• Tidak ada hasil yang ditemukan

GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS : TELAAH HADIS DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 2943.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS : TELAAH HADIS DALAM KITAB SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 2943."

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS

(Telaah Hadis Dalam Kitab Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943)

SKRIPSI

Oleh :

LAINY KHOLILAH

NIM : E03211065

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS

(Telaah Hadis Dalam Kitab Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943)

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)

Oleh :

LAINY KHOLILAH

NIM: E03211065

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Lainy Kholilah . GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS (Telaah

Hadis Dalam Kitab Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943) . Skripsi UIN Sunan Ampel

Sebuah permasalahan dalam penelitian yang berangkat dari kegelisahan penulis tentang pemberian hadiah yang diberikan oleh pengguna layanan KTP terhadap petugas KTP sebagai bentuk tanda terima kasih atas tugas yang telah dijalankan oleh petugas KTP, sedangkan petugas telah mendapatkan gaji dan haknya dari pemerintah. Ini adalah perbuatan gratifikasi yang sudah menjadi kebiasaan di Indonesia. Dari permasalahan tersebut penulis mencoba melakukan pencarian, dan akhirnya ditemukan hadis yang berkaitan tentang gratifikasi yakni dalam kitab Sunan Kitab Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943.

Untuk itu masalah yang akan diteliti ini berkaitan dengan bagaimana kualitas sanad dan matan hadis dalam Kitab Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943 serta bagaimana pemaknaan hadis tersebut.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian literatur (library

research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab yang

berhubungan dengan Ghulu>l (Gratifikasi) seperti kitab S}ahi>h Muslim, Sunan Abu>

Da>wud dan lain sebagainya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode

Takhrij dan I‟tibar. Takhrij yaitu langkah awal untuk mengetahui kualitas suatu

hadis. Dan I‟tibar adalah menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis

tertentu, yang hadis itu pada sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja. Melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadis tersebut dan meneliti makna yang terkandung dalam hadis yang menunjukkan bahwa gratifikasi adalah arti dari ghulu>l.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah gratifikasi yakni menerima hadiah dari

selain orang yang memberikan pekerjaan, adalah suatu perbuatan penyelewengan dalam pekerjaan/ tugas. Jika hadiah datang karena sifat sosial maka itu adalah halal. Tetapi,

jika hadiah datang karena pekerjaan sebagaimana diatas (gratifikasi) maka itu

haram. karena hal ini dapat menimbulkan beban moral pada pihak pemberi dan

menumbuhkan sifat t}ama„ pada pihak penerima. Dan Allah pun sangat melaknat perbuatan tersebut. Untuk kualitas sanad dan matan, hadis ini berstatus s}ahih li dzatihi

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 6

D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

E. Telaah Pustaka ... 8

F. Metodologi Penelitian ... 9

G.Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II PENGERTIAN GRATIFIKASI DAN TEORI KESAHIHAN HADIS A. Pengertian Gratifikasi ... 15

B. Teori Keshahihan Hadis  Keshahihan Sanad Hadis ... 18

 Keshahihan Matan Hadis ... 25

 Takhrij dan i‘tibar . ... 29

(8)

 Teori pemaknaan hadis ... 35

BAB III BIOGRAFI ABU< DA<WUD DAN TINJAUAN HADIS TENTANG GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS A.Biografi Abu> Da>wud ... 38

B.Metode dan Sistematika Sunan Abu> Da>wud ... 43

C.Pandangan dan Kritik Ulama Terhadap Kitab Sunan Abu> Da>wud... 46

D.Data Hadis Tentang Gratifikasi dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 2943 ... 48

E. Skema dan Kritik Sanad ... 51

F. I’tibar ... 76

BAB IV ANALISA HADIS TENTANG GRATIFIKSI PADA SUNAN ABU< DA<WUD NOMOR INDEKS 2943 A.Penelitian Sanad dan Matan Hadis Tentang Gratifiksi dalam perspektif hadis 1. Kualitas Hadis dari Segi Sanad ... 78

2. Kualitas Hadis dari Segi Matan ... 85

B.Kehujjahan Hadis. ... 89

C.Pemaknaan hadis ... 90

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 98

B.Saran ... 99

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad memiliki peran

yang sangat penting dalam kaitan dengan agama. Salah satunya adalah Nabi telah

diberi tugas oleh Allah SWT untuk menjelaskan al-Qur’an. Sebagaimana firman

Allah dalam surat an-Nahl ayat 44:

َفَ تَ ي ْمُهَِعَلَو ْمِهْيَلِإ َلمزُ ن اَم ِسا ِِل َنميَ بُتِل َرْكمذلا َكْيَلِإ اَْلَزْ نَأَو ِرُبزلاَو ِتاَم يَ بْلاِب

َنوُرك



1

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan

kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah

diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.2

Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan dibawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul ini sama halnya tuntutan taat dan patuh terhadap Allah SWT. sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:

َنيِرِفاَكْلا بِحُي ً َِلا نِإَف اْولَوَ ت ْنِإَف َلوُسرلاَو َِلا اوُعيِطَأ ْلُق



3

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".4

1

Al-Qur’a>n, Al-Nahl: 44.

2

Depag RI, Al-Qur’an danTerjemah, (Bekasi: PT. Dwi Sukses Mandiri, 2012), 273.

3

Al-Qur’a>n, Ali Imran: 32.

(10)

2

Hadis telah disepakati sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an5 dan

menjadi penguat al-Qur’an yang sudah dijamin kebenarannya dan isinya menjadi

hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Hadis adalah segala seesuatu yang

disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun

sifatnya.6 Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad yakni para

sahabat dan para pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah

keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat

kepatuhan dan ketulusan. Disamping menjadikan al-Qur’an sebagai dalil dan

argumen yang kuat mereka juga menggunakan hadis yang serupa secara

seimbang, karena keduanya sama-sama diyakini berasal dari Allah SWT.7

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, pemecah masalah dan sumber ajaran Islam, diantara keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan karena

saling berkaitan, al-Qur’an sebagai sumber hukum yang memuat ajaran-ajaran

yang bersifat umum, yang harusnya ada penjelas maka disinilah fungsinya hadis,

yakni sebagai penjelas (mubayyi>n). Hadis sebagai penjelas al-Qur’an memiliki

beberapa fungsi yang bermacam-macam. Ma>lik ibn A>nas menyebutkan lima

fungsi, yaitu baya>n al-taqri>r, baya>n al-tafsi>r, baya>n al-tafs}i>l, baya>n al-bath,

baya>n al-tasyri’. Al-Syafi’i> menyebutkan lima fungsi, yaitu baya>n al- tafs}i>l,

baya>n al-takhs}i>s}, baya>n al-ta‘yi>n, baya>n al-tasyri‘dan baya>n al-nasakh.8

4

Depag RI, Alqurandan..., 55.

5

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah( Jakarta: Prenada Media, 2003), 03.

6

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Alpha, 2005), 02.

7

Soebahar, Menguak Fakta, 03.

8

TIM Penyusun MKD IAIN SunanAmpel, StudiHadis, (IAIN SunanAmpel Press:

(11)

3

Hadis sebagai mubayyi>n dan juga sebagai tuntunan kedua setalah

al-Qur’an, umat Islam harus mengetahui dan memahami khazanah hadis agar dapat

diamalkan atau dijadikan pegangan hidup.Keduanya (al-Quran dan Hadis) mempunyai fungsi sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang diridhai Allah

(hudan li al-na>s) dan juga mempuanyai fungsi sebagai pencari jalan keluar dari

kegelapan menuju alam terang-benderang. Pada fungsi tersebut tidak semua manusia bisa meperhatikan apa yang dilarang dan apa yang dianjurkan oleh Al-Quran dan hadis karena ada beberapa kemungkinan. Yakni disebabkan manusia tersebut awam atau sebab larangan tersebut terlihat samar sehingga orang yang melakukan tidak menyadari bahwa hal yang dilakukannya sangat dimurkai Allah. Salah satu yang terlihat samar dan Allah sangat membencinya adalah perbuatan gratifikasi.

Gratifikasi adalah menerima hadiah selain dari gaji yang sudah

ditentukan9. Hadiah yang di golongkan gratifikasi adalah hadiah yang diberikan

orang lain (bukan orang yang memberikannya tugas atau orang yang berhak memeberinya gaji atas tugasnya) kepada petugas, pegawai, hakim, dan lain sebagainya, yang orang lain tersebut tidak berhak memberi hadiah kepada mereka karena pekerjaannya. Meskipun itu hanya semata- mata sebagai hadiah. Allah telah melaknat orang yang menerima hadiah disebabkan karena pekerjaanya karena perbuatan tersebut adalah suatu penghianatan. Sebagaimana sabda Nabi dalam kitab Sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943 tentang Gratifikasi:

9

P.A.F. Lamintang , Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak

Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal 379. Dalam Mahrus Ali, Hukum

(12)

4

اََ ثدَح ٍبِلاَط وُبَأ َمَزْخَأ ُنْب ُدْيَز اََ ثدَح

ِممَِعُمْلا ٍنْيَسُح ْنَع ٍديِعَس ِنْب ِثِراَوْلا ِدْبَع ْنَع ٍمِصاَع وُبَأ

ُاََِْمْعَ تْسا ْنَم َلاَق َمَِسَو ِْيََِع ُِلا ىَِص ميِب لا ْنَعِهيِبَأ ْنَع َةَدْيَرُ ب ِنْب ِِلا ِدْبَع ْنَع

ٍلَمَع ىََِع

ْعَ ب َذَخَأ اَمَف اًقْزِر ُاَْ قَزَرَ ف

ٌلوُُِغ َوُهَ ف َكِلَذ َد

10

Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam Abu Thalib, telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Abdul Warits bin Sa'id dari Husain Al Mu'allim dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa yang kami beri pekerjaan untuk mengurusi suatu pekerjaan kemudian kami berikan kepadanya suatu pemberian, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah suatu bentuk pengkhianatan."

Pada hadis diatas telah ditegaskan bahwa seseorang yang mengambil sesuatu selain rizki yang dihalalkan untuknya , salah satunya menerima hadiah dari orang lain atas pekerjaannya itu adalah perbuatan gratifikasi.

Pada realitanya perbuatan gratifikasi sudah menjadi adat yang sering dilakukan manusia karena perbuatannya yang terlihat samar. seperti contoh kecil yang sangat sering dilakukan di indonesia yakni seorang petugas pelayanan publik pembuatan KTP, ia menerima pemberian dari pengguna layanan sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang dinilai baik. Pengguna layanan memberikan uang kepada petugas tersebut secara sukarela. Hal ini adalah termasuk Gratifikasi meskipun pemberian tersebut diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada petugas layanan, tetapi pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan dengan kewajiban penyelenggara/ pegawai tersebut, karena pelayanan yang baik memang harus diberikan oleh petugas sebagai bentuk pelaksanaan tugasnya. Oleh karena itu, masyarakat berhak dan pantas untuk mendapatkan layanan yang baik.

10Abu> Da>ud.

(13)

5

Dari permasalahan gratifikasi diatas, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud nomor indeks 2943 adalah dalil untuk perbuatan tersebut. maka hal ini perlu dilakukan penelitian dalam segi kualitas dan pemaknaan hadisAbu> Da>wud nomor indeks 2943 sebagai dalil. sehingga didapatkan pemahaman secara

menyeluruh karena melihat realita bahwasanya hadis merupakan sumber pokok

kedua setelah al-Qur’an yang dijamin kebenaran dan keutuhannya.11

Penafsiran hadis sebagaimana al-Qur’an akan terus berkembang seiring

dengan berkembangnya zaman, oleh karena itu dalam memahami hadis tidak cukup memahami secara tekstual saja namun dipahami secara kontekstual sehingga hadis dapat dipahami secara utuh dan dapat diamalkan dengan baik dan benar. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa Rasulullah adalah Nabi yang diutus oleh Allah di tengah-tengah kaum Arab pada ratusan abad yang lalu, zaman yang terpaut begitu jauh serta perbedaan keadaan geografis antara Arab dengan daerah-daerah yang lain menuntut hadis diberlakukan pada tiap masa dan zaman

yang berbeda-beda dengan pemahaman yang dikehendaki oleh penyampainya.12

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang diatas terdapat beberapa masalah yang menarik untuk dibahas, yang diantaranya:

1. Bagaimanakualitassanad hadistentanggratifikasi dalam perspektif hadisdalam

Sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943?

11

Musthafa Al-Siba’i, Al-HaditsSebagaiSumberHukum, (Bandung: Diponegoro, 1990), 12.

12

(14)

6

2. Bagaimana kualitas matan hadis tentang gratifikasi dalam perspektif hadis

dalam Sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943?

3. Bagaimana pandangan para ulama tentang hadis Abu> Da>wud nomor indeks

2943?

4. Bagaimana pemaknaan hadis dalam Sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943

tentang gratifikasi?

5. Bagaimana kontekstualisasi hadis tersebut terkait dengan kehidupan pada

zaman sekarang?

Dari beberapa identifikasi masalah di atas yang menjadi fokus pembahasan agar lebih terarah, adalah studi otentisitas sanad dan validitas matan, serta

pemahaman makna gratifikasi. Hal ini agar fokus masalah yang diteliti menjadi

terarah dan tidak meluas.

C. Rumusan Masalah

Dari beberapapermasalahan di atas, dapatdirumuskanbeberapamasalah

yang akandibahas, yaitu:

1. Bagaimana kualitas sanad hadis dalam Sunan Abu> Da>wud nomor indeks

2943?

2. Bagaimana kualitas matan hadis dalam Sunan Abu> Da>wud nomor indeks

2943?

3. Bagaimana pemaknaan hadis dalam sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943

(15)

7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dari masalah diatas maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menemukan kualitas sanad hadis dalam Sunan Abu> Da>wud nomor

indeks 2943.

2. Untuk menemukan kualitas matan hadis dalam Sunan Abu> Da>wud nomor

indeks 2943.

3. Untuk menemukan pemaknaan hadis sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943

dalam kehidupan sekarang.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang hadis, Agar hasil penelitian ini betul-betul jelas dan benar-benar berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritik diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan pemikiran wacana keagamaan, serta menambah khazanah literature studi hadis di Indonesia.

2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberi pemahaman dan

mengingatkan kembali tentang menerima hadiah dari selain yang diperbolehkan oleh orang yang mempekerjakannya adalah perbutan gratifikasi. Dan mengingatkan kembali betapa banyak aturan kehidupan yang baik yang sudah ditawarkan oleh Rasulullah SAW.

3. Untuk menegaskan kembali pentingnya hadis sebagai sumber kedua setelah

(16)

8

E. TelaahPustaka

Dari beberapa pengamatan sejauh ini, belum ditemukan skripsi yang membahas judul ini. Namun ada beberapa skripsi dan buku yang sedikit banyak menyinggung masalah menerima upah selain gaji yang ditentukan, akan tetapi dalam lingkup yang berbeda, diantaranya:

1. Skripsi IAIN Sunan Ampel yang memuat tentang “ Pemaknaan Ghulu>l Sebagai Tindak Korupsi (studi hadis sahih Imam Muslim nomor indeks

3415)” yang ditulis oleh Sihul Hufa, tahun 2010, fakultas Ushuluddin jurusan

Tafsir Hadis. Skripsi ini menerangkan bahwasanya ghulu>l yang diartikan sama

dengan korupsi yang terdapat pada Sahih Muslim.

2. Skripsi IAIN Sunan Ampel yang memuat tentang “Anti Korupsi dalam Sunan

Abi Daud nomor indeks 3581.” Yang ditulis oleh Abdul Basid , tahun 2011,

fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini membahas macam-macam korupsi yang terdapat pada Sunan Abi daud nomor indeks 3581. 3. Skripsi IAIN Sunan Ampel yang memuat tentang “Nilai Hadis Tentang Suap

dalam Kitab At-Tirmidzi”. Yang ditulis oleh Wiwin Lindayanti , pada tahun

2004, fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini membahas kritik hadis baik sanad dan matannya serta penjelasan suap yang artikan sebagai ghulu>l.

Dari ketiga skripsi di atas belum ditemukan tema yang sama dengan penelitian ini, selain konsentrasi yang diteliti juga berbeda dengan skripsi- skripsi

di atas. Skripsi-skripsi diatas menjelaskan tentang makna ghulu>l yang diartikan

(17)

9

cenderung kepada penelitian sanad dan matan hadis Sunan Abu> Da>wud nomor

indeks 2943serta bagaimana pemaknaan hadis tersebut untuk zaman sekarang (yakni diartikan gratifikasi). Jadi pembahasan yang diteliti ini melibatkan beberapa kitab hadis, buku-buku tentang ulumul hadis dan juga buku-buku lain yang berkaitan. Dari beberapa literatur yang dijumpai, belum ada literatur yang membahas secara khusus sebagaimana penelitian ini, yaitu hadis tentang gratifikasi dalam perspektif hadis (kualitas serta pemaknaan hadis Sunan Abu> Da>wud nomor indeks 2943).

F. Metodologi Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, yakni proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai komplesitas yang ada

dalam interaksi manusia (Catherine Marshal: 1995).13 Penelitian kualitatif

dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang kerangka idiologis, epistimologis dan asumsi-asumsi metodologis pendekatan terhadap kajian hadis dengan menelusuri secara langsung pada literatur-literatur yang terkait.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library

Research),14 yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk

memperoleh data, dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti kitab-kitab atau buku literatur serta skripsi yang berkenaan

13

Jonathan, Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 193.

14

(18)

10

dengan topic pembahasan, sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas. Kemudian mengelolanya dengan disiplin Ilmu Hadis.

3. Pengolahan Data

Metode Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, Gay (1976) mendefinisikan metode ini sebagai kegiatan yag meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut

keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.15Data

yang telah terkumpul diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual yakni memahami hadis Nabi dengan memperhatikan latar belakang dan situasi serta kondisinya ketika di ucapkan

dan juga tujuannya.16

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, digunakan metode pengumpulan data dengan dokumentasi. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari

seseorang.17 Metode ini digunakan dalam penelitian inidengan menggunakan

dokumen yang berupa tulisan dan karya-karya tentang hadis. Salah satu bentuk dokumentasi yang dilakukan dalam mengumpulkan hadis yang akan diteliti antara lain melalui:

15

Consuelo G. Sevilla, DKK, Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta: UI Press, 1993), 71.

16Siti Fatimah, “ Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan

Asba>bul

wuru>d” ,pdf. (Skripsi tidak di terbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga, 2009), 7.

17

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D)

(19)

11

1) Takhrij al-hadis

Takhrij hadis adalah penjelasan keberadaan sebuah hadis dalam berbagai

referensi hadis utama dan penjelasan otensitas serta validitasnya. Dengan

kata lain takhrij hadis merupakan usaha menggali hadis dari sumber

aslinya.

2) I’tibar al-sanad

I’tibar al-sanad adalah usaha untuk mencari dukungan hadis lain yang

setema. Hadis yang setema dicari sanadnya dari jalur lain untuk mencari

syawahid dan muttabi’. Fungsi muttabi’ dan syawahid adalah untuk

memgangkat status hadis yang berasal dari sanad lain sebagai hadis utama yang diteliti.

5. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis memperoleh data yang mengarah pada tujuan, maka penulis menggunakan sumber data sebagai berikut:

a) Data primer, yaitu sumber data yang berfungsi sebagai sumber asli, yakni

dalam hal ini berupa kitab Hadis yang berjudul Sunan Abu> Da>wudkarya

sulaiman bin al-as’ab

b) Data sekunder, yaitu data yang melengkapi atau mendukung dari data

primer, yakni berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Data-data tersebut ialah sebagai berikut:

1) kajian Kritis Ilmu Hadis, karya Umi Sumbulah.

2) Telaah matan Hadis, karya Muhammad Zuhri

(20)

12

4) Abu> Da>wud, karya Kamil Muhammad Uwaidhah.

5) Tahdzib al-Tahdzib, karya Syihab al-Din Ahmad bin Ali bin Hajar

al-Asqalany.

6) Tahdzib al-Kamal fi al-Asma’ al-Rijal, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj

Yusuf al-Mizzi.

7) At- Taisi>r bi Syarh}il Ja>mi‘ as-S}aghi>r, karya Zainuddin ‘Abdur Ro‘uf

al-manawiy.

6. Teknis Analisa Data

Teknik analisis data berarti cara menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Teknik tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad hadis adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keadilan maupun kelemahan rawi serta mengetahui ketersambungan sanad hadis tersebut Dalam penelitian sanad,

digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rijāl al-hadīth

dan al-jar} wa al-ta'dīl, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses

penerimaan hadis tersebut (Ta}hammul wa al-ada'). Hal itu dilakukan untuk

mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid.

(21)

13

bermutu s{hahih serta hal-hal yang diakui oleh masyarakat umum sebagai

bagian integral ajaran Islam.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai terdiri atas lima bab yaitu sebagai berikut:

Bab I pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab II landasan teori yang membahas tentang pengertian gratifikasi, kaidah kesahihan dan pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.

Bab III tinjauan redaksional hadis tentang gratifikasi dalam perspektif hadis, yang membahas biografi singkat Abu> Da>ud, serta menampilkan hadis

tentang Gratifikasi dalam perspektif hadis yaitu meliputi: data hadis, skema sanad

dan I’tibar.

Bab IV merupakan analisis pemaknaan hadis tentang gratifikasi dalam perspektif hadis, bab ini mencakup penelitian sanad dan matan, kehujjahan hadis serta pemaknaan hadis tentang gratifikasi dalam perspektif hadis tersebut.

(22)

14

(23)

15

BAB II

PENGERTIAN GRATIFIKASI DAN TEORI KESAHIHAN HADIS

A. Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian yang dalam arti luas yakni meliputi

pemberian uang, barang, rabat (discound), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima didalam negeri dan yang

dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik.1

Gratifikasi merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh negara dan agama. Dalam Negara sendiri, undang-undang sudah menegaskan pada nomor 31 tahun 1999 jo. undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam pasal 5 dimana gratifikasi merupakan pemberian yang dilarang baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, berupa fasilitas,tiket, dan hotel maupun aspek yag terkait dengan pemberian hak termasuk

hak kekayaan intelektual (HAKI).2 Gratifikasi dapatlah diartikan sebagai

“menerima hadiah”, lamintang mengatakan memberikan dalam bahasa belanda

berarti gift. Gift sendiri berasal dari kata kerja geven yang artinya memberi.

Sehingga kata gift tersebut sebaiknya diterjemahkan dengan kata pemberian, yang

1

Lihat penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Anti Korupsi, yang mana penjelasan tentang pengertian Gratifikasi.

2

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi edisi

(24)

16

mempunyai pengertian yang lebih luas dari sekedar hadiah atau semata-mata

sebagai hadiah.3

Kamus bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah

uang atau kepada pegawai diluar gaji yang sudah ditentukan.4 Sedangkan dalam

kamus hukum, gratifikasi yang berasal dari bahasa belanda gratificatie atau dalam

bahasa iggrisnya gratification diartikan sebagai hadiah uang. Berdasarkan kedua

pengertian tersebut, ada beberapa catatan. Pertama, baik dalam kamus besar bahasa Indoesia maupun kamus Hukum, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah berupa uang. Kedua, pengertian gratifikasi dalam kedua kamus tersebut bersifat netral. Artinya tindakan gratifikasi bukanlah merupakan suatu perbuatan tercela atau makna suatu perbuatan negatif. Ketiga, obyek gratifikasi dalam pengertian menurut kamus besar bahasa Indonesia jelas ditujukan kepada

pegawai, sementara dalam kamus hukum obyek gratifikasi tidak ditentukan.5

Gratifikasi adalah perbuatan melawan hukum. menurut Chazawi, sifat melawan hukum dalam suap menyuap yaitu unsur perbuatannya telah terbentuk misalnya menjajikan sesuatu walaupun janji itu belum diterima, bagitu juga memberikan hadiah telah dianggap terjadi setelah benda itu lepas dari kekuasaan

yang memberi.6 Tindak pidana korupsi jenis gratifikasi dikatagorikan sebagai

3

P.A.F. Lamintang , Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak

Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hal 379. Dalam Mahrus Ali, Hukum

Pidana Korupsi di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), 122.

4

Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (PT. Agung Mulia, tt), 224.

5

Eddy OS Hiarej, Memahami Gratifikasi, Senin 13 Juni 2011, KOMPAS.com

6

(25)

17

jenis penyuapan pasif karena sifatnya yang samar tidak seperti suap aktif..7

kebiasaan memberi hadiah atau uang sebagai wujud tanda terimakasih kepada petugas yang memang harus melakukan tugasnya tersebut dengan sebaik

mungkin, akan memicu lahirnya budaya “mensyaratkan” adanya pemberian dalam

setiap pelayanan.8

Dalam agama sendiri tindakan gratifikasi merupakan perbuatan tercela dan tidak sesuai dengan tujuan awal Islam. Karena perbuatan gratifikasi akan menimbulkan kerusakan bagi si pemberi dan penerima dan juga akan menimbulkan perbuatan bathil.

B. Teori Kesahihan Hadis

Ibnu Al-S}a>lah membuat sebuah definisi hadis sahih yang disepakati oleh

para ahli hadis, S}a>lah berpendapat sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail:

طباضلا لدعلا لق ب دا سإ لصتي يذلا د سملا ثيدحلا وهف :حيحصلا ثيدحلا اما

اِعم ًو اذاش نوكيًو اهت م ىلا

Adapun hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adil dan d}a>bit} sampai akhir sanad, (didalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (sya>dz) dan cacat (‘illat).9

Dari defenisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-S}a>lah, dapat dirumuskan

bahwa kesahihan hadis terpenuhi dengan 3 kriteria, yakni:

7

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi ,( Jakarta: Indonesia Lawyer Club, 2010), 146.

8

KPK, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2010), 29

9

(26)

18

1) Sanad hadis yang diteliti harus bersambung mulai dari mukharrij sampai

kepada Nabi.

2) Seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘adl dan d}a>bit}.

3) Hadis tersebut, baik sanad maupun matannya harus terhindar dari kejanggalan

(sya>dz) dan kecatatan (‘illat).

Dari rumusan diatas, dapat disimpulkan bahwa kriteria kesahihan hadis Nabi terbagi dalam dua pembahasan, yaitu kriteria kesahihan sanad hadis dan kriteria kesahihan matan hadis. Jadi, sebuah hadis dapat dikatakan sahih apabila kualitas sanad dan matannya sama-sama bernilai sahih.

Kriteria Kesahihan SanadHadis

Posisi sanad dalam hal riwayat hadis merupakan sesuatu yang sangat

urgen, sebab itulah berita yang disampaikan atau diungkapkan seseorang dikatakan sebagai hadis. Dengan demikian, apabila sesuatu yang dinyatakan hadis, sedang sanadnya tidak ada maka ulama hadis akan menolak hadis

tersebut. Sebagaimana perkataan Ibnul Muba>rak:

.ءاش ام ءاش نم لاقل دا سًا ًولو ,نيدلا نم دا سًا

Sanad adalah bagian dari agama, dan seandainya tidak terdapat

sanad, tentu orang berkata sekehendak hatinya. 10

Sanad bisa dikatakan sahih dan maqbu>l jika sudah memenuhi tiga

syarat. Yakni muttas}il, ‘adil, dan dhabit. Jika ketiga syarat tersebut telah

terpenuhi, maka sanad hadis tersebut telah dinyatakan sahih. Sedangkan syarat

10

(27)

19

sanadnya tidak shadz dan tidak ‘ila>t merupakan sebagai pengukuh status

kesahihan suatu hadis. shadz dan ‘illa>t adalah untuk sanad, rawi, dan matan

(redaksi).

Uraian tiga syarat tersebut adalah:

1. Ittis}a>l al-sanad (ketersambungan sanad)

Bersambungnya sanad merupakan langkah awal dalam meyakinkan penisbatan suatu hadis kepada Nabi saw yang setelah itu barulah dibicarakan mengenai rawi yang meriwayatkannya.

Al-Muttas}il secara bahasa merupakan bentuk ism fa’il (pelaku) yang

kata kerjanya adala ittas}ala ( bersambung) dan bentuk masdarnya adalah

ittis}al (ketersambungan), yakni lawan dari al-inqita>’ (keterputusan).

Makna dari al-muttas}il adalah yang bersambung11. Al-Muttas}il secara

istilah adalah sebuah hadis yang sanadnya bersambung, baik dalam

keadaan marfu> atau mauqu>f . setiap perawi di dalam sanad muttas}il

haruslah terbukti adanya proses penerimaan dari sang guru hingga mencapai puncak sanadnya. Ketersambungan suatu sanad dapat dilihat dari proses transformasi atas antar perawi dari guru-guru mereka dengan menggunakan lambang periwayatan yang disahkan oleh para ulama ahli

hadis seperti; al-sima>’, al-qira>’ah, al-muka>tabah, al-muna>walah,

al-ija>zah, dan lain sebagainya.12

11

Ibnu Manz}u>r, Lisa>nu al-‘Arabi jilid 9,(Beirut: Da>r Ihya’ al-Tura>th al- ‘arabiy, tt,), 318.

12

(28)

20

Ada beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Mencatat semua rawi dalam sanad yang akan diteliti;

b. Mempelajari masa hidup masing-masing rawi;

c. Mempelajari shigha>t tahammul wal ada’, yakni bentuk lafal yang

menjadi lambang ketika perawi menerima atau mengajarkan hadis13;

d. Meneliti guru dan murid.14

2. Ada>latu al-ra>wi>(keadilan perawi)

Term ‘adala (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus,

condong kepada kebenaran.15 Dalam terminologi definisi ‘adil dikalangan

ulama ahli hadis sangat beragam, tetapi semua itu berangkat dari

kepentingan dan hal-hal substantif yang sama. Menurut Al-Razi>

umpamanya, ‘adil didefinisikan sebagai kekuatan ruhani (kualitas

spiritual) yang mendorong untuk selalu berbuat takwa, yaitu mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil,

dan meninggalkan perbuatan-perbatan mubah yang menodai muruah16,

seperti makan sambil berdiri, buang air kecil tidak pada tempatnya, serta bergurau secara berlebihan. Ibn Shalah juga berpendapat bahwa seorang perawi disebut memiliki sifa adil jika dia seorang yang muslim, baligh,

berakal, memelihara moralitas (muru’ah) adn tidak berbuat

13

Umi Sumbulah, Kritik Hadis, (Malang: uIN Malang Press, 2008), 32.

14

M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 14.

15

Ibnu Manz}u>r, Lisa>nu al-‘Arabi jilid 9,(Beirut: Da>r Ihya’ al-Tura>th al- ‘arabiy, tt,), 83.

16

(29)

21

fasiq.sedangkan Ahmad M. Syakir menambahkan satu unsur lagi, yakni

dapat dipercaya beritanya.17

Memperhatikan pendapat-pendapat tersebut bisa dipahami bahwa

seseorang dapat dikatakan adil atau bersifat ‘ada>lah jika pada dirinya

terkumpul kriteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak

berbuat bid’ah,tidak berbuat maksiatbdan dapat dipercayaberitanya.

3. Dha>bit al-ra>wi> (kecerdasan dan kecermatan perawi)

Dha>bit} secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu.18 Dalam

terminologi ilmu hadis, terdapat beberapa definisi yang telah dimajukan

oleh para ulama ahli hadis. diantaranya Ibn Hajar al-‘Asqalani dan al

-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dha>bit} adalah orang

yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu

menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki.19 Shubhi al-Sha>lih

menyatakan bahwa orang yang dha>bit} adalah orang yang mendengarkan

riwayat hadis sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna; dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu

sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.20

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, M. Syuhudi Ismail telah

menyimpulkan tiga kriteria dha>bit}, yakni:

17

Umi Sumbulah, Kritik Hadis, (Malang: uIN Malang Press, 2008), 64.

18

Ibid.

19

Idri, Studi hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 165.

20

(30)

22

a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar

(diterimanya). Sebagian ulama tidak mengharuskan periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya), dengan kemungkinan pertimbanga bahwa: pertama, Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah ia hafalkan; atau kedua, Yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. Dari dua pertibangan tersebut, pertimbangan

kedua merupakan ke-dha>bit}an periwayat menurut sebagian ulama.

b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar

(diterimanya). Kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk

dapat disebut sebagai orang yang dha>bit}, meskipun ada ulama yang

mendasarkan ke-dha>bit}-an bukan hanya pada kemampuan pemahaman.

Dengan kata lain, periwayat yang hafal terhadap hadis dengan baik

dapat disebut dha>bit} dan jika disertai dengan pemahaman terhadapnya,

maka tingkat ke-dha>bit}-annya lebih tinggi daripada periwayat tersebut.

c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal dengan

baik: (a) Kapan saja menghendakinya; dan (b) sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.kemampuan hafalanyang dituntut dari seorang periwayat, sehingga ia disebut seorang yang

dha>bit}, adalah tatkala periwayat tersebut menyampaikan riwayat kepada

(31)

23

kemampuan hafalan tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dha>bit}

sampai saat sebelum mengalami perubahan, sedang sesudah mengalami

perubahan dinyatakan tidak dha>bit}.21

Periwayat yang dha>bit} dapat diketahui dengan beberapa cara, yang

diantaranya:

a. Ke-dha>bit}-an periwayat bisa diketahui berdasarkan kesaksian ulama;

b. Ke-dha>bit}-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuian

riwayatnya dengan dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat

lain yang dikenal ke-dha>bit}-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat

makna maupun sampai tingkat harfiah;

c. Periwayat yang sesekali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dha>bit}

asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami

kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dha>bit}.22

Adapun pengukuh dari tiga syarat tersebut adalah:

1. Tidak sha>dz

Secara bahasa sya>dz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti

menyendiri seperti kata روهمجلا نع درفنملا (sesuatu yang menyendiri terpisah

dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, sya>dz adalah hadis yang

diriwayatkan oleh periwayat yang thiqah dan bertentangan dengan riwayat

oleh periwayat yang lebih thiqah.23 Dengan demikian, hadis sya>dz itu

tidaklah disebabkan oleh kesendirian individu perawi dalam sanad hadis,

21

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan SanadHadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 135-137.

22

Idri, Studi hadis, 167.

23

(32)

24

dan juga tidak disebabkan perawi yang thiqah.24 Devinisi yang

dikemukakan oleh al-Sya>fi’i> ini telah dinukil oleh para ulama hadis pada

umumnya.

Menurut Syuhudi Ismail, alasan tersebut dikarenakan konsep yang

dimajukan oleh al-Sya>fi’i> tentang sya>dz tersebut mengandung implikasi

praktis agar para ulama tidak terjebak pada kecerobohan dalam menyikapi sebuah hadis, yang bisa berakibat adanya marjinalisasi hadis sebagai

hujjah. Sikap al-Sya>fi’i> tersebut dimotivasi oleh konstruksi tentang

hadis-hadis Rasulullah. Karena dengan mengklaim hadis-hadis yang berstatus fard

mutlaq sebagai hadis yang mengandung sya>dz, secara tidak langsung

berarti memberikan legitimasi bagi pengenyampingan hadis Rasulullah,

khususnya yang berkualitas maqbu>l (diterima sebagai hujjah)25.

2. Tidak mua’allal

Kata ‘Illa>t secara bahasa artinya sakit. Adapula yang mengartikan

sebab dan kesibukan.26 Adapun dalam terminologi ilmu hadis, ‘Illa>t

didefinisika sebagai sebuah hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak kesahihan hadis yang secara lahir

tampak sahih.27 Didalam konteks ini, Ibn Shalah mendefinisikan ‘Illa>t

sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas, karena keberadaannya meyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas sahih menjadi tidak sahih lagi. Sedangkan Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadis yag

24

Umi, Kritik Hadis, 70.

25

Ibid, 71.

26

Ibnu Manz}u>r, Lisa>nu al-‘Arabi jilid 9…, 367 27

(33)

25

mengandung ‘Illa>t adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik,

namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat rawi yang

ghalt} (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mawqu>f atau mursal,

bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tesebut.28 ‘Illa>t

yang ada pada suatu hadis tidak tampak secara jelas melainkan

samar-samar, sehingga sulit ditemukan, kecuali oleh ahlinya29. Oleh karenanya,

hadis semacam ini akan banyak ditemukan pada tiap rawi yang tsiqa>t

sekalipun.

Kriteria Kesahihan Matan Hadis

Matan adalah penghujung sanad, yakni sabda Rasulullah saw yang

disebutkan setelah sanad. Matan hadis ialah isi hadis.30 Kajian matan penting

untuk dilakukan dalam penelitian hadis karena sanad tidak akan bernilai baik jika

matannya tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.31

Matan hadis merupakan muatan konsep ajaran Islam yang mengambil beragam bentuk, antara lain;

1) sabda penuturan Nabi (hadith qauli>), termasuk pernyataan yang mengulas

kejadian atau peristiwa sebelum periode Nubuwwah, cerita tokoh

Rasul/Nabi maupun norma syariat yang diberlakukan (sshar’uman

qablana>);

28

Ibid

29

M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 15.

30

Bustamin, Metodologi Kritik., 59.

31

(34)

26

2) Surat-surat yang dibuat atas Nabi SAW yang selanjutnya dikirim kepada

petugas didaerah atau kepada pihak-pihak non muslim, termasuk juga fakta perjanjian yang melibatkan Nabi;

3) Firman Allah yang selain al-Quran yang disampaikan kepada umat dengan

bahasa tutur Nabi (hadith qudsi>);

4) Pemberitaan yang terkait kuat dengan al-Quran, seperti interpretasi Nabi

atas ayat-ayat tertentu (tafsir nabawi), dan asba>b al-nuzu>l;

5) Perbuatan atau tidakan yang dilakukan Nabi dan diriwayatkan kembali

oleh sahabat (fi’ly). Dan lain sebagainya.32

Berbeda dengan prosedur pelaksanaan kritik sanad hadis, pada kritik matan ini para ulama tidak mengemukakan secara eksplisit bagaimana sebenarnya penerapan secara praktisnya. Namun demikian, mereka memiliki

beberapa “garis batas” yang diperpegangi sebagai tolok ukur butirnya,

meskipun tidak selalu terdapat keseragaman antara tolok ukur yang

distandarisasikan oleh seorang ulama dengan ulama lainnya.33

Al-Kha>tib al-Baghdadi, seorang ulama yang wafat pada tahun 463 H.

Menjelaskan bahwa matan hadis yang diterima sebagai hujjah (maqbu>l), harus

memenuhi sayarat-syarat berikut:

 Tidak bertentangan dengan akal yang sehat;

 Tidak bertentangan dengan hukum al-Quran yang telah muhkam;

 Tidak bertentangan dengan hadis yang mutawatir;

32

Hasyim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), 14-15.

33

(35)

27

 Tidak bertentangan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa

lalu;

 Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti;

 Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihanya lebih

kuat. 34

Keenam butir tolak ukur tersebut tampak saling tumpang tindih. Selain itu, masih ada tolak ukur penting yang tidak disebutkan, misalnya tentang susunan bahasa dan fakta sejarah.

S}a>lah al-Di>n al-Ad}aby mengemukakan bahwa pokok-pokok tolak ukur

penelitian kesahihan matan ada empat macam, yakni:

 Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran;

 Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat;

 Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah;

 Susunan pertanyaannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Tolak ukur tersebut masih bersifat global dan masih mungkin untuk dikembangkan.

Jumhur Ulama menyatakan kaidah kesahihan matan merupakan tolok ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadis. tanda-tanda hadis palsu diataranya:

 Susunan bahasa rancu;

 Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit

diinterpretasikan secara rasional;

 Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam;

34

(36)

28

 Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah;

 Isinya bertentangan dengan sejarah pasti;

 Isinya bertentangan dengan petunjuk al-Quran ataupun hadis mutawatir

yang telah mengandung suatu petunjuk secara pasti;

 Isinya berada diluar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.

Meskipun tolok ukur penelitian matan tersebut tampak menyeluruh, namun tingkat akurasinya ditentukan oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya. Untuk itu kecerdasan, keluasan pengetahuan, serta kecermatan

peneliti sangat diperlukan.35

Dalam menentukan kualitas matan hadis diperlukan dua unsur yaitu tidak

mengandung sha>dz dan tidak mengandung’illat. Kedua syarat tersebut dapat

dilakukan tahap-tahap penelitian hadis sebagai berikut: 1. Meneliti susunan redaksi matan yang semakna

2. Meneliti kandungan matan

3. Menyimpulkan hasi penelitian matan

Pengukuh dari tiga langkah metodolgis penelitian hadits ialah metode

takhrij yang berfungsi sebagai sarana pendeteksi asal hadits, kemudian

dilanjutkan dengan proses i’tibar sebagai sarana lanjutan untuk mempermudah

penelusuran dan mengetahui lafad hadits.

35

(37)

29

Takhrij dan I’tibar

Takhrij menurut bahasa berarti tampak dari tempatnya, kelihatan,

menegluarkan, dan memperlihatkan hadits pada orang dengan menjelaskan tempat

keluarnya. Menurut istilah takhrij ialah menunjukan tempat hadis dari sumber

hadis dengan menjelaskan sanad beserta derajatnya.36 Pendapat lain tentang

takhrij adalah suatu usaha untuk mengambil suatu hadits dari suatu kitab, atau

sesuatu kemampuan yang diarahkan untuk menerangkan para rawi dan derajat

hadis.37

I’tibar menurut bahasa berarti ujian atau percobaan, pertimbangan, atau

anggapan. Nuruddin ‘Itr berpendapat bahwa i’tibar secara istilah, ialah usaha

untuk meneliti suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, dengan mencermati jalur-jalur dan semua sanadnya untuk mendeteksi kemungkinan adanya riwayat lain yang serupa baik dari segi lafad atau maknanya, dari sanad itu sendiri atau dari jalur sahabat yang lain, atau tidak ada riwayat lain yang menyerupainya, baik lafad maupun makna.

Konklusinya ialah, bahwa i’tibar merupakan upaya untuk mendeteksi

kemungkinan adanya rawi lain, muttabi’ atau syahidnya hadis sebelumnya

terdeteksi menyendiri (fard). Periwayatan dari jalur lain tersebut bisa dengan

redaksi matan yang sama, maupun hanya sampai batas kesamaan subtansi.38

36

Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj Mifdlol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 189.

37

Endang Sutari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1977), 150.

38

Nur Shoimah Aprianti, Penyembuhan Aspek Fisik Dan Rohani Dengan Al-Muawwidzat

(38)

30

Istilah Muttabi’ dapat diartikan adalah hadis yang diriwayatkan oleh

periwayat lebih dari satu orang dan terletak bukan pada sahabat Nabi SAW.39

Muttabi’ adalah periwayat yang statusnya sebagai pendukung, Muttabi’ terbagi

menjadi dua macam, yaitu:

a. Muttabi’ Tam: apabila persekutuan terjadi pada awal sanad, yaitu dari guru yang terdekat sampai guru yang terjauh.

b. Muttabi’ Qashar : apabila persekutuan tidak terjadi pada awal sanad, yaitu mengikuti periwayatan guru yang terdekat tapi tidak sampai mengikuti guru yang terjauh.

Syahid adalah suatu penerimaan hadis yang berada di tingkat sahabat,

namun terdiri lebih dari satu orang.40 Definisi ini memberikan penekanan pada

unsur rawi di tingkat sahabat. Syahid terdiri dari dua macam:

a. Syahid yang sama lafadznya (Syahid Lafadz)

b. Syahid yang sama maknanya (Syahid Ma’nan).41

Jika dicermati ada dua pendapat mengenai pengertian syahid:

a. Hadis pendukung baik semakna atau tidak yang dilihat dari tingkatan sahabat

saja.

b. Hadis pendukung baik yang semakna atau tidak yang dilihat dari tingkatan

sahabat sampai periwayat akhir.

39

Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihah Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 140.

40

Ibid,164

41

(39)

31

Untuk mempermudah proses kegiatan I’tibar, diperlukan pembuatan

skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang diteliti. Dalam pembuatan skema ini, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan: 1) jalur seluruh sanad; 2) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad; 3) metode periwayatan yang digunakan masing-masing perawi.

Setelah proses takhrij dan i’tibar ini selesai, berulah dapat dilaksanakan

proses pemahaman hadis baik kritik sanad, matan, maupun pemaknaannya.

Teori ke-hujjah-an hadis

Hadis merupakan bagian wahyu, oleh sebab itu layak dijadikan sumber

hukum.42 Ulama bersepakat bahwa hadis yang dapat dijadikan hujjah adalah hadis

yang maqbul. Menurut Al-Baqi’ dan Jalaluddin al-Suyut{y, kriteria hadis maqbul

adalah sebagai berikut:43

a). Perawinya adil

b). perawinya d{abit{ sekalipun tidak sempurna

c). Sanadnya bersambung

d). Susunan bahasanya tidak rancu

e). Tidak terdapat ‘illat yang merusak

f). Mempunyai mata rantai utuh

42

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel

Pess, 2011), 57.

43

Ridlwan Nashir, Imu Memahami Hadits Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits

(40)

32

Secara kualitas, hadis terbagi dalam tiga bagian, yaitu: hadis sahih, hadis hasan dan hadis dhaif. Mengenai teori kehujjahan hadis, para ulama mempunyai pandangan tersendiri antara tiga macam hadis tersebut. bila dirinci, maka pendapat mereka adalah sebagaimana berikut:

1) Kehujjahan Hadis Sahih

Menurut ulama ushuliyyah dan para fuqaha, hadis yang dinilai sahih

harus diamalkan karena hadis sahih bila dijadikan hujjah sebagai dalil syara’.

Hanya saja menurut Muhammad Zuhri banyak peneliti hadis yang langsung mengklaim hadis yang ditelitinya sahih setelah melalui penelitian sanad saja. Padahal, untuk kesahihan sebuah hadis, penelitian matan juga sangat

diperlukan agar terhindar dari kecatatan dan kejanggalan.44 Karena

bagaimanapun juga, menurut ulama muhadditsin suatu hadis dinilai sahih, bukanlah tergantung pada banyaknya sanad. Suatu hadis dinilai sahih cukup kiranya kalau sanad dan matannya sahih, kendatipun rawinya hanya seorang

saja pada tiap-tiap thabaqa>t.45

Hadis Sahih terbagi menjadi dua yakni:

1. Hadis sahih lidzatihi, yaitu hadis yang telah memenuhi syarat-syarat

hadis maqbul secara sempurna.46

2. Hadis sahih lighairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi sifat-sifat hadis

maqbul secara sempurna, karena ia sebenarnya bukan hadis sahih

44

Muhammad Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 91

45

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahatul Hadis, Cet X, (Bandung: Al-Ma’arif, tt),, 119

46

(41)

33

namun naik derajatnya lantaran ada factor pendukung yang data

menutupi kekurangan yang ada.47

Bila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi hadis sahih terbagi dalam dua

bagian, yakni hadis maqbul ma’mulin bihi dan hadis maqbul ghairu ma’mulin

bihi. Dikatakan maqbul ma’mulin bihi apabila memenuhi kriteria sebagai

berikut:

a. Hadis tersebut muhkam yakni dapat digunakan untuk memutuskan hukum,

tanpa syubhat sedikitpun.

b. Hadis tersebut mukhtalif (berlawanan) yang dapat dikompromikan,

sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

c. Hadis tersebut rajih, yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat diantara

dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

d. Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti

kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya. 48

Sebaliknya, hadis yang memenuhi kategori Maqbul Ghairu Ma’mu>li>n

Bihi adalah hadis yang memenuhi kriteria antara lain, Mutasyabbih (sukar

dipahami), Mutawaqqaf Fi>hi (saling berlawanan namun tidak dapat

dikompromikan), Marjuh (kurang kuat dari pada hadis maqbul lainya),

Mansukh (terhapus oleh hadis maqbul yang datang berikutnya), dan hadis

maqbul yang maknanya berlawanan dengan Al-Qur’an, hadis mutawattir, akal

sehat dan ijma’ para ulama.49

47

Nashir, Imu Memahami…, 114

48

Ibid, 144

49

(42)

34

2) Kehujjahan Hadis Hasan

Pada dasarnya nilai hadis hasan hampir sama dengan nilai hadis sahih. Istilah hadis yang dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidzi ini menjadi berbeda

dengan status sahih adalah karena kualitas dhabith (kecermatan dan hafalan)

pada perawi hadis hasan lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadis

sahih.50

Hadis hasan terbagi menjadi dua yakni:

a. Hadis hasan lidzatihi, yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan para

perawi-perawi yang adil dan daya ingatannya kurang sempurna mulai dari

awal sanad sampai akhir sanad tanpa ada kejanggalan (shuz}uz) dan cacat

(‘illat) yang merusak.51

b. Hadis hasan lighairihi, yaitu hadis d{a’if yang mempunyai banyak perawi

yang meriwayatkannya dan sebab ked{a’ifannya tidak disebabkan perawi atau orang yang tertuduh kuat senang berbohong.52

Dalam hal kehujjahan hadis hasan para muhadditsin, ulama ushul fiqh

dan para fuqaha juga hampir sama seperti pendapat mereka terhadap hadis sahih, yaitu dapat diterima dan dapat digunakan sebagai dalil atau hujjah dalam penetapan hukum. Namun ada juga ulama seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah yang tetap berprinsip bahwa hadis sahih tetap sebagai hadis

yang harus diutamakan terlebih dahulu karena kejelasan statusnya.53 Hal itu

lebih ditandaskan oleh mereka sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak

50

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 229

51

Ibid., 120.

52

Ibid., 121.

53

(43)

35

sembarangan dalam mengambil hadis yang akan digunakan sebagai hujjah dalam penetapan suatu hukum.

3) Kehujjahan Hadis D}aif

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadis d}aif. Dalam hal

ini ada dua pendapat yang dikemukakan oleh para ulama:

a. Melarang secara mutlak. Walaupun hanya untuk memberi sugesti amalan

utama, apalagi untuk penetapan suatu hukum. Pendapat ini dipertahankan

oleh Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi.

b. Membolehkan sebatas untuk memberi sugesti, menerangkan fad}a’il al

-‘amal dan cerita-cerita, tapi tidak untuk penetapan suatu hukum. Ibnu

Hajar al-Asqalani adalah salah satu yang membolehkan berhujjah dengan

menggunakan hadis dhaif,54 namun dengan mengajukan tiga persyaratan:

a) Hadis d}aif tersebut tidak keterlaluan.

b) Dasar amal yang ditunjukan oleh hadis d}aif tersebut, masih dibawah

suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan).

c) Dalam mengamalkannya tidak meng-i’tikad-kan bahwa hadis tersebut

benar-benar bersumber kepada Nabi. 55

Teori Pemaknaan Hadis

Selain dilakukan pengujian terhadap otentias dan kehujjahan hadis, langkah lain yang perlu dilakukan adalah pengujian terhadap pemaknaan hadis. Hal ini perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa mayoritas hadis yang

54

Rahman, Ikhtisar 229

55

(44)

36

diriwayatkan adalah secara makna,56 dan hal itu dapat berpengaruh terhadap

makna yang dikandung, dan juga dalam penyampaian hadis Nabi selalu menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang dipakai oleh orang yang diberi pengajaran hadis, sehingga hal itu membutuhkan pengetahuan yang luas dalam memahami ucapan Nabi SAW.

Menurut Bustamin dan M. Isa langkah yang dapat ditempuh dalam

meneliti sebuah matn hadis dan memahami sebuah makna hadis antara lain:

1. Dengan menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema yang sama.

2. Meneliti matn suatu hadis dan memahaminya dengan bantuan hadis s}ahi>h.

3. Meneliti dan memahami matn sebuah hadis dengan pendekatan al-Qur’an.

4. Meneliti dan memahami matn hadis dengan pendekatan bahasa.

5. Meneliti dan memahami matn hadis dengan pendekatan sejarah (teori asba>b

al-wuru>d). 57

Berdasarkan teori di atas, maka langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk dapat memahami makna sebuah hadis yaitu :

1. Dengan pendekatan al-Qur’an. Sebagai penjelas makna al-Qur’an, makna

kandungan hadis harus sejalan dengan tema pokok Alquran.

2. Dengan munghimpun hadis-hadis dalam tema yang sama.

3. Dengan menggunakan pendekatan bahasa (untuk mengetahui bentuk ungkapan

hadis dan memahami makna kata yang sulit).

56

Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis Tentang Riwayat bi al-Ma’na dan

Implikasinya bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), 86-87.

57

(45)

37

4. Dengan memahami maksud dan tujuan yang menyebabkan hadis tersebut

disabdakan (teori asba>b al-wurud).

5. Dengan mempertimbangkan kedudukan Nabi ketika menyabdakan suatu hadis

(teori maqa>mat). Adakalanya sebagai Rasul, Nabi, suami, rakyat biasa dan

(46)

38

BAB III

BIOGRAFI ABU< DA<WUD DAN TINJAUAN HADIS TENTANG

GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF HADIS

A. Biografi Imam Abu> Da>wud

Abu> Da>ud bernama Sulaiman bin ‘Asy‘as bin Ishaq bin Basyi>r bin Syadad

bin ‘Umar bin Imran.1 Imran Al-Azdiy seorang leluhur Abu> Da>wud berperan aktif

dalam kesatuan tentara pendukung Khalifah Ali bin Abi T}a>lib pada perang

Shiffin.2 Ia (Abu> Da>wud) adalah seorang Imam Hadis yang sangat teliti, tokoh

terkemuka dan pengarang kitab Sunan yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H atau 817 M di Sijistan, suatu daerah yang

terletak di Basrah.3 Dan wafat pada tahun 275 H di kota Basrah pada tanggal 16

syawal 275.4

Abu> Da>wud terlahir di tengah-tengah keluarga yang religius, orang tuanya tergolong hamba yang patuh menjalankan perintah Allah dan menjauhi

larangan-Nya. Sejak kecil Abu> Da>wud telah dikenalkan kepada ilmu keislaman yang sangat

kaya. Kedua orang tuanya mendidik dan mengarahkan Abu> Da>wud agar menjadi

tokoh intelektual Islam yang disegani.5

Abu> Da>wud mengawali pendidikannya dengan belajar bahasa Arab, Al-Quran, dan pengetahuan agama lain. Sampai pada usia 21 tahun beliau telah

1

Kamil Muhammad Muhammad Uwaidhah, Abu> Da>wud (Beirut: Da>rul Kutub al-Ilmiyah, 1996), 5.

2

Muhtadi Ridwan, Studi Kitab-Kitab Hadis Standar (Malang: UIN Maliki Press, 2012), 67.

3

Zainul Arifin, Study Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 113.

4

Muhammad Uwaidhah, Abu> Da>wud..., 19.

5

(47)

39

bermukim di Baghdad. Kemudian ia melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadis ke berbagai tempat, seperti Hijaz, Syam, Mesir , Khurasan,

Ray, Harat, Kufah Tarsus, Basrah dan Baghdad..6 Sehingga Abu> Da>ud mampu

menguasai ilmu Hadis, ‘Illat Hadis, Jarh}wa ta‘di>l, ma‘rifat ar-Rija>l dan Dirasah al

Asa>nid, dan ilmu fiqh.7

Abu> Da>wud memperkirakan ada sejumlah 300 orang ulama Hadis yang bertindak sebagai guru Hadisnya, sehingga dengan jumlah sekian itu kemungkinan menyatu dengan guru Hadis Imam Bukhari dan Imam Muslim

terbuka lebar.8 Pencarian ilmu ke berbagai negara tersebut membantu Abu> Da>wud

untuk memperoleh pengertian luas tentang hadis. kemudian hadis-hadis yang diperoleh itu disaring dan hasilnya dituangkan dalam kitabnya yaitu as-Sunan. Abu> Da>wud mengunjungi Bashrah berkali-kali, disana Ia mengajarkan hadis dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Abu> Da>wud tinggal di Bashrah atas permintaan gubernur Bashrah saat itu yakni

Abu> Ahmad. Kota Bashrah saat itu dilanda paceklik disebabkan serangan Zani.

Setelah tinggal di Basrah Abu> Da>wud menjadi guru Hadis dan fiqh.9

1. Guru-Guru dan Murid-Murid Abu> Da>wud

Beberapa ulama yang menjadi guru Imam Abu> Da>wud, diantaranya:

a. Makkah berguru pada al-Qa’naby dan Sulaiman bin Harb.

6

Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005), 55

7

Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: Fakultas

Ushuluddin, IAIN Sunan Ampel, 2003), 62.

8

Ibid, 9

(48)

40

b. Bashrah berguru kepada Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja, Abu> al

Walid al Thoyalisy dan Musa bin Ismail

c. Kufah berguru pada al-Hasan bin la-Rabi’ al Burany, Ahmad bin Yunus al

Yarbu’iy dan Thoifah.

d. Halab berguru pada Abu> Taubah al al-Rabi’ bin Nafi’.

e. Hiran berguru pada Abu> Ja’far al-Nufaily, Ahmad bin Abi Syua’ib, dan

Uddah.

f. Hims berguru pada Haywah bin Syuraih dan Yazid bin Abi Robah.

g. Khurasan gurunya bernama Ishaq bin Rahawaih, Shafwan bin Shalih dan

Hisyam bin Ammar.

h. Baghdad berguru pada Ahmad bin Hanbal.

i. Balkh nama gurunya Qutaibah bin Sa’id.

j. Mesir berguru pada Ahmad bin Shalill.

k. Guru-guru Abu> Da>wud yang lain adalah Ibrahim bin Basyar al Ramady,

Ibrahim bin Musa al Fara’, Ali bin al Madiny, al Hakam bin Musa, Kholaf

bin Hisyam, Sa’id bin Mansyur, Sahal bin Bakar, Syadz bin Fiyadh, Abu>

Ma’mar Abdullah bin Amr al Maq’ad, Abdurrahman bin al Mubarak al

‘Aisyi, Abdussalam bin Muthohar, Abdul Wahbah bin Najdah, Ali bin

Ja’d, Amr bin Aun, Ama bin Marzuq, Muhammad bin al Shobah al

Daulaby, Muhammad bin Kathi>r al ‘Abdy, Musaddad bin Musarhad,

Muadz bin As‘ad, Yahya bin Ma’in, dan banyak ulama yang lainnya lagi.10

10

(49)

41

Ulama-ulama yang meriwayatkan Hadisnya dan menimba ilmu

darinya antara lain Abu> Ishaq al-Thirmidzy, Abu> Abdurrahman al-Nasa’i,

putranya sendiri Abu> Bakar bin Abu> Da>wud, Abu>‘Awanah, Abu> Sa’id al

-‘Araby, Abu> Ali al-Lu’lui, Abu> Bakar bin Dassah, Abu> Salim Muhammad

bin Sa’id al-Jalwady, Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim bin Ya’qub bin Yusuf

al-Iskandarani, Abu> Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin S}a>lih bin Sunan

al-Qurasyi al-Dimasyqi, Abu> al-Abbas Abyad} bin Muhammad bin Asyhab

bin Abdul Aziz al-Qaisi al-Amiri, Ahmad bin al-Hasan bin Ishaq bin

Uthbah al-Razi, Abu> al-Hasan Ahmad bin ‘Umair bin Yusuf bin

al-Jawasha al-Dimasyqi al-Hafidz, Ahmad bin Isa al-Qummi, Ahmad bin

Mahbub al-Ramli, Abu> Bakr Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin

as-Sunni, Abu>Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Ismail bin Yunus al-Nahwi,

dan lain-lain.11

2. Karya-karya kitab Abu> Da>wud

Adapun karya-karya Abu> Da>wud, antara lain:

a. Kitab as-Sunan, (salah sau dari kitab Hadis standart yang telah banyak

dicetak di berbagai negara Islam).

b. Kitab al-Marasil, (telah dicetak lebih dari satu kali).

c. Kitab al-Qadr, (memuat penolakan terhadap orang-orang Qodariyah).

d. Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh

e. Fad}ail al-Amal

f. Kitab az-Zuhd

11

(50)

Gambar

Tabel periwayatan sebagai berikut
Tabel periwayatan sebagai berikut
Tabel periwayatan sebagai berikut

Referensi

Dokumen terkait

a. Takhri&gt;j al-hadi&gt;th , yaitu meneliti keberadaan hadis dalam kitab-kitab yang mu’tabarah. Kritik sanad hadis , yaitu meneliti para perawi dengan cara

temannya atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayanya dari para penysun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. 22 Dari berbagai

[r]

Adapun dalam penelitian hadis tentang silaturrahmi ini menghasilkan bahwa hadis tersebut bernilai s}ah}i&gt;h} li Dha&gt;tihi karena adanya sanad yang muttas}il dari

mereka pada hari kiamat. Yang mana hadis tersebut bersifat mendukung hadis yang penulis teliti yang bermakna bahwasannya Rasulallah telah menganti perayaan dua hari tersebut

Sudah dapat dilihat bahwa kritik atau komentar matan berdasarkan beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa hadis diperbolehkannya air kencing unta menjadi bagian dari

D engan melihat skema sanad gabungan diatas, maka dapat diketahui bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalur Muslim bin Ibrahim, Aban, Yahya bin

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kedua hadis tersebut bertentangan sehingga dalam kajian mukhtalif al-h}adi&gt;th, jika terdapat dua hadis yang saling