• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERAKSI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA : STUDI KASUS DESA GEMARANG KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERAKSI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA : STUDI KASUS DESA GEMARANG KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Al Fais (E84212072),

INTERAKSI AKTOR DALAM IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA (Studi Kasus Desa Gemarang

Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun)

.

Fokus penelitian adalah (1) Bagaimana interaksi aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten

Madiun? (2) Faktor apa saja yang menghambat interaksi aktor dalam

implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan

Gemarang Kabupaten Madiun?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan Jenis

penelitian

case study, dan pengumpulan data dilakukan melalui observasi

partisipan, adapun observasi yang dilakukan termasuk jenis observasi terus terang

atau tersamar, wawancara semi terstruktur dan dokumentasi. Informan penelitian

ditetapkan secara

sampling purposive. Analisis data menggunakan analisis model

interaktif. Sedangkan keabsahan data menggunakan perpanjangan keikutsertaan,

ketekunan/ keajegan, triangulasi, pemeriksaan sejawat dan uraian rinci,

Hasil penelitian ini menunjukkan Aktor yang berperan penting dalam

implementasi kebijakan alokasi dana desa yaitu hanya segelintir Elite Desa seperti

Perangkat Desa, peran legislatif yang disandang oleh BPD tidak dilaksanakan

dengan maksimal dan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam alokasi dana

desa kurang. Faktor yang menghambat interaksi aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten

Madiun diantaranya: Sumber daya manusia yang rendah, Lemahnya pengawasan,

Minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I :

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 11

E.

Definisi Konsep ... 12

F.

Metode Penelitian... 13

1.

Lokasi Penelitian ... 13

2.

Pendekatan dan jenis penelitian ... 14

3.

fokus Penelitian ... 16

4.

Jenis dan Sumber Data ... 16

5.

Teknik Pengumpulan Data ... 18

6.

Informan ... 20

7.

Teknik Analisi Data ... 21

8.

Teknik Keabsahan Data ... 22

G. Penelitian Terdahulu... 23

H. Sistematika Penulisan... 25

BAB II : KAJIAN TEORITIK... 27

1.

Studi Aktor ... 27

2.

Interaksi Aktor Dalam implementasi Kebijakan ... 36

3.

Karakteristik Interaksi Aktor... 43

4.

Tipologi Interaksi Aktor ... 44

(8)

6.

Good governance

... 48

BAB III :SETTING PENELITIAN ... 51

A. Setting Lokasi ... 51

1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 51

a. Sejarah Desa ... 51

b. Letak Geografis Desa ... 52

c. Letak Demografi Desa ... 52

2. Kondisi Ekonomi ... 53

a. Penduduk ... 53

b. Sarana Dan Prasarana ... 54

1) Fasilitas Pendidikan ... 54

2) Fasilitas Peribadatan ... 56

c. Karakteristik Perekonomian Desa ... 57

3. Kondisi Sosial Dan Keagamaan ... 59

4. Kondisi Interaksi Sosial ... 60

B. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan ... 61

1. Aktor Internal Birokrasi ... 62

a. Elit Politik... 62

b. Perangkat Desa ... 62

2. Aktor Eksternal ... 65

a. Tokoh Masyarakat ... 66

b. Masyarakat ... 66

BAB IV :PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA... 69

A. Penyajian data ... 69

1. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi

Dana Desa ... 69

2. Faktor Yang Menghambat implementasi aktor dalam

implementasi kebijakan alokasi dana desa... 72

a. Sumber daya manusia ... 72

b. Lemahnya pengawasan ... 74

c. Minimnya Partisipasi Masyarakat ... 76

B. Analisa Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan

Alokasi Dana Desa ... 77

1. Tahap Perencanaan ... 78

2. Tahap pelaksanaan ... 83

(9)

BAB V :PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan kebijakan dalam upaya

memberikan ruang gerak masyarakat di tingkat lokal agar bisa lebih

meningkatkan partisipasi dalam mewujudkan tatanan sosial yang demokratis agar

masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan dapat terwujud. Asumsinya

adalah ketika kekuatan-kekuatan lokal diberi ruang dalam proses politik, akan

terbentuk tata pemerintahan yang baik karena masyarakat lokal bisa

menyelenggarakan pemerintahan sendiri, terjadi partisipasi publik dan

transparansi. Kekuatan lokal merupakan bagian dari kemajemukan yang akan

mendorong terwujudnya masyarakat demokratis sejauh kesadaran tertib sosial

(civility) merupakan semangat dari penguatan masyarakat warga (civil society)

menjadi pijakan utamanya. Lokalitas akan menjadi destruktif bila negara dan

kekuatan-kekuatan sosial tidak mampu memfasilitasi.

1

Meski relasi kuasa pusat dan daerah dalam negara kesatuan berjalan dalam

kerangka demokrasi, tetapi relasi kuasa tersebut menjadi isu penting ketika

1

(11)

diletakkan dalam konteks implementasi desentralisasi politik dan administrasi

yang berwujud otonomi daerah.

2

Dalam hal ini kewenangan desa merupakan

elemen penting dalam kajian otonomi desa. Kewenangan desa merupakan hak

yang dimiliki desa untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangga sendiri.

Berdasarkan sejarahnya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa memosisikan desa berada di bawah kecamatan dan kedudukan

desa diseragamkan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini

menghambat tumbuhnya kreatifitas dan partisipasi masyarakat desa setempat

karena mereka tidak dapat mengelola desa sesuai dengan kondisi budaya dan adat

dari desa tersebut.

3

Pada era reformasi diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah yang memberikan keleluasaan kepada desa untuk dapat

mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi adat dan budaya

setempat. Undang-Undang tersebut selanjutnya dipertegas dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa memuat tentang kewenangan

desa. Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut diharapkan dalam

pelaksanaannya sesuai dengan tujuan, yaitu mewujudkan otonomi desa agar desa

dapat mandiri dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

4

2

Siti Aminah,

Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal

(Jakarta: Kencana: 2014) 85

3

Adon Nasrullah Jamaludin,

Sosiologi Perdesaan

(Bandung: Pustaka Setia: 2015) 179

4

(12)

Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimaksudkan agar

daerah mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut

prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang

kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pemberian kewenangan otonomi harus berdasarkan asas

desentralisasi dan dilaksanakan dengan prinsip luas, nyata, dan bertanggung

jawab.

5

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam tugas pembantuan dari pemerintah,

pemerintah propinsi, dan / atau pemerintah kabupaten kepada desa harus disertai

dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Bahkan,

pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak

disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia.

Dengan demikian, intervensi dari pemerintah supradesa semakin bisa terkurangi.

Terkait dengan Alokasi Dana Desa (ADD), sebetulnya ini merupakan

program lanjutan dari dana bantuan desa sejak tahun 1969 yang disediakan oleh

Pemerintah Pusat dalam bentuk Inpres Pembangunan Desa. Dalam perkembangan

5

(13)

selanjutnya, ketika mulai diberlakukan otonomi daerah, ADD kemudian

dialokasikan melalui APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

6

Alokasi Dana Desa dalam APBD kabupaten / kota dianggarkan pada

bagian pemerintah desa. Pemerintah desa membuka rekening pada bank yang

ditunjuk berdasarkan keputusan Kepala Desa. Kepala Desa mengajukan

permohonan penyaluran Alokasi Dana Desa kepada Bupati c.q Kepala Bagian

Pemerintah Desa Sekretariat Daerah Kabupaten/ Kota melalui Camat setelah

dilakukan verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintah desa

pada Setda Kabupaten/ Kota akan meneruskan berkas permohonan berikut

lampirannya kepada Kepala Bagian Keuangan Setda Kabupaten/ Kota atau

Kepala Badan Pengelola Keuangan (BPKD) atau Kepala Badan Pengelola

Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (BPKKAD). Kepala bagian keuangan Setda

atau Kepala BPKD atau Kepala BPKKAD akan menyalurkan Alokasi Dana Desa

langsung dari kas daerah ke rekening Desa. Mekanisme pencairan Alokasi Dana

Desa dalam APBDesa dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan

kemampuan dan kondisi daerah Kabupaten/ Kota.

7

Kucuran dana yang besar ke desa tentu akan berpengaruh besar pada

perubahan wajah desa. Tidak saja infrastruktur, tetapi program-program

penguatan ketahanan ekonomi masyarakat juga bisa dikembangkan. Desa akan

6

Moch. Solekhan,

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

(Malang: Setara Press: 2014) 87

7
(14)

menjadi basis pembangunan. Desa akan menjadi wilayah otonomi yang terkait

langsung dengan kehidupan warga.

Dewasa ini, Kebijakan Alokasi Dana Desa telah diimplementasikan

berdasarkan payung hukum UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diikuti

dengan ditetapkannya aturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah No. 43

Tahun 2014 tentang Peraturan pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014, serta

Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa,

memberikan jaminan otonomi kepada pemerintah desa lebih besar dari yang

sebelumnya. Dengan harapan pemerintah desa berperan aktif dalam pembangunan

desa.

Lebih lanjut prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa

berdasarkan ketentuan Permendesa No. 5 pasal 5 Tahun 2015, yakni Prioritas

penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai

tujuan pembangunan desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan

kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, Melalui:

pertama,

Pemenuhan kebutuhan dasar,

kedua

yaitu Pembangunan sarana dan prasarana

desa,

ketiga

Pengembangan potensi ekonomi lokal dan

keempat

Pemanfaatan

sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

8

8

(15)

Ketentuan pasal tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Desa untuk

mengalokasikan dana perimbangan yang diterima Kabupaten kepada Desa dengan

memperhatikan prinsip keadilan dan menjamin adanya pemerataan. Dalam hal ini

Pemerintahan Desa memiliki peranan yang signifikan dalam pengelolaan proses

sosial di dalam masyarakat. tugas utama yang harus diemban Pemerintahan Desa

adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokrasi, dan memberikan pelayanan

sosial yang baik, sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang

sejahtera, tentram, aman, dan berkeadilan.

Guna mewujudkan tugas tersebut, pemerintah desa dituntut untuk

melakukan perubahan yang serius, apakah dari segi kepemimpinan, kinerja

birokrasi yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dan bermakna

sehingga kinerja pemerintahan desa benar-benar semakin mengarah pada praktek

good governance

bukan

bad governance.

9

Untuk mendorong terwujudnya tata pemerintahan desa yang baik

seharusnya diletakkan pada level desa perlu dibangun

good governance

yang

memungkinkan keterlibatan seluruh elemen desa dalam urusan publik,

penyelenggaraan pemerintahan, dan merumuskan kepentingan desa. Sebab

demokratisasi proses penyelenggaraan pemerintahan desa bisa terbentuk melalui

perluasan ruang publik, pengaktifan kelompok-kelompok sosial dan forum-forum

9

(16)

warga serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan

self helf

kelompok, tetapi juga sebagai wahana

awareness

warga,

civic engagement

dan

pertisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas. Dengan berbasiskan

pada model ini, maka pembuatan keputusan dan rumusan kepentingan desa tidak

ditentukan oleh elit desa yang terbatas, melainkan dilakukan oleh komunitas desa

secara partisipatif.

10

Selain itu, dalam konsep

good governance, pemerintah desa merupakan

salah satu elemen (stakeholder) dari sekian banyak

stakeholder

dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan desa.

Stakeholder

yang lain tersebut adalah BPD

(sebagai representasi masyarakat politik), public sector (elemen masyarakat sipil,

seperti: desa adat, LSM, dan kelompok-kelompok sosial), serta

private sector

(elemen masyarakat ekonomi). Dalam pergeseran paradigmatik dari konsep

government

ke

governance

tersebut, maka proses penyelenggaraan pemerintahan

desa seharusnya bersendikan pada

trustee

(saling kepercayaan), dan

partnership

(kemitraan)

antar

elemen

dalam

masyarakat

(stakeholders).

Karena

bagaimanapun, setiap persoalan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan tidak bisa dipecahkan hanya oleh Pemerintah Desa semata. Oleh

karena itu, Pemerintah Desa harus bekerjasama dengan elemen masyarakat yang

lain berdasarkan prinsip kemitraan.

11

10

Ibid., 30

11

(17)

Dalam proses implementasi kebijakan alokasi dana desa terjadi interaksi

antara masyarakat dengan instansi penyelenggara pemerintah desa. Faktor yang

menunjang bekerhasilan implementasi kebijakan yang lebih berpihak kepada

kesejahteraan masyarakat akan terkait dengan interaksi antar aktor yang tercipta.

Dan juga, bahwa kebijakan publik yang paling efektif adalah produk sinergi

interaksional dari beragam aktor atau institusi.

Dari perspektif interaksi anggaran dilihat sebagai ruang perebutan

berbagai aktor yang terlibat seperti eksekutif, legislatif dan kelompok masyarakat.

Posisi masyarakat dalam penganggaran masih lemah yang seringkali menciptakan

rumusan anggaran timpang dan pengalokasian anggaran kurang berpihak pada

masyarakat.

12

Di lihat dari data yang ada hanya segelintir aktor yang memainkan

peranannya di sistem pemerintahan Desa Gemarang. Terbukti tidak ikut serta

masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol dana desa. Bahkan banyak

masyarakat Desa Gemarang yang tidak mengetahui tentang persoalan dana desa

yang mereka peroleh untuk mensejahterakan desa mereka baik dari sistem,

infrastruktur maupun sumber daya yang ada di Desa Gemarang tersebut.

12

(18)

Menurut hasil observasi awal peneliti sebenarnya secara idealnya ada

Pendamping Lapangan di Desa Gemarang namun tidak terlaksana dengan baik.

Karena domisili pendamping lapangan tidak berada di Desa tersebut. Selain

permasalahan tentang Aktor tersebut di atas ada permasalahan krusial yang

menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu tentang alokasi dana desa. Dana alokasi

dana desa yang di bagi kesetiap Dusun yang ada di Desa Gemarang dibagikan

secara merata tanpa harus melihat terlebih dahulu kebutuhan di setiap Dusun.

Karena melihat dari data lapangan di setiap Dusun tentunya mempunyai

kebutuhan yang berbeda pula. Walaupun dibagi secara merata pembangunan yang

ada di Desa tersebut banyak yang terkendala, penyebabnya karena pembangunan

infrastrukur yang dilakukan tidak terfokus pada apa yang dibutuhkan terlebuh

dahulu. Terlebih lagi infrastruktur yang ada di Desa tersebut tergolong jelek.

Jika melihat dari permasalahan tersebut ada keterkaitan yang mendalam,

dimana keberadaan Pendamping Lapangan sangat berguna untuk mengontrol

implementasi alokasi dana desa agar tepat sasaran.

Dari penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul

“Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa

(19)

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, serta untuk

menjelaskan lebih lanjut tentang interaksi aktor dalam implementasi kebijakan

alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.

Maka dalam penelitihan ini, Peneliti mengangkat permasalahan yang dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana interaksi aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di

Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun?

2. Faktor apa saja yang menghambat interaksi aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang

Kabupaten Madiun?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalahan yang diteliti, dapat disusun tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana

desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.

2.

Memberikan gambaran dan mengidentifikasi faktor yang menghambat

interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa

(20)

D.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat di ambil dari dilaksanakannya

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

a.

Bagi peneliti lain

1)

Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang politik terutama interaksi aktor dalam

implementasi kebijakan alokasi dana desa.

2)

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengembangan

lebih lanjut.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi bagi

Universitas Islam Negeri Surabaya untuk memperkaya hasil penelitian. Serta

Memberikan pengetahuan,

wawasan

dan informasi kepada masyarakat tentang

Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di

Desa

(21)

E.

Definisi Konseptual

Interaksi adalah pengaruh timbal balik; saling mempengaruhi satu sama

lain.

13

Aktor adalah

agency

budaya, disatu sisi aktor merupakan penerus nilai-nilai

budaya politik yang tumbuh dan berkembang di ranah lokal. Namun, disisi lain

aktor juga merupakan produsen (kreator) budaya, dimana perilaku politik aktor

mempengaruhi perubahan dan kesinambungan nilai-ilai budaya politik lokal.

14

Implementasi kebijakan secara luas didefinisikan sebagai “apa yang terjadi

antara penetapan tujuan yang jelas pada pihak pemerintah untuk melakukan

sesuatu, atau berhenti melakukan sesuatu, dan dampak utama dalam

dunia aksi”.

15

Alokasi dana desa adalah adalah dana untuk desa yang ditetapkan melalui

Peraturan Bupati/Walikota yang paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah.

16

Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan

asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem

13

Windy Novia,

kamus ilmiah popular

(Pustaka Gama: 2016) 211

14

http://digilib.unila.ac.id/2171/9/BAB%20II.pdf

15

Frank Fischer, Gerald J. Miller

Handbook Analisis Kebijakan Publik

(Bandung: Nusa

Media: 2015), 74

16

(22)

Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU No. 32 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 12).

17

F.

Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian memilih secara sengaja lokasi penelitian di Desa Gemarang,

Kecamatan Gemarang, Kabuaten Madiun dengan pertimbangan bahwa

Peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang

Kabupaten Madiun. Alasan memilih lokasi penelitian tersebut dikarenakan

Pertimbangan obyektif Desa Gemarang merupakan salah satu dari beberapa

desa di Kabupaten Madiun yang merencanakan dan melaksanakan kebijakan

alokasi dana desa khususnya pada tahun 2016. Di lihat dari data yang ada

hanya segelintir aktor yang memainkan peranannya di sistem pemerintahan

Desa Gemarang. Terbukti tidak ikut serta masyarakat dalam mengawasi dan

mengontrol alokasi dana desa. Bahkan banyak Masyarakat Desa Gemarang

yang tidak mengetahui tentang persoalan alokasi dana desa yang mereka

peroleh untuk mensejahterakan desa mereka baik dari sistem infrastruktur

maupun sumber daya yang ada di Desa Gemarang tersebut.

Menurut hasil observasi awal peneliti sebenarnya secara idealnya ada

Pendamping Lapangan di Desa Gemarang namun tidak terlaksana dengan

17

(23)

baik. Karena domisili pendamping lapangan tidak berada di desa tersebut.

Selain permasalahan tentang Aktor tersebut di atas ada permasalahan krusial

yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu tentang Alokasi dana desa.

Alokasi dana desa yang di bagi kesetiap Dusun yang ada di Desa Gemarang

dibagikan secara merata tanpa harus melihat terlebih dahulu kebutuhan di

setiap Dusun. Karena melihat dari data lapangan di setiap Dusun tentunya

mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Walaupun dibagi secara merata

pembangunan yang ada di desa tersebut banyak yang terkendala, penyebabnya

karena pembangunan infrastrukur yang dilakukan tidak terfokus pada apa

yang dibutuhkan terlebuh dahulu. Terlebih lagi infrastruktur yang ada di Desa

tersebut tergolong jelek.

Pertimbangan subyektif penelitian ini karena keahlian dan disiplin ilmu

peneliti berkesesuaian dengan masalah tersebut, peneliti memiliki kemampuan

teoritik yang memadai mengenai masalah tersebut, dan juga waktu dan biaya

pendukung untuk meneliti masalah tersebut dapat dijangkau oleh peneliti.

18

2. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang

digunakan merupakan data Kualitatif (data yang tidak terdiri dari

angka-18

(24)

angka) melainkan berupa gambaran dan kata-kata.

19

Sedangkan jenis

penelitian ini adalah jenis

case study, artinya penelitian ini berangkat dari

studi kasus di lapangan, yang bertujuan untuk memperoleh data yang relevan.

Dimana penulis akan meneliti satu individu atau unit sosial tertentu secara

lebih mendalam. Dengan begitu, penulis berusaha untuk menemukan semua

variabel penting yang terkait dengan diri subyek, penyebab tejadinya hal

tersebut, perilaku keseharian subyek, dan alasan perilaku itu dilakukan, serta

bagaimana perilaku berubah dan penyebab terjadi perubahan perilaku tersebut.

Karena banyaknya informasi yang akan digali dalam penelitian dengan

menggunakan studi kasus ini, dengan sendirinya batas waktu yang dibutuhkan

peneliti cukup lama. Hal tersebut karena peneliti harus mengumpulkan data

tentang kondisi subyek masa kini, situasi yang sama pada masa lalu,

alasan-alasan mengapa situasi ataupun kondisi subyek berubah, pengalaman subyek

masa lalu, lingkungan sekitarnya, dan yang lebih rumit adalah keterkaitan

faktor-faktor tersebut antara satu sama lainnya.

20

Adapun tipe studi kasus yang dipakai adalah studi kasus intrinsik,

dimana studi kasus ini menekankan pada pemahaman (verstehen) yang

mendalam terhadap kasus tunggal yang disebabkan kasus tersebut menarik.

19

Jalaluddin Rahmat,

Metode Penelitian Komunikasi, (Remaja Rosdakarya, Bandung:

2000) l 36.

20

(25)

Untuk menekankan pada

kepentingan intrinnsik dan menghilangkan

generalisasi, serta tidak dimaksudkan untuk membentuk teori baru.

21

3. Fokus Penelitian

Sebagaimana yang digambarkan dalam perumusan masalah dan tujuan

penelitian, maka fokus penelitian ini adalah:

a.

Interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di

Desa Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.

b.

Faktor yang menghambat dalam interaksi Aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang

Kabuparten Madiun.

4. Sumber Data

Sumber data yang pertama yaitu primer, dalam hal ini adalah

informan, yang dimaksudkan informan dalam penelitian adalah segenap

jajaran perangkat desa. Selain itu, informan yang juga dirasa representatif

dalam penelitian ini.

Adapun informannya adalah:

1. Kepala Desa Gemarang, Ibu Suprapti dimana biasanya diwakilkan oleh

Wisang Wijaya selaku PLT Sekretaris Desa, Koordinator PTPKD, Kabid

21

(26)

Pemerintahan. Informan ini berguna untuk pemenuhan data tentang

implementasi dari pihak Eksekutif.

2. Ketua BPD Desa Gemarang, Bapak Purwadi selaku ketua BPD Desa.

Informan ini berguna sebagai representasi masyarakat politik.

3. Sektor publik (elemen masyarakat sipil, seperti: tokoh masyarakat, LSM,

dan kelompok-kelompok sosial)

Juga seluruh perangkat Desa Gemarang. Tidak lupa elit politik lainnya

yang juga bisa dijadikan informan adalah mereka yang memang tidak masuk

kepengurusan perangkat Desa Gemarang tetapi memiliki pengaruh besar

terhadap Desa Gemarang.

Teknik yang digunakan dalam pemilihan informan menggunakan

Sampling Purposive, artinya teknik penentuan sumber data dipertimbangkan

terlebih dahulu, bukan diacak. Artinya menentukan informan sesuai dengan

kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian.

22

a. Sekunder

Yang kedua ini adalah sumber sekunder. Karena sesuatu dan lain hal,

peneliti tidak atau sukar memperoleh data dari sumber data primer, dan

mungkin juga karena menyangkut hal-hal yang sangat pribadi sehingga sukar

22

(27)

data itu didapat langsung dari sumber data primer. Oleh karena itu, sumber

data sekunder diharapkan dapat berperan membantu mengungkap data yang

diharapkan. Begitu pula pada keadaan semestinya yaitu sumber data primer

dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, sumber data sekunder dapat

membantu memberi keterangan, atau data pelengkap sebagai bahan

pembanding.

23

Dalam penelitian ini jenis sumber data yang digunakan adalah

literatur dan dokumentasi. Sumber literatur adalah referensi yang digunakan

untuk memperoleh data teoritis dengan cara mempelajari dan membaca

literature yang ada hubungannya dengan kajian pustaka dan permasalahan

penelitian baik yang berasal dari buku maupun internet seperti jurnal online

dan artikel jurnal atau koran yang memuat berita tentang implementasi

kebijakan. Sedangkan untuk dokumentasi sebagai tambahan, dimana bisa

berupa arsip Desa, dan lain sebagainya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain

diperoleh dengan cara:

a. Metode observasi non partisipan, Peneliti mengamati fenomena yang

relevan dengan pokok bahasan peneliti, yakni mengenai Interaksi Aktor

Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa Di Desa Gemarang

Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.

23

(28)

b. Adapun observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi

terus terang atau tersamar. Dalam hal ini peneliti dalam melakukan

pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa

sedang melakukan penelitian. Jadi mereka yang diteliti mengetahui sejak

awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat

peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi, hal ini untuk

menghindari kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih

dirahasiakan. Kemungkinan kalau dilakukan dengan terus terang, maka

peneliti tidak akan diijinkan untuk melakukan observasi.

24

c. Metode wawancara, Peneliti langsung terjun ke lapangan, dengan cara

menanyakan terhadap informan terkait interaksi aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan Gemarang

Kabupaten Madiun. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

wawancara semiterstruktur, dengan tujuan dari wawancara jenis ini adalah

untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang

diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan

wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa

yang dikemukakan oleh informan.

25

24

Sugiyono,

Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan

R&D, (Bandung: Alfabeta: 2012) 312

25

(29)

d. Metode dokumentasi, Dalam penelitian ini, menggunakan dokumen yang

berbentuk tulisan berupa peraturan dan atau kebijakan sebagai bahan bukti

data yang relevan dengan penelitian.

6. Informan

Informan yang dipilih oleh peneliti dari pihak pemerintah pelaksana

implementasi kebijakan alokasi dana desa Desa Gemarang, Kecamatan

Gemarang, Kabupaten Madiun adalah:

a. Bapak Wisang Wijaya (Plt. Sekertaris Desa/ Kabid Pemerintahan/ Ketua

PTPKD)

b. Bapak Purwadi (Ketua BPD)

c. Ibu Sri Kanis (Anggota BPD)

d. Bapak Santuso (Ketua RT)

e. Bapak Yahmo (Masyarakat)

Sebagaimana informan dari pihak elit pemerintah Desa Gemarang,

Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun, informan dari pihak masyarakat

Desa Gemarang juga dipilih dengan sengaja. Adapun informan yang dipilih

dari pihak masyarakat Desa Gemarang adalah Bapak Parni (Tokoh

(30)

7. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

metode atau model interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama,

yaitu dengan menggunakan Reduksi Data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/ verivikasi. Yang pertama pengumpulan data yakni peneliti

melakukan proses pengumpulan data dengan menggunakan teknik

pengumpulan data yang telah ditentukan sejak awal. Proses pengumpulan data

melibatkan sisi aktor (informan), aktifitas, latar atau konteks terjadinya

peristiwa. Sebagai “alat pengumpul data” (konsep

human instrument), peneliti

mengelola waktu, yang dimiliki, menampilkan diri dan bergaul di tengah

masyarakat yang dijadikan subyek penelitiannya.

26

, yang kedua reduksi data,

dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis dari lapangan.

27

yang ketiga penyajian data, dimana

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan mencermati penyajian data

ini, peneliti memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Dan yang keempat verivikasi dan penarikan kesimpulan yang dimaknai

26

Muhammad Idrus,

Metode Penelitian Ilmu Social Pendekatan Kualitatif Dan

Kuantitatif

(Erlangga: Jakarta 2009)147-148

27

(31)

sebagai penarikan arti data yang telah ditampilkan. Pemberian marti data

disini tentu saja sejauh pemahaman dan interpretasi yang dibuat peneliti.

28

8. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Perpanjangan keikutsertaan, disini

keikut sertaan peneliti sangat

menentukan dalam pengumpulan data. Keikut sertaan tersebut tidak hanya

dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan

keikutsertaan pada latar penelitian.

b. Ketekunan/keajegan pengamatan, peneliti disini mencari secara konsisten

interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang

konsisten atau tentatif.

c. Triangulasi, teknik keabsahan data ini peneliti memanfaatkan sesuatu yang

lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu.

d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dimana peneliti mengekspos hasil

sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan

rekan-rekan sejawat.

e. Uraian rinci, peneliti melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya

itu dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks

tempat penelitian diselenggarakan.

29

28

(32)

G.

Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian dan penyajian yang telah

ada, ditemukan karya ilmiah baik berupa skripsi, thesis, dan buku yang sealur

dengan tema kajian penelitian ini. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan

penelitian ini adalah:

1. Surya Kusuma,

Studi Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa (Studi

Kasus Di Desa Sinduadi Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman), 2010. Tesis.

Program Studi S2 Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada.

30

Hasil: Dalam proses pelaksanaan kebijakan alokasi dana desa di

Sinduadi masih terdapat kondisi dilematis atau inkonsistensi, seperti

penyaluran ADD yang seharusnya 4 (empat) kali turun ke desa atau

pertriwulan menjadi 2 (dua) kali atau persemester. Keterlambatan pihak

kabupaten dalam memberitahukan kepada desa jumlah dana ADD yang akan

diterima. Pelaksanaan kegiatan yang tidak melalui musyawarah, dan tidak

sesuainya rencana penggunaan ADD dengan Laporan Pertanggung

jawabannya. Dalam proses pelaksanaan kebijakan ADD di desa Sinduadi

juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi pendukung maupun

penghambat/menjadi kendala dalam pelaksanaan kebijakan ADD. Faktor

29

Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif,

(Bandung, PT Remaja Rosdakarya,

2009) 327-337

30

(33)

tersebut adalah : faktor sumber daya yaitu sumber daya manusia maupun

sumber daya financial, faktor komunikasi yaitu sosialiasasi kebijakan, dan

faktor peran BPD Sinduadi dalam proses pelaksanaan kebijakan Alokasi

Dana Desa (ADD).

Fokus pembahasan dalam tesis ini tentang proses implementasi dan

pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Sinduadi

berdasarkan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 23/Per.Bup/ Tahun 2006

tentang Alokasi Dana Desa.

Jadi perbedaan thesis tersebut diatas dengan penelitian yang akan

penulis lakukan adalah dari fokus pembahasannya. Fokus pembahasan yang

akan peneliti lakukan adalah tentang interaksi Aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang.

2. Nama: Mohammad Zain A Gafur,

Inkonsistensi Penerapan Good

Governance Dalam Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa (Studi Di

Desa Marasipno Kecamatan Maba Tengah Kabupaten Halmahera Timur),

2011. Tesis. Program Studi S2 Magister Administrasi Publik, Universitas

Gadjah Mada.

31

Hasil: proses perencanaan dan pelaksanaan Alokasi Dana Desa Di

Desa Marasipno masih sangat jauh dari prinsip-prinsip pengelolaan Alokasi

31

Mohammad Zain A Gafur, “

Inkonsistensi Penerapan Good Governance Dalam

(34)

Dana Desa. Tidak jalanya prinsip pengelolaan Alokasi Dana Desa dari

tahapan perencanaan sampai dengan pelaksanaan dapat dilihat dari kurang

partisipasi, transparansi ,akuntabilitas dan kesetaraan dari masyarakat luas

yang berkepentingan dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa

Marasipno. Ketidakserasian antara perencanaan dan pelaksanaan dalam

pengelolaan ADD disebabkan juga karena kurangnya kesadaran masyarakat

atas pentingnya kebijakan tersebut serta sikap apatis dari aparat pemerintah

desa dan tidak adanya relevansi keberadaan Desa Marasipno sebagai

penyelenggaraan pemerintahan desa dalam perencanaan dan pelaksanaan

Alokasi Dana Desa.

Dalam tesis ini dipaparkan mengenai implementasi kebijakan dari

sudut pandang

good governance. Jadi perbedaan tesis tersebut di atas dengan

penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada implementasi kebijakan

dari sudut pandang

good governance. Sedangkan penelitian yang akan

penulis lakukan dengan melihat interaksi Aktor dalam implementasi

kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang.

H.

Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan penelitian ini diuraikan menjadi beberapa bab dan sub

bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami secara

(35)

BAB I :Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, fokus penelitian, metode penelitian,

penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan

BAB II : Berisi tentang Kajian Teori atau Kerangka Konseptual yang akan

menjelaskan tentang teori aktor, teori implementasi atas-bawah dan teori

good

governance.

BAB III: Setting penelitian yang meliputi setting lokasi, interaksi aktor

dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa Gemarang Kecamatan

Gemarang Kabupaten Madiun.

BAB IV : Penyajian dan analisis data. Bab ini akan menjelaskan tentang

analisa interaksi Aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa

Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun dan faktor penghambat

dalam interaksi aktor dalam implementasi kebijakan alokasi dana desa di Desa

Gemarang Kecamatan Gemarang Kabupaten Madiun.

(36)

BAB II

KAJIAN TEORITIK

Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritik

yang nantinya akan menunjang dalam analisis data. Beberapa teoritik tersebut

adalah teori aktor, Teori atas-bawah Dan teori

good governance, sebagai teori

penunjang dari implementasi kebijakan

A.

Studi Aktor

Di dalam pembahasan tentang kebijakan publik, Aktor mempunyai posisi

yang amat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi)

kebijakan itu sendiri. Interaksi Aktor dan kelembagaan inilah yang kemudian

menentukan proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas

kebijakan dalam makna yang lebih luas. Pada prinsipnya aktor kebijakan adalah

mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisis kebijakan

publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang

senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam

konteks analisis kebijakan publik.

1

Secara lebih makro konsep Anderson adalah diungkap bahwa aktor

kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu

mempunyai konsern terhadap kebijakan. Mereka dapat terdiri dari aktor individu

1

(37)

maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan

tentang kebijakan publik. Dengan demikian dapat dipahami bahwa makna aktor

dalam kaitannya dengan kebijakan publik selalu terkait dengan pelaku dan

penentu terhadap suatu kebijakan yang berinteraksi dan melakukan interrelasi di

dalam setiap tahapan proses kebijakan publik. Merekalah pada dasarnya yang

menentukan pola dan distribusi kebijakan yang akan dilakukan oleh birokrasi

yang di dalam proses interaksi dan interrelasinya cenderung bersifat konfliktif

dibandingkan dengan sifatnya yang harmoni dalam proses itu sendiri.

2

Dalam perspektif lain sebagaimana ditegaskan oleh Anderson bahwa

model atau tipe pengambilan kebijakan dikaitkan dengan proses pembahasannya

dalam agenda kebijakan publik dapat dibedakan dalam tiga bentuknya, yaitu pola

kerjasama (bargaining), persuasif (persuasion), dan pengarahan (commanding).

Anderson menegaskan bahwa proses

bargaining

dapat terjadi dalam tiga

bentuknya yaitu negosiasi (negotiation), saling memberi dan menerima (take and

give) dan kompromi (compromise). Sesungguhnya penjelasan

bargaining

berakar

pada istilah bahwa jika terdapat dua atau lebih aktor atau kelompok aktor yang

masing-masing memiliki kewenangan dan posisi tertentu tetapi dapat melakukan

penyesuaian (sharing) yang diharapkan dapat terbangun dalam sistem

pembahasannya. Dengan demikian negosiasi menjadi langkah awal untuk

membentuk opini dan mengarahkan aktor untuk melakukan langkah negosiasi.

Setelah proses negosiasi antar aktor terjadi dalam posisi yang berbeda diantara

2

(38)

aktor, maka prinsip saling memberikan dan menerima kemudian mewarnai proses

pengambilan kebijakan yang dibahas dalam forum aktor yang terlibat. Pada

akhirnya proses itu akan berujung pada proses kompromistik dimana

masing-masing aktor saling melakukan penyesuaian dengan konsep atau ide aktor yang

lainnya sehingga dapat diputuskan kebijakannya. Hal ini dalam pandangan

anderson dianggap sebagai bentuk

bargaining

dengan tipe yang eksplisit.

3

Model persuasif (persuasion) merujuk pada istilah adanya polarisasi

kelompok aktor untuk meyakinkan (convince) kelompok aktor lain yang turut

bermain untuk menentukan kebijakan publik. Akumulasi proses keyakinan

kelompok aktor tersebut dapat mengubah keyakinan dan nilai serta usulan yang

ditawarkan oleh kelompok yang lain. Pola ini dalam pandangan Anderson banyak

terjadi pada tipe kebajikan yang relatif membutuhkan waktu yang lama untuk

mengubah keyakinan aktor yang saling bertentangan antara satu dengan yang

lainnya. Adanya bentuk komplain dari komunitas masyarakat tertentu dapat

mendekati pola penyesuaian yang dianggap sebagai jalur intervensi persuasi.

4

Sementara itu proses pengambilan kebijakan publik dengan menempatkan

adanya pola hierarki yang berlaku antara aktor satu dengan aktor yang lain disebut

sebagai pengarahan (commanding). Pola hubungan dan interaksi antara aktor pada

model ini adalah berkaitan dengan pola perumusan kebijakan yang sangat

3

Ibid., 38

4

(39)

struktural, dimana satu kelompok aktor menjadi superordinat dan kelompok yang

lain tentu saja menjadi subordinat.

Dalam proses

agenda setting

sebagaimana dijelaskan dalam perspektif

siklus kebijakan yang diungkap oleh Gupta, diperoleh keterangan bahwa para

pakar kebijakan memandang dan mengamati

agenda setting

kebijakan melalui

dua model

agenda setting, yaitu baik dalam bentuk pola kekuasaannya maupun

bagi para aktor kebijakan yang terlibat dalam proses tersebut.

5

Model yang diungkap di atas adalah tidak lain merupakan model kebijakan

dalam ranah model

pluralist

dan

elitist. Pada model pluralis dalam proses

kebijakan dijelaskan bahwa struktur kekuasaan adalah berada pada kelompok

aktivis warga masyarakat. model ini pada prinsipnya tidaklah membuat adanya

jarak antara elit dan massa rakyat, melalui prinsip hierarki yang ada dalam mana

kelompok elit melakukan pengawasan terhadap berbagai agenda formal.

Kelompok elit politik dalam hal ini memegang otoritas yang cenderung bermotif

piramidal dari atas ke bawah, seperti kelompok elit berada pada puncak

organisasi, sedangkan birokrasi berada di tengah organisasi serta masyarakat

warga mempunyai tempat paling bawah dalam struktur tersebut.

6

Pada sisi lain juga dapat dijelaskan bahwa perumusan keputusan juga

sangat berkaitan dengan apa yang diungkap oleh para pakar sebagai kekuasaan

yang sistemik (a systemic power). Stone menjelaskan bahwa dalam kaitannya

5

Ibid., 39

6

(40)

dengan

teori

stratifikasi

(stratification

theory),

perumusan

kebijakan

menempatkan suatu sistem yang mana para pejabat publik merumuskan suatu

kebijakan dalam konteks yang secara strategis mempunyai sumber daya yang

amat penting yaitu susunan hierarki (hierarchichally arrange). Oleh karena itu

berkenaan dengan kebijakan publik, maka para pejabat publik keberadaannya

amat bergantung pada kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Stone

menjelaskan bahwa perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar

daripada pendekatan kekuasaan sistemik dimana para pejabat publik berusaha

mengejar apa yang menjadi kepentingan mereka yang kemudian menghasilkan

suatu relasi dimana tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada

kepentingan strata yang paling rendah.

7

Dalam pandangan Stoker terutama dengan menggunakan silogisme teori

urban rezim di dalam memahami aktor yang terlibat dalam proses kebijakan

mengungkapkan adanya empat kategori partisipan dalam proses perumusan

kebijakan yaitu kelompok bisnis (business), pejabat terpilih (elected officials),

kelompok organisasi masyarakat dan kelompok buruh (community and labor

organization), serta pejabat teknokrat (technocratic officials). Teori ini kemudian

diperluas oleh Clarke yang menjelaskan lebih detail tentang beberapa tipe rezim

yang relevan dengan basis teori rezim (regime theory

) yaitu “

entrepreneurial

rezimes, caretaker rezimes, activist

(player)

rezimes

”. Aktor inilah yang kemudian

7

(41)

menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan dari keseluruhan proses kebijakan

yang ada.

8

1.

Entrepreneurial rezimes

yaitu berdasarkan pada koalisi bisnis dan lembaga

pemilihan, bentuk ibukota-lembaga, pengambilan keputusan dengan metode

tertutup, serta hukum negara sebagai basis utama kelembagaan. Aktor-aktor

yang berinteraksi dengan kelompok bisnis meliputi walikota dan para birokrat

yang memiliki orientasi pertumbuhan dan pembangunan.

2. Dalam rezim dengan model

caretaker, basis kelembagaannya adalah pada

referensi warga serta partisipasi dalam bentuknya yang luas yang sengaja

dibangun berdasarkan hukum negara. Beberapa kelompok aktor yang terlibat

dalam model ini adalah Walikota Caretaker, kaum birokrat yang anti

kemapanan, kelompok postmaterialisme dan yang populis, yang

masing-masing berinteraksi dengan kelompok bisnis. Caretaker Walikota, birokrat anti

kemapanan, serta kelompok

post-materialist

adalah Aktor yang berinteraksi

dengan kelompok bisnis.

3. Rezim aktivis (pemain) yang menggunakan koalisi minoritas, menekankan

pada kebijakan afirmatif, partisipasi warga, lingkungan pemerintah, koalisi

kelompok, serta hukum negara sebagai kelembagaan pokok mereka yang

berbasis para aktivis di lingkungan di mana kebijakan itu dirumuskan. Aktor

yang terlibat dalam konteks ini adalah walikota dengan kelompok minoritas,

kelompok post-materialis yang berinteraksi dengan kelompok bisnis.

8

(42)

4.

Rezim Stewardship

menggunakan koalisi kelompok, partisipasi warga, serta

hukum negara sebagai basis kelembagaan mereka dan para aktor yang terlibat

adalah kelompok bisnis dan kelompok populis fiskal serta broker walikota.

5. Pada rezim progresif (progressive rezimes) mereka menggunakan basis

kelembagaan sebagai koalisi pemilihan minoritas, kebijakan “

affirmative-action

”, distrik dengan anggota tunggal, pemerintah yang berdekatan, seperti

hukum negara. Pada rezim ini para aktor yang berinteraksi dengan kelompok

bisnis adalah kelompok

social justice mayors

dan kelompok aktivis.

6. Dan terakhir, yaitu rezim sisi permintaan (demand-side rezimes) yang basis

kelembagaan utamanya adalah organisasi (neighborhood organizations,

single-member district, and state laws). Para Aktor yang terlibat adalah

kelompok

caretaker mayors, birokrat yang anti kemapanan, serta kelompok

post-material.

Dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahami

berbagai Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan

konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang

akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor

yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar

yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang

lain adalah kelompok di luar birokrasi (un-official policy makers). Anderson.

(43)

kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal seperti

badan-badan administrasi pemerintah yang meliputi eksekutif, legislatif maupun

yudikatif, sementara itu kelompok non formal dapat terdiri dari:

9

1. Kelompok kepentingan (interest groups), seperti kelompok buruh dan

kelompok perusahaan;

2. Kelompok partai politik;

3. Warga negara individual.

Kelompok besar tersebut jika dianalisis secara lebih detail maka Aktor

kebijakan yang seringkali terlibat dalam proses perundingan dan pengambilan

kebijakan internal birokrasi dapat berupa:

10

1. Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu (authoritative);

2. Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi.

Yang pertama adalah relevan dengan konsep yang selalu melibatkan tiga

oknum penting di dalamnya yaitu lembaga Legislatif, Eksekutif Dan Yudikatif.

Sedangkan kelompok ke dua adalah mereka yang secara serius seringkali terlibat

di luar kelompok tersebut baik secara langsung mendukung ataupun menolak hasil

kebijakan yang ada. Pada kelompok kedua inilah seringkali wujudnya dapat

9

Ibid., 41-42

10

(44)

berupa kelompok kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau

enterpreneur

serta para intelektual yang ada.

11

Dalam kaitannya dengan aktor yang terlibat dalam diskusi masalah

kebijakan yang bersifat protektif seperti terhadap kebijakan interaksi regional,

maka Ripley menjelaskan beberapa karakteristik konteks kebijakan yang bersifat

[image:44.595.113.513.258.612.2]

protektif tersebut, seperti pada tabel:

Tabel 2.1

Karakteristik aktor dalam konteks kebijakan

12

Tipe

Kebijakan

Aktor Utama

Relasi Antar

Aktor

Stabilitas

Relasi

Tingkat

Konflik

Diantara

Aktor

Kebijakan

yang bersifat

protektif

(protective

policy)

Birokrasi

pemerintah

federal dan pusat,

kelompok

kepentingan

(pengusaha)

kepentingan

konsumen dan

badan kongres

Birokrat

cenderung lebih

dekat dengan

seperangkat

kepentingan yang

saling

berkompetisi.

Relasi antaraktor

berdasarkan

kesepakatan dan

juga

ketidaksepahaman

relasional berbasis

ideology

Tidak

stabil

(unstable)

Sedang

(moderate),

dengan

beberapa

insiden

demonstratif

yang bisa

saja muncul

tiap saat.

Berbagai bentuk kelompok kepentingan tersebut kemudian dalam

praktiknya seringkali dibentuk dan diadakan dengan maksud dan kepentingan

11

Ibid., 42

12

(45)

untuk meningkatkan kualitas apa yang diwakilkan kepadanya, sehingga dapat

memberikan kontribusi pada kelompok yang diwakilinya secara lebih optimal.

Kepentingan yang diwakili dalam dimensi organisasi dan kolektivitas dan ekstra

organisasi dapat memberikan nuansa kepentingan yang lebih adaptif ketimbang

kepentingan yang hanya memperhatikan kepentingan diri dan kelompoknya saja.

Hal ini dapat dipahami bahwa meskipun berbagai desakan kepentingan diberikan

pada

proses

perumusan

masalah

kebijakan,

maka

secara

pragmatis

keseluruhannya ditentukan oleh sejauhmana kelompok kepentingan memberikan

tekanan pada otoritas kebijakan dalam perspektif arena kebijakan untuk

menyuarakan aspirasi dan kepentingannya. Dengan cara seperti ini diharapkan

menjadi referensi di dalam menjembatani ragam kepentingan yang terkait dengan

kebijakan tertentu.

13

B. Interaksi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan

Selanjutnya, teori elit menegaskan bahwa ialah yang bersandar pada

kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas yang

mencakup:

1) Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya

menduduki posisi untuk memerintah

13

(46)

2) Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.

14

Konsep dasar teori yang lahir di eropa ini mengemukakan bahwa di dalam

kelompok penguasa (the ruling class) selain ada elit yang berkuasa (the ruling

elite) juga ada elit tandingan, yang mampu meraih kekuasaan melalui massa jika

elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini,

massa memegang sejenis control jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena

mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bias diharapkan

mereka akan menggunakan pengaruhnya.

15

Pareto (1848-1923) percaya bahwa setiap masyarakat diperintah oleh

sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi

kehadiran mereka pada kekuasaan social dan politik yang penuh. Mereka yang

bias menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik.

Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil,

yang mampu menduduki jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat.

16

Pareto juga percaya bahwa elit yang ada pada pekerjaan dan lapisan

masyarakat yang berbeda itu umumnya dating dari kelas yang sama; yaitu

orang-orang yang kaya dan juga pandai, karena itu menurut pareto masyarakat terdiri

dari 2 kelas: 1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah

14

Sp.Varma,

teori politik modern, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2010) 197

15

Ibid., 197-198

16
(47)

(governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elite), 2) lapisan

yang lebih rendah, yaitu non-elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya

pada elit yang memerintah, yang menurut dia, berkuasa karena bias

menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat

penting.

17

Seperti halnya Pareto, Mosca juga percaya dengan pergantian elite.

Karakteristik yang membedakan elite adalah “kecakapan untuk mem

impin dan

menjalankan kontrol politik”, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan

kecakapannya dan orang-orang di luar kelas tersebut menunjukkan kecakapan

yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa

akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca percaya

pada sejenis hukum yang mengatakan bahwa dalam elite yang berkuasa, tidak lagi

mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan

yang diberikannya dianggap tidak lagi bernilai, atau muncul agama baru, atau

terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat

maka perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari.

18

Penguasaan minoritas atas mayoritas menurut Mosca dilakukan dengan

cara yang terorganisir, yang menempatkan mayoritas tetap berdiri saja di

belakang, apalagi kelompok minoritas biasanya terdiri dari individu-individu yang

17

Ibid., 200

18

(48)

superior. Kalau Pareto menyebutkan kelas politik yang berisikan

kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam, Mosca meneliti komposisi elite lebih dekat

lagi dengan mengenali peran “kekuatan sosial” tertentu. Ekspresi yang

digunakannya bagi “elite bukan pemerintah”nya Pareto, dalam mengimbangi dan

membatasi pengaruh “kekuatan sosial lainnya” Mosca memperkenalkan konsep

“sub

-eli

t” yang pada prakteknya berisikan seluruh “kelas menengah baru” dari

para pegawai sipil, para manajer industry, ilmuan dan mahasiswa serta

menganggapnya sebagi elemen vital dalam mengatur masyarakat. “stabilitas

organisasi politik apapun” tulisnya, “tergan

tung pada tingkat moralitas,

kepandaian dan aktivitas yang diusahakan oleh kedua ini”

19

Mosca menekankan pentingnya apa yang disebutnya sebagai “formula

politik”. Formula politik ini sama dengan “penyerapan”

-nya Pareto. Dia percaya

bahwa dalam setiap masyarakat , elit yang memerintah mencoba menemukan

basis moral dan hokum bagi keberadaanya dalam benteng kekuasaan serta

mewakilinya sebagai “konsekuensi yang perlu dan logis atas doktrin

-doktrin dan

kepercayaan-kepercayaan yang secara umum telah dikenal

dan diterima”.

Formula politik mungkin tidak dapat, dan biasanya memang tidak, membentuk

kebenaran absolut. Biasanya hal itu jarang berupa mitos yang masuk akal yang

dapat diterima oleh masyarkat. Mosca belum siap enerima kenyataan bahwa tak

ada sesuatu pun selain perwakilan sederhana dan jelas yang dengan cerdik diatur

19

(49)

oleh kelas penguasa untuk menipu massa kedalam keragu-raguan. Kenyataan

bahwa kebijakan-kebijakan kelas penguasa, meskipun dirumuskan sesuai

kepentingannya sendiri, dikemukaakan dalam bentuk yang sebaliknya dengan

maksud memberikan kepuasan moral dan hokum yang terkemas didalamnya.

Menurut Mosca, suatu masyarakat tentu membutuhkan dan mendambkan suatu

perasaan yang dalam akan pemenuhan tuntutan manusiawinya baru orang yang

diperintah atas dasar beberapa prinsip moral dan bukan sekedar dengan paksaan

fisik. Inilah faktor yang mendukung pengintegrasian lembaga-lembaga politik,

rakyat dan peradaban. Oleh karenanya Mosca memahaminya sebagai suatu

instrument kohesi moral.

20

Menurut Larry Diamond, pendekatan kontingensi elite telah jauh

meninggalkan elemen struktur kesempatan dan jalinan berbagai elemen social

politik yang bekerja sepanjang sejarah dan yang mestinya bias diprediksi

sebelumnya. Sementara itu, dalam pandangan Sydney Tarrow pendekatan tersebut

mengabaikan elemen mobilisasi aksi kolektif massa. Torres kemudian

membangun argument bahwa demoratisasi dapat dilihat dari lingkaran mobilisasi

dan interaksi strategis antara elite dan massa yang saling memperkuat “struktur

kesempatan” dalam masyar

akat politik dan sipil. Struktur kesempatan inilah bias

20

(50)

muncul menjadi sebuah “kekuatan pendorong” bagi aktor

-aktor oposan untuk

melawan rezim.

21

Penekanan yang berlebihan pada variable transaksi elite dalam proses

transisi telah menimbulkan kritik karena mengabaikan dimensi struktur

ekonomi-politik dan kultural yang melingkupinya. Dalam realitasnya, interaksi ekonomi-politik di

masa tidak berhenti pada kebutuhan untuk membangun model-model transaksi

elite, namun ditandai oleh peran penting legitimasi demokrasi dalam interaksi

kepentingan antar berbagai aktor.

22

Linz dan Stephan (1996) menyebutkan bahwa arena

polity

ditandai oleh

kehadiran empat aktor utama: pertama,

the state

yang dalam beberapa literatur

ditempatkan sebagai

public agency. Kedua,

political society, yang di dalamnya

terdapat partai politik. Ketiga,

economic society, yang selalu bergerak dalam

logika-logika kapital dan pasar. Keempat,

civil society, yang memiliki

karakteristik keswadayaan (voluntarisme) dan mandiri dari pengaruh Negara.

23

Meminjam kerangka pemikiran Tornquist, Erawan menyebutkan bahwa

ada dua prasyarat penting dalam proses representasi: pertama, perubahan konsepsi

tentang Negara dari arena politik elitis yang terputus dengan agenda keseharian

rakyat menjadi ranah publik yang dibentuk untuk mengabdi kepada rakyat dan

21

R.Siti Zuhro, Ari Dwipayana,

Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi

(Ombak, Yogyakarta, 2009) 19

22

Ibid 19

23

(51)

menjamin keadilan. Kedua, pemaknaan baru tentang Rakyat menjadi

demos.

Ketiga, berkenaan dengan

formalistic representation, Hannah Pitkin(1967)

menyatakan perlunya menghadirkan kembali peran masyarakat agar suara, opini

dan perspektif mereka dapat mewarnai proses pembuatan dan pelaksanaan

kebijakan public. Menurut Pitkin, untuk menghadirkan kembali

formalistic

representation

tersebut dapat dilakukan dalam dua dimensi, yakni

authorization

dan

accountability. Keempat, dalam hal

representasi alternative

perlu dilakukan

upaya penguatan basis legitimasi, pengorganisasian dan evektivitas serta

pembangunan sinergitas dengan lembaga representasi politik formal.

24

Selain Tornquist, beberapa kerangka analisis yang disampaikan oleh Linz

dan Stephan dan Diamond bergerak ke luar dari kuadran transaksi agen-elit

dengan mengemukakan lima arena yang harus berjalan simultan dalam proses

konsolidasi demokrasi. Pertama, masyarakat politik yang relatif mandiri dan

bermakna. Ke

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik aktor dalam konteks kebijakan12
tabel berikut ini
Tabel 3.2Pendidikan Formal4
Tabel 3.9
+5

Referensi

Dokumen terkait

(Physical planning department of Istria county, 2017). Finally, to include comments on the descriptive statistics before the estimation, scatter plots have been observed

Sebagian besar pasien (70-80%) yang menderita penyakit Buerger mengalami nyeri iskemik bagian distal saat istirahat dan atau ulkus iskemik pada tumit, kaki atau jari-jari

Dalam buku Materi Instruksional Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian untuk mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum tercatat bahwa Visinya ialah: “Menjadikan agama sebagai sumber nilai

Pernyataan yang secara luas menggambarkan pencapaian karir dan professional yang disiapkan oleh program studi untuk dicapai oleh lulusannya dalam beberapa tahun. pertama

Hasil penelitian yang didapat dari dukungan keluarga dalam penerimaan diri lansia (studi kasus di RT 02 RW 04 Desa Karangsari Kecamatan Karangmoncol Kabupaten

Objek dalam penelitian “Kepatuhan Wajib Pajak PKP, Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak terhadap Penerimaan Pajak” ini adalah perusahaan yang terdaftar dan dikukuhkan

Menurut Soedjadi dalam Syafatun ( 1999:11) konsep adalah dasar berfikir yang memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasikan objek dan kejadian dan menetapkan

Calon perusahaan penyedia jasa memiliki pengalaman dalam melaksanakan kegiatan Jasa Boga di perusahaan industri yang menyediakan makanan minimal sebanyak 600 orang/hari