• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan tradisi lokal: studi upacara rokat tase' bagi masyarakat nelayan di Desa Klampis Barat Kabupaten Bangkalan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Islam dan tradisi lokal: studi upacara rokat tase' bagi masyarakat nelayan di Desa Klampis Barat Kabupaten Bangkalan."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DAN TRADISI LOKAL

(Studi Upacara

Rokat Tase

Bagi Masyarakat Nelayan di Desa

Klampis Barat Kabupaten Bangkalan)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

KHOIRUL ANAM NIM: E82212048

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

ISLAM DAN TRADISI LOKAL

(Studi Upacara

Rokat Tase’

Bagi Masyarakat Nelayan di Desa

Klampis Barat Kabupaten Bangkalan)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Studi Agama-Agama

Oleh:

KHOIRUL ANAM NIM: E82212048

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian saya di lapangan tentang “Islam dan Tradisi Lokal (Studi Upcara Rokat Tase’ Bagi Masyarakat Nelayan di Desa Klampis Barat Kabupaten Bangkalan)”. Penelitian ini menjelaskan tentang budaya rokat yang sudah turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat nelayan, terlebih lagi tradisi ini keharusan dijalankan setiap dua tahun sekali. Oleh sebab itu, budaya rokat tase’ adalah budaya yang tujuannya hanya untuk mendapatkan keselamatan baik itu untuk nelayan ataupun masyarakat yang lain.

Budaya rokat tase’ sangat penting ditinjau dari segi ekonomi, merupakan salah satu penghidupan masyarakat nelayan di Desa Klampis Barat dengan mencari ikan dilaut, ada sebagian masyarakat yang lain terjun ke dunia pemerintahan seperti; guru, pegawai kantor, dan pemerintahan daerah.

Di lokasi peneliti budaya disana yang berbeda antara lain ialah, pertama, masyarakat nelayan percaya pada tumbal kepala sapi, dari inilah peneliti memperdalam tentang percaya hal-hal mistik. Kedua, keharusan mengelilingi satu kampung dan membawa tumpeng, dan sesajen sebelum proses pelaksanaan dimulai. Dalam proses pelaksanaan tradisi rokat tase’ tumpeng adalah sebagai sarana untuk menghiasi kapal-kapal.

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini berdasarkan pada alasan, bahwa penelitian ini lebih diarahkan untuk mendiskripsikan data-data yang terdapat dilapangan sehingga dalam pengolahan data menggunakan analisis.

(8)

DAFTAR ISI

COVER DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat ... 5

E. Karangka Teoritik ... 6

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II: ISLAM DAN TRADISI LOKAL ... 18

A. Tradisi Islam ... 18

B. Tradisi Lokal ... 24

(9)

BAB III: TRADISI ROKAT TASE’ DI DESA KLAMPIS BARAT

KABUPATEN BANGKALAN ... 38

A. Profil Desa Klampis Barat ... 38

B. Tradisi Rokat Tase’ ... 41

C. Upacara Rokat Tase’ Bagi Masyarakat Nelayan ... 43

BAB IV: ANALISIS TRADISI ROKAT TASE’ DI DESA KLAMPIS BARAT KABUPATEN BANGKALAN ... 48

A. Sejarah Asal-Usul Tradisi Rokat Tase’ ... 48

B. Pelaksanaan Tradisi Rokat Tase’ ... 53

C. Pandangan Masyarakat Tentang Tradisi Rokat Tase’ ... 57

BAB V: PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 59

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Agama dan budaya merupakan konsepsi tentang realitas, yang berhadapan dengan realitas bahkan berurusan dengan perubahan sosial. Oleh karena itu, masyarakat memerlukan agama untuk menopang persatuan dan solidaritasnya. Demikian pula agama dipandang sebagai sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai titik referensi bagi seluruh realitas. Dari sudut pandang ini, maka agama merupakan cultural universal, artinya agama terdapat di setiap daerah kebudayaan di mana saja masyarakat dan kebudayaan itu bereksistensi.1

Secara geografis pulau Madura terletak di bagian timurlaut Pulau Jawa, kurang lebih 7° sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112° dan 114° bujur timur. Pulau itu dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Perak merupakan tempat pelabuhan yang mana pada paroh kadua abad ke-5, penyebaran agama islam dimulai di Jawa dan Madura.2

Kekayaan kesenian dan budaya yang ada di Madura tersebut dibangun dari berbagai unsur budaya, baik pengaruh dari paham Animisme, Hinduisme, dan Islam. Hal itu tidak terlepas dari peran para mubalig di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dakwah. Hal tersebut disebabkan budaya menonton pada masyarakat awam sangat kuat. Oleh sebab itu berbagai produk

1

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman, Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), 33-35.

2

(11)

2

kesenian sering dijadikan alat propaganda, media penyampai berbagai kebijakan atau media dakwah.3

Dalam masyarakat Madura sebenarnya banyak kearifan lokal yang mendorong orang untuk hidup secara seimbang. Keseimbangan hidup itu diwujudkan dengan menjaga hubungan kepala Allah maupun dengan sesama. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Madura sebenarnya menekankan hidup harmoni. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Rampa’ naong beringin korong. Anjuran untuk saling tolong menolongdan pentingya solidaritas sosial juga sangat ditekankan seperti ungkapan gu’ tenggu sabbu’ atau song-osong lombung, yang maknanya senafas dengan tanggung rentang atau gotong royong.4

Masyarakat Madura selain sebagai petani juga sebagai pedagang dan nelayan. Peneliti mengkaji budaya di Madura bermacam-macam budaya, fokus penelitian ini tentang rokat tase’. Secara etimologi, rokat berarti bersalamatan untuk menunaikan nazar, tase’ berarti laut. Sedangkan kata pangkalan berarti tempat berlabuh kapal, perahu, atau pelabuhan. Rokat tase’ atau pangkalan merupakan suatu upacara kurban yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat nelayan berbagai tempat di Madura khususnya di Pasean. Tradisi budaya rokat pangkalan dipilih sebagai objek penulisan didasarkan pada asumsi bahwa tradisi

3

Rosida Irmawati, Berkenalan Dengan Kesenian Tradisional Madura, (Surabaya: SIC, 2004), 7-11.

4

(12)

3

tersebut memiliki ciri khas yakni dengan dipakainya simbol-simbol islam seperti terdapat pada nama nabi dan nama-nama malaikat.5

Rokat tase’ atau ruwatan laut merupakan upacara yang diselenggarakan oleh anggota masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Upacara ini dilaksanakan sebagai upaya yang diserukan oleh para nelayan agar mereka dalam dijauhkan dari mana bahaya selama melaut. Perahu merupakan sarana atau mitra bagi para nelayan untuk menghidupi diri beserta keluarga mereka. Perahu juga dinggap memiliki kekuatan atau jiwa. Upacaya untuk keperluan ini di beberapa wilayah disimbolkan dengan memandikan anak gadis yang masih suci (belum mengalami datang bulan) yang berselimut selembar kain putih.6

Sejarah awal rokat tase’ ini dinamai rokat jaghangan karena rokat nya berlangsung di tepi pantai dimana para nelayan menyandarkan perahunya, sebelum berlayar menuju laut. Disetiap desa dimana ada jaghangan biasanya mereka para nelayan juga melakukan rokat tase’. Maksud penginapan wadah sesaji tersebut untuk mermberi kesempatan pada masyarakat yang lain barangkali mau menitipkan sesajinya melalui wadah tersebut. Hal itu dilakukan dengan suka rela dalam bentuk apa saja, tapi pada umumnya dalam bentuk uang. Dan selain itu pada saat menjelang rokat tase’, para warga sekitar memperingatinya dengan memasak makanan hidangan.7

5

Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, (Jember: Tapal kuda, 2003), 177-178.

6

A.M. Hermien Kusmayati, Arak-Arakan: Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), 17-20.

7Syaf Anton, upacara rokat tase’ tanjung saronggi, dalam

(13)

4

Dalam penelitian ini peneliti tertarik dengan tradisi rokat tase’ khususnya di daerah Desa Klampis Barat Kabupaten Bangkalan karena peneliti sangat tertarik akan budayanya, keseniannya, upacaranya, ketertarikan peneliti disebabkan ada dua faktor; pertama, warga Desa Klampis Barat tidak sama dengan tempat perayaan di daerah lain dalam hal perayaan contohnya; kepercayaan tentang hal-hal mistik seperti tumbal kepala sapi yang digantung sebagai bentuk kesalamatan dan kelancaran tradisi tersebut. Kepercayaan seperti ini baru dihilangkan pada tahun 1950 hingga sekarang dan diganti dengan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa padahal sejarah tentang Islam datang ke Madura sudah lebih lama berkembang. kedua, warga disana sebelum dimulai harus mengikuti kegiatan yakni mengelilingi satu kampung bersama-sama dan membawa tumpeng, dan sesajen dalam iringan-iringan tersebut. Di daerah lain dua faktor diatas jarang ditemui ditempat lain, yang sama dari segi perayaan tentang tradisi rokat tase’ dari proses awal hingga akhir.

Penelitian ini diharapkan kepada masyarakat untuk menjaga tradisi rokat

tase’ ini agar tidak hilang oleh karena itu peneliti mengharapkan tradisi tersebut

tetap ada walaupun zaman telah berganti, tradisi di Desa Klampis Barat Barat berbeda dikarenakan Islam masuk di dalamnya tetapi warga disana masih menyakini tentang hal-hal mistik seperti tumbal, bentuk persembahan seperti,

(14)

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas maka permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana asal-usul tradisi rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan?

2. Bagaimana pelaksanaan tradisi rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan?

3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap tradisi rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan asal-usul tradisi rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan tradisi rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan masyarakat tentang tradisi

rokat tase’ di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan. D. Kegunaan Penelitian

(15)

6

1. Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai karya sebagai bahan bacaan, perbandingan dan sebagai bentuk refrensi serta menambah khazanah ilmu pengetahuan. Khusunya dalam bidang agama dan budaya sekaligus melengkapi wacana kajian antropologi budaya di studi agama-agama. Terkait dengan penelitian pembahasan ini masuk pada perkuliahan Islam dan Budaya Lokal

2. Praktis

Secara Praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Desa Klampis Barat Barat Kabupaten Bangkalan dalam melaksanakan ritual Rokat Tase’ sebagai bentuk keragaman tradisi yang harus dilestarikan serta menjadi identitas dan menjadi kebanggaan budaya lokal.

E. Karangka Teoritik

(16)

7

Clifford Geertz juga mendifinisikan tentang agama bukan sekedar sebuah ideologi hasil rekayasa dunia sosial belaka, akan tetapi simbol-simbol keramat tertentu yang memuat makna dari hakekat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup di dalam masyarakatnya. Akan tetapi seseorang seringkali juga hanya akan melihat apa yang selama itu telah dia percayai.8 Dalam politik kebudayaan clifford meng-artikan gagasan-gagasan dan kepercayaan-kepercayaan, dapat dihubungkan dengan kenyataan dengan cara ganda: entah dengan fakta-fakta kenyataan, atau dengan perjuangan-perjuangan yang untuknya kenyataan ini, terlebih reaksi terhadap kenyataan ini timbul.9

Pandangan bahwa pikiran merupakan proses-proses misterius yang ditempatkan dalam apa yang disebut Gilbertryle sebuah rahasia dalam kepala melainkan sebuah lalu-lintas dalam simbol-simbol bermakna, yaitu objek-objek dalam pengalaman ritus-ritus dan alat-alat; berhala-berhala dan sumur-sumur; isyarat-isyarat, tanda-tanda, gambaran-gambaran, dan suara-suara yang dengannya manusia telah memasukkan makna, membuat studi kebudayaan menjadi sebuah ilmu positif. Sifat ke-upacara-upacara-an dari sedemikian banyak kehidupan sehari-hari orang Bali, sejauh mana intensitas hubungan-hubungan antarpribadi dikontrol oleh sebuah sistem konvensi-konvensi dan kesusilaan-kesusilaan yang maju.10

Kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus atau dunia alam gaib, dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang ditransformasikan secara simbolik

8

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 46-49. 9

Clifford Geertz, Politik kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 7-9. 10

(17)

8

namun, sekalipun ada kekaburan kontradiksi serta diskontinuitas dalam kepercayaan abangan mengenai mahkluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna yang lebih luas dan umum daripada sekedar penjelasan terpisah yang biasa orang dapatkan mengenai luka yang tak tersembuhkan. Slametan cendrung berlangsung pada momen-momen yang demikian dalam kehidupan orang jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai itu mencapai puncaknya serta ketika ada ancaman yang besar dari mahkuk-mahkluk halus dan kekacauan tak manusiawi yang mewakilinya.11

F. Tinjauan Pustaka

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka, peneliti menjumpai hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang mempunyai sedikit relavansi dengan penelitian yang sedang peneliti lakukan, yaitu sebagai berikut:

Pertama, “Studi Tentang Budaya Rokat Tase’ di Desa Gebang Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan Jawa Timur” Karya Riadus Solihah pada

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.12 Dalam penelitian ini membahas tentang makna budaya serta kaitannya dengan agama.

Ritual atau tradisi bisa disebut juga dengan budaya karena pada dasarnya semua itu adalah produk dari manusia. Apabila kita berbicara tentang kebudayaan maka kita akan langsung berhadapan dengan makna dan arti tentang budaya itu sendiri. Rokat tase’ yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir Desa Gebeng

11

Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Kebudayaan Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), 27-28.

12

Riadus Solihah, Studi Tentang Budaya Rokat Tase’ di Desa Gebang Kecamatan Bangkalan

(18)

9

Bangkalan adalah salah satu bentuk budaya dan praktik kepercayaan yang telah menjadi semacam way of life, sehingga terus menerus dilaksanakan secara turun temurun oleh generasi penerus. Tradisi ini dilakukan dalam rangka menyelamati laut agar laut di sekitar Desa Gebeng tetap menghasilkan ikan di laut yang melimpah dan tujuanny agar tidak terjadi bencana di Desa Gebeng tersebut, biasanya rokat tase’ diadakan setiap tahun tanggal 11 bulan Suro.

Menurut cerita sang guru kunci, dan ini sudah menjadi kepercayaan masyarakat, jika laut tidak diadakan slametan atau Rokat maka laut menganga dan lubang di sungai akan tertutup. Maksud dari pernyataaan tersebut adalah lubang laut menganga untuk meminta tumbal, dan akan sering terjadi kecelakaan dan kapal yang tenggelam. Lubang sungai akan tertutup maksudnya adalah lubang ikan, maka ikan akan sedikit sehingga membuat nelayan tidak akan mendapakan tanggapan ikan.

Tujuan rokat tase’ tidak hanya untuk menyelamati laut dan para nelayan, namun juga dianggap sebagai menyelamati keslametan seluruh warga Desa Gebeng, agar ikan di laut tidak habis, serta untuk mempererat tali persaudaraan diantara sesama masyarakat. Maka dari itu warga Gebeng selalu mengadakan acara slametan laut yang disebut sebagai rokat tase’ setiap tahunnya. Rokat adalah upacara slametan yang sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat pulau Madura.

(19)

10

dimulai, masyarakat menyiapkan sesaji yang akan diletakkan diatas perahu. Sesajian tersebut meliputi cendol, beras kuning, tajin slamet, nasi gendhi, daging tusuk pisang, dan daun kemuning. Kedua, acara inti. Tradisi rokat tase’ melambangkan suatu tindakan pertemuan antara para nelayan dan masyarakat setempat dalam memanjatkan doa, dengan bentuk mengadakan pengajian dan membaca shalawat Nabi.

Kedua, “Islam Lokal: Studi Tentang Upacara Rokat Pekarangan di Desa

Bragung Kabupaten Sumenep Madura” Karya Moh. Adhim pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya.13 Dalam penelitian ini membahas tentang sejarah ritual/tradisi dan kaitannya dengan Islam.

Di Desa Bragung masih dirasakan kental akan upacara-upacara keagamaan walaupun masyarakatnya sudah banyak yang berpendidikan. Bentuk keberagamaan Desa Bragung tampak pada kehidupan kemasyarakat yang religius, yang dikenal juga patuh akan ajaran-ajaran Islam. Bahkan Islam dijadikan bagian dari ethnic identity, sehingga keberagamaan masyarakat Desa Bragung memiliki ciri khas kedaerahan yang sangat kental. Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu budaya akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakat bisa harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Tentu saja

13

(20)

11

sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.

Di Desa Bragung kata sedekah d sama artikan dengan rokat dimana inti dari rokat tersebut adalah mengharapkan orang lain untuk berdoa (kepada Allah dan roh-roh leluhur) untuk keslametan individu yang bersangkutan, sebagai imbalannya individu (tuan rumah) tersebut menyediakan makanan baik dan untk dimakan bersama di tempat upacara, lalu dibawa pulang, atau kedua-duanya. Tradisi rokat pekarangan ini tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bragung saja, di daerah-daerah lainnya juga ada dan masih tetap aksis sampai sekarang. Tapi, tradisi tersebut muncul dengan nama, model-model, dan modifikasi yang berbeda.

(21)

12

Upacara merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diadakan secara tepat menurut waktu dan tempat, peristiwa atau keperluan tertentu. Upacara rokat pekarangan dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bragung, dari anak-anak sampai orang tua. Dalam tujuan tradisi rokat pekarangan untuk mensyukuri agar diberikan keberkahan atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan dan memohon kepada-Nya supaya nikmat lebih baik dilimpahkan di tahun depan. Disini dapat di pahami bahwa pelaksanaan upacara rokat pekarangan diwujudkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, karena tradisi ini sudah mendarah daging dengan kehidupan masyarakat setempat.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan peneliti yakni penelitian sebelumnya membahas tentang pertama, ritual atau tradisinya tentu saja menjadi kepercayaan masyarakat bahwa jika laut tidak diadakan slametan maka lubang di sungai tertutup kedua, upacara disana merupakan suatu adat atau kebiasaan yang selalu diadakan secara tepat menurut waktu, tempat peristiwa, dan keperluan tertentu. Peneliti berbeda ada dua faktor pertama, percaya pada hal-hal mistik seperti tumbal kepala sapi yang digantung kedua, keharusan untuk mengikuti proses yakni mengikuti satu kampung disertai dengan drumband dan membawa

sesajen, dan tumpeng dari inilah penelitian ini berbeda dengan sebelumnya. G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(22)

13

penelitian dalam lingkungan hidup kesehariannya. Untuk itu, para peneliti kualitatif sebagai mungkin berinteraksi secara dekat dengan informan, mengenal secara dekat dunia kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya atau wajar.14

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan antropologi yang mana digunakan untuk mengkaji masyarakat modern, sementara antropologi mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan, yang menunjuk pada apa yang di anggap suci dan supernatural.15

2. Sumber Data

Adapun secara luas sumber data merupakan salah satu pertimbangan ketersediaan sumber data. Betapapun menariknya sebuah masalah penelitian apabila sumber datanya tidak tersedia dan sulit dijangkau, niscaya masalah tersebut tidak dapat diteliti. Sebagaimana dikemukakan di muka, penelitian kuantitatif lebih bersifat explanation (menerangkan, menjelaskan), karena itu bersifat to learn about the people (masyarakat sebagai objek), sedangkan penelitian kualitatif lebih bersifat understanding (memahami) terhadap fenomena

14

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: Erlangga, Edisi Kedua 2009), 23-24.

15

(23)

14

atau gejala-gejala sosial, karena itu bersifat to learn about the people (masyarakat sebagai subjek).16

Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber berikut: a. Sumber Primer

Sumber primer adalah data dari para pelaku yang mengikuti kegiatan ritual

rokat tase’, contohnya; sesepuh desa, dan pera nelayan. Dengan ini penelitian

mencari data dari informan yang ikut melakukan kegiatan ritual rokat tase’ dari awal hingga akhir kegiatan.17

b. Sumber Sekunder

Data sekunder adalah data penelitian diperoleh dari informasi masyarakat Desa Klampis Barat yang tidak langsung terlibat secara langsung dengan ritual

rokat tase’ yakni dengan mengevaluasi jalannya kegiatan ritual menurut informan

yang mendapatkan kesan apakah kegiatan berjalan dengan baik, sesuai tujuan yang diharapkan, dan tetap berapa pada jalur metodologis yang benar atau tidak.18

3. Metode Pengumpulan Data

Metode ilmiah pada hakikatnya ialah penggabungan antara berpikir secara deduktif dengan induksi. Selanjutnya data-data itu dianalisis dan disimpulkan

16

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial- Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 162-163.

17

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 21.

18

(24)

15

secara induktif. Dan akhirnya dapatlah kita memutuskan bahwa hipotesis ditolak atau diterima.19

Dalam mengumpulkan data ini di tempuh melalui sebagai berikut: a. Wawancara

Suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responder. Wawancara bermakna berhadapan langsung antara interviewers dengan reponden, dan menanyakan perihal kegiatannya yang dilakukan dengan secara lisan.20

Beberapa informasi yang peneliti wawancara adalah, sebagai berikut:

Pertama, Husnis Zaim, Kepala Desa Klampis Barat yang memiliki otoritas penuh terkait dengan pelaksanaan kegiatan rokat tase’ baik dari tanggal, bulan, keuangan, dan segala kebutuhan yang diperlukan.

Kedua, Samsul, Masyarakat Nelayan Desa Klampis Barat yang ikut serta dalam kegiatan, dan meng ordinir kapan dijalankan pelaksaaan.

Ketiga, H. Salimah, Masyarakat Desa Klampis Barat yang tidak ikut kegiatan ritual secara langsung, tetapi sengat berpengaruh karena beliau ikut mengsukseskan acara.

Keempat, H. Rasid, Sesepuh dan Ketua Pelaksana Desa Klampis Barat yang sekaligus memegang kunci, kunci seperti musim, tahun, dan keuangan, yang menginformasikan kepada masyarakat kapan dilaksanakan tirual rokat tase’.

19

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 54.

20

(25)

16

b. Observasi

Observasi adalah memperhatikan serta mengikuti dalam bentuk mengamati dengan teliti dan sistematis dalam arti mendefinisikan suatu proses yang dilihat, diamati, dan mencermati serta merekam suatu kegiatan ritual rokat

tase’, guna memberikan kesimpulan dan kejelasan secara detail terhadap acara

ritual rokat tase’ dari awal hingga akhir.21

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah sebagai alat pengumpul data dengan menganalisa berupa dokumen untuk mendapatkan gambaran dan sudut pandang peneliti melalui suatu media tertulis maupun rekaman yang dibuat secara langsung dari kegiatan yang diteliti.22

d. Analisis Data

Analisis Data adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan secara langsung melalui hasil dari wawancara dan observasi yakni dengan melakukan analisis dari jawaban responden dan melanjutkan pertanyaan lagi sampai memperoleh data yang lengkap.23

H. Sistematika Pembahasan

Tulisan ini dibuat untuk membahas Islam dan Budaya Lokal. Dalam rangka untuk menyelesaikan pembahasan tersebut, maka adanya sistematika yang membantu agar mengarah, rumput dan merupakan pemilkiran terpadu. Dan lebih

21

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 131.

22

Ibid,. 143. 23

(26)

17

mudah jalannya skripsi dan agar sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka sistematika penulisan ini saya bagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari beberapa sub judul, yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, karangka teoritik, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistema pembahasan.

Bab kedua berisi tentang islam dan tradisi lokal, yang menjalaskan tradisi islam, tradisi lokal, dan islam dan tradisi lokal perspektif clifford geertz.

Bab ketiga menjelaskan tentang profil, tradisi rokat tase’, dan upacara

rokat tase’ bagi masyarakat nelayan.

Bab keempat menjelaskan hasil analisis terhadap tradisi rokat tase’, yang terbagi sub judul, yaitu: sejarah asal-usul tradisi rokat tase’, pelaksanaan tradisi

rokat tase’, dan pandangan masyarakat tentang tradisi rokat tase’.

(27)

BAB II

ISLAM DAN TRADISI LOKAL A. Tradisi Islam

Tradisi Islam yang sering dilaksanakan atau dijalankan oleh masyarakat adalah contohnya; perayaan Idul Adha dan Idul Fitri, Maulid Nabi, dan Isra’

Mi’raj. Sebelum hari perayaam Idul Fitri tiba saat-saat itulah sebagai orang Islam

harus melaksanakan kewajiban yang utama yaitu puasa d bulan Ramadhan, contohnya; banyak dijumpai di masjid atau mushalla ketika selesai salam dari shalat Terawih dikumandangkan bacaan-bacaan shalawat dan do’a, membaca shalawat di antara bilangan rakaat shalat Terawih bukan saja menjadi kebiasaan bagi umat Islam di Nusantara, tetapi juga dilakukan oleh sebagian umat Islam dari Yaman dimana ada banyak ulama Yaman yang berdakwah ke Nusantara.1

Makna tradisi secara (Bahasa Latin: traditio, artinya diteruskan atau kebiasaan), dalam pengertian yang paling utama adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupam suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, dan agama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun sering kali melalui lisan, karena tanpa adanya ini maka tradisi dapat punah.

Dari segi ilmu antropologi agama tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya

1Muhammad Ma’ruf Khazim,

(28)

19

tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat.2 Dari segi budaya dan agama dalam konteks ini adalah agama dipandang sebagai realita dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun budaya.

Islam tradisi merupakan suatu model akulturasi yang tidak stagnan, dan terus berlangsung secara kompetibel dan kontekstual. Tibi mengusulkan perlunya upaya melihat Islam dalam kerangka models of reality (model-model dari realitas) dan models for realitiy (model-model untuk realitas. Di sisi lain, model untuk realitas bersifat abstrak, berupa teori, dogma dan doktrin yang bukan merupakan kongruensi struktual.3 Islam didalamnya mengandung arti sebuah makna, secara teoretis Islam adalah sebuah kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku individu. Menguraikan tradisi Islam yang tumbuh di kelompok masyarakat tertentu adalah menelusuri karakteristik Islam yang terbentuk dalam tradisi populer. Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaa, praktek, dan lain-lain yang diwariskan turun-temurun termasuk cara penyampaian sebuah pengetahuan, doktrin, dan praktek tersebut.4

Tradisi adalah sistem nilai yang muncul dalam praktik kehidupan suatu masyarakat sebagai kebiasaan turun-temurun dari generasi ke generasi

2

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman, Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), 33.

3

Arifuddin Ismail, Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 23.

4

(29)

20

berikutnya.5 Secara spesifik bila mengkaji agama dalam sebuah penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis adalah disebabkan agama adalah sebuah sistem yang hidup di dalam masyarakat. Tak satu pun tradisi yang dapat mengajukan dengan pas persoalan sentral mengenai hubungan antara pria dan wanita dalam kehidupan religius serta sosial.6

Awal mulanya Islam datang sebagai suatu agama progresif dan revolusioner, namun sejak zaman keterpakuan tekstual (taqlid) ia berpaling menjadi alat untuk membatasi akal dan membekukan masyarakat.7 Islam ditinjau dari segi bahasa adalah derivasi dari kata“Salama,” dalam bahasa Arab yang

berarti “mengakui sesuatu” atau bisa pula berarti “berdamai.” Maka yang lebih

mendasar berarti “mengikat” dalam artian membuat ikatan yang kekal antara dua

esensi. Kata kerja membentuk Islam adalah aslama yang berarti menyerahkan atau memasrahkan kehendak dan kehidupan seseorang kepada kehendak Allah.

Orang yang melaksanakan disebut “Muslim.”8

Di dalam firman Allah mengenai Islam ada di Al-Qur’an yang berbunyi:

ْعب ْن اَإ تكْلا ا ت نيذالا ف تْخا ۗ َْس ْْا اَ ْنع نيِ لا انإ

سحْلا عيرس اَ انإف اَ ت ي ب ْرفْكي ْن ۗ ْ نْيب ًيْغب ْ عْلا هء ج

5

M. Taufik Mandailing, Islam Kampar: Harmoni Islam dan Tradisi Lokal, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012), 28-30.

6

Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi: di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka, 1994), 40.

7Mun’im Sirry,

Tradisi Intelektual Islam: Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, (Malang: Madani, 2015), 138-174.

8

(30)

21

19. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.9

Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah Islam. Pernyataan ini merupakan berita dari Allah bahwa tidak ada agama yang diterima disisi-Nya dari seorangpun keculi agama Islam. Allah menurunkan agama Islam sebagai petunjuk bagi manusia, dengan cara penyampaikan sarana Malaikat Jibril yang telah diberi ijin atas kehendak-Nya serta di sampaikan kembali kepada manusia terpilih adalah Nabi Muhammad.

نيرس ْلا ن رخ ْْا يف ه هْن ل ْقي ْن ف ًني َْس ْْا رْيغ غتْ ي ْن

85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.10

Dari penjelasan di tersebut bisa disimpulkan bahwa, barang siapa yang menempuh suatu jalan selain jalan yang telah disyariatkan oleh Allah, maka jalan itu tidak akan diterima darinya.

Islam juga mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Orang yang rohnya bersih lagi suci dan tidak berbuat jahat di

9

Al-Qur’an, 52, 3. 10

(31)

22

hidup dunia akan masuk surga, dekat dengan Tuhan. Orang yang kotor dan berbuat jahat di hidup pertama akan masuk neraka, jauh dari Tuhan. Jalan untuk membersihkan dan mensucikan roh ialah ibadat yang diajarkan Islam, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji. Tujuan dari ibadat selain dari membersihkan dan mensucikan diri, ialah juga untuk menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat.11

Agama Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap ummat manusia sepanjang masa dan setiap perseda. Satu sistema tentang aqidah dan tata-qa’dah yang mengatur segala perikehidupan dan penghidupan manusia dalam berbagai hubungan baik hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun hubungan manusia dengan sesama manusia ataupun hubungan manusia dengan alam lainnya (nabati, hewan dan lain-sebagainya) untuk bertujuan mengharap keridhaan Allah, serta rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia dan akhirat.12

Hukum Islam tidak hanya mengkaji manusia sebagai makhluk sosial, tetapi juga manusia sebagai makhluk beragama. Dari segi fikih studi hukum Islam meliputi aspek sosial (mu‟amalat) dan aspek („ibadat).13

Aspek sosial ini meletakkan studi hukum Islam pada rumpun ilmu sosial, sedang aspek ritual menjadikannya sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora, tepatnya ilmu-ilmu agama.

11

Harun Nasution, Islam: Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1978), 18-24.

12

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam dan Ummanya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 19.

13

(32)

23

Islam merupakan penyempurnaan dari dua agama tauhid yang terdahulu, yakni agama Yahudi dan Nasrani yang kedua agama tersebut diturunkan kepada berbagai suku bangsa yang di antaranya adalah Bani Israil. Agama Yahudi dan Nasrani diturunkan pada suku bangsa Israil, sedangkan Islam dirurunkan kepada bangsa Arab dan semua umat manusia.14 Sehingga, tidak mengherankan Islam juga sebut agama yang rahmatan li al-alamin (membawa rahmat bagi seluruh alam) yang melewati sekat-sekat suku bangsa, tradisi, bahasa, dan warna kulit, yang hal ini merupakan sumber kekuatan dan keistimewaan agama Islam.

Dalam Islam ibadah adalah merupakan keharusan yang wajib dilaksanakan. Kata Arab ibadah yang secara harfiah berarti menghambakan diri kepada Tuhan, mengacu kepada perintah menyembah Tuhan bila dipakai sebagai istilah keagamaan. Definisi ibadah dalam Islam menurut Bousquen sangat berorientasi pada fiqih. Ia bahkan mengingatkan kita agar tidak menerjemahkan ibadah sebagai pemujaan jika berniat mengikuti pemehaman teoretis yang dapat dipercaya.15

Ajaran yang terpenting dari Islam ialah ajaran tauhid, maka sebagai halnya dalam agama monoteisme atau agama tauhid lainnya. Yang menjadi dasar dari segala dasar di sini ialah pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa.16

14

M. Taufik Mandailing, Islam Kampar: Harmoni Islam dan Tradisi Lokal, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012), 83.

15

Muhaimin AG, Islam: dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), 116-117.

16

(33)

24

B. Tradisi Lokal

Tradisi lokal di Indonesia sangat bervariasi contohnya; ketika ziarah kubur menyiram kuburan dengan air mawar yang selalu di lakukan setiap orang karena adat seperti ini bagi mereka merupakan tradisi yang perlu, perlunya pastinya ada kemauan untuk tujuan baik mendoakan yang sudah meninggal dan kita juga mengingat mati. Adapun menyiram kuburan dengan air mawar hukumnya makruh karena menyia-nyiakan harta, yang tidak dihukum haram karena dilakukan dengan tujuan baik seperti memuliakan mayit, mendatangkan peziarah kubur disebabkan wanginya tempat.17

Di dalam budaya Mandar ada sebuah bentuk komunitas nelayan yang memiliki pandangan serta praktik-praktik ritual khas terkait pekerjaanya malaut. Dalam perjalananya, kebudayaan Mandar pun tidak luput dari persentuhan dengan nilai-nilai atau pandangan baru, khususnya Islam dan modernitas. Hasil persentuhan itu menjadi bukti yang tidak bisa dinafikan bahwa kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi, asimilasi, atau akulturasi dengan nilai-nilai atau bahkan dengan pandangan lain (asing).18 Dua arus kebudayaan yang bertemu lantas melahirkan dua model relasi dan situasi, yaitu dominasi dan integrasi. Pertemuan dua kebudayaan tersebut melahirkan akulturasi antara Islam dangan kebudayaan Mandar (tradisi lokal), yang kemudian membentuk suatu tatanan nilai tersendiri menjadi tradisi Islam lokal, seperti kebudayaan nelayan pembusuang.

17

Ifrosin, Fiqh Adat Tradisi Masyarakat Dalam Pandangan Fiqh, (Kediri: Mu’jizat Group, 2007), 70.

18

(34)

25

Dari segi keragaman tingkah laku manusia memang bukan disebabkan karena ciri-ciri ras, melainkan karena kelompok-kelompok tempat manusia itu bergaul dan berintegrasi. Pada zaman sekarang ini wujud tersebut adalah kelompok-kelompok yang besar terdiri dari banyak manusia, tersebar di muka bumi sebagai kesatuan-kesatuan manusia yang erat, dan disebut negara-negara nasional.19 Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat.

Budaya lokal dan Islam yang ada di Kampar tidak lepas dari pengaruh Kesultanan Melayu-Riau, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa Islam di Kampar juga disebabkan dan dipengaruhi oleh kerajaan Islam dari Kawasan barat seperti kerajaan Pasai di Aceh terus ke hilir hingga terpengaruh dan sampai di Kampar. Dalam posisi inilah ajaran Islam yang datang kemudian dengan berinteraksi dengan kepercayaan dan budaya yang ada, lalu pada akhirnya mengalami akulturasi secara perlahan-lahan dengan budaya lokal yang bercorak Budhha tersebut.20 Adat dan budaya yang lebih dulu ada sebelum munculnya Islam di Kampar sebagaimana pada umumnya masyarakat Melayu Riau, dijadikan masyarakat sebagai sebuah sumber nilai yang dihormati dan dijunjung tinggi.

Kebudayaan yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir, tingkah laku, nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Pada sisi lain, karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai

19

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 113-153. 20

(35)

26

budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber nilai kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Dari pengertian kebudayaan itu, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.21 Oleh karena itu, masyarakat memerlukan agama untuk menopang persatuan dan solidaritasnya.

Dalam konteks itulah, unsur solidaritas menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial keagamaan. Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan tentu memerlukan masyarakat sebagai tempat (locus) memelihara dan mengembangkan agama. Oleh karena itu, betapa pentingya bagi setiap agama dan terutama pera pemeluknya memiliki pengertian, kepekaan, kesadaran, dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat. Inilah yang diperlukan oleh umat beragama, khususnya para pemuka agama dalam kehidupan sosial keagamaan.

Upacara, dalam konteks kajian antropologi memiliki dua aspek yaitu ritual dan seremonial. Di dalam masyarakat pesisir, memiliki ciri khas dalam kegiatan upacara-upacaranya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh kebudayaan pesisir yang berbeda dengan masyarakat pedalaman. Di antara yang menonjol terutama dalam kaitannya dengan Islam ialah ciri masyarakat pesisir yang adaptif terhadap ajaran Islam dibanding dengan masyarakat pedalaman yang singkretik.22 Dalam hal ini, bagi masyarakat pesisir, Islam dijadikan sebagai karangka referensi tindakan sehingga seluruh tindakannya merupakan ekspresi ajaran Islam yang telah adaptif

21

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman, Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), 31-35.

22

(36)

27

dengan budaya lokal. Bagi masyarakat pedalaman, sinkretisasi tersebut tampak dalam kegiatan kehidupan yang memilah-milah, mana di antara ajaran Islam tersebut yang sesuai dengan budaya lokal dan kemudian dipadukannya sehingga menjadi sebuah rumusan budaya yang sinkretik.

Di antara upacara yang melaksanakan budaya lokal ialah upacara kehamilan antara lain adalah upacara waku kehamilan tujuh bulan yang disebut

tingkepan atau juga disebut mitoni. Upacara tingkepan ialah upacara utama sehingga seingkali disebut secara besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama. Yang penting di dalam upacara ini membaca Al-Qur’an Surat Maryam dan Surat Yusuf. Upacara tingkepan didominasi oleh jumlah angka dua dan tujuh. Kesederhanaan upacara ini dapat dilihat dari prosesinya yang sederhana. Seluruh bahan upacara biasanya ditempatkan di tengah-tengah dibagikan kepada peserta upacara secara merata, dan dimasukkan ke dalam tas kresek yang berisi berkat.

Secara leksial, ritual adalah bentuk atau metode tertentu dalam melakukan upacara keagamaan atau upacara penting, atau tata cara dan bentuk upacara. Makna dasar ini menyiratkan bahwa, di satu sisi, aktifitas ritual berbeda dari aktifitas biasa, terlepas dari ada atau tidaknya nuansa keagamaan atau kekhidmatannya. Kata adat berasal dari bahasa Arab ‘adat (bentuk jamak dari

‘adah) yang berarti kebiasaan dan dianggap bersinonim dengan ‘urf, sesuatu yang

(37)

28

Budaya lokal yang ada di Cirebon memiliki tradisi yang bermacam-macam dan berbeda-beda, seperti Perayaan Hari-Hari Besar Islam. Cara terbaik untuk mengetahui kumurnian nafas Islami adat dalam ritual adalah dengan mengamati perayaan hari besar atau bulan suci Islam. Setidaknya ada empat bulan Islam yang memiliki signifikansi ritual perayaan karena dinyatakan sebagai bulan suci. Bulan-bulan ini adalah; Dzulqa’idah (Kapit), Dzulhijjah (Raya Agung), Muharram (Sura), dan Rajab (Rejeb), yang berturut-turut merupakan bulan ke- 11, ke-12, ke-1, dan ke-7 dalam kalender Islam dan Jawa.23 Dengan demikian, delapan dari dua belas bulan tersebut mempunyai arti penting untuk diperingati. Melalui peringatan ataupun perayaan tersebut, keterkaitan dengan identitas sebagai Muslim diekspresikan. Maka penting bulan-bulan tersebut lebih dapat lebih ditelusuri dalam sejarah Islam daripada dalam kitab suci.

Tradisi lokal di Madura yang garis besarnya Seni Tradisional Madura, dapat diklasifikasi dalam empat kelompok. Dari masing-masing kelompok kesenian tersebut mempunyai tujuan maupun fungsi yang berbeda. Adapun bentuk kesenian tersebut adalah: pertama, Seni music/seni suara, yaitu Tembang Macopat, Music Saronen dan Music Ghul-Ghul. Kedua, Seni tari/gerak, kedua, yaitu Tari Duplang. Ketiga, Upacara Ritual, yaitu Sandhur Pantel. Keempat, Seni Pertunjukan, yaitu Kerapan Sapi, Sapi Sono‟, Pencak Silat Ghul-Ghul, Sintung

dan Topeng Dalang.

23

(38)

29

Berbagai bentuk seni tradisional yang berkembang di dataran Madura merupakan hasil perkawinan dari berbagai unsur budaya dan telah mengalami proses evolusi. Walaupun berasal dari unsur Animisme dan Hinduisme, dalam perkembangannya seni tradisional yang berkembang lebih kental dengan unsur religius Islami. Hal itu tidak terlepas dari kiprah para da’i ketika memperkenalkan

agama Islam pada masyarakat penganut paham ini.24 Yang paling unik dan langka dari semua bentuk seni tradisional adalah atraksi Sapi Sono‟. Atraksi sepasang sapi betina tersebut mampu menimbulkan decak kagum, karena hewan pemamah biak tersebut mampu dilatih mengedepankan perasaanya.

Dari semua bentuk seni tradisional Madura, seni pertunjukan Kerapan Sapi merupakan bentuk yang paling populer. Hal itu dapat dibuktikan dari hasil karya seni, dalam bentuk berbagai seni tradisional dapatlah diamati serta dicermati, sifat kasih sayang yang meluap serta hubungan yang sangat harmonis terhadap makhluk hidup lainnya. Sikap yang ditunjukkan tersebut merupakan cerminan dari nuansa budaya religius Islami, budaya santun berakhlakul karimah.

Tradisi Rokat Tase‟ atau Pangkalan adalah suatu upacaya dalam bentuk hewan kurban (a sacrificial rite) yang dilakukan setiap tahun oleh masyarakat nelayan di daerah Pasean Madura. Upacara ini ditujukan pada Se Kobasa Tase‟ (penguasa laut) yaitu Nabi Chidir. Di samping ditujukan pada Nabi Chidir, sebagian sesaji persembahan dalam upacara tersebut juga ditujukan pada malaikat empat. Dalam upacara rokat bume keempat malaikat itu disebutkan secara jelas,

24

(39)

30

yaitu malaikat yang menguasai bumi bagian Timur adalah Jibril, bagian Selatan adalah Mikail, bagian Barat adalah Isrofil, dan bagian Utara adalah Israil. Maksud pelaksanaan upacara tradisional rokat pangkalan adalah momohon berkah, rezeki, perlindungan, dan keslametan bekerja di laut bagi para nelayan di Pasean.25

Tradisi budaya rokat pangkalan dipilih sebagai objek penulisan didasarkan pada asumsi bahwa tradisi tersebut memiliki ciri khas yakni dengan dipakainya simbol-simbol Islam seperti terdapat pada nama nabi dan nama-nama malaikat. Pemakaian simbol-simbol tersebut diperkirakan merupakan langkah pengislaman adat-istiadat atau tradisi lama. Pada dasarnya pesta laut berkaitan dengan perwujudan sistem religi dan upacara keagamaan. Tujuan pesta laut untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan rezeki yang telah diberikan pada komunitas nelayan.

Tradisi budaya rokat pangkalan merupakan upaya religius untuk melayani tuntutan pola-pola kehidupan yang dipandang belum sempurna. Dalam upacara

rokat pangkalan ditemukan sesajen yang mengandung makna religius dan dipersembahkan pada kekuatan-kekuatan gaib. Kekuatan itu dipandang bisa memberi perlindungan pada para nelayan. Dalam budaya masyarakat Jawa cara tersebut dapat melindungi diri dari alam roh sehingga orang merasa selamet. Pemakaian simbol-simbol Islam dalam rokat pangkalan tidak lepas dari tradisi keagamaan masyarakat Madura yang sebagian besar muslim yang taat. Sekalipun

25

(40)

31

Islam hadir, ternyata tidak menggusur tradisi-tradisi asli yang berkembang di kalangan masyarakat.

Kegiatan pelaksanaan rokat pangkalan merupakan aktivitas kolektif komunitas nelayan. Dalam hal ini terdapat organisasi sosial yang berfungsi dan menunjuk pada tindakan saling bergantung dan berinteraksi antar anggota-anggota komunitas. Dengan kata lain, kelembagaan terbentuk karena keteraturan peran dan perilaku secara konstan dan konsisten. Peran-peran itu adalah mekanisme yang mengintegrasikan seseorang ke dalam kesatuan komunitas. Proses interaksi mencapai tujuan bersama sesuai dengan aturan tidak terlepas dari tradisi gotong royong dan tolong menolong.26 Kepercayaan ini dapat ditunjukkan dalam rokat

yang dilakukan mereka. Tujuannya adalah untuk menolak segala macam bala dan melindungi manusia dari gangguan makhluk halus yang jahat.

Rokat tase‟ atau ruwatan laut merupakan suatu upacara yang diselenggarakan oleh anggota masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Upacara ini dilaksanakan sebagai upaya yang diserukan oleh para nelayan agar mereka dijauhkan dari bahaya selama melaut. Laut yang menjadi lahan mencari penghidupan kadang-kadang tidak selalu menjanjikan keramahan terhadap para nelayan. Oleh karenanya mereka memandang perlu diadakan suatu upacara untuk memohon keslametan dan menyiasati ketidakramahan alam yang

26

(41)

32

selalu berganti.27 Sebaliknya, penyelenggaraannya juga dihubungkan dengan musim panen ikan atau hasil laut lainnya sebagai salah satu ungkapan rasa syukur.

Ruwatan laut yang dinamakan pula rokat tasè‟, rokat pangkalan, atau salamêdhân tasè‟ banyak dijumpai di wilayah-wilayah sepanjang pantai, baik di

pesisir selatan maupun utara. Di dalam bahasa Madura rokat berarti ruwatan,

tasè’ berarti laut atau pesisir, pangkalan menyampaikan pengertian pelabuhan

atau tempat berpangkal perahu-perahu para nelayan, dan salamêdhân berarti slametan. Dengan demikian secara harfiah rokat tasè‟, rokat pangkalan, atau rokat salamêdhân tasè‟ mengandung pengertian sebagai upacara yang

dimaksudkan untuk menjaga ketentraman dan keslametan yang berhubungan dengan tempat berpangkal perahu-perahu dan seluk beluk kehidupan di laut.

Upacara untuk keperluan ini dibeberapa wilayah disimbolkan dengan memandikan anak gadis yang masih suci (belum mengalami datang bulan) yang berselimut selembar kain putih. Pertunjukan seperti arak-arakan merupakan upacara ruwatan laut yang dapat dilaksanakan pada pagi hari atau pada siang hari dengan perpaduan hari dan pasaran menurut kalender setempat. Waktu penyelenggarakannya tergantung pada tradisi yang telah berjalan, kesepakatan di antara para peserta upacara, atau berdasarkan petunjuk po sêppo atau bângasêppo

atau orang-orang yang dituakan.

Berbagai macam rokat itu antara lain rokat penyakêt, rokat tanaman, rokat pandhâba, dan rokat pangkalan. Pertama, rokat penyakêt adalah rokat yang

27

(42)

33

dilakukan pada saat banyak penduduk terjangkit suatu penyakit. Tujuan rokat

ini adalah untuk mengusir penyakit tersebut agar tidak mengganggu penduduk.

Kedua, rokat tanaman dilakukan untuk mengusir setan yang mengganggu tanaman dan menyebabkannya menjadi kerdil, mati, atau tidak memberi hasil maksimal pada pemiliknya. Ketiga, rokat pandhâda bertujuan agar anak-anak mereka dijauhkan dari segala bentuk mala petaka yang kelak akan menimpanya.

Keempat, rokat pangkalan adalah masyarakat nelayan sebagai pengusir atau penjinak makhluk-makhluk halus penghuni pangkalan agar mereka tidak mengganggu nelayan.28

C. Islam dan Tradisi Lokal Perspektif Clifford Geertz

Menurut Clifford Geertz tentang tradisi perihal upacara slametan menjadi semacam wadah bersama masyarakat, yang mempertahankan berbagai aspek kehidupan sosial serta pengalaman individual, dengan suatu cara yang memperkecil ketidakpastian, ketegangan, dan konflik atau setidaknya dianggap berbuat demikian. Slametan dapat diadakan untuk merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Selalu ada hidangan khas (yang berbeda-beda menurut maksud slametan); dupa, pembacaan do’a

Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi atau Halus yang sangat resmi (yang isinya tentu saja berbeda-beda menurut peristiwanya).29 Kebanyakan slametan diselenggarakan di waktu malam, setelah matahari terbenam dan sembahyang maghrib dilakukan oleh mereka yang

28

Soegianto, Kepercayaan, Magi dan Tradisi dalam Masyarakat Madura, (Jember: Tapal kuda, 2003), 184-185.

29

(43)

34

mengamalkannya. Kalau peristiwanya menyangkut, katakanlah, ganti nama, panen, atau khitanan, tuan rumah akan mengundang seorang ahli agama untuk menentukan hari baik menurut hitungan sistem kalender Jawa.

Slametan dengan demikian, merupakan upacara inti yang mendasar di sebagian masyarakat Mojokuto dimana pandangan dunia tentang abangan yang paling menonjol. Karena semua atau hampir semua upacara abangan dalam arti tertentu merupakan variasi dari tema ritus yang mendasar, maka pengertian tentang makna slametan bagi mereka yang mengadakannya akan membawa serta pemahaman terhadap banyak segi, baik pandangan dunia abangan dan menyediakan kunci bagi penafsiran terhadap upacara mereka yang lebih kompleks. Dalam slametan, setiap orang diperlakukan sama.

Di dalam masyarakat tradisi di Bali, sesajen-sesajen pura atau konser-konser gamelan, tindakan-tindakan sopan santun adalah karya-karya seni. Jadi, tindakan-tindakan itu dipertunjukkan, dan di maksudkan untuk dipertunjukkan bukan ketulusan (atau apa yang akan kita sebut ketulusan) melainkan merupakan pendekatan. Dari semua ini, merupakan kehidupan sehari-hari jelas bersifat upacara; pada sifat ke upacara-upacara ini mengambil bentuk semacam permainan yang sungguh-sungguh, bahkan tekun dengan bentuk-bentuk publik yang artinya agama, seni, dan etiket adalah seni budaya menyeluruh dengan kemiripan yang tersusun.30 Dari kenyataan dan bahwa moralitas di sini sebagai akibat pada dasarnya bersifat testesis yang memungkinkan mencapai sebuah pemahaman yang

30

(44)

35

lebih tepat sehingga ciri-ciri tersebut mencolok (dan paling terkemuka) dari kehidupan orang bali.

Geertz juga mendifinisikan bahwa cara untuk melakukan ini bukanlah meninggalkan tradisi-tradisi antropologi sosial yang telah mapan dalam bidang ini, melainkan memperluasnya.31 Tetapi semua itu hanyalah titik-titik tolak. Untuk bergerak melampauinya, kita harus menempatkan di dalam sebuah konteks pemikiran kontemporer yang lebih luas lagi daripada yang mereka cakup, di dalam dan dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu, marilah kita menyempitkan paradigma kita pada sebuah definisi, karena walaupun definisi itu tidak menetapkan apa-apa di dalamnya sendiri.

Ketika Islam datang, tradisi politis Hindu para taraf tertentu diperlemah, khususnya di dalam kerajaan-kerajaan perdagangan di pesisir di sekitar laut Jawa. Kebudayaan kraton bagaimanapun masih bertahan, walaupun dilapisi dan tercampur dengan simbol-simbol dan gagasan-gagasan Islam dan berdiri di antara suatu masa kota yang secara etnis lebih beraneka-ragam, sehingga tatanan klasik masih ada walaupun ada rasa takut.32 Dengan tradisi inilah setelah revolusi ada sebuah elite baru republik Indonesia. Kegagalan kultural inilah jelas dari pergolakan ideologis yang tampak tak padam-padam yang menelan politik Indonesia sejak revolusi. Dengan mengambil dari tradisi kumpulan-kumpulan perintah yang baku dari negara India, seperti; tiga mutiara, empat kebenaran utama, delapan jalan, dua puluh syarat kekuasaan yang berhasil dan seterusnya

31

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 2-5. 32

(45)

36

dari konsep itu terdiri (lima) asas (sila) yang dimaksudkan untuk membentuk dasar-dasar ideologis yang sakral bagi Indonesia merdeka.

Setiap masyarakat, sub budaya dalam masyarakat masa lalu maupun sekarang telah memilik kode moral tetapi sebuah kode dipertajam oleh keadaan darurat dalam hidup di masyarakat tersebut atau sub budaya lebih dari pada sekilas pandangan sumber aturan moral. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari simbol-simbol, ide-ide, dan nilai-nilai, bersatu dalam mode logika yang penuh makna, yang tentunya berlawanan dengan mode kausal fungsional yang mengkarakterkan sistem sosial dengan lebih baik.33 Geertz menyediakan analisis sugestif tentang pemakaman masyarakat Jawa yang ketenangannya, dia berpendapat bahwa ketidakcocokan berasal dari antara dua macam sistem.

Kebudayaan yaitu sebagai sarana studi dan pada anggapan teoretisnya tentang bagaimana semestinya studi antropologi harus dilaksanakan. Dengan begini kebudayaan tidaklah dapat dianggap kekuatan yang menentukan tindak-tanduk manusia, tetapi konteks dalam mana semua itu bisa dimengerti dengan baik.34 Keyakinan religius, sekalipun berasal dari sumber yang sama, merupakan kekuatan yang sekaligus mengkhususkan dan menyamaratakan, dan sesungguhnya universalitas yang bagaimana pun pasti berhasil dicapai oleh suatu tradisi keagamaan tertentu, ia timbul dari kemampuannya untuk mengikat satu perangkat konsepsi-konsepsi tentang kehidupan yang individual dan ada ciri khas

33

Richard A Shweder dan Byron Good, Geertz dan Para Koleganya, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 88-89.

34

(46)

37

yang semakin luas namun demikian tetap mampu untuk menopang dan memperinci itu semua.35

Penelitian Geertz tentang Islam di Indonesia dan Maroko dengan sistem budaya adalah, suatu karangka umum bagi analisis agama secara perbandingan dan menerapkannya pada suatu agama, Islam, sebagaimana agama ini berada di dua negeri yang betul-betul berbeda yang dimungkinkan sangat diketahui oleh kerja lapangannya: Indonesia dan Meroko.36 Dengan demikian, Islam Indonesia mengembangkan ciri-ciri yang fleksibel; yakni bersifat adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistik yang sangat berbeda dari kekakuan yang tak kenal kompromi dan fundamentalisme yang agresif di Maroko.

Geertz juga menjelaskan bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu, Budhha, dan Animisme. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, dan ternyata tidak ditemui unsur tersebut di dalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan Yogyakarta.37 Menurutnya Islam dan Jawa adalah compatible dan merupakan varian wajar dalam Islam sebagaimana Islam India, Islam Persia, Islam Melayu dan sebagainya.

35

Ibid,. 19-23. 36

Daniel L. Pals, Saven Theories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 425-427. 37

(47)

BAB III

TRADISI ROKAT TASE’ DI DESA KLAMPIS BARAT BARAT KABUPATEN BANGKALAN

A. Profil Desa Klampis Barat

Desa Klampis Barat adalah suatu desa yang temasuk wilayah Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan, yang letaknya + 24 km sebelah timur kota Bangkalan. Luas wilayah Desa Klampis Barat dengan luas 12.945 Ha, yang terbagi dalam empat dusun; a). Dusun Parteker. b). Dusun Makam. c). Dusun Karang Anyar. d). Dusun Bung. Walaupun demikian jumlah penduduk pada tahun 1992 berjumlah 2.758 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki dengan jumlah: 1327 jiwa Perempuan dengan jumlah: 1441 jiwa.

Yang tersebar ke empat pendukuhan, yang terdiri dari 1 RW dan $ RT dengan jumlah kepala keluarga (KK) pada dasar tersebut sebanyak 612 KK. Umur seseorang merupakan salah satu faktor yang menunjang suatu desa, terutama umur seseorang yang masih produktif maka dapat diharapkan sebagai salah satu potensi didalam penyebaran dan pengembangan agama. Hal itulah peneliti mengutip data yang di peroleh dari (kades) Klampis yang telah dimuat menjadi sumber Skripsi.1

Desa tersebut merupakan daratan yang rendah dengan suhu minimum 27°C yang sebagian besar tanahnya pemukiman dan nalayan. Secara umum wilayah Madura beriklim tropis, begitu juga dengan Desa Klmpis Barat yang terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan yang

1

(48)

39

terbanyak adalah 850 mm/hari, yang artinya curah hujan dengan sekala itu lebat dan cuaca angin yang tinggi.2

Desa Klampis Barat ini sering kali krisis air yang sangat sulit mendapatkan air bersih jika musim kemarau sudah tiba, padahal jumlah penduduknya cukup banyak dan sebagian besar pekerja sebagai nelayan. Penghasilan yang tidak menentu untuk kebutuhan sehari-hari terbebani dengan membeli air isi ulang untuk diminum. Sedangkan untuk memasak, penduduk desa

mengandalkan air dari sumur yang terletak balai kecamatan. “Jangankan air untuk

minum, air tawar untuk mandi dan mencuci saja kami kesulitan”.

Penduduk Desa Klampis Barat secara keseluruhan beragama Islam, sedang selain Islam (Kristen Katolik) hanya ada dalam jumlah yang sangat sedikt, yakni 5 (lima) orang. Islam datang ke Desa Klampis ini sangat berperan penting bagi kehidupan masyarakat, terlebih lagi di desa tersebut Islam yang kental. Dari segi pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kejuaraan lomba yang pernah didapat ada tiga a. Juara I (1 Desa/Kelurahan) b. Juara II (2 Desa/Kelurahan) c. Juara III (3 Desa/Kelurahan). Adapun secara formal ada beberapa sarana pendidikan yang telah ada antara lain; TK, SD, MI, MTS/SMP, SMA/MA, Pondok Pesantren, untuk Perguruan Tinggi masyarakat lebih condong merantau/pindah untuk bisa melanjutkan pendidikan, disebabkan tempat desa tersebut belum ada.

2

(49)

40

Dengan demikian ekonomi masyarakat secara menyeluruh pekerjaan masyarakat Desa Klampis sebagai nelayan, baik itu laki-laki, perempuan, tua, dan muda, hanya saja secara keseluruhan bagian menangkap ikan untuk laki-laki. Itu di dasarkan pada kondisi lingkungan masyarakat yang berdekatan dengan sisi utara lautan, adapun sisi selatan berdampingan dengan jalan raya, sehingga menjadi titik masyarakat untuk bisa menjual hasil tangkapan masyarakat ke pasar yang tidak jauh dari Desa Klampis Barat.

Adat istiadat Desa Klampis Barat terdapat tradisi yang secara umum dilakukan keagamaan. Hal ini dapat diketahui dan dibuktikan dengan adanya berbagai kegiatan keagamaan yang bernuansa Islam, yang dilakukan oleh para bapak dan kaum muslimat serta generasi mudanya, dan juga ikut berperan aktif dalam membantu kelancaran kegiatan keagamaan, dan menyebarkan informasi pembangunan pada masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan dalam hal keagamaan dapat diketahui sebagai berikut:3

Pertama, Jami’iyah Yasinan Putra, dilaksanakan setiap sabtu malam Minggu yang diikuti oleh para pemuda serta orang tua, dan jumlah Jami’iyah terdapat 3 (tiga) dan tempatnya bergiliran disetiap kelompok mushalla. Kedua, Jami’iyah Yasinan Putri, dilaksanaka setiap Minggu malam, Senin, dan Rabu Malam Kamis yang diikuti oleh Ibu-ibu Muslimat, jumlahnya terdapat 5 (lima) Jami’iyah sedangkan tempatnya bergiliran dari rumah-kerumah anggota Jami’iyah. Ketiga, Jami’iyah Diba’iyah, dilaksanakan setiap satu Minggu sekali yaitu Jum’at malam

3

(50)

41

Sabtu dan diikuti oleh anggota IPNU-IPNU dengan secara bergiliran dari rumah-rumah anggota. Keempat, Jami’iyah Hadrah Putra (Ishari), dilaksanakan satu Minggu sekali yaitu malam Kamis malam Jum’at diikuti oleh anggota Persatuan Hadrah dengan cara bergiliran dari langgar-langgar (Mushalla).

Kelima, Jami’iyah Qurra’, yaitu membaca Al-Qur’an dengan lagu, dilaksanakan setiap malam Minggu pagi yang diikuti oleh para pemuda dan pemudi masyarakat Nelayan yang bertempat di Pondok Pesantren Raudlaotul

‘Ulum Klampis Barat. Keenam, Da’wah Islamiyah umum, dilaksanakan oleh

warga masyarakat Nelayan pada hari-hari besar Islam. Yang bertempat dilanggar (Mushalla), atau di rumah-rumah penduduk, yang diisi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu Nyai, kadang-kadang mengundang dari luar yang bisa berbahasa Madura, atau oleh masyarakat setempat. Ketujuh, Da’wah Islamiyah Khusus, dilaksanakan tiap

hari Kamis malam Jum’at diikuti oleh warga khusus masyarakat Desa Klampis

Barat yang bertempat di Masjid pembicara oleh Khotib shalat Jum’at dan

dilaksanakan secara rutin. Kedelapan, Da’wah Islamiyah yang dilaksanakan setiap ada acara, Walimatul ‘Urasy, Walimatul Haj, Walimatul Hamli dengan acara

mengundang ‘Ulama’ baik dari luar daerah maupun dari daerah setempat untuk memberikan pengajian guna pemantapan kesadaran beragama dalam masyarakat Nelayan.4

B. Tradisi Rokat Tase’

Rokat Tase’ itu ada bukan zaman sekarang tetapi sebelum kita lahir sewaktu nenek moyang yang pernah menjabat menjadi (kades) di Klampis sudah

4

(51)

42

ada, hanya saja tujuan yang pertama tradisi ini adalah bukan sekedar harus marayakan dengan sistem rakyat bahagia, tetapi tujuan yang paling pertama dalam tradisi ini ialah, untuk kepentingan masyarakat Desa Klampis Barat yang artinya masyarakat Desa Klampis dengan merayakan tradisi rokat tase’ ini dapat mensyukuri nikmat Tuhan yang sementara sudah dilimpahkan rejekinya kepada kita, dengan dasar itu masyarakat dahulu membentuk suatu kegiatan yang namanya rokat tase’.

Zaman terdahulu sekitar tahun 1950-an pelaksanaan rokat tase’ ini bukan diletakkan di daratan justru diletakkan dipinggir pantai karena, pinggir pantai ini tidak ada air (air laut surut) surutnya air laut sampai 100 meter. Untuk perayaan tradisi ini waktu zaman dahulu dihadirkan kesenian wayang golek, dan untuk

kerapang sapi zaman terdahulu dilakukan dipinggir pantai, perbedaan zaman sekarang terletak pada situasi yang berbeda maka pada tahun 2002 pelaksanaan

rokat tase’ yang berkaitan dengan masalah-masalah mistis (kepercayaan) itu

semuanya dihapus/dibuang.

Referensi

Dokumen terkait

Limbah kulit umbi ubi kayu dapat diolah menjadi produk makanan dodol yang dapat disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang relatif lama, sehingga penelitian ini

dengan Tempat BAB yang saniter, lantai rumah yang sebagian tanah atau seluruhnya tanah hampir sepertiga dari lantai rimah yang seluruhnya semen, Sarana air bersi yang

Pada pemeriksaan yang dilakukan terhadap udara ruang operasi Instalasi Bedah Sentral (IBS) dengan menggunakan 24 sampel media dengan perincian 8 sampel media Agar Nutrient (NA), 8

Pihak manajemen Bank BUKU-3 perlu memperhatikan factor –faktor yang menyebabkan tinggi maupun rendahnya nilai ROA dalam setiap pengambilan keputusan yang

Dari hasil penelitian di atas didapat gambaran bahwa kesepakatan dalam diagnosis malaria dengan mikroskopik di Puskesmas dan kabupaten di Kabupaten Purworejo termasuk

Tujuan perusahaan dalam hal ini adalah untuk memperoleh laba dan laba akan dapat diperoleh oleh perusahaan apabila perusahaan dapat meningkatkan volume penjualan

Pensinyalan Out of band Dalam pensinyalan ini, sinyal suara tidak menggunakan sepenuhnya bandwidth 4kHz dan yang tidak terpakai akan digunakan untuk mengontrol

Berdasarkan hasil analisa terhadap penilaian penerapan SMK3 di proyek pembangunan Gedung Living World Pekanbaru, untuk hasil penilaian kuisioner yang ditujukan kepada