TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA
PENIPUAN OLEH DUKUN PENGGANDAAN UANG
(Studi Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg)
SKRIPSI
Oleh
Syafiqotul Maula NIM. C73213099
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Hukum Pidana Islam
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Penipuan oleh Dukun Penggandaan Uang (Studi Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg)”. Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana pertimbangan Hakim dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang serta bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum Hakim dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang.
Data penelitian diperoleh dengan mengumpulkan data secara dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan cara menelaah dokumen. Dengan cara membaca, mengkaji, merangkum, menulis dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang. Selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif untuk diambil kesimpulan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan hukum Hakim mengenai tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg menurut tinjauan hukum pidana Islam sudah sesuai karena termasuk dalam kategori hukuman jarimah takzir dan tidak ada ketentuan nas yang mengatur secara eksplisit tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang, sehingga dalam menjatuhkan hukuman diberikan sepenuhnya kepada Hakim atau dalam hal ini ulil amri.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JARIMAH TAKZIR ... 21
A. Pengertian Tindak Pidana atau Jarimah menurut Hukum Islam ... 21
B. Pengertian Jarimah Takzir ... 23
C. Macam-macam Sanksi Hukum Jarimah Takzir ... 28
D. Macam-macam Jarimah Takzir ... 48
E. Pengertian Penipuan (Tadlîs) ... 51
F. Macam-macam Penipuan (Tadlîs) ... 52
BAB III DASAR HUKUM DAN PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NOMOR 225/Pid.B/2014/PN. Lmg TENTANG TINDAK PIDANA PENIPUAN OLEH DUKUN PENGGANDAAN UANG ... 56
A. Deskripsi Kasus Tindak Pidana Penipuan oleh Dukun Penggandaan Uang dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pi.B/2014/PN. Lmg ... 56
B. Landasan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Lamongan dalam Menyelesaikan Kasus Tindak Pidana Penipuan oleh Dukun Penggandaan Uang dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg ... 62
C. Pertimbangan Hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lamongan ... 64
D. Amar Putusan Hakim ... 73
A. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN. Lmg Tentang Tindak Pidana Penipuan
Oleh Dukun Penggandaan Uang ... 75
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg Tentang Tindak Pidana Penipuan Oleh Dukun Penggandaan Uang ... 79
BAB V PENUTUP ... 86
A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi secara tegas
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Pengertian Negara hukum
sesungguhnya mengandung makna bahwa suatu Negara menganut ajaran dan
prinsip-prinsip tentang supremasi hukum di mana hukum dijunjung tinggi
sebagai pedoman dan penentu arah kebijakan dalam menjalankan prinsip
kehidupan berbangsa dan bernegara.1
Yang dimaksud hukum pada umumnya adalah keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama,
keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.2 Kaedah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit, yaitu
kepada pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, ditujukan pula untuk
ketertiban masyarakat agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, dan agar
tidak terjadi kejahatan.3 Namun belakangan ini, terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis moral.
Bertambahnya angka pengangguran serta kejahatan menjadi cerminan
1
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta, 2013), 1.
2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 40.
3
Ibid., 12.
2
terhadap dampak meningkatnya kejahatan ini. Meningkatnya angka
pengangguran memberikan pengaruh besar terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat. Kemudian dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, sebagian
masyarakat lebih cenderung tidak mempedulikan norma atau kaidah hukum
yang berlaku. Karena dengan tingginya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan untuk mempertahankan hidup, sebagian masyarakat akhirnya
memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak
sesuai dengan norma serta kaidah hukum yang berlaku.
Salah satu bentuk kejahatan yang saat ini marak di masyarakat yaitu
penipuan dengan modus penggandaan uang. Bagi para oknum, tindak pidana
penipuan tidaklah begitu sulit untuk dilakukan. Penipuan bisa terlaksana
cukup dengan bermodalkan kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga
seseorang dapat meyakinkan orang lain, baik melalui serangkaian kata
bohong ataupun fiktif. Sekarang ini banyak sekali terjadi tindak pidana
penipuan dengan berbagai macam modus. Perkembangan ini menunjukkan
semakin tingginya tingkat intelektualitas dari pelaku kejahatan penipuan
yang semakin merajalela.
Tindak pidana penipuan merupakan kejahatan terhadap harta benda.
Tindak pidana penipuan diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dalam Bab XXV, di mana kejahatan penipuan di dalam
bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 378 KUHP yang dirumuskan
sebagai berikut :4
4
3
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan penjara paling lama empat tahun.”
Dalam ketentuan Pasal 378 KUHP, penipuan terdiri dari unsur-unsur
obyektif yang meliputi barang siapa (orang), menggerakkan orang lain agar
orang lain tersebut (menyerahkan suatu benda, mengadakan suatu perikatan
utang, dan meniadakan suatu piutang), dengan memakai (sebuah nama palsu,
suatu sifat palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kata-kata bohong).
Selanjutnya adalah unsur-unsur subyektif yang meliputi dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.5 Akhir-akhir ini di Indonesia dihadapkan oleh permasalahan yang
tergolong baru. Seiring dengan perkembangan yang ada tindak pidana
penipuan juga mengalami perkembangan yang cukup membingungkan
pikiran. Tindak pidana penipuan yang telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan berbagai modus yang
bermacam-macam salah satunya adalah penipuan oleh dukun dengan modus
penggandaan uang telah membuat para penegak hukum semakin harus
memutar otak untuk dapat membuktikannya.
Dalam Islam suatu tindak kejahatan disebut dengan jinayah yaitu
suatu tindakan yang dilarang oleh syarak karena dapat menimbulkan bahaya
bagi agama, jiwa, harta, keturunan dan akal. Dengan demikian istilah fikih
5
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 142.
4
jinayah sama dengan hukum pidana, adapun seseorang yang melakukan
kejahatan dapat dikenakan hukuman. Dalam Islam hukuman tersebut disebut
dengan hudud, yaitu suatu sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh
nas.6
Menurut hukum pidana Islam (fikih jinayah) tindak pidana penipuan
merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan harta benda. Sama halnya
dengan pidana pencurian dan pidana perampokan. Perbedaannya dengan
tindak pidana pencurian, yaitu kesalahan bukan hanya pada pihak penipu,
melainkan pihak pemilik harta juga bersalah, yaitu karena kebodohannya,
sehingga ia tertipu. Namun jika ditinjau dari sisi pelakunya, penipu lebih
memiliki potensi psikis yaitu kepandaian, baik dalam kata-kata, maupun
dalam bidang administrasi. Dampak negatif yang ditimbulkannya, yaitu
kerugian dari pihak korban, besar kemungkinan berlipat ganda daripada
kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian.
Telah dijelaskan secara rinci tentang ayat-ayat yang mengatur
tentang perbuatan penipuan ini. Namun secara umum sebagaimana
disebutkan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 188, yang berbunyi :
ۡ ﻮ ۡ أ ا ٓﻮ ۡﺄ ﻻو ﻄ ۡﭑ ﻰ إ ٓﺎﮭ اﻮ ۡﺪ و مﺎﱠ ﺤۡ لﻮ ۡ أ ۡ ﺎٗﻘ ﺮﻓ اﻮ ۡﺄ سﺎﱠ ۡﺛ ۡﻹﭑ ۡ أو نﻮ ۡﻌ ۱۸۸
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.7
6
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), 4.
7
5
Berhubungan dengan masalah tindak pidana penipuan, dari Abu
Hurairah RA. :
ﺴلْﻮُ ﺴر ﱠنﺴأ
ًﻼﺴﺴـ ُﺴِﺎﺴﺻﺴأ ْﺖﺴﺎﺴﺴـﻓ ﺎﺴﻬْـِﻓ ُﺴﺪﺴ ﺴ ﺴﺧْدﺴﺄﺴﻓ ﺳمﺎﺴﺴ ِةﺴﺮْـُﺻ ﻰﺴﺴﱠﺮﺴ ﺴﱠﺴ ﺴو ِْﺴﺴ ُﷲ ﻰﱠﺴﺻ ِﷲ
ﺴﱠ ﺒ ﺴقْﻮﺴـﻓ ُﺴﺘْﺴﺴﺟ ﺴﻼﺴﻓﺴأ ﺴلﺎﺴ ِﷲ ﺴلْﻮُ ﺴرﺴ� ُءﺎﺴﱠ ﺒ ُْﺘﺴـﺎﺴﺻﺴأ ﺴلﺎﺴ ِمﺎﺴﱠ ﺒ ﺴ ِﺣﺎﺴﺻﺴ� ﺒﺴﺬﺴﺎﺴ ﺴلﺎﺴﺴـﻓ
ْ ﺴﻛ ِمﺎ
ِّﲏِ ﺴ ْﺴﺴـﻓ ﱠﺶﺴﻏ ْﻦﺴ ُسﺎﱠﺒ ُﺒﺴﺮﺴـ
Rasulullah saw. bersabda pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau masukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya dibagian atas agar manusia dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim No. 102)8
Juga dari Abu Hurairah RA. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
ﺎﱠِ ﺴ ْﺴﺴـﻓﺎﺴﱠﺸﺴﻏ ْﻦﺴﺴوﺎﱠِ ﺴ ْﺴﺴـﻓ ﺴح ﺴﻼِّ ﺒ ﺎﺴْـﺴﺴ ﺴ ﺴﺴﲪ ْﻦﺴ
Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami. (HR. Muslim No. 101)9
Dalam hukum Islam tidak secara jelas dicantumkan mengenai
perbuatan penipuan, masih harus dicari persamaan hukumnya dengan cara
mempergunakan kaidah fikih, bahwa cara memperoleh harta itu harus
melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat tidak boleh melalui jalan yang
8
Abu Muawiah, “Haramnya Semua Bentuk Penipuan”, al-atsariyyah.com/haramnya-semua-bentuk-penipuan.html, diakses pada 18 Desember 2016.
9
Abu Muawiah, “Haramnya Semua Bentuk Penipuan”, al-atsariyyah.com/haramnya-semua-bentuk-penipuan.html, diakses pada 18 Desember 2016.
6
menyebabkan kerugian terhadap orang lain, juga harus ada keseimbangan
antara kedua belah pihak mengenai imbalan jasa dan jasa yang digunakan
supaya tidak ada yang dirugikan satu sama lain.
Di Indonesia kasus penipuan semakin merajalela, akhir-akhir ini
penipuan oleh dukun penggandaan uang menjadi topik yang sering
diperdebatkan oleh masyarakat. Penipuan oleh dukun penggandaan uang itu
terjadi karena masyarakat masih banyak yang mempercayai hal-hal mistis.
Terbukti dengan banyaknya praktek perdukunan yang masih diminati banyak
orang. Tiap orang yang menggunakan jasa dukun atau paranormal memiliki
tujuan tertentu. Kebanyakan dari mereka bertujuan agar hidupnya sukses,
cepat kaya, untuk mendapatkan jodoh, menyembuhkan penyakit dan
lain-lainnya. Kepercayaan terhadap hal-hal gaib tersebut yang kemudian
dimanfaatkan oleh orang jahat untuk meraup keuntungan dimana mereka
berpura-pura menjadi paranormal dengan sedikit berakting dan akhirnya
dapat mengelabui orang lain. Modus perdukunan ini cukup jitu terbukti
banyaknya kasus penipuan dengan menggunakan modus perdukunan.
Korbannya adalah orang yang memang percaya dengan hal-hal gaib.
Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg, yang terjadi di
Lamongan merupakan salah satu kasus tindak pidana penipuan dengan
modus penggandaan uang. Pada tanggal 31 Mei 2014 terdakwa Hariyanto
Rakijo, Riyanto, dan Jumari awalnya merayu Rido’i dengan kata-kata rayuan
bohong bahwa ia bisa menggandakan uang Rido’i dengan cara ritual-ritual
7
mempunyai uang mengajak Sampurno yang merupakan pamannya untuk
menggandakan uang. Sampurno yang awalnya ragu akhirnya setuju karena
dirayu dengan kata-kata terdakwa. Namun saat uang sudah diberikan dan
proses ritual beberapa hari tepatnya tanggal 3 Juni 2014 uang Rido’i dan
Sampurno ternyata belum berlipat ganda. Ketika ditanyakan terdakwa
beralasan ghoibnya belum mau masuk sehingga belum berhasil ritualnya.
Karena Rido’i dan Sampurno ragu dengan keterangan terdakwa, maka
korban melaporkan terdakwa ke pihak yang berwenang. Akibat perbuatan
terdakwa tersebut, maka korban mengalami kerugian Rp. 25.000.000,- (Dua
puluh lima juta rupiah). Kasus ini melanggar Pasal 378 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi : “Barangsiapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan penjara
paling lama empat tahun.”10 Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya tindakan dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus tersebut, yakni
dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak pidana penipuan
dengan modus penggandaan uang. Hal ini bertujuan agar tercipta tatanan
kehidupan masyarakat yang aman, tentram, harmonis dan damai.
10
8
Berdasarkan hal-hal di atas maka penulis bermaksud untuk menulis
dan menyusun skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap
Tindak Pidana Penipuan oleh Dukun Penggandaan Uang” (Studi Direktori
Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg). Dengan harapan skripsi ini dapat
membantu kepedulian dan kepekaan terhadap hak-hak seseorang untuk hidup
tanpa mengabaikan aturan-aturan hukum baik yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang telah diatur dalam
pidana Islam, sehingga dapat diketahui perbandingan antara hukum pidana
Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia dalam menegakkan dan menciptakan keadilan di masyarakat
khususnya yang menyangkut tindak pidana penipuan dengan modus
penggandaan uang yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabaikan
norma-norma hukum.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai
berikut :
1. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana penipuan oleh
dukun penggandaan uang.
2. Sanksi tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang menurut
9
3. Pertimbangan hukum Hakim terhadap kasus penipuan oleh dukun
penggandaan uang dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg.
Sedangkan batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Pertimbangan hukum Hakim terhadap tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg.
2. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum Hakim
dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak
pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum
Hakim dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang
tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang?
10
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.11
Penelitian tentang tindak pidana penipuan memang cukup banyak
dan beragam, namun keberagaman tema tersebut justru merefrensikan suatu
yang berbeda, baik mengenai objek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat
dipahami dalam beberapa penelitian sebagai berikut :
1. Skripsi Istiqomah, Jurusan Mu’amalah Jinayah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Hukuman
Tindak Pidana Penipuan dalam Pasal 378 KUHP”, intinya skripsi
tersebut membahas tentang penipuan secara umum menurut pasal 378
KUHP, dalam penulisan skripsi tersebut lebih mengedepankan pasal 378
KUHP. Dalam tinjauan hukum Islam perbuatan penipuan termasuk
perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt.12 Sedangkan dalam skripsi ini yang ditinjau dari hukum pidana Islam adalah tindak pidana penipuan
penggandaan uang yang dilakukan oleh dukun.
2. Skripsi Wiwit Trisningati, Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, dengan judul “Studi Komperatif tentang Tindak Pidana
Penipuan Menurut Pasal 378-393, KUHP, dan Hukum Islam”. Skripsi
tersebut membahas tentang perbandingan tindak pidana penipuan secara
11
Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016), 8.
12
Istiqomah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Hukuman Tindak Pidana Penipuan dalam Pasal 378 KUHP” (Skripsi--Jurusan Mu’amalah Jinayah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1997).
11
umum menurut pasal 378-393 dalam perbandingannya antara KUHP dan
Hukum Islam.13 Dalam penulisan skripsi tersebut Wiwit Trisningati lebih banyak membahas penipuan secara umum menurut KUHP dan Hukum
Islam. Sedangkan dalam skripsi ini yang ditinjau dalam hukum pidana
Islam adalah penipuan yang bermodus penggandaan uang oleh dukun.
3. Skripsi Tyas Pratiwi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, dengan judul “Penerapan Sanksi Pidana Penipuan yang
dilakukan Secara Berlanjut di Pengadilan Negeri Karanganyar (Studi
Putusan Nomor 284/Pid.B/2009/PN.Kry)” membahas tentang
pertimbangan Hakim dalam perkara penerapan sanksi pidana penipuan
yang dilakukan yang dilakukan secara berlanjut dalam perkara penipuan
di atas. Kemudian juga membahas tentang hubungan sanksi pidana yang
dituntut oleh jaksa penuntut umum dan sanksi pidana yang diputus oleh
Hakim. Perbedaannya adalah pada penipuan itu sendiri.14 Dalam skripsinya Tyas Pratiwi membahas penipuan yang berlanjut. Sedangkan
penelitian hukum ini atau skripsi ini membahas tentang modus yang
dilakukan dalam tindak penipuan, yaitu penipuan dengan modus
penggandaan uang oleh dukun. Kesamaannya adalah sama dalam
pembahasan mengenai tindak pidana penipuan.
13
Wiwit Trisningati, “Studi Komperatif tentang Tindak Pidana Penipuan Menurut Pasal 378-393, KUHP, dan Hukum Islam” (Skripsi--Jurusan Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2003).
14
Tyas Pratiwi, “Penerapan Sanksi Pidana Penipuan yang dilakukan Secara Berlanjut di Pengadilan Negeri Karanganyar (Studi Putusan Nomor 284/Pid.B/2009/PN.Kry)” (Skripsi--Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010).
12
4. Skripsi Nur Ikhsan Fiandy, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar, dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana
Penipuan (Studi Kasus Putusan Nomor 337/Pid.B/2011/PN.Mks)”
membahas tentang penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana
penipuan, khususnya dalam Putusan Nomor 337/Pid.B/2011/PN.Mks dan
membahas pertimbangan Hakim yang menjatuhkan putusan tersebut.15 Perbedaannya adalah pada bentuk penipuan itu sendiri. Dalam
skripsinya, Nur Ikhsan Fiandy mengambil obyek penelitian kasus
penipuan dengan modus tawaran kerjasama antar dua perusahaan untuk
membangun sebuah pusat perbelanjaan. Namun dalam penulisan skripsi
ini penulis akan mengambil obyek tindak pidana penipuan dengan modus
penggandaan uang.
5. Skripsi Akbar Nur Alimuddin, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar, dengan judul “Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan
Penipuan dengan Modus Undian Berhadiah (Studi Kasus di Kota
Makassar tahun 2010-2012)” membahas faktor terjadinya penipuan
dengan modus kupon undian dan upaya penanggulangan yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum terhadap kejahatan penipuan dengan modus
undian berhadiah.16 Perbedaannya adalah pada analisa yang digunakan. Akbar Nur Alimuddin menggunakan analisis khusus yaitu analisis
15
Nur Ikhsan Fiandy, “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Penipuan (Studi Kasus Putusan Nomor 337/Pid.B/2011/PN.Mks)” (Skripsi--Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012).
16
Akbar Nur Alimuddin, “Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Penipuan (Studi Kasus di Kota Makassar Tahun 2010-2012)” (Skripsi--Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013).
13
kriminologis. Sedangkan dalam penulisan skripsi ini tidak hanya analisis
kriminologis namun juga menggunakan analisa yuridis. Perbedaan juga
terdapat dalam metode penelitian. Dalam skripsi Akbar Nur Alimuddin
adalah modus undian berhadiah, sedangkan dalam skripsi ini adalah
modus penggandaan uang.
6. Jurnal Hukum Cepi Heru Purnama, Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana
dengan Cara Hipnotis di Kaitkan dengan Pasal 378 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penipuan”. Dalam jurnal hukum ini
membahas tentang perumusan masalah mengenai pengambilan barang
orang lain dengan cara hipnotis dapat dijerat dengan Pasal 378 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penipuan dan
Pertanggungjawaban pidananya.17 Sedangkan dalam skripsi ini yang dibahas tentang perumusan masalah dengan modus penipuannya adalah
penggandaan uang oleh dukun.
Beberapa literatur yang telah disebutkan di atas, belum ada yang
membahas tentang “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana
Penipuan Oleh Dukun Penggandaan Uang (Studi Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg)”. Perbedaan dalam penelitian ini adalah pada
modus yang digunakan dalam melakukan tindak pidana penipuan, modus
dalam skripsi ini ada modus penggandaan uang oleh dukun. Kemudian juga
17
Cepi Heru Purnama, “Pertanggungjawaban Pidana dengan Cara Hipnotis di Kaitkan dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penipuan” (Jurnal Hukum--Universitas Padjajaran, Bandung, 2013).
14
dalam melakukan penelitian ini, penulis akan menggunakan studi
kepustakaan dalam menganalisis kasus tersebut.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang sejalan dengan rumusan masalah di
atas, antara lain :
1. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
hukum Hakim dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg
tentang tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya
dua aspek, yaitu :
1. Manfaat teoritis
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
penelitian terhadap hukum, yang mampu memperkaya khazanah ilmu
hukum. Selain itu, manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperluas
cakupan tindak pidana atau jarimah dalam keilmuan hukum pidana Islam
15
2. Manfaat praktis
Penelitian ini mampu memberikan solusi alternatif dalam
memberikan hukuman yang sesuai bagi pelaku tindak pidana penipuan
dengan modus penggandaan uang dan memberikan daya pencegahan
terhadap terjadinya tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan
uang.
G. Definisi Operasional
Sebelum membahas permasalahan di dalam skripsi ini. Berikut akan
diberikan batasan pengertian atas beberapa istilah umum yang terkait
dengan permasalahan. Batasan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan
yang terkait dengan skripsi ini terjadi persamaan persepsi dalam memahami
permasalahan yang ada, diantaranya :
1. Hukum Pidana Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah teori
hukum takzir atau jarimah takzir.
2. Penipuan dalam skripsi ini adalah perbuatan dengan segala tipu muslihat
yang dilakukan oleh seseorang. Dalam kasus ini penipuan yang dilakukan
adalah dengan modus penggandaan uang.
3. Dukun penggandaan uang dalam skripsi ini adalah seseorang yang
mengaku bisa menggandakan uang dengan tipu muslihatnya sehingga
16
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif
dengan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa
data tertulis dari dokumen, Undang-Undang dan artikel yang dapat ditelaah.
Untuk mendapatkan hasil penelitian akurat dalam menjawab beberapa
persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka menggunakan metode :
1. Data
Data yang dihimpun untuk menjawab masalah dalam penelitian
ini adalah data mengenai proses lahirnya Putusan Pengadilan Negeri
Lamongan terhadap tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan
uang, yang meliputi :
a. Pertimbangan Hakim yang dipergunakan oleh Hakim Pengadilan
Negeri Lamongan dalam menyelesaikan perkara dalam Direktori
Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana
penipuan oleh dukun penggandaan uang.
b. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum Hakim
dalam Direktori Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang
tindak pidana penipuan oleh dukun penggandaan uang yang
diputuskan Pengadilan Negeri Lamongan.
2. Sumber data
17
Sumber data primer adalah sumber yang langsung
memberikan informasi data kepada pengumpul data.18 Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan sumber primer adalah Direktori
Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana
penipuan oleh dukun penggandaan uang.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber yang secara tidak
langsung memberikan informasi data kepada pengumpul data.
Misalnya melalui orang lain atau dokumen.19 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah :
1) Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin,
Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan
Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana, (Bandung: Alfabeta,
2013).
2) Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum , (Yogyakarta: Liberty,
2007).
3) Tim Redaksi Umbara, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Umbara, 2010).
4) P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus
Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009).
18
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), 225.
19
Ibid., 225.
18
5) Munajat Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Teras, 2009).
6) Departement Agama RI, Alquran dan terjemahannya, (Jakarta:
PT.Syamil, 2005).
7) Abu Muawiah, “Haramnya Semua Bentuk Penipuan”,
al-atsariyyah.com/haramnya-semua-bentuk-penipuan.html.
8) Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008).
9) Tim penyusun Fakultas Syariah dan Hukum, Petunjuk Teknis
Penulisan Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016).
10)Tangtang Amin M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1990).
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini, penulis
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya : 20
a. Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan cara menelaah
dokumen. Dalam skripsi ini yaitu menggunakan dokumen Direktori
Putusan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana
penipuan oleh dukun penggandaan uang.
b. Pustaka, yaitu cara memperoleh data dengan menelaah dan membaca
serta mengumpulkan literatur-literatur atau buku yang relevan
dengan pokok bahasan melalui perpustakaan.
20
19
4. Teknik analisis data
Teknik analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknis
deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif, yaitu teknik analisis
dengan cara memaparkan data apa adanya, dalam hal ini data tentang
pertimbangan hukum Hakim dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang. Kemudian dianalisis dengan menggunakan teori
hukum pidana Islam, dalam hal ini teori jarimah takzir. Sedangkan pola
pikir deduktif adalah pola pikir yang berangkat dari variabel yang
bersifat umum, dalam hal ini teori jarimah takzir. Kemudian
diaplikasikan pada variabel yang bersifat khusus, dalam hal ini
pertimbangan hukum Hakim dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam
penelitiannya dibagi menjadi lima bab, dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub
bab yang disesuaikan dengan luas pembahasan. Di dalam menulis penelitian
ini penulis telah menyusun sistematikanya dengan tujuan agar pembaca
dapat diarahkan kepada satu masalah apabila ingin memahaminya, adapun
20
Bab I, merupakan bab pendahuluan terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II, adalah kerangka konseptual tentang jarimah takzir yang
meliputi : pengertian tindak pidana, pengertian jarimah takzir,
macam-macam sanksi hukum jarimah takzir, macam-macam-macam-macam jarimah takzir,
pengertian penipuan (tadlîs), macam-macam penipuan (tadlîs).
Bab III, berisi mengenai data pertimbangan hukum Hakim. Data
diperoleh dari proses meneliti data-data dari Direktori Putusan Pengadilan
Negeri Lamongan, mengenai Direktori Putusan Pengadilan Negeri
Lamongan Nomor 225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan
oleh dukun penggandaan uang.
Bab IV, merupakan analisa hukum pidana Islam terhadap
pertimbangan hukum Hakim dalam tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penipuan
menurut hukum pidana Islam yang terdapat dalam Direktori Putusan Nomor
225/Pid.B/2014/PN.Lmg tentang tindak pidana penipuan oleh dukun
penggandaan uang.
Bab V, merupakan bab terakhir berupa kesimpulan yang merupakan
jawaban dari pokok masalah yang ada dan telah dianalisis pada bab
sebelumnya dan saran-saran yang berguna untuk kemajuan ilmu hukum
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JARIMAH TAKZIR
A. Pengertian Tindak Pidana atau Jarimah menurut Hukum Islam
Adapun istilah tindak pidana dalam hukum Islam, seperti yang
terdapat dalam kitab-kitab fikih Islam disebut dengan “jarimah atau
jinayah”. Adapun definisi dari istilah jarimah yang dikemukakan oleh para
ulama ialah :
ﺸﺴ ﺳﺸِ ﺲنﺎﺴﺸـِﺐﺎ ِﺐ ﺴ ِ ُتﺒﺴﺜﺸﻮُﻈﺸُﺒﺴوﺳﺮﺸِﺰﺸﺴـﺸوﺴأِﺷﺪِﺴﲝﺎﺴﻬﺸـﺴ ُﷲﺴﺮﺴﺴز ُﺔِﺸﺮﺴ ُتﺒﺴﺜﺸﻮُﻈﺸﺴﳏ
ُكﺸﺮﺴـﺸوﺴﺒ ُﺸﺴ ِﺷ ِﻬ
ِِﺳﺜﺸﻮُﺸﺄﺴ ﺳﺸِ
Segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah dan diancam dengan hukum baik had maupun takzir, maksud al-mahdhurat ialah baik mengerjakan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.1
Secara etimologis jinayah ialah :
ُُﺴ ﺴﺸﺒﺎﺴﺴوِﺷﺮﺴ ﺸ ُِءﺸﺮﺴﺒ ِﺴِﺸﺴﺎﺴِ ﺲﺸِﺐ ُﺔﺴﺎﺴِ ﺒ
Jinayah adalah suatu nama untuk perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan seseorang.2
Sedangkan secara terminologi jinayah adalah :
ﺴ ِﺴﺛﺴﺮﺸـﺴ ﺸوﺴﺒ ﺳلﺎﺴﺸوﺴأ ﺳ ﺸﺴـ ﻰﺴﺴ ُ ﺸِ ﺒ ﺴﺴﺴوﺲءﺒﺴﻮﺴ ﺎًﺸﺮﺴ ﺳمﺮﺴُﳏ ﺳﺸِِ ﺲﺸ ِﺐ
1
Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1993), 77.
2
Ibid., 78.
22
Nama perbuatan yang diharamkan oleh syarak (hukum) baik perbuatan itu atas jiwa, harta atau selain jiwa dan harta.3
Menurut Dede Rosyada, fikih jinayah adalah segala ketentuan hukum
mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukallaf (orang-orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis.4 Sedangkan menurut Makhrus Munajat, jinayah merupakan suatu
tindakan yang dilarang oleh syarak karena dapat menimbulkan bahaya bagi
agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fukaha menggunakan kata
jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan,
seperti membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya.
Dengan demikian istilah fikih jinayah sama dengan hukum pidana.5
Larangan-larangan tersebut, ada kalanya berupa mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. Dengan kata-kata syarak pada pengertian tersebut di atas,
yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila
dilarang oleh syarak.6
Selanjutnya Islam menganggap sebagian perbuatan-perbuatan
manusia itu merupakan tindak pidana jarimah yang oleh karenanya
dikenakan sanksi. Hal ini memelihara kemaslahatan masyarakat, serta
3
Ibid., 78. 4
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), 86.
5
Makhrus Munajat, Dekontruksi Fikih Jinayah, (Sleman: Logung Pustaka, 2004), 2. 6
Mardani, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 111.
23
memelihara peraturan-peraturan yang merupakan tiang berdirinya
masyarakat yang kuat dan berakhlak sempurna.
B. Pengertian Jarimah Takzir
Jarimah takzir secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong.
Namun pengertian berdasarkan istilah hukum Islam, yaitu takzir adalah
hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya
dikenai had dan tidak pula harus membayar kafarat atau diat.7
Takzir adalah bentuk masdar dari kata
ُﺜِﺰﺸﺴـ
-
ﺴﺜﺴﺰﺴ
yang secaraetimologis berarti
ُ
ﺴو ﺸﺒ ﺸ
د
ﺮﺒ
, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini jugamemiliki arti
ُﺴﺮﺴﺼﺴ
menolong atau menguatkan.P7F 8P
Hal ini seperti dalam firman
Allah Swt. dalam Surah Al-Fath Ayat 9 :
اﻮ ۡﺆ �ﭑ ﮫ ﻮ رو أو ةﺮ ۡ هﻮﺤ و ۚهوﺮ ﻮ و هورﺰ و ۹
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.9
Kata takzir dalam Ayat ini juga berarti
ُﺒﺴﻮﺴـﺴو ُﺴﺎﺴﺴأﺴو ُﺴﺮـ ﺴوﺴو ُﺴﻈﺴ
, yaitumembesarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan (agama Allah).
7
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 129. 8
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013), 136. 9
Departement Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya..., 838.
24
Sementara itu, Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa
takzir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.10
Penjelasan Al-Fayyumi ini sudah mengarah pada definisi takzir
secara syariat sebab ia sudah menyebut istilah had. Begitu pula dengan
beberapa definisi di bawah ini :11
1. Ibrahim Anis, dkk., tim penyusun kamus Al-Mu’jam Al-Wasit
Takzir ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had
syar’i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki (pihak
lain) tetapi bukan menuduh (orang lain berbuat zina).
Dalam definisi ini terdapat kalimat tidak sampai pada ketentuan
had syar’i. Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Fayyumi dalam definisi
di atas, yaitu takzir adalah pengajaran dan tidak termasuk dalam
kelompok had. Dengan demikian, takzir tidak termasuk ke dalam
kategori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak lebih keras dari
hudud, bahkan sangat mungkin berupa hukuman mati.
2. Al-Mawardi dalam kitabAl-Akhkam Al-Sultaniyyah
Takzir adalah pengajaran (terhadap pelaku) dosa-dosa yang tidak
diatur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dosa dan pelakunya. Takzir sama dengan hudud dari satu sisi, yaitu
sebagai pengajaran (untuk menciptakan) kesejahteraan dan untuk
melaksanakan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan yang
10
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah ..., 136. 11
Ibid., 136-139.
25
(dikerjakan). Definisi takzir yang dikemukakan oleh Al-Mawardi ini
dikutip oleh Abu Ya’la.
3. Abdullah bin Abdul Muhsin Thariqi dalam jarimah Risywah fi
Al-Syari’ah Al-Islamiyyah
Takzir ialah sanksi hukum yang wajib diberlakukan sebagai hak
Allah atau hak manusia karena melakukan kemaksiatan yang tidak ada
sanksi dan kafaratnya. Hal mendasar yang ditegaskan dalam definisi ini
adalah bahwa takzir bukan sebagai sanksi yang masuk dalam jenis sanksi
hudud dan kafarat, karena takzir merupakan kebijakan penguasa
setempat.
4. Abdul Aziz Amir dalam Al-Takzir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyyah
Takzir ialah sanksi yang tidak ada ketentuannya. Hukumnya wajib
sebagai hak Allah atau manusia karena melakukan kemaksiatan yang
tidak termasuk ke dalam sanksi had dan kafarat. Takzir sama dengan
hudud dalam hal fungsi, yaitu sebagai pengajaran (untuk menciptakan)
kesejahteraan dan sebagai ancaman. Definisi ini memiliki kesamaan
dengan definisi takzir Al-Mawardi.
5. Abdul Qadir Audah dalam Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi
Al-Qanun Al-Wad’i
Takzir ialah pengajaran yang tidak diatur oleh hudud dan
merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa
tindak pidana yang oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi
26
6. Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan Al-‘Arab
Takzir adalah hukuman yang tidak termasuk had, berfungsi
mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan
menghalanginya dari melakukan maksiat. Kata Al-Takzir makna
dasarnya adalah pengajaran. Oleh sebab itu, jenis hukuman yang tidak
termasuk had ini disebut takzir, karena berfungsi sebagai pengajaran.
Arti lain dari kata Al-Takzir adalah mencegah dan menghalangi. Oleh
sebab itu, terhadap seorang yang pernah kamu tolong, berarti kamu telah
mencegah musuh-musuhnya dan menghalangi siapa pun yang akan
menyakitinya. Dari sinilah pengajaran yang tidak termasuk ke dalam
ranah had itu disebut takzir.
7. Abu Zahrah dalam kitab Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami
Takzir ialah sanksi-sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh
syar’i (Allah dan Rasulullah) tentang jenis dan ukurannya. Syar’i
menyerahkan penentuan ukurannya kepada ulil amri atau Hakim yang
mampu menggali hukum, sebagaimana perkara-perkara yang ditangani
oleh Hakim-Hakim periode awal, seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Syuraih,
Ibnu Abi Laila, Ibnu Syibrimah, Utsman Al-Batti, Abu Yusuf, teman
Abu Hanifah, Muhammad, murid Abu Hanifah, dan Zufar bin
Al-Hudzail, murid Abu Hanifah yang termasyhur.
8. Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh
Sanksi-sanksi takzir adalah hukuman-hukuman yang secara syarak
27
kepada penguasa negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku
tindak pidana yang sesuai dengan kejahatannya. Selain itu untuk
menumpas permusuhan, mewujudkan situasi aman terkendali dan
perbaikan, serta melindungi masyarakat kapan saja dan di mana saja.
Sanksi-sanksi takzir ini sangat beragam sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat, taraf pendidikan masyarakat, dan berbagai keadaan lain
manusia dalam berbagai masa dan tempat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa takzir ialah sanksi yang
diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik
berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk ke
dalam kategori hukuman hudud atau kafarat.12
Dalam takzir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari
Allah dan Rasul-Nya, dan kadi diperkenankan untuk mempertimbangkan
baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya). Bentuk
hukuman dengan kebijaksanaan ini diberikan dengan pertimbangan khusus
tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam
peradaban manusia dan bervariasi berdasarkan pada keanekaragaman metode
yang dipergunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana yang dapat
ditunjukkan dalam Undang-undang. Pelanggaran yang dapat dihukum
dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan dan harta orang serta
kedamaian dan ketentraman masyarakat.13
12
Ibid., 136-140. 13
Jaih Mubarok dan Eceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 14.
28
C. Macam-macam Sanksi Hukum Jarimah Takzir
1. Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan
Adapun mengenai sanksi takzir yang berkaitan dengan badan,
dibedakan menjadi dua, antara lain :14
a. Hukuman mati
Mazhab Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman
mati apabila itu dilakukan berulang-ulang dan dapat membawa
kemaslahatan bagi masyarakat. Contohnya, pencurian yang dilakukan
berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dzimmi yang baru masuk Islam.
Kalangan Malikiyah dan sebagian Hanabilah juga
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi. Sanksi
ini dapat diberlakukan terhadap mata-mata dan orang yang
melakukan kerusakan di muka bumi. Demikian pula sebagian
Syafi’iyah yang membolehkan hukuman mati, seperti dalam kasus
homoseks. Selain itu, hukuman mati juga boleh diberlakukan dalam
kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari Alquran
dan sunnah.
Ulama yang membolehkan hukuman mati sebagai sanksi
takzir beralasan dengan hal-hal berikut :15
1) Hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad Al-Dailami Al-Hamiri, ia
menceritakan, “Saya berkata kepada Rasulullah saw., ‘Ya
14
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah ..., 147-152. 15
Ibid., 147-150.
29
Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk melepaskan suatu
tugas yang berat dan kami membuat minuman dari perasan
gandum untuk kekuatan kami dalam melaksanakan pekerjaan
yang berat itu’. Rasulullah bertanya, ‘Apakah minuman itu
memabukkan?’ Saya menjawab, ‘Ya’. Nabi bertutur, ‘Kalau
demikian, jauhilah’. Saya berujar, ‘Akan tetapi, orang-orang tidak
meninggalkannya’. Rasulullah bersabda, ‘Apabila tidak mau
meninggalkannya, perangilah mereka’”.
2) Orang yang melakukan kerusakan di muka bumi apabila tidak ada
jalan lain lagi, boleh dihukum mati.
3) Hadis yang menunjukkan adanya hukuman mati selain hudud.
ﺸنﺴأُﺪِﺮُﺳﺪِﺒﺴو ﺳُ ﺴﺜ ﻰﺴﺴ ﺲﺸِﺴﲨ ﺸُُﺮﺸﺴأﺴو ﺸُ ﺴﺎﺴأ ﺸ ﺴ
ﺸُ ﺴﺴﺎﺴﺴﲨ ﺴقِﺷﺮﺴُـﺸوﺴأ ﺸُﺎﺴﺼﺴ ُ ﺴ
ُﻮُُـﺸـﺎﺴ
Jika ada seseorang yang mendatangi kalian, ketika kalian berada dalam suatu kepemimpinan (yang sah) lalu orang tersebut ingin merusak tongkat (persatuan) atau memecah-belah kalian, maka bunuhlah orang tersebut. (HR. Muslim)
Adapun ulama yang melarang penjatuhan sanksi hukuman
mati sebagai berikut :16
ﺳﺖ ﺴﺴ ىﺴﺪﺸ ِِﺈ ِﺐ ِﷲ ُلﻮُ ﺴﺜ ِﺷﱐﺴأﺴو ﷲ ِﺐ ﺴﺴِﺐ ﺴ ﺸنﺴأ ُﺪﺴﻬﺸ ﺴ ﺳِﺸ ُ ﺳﺑِﺮﺸﺒ ُمﺴد ِﺴﺴ
ِﺷـ ﺒﺴو ِ ﺸـ ِﺎ ُ ﺸـ ﺒ
ِﺔﺴﺎﺴ ﺴ ﺸِ ُكِﺜﺎ ﺒ ِ ِﺷﺪﺒ ﺸ ِ ُقِﺜﺎﺴﺸﺒﺴو ِﱐﺒﺰﺒ ُ
16
Ibid., 148.
30
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga sebab ini, yaitu kisas pembunuhan, pezina muhsan, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud)
Berdasarkan hadis tersebut, hanya tiga jenis jarimah itulah
yang dapat dijatuhi hukuman mati. Sementara itu, hadis yang
diriwayatkan Al-Dailami dianggap lemah.17
Dari uraian di atas, tampaknya yang lebih kuat adalah
pendapat yang membolehkan hukuman mati. Meskipun demikian,
pembolehan ini disertai persyaratan yang ketat. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut :18
1) Jika terhukum adalah residivis di mana hukuman-hukuman
sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa baginya.
2) Harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan umat serta
pencegahan kerusakan yang menyebar di muka bumi.
Kesimpulannya adalah hukuman mati sebagai sanksi takzir
tertinggi hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang berbahaya
sekali yang berkaitan dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban
masyarakat, di samping sanksi hudud tidak lagi memberi pengaruh
baginya.19
b. Hukuman Cambuk
17
Ibid., 148. 18
Ibid., 149. 19
Ibid., 149.
31
Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku
jarimah takzir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas
jumlahnya bagi pelaku jarimah zina ghairu muhson dan jarimah
qadhaf. Namun dalam jarimah takzir, Hakim diberikan kewenangan
untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi
pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.20
Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa
keistimewaan dibandingkan hukuman lainnya, yaitu sebagai berikut
:21
1) Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif, karena
dirasakan langsung secara fisik.
2) Bersifat fleksibel. Setiap jarimah memiliki jumlah cambukan
yang berbeda-beda.
3) Berbiaya rendah. Tidak membutuhkan dana besar dan
penerapannya sangat praktis.
4) Lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini bersifat
pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga terhukum.
Apabila sudah dilaksanakan, terhukum dapat langsung dilepaskan
dan dapat beraktivitas seperti biasanya. Dengan demikian, hal ini
tidak membawa akibat yang tidak perlu kepada keluarganya.
Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-An’am Ayat 164 :
20
Ibid., 149. 21
Ibid., 149.
32
ۡ ﺮۡ أ � ةرزاو رﺰ و ۚﺎﮭۡ إ ۡ ۡ و ۚء ۡﻲﺷ بر ﻮھو ﺎ ر ﻲ ۡأ
نﻮ ۡ ﮫ ۡ ﺎ ﺌ ۡ ﺟ ۡﺮ ر ﻰ إ ﺛ ۚىﺮ ۡ أ ر ۡزو ۱ ٤
Katakanlah, “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.22
Adapun mengenai jumlah maksimal hukuman cambuk dalam
jarimah takzir, ulama berbeda pendapat :23
1) Mazhab Hanafi, tidak boleh melampaui batas hukuman had. Hal
ini sesuai hadis berikut :
ﺴﺸِﺪﺴﺸُﺒ ﺴ ِﺴﻮُﻬﺴـﺳﺷﺪﺴ ِﺸﲑﺴ ِﰲ ﺒًﺪﺴ ﺴﺴﺴـ ﺸ ﺴ
Barangsiapa yang melampaui hukuman dalam hal selain hudud, maka ia termasuk melampaui batas. (HR. Al-Baihaqi dari Nu’am bin Basyir dan Al-Dhahak)
2) Abu Hanifah, tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi
peminum khamar adalah dicambuk 40 kali.
3) Abu Yusuf, tidak boleh lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku
qadhaf adalah dicambuk 80 kali.
4) Ulama Malikiyah, sanksi takzir boleh melebihi had selama
mengandung maslahat. Mereka berpedoman pada keputusan
22
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya..., 217. 23
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah ..., 150.
33
Umar bin Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100
kali karena memalsukan stampel baitulmal.
5) Ali pernah mencambuk peminum khamar pada siang hari di bulan
Ramadan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai takzir.
Dalam hal ini tentu harus dilihat kasus jarimahnya.
Misalnya, percobaan zina hukuman takzirnya kurang dari 100 kali
cambuk (zina ghairu muh}san).
Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal
cambukan dalam jarimah takzir adalah sebagai berikut :24
1) Ulama Hanafiyah, batas terendah takzir harus mampu memberi
dampak preventif dan represif.
2) Batas terendah satu kali cambukan.
3) Ibnu Qudamah, batas terendah tidak dapat ditemukan, diserahkan
kepada ijtihad Hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan
pelaksanaannya.
4) Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan
ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua Hakim. Apabila telah
ada ketetapan Hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat. Hal ini
sesuai kaidah berikut :
ِِ ﺎﺴ ﺒ ُ ﺸ ُ
ﺴف ﺴِ ﺒ ُﺴﺸﺮﺴـ
Keputusan Hakim itu meniadakan perbedaan pendapat.
24
Ibid., 151.
34
Mengenai pelaksanaan hukuman cambuk, ulama menyebutkan
ukuran cambuk tersebut mu’tadil, tidak kecil juga tidak besar.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah akan mencambuk
seseorang. Beliau diberikan cambuk yang kecil, tetapi beliau
meminta cambuk yang lebih besar. Lalu diberikan kepada beliau
cambuk lain yang lebih besar. Menurut beliau, cambuk itu terlalu
besar dan beliau meminta cambuk yang pertengahan (antara cambuk
kecil dan cambuk besar). Atas dasar inilah, Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa untuk mencambuk harus digunakan cambuk yang
sedang, karena memang sebaik-baiknya perkara adalah yang
pertengahan.25
Adapun sifat dari hukuman cambuk dalam jarimah takzir
adalah untuk memberikan pelajaran dan tidak boleh menimbulkan
kerusakan. Apabila si terhukum itu laki-laki, maka baju yang
menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Sementara
itu, apabila si terhukum itu perempuan, maka bajunya tidak boleh
dibuka, karena auratnya akan terbuka. Hukuman cambuk diarahkan
ke punggung, tidak boleh diarahkan ke kepala, wajah, dan farji.
Karena apabila diarahkan ke tiga bagian itu, dikhawatirkan akan
menimbulkan cacat, bahkan tersangka bisa meninggal dunia.26
25
Ibid., 151. 26
Ibid., 151-152.
35
2. Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
Mengenai hal ini ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara
dan hukuman pengasingan. Berikut ini penjelasannya :27 a. Hukuman penjara
Dalam bahasa Arab, ada dua istilah untuk hukuman penjara,
yaitu al-habsu dan al-sijnu yang keduanya bermakna al-man’u, yaitu
mencegah, menahan. Menurut Ibnu Al-Qayyim, al-habsu ialah
menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang
melanggar hukum, baik itu di rumah, masjid, maupun tempat lain.
Demikianlah yang dimaksud dengan al-habsu di masa Nabi dan Abu
Bakar. Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada masa
pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin Umayyah
dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan penjara.
Berdasarkan pemikiran ini, kebanyakan ulama membolehkan
ulil amri untuk membuat penjara. Sebaliknya, ada pula ulama yang
tidak membolehkannya karena Nabi dan Abu Bakar tidak
membuatnya, meskipun beliau pernah menahan seseorang di
rumahnya atau di masjid.
Para ulama yang membolehkan sanksi penjara, juga berdalil
tindakan Utsman yang memenjarakan Zhabi’ bin Harits (seorang
pencopet dari Bani Tamim), Ali yang memenjarakan Abdullah bin
Zubair di Mekkah, dan Rasulullah saw. yang menahan seorang
27
Ibid., 152-157.
36
tertuduh untuk menunggu proses persidangan. Mengenai tindakan
yang terakhir, hal itu beliau lakukan karena khawatir si tertuduh akan
melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi
melakukan kejahatan.
Hukuman penjara dapat menjadi hukuman pokok dan dapat
juga menjadi hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang
berupa hukuman cambuk tidak membawa dampak bagi terhukum.
Selanjutnya, hukuman ini dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai
berikut :28
1) Hukuman penjara terbatas
Hukuman penjara terbatas ialah hukuman penjara yang
lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman ini diterapkan
antara lain untuk jarimah penghinaan, menjual khamar, memakan
riba, berbuka puasa pada siang hari di bulan Ramadan tanpa uzur,
mengairi ladang dengan air milik orang lain tanpa izin, dan
bersaksi palsu.
Adapun mengenai lamanya hukuman penjara, tidak ada
kesepakatan. Sebagian ulama, seperti dikemukakan oleh Imam
Az-Zaila’i yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, berpendapat
bahwa lamanya penjara adalah dua bulan, atau tiga bulan, atau
kurang, atau lebih. Sebagian lain berpendapat bahwa penentuan
tersebut diserahkan kepada Hakim. Menurut Imam Al-Mawardi,
28
Ibid., 153-155.
37
hukuman penjara dalam takzir berbeda-beda, tergantung pada
pelaku dan jenis jarimahnya. Diantara pelaku ada yang dipenjara
selama satu hari ada pula yang lebih lama.
Mengenai batas maksimal untuk hukuman ini juga tidak
ada kesepakatan di kalangan fukaha. Menurut Syafi’iyah, batas
maksimalnya adalah satu tahun. Mereka mengqiyaskannya pada
hukuman pengasingan had zina yang lamanya satu tahun dan
hukuman takzir tidak boleh melebihi hukuman had. Akan tetapi,
tidak semua ulama Syafi’iyah menyepakati pendapat tersebut.
Adapun menurut pendapat yang dinukil dari Abdullah Al-Zubairi,
masa hukuman penjara adalah satu bulan atau enam bulan.
Demikian pula Imam Abu Al-Majasyun dari ulama Malikiyah
menetapkan lamanya hukuman adalah setengah bulan, dua bulan,
atau empat bulan, tergantung harta yang ditahannya.
Dengan demikian, tidak ada batas maksimal yang
dijadikan pedoman dan hal itu diserahkan kepada Hakim dengan
memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku, tempat,
waktu, dan situasi ketika jarimah itu terjadi. Hal serupa juga
terjadi pada batas minimal. Menurut Imam Al-Mawardi, batas
minimal hukuman penjara adalah satu hari. Sementara itu
menurut Ibnu Qudamah, tidak ada ketentuan yang pasti dan hal
38
penjara (takzir) ditentukan batasnya, maka tidak ada bedanya
antara hukuman had dan hukuman takzir.
2) Hukuman penjara tidak terbatas
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya
dan berlangsung terus sampai si terhukum meninggal dunia atau
bertaubat. Hukuman ini dapat disebut juga dengan hukuman
penjara seumur hidup, sebagaimana yang telah diterapkan dalam
hukum positif Indonesia. Hukuman seumur hidup ini dalam
hukum pidana Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat
berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk
dibunuh oleh orang ketiga atau seseorang yang mengikat orang
lain lalu melemparkannya ke kandang harimau. Menurut Imam
Abu Yusuf, apabila orang tersebut mati dimakan harimau itu, si
pelaku dikenakan hukuman penjara seumur hidup (sampai ia
meninggal di penjara).
Sementara itu hukuman penjara tidak terbatas macam
yang kedua (sampai ia bertaubat), dikenakan antara lain untuk
orang yang dituduh membunuh dan mencuri, melakukan
homoseksual, menyihir (menyantet), mencuri untuk ketiga
kalinya (tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mencuri untuk kedua
kalinya), menghina secara berulang-ulang, dan menghasut istri
atau anak perempuan orang lain agar meninggalkan rumah lalu
39
Hukuman penjara yang dibatasi sampai terhukum
bertaubat adalah untuk mendidik. Hal ini hampir sama dengan
lembaga pemasyarakatan yang menerapkan adanya remisi bagi
terhukum yang terbukti ada tanda-tanda telah bertaubat. Menurut
ulama, seorang dinilai bertaubat apabila ia memperlihatkan
tanda-tanda perbaikan dalam perilakunya.
Di Indonesia, ada pendapat yang menyatakan bahwa
konsep hukuman cambuk dalam Islam itu menghendaki negara
tanpa penjara. Akan tetapi, apabila kita mengingat sejarah di
masa Nabi dan sahabat, telah dikenal adanya hukuman penjara.
Hal itu dilakukan karena pelaku lebih cocok dijatuhi hukuman
penjara daripada hukuman cambuk. Selanjutnya, sanksi ini
diberlakukan di lembaga pemasyarakatan Indonesia. Sehubungan
dengan itu, ulama mengharuskan adanya pengobatan apabila
terhukum (narapidana) sakit dan dianjurkan untuk melatih
mereka dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, karena
membawa kemaslahatan dan mendukung taubat mereka.
Adapun perihal administrasi lembaga pemasyarakatan,
hendaknya diatur dengan baik agar para napi terkondisi untuk
bertaubat. Sementara itu mengenai biaya pelaksanaan hukuman,
seperti makan, minum, pakaian, dan pengobatan para napi,
40
b. Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang
diterapkan untuk perampok.29 Hal ini didasarkan pada Surah Al-Maidah Ayat 33 :
ﺎ إ اؤ ٓﺰﺟ ﺬ نﻮ رﺎﺤ � ﮫ ﻮ رو ﻲ ن ۡﻮ ۡ و ض ۡر ۡﻷ ۡوأ ا ٓﻮ ۡوأ ا ٓﻮ نأ ادﺎ ا ۡﻮ ۡوأ ۡ ﮭ ﺟ ۡرأو ۡ ﮭ ﺪۡأ ﻄ ۚض ۡر ۡﻷ ﻲ ي ۡﺰ ۡ ﮭ ذ ۡﺪ ﻲ ۡ ﮭ و ۖﺎ ةﺮ ٓ ۡﻷ ﻈ باﺬ ۳۳
Sesugguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.30
Hukuman pengasingan merupakan hukuman had. Namun
dalam praktiknya hukuman tersebut diterapkan juga sebagai
hukuman takzir. Di antara jarimah takzir yang dikenakan hukuman
pengasingan adalah orang yang berprilaku mukhamnats (waria) yang
pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar
Madinah. Demikian pula tindakan Umar yang mengasingkan Nashr
bin Hajjaj karena banyak wanita yang tergoda olehnya, karena konon
ia berwajah sangat tampan dan menarik, walaupun sebenarnya ia
tidak melakukan jarimah. Selain itu, Umar yang juga menjatuhi
29
Ibid., 155. 30
Departement Agama RI, Alquran dan terjemahannya..., 164.
41
hukuman pengasingan dan cambuk terhadap Mu’an bin Zaidah
karena telah memalsukan stempel baitulmal.31
Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah
yang dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap
masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka akan terhindar
dari pengaruh tersebut.32
Adapun mengenai tempat pengasingan, fukaha berpendapat
sebagai berikut :33
1) Menurut Imam Malik bin Anas, pengasingan artinya menjauhkan
(membuang) pelaku dari negeri Islam ke negeri non-Islam.
2) Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubayyir,
pengasingan artinya dibuang dari satu kota ke kota yang lain.
3) Menurut Imam Al-Syafi’i, jarak antara kota asal dan kota
pengasingan sama seperti jarak perjalanan shalat qashar. Sebab,
apabila pelaku diasingkan di daerah sendiri, pengasingan itu
untuk menjauhkannya dari keluarga dan tempat tinggal.
4) Menurut Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dari Imam Malik,
pengasingan artinya dipenjarakan.
Berbeda dari pendapat di atas, Umar mengasingkan pelaku
dari Madinah ke Syam, Utsman mengasingkan pelaku dari Madinah
ke Mesir, dan Ali mengasingkan pelaku dari Madinah ke Bashrah.
31
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah ..., 156. 32
Ibid., 156. 33
Ibid., 156.
42
Apa yang dilakukan para sahabat ini menunjukkan bahwa
pengasingan itu masih di negara muslim.34
Dalam hal ini sepertinya hukuman mengasingkan narapidana
ke Pulau Nusa Kambangan sudah memenuhi syarat, mengingat
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau.
Dengan demikian, hukuman ini sangat efektif apabila dilaksanakan
dengan memanfaatkan pulau-pulau kecil tersebut. Di samping itu,
hukuman ini juga harus didukung dengan pengawasan ketat agar
narapidana tidak dapat melarikan diri.35
Mengenai lamanya masa pengasingan, tidak ada kesepakatan
di kalangan fukaha. Namun demikian, mereka berpendapat sebagai
berikut :36
1) Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan tidak boleh
lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa pengasingan
jarimah zina yang merupakan hukuman had. Apabila pengasingan
dalam takzir lebih dari satu tahun, berarti bertentangan dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’man bin
Basyir bahwa Rasulullah saw. bersabda :
ﺴﺸِﺪﺴﺸُﺒ ﺴ ِﺴﻮُﻬﺴـﺳﺷﺪﺴِﺸﲑﺴ ِﰲ ﺒًﺪﺴ ﺴﺴﺴـ ﺸ ﺴ
34
Ibid., 156. 35
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 210.
36
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah ..., 157.
43
Barangsiapa yang mencapai (melaksanakan hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas.
2) Menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa saja lebih
dari satu tahun, sebab ini merupakan hukuman takzir, bukan
hukuman had. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.
Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan
menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa.
3. Sanksi takzir yang berkaitan dengan harta
Fukaha berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman takzir
dengan cara mengambil harta. Menurut Imam Abu Hanifah dan diikuti
oleh muridnya Muhammad bin Hasan, hukuman takzir dengan cara
mengambil harta tidak dibolehkan. Akan tetapi menurut Imam Malik,
Imam Al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Yusuf
membolehkannya apabila membawa maslahat.37
Hukuman takzir dengan mengambil harta bukan berarti
mengambil harta pelaku untuk diri Hakim atau untuk kas negara,
melainkan menahannya untuk sementara waktu. Adapun jika pelaku
tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, Hakim dapat menyerahkan harta
tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.38
37
Ibid., 157-158. 38
Ibid., 158.
44
Imam Ibnu Taimiyah membagi hukuman takzir berupa harta ini
menjadi tiga bagian dengan memperhatikan atsar (pengaruhnya) terhadap
harta, yaitu sebagai berikut :39 a. Menghancurkannya (Al-Itla@f)
Penghancuran terhadap barang sebagai hukuman takzir
berlaku untuk barang-barang yang mengandung kemungkaran,
misalnya :
1) Penghancuran patung milik orang Islam.
2) Penghancuran alat-alat musik atau permainan yang mengandung
kemaksiatan.
3) Penghancuran alat dan tempat minum khamar. Khalifah Umar
pernah memutuskan membakar kios minuman keras milik
Ruwaisyid. Umar pun memanggilnya Fuwaisiq, Bukan
Ruwaisyid. Demikian pula Khalifah Ali pernah memutuskan
membakar kampung yang menjual khamar. Pendapat ini
merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali dan
Maliki.
4) Khalifah Umar pernah menumpahkan susu yang bercampur
dengan air untuk dijual, karena apabila susu sudah dicampur
dengan air, maka akan sulit mengetahui masing-masing kadarnya.
Penghancuran barang ini tidak selamanya merupakan
kewajiban dan dalam kondisi tertentu boleh dibiarkan atau
39
Ibid., 158-160.
45
disedekahkan. Atas dasar pemikiran ini, Imam Malik dalam riwayat
Ibnu Al-Qasim dengan menggunakan istilah istih}sa@n, membolehkan
penghancuran atas makanan yang dijual melalui penipuan dengan
cara disedekahkan kepada fakir miskin, seperti halnya susu yang
dicampur air. Dengan demikian kepentingan dapat tercapai sekaligus,
yaitu penghancuran sebagai hukuman dan memberikan manfaat bagi
orang miskin, bisa juga untuk tawanan perang.
b. Mengubahnya (Al-Ghayir)
Hukuman takzir yang berupa mengubah harta pelaku, antara
lain mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara
memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau vas bunga.
c. Memilikinya (Al-Tamlik)
Hukuman takzir berupa pemilikan harta pelaku, antara lain
Rasulullah saw. melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri
buah-buahan di samping hukuman cambuk. Demikian pula keputusan
Khalifah Umar yang melipatgandakan denda bagi orang yang
menggelapkan barang temuan.
Hukuman denda dapat merupakan hukuman pokok yang
berdiri sendiri, contohnya hukuman denda bagi orang yang
duduk-duduk di bar, atau denda terhadap orang yang mencuri buah-buahan
dari pohon, atau mencuri kambing sebelum sampai di tempat
46
dengan hukuman pokok lainnya, yaitu hukuman denda disertai
cambuk.40
Syariat Islam tidak menetapkan batas minimal atau
maksimal dari hukuman denda. Ibnu Al-Qayyim menjelaskan bahwa
ada dua macam denda, yaitu :41
1) Denda yang dipastikan kesempurnaannya ialah denda yang
mengharuskan lenyapnya harta karena berhubungan dengan hak
Allah, misalnya :
a) Pelanggaran sewaktu ihram dengan membunuh binatang
buruan. Pelakunya didenda dengan memotong hewan kurban.
b) Bersenggama pada siang hari di bulan Ramadan. Dendanya,
yaitu memberikan makanan unt