• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGALIHAN AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH MENJADI AKAD PEMBIAYAAN MUDARABAH PADA NASABAH BERMASALAH DI BMT MUDA SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGALIHAN AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH MENJADI AKAD PEMBIAYAAN MUDARABAH PADA NASABAH BERMASALAH DI BMT MUDA SURABAYA."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGALIHAN AKAD

PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH MENJADI AKAD PEMBIAYAAN

MUD{A<RABAH PADA NASABAH BERMASALAH DI BMT

MUDA SURABAYA

SKRIPSI

Oleh Hana Ekawati NIM. C02212015

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan tentang Tinjauan Hukum Islam

terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bah}ah menjadi Akad Pembiayaan

Mud}a>rabah pada Nasabah bermasalah di BMT MUDA. Penelitian ini bertujuan

untuk menjawab bagaimana Aplikasi pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bemasalah di BMT MUDA.

Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalan tersebut adalah pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam mengatasi pembiayaan mura>bah}ah bermasalah pada nasabah yang prospektif, dilakukan dengan cara mengalihkan akad pembiayaan mura>>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah. BMT MUDA memanggil nasabah bermasalah yang telah habis jatuh temponya. Jika dalam waktu 2 bulan nasabah tidak hadir, maka BMT mengalihkan akad secara sepihak. Jika ditinjau dari hukum Islam, pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiayaan mud}a>rabah yang terjadi di BMT MUDA tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dalam pengalihan akad yang mengacu pada fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad. Karena pada proses

penghentian akad, nasabah tidak menjual objek mura>bah}ah kepada LKS sesuai

harga pasar untuk menyelesaikan pembiayaan mura>bah}ah bermasalah. Selain itu

tidak semua rukun akad mud}a>rabah terpenuhi. Pada pengalihan akad sepihak,

rukun akad yang tidak terpenuhi adalah para pihak yang berakad, ijab qabul dan

objek (usaha yang produktif). Sedangkan rukun akad yang tidak terpenuhi pada pengalihan akad dengan kehadiran nasabah, adalah objek akad (usaha yang produktif). Dengan tidak adanya usaha yang produktif, secara otomatis tidak akan ada pula keuntungan. Meskipun begitu, niat baik BMT MUDA patut diapresiasi (diberi respon yang positif). Karena tujuan BMT MUDA mengalihkan akad ini adalah atas dasar tolong menolong, untuk membantu nasabah

meringankan bebannya dalam membayar margin, karena pada akad mud}a>rabah

ini, nasabah tidak perlu membayar nisbah. Sehingga pembiayaan yang macet bisa segera terselesaikan.

Berdasarkan hasil penelitian penulis di BMT MUDA Surabaya, maka penulis dapat memberikan saran dalam proses penyelesaian pembiayaan mura>bah}ah bermasalah akan lebih baik jika sebelum mengalihkan akad, BMT

MUDA Surabaya terlebih dahulu menggunakan cara rescheduling supaya sesuai

dengan ketentuan hukum Islam. BMT MUDA sebaiknya juga lebih memantau

nasabah pembiayaan mura>bah}ah dan lebih selektif dalam memberikan

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... iii

PENGESAHAN. ... iv

ABSTRAK. ... v

KATA PENGANTAR. ... vi

DAFTAR ISI. ... viii

DAFTAR TABEL. ... xi

DAFTAR GAMBAR.. ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI. ... xiii

MOTTO. ... xv

HALAMAN PERSEMBAHAN. ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 7

D.Kajian Pustaka. ... 8

E. Tujuan Penelitian. ... 12

F. Kegunaan Penelitian. ... 13

G.Definisi Operasional. ... 14

H.Metodologi Penelitian. ... 14

I. Sistematika Pembahasan. ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, MURA<BAH{AH DAN MUD{A<RABAH A. Akad. ... 21

1. Pengertian Akad. ... 21

2. Asal-Usul Akad. ... 26

(8)

4. Rukun Akad. ... 29

5. Syarat-Syarat Akad. ... 33

6. Macam-Macam Akad. ... 35

7. Berakhirnya Akad. ... 39

B. Mura>bah}ah. ... 40

1. Pengertian mura>bah}ah. ... 40

2. Dasar Hukum mura>bah}ah. ... 41

3. Syarat dan Rukun mura>bah}ah. ... 42

4. Manfaat dan Risiko mura>bah}ah. ... 44

5. Skema Proses Transaksi mura>bah}ah. ... 45

6. Fatwa-Fatwa DSN-MUI tentang mura>bah}ah. ... 46

C. Mud}a>rabah. ... 47

1. Pengertian mud}a>rabah. ... 47

2. Dasar Hukum mud}a>rabah. ... 48

3. Rukun dan Syarat mud}a>rabah. ... 50

4. Macam-Macam mud}a>rabah. ... 51

5. Aplikasi mud}a>rabah dalam lembaga keuangan Syariah. .. 51

6. Manfaat mud}a>rabah ... 52

7. Risiko mud}a>rabah. ... 53

8. Fatwa DSN-MUI tentang mud}a>rabah. ... 53

BAB III MEKANISME PENGALIHAN AKAD PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH MENJADI AKAD PEMBIAYAAN MUD{A<RABAH PADA NASABAH BERMASALAH DI BMT MUDA SURABAYA A. Gambaran Umum BMT MUDA. ... 54

1. Profil BMT MUDA. ... 54

2. Sejarah Pendirian BMT MUDA. ... 55

3. Visi dan Misi BMT MUDA. ... 59

4. Struktur Organisasi. ... 60

5. Deskripsi Tugas. ... 61

6. Produk BMT MUDA. ... 64

(9)

B. Prosedur Pembiayaan Mura>bah}ah di BMT MUDA. ... 73

1. Tahap Pendaftaran Permohonan Pembiayaan. ... 73

2. Tahap Setelah Pendaftaran. ... 74

3. Tahap Usulan Pembiayaan... 74

4. Tahap Putusan Permohonan Pembiayaan. ... 74

5. Tahap Realisasi Pembiayaan. ... 75

C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pembiayaan Mura>bah}ah bermasalah di BMT MUDA Surabaya. ... 76

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bah}ah Menjadi Akad Pembiayaan Mud}a>rabah di BMT MUDA Surabaya... ... 78

E. Mekanisme Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bah}ah Menjadi Akad Pembiayaan Mud}a>rabah di BMT MUDA Surabaya. ... 79

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGALIHAN AKAD PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH MENJADI PEMBIAYAAN MUD{A<RABAH PADA NASABAH BERMASALAH DI BMT MUDA SURABAYA A. Analisis Aplikasi Pengalihan akad Pembiayaan Mura>bah}ah Menjadi akad Pembiayaan mud}a>rabah di BMT MUDA pada Nasabah Bermasalah di BMT MUDA Surabaya. ... 82

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap pengalihan Akad Pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah di BMT MUDA Surabaya. ... 85

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan. ... 92

(10)

DAFTAR TABEL

[image:10.595.134.485.233.566.2]
(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Skema Proses Transaksi Mura>bah}ah ... 45 2.1 Mekanisme Pengalihan Akad Pembiayaan Nasabah Bermasalah di BMT

[image:11.595.129.503.191.600.2]
(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Bait al-ma>l wa al-tamwi>l adalah lembaga keuangan mikro yang

beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya

mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai bait al-tamwi>l (rumah

pengembangan harta) dan bait al-ma>l (rumah harta). Bait al-tamwi>l

melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha poduktif dan investasi dalam

meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain

mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan

ekonomi. Sedangkan bait al-ma>l menerima titipan dana zakat, infak dan

sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan

ama>nahnya.1

Tujuan pendirian bait al-ma>l wa al-tamwi>l secara umum memiliki

kesamaan dengan pendirian bank, baik bank umum syariah maupun bank

perkreditan rakyat syariah. Namun demikian, karena perbedaan jangkauan

pemasarannya, maka tujuan pendirian BMT memiliki spesifikasi tersendiri

meliputi:

1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat

golongan ekonomi lemah yang umumnya berada di daerah pedesaan.

2. Menambah lapangan kerja terutama di daerah pedesaan sehingga dapat

mengurangi arus urbanisasi.

(13)

2

3. Membina semangat ukhuwah Islamiah melalui kegiatan ekonomi dalam

rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang

memadai. 2

Kedudukan bait al-ma>l wa al-tamwi>l dalam peta persaingan usaha

dapat disejajarkan dengan BPR/BPRS, koperasi simpan pinjam, maupun usaha

simpan pinjam yang lain. BMT juga memiliki sistem produk yang relatif sama

dengan bank syariah, yaitu salah satunya menjadi perantara keuangan

(financial intermediary) antara s}ah}ib al ma>l dan mud}a>rib. S}a>h}ib al ma>l

menempatkan dananya di BMT, sedangkan mud}a>rib memanfaatkan dana atau

mendapatkan layanan pembiayaan dari BMT, baik untuk memenuhi

kebutuhan modal usaha produktif, maupun kebutuhan konsumtifnya. 3

Dalam operasionalnya, BMT dapat menjalankan berbagai jenis usaha

baik yang behubungan dengan keuangan maupun non-keuangan. Jenis usaha

yang berhubungan dengan keuangan misalnya simpanan (funding) dan

pembiayaan (lending). Kegiatan pembiayaan pada BMT ditujukan untuk

lingkup usaha mikro dan kecil. Antara lain dapat berbentuk pembiayaan

mud}a>rabah, mura>bah}ah, musha>rakah, bay~‘ bithaman ajil, dan qard} al-h}asan.4

Antara funding dan lending mempunyai keterkaitan yang sangat erat.

Keterkaitan ini terutama berhubungan dengan rencana penghimpunan dana

supaya tidak menimbulkan terjadinya dana menganggur (idle money) di satu

sisi dan rencana pembiayaan untuk menghindari likuiditas. Prinsip utama

2 Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur Pendirian BMT, (Yogyakarta: Citra Media, 2006),

33.

(14)

3

dalam manajemen funding adalah kepercayaan. Artinya kemauan masyarakat

untuk menaruh dananya di BMT sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap BMT. Karena BMT pada prinsipnya merupakan lembaga

ama>nah (trust), maka setiap insan BMT harus dapat menunjukkan sikap

ama>nah tersebut.5

Produk funding dari BMT mempunyai dua prinsip, yaitu akad

wadi>’ah dan mud}a>rabah. Wadi>’ah berarti titipan. Jadi prinsip simpanan wadi>’ah merupakan akad penitipan barang atau uang pada BMT, oleh sebab itu BMT berkewajiban menjaga dan merawat objek titipan tersebut dengan

baik serta mengembalikan saat penitip menghendakinya.6

Prinsip wadi>’ah terbagi menjadi dua yaitu wadi>’ah yad ama>nah yang

berarti titipan yang objeknya tidak boleh digunakan atau dikembangkan, dan

wadi>’ah yad d}ama>nah yang berarti titipan yang boleh digunakan atau

dikembangkan. Prinsip mud}a>rabah merupakan akad kerjasama modal dari

pemilik dana (s}a>h}ib al-ma>l) dengan pengelola dana (mud}a>rib) atas dasar bagi

hasil. BMT berfungsi sebagai mud}a>rib dan nasabah berfungsi sebagai s}a>h}ib

al-ma>l. 7

Produk lending pada BMT terbagi dalam empat prinsip yaitu bagi

hasil (profit and loss sharing), jual beli (sale and purchase), sewa (operational

lease and financial lease) dan prinsip jasa (fee based services).8 Objek dari

prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda. Objek dari bagi hasil adalah usaha.

5 Ibid. 6 Ibid.

(15)

4

Objek dari jual beli adalah barang yang diperjual belikan. Objek dari sewa

adalah manfaat.

Dalam pembiayaan, terdapat risiko yang harus dihadapi oleh BMT,

salah satunya adalah gagal bayar. Risiko ini mengacu pada potensi kerugian

yang dihadapi BMT ketika pembiayaan yang diberikannya macet. Nasabah

mengalami kondisi di mana dia tidak mampu memenuhi kewajiban

mengembalikan pembiayaan yang diberikan oleh BMT. 9

Selain pengembalian modal, risiko ini juga mencakup

ketidakmampuan nasabah menyerahkan porsi keuntungan yang seharusnya

diperoleh oleh BMT dan telah diperjanjikan di awal, atau yang biasa disebut

margin keuntungan. Konsekuensi penggunaan definisi ini adalah risiko

pembiayaan hanya berlaku untuk akad tertentu, misalnya mura>bah}ah. Nasabah

yang melakukan pembiayaan menggunakan akad tersebut diwajibkan untuk

membayar kembali kepada bank sesuai dengan termin yang telah

diperjanjikan. Kegagalan nasabah dalam melunasi kewajibannya dianggap

sebagai kondisi gagal bayar, gagal membayar angsuran pokok maupun

margin.10

Sebagaimana yang terjadi di BMT MUDA, beberapa nasabah

pembiayaan mura>bah}ah macet. Sehingga atas dasar ingin membantu nasabah,

BMT memberikan kebijakan untuk mengalihkan akad nasabah bermasalah

tersebut dari mura>bah}ah menjadi mud}a>rabah.

(16)

5

Alasan BMT mengalihkan akad nasabah macet tersebut adalah

apabila nasabah tersebut tetap pada akad mura>bah}ah, maka selain tetap

mempunyai tanggungan untuk membayar angsuran pokok, ia juga harus

membayar margin keuntungan setiap bulannya. Padahal untuk membayar

pokok angsuran saja nasabah bermasalah tersebut kesusahan, apalagi harus

ditambah dengan marginnya. Tentunya tidak semua nasabah macet

mendapatkan keringanan seperti ini dari BMT, tetapi hanya nasabah tertentu

yang dinilai perlu untuk dibantu.

Akad yang seharusnya digunakan oleh BMT untuk mengalihkan akad

nasabah macet adalah akad qard}. Karena niat BMT adalah membantu nasabah

macet dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak ingin mengambil

keuntungan dari nasabah macet tersebut. Sebelumnya BMT pernah

mengalihkan akad nasabah macet dari akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi

akad qard}. Tetapi pada kenyataan di lapangan, nasabah macet yang telah

dialihkan akadnya menjadi akad qard} malah menganggap remeh kewajiban

mereka untuk membayar hutang ke BMT. Sehingga BMT mengambil

kebijakan lain tentang pengalihan akad, yaitu dialihkan menjadi akad

mud}a>rabah, supaya para nasabah macet masih merasa mempunyai kewajiban

membayar angsurannya.

Permasalahannya adalah meskipun akad pembiayaan mura>bah}ah

dialihkan menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah, tetapi objek dari pembiayaan

tersebut tetap menggunakan objek pembiayaan mura>bah}ah, yaitu barang.

(17)

6

objek pembiayaan mura>bah}ah dengan mud}a>rabah sangat berbeda. Objek dari

mura>bah}ah adalah barang yang diperjualbelikan, sedangkan objek dari

mud}a>rabah adalah usaha. Sehingga hal ini dapat menimbulkan efek terhadap

keabsahan akad.

Dari paparan tersebut, memperlihatkan bahwa terdapat

penyimpangan antara teori dengan praktek, sehingga peneliti tertarik untuk

meneliti hal tersebut dalam skripsi yang berjudul ‛Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Pengalihan Akad Pembiayaan Mura>bah}ah Menjadi Akad

Pembiayaan Mud}a>rabah Pada Nasabah Bermasalah Di BMT MUDA

Surabaya.‛

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan

kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian dengan

melakukan identifikasi dan inventarisasi sebanyak-banyaknya kemungkinan

yang dapat diduga sebagai masalah.11Dari uraian latar belakang masalah

tersebut di atas, maka masalah-masalah yang dapat di identifikasi yaitu:

1. Produk Pembiayaan BMT MUDA.

2. Manajemen risiko BMT MUDA.

3. Dasar hukum yang digunakan oleh BMT MUDA untuk mengalihkan akad

pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah

bermasalah.

11 Tim Penyusun Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis

(18)

7

4. Aplikasi pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiayaan

mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

5. Pandangan nasabah terhadap pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi pembiayaan mud}a>rabah di BMT MUDA.

6. Tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi pembiyaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, perlu dijelaskan batasan

dan ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini agar

terfokus dan terarah. Penulis membatasi permasalahan yang akan di bahas,

yaitu :

1. Aplikasi pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiayaan

mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi pembiyaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

C.Rumusan Masalah

Rumusan masalah memuat pertanyaan yang akan dijawab melalui

penelitian. 12 Melalui batasan masalah di atas, maka peneliti dapat

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aplikasi pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad

pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA?

(19)

8

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad pembiayaan

mura>bah}ah menjadi akad pembiyaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah

di BMT MUDA?

D.Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang pernah

diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini bukan

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian yang sudah pernah

dilakukan.13

Dari hasil pencarian penulis, masih sedikit penelitian yang

mengangkat tema pengalihan akad. Namun peneliti menemukan penelitian

dari angkatan sebelumnya yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Maulidia Rusyda, dengan judul ‚Analisis Hukum Islam terhadap Peralihan Akad Simpanan Qurban Menjadi Pembiayaan

Qurban di Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Daarul Qur’an Wisatahati Surabaya‛. Prodi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2014. Skripsi ini

membahas tentang jumlah simpanan kurban nasabah yang belum mencapai

harga hewan kurban sehingga atas saran KJKS untuk berpindah akad

menjadi pembiayaan kurban. Ada dua bentuk realisasi pembiayaan kurban,

dengan akad mura>bah}ah dan akad mura>bah}ah wa al-waka>lah. Hasil

penelitian ini adalah terjadinya peralihan akad simpanan kurban menjadi

(20)

9

pembiayaan kurban di KJKS Daarul Qur’an Wisatahati Surabaya dengan

akad mura>bah}ah wa al-waka>lah bertentangan dengan hukum Islam. Sebab

pelaksanaan akad waka>lahnya tidak dilaksanakan sebagaimana teori yang

ada pada akad waka>lah.14

2. Skripsi yang ditulis oleh Lukman Hakim, dengan judul ‛Tinjauan Hukum Islam terhadap Perubahan dalam Simpanan Wadi>’ah menjadi Mud}a>rabah di

Koperasi (KSU) Syariah Bina Umat Kabupaten Pati‛. Jurusan Muamalah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 2009. Skripsi ini

membahas tentang simpanan wadi>’ah yad d}ama>nah yang mana seharusnya

pemberian keuntungan didasarkan pada bonus, tetapi Koperasi (KSU)

Syariah Bina Umat Kabupaten Pati memberikan keuntungan berdasarkan

bagi hasil. Dengan kata lain, telah terjadi peralihan akad dari simpanan

wadi>’ah menjadi simpanan mud}a>rabah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa operasional tersebut sah-sah saja, asalkan dapat membawa manfaat

kepada pihak koperasi dan anggotanya. Dengan penerapan bagi hasil ini

terdapat banyak keuntungan di antaranya semakin meningkatnya anggota

yang melakukan simpanan ini, dan dari penerapan operasional tersebut

tidak ada pihak yang merasa dirugikan.15

3. Skipsi yang ditulis oleh Rizka Kurnia Anggriani, dengan judul ‛Studi Dewan Syariah Nasional (DSN) terhadap Aplikasi Konversi Akad pada

14Maulidia Rusyda, ‚Analisis Hukum Islam terhadap Peralihan Akad Simpanan Qurban menjadi

Pembiayaan Qurban di Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Daarul Qur’an Wisatahati

Surabaya‛, (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014).

15 Lukman Hakim, ‛Tinjauan Hukum Islam terhadap Perubahan dalam Simpanan Wadi’ah

(21)

10

Nasabah yang Tidak Prospektif di BMT UGT Sidogiri Cabang Waru

Sidoarjo‛. Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 2014. Skripsi ini membahas tentang

aplikasi akad pada nasabah yang tidak prospektif di BMT UGT Sidogiri

cabang Waru Sidoarjo yakni konversi akad dari mura>bah}ah ke musha>rakah.

Aplikasi konversi akad yang dilaksanakan di BMT UGT Sidogiri cabang

Waru Sidoarjo tidak hanya diberikan kepada nasabah yang masih

prospektif, tetapi juga diberikan kepada nasabah yang tidak prospektif.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konversi akad tersebut tidak

sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.

49/DSN-MUI/II/2005, ketidaksesuaiannya yakni konversi akad tersebut diberikan

kepada nasabah yang tidak prospektif. Meskipun aplikasi konversi akad

pada nasabah yang tidak prospektif ini tidak sesuai dengan fatwa No.

49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad, niat baik BMT UGT Sidogiri

cabang Waru Sidoarjo patut diapresiasi. Karena motivasi BMT masih

memberikan peluang kepada nasabah yang tidak prospektif yakni adanya

unsur tolong menolong agar ikatan akadnya bisa selesai.16

4. Jurnal yang ditulis oleh Faisal, dengan judul ‛Restrukturisasi Pembiayaan

Mura>bah}ah dalam Mendukung Manajemen Risiko Sebagai Implementasi

Prudential Principle Pada Bank Syariah di Indonesia‛, fakultas hukum

Universitas Malikussaleh Lhokseumawe 2011. Penelitian ini membahas

16Rizka Kurnia Anggriani, ‛Studi Dewan Syariah Nasional (DSN) terhadap Aplikasi Konversi

(22)

11

tentang dasar hukum dan prinsip restrukturisasi pembiayaan pada bank

syariah di Indonesia, dan pengaturan mengenai restrukturisasi pembiayaan

mura>bah}ah dalam mendukung manajemen risiko sebagai implementasi

prudential principle pada bank syariah di indonesia. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa restrukturisasi pembiayaan mura>bah}ah pada

bank syariah dilakukan dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling),

persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali

(restructuring). Restrukturisasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan

prudential principle, artinya bank syariah dalam melakukan restrukturisasi

sudah mempertimbangkan terlebih dahulu dalam berbagai aspek, termasuk

di dalamnya meminimalkan risiko bank syariah itu sendiri dan tidak

merugikan nasabah pembiayaan mura>bah}ah. Kemudian bank syariah juga

harus memperhatikan prinsip dasar ekonomi Islam yaitu riba>, gharar dan

maysir. Selain itu, penerapan prinsip mengenal nasabah (know your

customer principles), prinsip syariah dan prinsip akuntansi syariah

merupakan bagian tak terpisahkan dari prudential principle. Penerapan

prinsip-prinsip tersebut dalam retrukturisasi pembiayaan sebagai bentuk

kepatuhan bank syariah terhadap peraturan perundang-undangan yang

berlaku.17

Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat perbedaan yang mendasar

bahwa penelitian yang pertama lebih fokus membahas tentang peralihan akad

17 Faisal, Restrukturisasi Pembiayaan Mura>bah}ah dalam Mendukung Manajemen Risiko Sebagai

(23)

12

tabungan kurban menjadi pembiayaan kurban yang menggunakan akad

mura>bah}ah atau menggunakan akad mura>bah}ah wal waka>lah. Penelitian yang

kedua lebih fokus membahas pemberian keuntungan simpanan wadi>’ah

berdasarkan bagi hasil. Penelitian yang ketiga lebih fokus membahas tentang

konversi akad dari mura>bah}ah ke musha>rakah pada nasabah yang tidak

prospektif menurut pandangan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.

49/DSN-MUI/II/2005. Penelitian keempat lebih fokus membahas mengenai

prinsip restrukturisasi pembiayaan pada bank syariah di Indonesia, dan

pengaturan mengenai restrukturisasi pembiayaan mura>bah}ah dalam

mendukung manajemen risiko sebagai implementasi prudential principle pada

bank syariah di indonesia. Sedangkan skripsi yang ditulis oleh peneliti lebih

fokus membahas pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad

pembiayaan mud}a>rabah tanpa disertai pengalihan objek pada nasabah yang

bermasalah, ditinjau dari hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai

dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui aplikasi pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad

pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiyaan mud}a>rabah pada nasabah

(24)

13

F. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam penelitian

ini, maka kegunaan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

dalam dua aspek, sebagaimana berikut:

1. Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi penambahan atau

pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum, khususnya hukum

Islam, yakni dengan memperkaya dan memperluas khazanah ilmu

tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengalihan akad

pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada

nasabah bemasalah di bait al-ma>l wa al-tamwi>l MUDA.

b. Menambah perbendaharaan karya ilmiah untuk pengembangan hukum

Islam dalam bidang Muamalah.

2. Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi

peneliti berikutnya yang memiliki minat pada tema yang sama dan

dapat digunakan sebagai bahan rujukan pemantapan kehidupan

beragama khususnya yang berkaitan dengan masalah pengalihan akad

dalam pembiayaan.

b. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat dan BMT dalam

(25)

14

G.Definisi Operasional

1. Hukum Islam: Segala aturan Allah yang berhubungan dengan al-Quran,

hadist dan pendapat-pendapat para ulama tentang pengalihan akad.

2. Pengalihan Akad: Perubahan akad pembiayaan mura>bah}ah yang telah

diperjanjikan di awal kontrak menjadi akad mud}a>rabah sebelum kontrak

selesai.

3. Akad pembiayaan mura>bah}ah: Akad pembiayaan di mana BMT bertindak

sebagai pedagang yang menjual barang kepada nasabah dengan cara

pelunasan harga barang secara angsuran. Objek dari akad mura>bah}ah

adalah barang.

4. Akad pembiayaan mud}a>rabah: Akad pembiayaan bagi hasil, di mana BMT

bertindak sebagai pemilik dana (s}a>h}ib al ma>l) dan nasabah bertindak

sebagai pekerja (mud}a>rib). Bank sebagai pemilik dana menanggung risiko

kehilangan dana. Objek dari akad mud}a>>rabah adalah usaha.

5. Nasabah bermasalah: Nasabah yang terlambat menunggak pembayaran

angsuran pembiayaan selama lebih dari 90 hari.

6. BMT MUDA: Bait al-ma>l wa al-tamwi>l Mandiri Ukhuwah Persada yang

terletak di jalan Kedinding Lor gang Tanjung nomor 47-49 Surabaya.

H.Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research).

(26)

15

penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.18

1. Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan pelaksanaan

pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan

mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA.

2. Sumber data yang digunakan ada 2 antara lain:

a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung

dari sumber pertama dalam penelitian.19 Dengan cara mengadakan

wawancara kepada responden yang telah ditetapkan. Adapun sumber

primernya adalah :

1) Manajer BMT MUDA Surabaya

2) Teller BMT MUDA Surabaya

3) Accounting Officer BMT MUDA Surabaya

4) Nasabah mura>bah}ah bermasalah yang dialihkan akadnya menjadi

mud}a>rabah

b. Sumber Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang di dapat dari

kepustakaan yang tidak berkenaan secara langsung yaitu dari

18 Moleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),

4.

(27)

16

dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang sudah berbentuk

laporan maupun yang lainnya yang berkaitan dengan penelitian. 20

sumber sekunder ini berupa dokumen-dokumen untuk

memperkuat hasil penelitian dan untuk melengkapi sumber data primer.

Adapun sumber sekunder adalah:

1)Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik.

2)Moleong J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif.

3)Ismail Nawawi, Fikih Muamalah.

4)Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam: Analisis Fikih dan keuangan.

5)Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya

6)Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk dan

Aspek-Aspek Hukumnya

3. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penelitian ini adalah:

a. Pengamatan (Observasi)

Pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan (observasi)

adalah mengamati suatu situasi yang asli dan bukan buatan manusia

secara sengaja dan dilakukan secara langsung yaitu dengan pandangan

mata tanpa perantara alat lain. Dengan tujuan mengamati secara

langsung.21 Peneliti secara langsung ikut melihat terhadap pelaksanaan

nasabah yang melakukan pembiayaan di BMT MUDA Surabaya.

(28)

17

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang

mengajukan pertanyaaan dan yang diwawancarai. pengumpulan data

yang dilakukan peneliti dengan bertanya langsung kepada pihak yang

berkaitan ini penulis ingin menggali informasi yang berkenaan dengan

penelitian penulis.22

Adapun pihak yang akan diwawancarai adalah:

1) Manajer BMT MUDA Surabaya

2) Teller BMT MUDA Surabaya

3) Accounting Officer BMT MUDA Surabaya

4) Nasabah mura>bah}ah bermasalah yang dialihkan akadnya menjadi

mud}a>rabah

c. Studi Dokumen

Mengumpulkan data dari dokumen-dokumen BMT MUDA untuk

memperoleh data mengenai pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah

menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah. Adapun

dokumen-dokumen tersebut berupa:

1) Daftar nasabah pembiayaan mura>bah}ah bermasalah.

2) Daftar nasabah pembiayaan mura>bah}ah bermasalah yang dialihkan

akadnya.

3) Dokumen perjanjian akad.

(29)

18

4. Teknik Pengelolaan Data

Tahapan dalam pengolaan data dalam penelitian itu sebagai berikut:

a. Organizing : yaitu suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.23

b. Editing : yaitu kegiatan untuk memperbaiki kualitas data (mentah) serta

menghilangkan keraguan akan kebenaran/ ketepatan data tersebut.24

c. Coding : yaitu kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang

relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.25

5. Teknik analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian adalah

menggunakan metode deskriptif analisis yaitu untuk mengambarkan atau

menjelaskan data yang berkenaan dengan pembahasan, di mana dalam

teknik ini menggambarkan fakta tentang pengalihan akad pembiayaan

mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah

di BMT MUDA Surabaya.26

Analisis tersebut menggunakan pola pikir deduktif yaitu pola pikir

yang berpijak pada teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan,

kemudian dikemukakan berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus.27

Pola pikir ini berpijak pada teori-teori akad, mura>bah}ah dan mud}a>rabah,

kemudian dikaitkan dengan fakta dilapangan tentang pengalihan akad

23 Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 66. 24 Ibid., 97.

25 Ibid., 99.

26

Moh Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2005), 63.

(30)

19

pembiayaan mura>bah}ah menjadi pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah

bermasalah di BMT MUDA yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis agar mempermudah

pembahasan di dalam penelitian. Sistematika pembahasan ini sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan, latar belakang, Rumusan

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan tentang pengalihan akad pembiayaan

mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di

BMT MUDA Surabaya.

Bab kedua, berisi tinjauan umum tentang akad, mura>bah}ah, dan

mud}a>rabah.

Bab ketiga, berisi hasil penelitian tentang mekanisme pengalihan

akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah pada

nasabah bermasalah di BMT MUDA Surabaya, yang antara lain: Gambaran

umum BMT MUDA, prosedur pembiayaan muraba>h}ah di BMT MUDA,

faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan mura>bah}ah bermasalah di

BMT MUDA, faktor-faktor yang mempengaruhi pengalihan akad

pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan mud}a>rabah di BMT

MUDA, mekanisme pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad

(31)

20

Bab keempat, menguraikan tinjauan hukum Islam terhadap

pengalihan akad pembiayaan mura>bah}ah menjadi akad pembiayaan

mud}a>rabah pada nasabah bermasalah di BMT MUDA Surabaya.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD, MURA<BAH}AH DAN MUD{A<RABAH

A.Akad

1. Pengertian Akad

Menurut bahasa, akad mempunyai beberapa arti yaitu:

a.

ُط

برلا

(mengikat), yaitu:

ج

ع

ٰأْلاِب ا حأ شي ِ ي ح يِفرط

اِص ي ى ح ِرخ

ٍ ِحا ٍطعْطِقك احِصيف

Artinya: Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian

keduanya menjadi sepotong benda. 1

b.

عْلا

(janji), sebagaimana dijelaskan dalam Alquran:











Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (QS. Al-Ma>’idah: 1).2

Janji adalah perbuatan yang bersifat sepihak. Konsekuensi yang

diterima oleh orang yang berjanji adalah ia harus menepatinya, jika tidak,

maka hubungan akibatnya adalah antara ia dengan Allah. Berbeda dengan

arti sebelumnya yaitu

ُطبرلا

(mengikat). Mengikat tidak bisa dilakukan

hanya dengan satu pihak saja, tetapi harus ada pihak lain yang

disambungkan atau diikatkan.3

1 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 44-45.

2 Kementrian Agama RI., al-Quran Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul

dan Hadits Sahih, (Bandung: Syaamil Quran, 2011), 59.

(33)

22

Akad mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila

salah seorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui

janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan

janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang

yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut

perikatan (akad). Sehingga janji saja tidak bisa disebut sebagai akad,

karena di dalam akad tidak hanya terdapat unsur janji, tetapi juga unsur

lainnya.4

Menurut istilah, akad adalah:

ٰأْلاِب ِ ي ِقاعْلا ِ حأ ِا ك ق عت

لح ْلا ىِف رثأ ر ْظي ٍج ى ع اعرش ِرخ

Artinya: Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syarak pada segi yang tampak dan berdampak pada

objeknya.5

Pengertian akad tersebut memperlihatkan bahwa pertama, akad

merupakan keterkaitan atau pertemuan ija>b dan qabu>l yang berakibat

timbulnya akibat hukum. Ija>b adalah penawaran yang diajukan oleh salah

satu pihak, dan qabu>l adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra

akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama. Akad tidak

terjadi bila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu

sama lain karena akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang

tercermin dalam ija>b dan qabu>l. 6

4 Ibid.

(34)

23

Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad

adalah pertemuan ija>b yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak

dan qabu>l yang menyatakan kehendak pihak lain. tindakan hukum satu

pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf, atau pelepasan hak

bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan

tindakan dua pihak dan kerenanya tidak memerlukan qabu>l. Konsepsi akad

sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam

modern.7

Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.

Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang

hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Akibat

hukum dari akad dalam hukum Islam disebut hukum akad. Tujuan akad

untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh pembuat hukum

syariah, sementara tujuan akad untuk akad yang tidak bernama ditentukan

oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad.8

Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu akad atau perik`atan

melalui tiga tahap, yaitu:

a. ‘Ahdu (perjajian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya

dengan kemauan orang lain. janji ini mengikat orang yang

menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang

difirmankan Allah Swt. dalam QS. Ali Imra>n: 76.

(35)

24

b. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih, yaitu pernyataan setuju dari

pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama.

Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

c. ‘Aqdu (Perikatan), apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh

para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan ‘Aqdu oleh Alquran

yang terdapat pada QS. Al-Ma>’idah: 1. Maka yang mengikat

masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian

atau ‘Ahdu tetapi ‘Aqdu. 9

Sebagai contoh, jika X menyatakan janji untuk membeli sebuah

mobil, kemudian Y menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil. Hal itu

berarti X dan Y berada pada tahap ‘Ahdu. Apabila kriteria mobil tersebut

disepakati oleh kedua belah pihak maka terjadilah persetujuan. Jika kedua

janji tersebut dilaksanakan, misalnya terjadi jual beli antara X dan Y, maka

terjadilah perikatan (‘Aqdu) di antara keduanya.10

Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan

yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata.

Subekti menjelaskan, ‛Adapun yang dimaksud dengan perikatan dalam buku III BW. adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta

beda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut

9 Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang,

1970), 122-123.

(36)

25

barang sesuatu dari yang lainnya. Sedangkan orang yang lainnya ini

diwajibkan memenuhi tuntutan itu.‛11

Sedangkan pengertian perjanjian menurut subekti adalah ‛suatu

peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.‛12

Pengertian perjanjian tersebut menjelaskan tentang adanya dua pihak

yang saling mengikatkan diri. Dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa

dalam perjanjian itu terdapat satu pihak yang mengikatkan diri kepada

pihak lain.13 peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan di antara

orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian

hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian sebagai

sumber lahirnya perikatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1233

KUH Perdata.

Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara hukum Islam

dan hukum perdata terletak pada perjanjiannya. Pada hukum Islam,

perjanjian menjadi tahapan sebelum akad atau perikatan terbentuk.

Perjanjian dalam hukum Islam bersifat sepihak. Tidak perlu persetujuan

pihak lain untuk berjanji. Sedangkan dalam hukum perdata, perjanjian dan

perikatan adalah satu tahap. Perjanjian dan perikatan dalam hukum perdata

sama-sama mempunyai dua pihak yang saling mengaitkan diri.14

11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), 122-123. 12 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), 1.

13 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW.,

(Jakarta:Rajawali Pers, 2012), 63.

(37)

26

Pengertian akad dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)

adalah ‛kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau

tidak melakukan perbuatan hukum tertentu‛.15

Akad secara konseptual atau dalam istilah syariat menurut Zuhaili

disebutkan bahwa akad adalah hubungan atau keterkaitan antara ija>b dan

qabu>l yang dibenarkan oleh syariat dan memiliki implikasi hukum tertentu.

Atau merupakan keterkaitan antara keinginan kedua belah pihak yang

dibenarkan oleh syariat dan akan menimbulkan implikasi tertentu.16

Dari beberapa pengertian akad yang telah dijelaskan, peneliti

mengambil kesimpulan bahwa akad adalah pertemuan ija>b dan qabu>l

sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih dengan cara yang

dibenarkan oleh syarak yang melahirkan suatu akibat hukum pada

objeknya.

2. Asal-Usul Akad

Akad adalah bagian dari macam-macam tas}arruf. Menurut istilah

ulama fikih, tas}arruf adalah ‛setiap yang keluar dari seseorang yang sudah

mumayiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syarak menetapkan

beberapa konsekuensi, baik berupa ucapan atau yang setingkat dengan

ucapan berupa aksi atau isyarat, sehingga makna tas}arruf dengan

pengertian ini lebih umum dari makna akad.‛17

15 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku II tentang Akad, Bab I Pasal 20 ayat (1).

16 Ismail Nawawi, Perbankan Syariah, Isu-Isu Manajemen Fiqh Muamalah Pengkayaan Teori

Menuju Praktik, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 197.

17 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, (Jakarta:

(38)

27

3. Unsur-Unsur Akad

a. Pertalian ija>b dan qabu>l.

Ija>b adalah pernyataan suatu kehendak oleh pihak pertama untuk

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabu>l adalah

pernyataan menerima atau menyetujui kehendak tersebut oleh pihak

kedua. Ija>b dan qabu>l ini harus ada dalam melakukan suatu perikatan.

b. Dibenarkan oleh syarak.

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan aturan syariat

baik dalam Alquran maupun hadith. Pelaksanaan akad, objek akad,

maupun tujuan akad tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

Karena jika bertentangan, akan mengakibatkan akad tersebut tidak sah.

Misalnya jual beli dengan objek barang haram atau suatu perikatan yang

mengandung riba.

c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.

Akad merupakan tindakan hukum (tas}arruf). Adanya akad memberikan

konsekuensi hak kewajiban yang mengikat bagi para pelakunya dan

menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan. 18

4. Rukun Akad

Rukun adalah bagian-bagian yang membentuk sesuatu, sehingga

sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuk.

Rumah misalnya terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya

yaitu fondasi, tiang, atap, dan lantai. Menurut para ulama kontemporer,

(39)

28

sebagaimana yang dikemukakan al-Zarqa’, rukun yang membentuk akad

ada empat, yaitu:

a. Para pihak yang berakad

b. Pernyataan kehendak para pihak

c. Objek akad

d. Tujuan akad19

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad hanyalah ija>b dan

qabu>l. Bagi mazhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah

unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Sedangkan akad adalah

pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui

pernyataan kehendak yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari

masing-masing pihak. Oleh karena itu unsur pokok yang membentuk akad

itu hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ija>b dan

qabu>l. Adapun para pihak dan objek akad adalah suatu unsur luar, bukan

merupakan esensi akad, sehingga tidak termasuk rukun akad.20

Namun mazhab Hanafi mengakui bahwa para pihak dan objek harus

ada dalam pembentukan akad. Hanya saja pihak dan objek akad ini berada

di luar akad, sehingga tidak dinamakan rukun. Rukun hanyalah substansi

substansi internal yang membentuk akad, yaitu ija>b dan qabu>l saja.21

19 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian..., 96. 20 Ibid., 97.

(40)

29

Sedangkan para fukaha selain ulama Hanafiyah dan al-Zarqa’

berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu orang yang berakad

(‘a>qid), sesuatu yang diakadkan (ma‘qud ‘alaih), dan s}ighat.22

a. Pelaku Akad (‘a>qid)

‘A>qid adalah pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukumnya adalah

akad, ‘a>qid mempunyai kedudukan sebagai subjek hukum. Subjek

hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai

pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua

macam, yaitu orang, baik satu orang maupun beberapa orang, dan badan

hukum. 23

1) Orang

Orang sebagai subjek hukum akad adalah pihak yang sudah

dapat dibebani hukum atau cakap hukum, yang disebut mukalaf.

Mukalaf adalah pihak yang telah mampu bertindak secara hukum,

baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dengan kehidupan

sosial. Menurut Hamzah Ya‘qub, syarat-syarat subjek akad adalah

berakal, mumayiz (dapat membedakan baik dan buruk), dan bebas

dari paksaan.24

Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan orang yang

berakad harus mumayiz. Sedangkan ulama Syafi‘iyah dan Hanabilah

22 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah..., 45.

23Hamzah Ya‘qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam berekonomi,

(Bandung: Diponegoro, 1984), 79.

(41)

30

mensyaratkan orang yang berakad harus balig, berakal, telah mampu

menjaga agama dan hartanya. Sehingga ulama Hanabilah dan

Syafi‘iyah membolehkan seorang anak kecil membeli sesuatu yang

sederhana atas seizin walinya.25 Selain itu ‘a>qid harus memenuhi

kriteria, yaitu ahliyah (kecakapan), wila>yah (kewenangan), dan

waka>lah (perwakilan).26

2) Badan Hukum

Dalam hukum perdata, pengertian orang bukan hanya orang

dalam arti yang sesungguhnya. Orang dalam hukum perdata dibagi

menjadi dua macam, yaitu person (orang) dan rechtperson (badan

hukum, dipersamakan dengan orang). Kedudukan orang baik person

maupun rechtperson sama dalam pandangan hukum nasional.

Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak

dalam hukum dan mempunyai hak dan kewajiban, dan perhubungan

hukum terhadap orang lain atau badan lain.27 Badan hukum memiliki

kekayaan yang terpisah dengan milik orang-orang yang ada dalam

badan hukum tersebut. Dengan demikian meskipun pengurus badan

hukum tersebut berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri.

Begitu pula terhadap akad yang dijalankan badan hukum, meskipun

25 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah..., 54. 26 Ibid., 64.

(42)

31

berganti pengurus, tidak berpengaruh terhadap akad yang dijalankan

oleh badan hukum.28

b. Pernyataan Kehendak Para Pihak (S}i>ghat)

S}i>ghat adalah pernyataan kehendak para pihak yang melakukan

akad berupa ija>b qabu>l. Ija>b adalah pernyataan pihak pertama dalam

melakukan penawaran untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Qabu>l adalah pernyataan pihak kedua sebagai bentuk menerima

penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu. Para ulama fikih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ija>b

dan qabu>l agar memiliki akibat hukum, yaitu:

1) S}i>ghat akad harus jelas pengertiannya, sehingga tidak menimbulkan

makna lain.

2) Harus ada kesesuaian antara ija>b dan qabu>l.

3) Menunjukkan kesungguhan dan kemauan kehendak para pihak secara

pasti, tidak ragu, dan tidak ada keterpaksaan. 29

Ija>b dan qabu>l dapat dilakukan dengan empat cara:

1) Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk

pernyataan lisan secara jelas.

2) Tulisan. Adakalanya para pihak tidak bisa mengungkapkan langsung

secara lisan, sehingga menggunakan tulisan. Misalnya para pihak

yang letaknya berjauhan.

(43)

32

3) Isyarat. Bagi orang tertentu, akad atau ija>b qabu>l tidak bisa dilakukan

dengan lisan dan tulisan, sehingga mereka menggunakan isyarat

untuk melakukan ija>b qabu>l. Misalnya orang bisu atau tuli.

4) Perbuatan. Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak

yang telah saling memahami perbuatan akad tersebut dan saling

mengetahui akibat hukumnya. Misalnya jual beli di swalayan. Hal ini

disebut ta‘a>t}i (saling memberi dan menerima).30

c. Objek Akad

Objek akad adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan pada

sesuatu tersebut dikenakan akibat hukum yang ditimbulkan. Objek akad

bisa berupa benda atau manfaat. Objek akad harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

1) Objek transaksi harus ada ketika akad atau transaksi dilaksanakan.

Tidak dibolehkan melakukan transaksi terhadap objek yang tidak ada.

Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal. Kecuali dalam

akad-akad tertentu seperti salam dan istisna’, yang diperkirakan ada

dikemudian hari.

2) Objek transaksi merupakan barang yang diperbolehkan dalam syariat

Islam. Tidak boleh bertransaksi atas darah, bangkai, babi, dan

sebagainya.

3) Objek akad atau transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad

atau dimungkinkan dikemudian hari. walaupun objek tersebut ada

(44)

33

dan dimiliki ‘a>qid, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad itu

batal.

4) Adanya kejelasan tentang objek transaksi. Objek tersebut harus

diketahui oleh kedua belah pihak untuk menghindari perselisihan

dikemudian hari.

5) Objek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang

najis. Syarat ini diajukan oleh ulama selain mazhab Hanafi. 31

d. Tujuan Akad

Syarat-syarat tujuan agar akad dipandang sah dan sempurna

adalah:

1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas

pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.

2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan

akad.

3) Tujuan harus dibenarkan syarak. 32

5. Syarat-Syarat Akad

a. Syarat Terbentuknya Akad

Syarat terbentuknya akad ada delapan macam yaitu tamyiz,

berbilang pihak, persesuaian ija>b qabu>l, kesatuan majelis akad, objek

akad dapat diserahkan, objek akad tertentu atau dapat ditentukan, objek

31 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia indonesia, 2012), 23. 32 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta:UII

(45)

34

akad dapat ditransaksikan, tujuan akad tidak bertentangan dengan

syarak.33

b. Syarat Keabsahan Akad

Syarat keabsahan akad adalah unsur-unsur penyempurna rukun

dan syarat terbentuknya akad yang menjadikan suatu akad sah. Syarat

keabsahan ini dibagi menjadi dua yaitu syarat-syarat keabsahan umum

yang berlaku terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap

kebanyakan akad, dan syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi

masing-masing akad khusus.34

Rukun pertama, para pihak yang berakad, tidak memerlukan sifat

penyempurna. Rukun kedua, pernyataan kehendak para pihak, menurut

jumhur ahli hukum Islam memerlukan penyempurna, yaitu persetujuan

ija>b dan qabu>l itu harus dicapai secara bebas tanpa adanya paksaan.

Apabila terjadi paksaan, maka akadnya fasid. Rukun ketiga, objek akad,

memerlukan unsur penyempurna, yaitu bahwa penyerahan itu tidak

menimbulkan kerugian, tidak menimbulkan gharar, bebas dari syarat

fasid dan bebas dari riba.35

c. Syarat Berlakunya Akibat Hukum

Akad yang sah adalah akad yang telah memenuhi rukun, syarat

terbentuknya, dan syarat keabsahannya. Akad yang sah dibedakan

menjadi dua yaitu:

33 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian...,98. 34 Ibid., 100.

(46)

35

1) Akad mawkuf, akad yang sah tetapi belum dapat dilaksanakan akibat

hukumnya karena belum memenuhi syarat berlakunya akibat hukum.

2) Akad nafiz, akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya

karena telah memenuhi syarat berlakunya akibat hukum. 36

Supaya akad yang sah bisa dilaksanakan akibat hukumnya dan

tidak menjadi akad mawkuf, maka akad yang sudah sah harus memenuhi

dua syarat berlakunya akibat hukum, yaitu:

1) Adanya kewenangan sempurna atas objek akad.

2) Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan.37

6. Macam-Macam Akad

a. Akad Munji>z yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu

selesainya akad.

b. Akad mu‘allaq adalah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat

syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad. Misalnya ketentuan

bahwa barang akan diserahkan setelah adanya pembayaran.

c. Akad mud}a>f adalah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat

syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang

pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. 38

36 Ibid., 102-104. 37 Ibid.

(47)

36

Pembagian akad berdasarkan sudut tinjauannya yaitu:

a. Berdasarkan ada tidaknya qismah pada akad:

1) Akad musamma, yaitu akad yang telah ditetapkan oleh syarak dan

telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, ijarah, dan lain-lain.

2) Akad ghair musamma adalah akad yang belum ditetapkan oleh syarak

dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.39

b. Berdasarkan disyariatkan atau tidak:

1) Akad musya>ra‘ah adalah akad-akad yang dibenarkan oleh syarak

seperti jual beli dan gadai.

2) Akad mamnu>‘ah adalah akad-akad yang dilarang syarak seperti

menjual ikan di dalam perut induknya.40

c. Berdasarkan sah dan batalnya akad:

1) Akad s}a>lih}ah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik

syarat yang khusus maupun syarat yang umum.

2) Akad fa>s}idah}, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang

salah satu syaratnya. Misalnya menikah tanpa wali.41

d. Berdasarkan sifat bendanya:

1) Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan

barang-barang seperti jual beli

2) Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan

penyerahan barang-barang, seperti akad amanah.42

(48)

37

e. Berdasarkan cara melakukannya:

1) akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad

nikah dihadiri oleh dua orang saksi dan wali.

2) Akad rid}a>’iyah adalah akad-akad yang dilakukan tanpa upacara

tertentu dan terjadi karena keridaan dua belah pihak seperti akad

pada umumnya.43

f. Berdasarkan berlaku dan tidaknya akad:

1) Akad na>fiz}}ah yaitu akad yang bebas atau terlepas dari

penghalang-penghalang akad.

2) Akad mawqu>fah adalah akad-akad yang betalian dengan

persetujuan-persetujuan seperti akad fud}uli (akad yang belaku setelah disetujui

pemilik harta).44

g. Berdasarkan luzu>m dan dapat dibatalkannya:

1) Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat

dipindahkan seperti pada akad nikah, manfaat perkawinan tidak dapat

dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah

dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan oleh syarak seperti talak

dan khulu‘.

2) Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat

dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan

akad-akad lainnya.

(49)

38

3) Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang

yang menggadaikan sesuatu mempunyai kebebasan kapan saja ia

akan melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.

4) Akad la>zimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu

persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh orang

yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan.

Atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang

dititipkan tanpa menunggu persetujuan yang menitipkan.45

h. Berdasarkan tukar menukar hak:

1) Akad mu‘a>wad}ah, yaitu akad yang berlaku atas timbal balik seperti

jual beli.

2) Akad tabarru‘a>t, yaitu akad yang berlaku atas dasar tolong

menolong.46

i. Berdasarkan harus dibayar ganti dan tidaknya:

1) Akad d}ama>n, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua

setelah benda-benda itu diterima.

2) Akad ama>nah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda,

bukan oleh yang memegang barang, seperti akad gadai.

3) Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi

merupakan d}ama>n, menurut segi yang lain merupakan amanah,

seperti rahn (gadai).47

(50)

39

j. Berdasarkan tujuannya:

1) Bertujuan tamli>k, seperti jual beli.

2) Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama.

3) Bertujuan tauthi>q (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan

kafalah.

4) Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti waka>lah.

5) Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti titipan.48

k. Berdasarkan faur dan istimra>r:

1) Akad fauriyah adalah akad yang dalam pelaksanaannya tidak

membutuhkan waktu yang lama. Misalnya jual beli.

2) Akad istimra>r, disebut pula akad zama>niyah, yaitu hukum akad terus

berjalan.49

l. Berdasarkan As}liyah dan t}abi‘iyah :

1) Akad as}liyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan

adanya sesuatu dari yang lain, seperti jual beli.

2) Akad t}abi‘iyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain.

seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada hutang.50

7. Berakhirnya Akad

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya.

Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang berakhir apabila barang

telah berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli, dan harganya

(51)

40

telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan kafalah, akad dipandang

telah berakhir apabila utang telah dibayar.51

Akad dipandang berakhir juga apabila terjadi fasakh atau telah

berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab sebagai berikut:

a. Adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syarak seperti yang disebutkan

dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat

kejelasan.

b. Adanya khiya>r.

c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena

menyesal atas akad yang baru saja dilakukan.

d. Kewajiban yang timbul karena adanya akad tidak dipenuhi oleh salah

satu pihak

e. Habisnya jangka waktu, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka

waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.52

B.Mura>bah}ah

1. Pengertian Mura>bah}ah

Menurut bahasa, Mura>bah}ah berasal dari kata

ًحبار

-

حِباري

-

حِبار

yang berarti saling menguntungkan. 53 Sedangkan menurut istilah,

pengertian Mura>bah}ah adalah jual beli barang pada harga asal dengan

tambahan kentungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga

51 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum...,145. 52 Ibid.

53 Syarif Hidayatullah, Qawa‘id Fiqiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah

(52)

41

produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai

tambahannya.54

Mura>bah}ah merupakan produk pembiayaan perbankan syariah yang

dilakukan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli. Namun Mura>bah}ah

bukan bentuk transaksi jual beli biasa antara satu pembeli dan satu penjual

saja sebagaimana yang kita kenal dalam dunia bisnis perdagangan di luar

perbankan syariah. 55

Pada akad Mura>bah}ah, bank membiayai pembelian barang atau aset

yang dibutuhkan nasabahnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu

dari pemasok barang. Setelah kepemilikan barang itu secara yuridis berada

di tangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah

dengan menambahkan suatu mark-up atau margin atau keuntungan di mana

nasabah harus diberitahu oleh bank berapa harga beli bank dari pemasok

dan menyepakati berapa besar margin yang dtambahkan ke atas harga beli

bank tersebut.56

2. Dasar Hukum Mura>bah}ah

a. Alquran:

QS. Al-baqarah (2) : 275

                                              

54 Amir Machmud, Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia,

(Jakarta: Erlangga, 2010), 27.

55 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk dan aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta:

Kencana, 2014), 191.

(53)

42                                      

Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di

dalamnya.57 b. Hadis:

ع

ص

ي

ِب

ا

ا

ِي

ص

ُها ى

ع

يِ

س

ق

لا

ث :

ا

ِفي

ِ

ْلا

ر

ك

ُ

ا :

ْلي

ع

ِإل

ى

اج

ل

،

ْلا

ق

را

ض

ُ

أخ

ا

ُط

ْلا

ِر

ِب

شلا

ِعي

ِر

ل

Gambar

Tabel
Gambar        Halaman
 Gambar 2.1
Daftar Kolektibilitas Nasabah Pembiayaan BMT MUDA Tabel 3.1
+2

Referensi

Dokumen terkait

kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang kalau plagiarisme yang menjiplak karya orang lain saja masih marak. | Plagiarism

Diantara pemikirannya adalah mengenai konsep falah, hayyah thayyibah, dan tantangan ekonomi umat Islam, kebijakan moneter, lembaga keuangan syariah yang lebih ditekankan kepada

Angka tersebut jauh lebih rendah dari dampak komponen pertumbuhan agregat Provinsi Aceh yang mampu mempengaruhi peningkatan kinerja perekonomian Kabupaten

8.6 In the event that the Purchaser defaults in complying with any of the conditions herein or fails to pay the Balance Purchase Price within the time allowed, then the Assignee

Napas aktif pertama menghasilkan rangkaian peristiwa tanpa gangguan (1) dapat membantu perubahan sirkulasi janin menjadi sirkulasi dewasa, (2) mengosongkan paru

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Kelengkapan Laporan

dibekali dengan materi penguasaan nahwu (tata bahasa), sorof (etimologi), misalnya kitab al-Jurumiah , al- Imriti , dan al- Fiyah serta Amtsilatul Tasrifiyah (sebuah kitab

Layaknya buku-buku keagamaan lainnya, kedua tafsir Sunda ini dimulai dengan memberikan kata pengantar ( bubuka atau muqaddimah ). Di sini dijelaskan latar belakang penyusunan