• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA (STUDI PADA DESA BATOR, KECAMATAN KLAMPIS, KABUPATEN BANGKALAN).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA (STUDI PADA DESA BATOR, KECAMATAN KLAMPIS, KABUPATEN BANGKALAN)."

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN TINGKAT DESA

(Studi Pada Desa Bator Kecamatan Klampis

Kabupaten Bangkalan)

Skripsi

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Filsafat Politik Islam

Oleh: Lu’lu’ Ilma’nun

NIM: E34212048

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

(2)
(3)
(4)
(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Lu’lu’ Ilma’nun

NIM : E34212048

Fakultas/Jurusan : Ushuluddin/ Filsafat Politik Islam E-mail address : ilmaknunl94@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Skripsi Tesis Disertasi Lain-lain (………) yang berjudul :

Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi pada desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 30 Agustus 2016

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

(6)

ABSTRAK

Judul : Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Pada DesaBator Kecamatan Bangkalan)

Penulis : Lu’lu’ il maknun

Pembimbing : Dr. Abd. Chalik, M.Ag

Kata Kunci : Model Pengambilan, Keputusan Tingkat Desa

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Peraturan Mentri Desa Nomor 2, menguraikan bahwa pentingnya musyawarah, peran BPD yang sudah berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana UU No.6 dan PERMENDES di terapkan di Desa Bator, oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian langsung kelapangan, Adapun masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana Model Pengambilan keputusan tingkat Desa pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, (2) Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa, dan (3) Bagaimana Implikasi model pengambilan keputusan yang telah dirumuskan oleh pemerintah, terhadap perkembangan partisipasi masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa. daalam penelitian ini beertujuan, (1) untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada Desa Bator (2) untuk mendeskripsikan hubungan antar lembaga Pemerintahan yang ada di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, dan (3) untuk memahami implikasidari keputusan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Desa terhadap perkembangan Partisipasi Masyarakat dalam perkembangan Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bnagkalan.

(7)
(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . . ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI …... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... . iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAKSI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... .. 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 18

C. Rumusan Masalah ... 19

D. Tujuan Penelitian ... 19

E. Manfaat Penelitian ... 20

1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis F. Penegasan Judul ... 21

G. Telaah Pustaka ... 21

H. Penelitian Terdahulu ... 23

(9)

BAB II KAJIAN MODEL

PENGAMBILAN KEPUTUSAN ... 25

A. Teori-Teori Pembangunan Desa ... 25

1. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan ... 25

2. Teori Pembangunan Desa ... 31

3. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal ... 38

B. Regulasi Pengambilan Keputusan Tingkat Desa... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... .. 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Lokasi Penelitian ... 54

C. Sumber Data ... 56

D. Informan Penelitian ... 56

1. Key Informan 2. Informan E. Metode Pengumpulan Data ... 58

1. Metode Observasi 2. Metode Interview 3. Metode Dokumentasi 4. FGD (Focus Group Discussion) \ F. Analisis Data ... 62

1. Reduksi Data ... 63

2. Penyajian Data ... 64

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi ... 64

4. Keabsahan Data ... 65

(10)

BAB IV HASIL PENELITIAN

DAN PEMBAHASAN ... 68

A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 68

a. Kajian Geografi ... 68

1. Sejarah Desa Bator 2. Letak Geografis Desa Bator 3. Kondisi Fisik Desa Bator b. Kajian Demografi... 70

1. Letak Demografi Desa Bator 2. Pemerintahan Desa 3. Kondisi Pendidikan di Desa Bator 4. Kondisi Kesehatan Desa Bator 5. Kondisi Sosial Desa Bator 6. Kondisi Ekonomi Desa Bator 7. Kondisi Pemerintahan Desa Bator a. Pembagian Wilayah Desa Bator b. Struktur Organisasi Desa Bator c. Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat Desa Bator B.Model Pengambilan Keputusan ... 85

1. Proses Pengambilan Keputusan ... 85

2. Aktor dan Lembaga yang Terlibat ... 97

3. Tujuan dan Hasil Keputusan ... 102

C.Hubungan Antar Lembaga Pemerintah Desa ... 108

a. Komunikasi

b. Sumber Daya Manusia dan Lingkungan

(11)

D. Implikasi Model Pengambilan Keputusan

Terhadap Demokrasi Desa ... 120

a. Implikasi Model Pengambilan Keputusan

b. Perkembangan Demokrasi Desa

E.Pembahasan ... 128

1. Model Pengambilan Keputusan

2. Hubungan Antar Lembaga Pemerintahan Desa

3. Implikasi Model Pengambilan Keputusan Tingkat

BAB V PENUTUP ... 137

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR WAWANCARA... 141

DAFTAR PUSTAKA... 143

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Berlakang Masalah

Indonesia mengadopsi sebuah kebijakan desentralisasi atauotonomi

daerah, yang sangat berbeda dengan pengalaman penyelenggaraan

pemerintahan daerah selama 30 tahun lebih, yang ditempuh pemerintah orde

baru. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi

yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada dua unsur alasan yang

mendukung otonomi daerah, pertama intervensi Pemerintah Pusat yang

terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas

Pemerintah Daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan

Demokrasi di Daerah (Mardiasmo, 1999).

Kedua, tuntutan otonomi itu muncul sebagai jawaban untuk memasuki

Modernisasiyang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia

di masa yang akan datang. Di era seperti ini dimana Globalization

Cascadesudah semakin meluas pemerintah akan kehilangan kendali pada

banyak persoalan, seperti pada perdagangan Internasional, informasi dan ide

serta transaksi keuangan.1Otonomi Daerah merupakan bagian sistem politik

yang diharapkan memberi peluang bagi warga negara untuk lebih mampu

1

(13)

mengembangkan daya kreativitasnya, dengan demikian Otonomi Daerah

merupakan kebutuhan dalam Era Globalisasi dan Reformasi.

Paradigma seperti ini maka jalannya roda pemerintahan harus sesuai

dengan keinginan atau aspirasi rakyat. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 2 juga secara tegas

mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui kedaulatan rakyat. Isi dari Pasal 1

Ayat (2) tersebut adalah “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”2

Dengan kata lain,

pemerintah yang berkuasa harus mendapatkan legitimasi atau pengakuan dari

rakyat. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, legitimasi rakyat tersebut

diwakilkan kepada para wakil rakyat yang duduk di DPR RI pada tingkat

pusat dan DPRD pada tingkat Daerah.

Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen hingga empat kali sejak

1999 sampai dengan 2002, Konsep negara kesatuan yang selama orde baru

dipraktekkan secara sentralistis berubah menjadi desentralistis. Perubahan

lain yang penting adalah pemberian hak kepada daerah untuk menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan. Otonomi Daerah serta reformasi sebenarnya

merupakan harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa untuk

pembangun Desa sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian

besar Aparat Pemerintah Desa, otonomi adalah suatu peluang baru yang dapat

2

Sriwahyuntari, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, (Yogyakarta: Trans

(14)

membuka ruang kreativitas bagi aparatur Desa dalam mengelola Desa,

misalnya semua hal yang akan dilakukan oleh Pemerintah Desa harus melalui

jalan persetujuan Kecamatan, namun hal itu tidak berlaku lagi.3

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, makaPemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. Penataan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai

dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut bertujuan

untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, mempercepat

peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola

Pemerintahan Desa, dan meningkatkan daya saing Desa (Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 7 Ayat 3).

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 1

mengartikan Desa sebagai berikut :

“Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas Wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

3

Dipo Lukmanul Akbar, “Peran Pemerintahan Desa Dalam Penyusunan Apbdes

Perspektif Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Studi di Desa

Kedungkelor Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal)” (Skripsi diterbitkan, Fakultas

(15)

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

Hal tersebut menjelaskan bahwa Desa mempunyai wewenang untuk

mengurus sendiri pemerintahannya. Dan, mementingkan masyarakat setempat

yang berdasarkan prakasa masyarakat, hak asal usul dan hak tradisional yang

diakui dan dihormati.

Rumusan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa, bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan

pemerintahan adalah untuk mengatur, mengurus urusan pemerintahan, dan

kepentingan masyarakat setempat. Kemudian berdasarkan ketentuan umum

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah

Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu

Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Dan

Pemeritahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

4

Tim Permata Pers, Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik

indonesia Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan

(16)

Dalam suatu wilayah, katakanlah Desa, yang memiliki peran penting

dalam berjalannya roda demokrasi di Indonesia ini, akan menjadi tombak dan

tolok ukur suksesnya Sistem Demokrasi yang mengacu pada kesejahteraan

rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mendapatkan

keberhasilan dari Demokrasi ini, menjadi tangung jawab yang besar bagi

perangkat-perangkat Desa yang mengemban amanat rakyat. Salah satu proses

berjalannya Demokrasi Desa adalah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh

Pemerintah Desa apakah tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Tugas dan wewenang Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah

sesungguhnya berbeda. Sebagaimana yang dideskripsikan di tulisan terdahulu

bahwa tugas Pemerintah Pusat adalah urusan Politik Luar Negeri, pertahanan,

moneterdan fiskal Nasional, dan agama. Sedangkan urusan Pemerintah

Daerah adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintah pusat yang

diselenggarakan menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan.

Namun, dalam pelaksanaan urusan-urusan tersebut harus dilaksanakan

secara maksimal melalui pelayanan Publik yang diselenggarakan secara

prima. Tugas pemerintah baik ditingkat pusat dan Daerah dalam bidang

pelayanan publik sesungguhnya adalah sama. Dalam konteks

(17)

dan dilaksanakan secara terkait, tergantung, sinergis sebagai suatu sistem

pemerintahan, adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.5

Di dalam Desa yang terdiri dari beragam jenis dan kebutuhan rakyat

akan mempersulit Pemerintah Desa dalam mengambil kebijakan yang bersifat

publik, selain itu bagi perangkat Desa seperti Kepala Desa serta jajarannya

memegang amanat Desa yang berat. Untuk mempermudah semua persoalan

yang ada di Desa dan berjalan dengan seadil-adilnya, pemerintah pusat

memberikan ketetapan yang bertujuan untuk kesejahteraan yang adil bagi

masyarakat Desa. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertulis dalam

Undang-Undang Nomer 6 tahun 2014 Tentang Desa.

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, menjelaskan

dengan rinci bagaimana hak masyarakat Desa untuk mewujudkan Demokrasi,

dan mendapatkan dengan rinci tugas dan kewajiban Kepala Desa serta

jajarannya, BPD (Badan Permusyawaratan Desa), dan masyarakat. Hal ini

mencerminkan bahwa sistem Demokrasi yang sudah dipilih oleh Indonesia

sudah diatur untuk pelaksanaanya sampai pada bagian terkecil Negara,yakni

Desa. Bagi semua rakyat Indonesia yang tidak menjalankan peraturan yang

telah dirumuskan oleh pemerintah pusat akan mendapatkan sangsi.

Musyawarah Desa harus bersifat Transparan, guna untuk mencegah

terjadinya penyelewengan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam proses

pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Desa telah diatur secara terperinci

5

(18)

dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalan Pasal 54

berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh

Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat

Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2.)Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Penataan Desa;

b. Perencanaan Desa;

c. Kerjasama Desa;

d. Rencana investasi yang masuk ke Desa;

e. Pembentukan BUM Desa;

f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan

g. Kejadian luar biasa.

(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.

(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.6

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa, pasal 54 ayat 1

sampai 4 ini mejelaskan bahwa musyawarah Desa di hadiri oleh Badan

6

(19)

Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk

memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Desa. Hal ini membuktikan bahwa ada sistem yang bersifat

Transparan di dalamnya.

Mewujudkan Sistem Demokrasi secara merata dan sungguh-sungguh

memerlukan tiga pembagian unsur didalamnya. Kepala Desa sebagai

pengambil kebijakan, sebelum pengambilan dan kebijakan diputuskan dan

dijalankan oleh masyarakat Desa, ada proses pengambilan keputusan di

dalamnya yang dirumuskan dalam musyawarah Desa yang dihadiri oleh

Kepala Desa, BPD, dan Masyarakat. Dalam musyawarah Desa, fungsi BPD

sebagai pengawas dan memberi usulan dalam perumusan kebijakan yang

dimusyawarahkan oleh Kepala Desa, serta masyarakat yang menghadiri

musyawarah tersebut juga memiliki hak untuk mengontrol serta memberikan

usulan dan tidak menyetujui apabila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.

Pasal 55

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:

a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan

c. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Pasal 61

(20)

a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan

Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa; dan

c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 62

Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. Mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;

b. Mengajukan pertanyaan;

c. Menyampaikan usul dan/atau pendapat;

d. Memilih dan dipilih; dan

e. Mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.7

Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 3 yang berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan secara partisipatif, Demokratis,

Transparan dan Akuntabel dengan berdasarkan kepada hak dan

kewajiban masyarakat.

7

(21)

(2.)Hak masyarakat dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Mendapatkan informasi secara lengkap dan benar perihal hal-hal

bersifat Strategis yang akan dibahas dalam Musyawarah Desa;

b. Mengawasi kegiatan penyelenggaraan Musyawarah Desa maupun

tindaklanjut hasil keputusan Musyawarah Desa;

Dalam Peraturan Mentri Desa Nomer 2 tahun 2015 pasal 5 menjelaskan:

(1.)Musyawarah Desa diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan

Desayang difasilitasi oleh Pemerintah Desa.

(2.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh

Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan unsur masyarakat.

(3.)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas :

a. Tokoh adat;

b. Tokoh agama;

c. Tokoh masyarakat;

d. Tokoh pendidik;

e. Perwakilan kelompok tani;

f. Perwakilan kelompok nelayan;

g. Perwakilan kelompok perajin;

h. Perwakilan kelompok perempuan;

(22)

j. Perwakilan kelompok masyarakat miskin.8

Peraturan yang sedemikian rupa yang telah dirumuskan oleh Pemerintah

Pusat, yang tujuan untuk kesejahteraan dan keadilan yang merata serta

menjalankan Sistem Demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia. Desa

adalah tombak Demokrasi tersebut, sebab apabila Desa tidak bisa

menjalankan sitem yang terkandung dalam Demokrasi maka bisa dikatakan

bawa Indonesia kurang menjalankan sistem Demokrasi. Dari lapangan yang

didapat di Desa Bator dilihat dari persoalan, pertama seperti kantor Desa

tidak digunakan dan tidak ada pembenahan hingga tidak layak pakai, dan

rumah Kepala Desa yang menjadi jalan keluar untuk melayani kebutuhan

masyarakat. Kedua, dalam Struktur Organisasi Desa ada dengan jelas

badan-badan dalam Organisasi, namun tidak berfungsi dengan baik, tidak

berfungsinya RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), bahkan dalam 7

Dusun tersebut salah satu dari ketua RT di Desa Bator berkerja keluar negeri

tidak menghiraukan tanggung jawab yang diembannya. Fenomena ini yang

membuktikan kurangnya ketepatan dalam proses pengambilan keputusan

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Desa.9

Desa Bator adalah Desa yang berada di Kecamatan Klampis

Kabupeten Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453

Meter persegi dengan batas wilayah sebelah baratDesa Bloekagoeng, sebelah

8

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, h, 4.

9

(23)

timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan Klampis

Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng. Jumlah penduduk 5.008.000 jiwa

dengan jumlah laki-laki 2.499.000 jiwa dan jumlah perempuan 2.509.000

jiwa, serta jumlah KK (Kartu Keluarga) 1.365.000. Desa Bator memiliki

tujuh dusun di dalamnya yakni, dusun Tengginah, dusun Laok Sabe, dusun

Poka, dusun Betan, dusun Dengloa, dusun Ma’adan, dusun Tana Los.

Mayoritas masyarakat Desa Bator memeluk agama Islam, dan hanya satu

keluarga yang terdiri dari tiga orang yang beragama Kristen. Masyarakat

Desa Bator rata-rata menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah Menengah

Atas (SMA). Rata-rata mata pencaharian masyarakat Desa Bator sebagai

Petani (1.226.000), Pedagang (231.000),Angkutan (37.000), Jasa (71.000)

dan selebihnya bekerja sebagai ibu rumah tangga.10

Dari pengamatan peneliti selama ini pembangunan secara Infrastruktur

yang ada di Desa Bator ini bisa dikatakan sangat kurang, seperti jalan yang

tidak layak atau rusak. Namun, masyarakat di sanaselama ini diam atau tidak

melakukan protes terhadap persoalan tersebut. Selain itu,Kantor Desa yang

seharusnya sebagai fungsi administrasi pemerintahan jugatidak layak

digunakan.Jadi selama ini, masyarakat jika memiliki keperluan dengan

Pemerintahan terutama dengan Kepala Desa, mereka yang bersangkutan

terpaksa menemui di rumahnya,yang dijadikan sebagai fungsi administrasi

pemerintahan.

10

Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Kecamatan Klampis Dalam Angka,

(24)

Dugaan sementara dari pengamatan peneliti mengenai fenomena yang

ada di Desa Bator, bahwa penggunaan rumah pribadi sebagai fungsi

administrasi pemerintahan (Kantor Desa) akan menyebabkan

terjadinyamisscommunication. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap

proses pengambilan keputusan yang mengakibatkan ketidakserasian antara

kebutuhan masyarakat secara umum dengan keputusan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Desa. Salah satunya keadaan kantor Desa yang tidak layak

difungsikan, dan kondisi jalan utama Desa yang sangat buruk, dan pernyataan

ini juga disetujui oleh Kepala Desa. Kepala Desa pun membenarkan bahwa

Kantor Desa yang seharusnya menjadi media Komunikasi dan penyalur

Aspirasi masyarakatsudah tidak digunakan lagi, dan pernyataan ini

dibenarkan oleh peneliti, sebab fakta di lapangan mengatakan demikian.

Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan yang dipaparkan oleh BPD

(Badan Permusyawaratan Desa), beliau memaparkan bahwa kantor Kepala

Desa masih difungsikan setiap harinya, dan BPD berjalan sesuai dengan

kebutuhan mayarakat Bator. Pernyataan yang berbeda dari Aparat

Pemerintahan ini membuktikan bahwa, adanya misscommunication antara

Kepala Desa dan Ketua BPD. Dengan adanya misscommunication dalam

pemerintahan ini, sangat kecil kemungkinan menyatukan visi dan misi

bersama untuk kepentingan Publik.11

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang

Desa yang dirumuskan oleh pemerintah, yang terjadi di Desa Bator adanya

11

(25)

kebingungan yang dirasakan oleh BPD mengenai tugasnya. Namun, karena

kewenangan dan kewajiban BPD telah dijelaskan dalamUndang-Undang

Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sehingga menjadi jelas kerja BPD. Tidak

hanya itu, setelah lahirnya Undang-Undang tersebutkondisi fisik Desa seperti,

Kantor Kepala Desa, jalan utama Desa, dan tidak berfungsinya RT dan

RW,ada perhatian untuk melakukan langkah pembenahan yang sedang

direncanakan oleh Pemerintah Desa. Seperti pembenahan Kantor Desa,

walaupun belum ada perubahan tetapi wawancara dari Kepala Desa

menyatakan bahwa masih dalam proses pembenahan.

Dalam Peraturan Mentri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Nomer 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas

Pembangunan Dana Desa Tahun 2015 Pasal 5 yang berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dialokasikan

untuk mencapai tujuan Pembangunan Desa yaitu meningkatkan kesejahteraan

Masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan

kemiskinan, melalui:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar;

b. Pembangunan sarana dan prasarana Desa;

c. Pengembangan potensi ekonomi lokal; dan

(26)

Dalam Pasal 6 juga menjelaskan prioritas Pembangunan Dana Desa yang

berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

huruf a, meliputi:

a. Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;

b. Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan

c. Pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini.

Lalu disambung dengan Pasal 7 yang masih menjelaskan prioritas

Pembangunan Dana Desa yang berbunyi:

Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

huruf b dan huruf c untuk mendukung target pembangunan sektor unggulan

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya, yang

diprioritaskan untuk:

a. Mendukung kedaulatan pangan;

b. Mendukung kedaulatan energi;

c. Mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan; dan

d. Mendukung pariwisata dan industri.12

12

(27)

Dilihat dari Peraturan Mentri Desa yang masih menguraikan

Pembangunan Desa secara terperinci untuk mewujudkan kesejahteraan Desa

sudah cukup jelas. Namun, dari fakta dilapangan yang peneliti dapatkan, tidak

ditemukannya pembanguan sarana dan prasarana Desa seperti yang dijelaskan

oleh Peraturan Mentri Desa pada pasal 5 angka a. Hal ini yang menjadi pintu

masuk peneliti yang ingin mengetahui lebih dalam lagi persoalan yang ada di

Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.Desa Bator yang

memiliki tujuh Dusun didalamnya dan wilayah yang cukup luas, akan

menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Desa. Selain kesejahteraan yang

merata yang akan menjadi tantangan bagi Pemerintah Desa Bator, ketepatan

Pemerintah Desa terhadap kebijakan yang diberikan untuk Desa juga perlu

diperhitungkan. Hal ini memerlukan keterlibatan masyarakat untuk

memusyawarahkan persoalan yang ada di Desa. Dalam Undang-Undang No.

6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 54 berbunyi:

(1.)Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh

Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat

Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat Strategis dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2.)Hal yang bersifat Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Penataan Desa;

b. Perencanaan Desa;

c. Kerja sama Desa;

(28)

e. Pembentukan BUM Desa;

f. Penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan

g. Kejadian luar biasa.

(3.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.

(4.)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.13

Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan

mengenai keterlibatan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan

Desa. Hal ini membuktikan bahwa Demokrasi masyarakat pedesaan juga di

atur dalam Undang-Undang nomer 6 Tahun 2014Tentang Desa. Manun,

kenyataan di lapangan masih kurang, kebiasaan yang terjadi di Desa,

keterlibtan masyarakat Desa hanya pada saat pemilihan umum saja. Sama

halnya dengan yang terjadi di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten

Bangkalan.

Hal tersebut yang menjadi latar belakang penulis dalam melakukan

penelitian tentang “Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa (Studi Desa

Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan)”.

B. Identifikasi Masalah

13

(29)

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah

yang ditemukan yaitu:

1. Model pengambilan keputusan tingkat desa yang telah dilakukan oleh

Pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan

dengan kebutuhan masyarakat dirasa kurang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan kurang sesuai dengan Undang-Undang Nomer 6 Tahun

2014 Tentang Desa.

2. Kurang maksimalnya Perangkat Desa, BPD (Badan Permusyawaratan

Desa), serta RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukun Warga) dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya.Kemudian, masyarakat yang kurang

dilibatkandalam proses pengambilan keputusan dalam Musyawarah

sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomer 6 Tahun 2014

Tentang Desa Pasal 54 (1) dan Peraturan Mentri Desa Nomer 2 Tahun

2015, Pasal 5 (2), yaitu tentang dilibatkannya unsur masyarakat di dalam

musyawarah.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat merumuskan masalah yang

ditemukan sebagai berikut:

1.

Bagaimanamodelpengambilan keputusan tingkat Desapada Desa Bator

(30)

2.

Bagaimana hubungan antar lembaga Pemerintahan Desa di Desa Bator

Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan ?

3.

Bagaimana implikasi model pengambilan keputusan yang telah

dirumuskan oleh pemerintah Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten

Bangkalan terhadap perkembangan partisipasi masyarakat

padaDemokrasi Desa?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas, tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana proses pengambilan keputusan pada

Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

2. Untuk mengetahui hubungan antar lembaga pemerintahan yang ada di

Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan.

3. Untuk memahami implikasi dari keputusan yang ditetapkan oleh

pemerintahan desa terhadap perkembangan partisipasi masyarakat pada

Demokrasi Desa di Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten

Bangkalan.

(31)

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian Desa dalam penulisan ini

akan bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan

penulis dari penelitian yang telah dilakukannya diDesa Batorini antara lain :

1. Manfaat Teoritis :

a. Dapat menambah wawasan dan pengembangan ilmu politik khusunya

di prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin UIN-Sunan Ampel

Surabaya.

b. Dapat dijadikan acuan atau refrensi berkaitan dengan ilmu yang

dipelajari di Fakultas Ushuluddin. Dan dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi yang bermanfaat

bagi pembaca dan menjadi refrensi alternatif penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis:

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

refrensi dan bahan informasi bagi konsultan politik maupun

masyarakat terkait dengan Model Pengambilan Keputusan Tingkat

Desa (Studi pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten

Bangkalan).

F. Penegasan Judul

Untuk memfokuskan pemahaman dalam penulisan proposal ini, maka

(32)

1. Model Pengambilan Keputusan Tingkat Desa : Model adalah

percontohan yang mengandung unsure yang bersifat penyederhanaan

untuk dapat ditiru (jika perlu). Pengambilan keputusan itu sendiri

merupakan suatu proses beruntun yang memerlukan penggunaan model

secara tepat.

2. Desa Bator :Desa yang berada di kecamatan Klampis Kabupeten

Bangkalan Madura. Desa ini memiliki luas wilayah 2. 468. 453 Meter

persegi dengan batas wilayah sebelah barat Desa Bloekagoeng, sebelah

timur Desa Tenggoendaja, sebelah utara lautan, Kelampis Barat dan

Klampis Timur, dan sebelah selatan Desa Boeloeng.

G. Telaah Pustaka

Berdasarkan dari asumsi di atas maka penelitian ini akan fokus pada

telaah pustaka yang membahas tentangModel Pengambilan Keputusan

Tingkat Desa Pada Desa Bator Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan,

di antaranya:

1. Kitab Undang-Undang Desa , buku Undang-Undang ini menjelaskan

(33)

dari Undang- Undang ini adalah, Undang-Undang Nomer 6 tahun

2014Tentang Desa.

2. Peraturan Pemerintah Desa, pembanguan daerah tertinggal, dan

transmigrasi nomer 5 tahun 2015, buku ini menjelaskan penerapan

prioritas penggunaan dana Desa tahun 2015.

3. Peraturan Mentri Desa, Penbangunan daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2015, buku ini

menjelaskan pedoman tatatertib dan mekanisme pengambilan keputusan

musyawarah Desa.

4. Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan prespektif pemikiran

hans kelsen, jurnal ini salah satu pendukung penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini. Jurnal ini di karang oleh HM. Thalhah,

banyak mengupas tentang pemikiran Demokrasi Hans Kelsen.

5. Dasar-dasar ilmu politik, karangan dari Prof. Miriam Budiardjo banyak

mengupas tentang politik secara mendalam, salah satunya Teori

Demokrasi.

6. Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, buku yang menjelsakan

banyak tentang daerah dan pendekatan teori untuk menghadapi persoalan

yang timbul di daerah.

7. Demokrasi Di Tingkat Lokal, Buku Panduan International Idea

Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik Dan

(34)

diterjemahkan oleh Arif Subiyanto, menjelaskan dengan rinci mengenai

demokrasi di tingkat lokal.

8. Dasar-dasar Ilmu Politik karyaMiriam Budiardjo, dalam karyanya ini

menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu politik, dan salah satunya adalah

Demokrasi.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima BAB. BAB I terdiri dari enam sub. Pertama,

latar belakang yang menguraikan tentang persoalan yang ada di lapangan dan

data yang mendukung judul yang diangkat oleh peneliti. Kedua, identifikasi

masalah, yang memaparkan pembatasan permasalahan yang akan diteliti oleh

peneliti. Ketiga, rumusan masalah, yang berisi tentang permasalahan yang

akan diteliti oleh peneliti. Keempat, tujuan penelitiuan, memaparkan tentang

tujuan yang akan diutamakan dalam penelitian ini oleh peneliti. Kelima,

manfaat penelitian, peneliti menghendaki dalam penelitian yang

dilakukannya ini di samping untuk menyelesaikan studi Strata Satunya, juga

ingin memberi manfaat bagi orang lain. Keenam, telaah pustaka, yang berisi

rujukan atau buku yang menjadi pendukung dan membantu peneliti dalam

menyelesaikan penelitiannya.

BAB II berisi kajian teori, yakni teori Pembuatan Keputusan, teori

(35)

BAB III Metode Pelitian, memaparkan jenis penelitian, sumber data,

metode yang digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data, fokus

penelitian, lokasi penelitian yang dipilih peneliti.

BAB IV, memaparkan hasil penelitian yang meliputi Penyajian data,

Analisis data.

BAB V berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang merujuk pada

rumusan masalah penelitian dan saranyang berisi pengembangan keilmuan

(36)

BAB II

KAJIAN TEORI -TEORI

PEMBANGUN DESA

A. Pendekatan dan Teori Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan (decision-making) berada diantara

perumusan kebijakan dan Implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut

saling terkait satu sama lain. Keputusan memengaruhi Implementasi dan

Implementasi tahap awal akan memengaruhi tahap pembuatan keputusan

selanjutnya yang pada gilirannya, akan memengaruhi Implementasi

berikutnya. Karena, pembuatan keputusabukan proses pasif.Keputusan

merupakan sebuah proses sertapetunjuk arah atau dorongan awal atau

percobaan awal, yang nantinya akan mengalami revisi dan diberi

spesifikasi.1Analisis kebijakan berkaitan dengan perkataan Lasswell

diringkaskan sebagai “siapa yang mendapatkan sesuatu, kapan, (dan)

bagaimana ia mendapatkannya.” Analisis pembuatan keputusan adalah

semacam penjelasan yang bertujuan untuk menerangkan atau

mendeskripsikan bagaimana satu keputusan atau serangkaian keputusan

dibuat. Bentuk lain dari tujuan analisis keputusan adalah,

mengetahuitentang cara keputusan itu diambil atau bagaimana keputusan

itu seharusnya dibuat.

1

Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta:

(37)

1. Pendekatan Kekuasaan untuk Pembuatan Keputusan

Model adalah suatu konsepsi intelektual yang baik, yang

dipergunakan untuk menggambarkan situasi sosial atau fisik.Situasi

tadi mungkin nyata atau mungkin juga hipotesa. Dengan demikian,

suatu model merupakan suatu sita-sita yang ingin dicapai atau suatu

pola yang akan diikuti. Model tersebut, kita anggap sebagi konsepsi

intelektual yang sederhana, atau kerangka yang bersifat kaku, yang

dapat membantu kita di dalammengatur alur-alur utama pemikiran

kita di dalam memberi arah penyelidikan.2

Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan

sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur

kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik,

kelompok penekan, dan kalangan profesional atau ahli pengetahuan

teknis.

2. Model Elitis

Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan

terkonsentrasi ditangan segelintir orang atau kelompok. Menurut

model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan

demi keuntungan elite-elite tersebut. Sebagai sebuah model

pembuatan keputusan, tujuan elitisme didasarkan pada analisis

terhadap cara dunia rill berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia ril

2

(38)

ada pihak-pihak yang berada di atas yang memegang kekuasaan dan

ada “massa” yang tak memegang kekuasaan. Model ini berasal dari

ilmu sosial modern, yakni berakar pada dua karya ahli teori Italia:

Mosca dan Pareto. Mereka berpendapat, bahwa sejarah menunjukkan

bahwa elitisme adalah sesuatu yang takbisa dihindari: masyarakat

tanpa kelas adalah mitos dan Demokrasi tak lebih dari sekedar

pura-pura. Mosca kemudian memodivikasi pandangan ini dengan

mengatakan bahwa Demokrasi dapat dilihat sebagai sebentuk poltik

dimana elite-elite bersaing untuk mendapatkan suara dari penduduk

guna mengamankan legitimasi kekuasaan elite. Ide Mosca dan

Pareto menjadi basis untuk merumuskan pendekatan elitis

selanjutnya. Robert Michels (1915) mengembangkan pendekatan

dalam studi partai politik dimana dia mengemukakan bahwa ada

“hukum besi oligarki” yang berlaku di dalam organisasi. Di

sepanjang waktu, elite-elite organisasi menciptakan kepentingan dan

tujuan sendiri yang berbeda dengan kepentingan dan tujuan anggota

organisasi. Weber juga memfokuskan pada konteks organisasional

atau birokratis dari kekuasaan dengan menunjukkan bagaimana

“rasionalisasi” dalam masyarakat kapitalis menghasilkan formasi

birokrasi yang pasti akan menggantikan bentuk-bentuk oraganisasi

(39)

kuat, akan memunculkan ancaman bagi pengambilan keputusan

Demokratis oleh politisi terpilih.3

a) Elit lokal dalam kehidupan politik

Dalam konteks elite, ada beberapa pandangan dalam melihat

elite, yakni pandangan psikologis, organisasi, dan

kekuasaan.Pandangan psikologis terhadap elite dikemukakan oleh

Vilfredo Pareto (1848-1923). Menurut Pareto, setiap masyarakat

diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas

yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial

politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan

selalu merupakan aktor yang terbaik, dan merekalah yang disebut

elite.4

Elite merupakan orang yang berhasil dan mampu menduduki

jabatan tinggi dalam masyarakat.Mereka terdiri atas para

pengacara, ilmuwan tokoh agama, mekanik atau bahkan mafia yang

umumnya dikenal pandai dan kaya.Elite dilihat dari sudut pandang

organisasi dikemukakan oleh Mosca dan Michels.Menurut Gaetano

Mosca (1858- 1941), orang hanya dikelompokkan ke dalam dua

3

Ibid., 251.

4

Abdul Chalik, “Elite Lokal Yang Berbasis Pesantren Dalam Kontestasi Pemilihan

Kepala Daerah Jawa Timur”, Journal Etika Lokal yang Berbasis Pesantren, Vol. 23 No.

(40)

kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik “penting”

dan mereka yang tidak memilikinya.

Gaetano Mosca menggambarkan masyarakat sebagai berikut:

In all societies, two class of people, a class that rules and that class

is ruled. The first class always the less numerous, performs and

political functions, monopolizes po- wer and enjoy the advantages

that power brings, whereas the second, the more numerous class, is

directed and controlled by the first, in manner that is now more or

less legal, now more or less arbitrary and violent, and supplies the

first. Artinya, dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas

penduduk, satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang

dikuasai.Kelas pertama, yang jumlahnya selalu lebih kecil,

menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan

menikati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu.Sedangkan

kelas kedua yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan

dikendalikan oleh kelas pertama.

Kaum elite menurut Putnam digambarkan sebagai berikut:

pertama, secara eksternal, elite bersifat homogen, bersatu dan

memiliki kesadaran kelompok. Elite bukan merupakan kumpulan

individu saling terpisah-pisah, tetapi individu yang ada dalam

kelompok elite saling mengenal dengan baik, memiliki latar

(41)

berbeda), memiliki nilai-nilai kesetiaan dan kepen- tingan yang

sama. Kedua, kaum elite mengatursendiri kelangsungan hidupnya

(self perpetuating) dan keanggotaannya berasal dari suatu lapisan

masyarakat yang sangat terbatas.Pemimpin selalu memilih sendiri

dari kalangan istimewa yang hanya terdiri atas beberapa orang.

Ketiga, kaum elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal gugatan

dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai ke- putusan yang

dibuatnya. Semua persoalan politik penting diselesaikan menurut

kepentingan atau tindakan kelompoknya.5

Di antara beberapa kelompok elite ada yang disebut dengan

elite politik. Mereka adalah sekelompok orang atau individu yang

memiliki banyak kekuasaan politik dibandingkan dengan yang lain.

Yang dimaksud kekuasaan adalah kekuasaan sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi orang lain, dan kekuasaan sebagai

kemampuan untuk mempengaruhi perbuatan keputusan kolektif.

Putnam mengartikan kekuasaan sebagai probabilitas untuk

mempengaruhi kebijaksanaan dan kegiatan negara, atau

probabilitas untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai secara

otoritatif.

Elite politik yang cukup dominan adalah mereka berlatar

belakang tokoh agama, atau elite politik yang berbasis agama dan

5

(42)

pesantren. Di Jawa Timur, elite politik yang berbasis agama dan

pesantren dikenal dengan sebutan ”santri”, ”kiai”, atau keluarga

kiai yang dikenal dengan sebutan ”Gus” (istilah yang melekat pada

kiai Jawa), atau ”Lora” (isti- lah yang melekat pada kiai Madura),

atau juga ”Bhindhârâh” (istilah yang melekat pada kiai

Pendalungan/Jawa Timur bagian Timur dan Selatan). Ketiganya

adalah sama, yakni anak dan keturunan kiai, terutama, yang

memiliki pesantren. Tetapi, sebutan tersebut sangat populer bagi

anak dan keturunan kiai yang memiliki pesantren.6

3. Model organisasi: pasar, hierarki, dan jaringan

Salah satu model pengambilan Keputusan yang dikemukakan

oleh Graham Allison adalah model pengambilan keputusan

organisasi, di mana dalam model ogranisasi ini terdapat tiga

rangkaian yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

Pertama actor pemegang keputusan, dalam hal ini actor yang

menentukan suatu keputusan, memilih opsi, mengetahui kosekuensi,

dan memahami pilihan yang dipilih. Kedua proses organisasional,

organisasi yang menjadi bagian dari pemerintahan nasional, dan

bagaimana organisasi itu memahami dan menghadapi persoalan.

Ketiga politik birokrasi, pemerintahan nasional yang terdiri dari para

actor politik yang memiliki tujuan, kepentingan, dan pandangan

6

Wayne Parsons, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisi Kebijakan (Jakarta:

(43)

terhadap pengambilan keputusan yang dibingkai dalam kerangka

relasi kekuasaan.

Kerangka yang kerap dipakai adalah memandang organisasi dari

sudut pandang tiga model: pasar, hierarki atau birokrasi, dan jaringan

(network) atau komunitas. Ketiganya mendefinisikan tiga

pendekatan berbeda untuk studi “koodinasi sosial”. Model ini

berpendapat bahwa prinsip utama dari masing-masing model adalah:

a. Intensif dan harga untuk model “pasar”

b. Aturan, otoritas, dan hierarki untuk model “birokrasi”

(44)

Komutas

 Penggunaan gossip, sanksi

supranatural, dan sanksi

 Mereka tahu apa yang mereka inginkan

 Mereka mampu membayarnya

 Mereka bisa bertindak independen

 Mereka bebas untuk keluar masuk

 Informasi tersedia bebas

 Tak ada biaya untuk membuat kesepakatan

dan menjaga perjanjian

Model organisasi ini menggambarkan suatu kerangka pemikiran

seperti berikut:7

MODEL ORGANISASI

7

Wayne Parsons, Public Policy pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebiajkan,

(45)

4. Teori Pembangunan Desa

Rostow (1971) menyatakan, bahwa pengertian pembangunan

tidak hanya pada lebih banyak output yang dihasilkan tetapi juga

lebih banyak output daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam

perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan :

masyaralat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas,

gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran.

Kunci diantara tahapan ini adalah tahap lepas landas yang didorong

oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini

telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang dinamis.

Menurut Hanafiah (1892), pengertian pembangunan mengalami

perubahan karena pengalaman pada tahun 1950-an sampai tahun

1960-an menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada

kenaikan pendapatan nasional tidak bisa memecahkan masalah

pembangunan. Hal ini terlihat dari taraf hidup sebagian besar

masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan

pendapatan nasional pertahun meningkat. Dengan kata lain, ada

tanda-tanda kesalahan besar dalam mengartikan istilah pembangunan

secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat

luas bukan hanya sekadar bagaimana menaikkan pendapatan

(46)

kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan

kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah

pembangunan pedesaan. Menurut haeruman ( 1997 ), ada dua sisi

pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu:8

a. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah

yang bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan

masyarakat Desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan

campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan

berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.

b. Sisi yang lain, memandang bahwa pembangunan pedesaan

sebagai suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh

masyarakt Desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat

pemabangunan pedesaan.

c. Pembangunan Desa adalah proses kegiatan pembangunan yang

berlangsung diDesa yang mencakup seluruh aspek kehidupan

dan penghidupan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomer : 72 tahun 2005 Tentang Desa

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan

pembangunan Desa disusun secara partisipatif oleh

pemerintahan Desa sesuai dengan kewenangannya dan menurut

8Fauzi Kurniawan, “Beberapa Teori Tentang

(47)

ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan

Desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan Desa. Tujuan

perencanaan pembangunan sebagai berikut:

1) Mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.

2) Menjamin sinkronisasi dan sinergi dengan pelaksanaan

pembangunan daerah.

3) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.

4) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat

5) Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya Desa

secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan Desa merupakan suatu

pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih

dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di Desa

yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan

masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.

a) Kebijakan Publik Dalam Pembangunan

Kebijakan (policy) umunya digunakan untuk memilih dan

menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan,

baik dalam kehidupan organisasi kepemerintahan maupun

(48)

dicakup dalam kata politis (political), yang sering diyakini

mengandung makna keberpihakan akibat adanya kepentingan.

Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh perilaku

yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya

maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun

kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan

yang lebih kurang saling berhubungan (termasuk

keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan

pejabat pemerintah.9

Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008:7)

mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan

yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan

(kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap

pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka

mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa

ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan

tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan,

karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang

sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam

beberapa kegiatan pada suatu masalah. Solichin Abdul Wahab

mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi

9

(49)

silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli.

Maka, untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul

Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai

berikut:

1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan,

2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan

dari administrasi,

3) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan,

4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya

tindakan,

5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan

dicapai,

6) Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik

eksplisit maupun implisit,

7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung

sepanjang waktu,

8) Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar

organisasi dan yang bersifat intra organisasi,

9) Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran

kunci lembaga-lembaga pemerintah,

10) Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara

(50)

Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor.Hal

penting yang turut diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi

adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi kesalahan

umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan

adalah (Suharno: 2010: 52-53) :

a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar

Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan

dari luar atau membuat kebijakan adanya tekanan-tekanan

dari luar.

b. Adanya pengaruh kebiasaan lama

Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh

Nigro disebutkan dengan istilah sunk cost, seperti kebiasaan

investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan

terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan

itu oleh para administrator, meskipun keputusan/kebijakan

yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai

suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut

sering secara terus-menerus pantas untuk diikuti, terlebih

kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang

memuaskan.

c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para

(51)

pribadinya.Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan

besar dalam penentuan keputusan/kebijakan.

d. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan

juga berperan besar.

e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu

Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan

dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu

berpengaruh pada pembuatan kebijakan. Misalnya,orang

mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya

kepada orang lain karena khawatir disalahgunakan.10

Melihat fungsi dari filsafat kebijakan, partisipasi

masyarakat wajib dalam penyususnan kebijakan di sebuah

negara demokrasi. Dalam konteks otonomi daerah pun,

partisipasi masyarakat dijamin melalui Undang-Undang No.

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 45 disebutkan

bahwa anggota DPRD mempunyai kewenangan menyerap,

menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat. pasal 139 menegaskan bahwa masyarakat berhak

memeberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka

penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah.

10

Dipo Lukmanul Akbar, “peran pemerintahan desa dalam penyusunan apbdes

perspektif undang- undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa (studi di desa kedungkelor

kecamatan warureja kabupaten tegal)” (Skripsi diterbitkan, fakultas hukum universitas

(52)

Dijaminyan kebebasan masyarakat menyampaikan aspirasi dan

berpartisipasi dalam menyusun seperti kebijakan publik di

Daerah, agar kebijakan publik memenuhi rasa keadilan dan tidak

menimbulkan kontroversi masyarakat. oleh karena itu,

perumusan kebijakan publik dimulai dari dan oleh rakyat, serta

untuk rakyat, terutama di sebuah negara demokrasi.11

5. Teori Demokrasi di Tingkat Lokal

Inti terdalam dari demokrasi adalah kepercayaan mendasar dari

segenap warga masyarakat kepada pihak lain (dalam hal ini pemerintah)

untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan

mendasar – yang populer disebut “social capital” ini hanya bisa

ditumbuhkan dari bawah, yakni dari tingkat lokal. Sebuah kultur

demokrasi lokal yang bersemangat, masyarakat madani yang semarak,

dan pemerintah lokal yang inklusif merupakan modal dasar bagi

terwujudnya demokrasi yang lestari.

Ada beberapa konsep kunci yang menentukan pemahaman kita

perihal pemerintahan lokal, antara lain: warga dan masyarakat,

pemerintahan otonom, musyawarah, dan kegiatan masyarakat.12

11

Endang Soetari, Kebijakan Publik (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), 15

12

Timothy D. Sisk, Demokrasi di Tingkat Local: Buku Panduan International IDEA

Mengenai Keterlibatan, Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, terj.

(53)

Hal terpenting yang memaknai terselenggaranya pemerintahan

lokal yang demokratis adalah konsep pemerintahan yang otonom

(self-government) serta pemerintahan yang paling menyentuh

masyarakat.Gagasan terpentingnya adalah penduduk suatu wilayah

harus mendapatkan hak dan tanggung jawab untuk membuat keputusan

menyangkut isu-isu yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka

dan yang untuk itu mereka mampu mengambil

keputusan.Urusan-urusan seperti pertahanan nasional, politik luar negeri, dan keamanan

secara langsung memang berpengaruh terhadap kehidupan

mereka.Namun,soal-soal seperti itu jelas terlalu berat untuk ditangani

pemerintah setingkat kotapraja, sehingga mau tidak mau hal itu menjadi

beban tanggung jawab pemerintah pusat. Ada dua cara untuk

memahami demokrasi lokal, yakni: di dalam lembaga-lembaga

pemerintahan lokal seperti walikota, dewan kota atau DPRD,

Komite-komite, dan pelayanan administratif; di dalam pengorganisasian dan

aktivitas masyarakat (civil society).

Idealnya, para pejabat lokal dan gerakan-gerakan masyarakat

madani bekerja sama dalam hubungan yang saling memperkuat dan

mendukung untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, serta

mencari solusi yang inovatif. Pemerintah hanya satu bagian saja dari

gambaran utuhnya, meski berkedudukan penting.Gagasan mengenai

kegiatan masyarakat-berupa organisasi kemasyarakatan, pelbagai

(54)

asosiasi, kegiatan usaha, panitia-panitia di kampung, dan semacamnya -

juga menempati kedudukan penting di dalam konsep pemerintahan

lokal.

Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerinthan yang

demokratis di bawah rule of low ialah:

a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain

menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara

prosedural untuk memperoleh perlindungan ats hak-hak yang

dijamin.

b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak

c. Pemilihan umum yang bebas

d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat

e. Kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi

f. Pendidikan kewarganegaraan.13

a) Konsep-Konsep Demokrasi Lokal

1. Kewarganegaraan dan masyarakat.

Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi

utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan,

sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala

proses pengambilan keputusannya memungkinkan

13

Miriam budiardjo, dasar-dasar ilmu politik (jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2008),

(55)

terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang di

dalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah.

2. Musyawarah.

Demokrasi bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya

terkandung unsur-unsur penting seperti dialog, debat, dan

diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi

bagi segala masalah yang timbul di dalam masyarakat.

Perundingan atau musyawarah juga bukan sekadar mendengar

dan menampung keluhan warga. Demokrasi berdasar

musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling

memberi dan menerima antarkelompok-kelompok kepentingan

dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan

tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggung

bersama-sama.14

3. Pendidikan Politik.

Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses

“pendidikan politik.” Maksudnya, peran serta warga

masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh

informasi mengenai semua urusan dan masalah di masyarakat,

yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para

14

(56)

profesional pemerintahan di kantor walikota. Penduduk yang

terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi –

yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyat – semakin

mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti

mengurangi jurang pemisah antara para elite politik dan

anggota masyarakat.

4. Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial.

John Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi

partisipatoris di tingkat lokal berpendapat bahwa membuka

keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan

mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta

mendukung tercapainya kesejahteraan sosial. Artinya,

demokrasi cenderung meningkatkan hubungan yang baik

antarwarga, membangun masyarakat yang mandiri dan

memiliki semangat sosial.

b) Karakteristik Utama Sistem Pemerintahan Lokal yang

Baik

Diperlukan tiga unsur untuk mewujudkan pemerintahan

lokal yang baik: sebuah sistem pemerintahan lokal harus

memiliki kapasitas untuk memberikan keterbukaan,

(57)

terpadu. Ketiga unsur itu bukanlah nilai yang paling relevan,

namun pantas mendapat prioritas tertinggi; ketiganya

merupakan faktor penentu agar pemerintah lokal memperoleh

legitimasinya.15

Keterbukaan Di dalam sistem kemasyarakatan yang

demokratis, partisipasi seluruh warga bukanlah prasyarat

utama; yang lebih penting ialah adanya keterbukaan pada

semua pihak.Banyak orang lebih suka menghabiskan waktu

mereka untuk hal-hal yang tidak bersifat politis.Tidak sedikit

dari mereka mengalami hambatan sosial dan ekonomi yang

membuat mereka tidak punya cukup waktu untuk melakukan

aktivitas politik. Dalam kondisi seperti ini, kemudahan untuk

berpartisipasi di arena lokal akan memberi nilai istimewa bagi

demokrasi lokal.

Nilai terpenting bagi sebuah pemerintahan lokal adalah

sistemnya yang terbuka, tidak banyak rintangan bagi mereka

yang ingin mengekspresikan ketidaksetujuan, dan bisa

mememperkecil kendala bagi pihak-pihak yang kurang

terorganisasi dan minim sumber daya.Masyarakat mutlak

memiliki hak untuk berperan serta.Demokrasi menuntut

adanya sistem yang dapat menjadikan hak itu sebagai sebuah

15

(58)

opsi praktis. Masyarakat boleh saja, dengan alasan yang

rasional, memilih untuk tidak berpartisipasi sama sekali, berkat

adanya keyakinan bahwa kepentingan mereka terlindungi dan

tidak terancam.

Nilai dari keterbukaan tidak menuntut atau

mengasumsikan partisipasi langsung yang terus-menerus dan

dalam skala besar.Keterbukaan tergantung tersedianya

praktik-praktik demokratis serta adanya opsi untuk berpartisipasi

sejauh diperlukan. Opsi-opsi itu harus tersedia tanpa banyak

membebani waktu warga masyarakat, dan harus dijalankan

dengan cara yang semaksimal mungkin menjamin

keterwakilan dari mereka yang terlibat atau berkepentingan.

Sekarang sudah banyak cara yang memungkinkan masyarakat

berperan serta dalam politik lokal tanpa terikat oleh batas-batas

tradisi dan prinsip demokrasi representatif yang formal.16

Partai dan lembaga politik formal memang memiliki

peranan, namun semua itu tidak dapat diandalkan atau diberi

hak eksklusif sebagai motor penggerak massa dan pelaksana

peran serta mereka. Eksistensi kelompok-kelompok

masyarakat, organisasi masyarakat madani, forum konsumen,

atau kesempatan untuk berpartisipasi langsung melalui

16

Referensi

Dokumen terkait

Alasan peneliti menggunakan pendekatan formal adalah karena menyesuaikan dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui sejauh mana

dengan Fokus Utama Ny.S.dengan STROKE di Desa Lemberang RT 06 RW 02 Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas, penulis ingin mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam

Peneliti mengkaji sejauh mana pengelolaan Dana Desa di Nagari Bukit Bual telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu Peraturan Pemerintah

Bagi desa mrandung itu sendiri pengalihan pengelolaan PBB P2 ke daerah ini juga adalah sebuah hal baru dalam system pemungutan pajak dari masyarakat, dimana urusan tentang

Pihak MEES mengajak masyarakat Desa Tenggun Dajjah untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan pembukaan perpustakaan. Sebelumya, pihak MEES melakukan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peranan BUM Desa berimplikasi terhadap pembangunan yang ada di Desa Bulusulur dan Desa Sumberejo Kabupaten

Alasan peneliti menggunakan pendekatan formal adalah karena menyesuaikan dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui sejauh

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, di dalam tradisi Sedhekah Laut di mana peneliti memfokuskan pada (1) proses tradisi Sedhekah Laut di Desa Karang Duwur, adapun yang