permasalahan yang dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana interaksi aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di
Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun?
2. Faktor apa saja yang menghambat interaksi aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang
Kabupaten Madiun?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalahan yang diteliti, dapat disusun tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana
desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.
2.
Memberikan gambaran dan mengidentifikasi faktor yang menghambat
interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa
D.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat di ambil dari dilaksanakannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
a.
Bagi peneliti lain
1)
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang politik terutama interaksi aktor dalam
implementasi kebijakan alokasi dana desa.
2)
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengembangan
lebih lanjut.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi
Universitas Islam Negeri Surabaya untuk memperkaya hasil penelitian. Serta
Memberikan pengetahuan,
wawasan
dan informasi kepada masyarakat tentang
Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di
Desa
E.
Definisi Konseptual
Interaksi adalah pengaruh timbal balik; saling mempengaruhi satu sama
lain.
13Aktor adalah
agency
budaya, disatu sisi aktor merupakan penerus nilai-nilai
budaya politik yang tumbuh dan berkembang di ranah lokal. Namun, disisi lain
aktor juga merupakan produsen (kreator) budaya, dimana perilaku politik aktor
mempengaruhi perubahan dan kesinambungan nilai-ilai budaya politik lokal.
14Implementasi kebijakan secara luas didefinisikan sebagai “apa yang terjadi
antara penetapan tujuan yang jelas pada pihak pemerintah untuk melakukan
sesuatu, atau berhenti melakukan sesuatu, dan dampak utama dalam
dunia aksi”.
15Alokasi dana desa adalah adalah dana untuk desa yang ditetapkan melalui
Peraturan Bupati/Walikota yang paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah.
16Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
13
Windy Novia,
kamus ilmiah popular
(Pustaka Gama: 2016) 211
14
http://digilib.unila.ac.id/2171/9/BAB%20II.pdf
15Frank Fischer, Gerald J. Miller
Handbook Analisis Kebijakan Publik
(Bandung: Nusa
Media: 2015), 74
16
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU No. 32 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 12).
17F.
Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian memilih secara sengaja lokasi penelitian di Desa Gemarang,
Kecamatan Gemarang, Kabuaten Madiun dengan pertimbangan bahwa
Peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang
Kabupaten Madiun. Alasan memilih lokasi penelitian tersebut dikarenakan
Pertimbangan obyektif Desa Gemarang merupakan salah satu dari beberapa
desa di Kabupaten Madiun yang merencanakan dan melaksanakan kebijakan
alokasi dana desa khususnya pada tahun 2016. Di lihat dari data yang ada
hanya segelintir aktor yang memainkan peranannya di sistem pemerintahan
Desa Gemarang. Terbukti tidak ikut serta masyarakat dalam mengawasi dan
mengontrol alokasi dana desa. Bahkan banyak Masyarakat Desa Gemarang
yang tidak mengetahui tentang persoalan alokasi dana desa yang mereka
peroleh untuk mensejahterakan desa mereka baik dari sistem infrastruktur
maupun sumber daya yang ada di Desa Gemarang tersebut.
Menurut hasil observasi awal peneliti sebenarnya secara idealnya ada
Pendamping Lapangan di Desa Gemarang namun tidak terlaksana dengan
17
baik. Karena domisili pendamping lapangan tidak berada di desa tersebut.
Selain permasalahan tentang Aktor tersebut di atas ada permasalahan krusial
yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu tentang Alokasi dana desa.
Alokasi dana desa yang di bagi kesetiap Dusun yang ada di Desa Gemarang
dibagikan secara merata tanpa harus melihat terlebih dahulu kebutuhan di
setiap Dusun. Karena melihat dari data lapangan di setiap Dusun tentunya
mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Walaupun dibagi secara merata
pembangunan yang ada di desa tersebut banyak yang terkendala, penyebabnya
karena pembangunan infrastrukur yang dilakukan tidak terfokus pada apa
yang dibutuhkan terlebuh dahulu. Terlebih lagi infrastruktur yang ada di Desa
tersebut tergolong jelek.
Pertimbangan subyektif penelitian ini karena keahlian dan disiplin ilmu
peneliti berkesesuaian dengan masalah tersebut, peneliti memiliki kemampuan
teoritik yang memadai mengenai masalah tersebut, dan juga waktu dan biaya
pendukung untuk meneliti masalah tersebut dapat dijangkau oleh peneliti.
182. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang
digunakan merupakan data Kualitatif (data yang tidak terdiri dari
angka-18
angka) melainkan berupa gambaran dan kata-kata.
19Sedangkan jenis
penelitian ini adalah jenis
case study, artinya penelitian ini berangkat dari
studi kasus di lapangan, yang bertujuan untuk memperoleh data yang relevan.
Dimana penulis akan meneliti satu individu atau unit sosial tertentu secara
lebih mendalam. Dengan begitu, penulis berusaha untuk menemukan semua
variabel penting yang terkait dengan diri subyek, penyebab tejadinya hal
tersebut, perilaku keseharian subyek, dan alasan perilaku itu dilakukan, serta
bagaimana perilaku berubah dan penyebab terjadi perubahan perilaku tersebut.
Karena banyaknya informasi yang akan digali dalam penelitian dengan
menggunakan studi kasus ini, dengan sendirinya batas waktu yang dibutuhkan
peneliti cukup lama. Hal tersebut karena peneliti harus mengumpulkan data
tentang kondisi subyek masa kini, situasi yang sama pada masa lalu,
alasan-alasan mengapa situasi ataupun kondisi subyek berubah, pengalaman subyek
masa lalu, lingkungan sekitarnya, dan yang lebih rumit adalah keterkaitan
faktor-faktor tersebut antara satu sama lainnya.
20Adapun tipe studi kasus yang dipakai adalah studi kasus intrinsik,
dimana studi kasus ini menekankan pada pemahaman (verstehen) yang
mendalam terhadap kasus tunggal yang disebabkan kasus tersebut menarik.
19
Jalaluddin Rahmat,
Metode Penelitian Komunikasi, (Remaja Rosdakarya, Bandung:
2000) l 36.
20
Untuk menekankan pada
kepentingan intrinnsik dan menghilangkan
generalisasi, serta tidak dimaksudkan untuk membentuk teori baru.
213. Fokus Penelitian
Sebagaimana yang digambarkan dalam perumusan masalah dan tujuan
penelitian, maka fokus penelitian ini adalah:
a.
Interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di
Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.
b.
Faktor yang menghambat dalam interaksi Aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang
Kabuparten Madiun.
4. Sumber Data
Sumber data yang pertama yaitu primer, dalam hal ini adalah
informan, yang dimaksudkan informan dalam penelitian adalah segenap
jajaran perangkat desa. Selain itu, informan yang juga dirasa representatif
dalam penelitian ini.
Adapun informannya adalah:
1. Kepala Desa Gemarang, Ibu Suprapti dimana biasanya diwakilkan oleh
Wisang Wijaya selaku PLT Sekretaris Desa, Koordinator PTPKD, Kabid
21
Pemerintahan. Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang
implementasi dari pihak Eksekutif.
2. Ketua BPD Desa Gemarang, Bapak Purwadi selaku ketua BPD Desa.
Informan ini berguna sebagai representasi masyarakat politik.
3. Sektor publik (elemen masyarakat sipil, seperti: tokoh masyarakat, LSM,
dan kelompok-kelompok sosial)
Juga seluruh perangkat Desa Gemarang. Tidak lupa elit politik lainnya
yang juga bisa dijadikan informan adalah mereka yang memang tidak masuk
kepengurusan perangkat Desa Gemarang tetapi memiliki pengaruh besar
terhadap Desa Gemarang.
Teknik yang digunakan dalam pemilihan informan menggunakan
Sampling Purposive, artinya teknik penentuan sumber data dipertimbangkan
terlebih dahulu, bukan diacak. Artinya menentukan informan sesuai dengan
kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian.
22a. Sekunder
Yang kedua ini adalah sumber sekunder. Karena sesuatu dan lain hal,
peneliti tidak atau sukar memperoleh data dari sumber data primer, dan
mungkin juga karena menyangkut hal-hal yang sangat pribadi sehingga sukar
22
data itu didapat langsung dari sumber data primer. Oleh karena itu, sumber
data sekunder diharapkan dapat berperan membantu mengungkap data yang
diharapkan. Begitu pula pada keadaan semestinya yaitu sumber data primer
dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, sumber data sekunder dapat
membantu memberi keterangan, atau data pelengkap sebagai bahan
pembanding.
23Dalam penelitian ini jenis sumber data yang digunakan adalah
literatur dan dokumentasi. Sumber literatur adalah referensi yang digunakan
untuk memperoleh data teoritis dengan cara mempelajari dan membaca
literature yang ada hubungannya dengan kajian pustaka dan permasalahan
penelitian baik yang berasal dari buku maupun internet seperti jurnal online
dan artikel jurnal atau koran yang memuat berita tentang implementasi
kebijakan. Sedangkan untuk dokumentasi sebagai tambahan, dimana bisa
berupa arsip Desa, dan lain sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain
diperoleh dengan cara:
a. Metode observasi non partisipan, Peneliti mengamati fenomena yang
relevan dengan pokok bahasan peneliti, yakni mengenai Interaksi Aktor
Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa Di Desa Gemarang
Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.
23
b. Adapun observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi
terus terang atau tersamar. Dalam hal ini peneliti dalam melakukan
pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa
sedang melakukan penelitian. Jadi mereka yang diteliti mengetahui sejak
awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat
peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi, hal ini untuk
menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih
dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan dengan terus terang, maka
peneliti tidak akan diijinkan untuk melakukan observasi.
24c. Metode wawancara, Peneliti langsung terjun ke lapangan, dengan cara
menanyakan terhadap informan terkait interaksi aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang
Kabupaten Madiun. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara semiterstruktur, dengan tujuan dari wawancara jenis ini adalah
untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang
diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan
wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa
yang dikemukakan oleh informan.
2524
Sugiyono,
Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan
R&D, (Bandung: Alfabeta: 2012) 312
25
d. Metode dokumentasi, Dalam penelitian ini, menggunakan dokumen yang
berbentuk tulisan berupa peraturan dan atau kebijakan sebagai bahan bukti
data yang relevan dengan penelitian.
6. Informan
Informan yang dipilih oleh peneliti dari pihak pemerintah pelaksana
implementasi kebijakan alokasi dana desa Desa Gemarang, Kecamatan
Gemarang, Kabupaten Madiun adalah:
a. Bapak Wisang Wijaya (Plt. Sekertaris Desa/ Kabid Pemerintahan/ Ketua
PTPKD)
b. Bapak Purwadi (Ketua BPD)
c. Ibu Sri Kanis (Anggota BPD)
d. Bapak Santuso (Ketua RT)
e. Bapak Yahmo (Masyarakat)
Sebagaimana informan dari pihak elit pemerintah Desa Gemarang,
Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun, informan dari pihak masyarakat
Desa Gemarang juga dipilih dengan sengaja. Adapun informan yang dipilih
dari pihak masyarakat Desa Gemarang adalah Bapak Parni (Tokoh
7. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode atau model interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama,
yaitu dengan menggunakan Reduksi Data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/ verivikasi. Yang pertama pengumpulan data yakni peneliti
melakukan proses pengumpulan data dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang telah ditentukan sejak awal. Proses pengumpulan data
melibatkan sisi aktor (informan), aktifitas, latar atau konteks terjadinya
peristiwa. Sebagai “alat pengumpul data” (konsep
human instrument), peneliti
mengelola waktu, yang dimiliki, menampilkan diri dan bergaul di tengah
masyarakat yang dijadikan subyek penelitiannya.
26, yang kedua reduksi data,
dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis dari lapangan.
27yang ketiga penyajian data, dimana
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan mencermati penyajian data
ini, peneliti memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.
Dan yang keempat verivikasi dan penarikan kesimpulan yang dimaknai
26
Muhammad Idrus,
Metode Penelitian Ilmu Social Pendekatan Kualitatif Dan
Kuantitatif
(Erlangga: Jakarta 2009)147-148
27
sebagai penarikan arti data yang telah ditampilkan. Pemberian marti data
disini tentu saja sejauh pemahaman dan interpretasi yang dibuat peneliti.
288. Teknik Keabsahan Data
Teknik keabsahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Perpanjangan keikutsertaan, disini
keikut sertaan peneliti sangat
menentukan dalam pengumpulan data. Keikut sertaan tersebut tidak hanya
dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan
keikutsertaan pada latar penelitian.
b. Ketekunan/keajegan pengamatan, peneliti disini mencari secara konsisten
interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang
konsisten atau tentatif.
c. Triangulasi, teknik keabsahan data ini peneliti memanfaatkan sesuatu yang
lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu.
d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dimana peneliti mengekspos hasil
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan
rekan-rekan sejawat.
e. Uraian rinci, peneliti melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya
itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks
tempat penelitian diselenggarakan.
2928
G.
Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian dan penyajian yang telah
ada, ditemukan karya ilmiah baik berupa skripsi, thesis, dan buku yang sealur
dengan tema kajian penelitian ini. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan
penelitian ini adalah:
1. Surya Kusuma,
Studi Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa (Studi
Kasus Di Desa Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman), 2010. Tesis.
Program Studi S2 Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada.
30Hasil: Dalam proses pelaksanaan kebijakan alokasi dana desa di
Sinduadi masih terdapat kondisi dilematis atau inkonsistensi, seperti
penyaluran ADD yang seharusnya 4 (empat) kali turun ke desa atau
pertriwulan menjadi 2 (dua) kali atau persemester. Keterlambatan pihak
kabupaten dalam memberitahukan kepada desa jumlah dana ADD yang akan
diterima. Pelaksanaan kegiatan yang tidak melalui musyawarah, dan tidak
sesuainya rencana penggunaan ADD dengan Laporan Pertanggung
jawabannya. Dalam proses pelaksanaan kebijakan ADD di desa Sinduadi
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi pendukung maupun
penghambat/menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan ADD. Faktor
29
Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
2009) 327-337
30
tersebut adalah : faktor sumber daya yaitu sumber daya manusia maupun
sumber daya financial, faktor komunikasi yaitu sosialiasasi kebijakan, dan
faktor peran BPD Sinduadi dalam proses pelaksanaan kebijakan Alokasi
Dana Desa (ADD).
Fokus pembahasan dalam tesis ini tentang proses implementasi dan
pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Sinduadi
berdasarkan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 23/Per.Bup/ Tahun 2006
tentang Alokasi Dana Desa.
Jadi perbedaan thesis tersebut diatas dengan penelitian yang akan
penulis lakukan adalah dari fokus pembahasannya. Fokus pembahasan yang
akan peneliti lakukan adalah tentang interaksi Aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang.
2. Nama: Mohammad Zain A Gafur,
Inkonsistensi Penerapan Good
Governance Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa (Studi Di
Desa Marasipno Kecamatan Maba Tengah Kabupaten Halmahera Timur),
2011. Tesis. Program Studi S2 Magister Administrasi Publik, Universitas
Gadjah Mada.
31Hasil: proses perencanaan dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa Di
Desa Marasipno masih sangat jauh dari prinsip-prinsip pengelolaan Alokasi
31
Mohammad Zain A Gafur, “
Inkonsistensi Penerapan Good Governance Dalam
Dana Desa. Tidak jalanya prinsip pengelolaan Alokasi Dana Desa dari
tahapan perencanaan sampai dengan pelaksanaan dapat dilihat dari kurang
partisipasi, transparansi ,akuntabilitas dan kesetaraan dari masyarakat luas
yang berkepentingan dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa
Marasipno. Ketidakserasian antara perencanaan dan pelaksanaan dalam
pengelolaan ADD disebabkan juga karena kurangnya kesadaran masyarakat
atas pentingnya kebijakan tersebut serta sikap apatis dari aparat pemerintah
desa dan tidak adanya relevansi keberadaan Desa Marasipno sebagai
penyelenggaraan pemerintahan desa dalam perencanaan dan pelaksanaan
Alokasi Dana Desa.
Dalam tesis ini dipaparkan mengenai implementasi kebijakan dari
sudut pandang
good governance. Jadi perbedaan tesis tersebut di atas dengan
penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada implementasi kebijakan
dari sudut pandang
good governance. Sedangkan penelitian yang akan
penulis lakukan dengan melihat interaksi Aktor dalam implementasi
kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang.
H.
Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan penelitian ini diuraikan menjadi beberapa bab dan sub
bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami secara
BAB I :Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, fokus penelitian, metode penelitian,
penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan
BAB II : Berisi tentang Kajian Teori atau Kerangka Konseptual yang akan
menjelaskan tentang teori aktor, teori implementasi atas-bawah dan teori
good
governance.
BAB III: Setting penelitian yang meliputi setting lokasi, interaksi aktor
dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan
Gemarang Kabupaten Madiun.
BAB IV : Penyajian dan analisis data. Bab ini akan menjelaskan tentang
analisa interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa
Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun dan faktor penghambat
dalam interaksi aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa
Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritik
yang nantinya akan menunjang dalam analisis data. Beberapa teoritik tersebut
adalah teori aktor, Teori atas-bawah Dan teori
good governance, sebagai teori
penunjang dari implementasi kebijakan
A.
Studi Aktor
Di dalam pembahasan tentang kebijakan publik, Aktor mempunyai posisi
yang amat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi)
kebijakan itu sendiri. Interaksi Aktor dan kelembagaan inilah yang kemudian
menentukan proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas
kebijakan dalam makna yang lebih luas. Pada prinsipnya aktor kebijakan adalah
mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisis kebijakan
publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang
senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam
konteks analisis kebijakan publik.
1Secara lebih makro konsep Anderson adalah diungkap bahwa aktor
kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu
mempunyai konsern terhadap kebijakan. Mereka dapat terdiri dari aktor individu
1
maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan
tentang kebijakan publik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna aktor
dalam kaitannya dengan kebijakan publik selalu terkait dengan pelaku dan
penentu terhadap suatu kebijakan yang berinteraksi dan melakukan interrelasi di
dalam setiap tahapan proses kebijakan publik. Merekalah pada dasarnya yang
menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan dilakukan oleh birokrasi
yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung bersifat konfliktif
dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu sendiri.
2Dalam perspektif lain sebagaimana ditegaskan oleh Anderson bahwa
model atau tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses pembahasannya
dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga bentuknya, yaitu pola
kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding).
Anderson menegaskan bahwa proses
bargaining
dapat terjadi dalam tiga
bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and
give) dan kompromi (compromise). Sesungguhnya penjelasan
bargaining
berakar
pada istilah bahwa jika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang
masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan
penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem
pembahasannya. Dengan demikian negosiasi menjadi langkah awal untuk
membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan langkah negosiasi.
Setelah proses negosiasi antar aktor terjadi dalam posisi yang berbeda diantara
2
aktor, maka prinsip saling memberikan dan menerima kemudian mewarnai proses
pengambilan kebijakan yang dibahas dalam forum aktor yang terlibat. Pada
akhirnya proses itu akan berujung pada proses kompromistik dimana
masing-masing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide aktor yang
lainnya sehingga dapat diputuskan kebijakannya. Hal ini dalam pandangan
anderson dianggap sebagai bentuk
bargaining
dengan tipe yang eksplisit.
3Model persuasif (persuasion) merujuk pada istilah adanya polarisasi
kelompok aktor untuk meyakinkan (convince) kelompok aktor lain yang turut
bermain untuk menentukan kebijakan publik. Akumulasi proses keyakinan
kelompok aktor tersebut dapat mengubah keyakinan dan nilai serta usulan yang
ditawarkan oleh kelompok yang lain. Pola ini dalam pandangan Anderson banyak
terjadi pada tipe kebajikan yang relatif membutuhkan waktu yang lama untuk
mengubah keyakinan aktor yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lainnya. Adanya bentuk komplain dari komunitas masyarakat tertentu dapat
mendekati pola penyesuaian yang dianggap sebagai jalur intervensi persuasi.
4Sementara itu proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan
adanya pola hierarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut
sebagai pengarahan (commanding). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada
model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat
3
Ibid., 38
4
struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang
lain tentu saja menjadi subordinat.
Dalam proses
agenda setting
sebagaimana dijelaskan dalam perspektif
siklus kebijakan yang diungkap oleh Gupta, diperoleh keterangan bahwa para
pakar kebijakan memandang dan mengamati
agenda setting
kebijakan melalui
dua model
agenda setting, yaitu baik dalam bentuk pola kekuasaannya maupun
bagi para aktor kebijakan yang terlibat dalam proses tersebut.
5Model yang diungkap di atas adalah tidak lain merupakan model kebijakan
dalam ranah model
pluralist
dan
elitist. Pada model pluralis dalam proses
kebijakan dijelaskan bahwa struktur kekuasaan adalah berada pada kelompok
aktivis warga masyarakat. model ini pada prinsipnya tidaklah membuat adanya
jarak antara elit dan massa rakyat, melalui prinsip hierarki yang ada dalam mana
kelompok elit melakukan pengawasan terhadap berbagai agenda formal.
Kelompok elit politik dalam hal ini memegang otoritas yang cenderung bermotif
piramidal dari atas ke bawah, seperti kelompok elit berada pada puncak
organisasi, sedangkan birokrasi berada di tengah organisasi serta masyarakat
warga mempunyai tempat paling bawah dalam struktur tersebut.
6Pada sisi lain juga dapat dijelaskan bahwa perumusan keputusan juga
sangat berkaitan dengan apa yang diungkap oleh para pakar sebagai kekuasaan
yang sistemik (a systemic power). Stone menjelaskan bahwa dalam kaitannya
5
Ibid., 39
6
dengan
teori
stratifikasi
(stratification
theory),
perumusan
kebijakan
menempatkan suatu sistem yang mana para pejabat publik merumuskan suatu
kebijakan dalam konteks yang secara strategis mempunyai sumber daya yang
amat penting yaitu susunan hierarki (hierarchichally arrange). Oleh karena itu
berkenaan dengan kebijakan publik, maka para pejabat publik keberadaannya
amat bergantung pada kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Stone
menjelaskan bahwa perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar
daripada pendekatan kekuasaan sistemik dimana para pejabat publik berusaha
mengejar apa yang menjadi kepentingan mereka yang kemudian menghasilkan
suatu relasi dimana tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada
kepentingan strata yang paling rendah.
7Dalam pandangan Stoker terutama dengan menggunakan silogisme teori
urban rezim di dalam memahami aktor yang terlibat dalam proses kebijakan
mengungkapkan adanya empat kategori partisipan dalam proses perumusan
kebijakan yaitu kelompok bisnis (business), pejabat terpilih (elected officials),
kelompok organisasi masyarakat dan kelompok buruh (community and labor
organization), serta pejabat teknokrat (technocratic officials). Teori ini kemudian
diperluas oleh Clarke yang menjelaskan lebih detail tentang beberapa tipe rezim
yang relevan dengan basis teori rezim (regime theory
) yaitu “
entrepreneurial
rezimes, caretaker rezimes, activist
(player)
rezimes
”. Aktor inilah yang kemudian
7
menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan dari keseluruhan proses kebijakan
yang ada.
81.
Entrepreneurial rezimes
yaitu berdasarkan pada koalisi bisnis dan lembaga
pemilihan, bentuk ibukota-lembaga, pengambilan keputusan dengan metode
tertutup, serta hukum negara sebagai basis utama kelembagaan. Aktor-aktor
yang berinteraksi dengan kelompok bisnis meliputi walikota dan para birokrat
yang memiliki orientasi pertumbuhan dan pembangunan.
2. Dalam rezim dengan model
caretaker, basis kelembagaannya adalah pada
referensi warga serta partisipasi dalam bentuknya yang luas yang sengaja
dibangun berdasarkan hukum negara. Beberapa kelompok aktor yang terlibat
dalam model ini adalah Walikota Caretaker, kaum birokrat yang anti
kemapanan, kelompok postmaterialisme dan yang populis, yang
masing-masing berinteraksi dengan kelompok bisnis. Caretaker Walikota, birokrat anti
kemapanan, serta kelompok
post-materialist
adalah Aktor yang berinteraksi
dengan kelompok bisnis.
3. Rezim aktivis (pemain) yang menggunakan koalisi minoritas, menekankan
pada kebijakan afirmatif, partisipasi warga, lingkungan pemerintah, koalisi
kelompok, serta hukum negara sebagai kelembagaan pokok mereka yang
berbasis para aktivis di lingkungan di mana kebijakan itu dirumuskan. Aktor
yang terlibat dalam konteks ini adalah walikota dengan kelompok minoritas,
kelompok post-materialis yang berinteraksi dengan kelompok bisnis.
8
4.
Rezim Stewardship
menggunakan koalisi kelompok, partisipasi warga, serta
hukum negara sebagai basis kelembagaan mereka dan para aktor yang terlibat
adalah kelompok bisnis dan kelompok populis fiskal serta broker walikota.
5. Pada rezim progresif (progressive rezimes) mereka menggunakan basis
kelembagaan sebagai koalisi pemilihan minoritas, kebijakan “
affirmative-action
”, distrik dengan anggota tunggal, pemerintah yang berdekatan, seperti
hukum negara. Pada rezim ini para aktor yang berinteraksi dengan kelompok
bisnis adalah kelompok
social justice mayors
dan kelompok aktivis.
6. Dan terakhir, yaitu rezim sisi permintaan (demand-side rezimes) yang basis
kelembagaan utamanya adalah organisasi (neighborhood organizations,
single-member district, and state laws). Para Aktor yang terlibat adalah
kelompok
caretaker mayors, birokrat yang anti kemapanan, serta kelompok
post-material.
Dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahami
berbagai Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan
konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang
akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor
yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar
yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang
lain adalah kelompok di luar birokrasi (un-official policy makers). Anderson.
kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal seperti
badan-badan administrasi pemerintah yang meliputi eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, sementara itu kelompok non formal dapat terdiri dari:
91. Kelompok kepentingan (interest groups), seperti kelompok buruh dan
kelompok perusahaan;
2. Kelompok partai politik;
3. Warga negara individual.
Kelompok besar tersebut jika dianalisis secara lebih detail maka Aktor
kebijakan yang seringkali terlibat dalam proses perundingan dan pengambilan
kebijakan internal birokrasi dapat berupa:
101. Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu (authoritative);
2. Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi.
Yang pertama adalah relevan dengan konsep yang selalu melibatkan tiga
oknum penting di dalamnya yaitu lembaga Legislatif, Eksekutif Dan Yudikatif.
Sedangkan kelompok ke dua adalah mereka yang secara serius seringkali terlibat
di luar kelompok tersebut baik secara langsung mendukung ataupun menolak hasil
kebijakan yang ada. Pada kelompok kedua inilah seringkali wujudnya dapat
9
Ibid., 41-42
10
berupa kelompok kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau
enterpreneur
serta para intelektual yang ada.
11Dalam kaitannya dengan aktor yang terlibat dalam diskusi masalah
kebijakan yang bersifat protektif seperti terhadap kebijakan interaksi regional,
maka Ripley menjelaskan beberapa karakteristik konteks kebijakan yang bersifat
[image:44.595.113.513.258.612.2]protektif tersebut, seperti pada tabel:
Tabel 2.1
Karakteristik aktor dalam konteks kebijakan
12Tipe
Kebijakan
Aktor Utama
Relasi Antar
Aktor
Stabilitas
Relasi
Tingkat
Konflik
Diantara
Aktor
Kebijakan
yang bersifat
protektif
(protective
policy)
Birokrasi
pemerintah
federal dan pusat,
kelompok
kepentingan
(pengusaha)
kepentingan
konsumen dan
badan kongres
Birokrat
cenderung lebih
dekat dengan
seperangkat
kepentingan yang
saling
berkompetisi.
Relasi antaraktor
berdasarkan
kesepakatan dan
juga
ketidaksepahaman
relasional berbasis
ideology
Tidak
stabil
(unstable)
Sedang
(moderate),
dengan
beberapa
insiden
demonstratif
yang bisa
saja muncul
tiap saat.
Berbagai bentuk kelompok kepentingan tersebut kemudian dalam
praktiknya seringkali dibentuk dan diadakan dengan maksud dan kepentingan
11
Ibid., 42
12
untuk meningkatkan kualitas apa yang diwakilkan kepadanya, sehingga dapat
memberikan kontribusi pada kelompok yang diwakilinya secara lebih optimal.
Kepentingan yang diwakili dalam dimensi organisasi dan kolektivitas dan ekstra
organisasi dapat memberikan nuansa kepentingan yang lebih adaptif ketimbang
kepentingan yang hanya memperhatikan kepentingan diri dan kelompoknya saja.
Hal ini dapat dipahami bahwa meskipun berbagai desakan kepentingan diberikan
pada
proses
perumusan
masalah
kebijakan,
maka
secara
pragmatis
keseluruhannya ditentukan oleh sejauhmana kelompok kepentingan memberikan
tekanan pada otoritas kebijakan dalam perspektif arena kebijakan untuk
menyuarakan aspirasi dan kepentingannya. Dengan cara seperti ini diharapkan
menjadi referensi di dalam menjembatani ragam kepentingan yang terkait dengan
kebijakan tertentu.
13B. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan
Selanjutnya, teori elit menegaskan bahwa ialah yang bersandar pada
kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas yang
mencakup:
1) Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah
13
2) Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
14Konsep dasar teori yang lahir di eropa ini mengemukakan bahwa di dalam
kelompok penguasa (the ruling class) selain ada elit yang berkuasa (the ruling
elite) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika
elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini,
massa memegang sejenis control jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena
mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bias diharapkan
mereka akan menggunakan pengaruhnya.
15Pareto (1848-1923) percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh
sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi
kehadiran mereka pada kekuasaan social dan politik yang penuh. Mereka yang
bias menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik.
Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil,
yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat.
16
Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan
masyarakat yang berbeda itu umumnya dating dari kelas yang sama; yaitu
orang-orang yang kaya dan juga pandai, karena itu menurut pareto masyarakat terdiri
dari 2 kelas: 1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah
14
Sp.Varma,
teori politik modern, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2010) 197
15Ibid., 197-198
16(governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elite), 2) lapisan
yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya
pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bias
menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat
penting.
17Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan pergantian elite.
Karakteristik yang membedakan elite adalah “kecakapan untuk mem
impin dan
menjalankan kontrol politik”, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan
kecakapannya dan orang-orang di luar kelas tersebut menunjukkan kecakapan
yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa
akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya
pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elite yang berkuasa, tidak lagi
mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan
yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau
terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat
maka perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.
18Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan
cara yang terorganisir, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di
belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dari individu-individu yang
17
Ibid., 200
18
superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan
kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elite lebih dekat
lagi dengan mengenali peran “kekuatan sosial” tertentu. Ekspresi yang
digunakannya bagi “elite bukan pemerintah”nya Pareto, dalam mengimbangi dan
membatasi pengaruh “kekuatan sosial lainnya” Mosca memperkenalkan konsep
“sub
-eli
t” yang pada prakteknya berisikan seluruh “kelas menengah baru” dari
para pegawai sipil, para manajer industry, ilmuan dan mahasiswa serta
menganggapnya sebagi elemen vital dalam mengatur masyarakat. “stabilitas
organisasi politik apapun” tulisnya, “tergan
tung pada tingkat moralitas,
kepandaian dan aktivitas yang diusahakan oleh kedua ini”
19Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai “formula
politik”. Formula politik ini sama dengan “penyerapan”
-nya Pareto. Dia percaya
bahwa dalam setiap masyarakat , elit yang memerintah mencoba menemukan
basis moral dan hokum bagi keberadaanya dalam benteng kekuasaan serta
mewakilinya sebagai “konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin
-doktrin dan
kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal
dan diterima”.
Formula politik mungkin tidak dapat, dan biasanya memang tidak, membentuk
kebenaran absolut. Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang
dapat diterima oleh masyarkat. Mosca belum siap enerima kenyataan bahwa tak
ada sesuatu pun selain perwakilan sederhana dan jelas yang dengan cerdik diatur
19
oleh kelas penguasa untuk menipu massa kedalam keragu-raguan. Kenyataan
bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, meskipun dirumuskan sesuai
kepentingannya sendiri, dikemukaakan dalam bentuk yang sebaliknya dengan
maksud memberikan kepuasan moral dan hokum yang terkemas didalamnya.
Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambkan suatu
perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya baru orang yang
diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan
fisik. Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik,
rakyat dan peradaban. Oleh karenanya Mosca memahaminya sebagai suatu
instrument kohesi moral.
20Menurut Larry Diamond, pendekatan kontingensi elite telah jauh
meninggalkan elemen struktur kesempatan dan jalinan berbagai elemen social
politik yang bekerja sepanjang sejarah dan yang mestinya bias diprediksi
sebelumnya. Sementara itu, dalam pandangan Sydney Tarrow pendekatan tersebut
mengabaikan elemen mobilisasi aksi kolektif massa. Torres kemudian
membangun argument bahwa demoratisasi dapat dilihat dari lingkaran mobilisasi
dan interaksi strategis antara elite dan massa yang saling memperkuat “struktur
kesempatan” dalam masyar
akat politik dan sipil. Struktur kesempatan inilah bias
20
muncul menjadi sebuah “kekuatan pendorong” bagi aktor
-aktor oposan untuk
melawan rezim.
21Penekanan yang berlebihan pada variable transaksi elite dalam proses
transisi telah menimbulkan kritik karena mengabaikan dimensi struktur
ekonomi-politik dan kultural yang melingkupinya. Dalam realitasnya, interaksi ekonomi-politik di
masa tidak berhenti pada kebutuhan untuk membangun model-model transaksi
elite, namun ditandai oleh peran penting legitimasi demokrasi dalam interaksi
kepentingan antar berbagai aktor.
22Linz dan Stephan (1996) menyebutkan bahwa arena
polity
ditandai oleh
kehadiran empat aktor utama: pertama,
the state
yang dalam beberapa literatur
ditempatkan sebagai
public agency. Kedua,
political society, yang di dalamnya
terdapat partai politik. Ketiga,
economic society, yang selalu bergerak dalam
logika-logika kapital dan pasar. Keempat,
civil society, yang memiliki
karakteristik keswadayaan (voluntarisme) dan mandiri dari pengaruh Negara.
23Meminjam kerangka pemikiran Tornquist, Erawan menyebutkan bahwa
ada dua prasyarat penting dalam proses representasi: pertama, perubahan konsepsi
tentang Negara dari arena politik elitis yang terputus dengan agenda keseharian
rakyat menjadi ranah publik yang dibentuk untuk mengabdi kepada rakyat dan
21
R.Siti Zuhro, Ari Dwipayana,
Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi
(Ombak, Yogyakarta, 2009) 19
22
Ibid 19
23
menjamin keadilan. Kedua, pemaknaan baru tentang Rakyat menjadi
demos.
Ketiga, berkenaan dengan
formalistic representation, Hannah Pitkin(1967)
menyatakan perlunya menghadirkan kembali peran masyarakat agar suara, opini
dan perspektif mereka dapat mewarnai proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan public. Menurut Pitkin, untuk menghadirkan kembali
formalistic
representation
tersebut dapat dilakukan dalam dua dimensi, yakni
authorization
dan
accountability. Keempat, dalam hal
representasi alternative
perlu dilakukan
upaya penguatan basis legitimasi, pengorganisasian dan evektivitas serta
pembangunan sinergitas dengan lembaga representasi politik formal.
24Selain Tornquist, beberapa kerangka analisis yang disampaikan oleh Linz
dan Stephan dan Diamond bergerak ke luar dari kuadran transaksi agen-elit
dengan mengemukakan lima arena yang harus berjalan simultan dalam proses
konsolidasi demokrasi. Pertama, masyarakat politik yang relatif mandiri dan
bermakna. Ke