MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA
(Studi Pada Desa Bator Kecamatan Klampis
Kabupaten Bangkalan)
Skripsi
Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Filsafat Politik Islam
Oleh: Lu’lu’ Ilma’nun
NIM: E34212048
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Lu’lu’ Ilma’nun
NIM : E34212048
Fakultas/Jurusan : Ushuluddin/ Filsafat Politik Islam E-mail address : ilmaknunl94@gmail.com
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :
Skripsi Tesis Disertasi Lain-lain (………) yang berjudul :
Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi pada desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.
Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Surabaya, 30 Agustus 2016
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERPUSTAKAAN
ABSTRAK
Judul : Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Pada DesaBator Kecamatan Bangkalan)
Penulis : Lu’lu’ il maknun
Pembimbing : Dr. Abd. Chalik, M.Ag
Kata Kunci : Model Pengambilan, Keputusan Tingkat Desa
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Mentri Desa Nomor 2, menguraikan bahwa pentingnya musyawarah, peran BPD yang sudah berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana UU No.6 dan PERMENDES di terapkan di Desa Bator, oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian langsung kelapangan, Adapun masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Model Pengambilan keputusan tingkat Desa pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, (2) Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa, dan (3) Bagaimana Implikasi model pengambilan keputusan yang telah dirumuskan oleh pemerintah, terhadap perkembangan partisipasi masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa. daalam penelitian ini beertujuan, (1) untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada Desa Bator (2) untuk mendeskripsikan hubungan antar lembaga Pemerintahan yang ada di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, dan (3) untuk memahami implikasidari keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Desa terhadap perkembangan Partisipasi Masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bnagkalan.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . . ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI …... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... . iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAKSI ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... .. 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah... 18
C. Rumusan Masalah ... 19
D. Tujuan Penelitian ... 19
E. Manfaat Penelitian ... 20
1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis F. Penegasan Judul ... 21
G. Telaah Pustaka ... 21
H. Penelitian Terdahulu ... 23
BAB II KAJIAN MODEL
PENGAMBILAN KEPUTUSAN ... 25
A. Teori-Teori Pembangunan Desa ... 25
1. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan ... 25
2. Teori Pembangunan Desa ... 31
3. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal ... 38
B. Regulasi Pengambilan Keputusan Tingkat Desa... 46
BAB III METODE PENELITIAN ... .. 53
A. Jenis Penelitian ... 53
B. Lokasi Penelitian ... 54
C. Sumber Data ... 56
D. Informan Penelitian ... 56
1. Key Informan 2. Informan E. Metode Pengumpulan Data ... 58
1. Metode Observasi 2. Metode Interview 3. Metode Dokumentasi 4. FGD (Focus Group Discussion) \ F. Analisis Data ... 62
1. Reduksi Data ... 63
2. Penyajian Data ... 64
3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi ... 64
4. Keabsahan Data ... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN ... 68
A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 68
a. Kajian Geografi ... 68
1. Sejarah Desa Bator 2. Letak Geografis Desa Bator 3. Kondisi Fisik Desa Bator b. Kajian Demografi... 70
1. Letak Demografi Desa Bator 2. Pemerintahan Desa 3. Kondisi Pendidikan di Desa Bator 4. Kondisi Kesehatan Desa Bator 5. Kondisi Sosial Desa Bator 6. Kondisi Ekonomi Desa Bator 7. Kondisi Pemerintahan Desa Bator a. Pembagian Wilayah Desa Bator b. Struktur Organisasi Desa Bator c. Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat Desa Bator B.Model Pengambilan Keputusan ... 85
1. Proses Pengambilan Keputusan ... 85
2. Aktor dan Lembaga yang Terlibat ... 97
3. Tujuan dan Hasil Keputusan ... 102
C.Hubungan Antar Lembaga Pemerintah Desa ... 108
a. Komunikasi
b. Sumber Daya Manusia dan Lingkungan
D. Implikasi Model Pengambilan Keputusan
Terhadap Demokrasi Desa ... 120
a. Implikasi Model Pengambilan Keputusan
b. Perkembangan Demokrasi Desa
E.Pembahasan ... 128
1. Model Pengambilan Keputusan
2. Hubungan Antar Lembaga Pemerintahan Desa
3. Implikasi Model Pengambilan Keputusan Tingkat
BAB V PENUTUP ... 137
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR WAWANCARA... 141
DAFTAR PUSTAKA... 143
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Berlakang Masalah
Indonesia mengadopsi sebuah kebijakan desentralisasi atauotonomi
daerah, yang sangat berbeda dengan pengalaman penyelenggaraan
pemerintahan daerah selama 30 tahun lebih, yang ditempuh pemerintah orde
baru. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi
yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada dua unsur alasan yang
mendukung otonomi daerah, pertama intervensi Pemerintah Pusat yang
terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas
Pemerintah Daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan
Demokrasi di Daerah (Mardiasmo, 1999).
Kedua, tuntutan otonomi itu muncul sebagai jawaban untuk memasuki
Modernisasiyang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia
di masa yang akan datang. Di era seperti ini dimana Globalization
Cascadesudah semakin meluas pemerintah akan kehilangan kendali pada
banyak persoalan, seperti pada perdagangan Internasional, informasi dan ide
serta transaksi keuangan.1Otonomi Daerah merupakan bagian sistem politik
yang diharapkan memberi peluang bagi warga negara untuk lebih mampu
1
mengembangkan daya kreativitasnya, dengan demikian Otonomi Daerah
merupakan kebutuhan dalam Era Globalisasi dan Reformasi.
Paradigma seperti ini maka jalannya roda pemerintahan harus sesuai
dengan keinginan atau aspirasi rakyat. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 2 juga secara tegas
mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui kedaulatan rakyat. Isi dari Pasal 1
Ayat (2) tersebut adalah “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”2
Dengan kata lain,
pemerintah yang berkuasa harus mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari
rakyat. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, legitimasi rakyat tersebut
diwakilkan kepada para wakil rakyat yang duduk di DPR RI pada tingkat
pusat dan DPRD pada tingkat Daerah.
Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen hingga empat kali sejak
1999 sampai dengan 2002, Konsep negara kesatuan yang selama orde baru
dipraktekkan secara sentralistis berubah menjadi desentralistis. Perubahan
lain yang penting adalah pemberian hak kepada daerah untuk menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan. Otonomi Daerah serta reformasi sebenarnya
merupakan harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa untuk
pembangun Desa sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian
besar Aparat Pemerintah Desa, otonomi adalah suatu peluang baru yang dapat
2
Sriwahyuntari, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, (Yogyakarta: Trans
membuka ruang kreativitas bagi aparatur Desa dalam mengelola Desa,
misalnya semua hal yang akan dilakukan oleh Pemerintah Desa harus melalui
jalan persetujuan Kecamatan, namun hal itu tidak berlaku lagi.3
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, makaPemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. Penataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut bertujuan
untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, mempercepat
peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola
Pemerintahan Desa, dan meningkatkan daya saing Desa (Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 7 Ayat 3).
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1
mengartikan Desa sebagai berikut :
“Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas Wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
3
Dipo Lukmanul Akbar, “Peran Pemerintahan Desa Dalam Penyusunan Apbdes
Perspektif Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa
Kedungkelor Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4
Hal tersebut menjelaskan bahwa Desa mempunyai wewenang untuk
mengurus sendiri pemerintahannya. Dan, mementingkan masyarakat setempat
yang berdasarkan prakasa masyarakat, hak asal usul dan hak tradisional yang
diakui dan dihormati.
Rumusan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan
pemerintahan adalah untuk mengatur, mengurus urusan pemerintahan, dan
kepentingan masyarakat setempat. Kemudian berdasarkan ketentuan umum
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah
Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu
Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Dan
Pemeritahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4
Tim Permata Pers, Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik
indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan
Dalam suatu wilayah, katakanlah Desa, yang memiliki peran penting
dalam berjalannya roda demokrasi di Indonesia ini, akan menjadi tombak dan
tolok ukur suksesnya Sistem Demokrasi yang mengacu pada kesejahteraan
rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mendapatkan
keberhasilan dari Demokrasi ini, menjadi tangung jawab yang besar bagi
perangkat-perangkat Desa yang mengemban amanat rakyat. Salah satu proses
berjalannya Demokrasi Desa adalah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Pemerintah Desa apakah tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Tugas dan wewenang Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah
sesungguhnya berbeda. Sebagaimana yang dideskripsikan di tulisan terdahulu
bahwa tugas Pemerintah Pusat adalah urusan Politik Luar Negeri, pertahanan,
moneterdan fiskal Nasional, dan agama. Sedangkan urusan Pemerintah
Daerah adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintah pusat yang
diselenggarakan menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan.
Namun, dalam pelaksanaan urusan-urusan tersebut harus dilaksanakan
secara maksimal melalui pelayanan Publik yang diselenggarakan secara
prima. Tugas pemerintah baik ditingkat pusat dan Daerah dalam bidang
pelayanan publik sesungguhnya adalah sama. Dalam konteks
dan dilaksanakan secara terkait, tergantung, sinergis sebagai suatu sistem
pemerintahan, adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.5
Di dalam Desa yang terdiri dari beragam jenis dan kebutuhan rakyat
akan mempersulit Pemerintah Desa dalam mengambil kebijakan yang bersifat
publik, selain itu bagi perangkat Desa seperti Kepala Desa serta jajarannya
memegang amanat Desa yang berat. Untuk mempermudah semua persoalan
yang ada di Desa dan berjalan dengan seadil-adilnya, pemerintah pusat
memberikan ketetapan yang bertujuan untuk kesejahteraan yang adil bagi
masyarakat Desa. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertulis dalam
Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 Tentang Desa.
Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, menjelaskan
dengan rinci bagaimana hak masyarakat Desa untuk mewujudkan Demokrasi,
dan mendapatkan dengan rinci tugas dan kewajiban Kepala Desa serta
jajarannya, BPD (Badan Permusyawaratan Desa), dan masyarakat. Hal ini
mencerminkan bahwa sistem Demokrasi yang sudah dipilih oleh Indonesia
sudah diatur untuk pelaksanaanya sampai pada bagian terkecil Negara,yakni
Desa. Bagi semua rakyat Indonesia yang tidak menjalankan peraturan yang
telah dirumuskan oleh pemerintah pusat akan mendapatkan sangsi.
Musyawarah Desa harus bersifat Transparan, guna untuk mencegah
terjadinya penyelewengan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam proses
pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Desa telah diatur secara terperinci
5
dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalan Pasal 54
berbunyi:
(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh
Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2.)Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penataan Desa;
b. Perencanaan Desa;
c. Kerjasama Desa;
d. Rencana investasi yang masuk ke Desa;
e. Pembentukan BUM Desa;
f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. Kejadian luar biasa.
(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.6
Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa, pasal 54 ayat 1
sampai 4 ini mejelaskan bahwa musyawarah Desa di hadiri oleh Badan
6
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Hal ini membuktikan bahwa ada sistem yang bersifat
Transparan di dalamnya.
Mewujudkan Sistem Demokrasi secara merata dan sungguh-sungguh
memerlukan tiga pembagian unsur didalamnya. Kepala Desa sebagai
pengambil kebijakan, sebelum pengambilan dan kebijakan diputuskan dan
dijalankan oleh masyarakat Desa, ada proses pengambilan keputusan di
dalamnya yang dirumuskan dalam musyawarah Desa yang dihadiri oleh
Kepala Desa, BPD, dan Masyarakat. Dalam musyawarah Desa, fungsi BPD
sebagai pengawas dan memberi usulan dalam perumusan kebijakan yang
dimusyawarahkan oleh Kepala Desa, serta masyarakat yang menghadiri
musyawarah tersebut juga memiliki hak untuk mengontrol serta memberikan
usulan dan tidak menyetujui apabila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Pasal 55
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Pasal 61
a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan
Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 62
Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. Mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b. Mengajukan pertanyaan;
c. Menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. Memilih dan dipilih; dan
e. Mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.7
Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 3 yang berbunyi:
(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan secara partisipatif, Demokratis,
Transparan dan Akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan
kewajiban masyarakat.
7
(2.)Hak masyarakat dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Mendapatkan informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal
bersifat Strategis yang akan dibahas dalam Musyawarah Desa;
b. Mengawasi kegiatan penyelenggaraan Musyawarah Desa maupun
tindaklanjut hasil keputusan Musyawarah Desa;
Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 5 menjelaskan:
(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan
Desayang difasilitasi oleh Pemerintah Desa.
(2.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh
Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan unsur masyarakat.
(3.)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :
a. Tokoh adat;
b. Tokoh agama;
c. Tokoh masyarakat;
d. Tokoh pendidik;
e. Perwakilan kelompok tani;
f. Perwakilan kelompok nelayan;
g. Perwakilan kelompok perajin;
h. Perwakilan kelompok perempuan;
j. Perwakilan kelompok masyarakat miskin.8
Peraturan yang sedemikian rupa yang telah dirumuskan oleh Pemerintah
Pusat, yang tujuan untuk kesejahteraan dan keadilan yang merata serta
menjalankan Sistem Demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia. Desa
adalah tombak Demokrasi tersebut, sebab apabila Desa tidak bisa
menjalankan sitem yang terkandung dalam Demokrasi maka bisa dikatakan
bawa Indonesia kurang menjalankan sistem Demokrasi. Dari lapangan yang
didapat di Desa Bator dilihat dari persoalan, pertama seperti kantor Desa
tidak digunakan dan tidak ada pembenahan hingga tidak layak pakai, dan
rumah Kepala Desa yang menjadi jalan keluar untuk melayani kebutuhan
masyarakat. Kedua, dalam Struktur Organisasi Desa ada dengan jelas
badan-badan dalam Organisasi, namun tidak berfungsi dengan baik, tidak
berfungsinya RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), bahkan dalam 7
Dusun tersebut salah satu dari ketua RT di Desa Bator berkerja keluar negeri
tidak menghiraukan tanggung jawab yang diembannya. Fenomena ini yang
membuktikan kurangnya ketepatan dalam proses pengambilan keputusan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa.9
Desa Bator adalah Desa yang berada di Kecamatan Klampis
Kabupeten Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453
Meter persegi dengan batas wilayah sebelah baratDesa Bloekagoeng, sebelah
8
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, h, 4.
9
timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan Klampis
Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng. Jumlah penduduk 5.008.000 jiwa
dengan jumlah laki-laki 2.499.000 jiwa dan jumlah perempuan 2.509.000
jiwa, serta jumlah KK (Kartu Keluarga) 1.365.000. Desa Bator memiliki
tujuh dusun di dalamnya yakni, dusun Tengginah, dusun Laok Sabe, dusun
Poka, dusun Betan, dusun Dengloa, dusun Ma’adan, dusun Tana Los.
Mayoritas masyarakat Desa Bator memeluk agama Islam, dan hanya satu
keluarga yang terdiri dari tiga orang yang beragama Kristen. Masyarakat
Desa Bator rata-rata menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Menengah
Atas (SMA). Rata-rata mata pencaharian masyarakat Desa Bator sebagai
Petani (1.226.000), Pedagang (231.000),Angkutan (37.000), Jasa (71.000)
dan selebihnya bekerja sebagai ibu rumah tangga.10
Dari pengamatan peneliti selama ini pembangunan secara Infrastruktur
yang ada di Desa Bator ini bisa dikatakan sangat kurang, seperti jalan yang
tidak layak atau rusak. Namun, masyarakat di sanaselama ini diam atau tidak
melakukan protes terhadap persoalan tersebut. Selain itu,Kantor Desa yang
seharusnya sebagai fungsi administrasi pemerintahan jugatidak layak
digunakan.Jadi selama ini, masyarakat jika memiliki keperluan dengan
Pemerintahan terutama dengan Kepala Desa, mereka yang bersangkutan
terpaksa menemui di rumahnya,yang dijadikan sebagai fungsi administrasi
pemerintahan.
10
Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Kecamatan Klampis Dalam Angka,
Dugaan sementara dari pengamatan peneliti mengenai fenomena yang
ada di Desa Bator, bahwa penggunaan rumah pribadi sebagai fungsi
administrasi pemerintahan (Kantor Desa) akan menyebabkan
terjadinyamisscommunication. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap
proses pengambilan keputusan yang mengakibatkan ketidakserasian antara
kebutuhan masyarakat secara umum dengan keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Desa. Salah satunya keadaan kantor Desa yang tidak layak
difungsikan, dan kondisi jalan utama Desa yang sangat buruk, dan pernyataan
ini juga disetujui oleh Kepala Desa. Kepala Desa pun membenarkan bahwa
Kantor Desa yang seharusnya menjadi media Komunikasi dan penyalur
Aspirasi masyarakatsudah tidak digunakan lagi, dan pernyataan ini
dibenarkan oleh peneliti, sebab fakta di lapangan mengatakan demikian.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan yang dipaparkan oleh BPD
(Badan Permusyawaratan Desa), beliau memaparkan bahwa kantor Kepala
Desa masih difungsikan setiap harinya, dan BPD berjalan sesuai dengan
kebutuhan mayarakat Bator. Pernyataan yang berbeda dari Aparat
Pemerintahan ini membuktikan bahwa, adanya misscommunication antara
Kepala Desa dan Ketua BPD. Dengan adanya misscommunication dalam
pemerintahan ini, sangat kecil kemungkinan menyatukan visi dan misi
bersama untuk kepentingan Publik.11
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang
Desa yang dirumuskan oleh pemerintah, yang terjadi di Desa Bator adanya
11
kebingungan yang dirasakan oleh BPD mengenai tugasnya. Namun, karena
kewenangan dan kewajiban BPD telah dijelaskan dalamUndang-Undang
Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sehingga menjadi jelas kerja BPD. Tidak
hanya itu, setelah lahirnya Undang-Undang tersebutkondisi fisik Desa seperti,
Kantor Kepala Desa, jalan utama Desa, dan tidak berfungsinya RT dan
RW,ada perhatian untuk melakukan langkah pembenahan yang sedang
direncanakan oleh Pemerintah Desa. Seperti pembenahan Kantor Desa,
walaupun belum ada perubahan tetapi wawancara dari Kepala Desa
menyatakan bahwa masih dalam proses pembenahan.
Dalam Peraturan Mentri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomer 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas
Pembangunan Dana Desa Tahun 2015 Pasal 5 yang berbunyi:
Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dialokasikan
untuk mencapai tujuan Pembangunan Desa yaitu meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan, melalui:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar;
b. Pembangunan sarana dan prasarana Desa;
c. Pengembangan potensi ekonomi lokal; dan
Dalam Pasal 6 juga menjelaskan prioritas Pembangunan Dana Desa yang
berbunyi:
Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a, meliputi:
a. Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
b. Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan
c. Pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.
Lalu disambung dengan Pasal 7 yang masih menjelaskan prioritas
Pembangunan Dana Desa yang berbunyi:
Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dan huruf c untuk mendukung target pembangunan sektor unggulan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya, yang
diprioritaskan untuk:
a. Mendukung kedaulatan pangan;
b. Mendukung kedaulatan energi;
c. Mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan; dan
d. Mendukung pariwisata dan industri.12
12
Dilihat dari Peraturan Mentri Desa yang masih menguraikan
Pembangunan Desa secara terperinci untuk mewujudkan kesejahteraan Desa
sudah cukup jelas. Namun, dari fakta dilapangan yang peneliti dapatkan, tidak
ditemukannya pembanguan sarana dan prasarana Desa seperti yang dijelaskan
oleh Peraturan Mentri Desa pada pasal 5 angka a. Hal ini yang menjadi pintu
masuk peneliti yang ingin mengetahui lebih dalam lagi persoalan yang ada di
Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.Desa Bator yang
memiliki tujuh Dusun didalamnya dan wilayah yang cukup luas, akan
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Desa. Selain kesejahteraan yang
merata yang akan menjadi tantangan bagi Pemerintah Desa Bator, ketepatan
Pemerintah Desa terhadap kebijakan yang diberikan untuk Desa juga perlu
diperhitungkan. Hal ini memerlukan keterlibatan masyarakat untuk
memusyawarahkan persoalan yang ada di Desa. Dalam Undang-Undang No.
6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 54 berbunyi:
(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh
Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2.)Hal yang bersifat Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penataan Desa;
b. Perencanaan Desa;
c. Kerja sama Desa;
e. Pembentukan BUM Desa;
f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. Kejadian luar biasa.
(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.13
Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan
mengenai keterlibatan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan
Desa. Hal ini membuktikan bahwa Demokrasi masyarakat pedesaan juga di
atur dalam Undang-Undang nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa. Manun,
kenyataan di lapangan masih kurang, kebiasaan yang terjadi di Desa,
keterlibtan masyarakat Desa hanya pada saat pemilihan umum saja. Sama
halnya dengan yang terjadi di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten
Bangkalan.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang penulis dalam melakukan
penelitian tentang “Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Desa
Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)”.
B. Identifikasi Masalah
13
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah
yang ditemukan yaitu:
1. Model pengambilan keputusan tingkat desa yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan
dengan kebutuhan masyarakat dirasa kurang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan kurang sesuai dengan Undang-Undang Nomer 6 Tahun
2014 Tentang Desa.
2. Kurang maksimalnya Perangkat Desa, BPD (Badan Permusyawaratan
Desa), serta RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukun Warga) dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.Kemudian, masyarakat yang kurang
dilibatkandalam proses pengambilan keputusan dalam Musyawarah
sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014
Tentang Desa Pasal 54 (1) dan Peraturan Mentri Desa Nomer 2 Tahun
2015, Pasal 5 (2), yaitu tentang dilibatkannya unsur masyarakat di dalam
musyawarah.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat merumuskan masalah yang
ditemukan sebagai berikut:
1.
Bagaimanamodelpengambilan keputusan tingkat Desapada Desa Bator
2.
Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa di Desa BatorKecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan ?
3.
Bagaimana implikasi model pengambilan keputusan yang telahdirumuskan oleh pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten
Bangkalan terhadap perkembangan partisipasi masyarakat
padaDemokrasi Desa?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada
Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.
2. Untuk mengetahui hubungan antar lembaga pemerintahan yang ada di
Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.
3. Untuk memahami implikasi dari keputusan yang ditetapkan oleh
pemerintahan desa terhadap perkembangan partisipasi masyarakat pada
Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten
Bangkalan.
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian Desa dalam penulisan ini
akan bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan
penulis dari penelitian yang telah dilakukannya diDesa Batorini antara lain :
1. Manfaat Teoritis :
a. Dapat menambah wawasan dan pengembangan ilmu politik khusunya
di prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin UIN-Sunan Ampel
Surabaya.
b. Dapat dijadikan acuan atau refrensi berkaitan dengan ilmu yang
dipelajari di Fakultas Ushuluddin. Dan dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi yang bermanfaat
bagi pembaca dan menjadi refrensi alternatif penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis:
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
refrensi dan bahan informasi bagi konsultan politik maupun
masyarakat terkait dengan Model Pengambilan Keputusan Tingkat
Desa (Studi pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten
Bangkalan).
F. Penegasan Judul
Untuk memfokuskan pemahaman dalam penulisan proposal ini, maka
1. Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa : Model adalah
percontohan yang mengandung unsure yang bersifat penyederhanaan
untuk dapat ditiru (jika perlu). Pengambilan keputusan itu sendiri
merupakan suatu proses beruntun yang memerlukan penggunaan model
secara tepat.
2. Desa Bator :Desa yang berada di kecamatan Klampis Kabupeten
Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453 Meter
persegi dengan batas wilayah sebelah barat Desa Bloekagoeng, sebelah
timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan
Klampis Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng.
G. Telaah Pustaka
Berdasarkan dari asumsi di atas maka penelitian ini akan fokus pada
telaah pustaka yang membahas tentangModel Pengambilan Keputusan
Tingkat Desa Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan,
di antaranya:
1. Kitab Undang-Undang Desa , buku Undang-Undang ini menjelaskan
dari Undang- Undang ini adalah, Undang-Undang Nomer 6 tahun
2014Tentang Desa.
2. Peraturan Pemerintah Desa, pembanguan daerah tertinggal, dan
transmigrasi nomer 5 tahun 2015, buku ini menjelaskan penerapan
prioritas penggunaan dana Desa tahun 2015.
3. Peraturan Mentri Desa, Penbangunan daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2015, buku ini
menjelaskan pedoman tatatertib dan mekanisme pengambilan keputusan
musyawarah Desa.
4. Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan prespektif pemikiran
hans kelsen, jurnal ini salah satu pendukung penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini. Jurnal ini di karang oleh HM. Thalhah,
banyak mengupas tentang pemikiran Demokrasi Hans Kelsen.
5. Dasar-dasar ilmu politik, karangan dari Prof. Miriam Budiardjo banyak
mengupas tentang politik secara mendalam, salah satunya Teori
Demokrasi.
6. Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, buku yang menjelsakan
banyak tentang daerah dan pendekatan teori untuk menghadapi persoalan
yang timbul di daerah.
7. Demokrasi Di Tingkat Lokal, Buku Panduan International Idea
Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik Dan
diterjemahkan oleh Arif Subiyanto, menjelaskan dengan rinci mengenai
demokrasi di tingkat lokal.
8. Dasar-dasar Ilmu Politik karyaMiriam Budiardjo, dalam karyanya ini
menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu politik, dan salah satunya adalah
Demokrasi.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima BAB. BAB I terdiri dari enam sub. Pertama,
latar belakang yang menguraikan tentang persoalan yang ada di lapangan dan
data yang mendukung judul yang diangkat oleh peneliti. Kedua, identifikasi
masalah, yang memaparkan pembatasan permasalahan yang akan diteliti oleh
peneliti. Ketiga, rumusan masalah, yang berisi tentang permasalahan yang
akan diteliti oleh peneliti. Keempat, tujuan penelitiuan, memaparkan tentang
tujuan yang akan diutamakan dalam penelitian ini oleh peneliti. Kelima,
manfaat penelitian, peneliti menghendaki dalam penelitian yang
dilakukannya ini di samping untuk menyelesaikan studi Strata Satunya, juga
ingin memberi manfaat bagi orang lain. Keenam, telaah pustaka, yang berisi
rujukan atau buku yang menjadi pendukung dan membantu peneliti dalam
menyelesaikan penelitiannya.
BAB II berisi kajian teori, yakni teori Pembuatan Keputusan, teori
BAB III Metode Pelitian, memaparkan jenis penelitian, sumber data,
metode yang digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data, fokus
penelitian, lokasi penelitian yang dipilih peneliti.
BAB IV, memaparkan hasil penelitian yang meliputi Penyajian data,
Analisis data.
BAB V berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang merujuk pada
rumusan masalah penelitian dan saranyang berisi pengembangan keilmuan
BAB II
KAJIAN TEORI -TEORI
PEMBANGUN DESA
A. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan
Pembuatan keputusan (decision-making) berada diantara
perumusan kebijakan dan Implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut
saling terkait satu sama lain. Keputusan memengaruhi Implementasi dan
Implementasi tahap awal akan memengaruhi tahap pembuatan keputusan
selanjutnya yang pada gilirannya, akan memengaruhi Implementasi
berikutnya. Karena, pembuatan keputusabukan proses pasif.Keputusan
merupakan sebuah proses sertapetunjuk arah atau dorongan awal atau
percobaan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi
spesifikasi.1Analisis kebijakan berkaitan dengan perkataan Lasswell
diringkaskan sebagai “siapa yang mendapatkan sesuatu, kapan, (dan)
bagaimana ia mendapatkannya.” Analisis pembuatan keputusan adalah
semacam penjelasan yang bertujuan untuk menerangkan atau
mendeskripsikan bagaimana satu keputusan atau serangkaian keputusan
dibuat. Bentuk lain dari tujuan analisis keputusan adalah,
mengetahuitentang cara keputusan itu diambil atau bagaimana keputusan
itu seharusnya dibuat.
1
Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta:
1. Pendekatan Kekuasaan untuk Pembuatan Keputusan
Model adalah suatu konsepsi intelektual yang baik, yang
dipergunakan untuk menggambarkan situasi sosial atau fisik.Situasi
tadi mungkin nyata atau mungkin juga hipotesa. Dengan demikian,
suatu model merupakan suatu sita-sita yang ingin dicapai atau suatu
pola yang akan diikuti. Model tersebut, kita anggap sebagi konsepsi
intelektual yang sederhana, atau kerangka yang bersifat kaku, yang
dapat membantu kita di dalammengatur alur-alur utama pemikiran
kita di dalam memberi arah penyelidikan.2
Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan
sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur
kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik,
kelompok penekan, dan kalangan profesional atau ahli pengetahuan
teknis.
2. Model Elitis
Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan
terkonsentrasi ditangan segelintir orang atau kelompok. Menurut
model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan
demi keuntungan elite-elite tersebut. Sebagai sebuah model
pembuatan keputusan, tujuan elitisme didasarkan pada analisis
terhadap cara dunia rill berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia ril
2
ada pihak-pihak yang berada di atas yang memegang kekuasaan dan
ada “massa” yang tak memegang kekuasaan. Model ini berasal dari
ilmu sosial modern, yakni berakar pada dua karya ahli teori Italia:
Mosca dan Pareto. Mereka berpendapat, bahwa sejarah menunjukkan
bahwa elitisme adalah sesuatu yang takbisa dihindari: masyarakat
tanpa kelas adalah mitos dan Demokrasi tak lebih dari sekedar
pura-pura. Mosca kemudian memodivikasi pandangan ini dengan
mengatakan bahwa Demokrasi dapat dilihat sebagai sebentuk poltik
dimana elite-elite bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk
guna mengamankan legitimasi kekuasaan elite. Ide Mosca dan
Pareto menjadi basis untuk merumuskan pendekatan elitis
selanjutnya. Robert Michels (1915) mengembangkan pendekatan
dalam studi partai politik dimana dia mengemukakan bahwa ada
“hukum besi oligarki” yang berlaku di dalam organisasi. Di
sepanjang waktu, elite-elite organisasi menciptakan kepentingan dan
tujuan sendiri yang berbeda dengan kepentingan dan tujuan anggota
organisasi. Weber juga memfokuskan pada konteks organisasional
atau birokratis dari kekuasaan dengan menunjukkan bagaimana
“rasionalisasi” dalam masyarakat kapitalis menghasilkan formasi
birokrasi yang pasti akan menggantikan bentuk-bentuk oraganisasi
kuat, akan memunculkan ancaman bagi pengambilan keputusan
Demokratis oleh politisi terpilih.3
a) Elit lokal dalam kehidupan politik
Dalam konteks elite, ada beberapa pandangan dalam melihat
elite, yakni pandangan psikologis, organisasi, dan
kekuasaan.Pandangan psikologis terhadap elite dikemukakan oleh
Vilfredo Pareto (1848-1923). Menurut Pareto, setiap masyarakat
diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas
yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial
politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan
selalu merupakan aktor yang terbaik, dan merekalah yang disebut
elite.4
Elite merupakan orang yang berhasil dan mampu menduduki
jabatan tinggi dalam masyarakat.Mereka terdiri atas para
pengacara, ilmuwan tokoh agama, mekanik atau bahkan mafia yang
umumnya dikenal pandai dan kaya.Elite dilihat dari sudut pandang
organisasi dikemukakan oleh Mosca dan Michels.Menurut Gaetano
Mosca (1858- 1941), orang hanya dikelompokkan ke dalam dua
3
Ibid., 251.
4
Abdul Chalik, “Elite Lokal Yang Berbasis Pesantren Dalam Kontestasi Pemilihan
Kepala Daerah Jawa Timur”, Journal Etika Lokal yang Berbasis Pesantren, Vol. 23 No.
kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting”
dan mereka yang tidak memilikinya.
Gaetano Mosca menggambarkan masyarakat sebagai berikut:
In all societies, two class of people, a class that rules and that class
is ruled. The first class always the less numerous, performs and
political functions, monopolizes po- wer and enjoy the advantages
that power brings, whereas the second, the more numerous class, is
directed and controlled by the first, in manner that is now more or
less legal, now more or less arbitrary and violent, and supplies the
first. Artinya, dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas
penduduk, satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang
dikuasai.Kelas pertama, yang jumlahnya selalu lebih kecil,
menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan
menikati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu.Sedangkan
kelas kedua yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan
dikendalikan oleh kelas pertama.
Kaum elite menurut Putnam digambarkan sebagai berikut:
pertama, secara eksternal, elite bersifat homogen, bersatu dan
memiliki kesadaran kelompok. Elite bukan merupakan kumpulan
individu saling terpisah-pisah, tetapi individu yang ada dalam
kelompok elite saling mengenal dengan baik, memiliki latar
berbeda), memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepen- tingan yang
sama. Kedua, kaum elite mengatursendiri kelangsungan hidupnya
(self perpetuating) dan keanggotaannya berasal dari suatu lapisan
masyarakat yang sangat terbatas.Pemimpin selalu memilih sendiri
dari kalangan istimewa yang hanya terdiri atas beberapa orang.
Ketiga, kaum elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal gugatan
dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai ke- putusan yang
dibuatnya. Semua persoalan politik penting diselesaikan menurut
kepentingan atau tindakan kelompoknya.5
Di antara beberapa kelompok elite ada yang disebut dengan
elite politik. Mereka adalah sekelompok orang atau individu yang
memiliki banyak kekuasaan politik dibandingkan dengan yang lain.
Yang dimaksud kekuasaan adalah kekuasaan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain, dan kekuasaan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi perbuatan keputusan kolektif.
Putnam mengartikan kekuasaan sebagai probabilitas untuk
mempengaruhi kebijaksanaan dan kegiatan negara, atau
probabilitas untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai secara
otoritatif.
Elite politik yang cukup dominan adalah mereka berlatar
belakang tokoh agama, atau elite politik yang berbasis agama dan
5
pesantren. Di Jawa Timur, elite politik yang berbasis agama dan
pesantren dikenal dengan sebutan ”santri”, ”kiai”, atau keluarga
kiai yang dikenal dengan sebutan ”Gus” (istilah yang melekat pada
kiai Jawa), atau ”Lora” (isti- lah yang melekat pada kiai Madura),
atau juga ”Bhindhârâh” (istilah yang melekat pada kiai
Pendalungan/Jawa Timur bagian Timur dan Selatan). Ketiganya
adalah sama, yakni anak dan keturunan kiai, terutama, yang
memiliki pesantren. Tetapi, sebutan tersebut sangat populer bagi
anak dan keturunan kiai yang memiliki pesantren.6
3. Model organisasi: pasar, hierarki, dan jaringan
Salah satu model pengambilan Keputusan yang dikemukakan
oleh Graham Allison adalah model pengambilan keputusan
organisasi, di mana dalam model ogranisasi ini terdapat tiga
rangkaian yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
Pertama actor pemegang keputusan, dalam hal ini actor yang
menentukan suatu keputusan, memilih opsi, mengetahui kosekuensi,
dan memahami pilihan yang dipilih. Kedua proses organisasional,
organisasi yang menjadi bagian dari pemerintahan nasional, dan
bagaimana organisasi itu memahami dan menghadapi persoalan.
Ketiga politik birokrasi, pemerintahan nasional yang terdiri dari para
actor politik yang memiliki tujuan, kepentingan, dan pandangan
6
Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta:
terhadap pengambilan keputusan yang dibingkai dalam kerangka
relasi kekuasaan.
Kerangka yang kerap dipakai adalah memandang organisasi dari
sudut pandang tiga model: pasar, hierarki atau birokrasi, dan jaringan
(network) atau komunitas. Ketiganya mendefinisikan tiga
pendekatan berbeda untuk studi “koodinasi sosial”. Model ini
berpendapat bahwa prinsip utama dari masing-masing model adalah:
a. Intensif dan harga untuk model “pasar”
b. Aturan, otoritas, dan hierarki untuk model “birokrasi”
Komutas
Penggunaan gossip, sanksi
supranatural, dan sanksi
Mereka tahu apa yang mereka inginkan
Mereka mampu membayarnya
Mereka bisa bertindak independen
Mereka bebas untuk keluar masuk
Informasi tersedia bebas
Tak ada biaya untuk membuat kesepakatan
dan menjaga perjanjian
Model organisasi ini menggambarkan suatu kerangka pemikiran
seperti berikut:7
MODEL ORGANISASI
7
Wayne Parsons, Public Policy pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebiajkan,
4. Teori Pembangunan Desa
Rostow (1971) menyatakan, bahwa pengertian pembangunan
tidak hanya pada lebih banyak output yang dihasilkan tetapi juga
lebih banyak output daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam
perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan :
masyaralat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas,
gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran.
Kunci diantara tahapan ini adalah tahap lepas landas yang didorong
oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini
telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang dinamis.
Menurut Hanafiah (1892), pengertian pembangunan mengalami
perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an sampai tahun
1960-an menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada
kenaikan pendapatan nasional tidak bisa memecahkan masalah
pembangunan. Hal ini terlihat dari taraf hidup sebagian besar
masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan
pendapatan nasional pertahun meningkat. Dengan kata lain, ada
tanda-tanda kesalahan besar dalam mengartikan istilah pembangunan
secara sempit.
Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat
luas bukan hanya sekadar bagaimana menaikkan pendapatan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan
kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah
pembangunan pedesaan. Menurut haeruman ( 1997 ), ada dua sisi
pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu:8
a. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah
yang bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan
masyarakat Desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan
campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.
b. Sisi yang lain, memandang bahwa pembangunan pedesaan
sebagai suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh
masyarakt Desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat
pemabangunan pedesaan.
c. Pembangunan Desa adalah proses kegiatan pembangunan yang
berlangsung diDesa yang mencakup seluruh aspek kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomer : 72 tahun 2005 Tentang Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan
pembangunan Desa disusun secara partisipatif oleh
pemerintahan Desa sesuai dengan kewenangannya dan menurut
8Fauzi Kurniawan, “Beberapa Teori Tentang
ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan
Desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan Desa. Tujuan
perencanaan pembangunan sebagai berikut:
1) Mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2) Menjamin sinkronisasi dan sinergi dengan pelaksanaan
pembangunan daerah.
3) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
4) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5) Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya Desa
secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Kebijakan perencanaan pembangunan Desa merupakan suatu
pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih
dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di Desa
yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan
masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
a) Kebijakan Publik Dalam Pembangunan
Kebijakan (policy) umunya digunakan untuk memilih dan
menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan,
baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun
dicakup dalam kata politis (political), yang sering diyakini
mengandung makna keberpihakan akibat adanya kepentingan.
Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku
yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya
maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun
kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan
yang lebih kurang saling berhubungan (termasuk
keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan
pejabat pemerintah.9
Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008:7)
mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan
yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan
(kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap
pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa
ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan
tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan,
karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang
sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam
beberapa kegiatan pada suatu masalah. Solichin Abdul Wahab
mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi
9
silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli.
Maka, untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul
Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai
berikut:
1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan,
2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan
dari administrasi,
3) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan,
4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya
tindakan,
5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan
dicapai,
6) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik
eksplisit maupun implisit,
7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung
sepanjang waktu,
8) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar
organisasi dan yang bersifat intra organisasi,
9) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran
kunci lembaga-lembaga pemerintah,
10) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor.Hal
penting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi
adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan
umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan
adalah (Suharno: 2010: 52-53) :
a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan
dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan
dari luar.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh
Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan
investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan
terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan
itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan
yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai
suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut
sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih
kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang
memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para
pribadinya.Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan
besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan
juga berperan besar.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan
dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu
berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya,orang
mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya
kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan.10
Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi
masyarakat wajib dalam penyususnan kebijakan di sebuah
negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun,
partisipasi masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 45 disebutkan
bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap,
menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. pasal 139 menegaskan bahwa masyarakat berhak
memeberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah.
10
Dipo Lukmanul Akbar, “peran pemerintahan desa dalam penyusunan apbdes
perspektif undang- undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa (studi di desa kedungkelor
kecamatan warureja kabupaten tegal)” (Skripsi diterbitkan, fakultas hukum universitas
Dijaminyan kebebasan masyarakat menyampaikan aspirasi dan
berpartisipasi dalam menyusun seperti kebijakan publik di
Daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak
menimbulkan kontroversi masyarakat. oleh karena itu,
perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta
untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.11
5. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal
Inti terdalam dari demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari
segenap warga masyarakat kepada pihak lain (dalam hal ini pemerintah)
untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan
mendasar – yang populer disebut “social capital” ini hanya bisa
ditumbuhkan dari bawah, yakni dari tingkat lokal. Sebuah kultur
demokrasi lokal yang bersemangat, masyarakat madani yang semarak,
dan pemerintah lokal yang inklusif merupakan modal dasar bagi
terwujudnya demokrasi yang lestari.
Ada beberapa konsep kunci yang menentukan pemahaman kita
perihal pemerintahan lokal, antara lain: warga dan masyarakat,
pemerintahan otonom, musyawarah, dan kegiatan masyarakat.12
11
Endang Soetari, Kebijakan Publik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), 15
12
Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Local: Buku Panduan International IDEA
Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, terj.
Hal terpenting yang memaknai terselenggaranya pemerintahan
lokal yang demokratis adalah konsep pemerintahan yang otonom
(self-government) serta pemerintahan yang paling menyentuh
masyarakat.Gagasan terpentingnya adalah penduduk suatu wilayah
harus mendapatkan hak dan tanggung jawab untuk membuat keputusan
menyangkut isu-isu yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka
dan yang untuk itu mereka mampu mengambil
keputusan.Urusan-urusan seperti pertahanan nasional, politik luar negeri, dan keamanan
secara langsung memang berpengaruh terhadap kehidupan
mereka.Namun,soal-soal seperti itu jelas terlalu berat untuk ditangani
pemerintah setingkat kotapraja, sehingga mau tidak mau hal itu menjadi
beban tanggung jawab pemerintah pusat. Ada dua cara untuk
memahami demokrasi lokal, yakni: di dalam lembaga-lembaga
pemerintahan lokal seperti walikota, dewan kota atau DPRD,
Komite-komite, dan pelayanan administratif; di dalam pengorganisasian dan
aktivitas masyarakat (civil society).
Idealnya, para pejabat lokal dan gerakan-gerakan masyarakat
madani bekerja sama dalam hubungan yang saling memperkuat dan
mendukung untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, serta
mencari solusi yang inovatif. Pemerintah hanya satu bagian saja dari
gambaran utuhnya, meski berkedudukan penting.Gagasan mengenai
kegiatan masyarakat-berupa organisasi kemasyarakatan, pelbagai
asosiasi, kegiatan usaha, panitia-panitia di kampung, dan semacamnya -
juga menempati kedudukan penting di dalam konsep pemerintahan
lokal.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerinthan yang
demokratis di bawah rule of low ialah:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan ats hak-hak yang
dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
c. Pemilihan umum yang bebas
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
e. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi
f. Pendidikan kewarganegaraan.13
a) Konsep-Konsep Demokrasi Lokal
1. Kewarganegaraan dan masyarakat.
Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi
utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan,
sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala
proses pengambilan keputusannya memungkinkan
13
Miriam budiardjo, dasar-dasar ilmu politik (jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2008),
terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di
dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.
2. Musyawarah.
Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan
diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi
bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat.
Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar
dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar
musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling
memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan
dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan
tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung
bersama-sama.14
3. Pendidikan Politik.
Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses
“pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga
masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh
informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat,
yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para
14
profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang
terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi –
yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat – semakin
mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti
mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan
anggota masyarakat.
4. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial.
John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi
partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka
keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta
mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya,
demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik
antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan
memiliki semangat sosial.
b) Karakteristik Utama Sistem Pemerintahan Lokal yang
Baik
Diperlukan tiga unsur untuk mewujudkan pemerintahan
lokal yang baik: sebuah sistem pemerintahan lokal harus
memiliki kapasitas untuk memberikan keterbukaan,
terpadu. Ketiga unsur itu bukanlah nilai yang paling relevan,
namun pantas mendapat prioritas tertinggi; ketiganya
merupakan faktor penentu agar pemerintah lokal memperoleh
legitimasinya.15
Keterbukaan Di dalam sistem kemasyarakatan yang
demokratis, partisipasi seluruh warga bukanlah prasyarat
utama; yang lebih penting ialah adanya keterbukaan pada
semua pihak.Banyak orang lebih suka menghabiskan waktu
mereka untuk hal-hal yang tidak bersifat politis.Tidak sedikit
dari mereka mengalami hambatan sosial dan ekonomi yang
membuat mereka tidak punya cukup waktu untuk melakukan
aktivitas politik. Dalam kondisi seperti ini, kemudahan untuk
berpartisipasi di arena lokal akan memberi nilai istimewa bagi
demokrasi lokal.
Nilai terpenting bagi sebuah pemerintahan lokal adalah
sistemnya yang terbuka, tidak banyak rintangan bagi mereka
yang ingin mengekspresikan ketidaksetujuan, dan bisa
mememperkecil kendala bagi pihak-pihak yang kurang
terorganisasi dan minim sumber daya.Masyarakat mutlak
memiliki hak untuk berperan serta.Demokrasi menuntut
adanya sistem yang dapat menjadikan hak itu sebagai sebuah
15
opsi praktis. Masyarakat boleh saja, dengan alasan yang
rasional, memilih untuk tidak berpartisipasi sama sekali, berkat
adanya keyakinan bahwa kepentingan mereka terlindungi dan
tidak terancam.
Nilai dari keterbukaan tidak menuntut atau
mengasumsikan partisipasi langsung yang terus-menerus dan
dalam skala besar.Keterbukaan tergantung tersedianya
praktik-praktik demokratis serta adanya opsi untuk berpartisipasi
sejauh diperlukan. Opsi-opsi itu harus tersedia tanpa banyak
membebani waktu warga masyarakat, dan harus dijalankan
dengan cara yang semaksimal mungkin menjamin
keterwakilan dari mereka yang terlibat atau berkepentingan.
Sekarang sudah banyak cara yang memungkinkan masyarakat
berperan serta dalam politik lokal tanpa terikat oleh batas-batas
tradisi dan prinsip demokrasi representatif yang formal.16
Partai dan lembaga politik formal memang memiliki
peranan, namun semua itu tidak dapat diandalkan atau diberi
hak eksklusif sebagai motor penggerak massa dan pelaksana
peran serta mereka. Eksistensi kelompok-kelompok
masyarakat, organisasi masyarakat madani, forum konsumen,
atau kesempatan untuk berpartisipasi langsung melalui
16