• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK RUQYAH SHAR'IYYAH DALAM SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 3891.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TEKNIK RUQYAH SHAR'IYYAH DALAM SUNAN ABU DAWUD NOMOR INDEKS 3891."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH

D

ALAM SUNAN ABU< DA<WUD NOMOR

INDEKS 3891

SKRIPSI

Oleh:

M. FATHURROHMAN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

NIM: E03212058

(2)

TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH D

ALAM SUNAN ABU<

DA<WUD NOMOR

INDEKS 3891

Skripsi

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)

Ilmu Tafsir dan Hadis

Oleh:

M. Fathurrohman NIM: E03212058

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Hadis Tentang Teknik Ruqyah Shari’iyyah

Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3891

Oleh: M. Fathurrohman

Ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu cara pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Saw. Namun dewasa ini banyak praktik teknik ruqyah yang tidak syar’i sehingga dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam proses ruqyah shar’iyyah yang tidak disyariatkan. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (2) Bagaimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (3) Bagaimana pemaknaan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitan tersebut dilakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab-kitab hadis dan sharh hadisnya,. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhrij terhadap hadis yang diteliti, melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadis yang diteliti dan mencari pemahaman dari pemaknaan hadis ini. Adapun hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud ini bernilai S}ah}i>h} li Dha>tihi karena

sudah memenuhi kriteria ke-S}ah}i>h}-an hadis dan juga hadis ini dapat dijadikan hujjah serta dapat diamalkan (maqbu>l ma‘mu>l bih) karena termasuk hadis muhka>m. Adapun pemahaman tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud bahwa (a) ruqyah merupakan pengobatan ilahiyah dan T}ibbu an- Naba>wi yang di dalamnya mengandung dhikrullah, tauh}i>d (berharap hanya kepada-Nya) dan meminta pertolongan dengan kemuliaan serta kekuasaan-Nya. Karena segala penyakit datangnya dari Allah, dan kesembuhan datangnya juga dari Allah. Sementara Rasulullah Saw telah mengajarkan bagaimana teknik-teknik cara pengobatan ila>hiyah yang benar sehingga dapat menyebabkan kesembuhan. (b) Ruqyah Shar’iyyah merupakam sebuah terapi syar’i dengan cara membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dan do’a-do’a perlindungan yang bersumber dari Rasulullah Saw. (c) Ruqyah Shar’iyyah bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan bagi orang yang terkena gangguan dan penyakit.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Dalam hal ini terdapat dua sumber pengetahuan yaitu sumber pengetahuan

naqli dan ‘aqli. Sumber pengetahuan yang bersifat naqli ini merupakan pilar

dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik

dalam agamanya secara khusus, maupun dalam masalah dunia pada

umumnya. Adapun sumber yang paling otentik bagi umat Islam dalam hal ini

adalah al-Qur’an dan al-Hadis.1

Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik

berupa perkataan, perbuatan, taqri>r (diamnya) maupun sifatnya.2 Kandungan al-Quran ada yang bersifat ijma>li>(global) dan umum, ada yang bersifat tafs}iliy (detail). Hal-hal yang bersifat umum, sudah barang tentu membutuhkan

penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai petunjuk

dan kaidah hidup manusia. Muhammad sebagai Rasulullah telah diberi tugas

otoritas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an itu. Bahkan untuk hal-hal

yang bersifat teknis, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan lisan, tetapi juga

1 Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta Timur:

Pustaka Al-Kautsar, 2005), 19.

2 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terj. Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,

(9)

2

langsung amalan praktis.3 Umat Islam zaman dahulu hingga sekarang telah

sepakat, terkecuali orang-orang yang berpaling menyalahinya, bahwa Hadis

Nabi merupakan salah satu sumber hukum Islam.4

Terkait dengan Hadis sebagai sumber hukum Islam, salah salah satu

ajaran yang terkandung di dalamnya adalah ajaran ruqyah shar’iyyah. Musdar Bustaman Tambusai memberikan penjelasan tentang ruqyah shar’iyyah di dalam bukunya yang berjudul Halal-Haram Ruqyah, bahwa ruqyah berasal dari bahasa Arab dengan makna yang sangat luas. Lafaz “ruqyah” diambil dari kata kerja: raqa – yarqi. Secara bahasa (etimologi), ruqyah berarti al-‘audhah atau at-ta’wi>dh, yaitu meminta perlindungan (isti’a>dhah). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, ruqyah dapat pula diartikan sebagai jampi atau mantra.5 Namun kata mantra dalam dunia magic dapat dipahamhi sebagai kata sandi atau password. Oleh karena itu tidak pas apabila kata ruqyah diterjemahkan sebagai mantra. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),

mantra didefinisikan sebagai “Perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan

gaib misalnya dapat menyembuhkan penyakit, mendatangkan celaka dan lain

sebagainya.”6 Atau “Susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang

3 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, t.th.), 55. 4Ibid., 45.

(10)

3

dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan dukun atau pawang

untuk menadingi kekuatan gaib lain.7

Dari dua definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di

atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dibacakan oleh dukun atau

paranormal kepada pasiennya dapat dikatakan ruqyah dalam pengertian mantra. Namun dalam terminologi syariat, mantra tidak termasuk dalam

kategori ruqyah shar’iyyah yang dibolehkan karena ruqyah bukanlah segala macam ucapan atau perkataan yang bisa diambil dari manapun. Ruqyah bukanlah kata-kata yang tidak dapat dipahami, bukan pula kata-kata bijak

seorang dukun atau paranormal, bukan pula ucapan ulama atau para wali,

tetapi ruqyah shar’iyyah adalah bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.8

Adapun definisi ruqyah shar’iyyah sangat beragam sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, tetapi di antara definisi-definisi itu yang paling

representatif adalah definisi yang diberikan oleh Syaikh Abul Aliyah

Muhammad bin Yusuf Al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ruqyah al-Shar’iyyah

min al-Kita>b wa al-Sunnah sebagaimana yang dikutip oleh Musdar Bustaman

Tambusai dalam bukunya Halal-Haram Ruqyah, bahwa “Ruqyah shar’iyyah adalah meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan cara membacakan

sebagian ayat-ayat al-Qur’an, nama-nama Allah, dan sifat-sifat-Nya, disertai

7 Ibid.

(11)

4

dengan membacakan doa-doa yang syar’i dengan bahasa Arab atau dengan

bahasa yang dapat dipahami maknanya lalu ditiupkan.”9

Sesungguhnya al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi siapa saja

yang percaya dan mengamalkan serta membacanya untuk mendapatkan

kesembuhan dari Allah SWT dengan meyakini bahwa kesembuhan itu

datangnya dari Allah SWT dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang

dan yang menurunkan Alquran. Maka tidak mengherankan jika dahulu para

salafu as-s}alih selalu berobat dengan Qur’an, sampai-sampai Ibnu

al-Qayyim al-Jauziyah pun pernah berkata bahwa “barangsiapa yang tidak

mendapatkan kesembuhan melalui al-Qur’an maka Allah tidak akan

menyembuhkannya.”10

Dewasa ini, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan

atau mengobati penyakit. Bisa dengan datang kepada dokter dan berobat

kepadanya, klinik kesehatan, rumah sakit, tabib, pengobatan alternatif, atau

cukup dengan meminum obat yang dapat dibeli di apotek. Semua pilihan tadi

tentunya bergantung pada diri masing-masing yang disesuaikan dengan

kayakinan, kecocokan, dan kemampuan ekonomi. Jika melihat dari jenis-jenis

pengobatan yang ada, secara umum terbagi pada dua jenis pengobatan, yakni

pengobatan medis dan pengobatan alternatif. Keduanya merupakan pilihan,

9 Ibid.,10.

10 Abul Fida’ Muhammad Izzat Muhammad Arif, Terapi Ayat Alquran Untuk Kesembuhan, terj. Saiful

(12)

5

bergantung keinginan dan keyakinan individu untuk mendapatkan

kesembuhan penyakit dengan lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya.

Terapi ruqyah shar’iyyah merupakan bagian dari pengobatan alternatif, cukup dengan membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an atau dengan

membacakan doa yang diajarkan oleh Rasulullah segala macam penyakit bisa

disembuhkan. Tentu saja kesembuhan itu semata-mata bisa terjadi atas izin

Allah Swt. zat yang menurunkan penyakit dan yang menyembuhkan. Adapun

manusia sebagai makhluk yang hanya berusaha mendapatkan kesembuhan

sementara hasilnya hanya Allah yang bisa menentukan.11

Di Indonesia, terapi ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu terapi yang muncul secara fenomenal pada tahun 2000-an hingga saat ini di

kota-kota besar hampir semua orang tahu apa itu ruqyah shar’iyyah, walaupun dari segi pemahaman mereka tentang ruqyah shar’iyyah dan praktiknya terdapat hal yang perlu diluruskan. Salah satunya adalah terkait teknik ruqyah

shar’iyyah itu sendiri. Ada persepsi di tengah masyarakat khususnya umat

Islam, bahwa semua ruqyah itu boleh dan benar asal yang melakukannya adalah seorang kiai, ustadz, buya, abah, atau wak haji meskipun dalam

praktiknya ada jimat, rajah, al-Qur’an yang ditulis sebagai tangkal dan

11 Lutfil Kirom Az-Zumaro, Ajaibnya Pengobatan Air Yang Didoakan, (Yogyakarta: Semesta Hikmah,

(13)

6

syarat yang tidak syar’i seperti minum air dari tujuh sumur masjid dan lain

sebagainya.12

Rasulullah merupakan teladan terbaik sepanjang zaman bagi manusia

khususnya umat Islam dalam segala hal, tidak terkecuali dalam masalah

pengobatan. Salah satu metode yang Rasulullah ajarkan dalam mengobati

penyakit selain menggunakan ramuan herbal dan bekam adalah dengan terapi

ruqyah shar’iyyah. Dalam melakukan ruqyah, Rasulullah menggunakan

beberapa teknik, diantara teknik tersebut adalah menggunakan teknik usapan

dan do’a sebagaimana yang dituturkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh

‘Uthma>n bin Abu> Al-‘Ash yang berbunyi:

ْعك نْب َا دْبع نْب ورْمع نأ ةفْيصخ نْب ديزي ْنع كلام ْنع يبنْعقْلا َا دْبع انثدح

يمُلا ب

هربْخأ سو هْيع َا ى ص يبنلا ىتأ هنأ صاعْلا يبأ نْب نامْثع ْنع هربْخأ ريبج نْب عفان نأ ا

ْحُْما سو هْيع َا ى ص َا وسر اقف ا ينكْهي داك ْد عجو يبو نامْثع

عْبس كنيميب ه

زع َا به ْذأف كلذ تْ عفف ا دجأ ام رش ْنم هترْد و َا ةزعب ذوعأ ْل و تارم

ناك ام لجو

ْ ه رْيغو ي ْه أ هب رمآ ْ زأ ْ ف يب

13 .

Telah menceritakan kepada kami Abdullah Al Qa'nabi dari Malik dari Yazid bin Khushaifah bahwa 'Amru bin Abdullah bin Ka'b As Sulami telah mengabarkan kepadanya, bahwa Nafi' bin Jubair mengabarkan kepadanya dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa ia telah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -Utsman berkata; sementara aku sedang sakit yang hampir membinasakanku- Utsman berkata, "Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Usaplah menggunakan tangan kananmu sebanyak tujuh kali, lalu ucapkanlah: A'U<DHU BI 'IZZATILLA<HI WA QUDRATIHI MIN SHARRI MA< AJIDU (Aku berlindung kepada kemuliaan Allah dan kemampuan-Nya dari keburukan yang aku temui) '." Utsman berkata, "Lalu aku melakukan hal tersebut, maka Allah 'azza wajalla menghilangkan apa yang ada padaku, dan aku selalu memerintahkan keluargaku dan yang lainnya untuk mengucapkannya.

12 Tambusai, Halal-Haram…,5

(14)

7

Hal menarik di sini yang perlu untuk diteliti lebih dalam adalah,

apakah status hadis di atas benar-benar sahih dan dapat diamalkan sehingga

umat Islam memiliki alternatif untuk mendapatkan kesembuhan tanpa harus

datang ke dokter. Juga apakah teknik dan bacaan do’a di atas dapat

memberikan efek berupa kesembuhan karena yang membacakannya adalah

seorang sahabat Nabi, ataukah dapat juga dilakukan oleh setiap umat Islam.

Tidak hanya berhenti sampai disitu, hal yang juga penting untuk diketahui

adalah bagaimana saja teknik ruqyah shar’iyyah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sehingga umat Islam tidak terjebak ke dalam praktik ruqyah shirkiyyah.

Dari permasalahan di atas, pembahasan tentang ruqyah shar’iyyah ini bukan hanya sekedar menarik tetapi sangat penting untuk diteliti. Dalam

penelitian ini penulis ingin mengkaji hadis-hadis tentang teknik ruqyah

shar’iyyah dengan memfokuskan penelitian pada hadis dengan nomor indeks

3891, di mana pada hadis tersebut perlu diadakan pen-takhrij-an secara menyeluruh, meneliti keshahihan hadis baik dari segi sanad maupun

matannya, kehujjahan hadis serta pemaknaannya.

B. Rumusan Masalah

(15)

8

1. Bagaimana kualitas hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?

2. Bagimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?

3. Bagaimana pemaknaan hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d 3891?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Mengetahui kualitas sanad dan matan hadis dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.

2. Mengetahui kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.

3. Memahami tentang pemaknaan hadis yang menerangkan tentang

teknik terapi ruqyah shar’iyyah no indeks 3891.

Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan penelitian ini memberi manfaat:

1. Secara teoritik: diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi

bagi perkembangan pemikiran dalam dunia pengobatan alternatif serta

(16)

9

2. Secara praktis: diharapkan penelitian ini dapat diaplikasikan sehingga

terapi ruqyah dapatdilakukan secara shar’i.

3. Secara institusional: diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh

mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel

Surabaya untuk melakukan penelitian berikutnya.

4. Untuk menambah pengetahuan bagi diri penulis pribadi dan

masyarakat luas tentang bagaimana kualitas dan pemaknaan hadis

yang menerangkan tentanng teknik ruqyah shar’iyyah. D. Penegasan Judul

Agar lebih mudah memahami penulisan skripsi ini, maka penulis akan

mengemukakan pengertian dari kata atau istilah penting sesuai dengan

pembahasan pada judul: “TEKNIK RUQYAH SHAR’IYYAH DALAM SUNAN ABU< DA<WUD NO INDEKS 3891.”

Adapun pengertian dari kata atau istilah penting tersebut adalah:

1. TEKNIK : Metode atau cara mengerjakan sesuatu14

2. RUQYAH : Meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan

doa yang diajarkan Rasulullah atau dengan ayat Alquran

3. SHAR’IYYAH : Yang berdasarkan syariat

Penelitian ini merupakan upaya untuk mendapatkan informasi tentang

teknik ruqyah shar’iyyah dari dalam kitab Sunan Abu> Da>wud setelah

(17)

10

dilakukan penelitian terkait kualitas hadis, kehujjahanserta pemaknan tentang

hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah.

E. Telaah Pustaka

Dalam menciptakan orisinalitas karya tulis ilmiah, cara yang dapat ditempuh adalah melakukan kajian yang merupakan rekomendasi dari

penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan pihak lain.15 Adapun

setelah dilakukan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang

berkaitan dengan pengobatan penyakit fisik dengan terapi ruqyah shar’iyyah belum banyak ditemukan, karena pada umumnya penelitian tentang ruqyah

shar’iyyah lebih difokuskan untuk mengobati atau mengusir gangguan jin dan

sihir. Di antaranya adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Mizan Anshori dari Fakultas Dakwah Universitas

Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Ruqyah Syar’i Penawar Sihir Dan

Kesurupan Jin. Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui bagaimana

konsep dasar dan pelaksanaan ruqyah shar’iyyah sebagai penawar atau penyembuh terhadap pasien yang terkena guna-guna sihir dan kesurupan

jin di pondok Baitussalam Prambanan Yogyakarta.

2. Skripsi yang ditulis oleh Duwiyati dari Fakultas Dakwah Universitas

Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Terapi Ruqyah Syar’iyyah Untuk Mengusir Gangguan Jin.” Tidak jauh berbeda dengan skripsi yang ditulis

(18)

11

oleh Mizan Anshori di atas, skripsi yang ditulis oleh Duwiyati ini juga

bertujuan untuk mengetahui konsep dasar terapi ruqyah syar’iyyah yang dipraktekkan di Baitur Ruqyah Syar’iyyah Kotagede, Yogyakarta.

3. Skripsi yang ditulis oleh Siti Fatimah dari Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat yang berjudul “Ludah Dan Tanah Sebagai Obat Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3895” Fokus penelitian skripsi ini adalah tentang khasiat ludah dan tanah sebagai obat serta kehujjahan hadis tersebut.

Dari ketiga skripsi di atas, belum ditemukan adanya tema yang sama

dengan penelitian yang hendak penulis lakukan. Selain obyek penelitiannya

berbeda, konsentrasi yang diteliti juga berbeda dengan penelitian-penelitian di

atas sehingga masih terdapat ruang penelitian yang sangat luas untuk meneliti

hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberi

kontribusi positif terhadap khazanah keilmuan Islam dalam bidang

pengobatan dengan ayat-ayat suci al-Quran dan doa-doa yang diajarkan Nabi

atau yang lebih dikenal dengan istilah ruqyah shar’iyyah. F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti

(19)

12

empiris dan sistematis.16 Berikut akan dipaparkan metode yang digunakan

dalam penelitian ini.

1. Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

library research, yaitu suatu riset kepustakaan dengan menggunakan metode

kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperoleh

dari perpustakaan berupa buku-buku, kitab-kitab, naskah-naskah atau surat

kabar yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini.17

2. Metode Pengumpulan Data

Sebagaimana disebut di atas bahwa penelitian ini bersifat liberary

research. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan

dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yakni mencari data-data hadis

yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

3. Sumber Data

Dilihat dari sumber datanya, maka dapat dikualifikasikam menjadi dua sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer

merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data, sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang

16 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 2.

(20)

13

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.18 Adapun dalam

penelitian ini, sumber primer dan sumber sekunder yang penulis gunakan

antara lain:

a. Sumber Primer

1) Sunan Abu> Da>wud karya Sulaiman ibn al-Ash’as ibn Ishaq ibn Bashir ibn Shidad ibn Amr al-Azdi al-Sijistani.

2) ‘Aun al-Ma‘bu>d Sharh Sunan Abu> Da>wud karya Shamsul H}aq ‘Adhim ‘Abadiy.

b. Sumber Sekunder

1) H}alal-H}aram Ruqyah karya Musdar Bustaman Tambusai

2) Terapi Qur‘ani karya Achmad Zuhdi

3) At}-T}ib An-Nawa>wi, karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah

4) Kaidah Kesahihan Hadis karya Syuhudi Ismail

5) Metodologi Penelitian Hadis karya Syuhudi Ismail

6) Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis karya Umi

Sumbulah

7) Studi Kitab Hadis karya Zainul Arifin

8) Pengantar Studi Ilmu Hadis, karya Manna’ Al-Qaththan

dan karya lain yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian

ini.

(21)

14

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam

dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan

meliputi dua komponen tersebut.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan

pendekatan keilmuan rija>l al-hadith dan al-jarh} wa al-ta’dil dengan mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut

(tah}ammul wa al-ada>). Hal ini dilakukan agar supaya diketahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang periwayat serta validitas pertemuan

antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.19

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan

menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan

penegasan eksplisit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah,

informasi hadis-hadis lain yang berkualitas sahih serta hal-hal yang oleh

masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.20

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian ini, maka perlu

adanya sistematika pembahasan sebagai berikut:

(22)

15

BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka,

metodologi penelitian serta sitematika pembahasan. Bab ini

digunakan sebagai pedoman acuan dan arahan sekaligus target

penelitian agar penelitian dapat terarah dan pembahasannya tidak

melebar.

BAB II Kerangka Teoritis, yang membahas tentang kriteria kesahihan hadis, teori kehujjahan hadis, teori pemaknaan hadis, lambang

periwayatan. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolok

ukur dalam penelitian ini.

BAB III Data penelitian, yang membahas tentang biografi singkat Abu> Da>wud dan kitab sunannya, komentar ulama terhadap Abu> Da>wud

dan Kitab Sunannya, data hadis serta hadis penunjang dari kitab

lainnya.

BAB IV Analisis data, yang berisi analisis dan pembahasan hadis tentang terapi ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud. Bab ini mencakup penelitian sanad, matan, kehujjahan dan pemaknaan

hadis.

(23)

16

pertanyaan dan bab ini juga berisi saran-saran yang konstruktif

(24)

BAB II

TEORI KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

A. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis

Keadaan sanad dan matan hadis sangat beragam. Hal itu dapat

dimaklumi karena kualitas dan kapasitas intekektual periwayat yang

terlibat dalam periwayatan hadis juga sangat beragam. Sehingga hal

tersebut memengaruhi kualitas hadis. Suatu hadis dapat dikategorikan

sebagai hadis sahih jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sanadnya bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat

dalam sanad hadis dari periwayat pertama hingga akhir terus

bersambung. Rangkaian periwayat hadis mulai dari mukha>rrij

sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi saling memberi dan

menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya;

keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu

hadis.1

Di kalangan ulama hadis terkait dengan bersambungnya sanad

dikenal juga dengan sebuah istilah hadis muttas}il atau hadis

maus}ul. Hadis muttas}il atau maus}ul adalah hadis yang bersambung

sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun

hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi hadis muttas}il atau

(25)

18

maus}ul ada yang marfu>’ (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang

mauqu>f (disandarkan kepada sahabat Nabi).2

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad,

biasanya ulama hadis menempuh cara sebagai berikut:

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang

diteliti.

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat

melalui kitab-kitab rija>l al-h}adis, misalnya kitab

Tahdhi>b al-Tahdhi>b, susunan Ibn Hajar al-‘Atsqalaniy,

Tahdhi>b Al-Kama>l, susunan Al-Mizziy dan kitab

al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy.

Sehingga dari kitab-kitab ini dapat diketahui

kredibilitias periwayat serta hubungan kesamaan zaman

dan hubungan antara guru dan murid dalam

periwayatan hadis.

c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para

periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad,

yakni apakah kata-kata yang dipakai berupa h}addatsani>,

h}addatsana>, akhbarana>, ‘an, anna atau kata-kata

lainnya.3

Jadi suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila

seluruh periwayat dalam sanad itu thiqah (‘adil dan d}a>bit}) dan

(26)

19

antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat

sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan

periwayatan hadis.

2. Periwayat bersifat adil

Sifat adil adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh

seorang periwayat yang dapat dipercaya. Periwayat yang tidak

termasuk adil tidak dapat diterima riwayatnya, walaupun misalnya

periwayat itu memiliki hafalan yang sempurna. Ketidakadilan

seseorang menjadikan diri orang itu tidak dapat dipercaya

riwayatnya.4

Kata ‘adil berasal dari bahasa arab yang berarti

pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan

secara istilah para ulama berbeda pendapat.5 Al-Sauka>ni> dan

Al-Ghaza>li> memberikan kriteria perawi yang adil adalah setiap perawi

yang beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru>’ah, tidak

berbuat dosa besar seperti syirik, menjahuhi (tidak selalu berbuat)

dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat

merusakkan muru>’ah.6

Secara umum dapat dinyatakan, ulama telah

mengemukakan cara penetapan kadilan periwayat hadis yakni

berdasarkan:

4 Ibid.,128.

(27)

20

a. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya,

misalnya Ma>lik bin Anas dan Sufyan al-Sauriy, tidak

lagi diragukan keadilannya.

b. Penilaian dari kritikus periwayat hadis; penilaian ini

berisi pengugkapan kelebihan dan kekurangan yang ada

pada diri periwayat hadis.

c. Penerapan kaedah al-jarh} wa al-ta’di>l, cara ini

ditempuh, bila para kritikus periwayat hadis tidak

sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.

Khusus untuk para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama

menilai mereka bersifat adil. Oleh karena itu, dalam proses

penilaian periwayat hadis, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh

ulama hadis dari segi keadilan sahabat.7

Ta’dil dapat diterima tanpa menyebutkan alasan dan

sebabnya menurut pendapat yang s}a>h}i>h} dan mashhu>r, karena

sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. Sedangkan jarh}

tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu

terjadi disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya.8

3. Periwayat bersifat d}a>bit}

Menurut Ibn Hajar al-‘Athqa>laniy dan as-Sakha>wiy, yang

termasuk dalam kriteria periwayat yang bersifat d}abit} ialah orang

7 Ibid., 119.

8Manna Al-Qaththan, Maba>hith Fi> ‘Uluumi Al-Hadi>th, ter. Mifdhol Abdurrahman,

(28)

21

yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan

mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia

menghendakinya.9

Ada pula ulama yang menyatakan, orang d}abit} ialah orang

yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia

memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia

menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal

dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya

itu kepada orang lain dengan baik. Sebagian ulama menyatakan,

orang yang d}a>bit} ialah orang yang mendengarkan riwayat

sebagaimana seharusnya; dia memahaminya dengan pemahaman

yang mendetail dan dia hafal dengan sempurna, dan dia memiliki

kemampuan yang demikian itu mulai dari saat dia mendengar

riwayat sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang

lain.10

Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan,

maka kriteria sifat d}a>bit} adalah sebagai berikut:

a. Periwayat itu memahami dengan baik terhadap riwayat

yang telah didengarnya (diterimanya).

b. Periwayat itu hafal dengan baik terhadap riwayat yang

telah didengarnya (diterimanya).

(29)

22

c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah

dihafalkannya itu dengan baik kapan saja dia

menghendakinya; sampai saat dia menyampaikan

riwayat itu kepada orang lain.

Adapun cara penetapan ke-d}abit}-an seorang periwayat,

menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan

sebagai berikut:

a. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui berdasarkan

kesaksian para ulama.

b. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan

kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang

disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal

ke-d}abit}-annya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya

sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat

harfiah.

c. Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami

kekeliuran, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai

periwayat yang d}abit}. Tetapi apabila kesalahan itu

sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak

lagi disebut sebagai periwayat yang d}abit}.11

Ke-d}abit}-an sendiri terbagi menjadi dua, yakni d}abit} s}adr dan

d}abit} kitab. D}}abit} s}adr adalah seorang periwayat yang hafal dengan

(30)

23

sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan

baik hadis yang dihafalkannya kepada orang lain. Sedangkan yang

dimaksud d}abit} kitab adalah seorang periwayat yang memahami dengan

baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya ; apabila

ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.

Ke-d}abit}-an kitab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang tatkala

menerima dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qira’ah

‘ala al-shaikh ataupun ijazah.12

4. Terhindar dari shudhu>dh (ke-shadh-an)

Ada tiga pendapat terkait penentuan shadh suatu hadis, yaitu: 1.

Menurut Muhammad Idris al-Sya>fi’i (W. 204 H/820 M) hadis shadh

adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang thiqah tetapi

riwayatnya bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan

orang yang thiqah juga; 2. Menurut Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405

H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh

periwayat yang thiqah secara mandiri, tidak ada periwayat thiqah

lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut; dan 3. Menurut Abu

Ya’la al-Khalili (w. 405 H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang

sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat thiqah

maupun tidak bersifat thiqah.13

Pada umumnya ulama hadis mengikuti pendapat al-Syafi>’i di

atas. Dari penjelasan al-Syafi>’i tersebut dapat dinyatakan bahwa

12 Ibid., 122.

(31)

24

hadis s}adh, tidak disebabkan oleh (a) kesendirian individu periwayat

dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal hadis fard mut}laq

(kesendirian absolut); atau (b) periwayat yang tidak thiqah. Hadis

baru kemungkinan mengandung shudhu>dh bila hadis itu memiliki

lebih dari satu sanad, para periwayat hadis tersebut seluruhnya

thiqah, dan matan atau sanad hadis itu ada yang mengandung

pertentangan. Hadis yang mengandung shudhu>dh tersebut oleh

ulama disebut hadis shadh, sedang lawan dari hadis shadh disebut

sebagai hadis mah}fu>z}.14

5. Terhindar dari ‘illat

Menurut bahasa,‘illat merupakan isim maf’ul dari kata

a’allahu yang berarti yang cacat. Adapun menurut Istilah, hadis yang

jika dicemati terdapat cacat yang merusak kesahihannya, meski

secara lahirnya selamat dari cacat (‘illat).15

Sebagaimana shudhu>dh hadis, ‘illat hadis juga dapat terjadi di

matan, di sanad, atau di matan dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang

lebih sering terjadi ‘illat hadis adalah pada sanad. Ulama hadis

umumnya menyatakan, ‘illat kebanyakan berbentuk: 1. Sanad yang

tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi mauqu>f; 2.

Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi

mursal (hanya sampai ke al-t}abi’iy); 3. Terjadi percampuran hadis

dengan bagian hadis lain; dan 4. Terjadi kesalahan penyebutan

(32)

25

periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki

kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama thiqah.16

Ulama hadis pada umumnya mengakui, shudhu>dh dan ‘illat

hadis sangat sulit untuk diteliti. Hanya mereka yang benar-benar

mendalam pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti

kualitas hadis yang mampu menemukan shudhu>dh dan ‘illat hadis.

Sebagian ulama hadis lain menyatakan, penelitian shudhu>dh hadis

lebih sulit daripada penelitian ‘illat hadis. Hal ini terbukti karena

belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang hadis

shadh, sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal, walaupun

jumlahnya tidak banyak tetapi telah ada. Adapun sebab utama

kesulitan penelitian tentang kedua hal ini adalah karena kedua hal ini

terdapat dalam sanad yang tampak sahih. Para periwayat hadis itu

bersifat thiqah dan sanadnya tampak bersambung. Shudhu>dh dan

‘illat hadis baru dapat diketahui setelah hadis itu diteliti lebih

mendalam, antara lain dengan diperbandingkan dengan berbagai

sanad yang matannya mengandung masalah sama.17

B. Kriteria kesahihan matan hadis

Dari segi bahasa, matan berarti: punggung jalan (muka jalan);

atau tanah yang keras dan tinggi. Dari segi istilah, matan berarti materi

berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqri>r Nabi yang terletak

(33)

26

setelah sanad yang terakhir.18 Kajian tentang matan penting untuk

dilakukan dalam penelitian hadis, karena sanad tidak akan bernilai baik

jika matannya tidak dapat dipertanggungjawankan keabsahannya.19

Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian sanad,

demikian juga kriteria dan cara penilaian terhadap keduanya. Hal yang

patut untuk diperhatikan dalam hubungannya dengan pelaksanaan

kegiatan kritik sanad dan matan hadis adalah meneliti matan setelah

melakukan penelitian terhadap sanadnya, sehingga matan yang diteliti

akan bermanfaat jika sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi

syarat untuk hujjah. Bila sanad bercacat berat, maka matan tidak perlu

diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.20

Adapun untuk metode penelitian matan, menurut Syuhudi

Ismail, kaidah yang dipergunakan untuk meneliti matan hadis adalah

apakah matan tersebut sesuai atau tidak dengan petunjuk/atau

ketentuaN-ketentuan umum dari:

1. al-Qur‘an

2. Hadis Mutawatir

3. Ijma’ ulama

4. Logika

Bagi matan hadis yang sesuai atau tidak bertentangan dengan

empat macam tolok ukur diatas dinyatakan sebagai hadis sahih, sedang

18 Ismail, Pengantar Ilmu…., 21.

19 Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik…., 58.

20 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan

(34)

27

yang bertentangan atau tidak sesuai dinyatakan sebagai hadis d}a’if atau

bahkan mawd}u>’.21

Tolok ukur yang empat macam di atas, oleh ulama diperinci lagi

menjadi beberapa macam. Dr. Musthafa As-Siba’iy misalnya, dalam

bukunya sebagaimana yang dikutip Syuhudi Ismail memuat tujuh

macam. Dinyatakan bahwa suatu matan hadis dinilai berkualitas palsu

(tidak berasal dari Nabi), apabila matan tersebut:

1. Susunan gramatikanya sangat jelek.

2. Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal.

3. Menyalahi al-Qur’an yang telah jelas maksudnya.

4. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman

Nabi.

5. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya,

sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap

madhabnya.

6. Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut

diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya

diriwayatkan oleh seorang saja.

7. Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk

perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap

suatu perbuatan yang tidak berarti.22

(35)

28

Menilai hadis hanya dari segi matannya saja tanpa menilai

sanad dan rawinya merupakan suatu hal yang sangat berbahaya. Sebab

para pemalsu hadis akan dengan sangat mudah untuk menyampaikan

suatu pernyataan yang memenuhi tolok ukur di atas bila rangkaian

sumber berita atau sanad tidak diadakan penelitian sebagaimana

mestinya. Oleh karena itu metode yang lebih hati-hati dalam menilai

suatu hadis adalah dengan menggunakan metode gabungan, yakni:

metode isnad dan matan.23

C. Teori kehujjahan hadis

Umat Islam zaman dahulu sampai zaman sekarang sepakat,

terkecuali kelompok yang berpaling menyalahinya, bahwa hadis Nabi

yang berupa sabda, perbuatan dan pengakuannya itu merupakan salah

satu sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang

menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam atau

sebagai dasar-dasar pokok syariat Islam.24 Ulama berdepakat bahwa

hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis yang maqbu>l,

sedangkan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah adalah hadis yang

mardu>d.

1. Hadis maqbu>l

Maqbu>l, menurut bahasa berarti ma’khu>d (yang diambil) dan

musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut

istilah adalah:

23 Ibid

(36)

29

25

لوبقلاى رشىعيمىهيفىترفاوتىام

“Hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat

penerimaan.”

Menurut Al-Baqi dan Jala>l al-Di>n as-Suyut}i kriteria hadis

maqbu>l adalah sebagai berikut:26

a. Perawinya adil

b. Perawinya d}a>bit} walaupun tidak sempurna

c. Sanadnya bersambung

d. Susunan kalimatnya tidak rancu

e. Tidak terdapat ‘illat yang merusak

f. Terdapat mata rantai yang utuh

Berikut pembagian hadis yang tergolong maqbu>l:

a. Hadis sahi>h li dha>tihi>, yaitu hadis yang sanadnya bersambung

melalui riwayat rawi yang adil lagi d}abit dari rawi yang semisal

hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (shudhu>dh)dan cacat

(‘illat)yang merusak.27

b. Hadis sahi>hli ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi

sifat-sifat hadis maqbu>l secara sempurna, karena ia sebenarnya

25 Zainul Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis, (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 156

26 Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul

(37)

30

bukan hadis sahih namun naik derajatnya lantaran ada faktor

pendukung yang data menutupi kekurangan yang ada.28

c. Hadis h}asan li dha>tihi, yaitu yaitu hadis yang sanadnya

bersambung dengan para perawi-perawi yang adil dan daya

ingatannya kurang sempurna mulai dari awal sanad sampai

akhir sanad tanpa kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat (‘illat)

yang merusak.29

d. Hadis h>asanli ghairihi yaitu hadis d}aif yang dikuatkan dengan

beberapa riwayat lain, dan sebab ke-dhaif-annya bukan karena

kefasikan perawi hadis (yang keluar dari jalan kebenaran) atau

kedustaannya.30

Adapun hadis maqbu>l dibagi menjadi dua yakni ma’mu>l bihi>

(diterima dan dapat diamalkan ajarannya) dan ghairu ma’mu>l bihi>

(diterima dan tidak dapat diamakan ajarannya). Yang termasuk

ma’mu>l bihi> adalah:31

a. Hadis muh}ka>m, yakni hadis yang telah memberikan pengertian

jelas.

b. Mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua

buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung

pengertian bertentangan.

28 Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi…., 114. 29 Ibid., 120.

(38)

31

c. Ra>jih}, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis na>sikh, yakni

hadis yang me-nasakh terhadap hadis yang datang terlebih

dahulu.

Adapun yang ghairu ma’mu>l bihi>dapat dibagi menjadi:32

a. Marjih}, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh

hadis yang lebih kuat.

b. Mansu>kh, yakni hadis yang telag di-nasakh (dihapus), dan;

c. Mutawaquf fi>h, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda,

karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan hadis

lainnya yang belum bisa dikompromikan.

Jika dilihat dari ketetntuan-ketentuan hadis maqbu>l seperti

yang telah diuraikan di atas, maka hadis maqbu>l dapat digolongkan

menjadi dua, yaitu Hadis S}ah}i>h} dan H}asan.33

2. Hadis mardu>d

Mardu>d, menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang

“tidak diterima”. Sedangkan mardu>d menurut istilah adalah:

34

ا عبى اى رشلاىكلتىدقف

“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat

hadis maqbu>l.

32 Ibid., 157. 33 Ibid.

(39)

32

Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi

pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadis jenis

ini menjadi dua macam, yaitu Hadis d}ai>f dan hadis mawd}u>’.

Adapun beberapa faktor penyebab hadis d}ai>f tertolak adalah

sebagai berikut:35

a. Segi Rawi. Adanya unsur-unsur cacat pada rawi, baik dalam

hal keadilannya maupuun dalam ke-d}abit}-annya antara lain:

1. Unsur dusta, yakni berdusta dalam membuat hadis

walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis ini dikenal

dengan hadis mawd}u>‘.

2. Unsur tertuduh dusta, yakni perawi yang terkenal dalam

pembicaraan dusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia

pernah berdusta. Hadis ini dikenal dengan hadis matru>k.

3. Unsur kefasikan, yakni adannya kecenderungan dalam

amal, bukan kecurangan i’tikad, juga mereka berbuat

maksiat.

4. Unsur kelengahan hafalan dan banyaknya kesalahan, yakni

lenngah dalam penerimaan hadis dan banyak salah dalam

penyampaiannya. Hadis dari seorang yang fasiq, lengah

hafalan dan banyak salah dikenal dengan hadis munkar.

(40)

33

5. Unsur banyaknnya sangkaan buruk (waham), yakni salah

sangka seolah-olah hadis tidak ada cacat pada matan dan

sanadnya. Hal ini dikenal hadis mu‘allal.

6. Unsur menyalahi riwayat orang kepercayaan. Pada unsur

ini terdapat lima unsur hadis, yaitu; Hadis mudraj, Hadis

Maqlu>b, Hadis Mud}d}arib, Hadis Muh}arraf, dan Hadis

Mus}ah}h}af.

7. Unsur tidak diketahuinya identitas rowi. Apabila hal ini

terjadi dikenal dengan istilah hadis Mubham.

8. Unsur penganut bid‘ah, yakni adanya kecurangan dan

i‘tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi

dengan dasar shubhat. Hadis ini dikenal dengan hadis

mardu>d.

9. Unsur hafalan yang tidak baik, yakni menyalahi riwayat

orang yang lebih rajah atau karena buruk hafalan

disebabkan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, hilangnya

kitab. Bila pertama dikenal dengan hadis shadh dan kedua

dengan hadis mukhtali>t}.

b. Segi sanad. Hadis bisa dinyatakan d}ai>f bila sanadnya tidak

bersambung. Rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru

sehinga mengakibatkan ketidaksambungannya pada sanad. Hal

(41)

34

1. Gugurnya sanad pertama, bahwa rawi yang menyampaikan

hadis kepada mudawwin. Hal ini dikenal dengan hadis

mu‘allaq.

2. Gugurnya sanad terakhir atau rawi pertama, bahwa

periwayatan hadis kepada Nabi tanpa menyebutkan dari

sahabat mana ia menerima hadis tersebut. Hal ini dikenal

dengan hadis mursal.

3. Gugurnya dua orang rawi atau lebih secara berurutan, dan

hal ini dikenal dengan hadis mu’d}al.

4. Gugurnya seorang rawi atau lebih tetapi tidak berurutan,

dan hal ini dikenal dengan hadis munqat}i’.

c. Segi matan. Materi hadis terputus tidak sampai pada

Rasulullah, disebabkan dua hal, yakni:

1. Penisbatan kepada sahabat, bila ini terjadi maka hadis

disebut hadis mauqu>f yang didefinisikan sebgai berita yang

hanya dinisbatkan kepada sahabat, baik itu perkataan, atau

perbuatan dan baik itu sanadnya bersambung atau terputus.

2. Penisbatan matan kepada tabi’i>n, dan apabila ini terjadi

maka hadis ini disebut hadis maqthu>‘ yang didefinisikan

sebagai perkataan atau perbuatan dari seorang tabi‘i>n serta

dinisbatkan kepadanya, baik sanadnya bersambung ataupun

(42)

35

Dapat disimpulkan, bahwa hadis d}ai>f itu berarti lemah dan

dinyatakan lemah, apabila pada jalur sanadnya ditemukan

perawi yang tidak dipercaya atau pada matannya yang

terputus.36

D. Teori pemaknaan hadis

Bagaimana memahami hadis Nabi, memang merupakan persoalan

yang urgen untuk dikedepankan. Persoalan ini berangkat dari realitas

hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Persoalannya

menjadi semakin kompleks, karena keberadaan hadis itu sendiri dalam

beberapa aspeknya berbeda dengan al-Qur’an. Dalam kaitannya

dengan al-Qur’an, pengkodifikasiannya secara mutawa>tir, qat}’iy

al-wuru>d, dijaga otentitasnya oleh Allah dan secara kuantitas sedikit lebih

banyak dibandingkan hadis. Sementara hadis nabi tidaklah demikian

kondisinya.37

Syuhudi Ismail dalam bukunya Telaah Ma’ani Al-Hadits

Tentang Ajaran Islam Yang Uiversal Temporal Dan Lokal

menyatakan, bahwa hal-hal yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan

suasana yang melatarbelakangi atau sesuatu yang menyebabkan

terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam

pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat

36 Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis…., 168.

37 Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi”, dalam Wacana Studi

(43)

36

dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih

tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual).38

Menurutnya, pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual

dilakukan apabila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan

dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang

terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis

dalam teks hadis yang bersangkutan. Sementara itu, pemahaman dan

penerapan hadis secara kontekstual dilakukan apabila “di balik” teks

suatu hadis, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang

bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak secara tekstual.39

Adapun Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Kaifa Nata’amalu

Ma’a As-Sunnati an-Nabawiyyah, beliau memaparkan setidaknya ada

delapan poin penting yang mampu memberikan sebuah opsi bagi

peneliti hadis dalam kaitannya dengan ilmu hadis. Dalam hal ini

tentang petunjuk dan markah untuk memahami hadis Nabi dengan

baik. Adapun poin-poin tersebut akan penulis jelaskan sebagai

berikut:

1. Memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‘an.

Untuk memahami sunah dengan baik dan benar, agar

terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk,

maka hendaklah suatu hadis dipahami berdasarkan petunjuk al-Qur’an

38 Syuhudi Ismail, Telaah Ma’ani Al-Hadits Yang Universal Temporal Dan Lokal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009), 6.

(44)

37

yang sudah pasti kebenarannya dan diyakini keadilannya. al-Qur’an

merupakan ruh bagi keberadaan Islam dan fondasi bangunannya, yang

mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang pokok sebagai

sumber perundang-undangan Islam. Sedangkan hadis Nabi merupakan

penjelas perundangan itu secara terperinci. Dengan kata lain, hadis

Nabi merupakan penjelas secara teoritis dan penerapannya. Artinya,

penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan materi yang

dijelaskannya.40

2. Memadukan hadis yang topik pembahasannya sama

Untuk dapat memahami hadis secara benar, seorang peneliti

harus menghimpun hadis-hadis sahih yang topik pembahasannya sama.

Dengan demikian hal-hal yang shubhat dapat dijelaskan dengnan

hal-hal yang muh}ka>m, dan hal-hal yang mut}laq dapat dibatasi dengan hal

yang muqayyad (terikat), dan hal-hal yang bermakna umum dapat

ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga jika hal ini

dilakukan makna yang terkandung dalam hadis tersebut dapat menjadi

jelas dan tidak bertentagan dengan hadis yang lain.41

Diawal sudah dijelaskan bahwa fungsi hadis adalah

menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskan maknanya. Dengan kata lain

bahwa hadis memerinci makna al-Qur‘an yang bersifat global,

menafsirkan bagian al-Qur‘an yang masih belum jelas,

40 Dr. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’ al-Sunnah Nabawiyyah, terj. Bahrun Abubar (Bandung: Trigenda Karya, 1996), 96.

(45)

38

mengkhususkan yang umum, dan mengikat makna yang mutlak, maka

sudah seharusnya ketentuan ini dipelihara dalam bagian hadis yang

menafsirkan sebagian hadis lain. Apabila seorang peneliti hanya

terfokus dalam satu hadis saja tanpa memadukannya dengan hadis

yang lain, maka akan terjerumus ke dalam kesalahan dan

menjauhkannya dari pemahaman yang benar terhadap hadis tersebut.42

3. Memadukan atau mentarjih hadis-hadis yang (tampaknya)

betentangan.

Menurut kaidah, nas}-nas} syariat yang telah dikukuhkan itu tidak

mungkin bertentangan karena antara satu perkara yang haq tidak akan

bertentangan dengan perkara yang haq lainnya. Jika terdapat

pertentangan antara nash-nash yang ada di dalamnya, maka hal itu

hanya menurut makna tekstualnya saja, tetapi tidak bertentangan pada

hakikat dan kennyataannya. Atas dasar itu, seorang peneliti wajib

menghilangkannya. Menurut Yusuf Qaradhawi, jika pertentagan itu

masih bisa dihilangkan dengan cara mengkolaborasikan dua nas} yang

bersangkutan tanpa harus bersusah payah mencari takwil yang jauh,

maka hal ini lebih utama daripada menggunakan cara tarji>h, karena

mentarjih sama dengan menafikan salah satu dari kedua nash yang

tampak bertentangan tersebut.43

4. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya.

42 Ibid.

(46)

39

Poin penting berikutnya kaitannya dalam memahami hadis

Nabi adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan

mengetahui latar belakang ketika hadis diterbitkan kaitannya dengan

sebab atau alasan tertentu yang tertuang dalam teks hadis atau tersirat

dari maknanya, atau terbaca dari kenyataan yang melahirkan

keberadaan hadis tersebut. Selain itu harus diketahui juga kondisi yang

meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa hadis tersebut

diucapkan. Sehingga dengan demikian, maksud hadis dapat diketahui

dengan jelas dan terhindar dari pemahaman yang menyimpang.44

Para ulama mengatakan bahwa faktor yang dapat membantu

memahami al-Qur‘an dengan pemahaman yang baik adalah

mengetahui asba>b al-nuzu>l (latar belakang penurunannya), sehingga

tidak terjerumus kepada pemahaman yang salah. Jika asba>b al-nuzu>l

Alquran diperlukan bagi orang yang ingin memahami maknanya atau

hendak menafsirkannya, maka asba>b al-wuru>d hadis (latar belakang

penurunan hadis), lebih diperlukan lagi. Dengan pendekatan ini maka

fungsi sunnah akan teraplikasikan yakni, menanggulangi sebagian

besar masalah yang bersifat temporer, detail, dan berkaitan dengan

tempat. Oleh karena itu hadis memiliki kekhususan dan rincian yang

tidak terdapat di dalam al-Qur‘an. Untuk itu harus dibedakan hal yang

bermakna khusus dan bermakna umum, yang bersifat temporer dan

yang bersifat tetap, yang bersifat juz‘i> (sebagian) dan yang bersifat

(47)

40

kulli (menyeluruh) yang masin-masing memiliki ketentuan hukum

tersendiri.45

5. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap

dari setiap hadis.

Sebagian orang banyak yang keliru dalam memahami hadis

Nabi. Salah satu penyebabnya adalah mereka mencampuradukkan

antara tujuan atau sasaran tetap yang dituju oleh suatu hadis dan

merealisasikannya dengan sarananya yang bersifat temporer dan

adakalanya berwawasan kedaerahan. Mereka hanya memusatkan

perhatian kepada sarana-sarana tersebut , seakan-akan sarana itu

merupakan tujuan yang dimaksud. Padahal bagi siapa saja yang

benar-benar berusaha menggali makna yang terkandung di balik kata-kata

yang tersurat dalam hadis, akan menemukan kejelasan bahwa hal yang

terpenting adalah tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini karena tujuan

itu bersifat tetap dan permanen, sedangkan sarana adakalamya

berubah-ubah, seiring dengan perubahan lingkungan, zaman, atau

tradisi yang berlaku serta faktor-faktor lain yang memengaruhinya.46

6. Membedakan makna hakiki dan makna majazi

Menurut Yusuf Qaradhawi, dalam banyak hadis terdapat

ungkapan Nabi yang bersifat majaz untuk menggambarkan makna

yang dituju dengan ungkapan indah dan sangat memikat. Majaz di sini

mencakup majaz lugha>wi, ‘aqli, dan isti‘a>rah, kina>yah dan isti’arah

(48)

41

tamthiliyah, serta ungkapan lainnya atau lafazh lainnya yang tidak

mengandung arti yang sebenarnya. Memahami makna majazi, tidak

semudah memahami makna hakiki, karena dalam memahami redaksi

yang menggunakan lafazh majazi, memerlukan penafsiran atau

pena’wilan sehingga dapat diketahui maksud yang sebenarnya dari

suatu hadis tersebut. Masih menurut Qaradhawi, takwil yang

mengartikan makna hadis sebagai suatu kiasan, tidaklah ditolak oleh

agama selama tidak mempersulit dan menyimpang, serta sepanjang

masih ada hal yang mengharuskan untuk ditakwilkan. Pengertian

keluar dari makna hakiki kepada makna majazi adalah apabila terdapat

suatu tanda yang menghalangi penyampaian maksud makna hakiki

menurut penilaian akal atau hukum syara’ yang benar, atau ilmu pasti,

atau kenyataan yang mendukungnya.47

7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata

Diantara kandungan hadis adalah membahas hal-hal yang

berkaitan dengan alam gaib yang sebagiannya menyangkut

makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam nyata seperti para malaikat

yang telah diperintahkan Allah untuk menangani berbagai macam

tugas dan juga jin, penduduk bumi yang dikenakan takli>f sama seperti

umat manusia, ia dapat melihat kita, tetapi kita tidak dapat melihatnya.

Diantara mereka terdapat setan-setan, yaitu bala tentara iblis yang telah

bersumpah di hadapan Allah bahwa dia akan menyesatkan manusia

(49)

42

dan menghiasi kebatilan dan kejahatan dengan keindahan supaya

mereka (manusia) mengerjakannya.48

Sebagaian hadis yang membicarakan perkara gaib ini ada yang

predikatnya tidak mencapai s}ahi>h, sehingga tidak dapat dijadikan

pegangan. Adapun pembahasan dalam perkara ini hanya menyangkut

hadis-hadis yang terbukti kesahihannya dan bersumber dari Nabi.

Sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim menerima

hadis-hadis yang telah terbukti kesahihannya. Tidak boleh seorang pun

menolaknya hanya karena bertentangan dengan kenyataan yang biasa

dialami atau mustahil terjadi menurut kebiasan manusia selama hal

tersebut masih bisa ditoleransi oleh rasio.49

8. Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis

Suatu hal yang amat penting dalam memahami hadis Nabi

dengan pemahaman yang benar adalah memastikan makna dan

konotasi kata-kata tertentu yang digunakan dalam susunan kalimat

hadis. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena

perubahan dan perbedaan lingkungan. Masalah ini akan lebih jelas

diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa serta

pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Sejumlah orang memang

adakalanya membuat istilah dengan memakai lafaz-lafaz untuk

menunjukkan kata tertentu yang belum ada istilahnya. Akan tetapi

yang membahayakan adalah berkaitan dengan istilah atau kata yang

(50)

43

digunakan dalam al-Qur‘an maupun hadis, lalu diartikan sesuai dengan

istilah masa kini yang akibatnya akan menimbulkan kekacauan dan

kekeliruan.50

E. Teknik terapi Ruqyah Shar’iyyah dan media yang digunakan

Dalam beberapa hadis Nabi Saw, dapat diketahui tentang

cara-cara melakukan ruqyah dan media yang dipergunakan, di antaranya

adalah dengan cara (a) sekedar membaca doa atau beberapa ayat

al-Qur’an; (b) membaca do’a, meniup kedua telapak tangan kanan ke

badan yang terasa sakit serta mengusapnya ke seluruh anggota badan;

(c) membaca do’a, meniup dan sedikit meludah; (d) membaca do’a

dan meletakkan tangan kanan ke badan yang terasa sakit serta

mengusapnya; (e) membaca do’a dan meletakkan jari di tanah

kemudian mengangkatnya; (f) membaca do’a dan memasukkan tangan

ke dalam air yang dicampur dengan garam; (g) membaca do’a,

menuangkan air zam-zam dan meminumnya; (h) memukul dada,

meniup mulut dengan sedikit air ludah dan mengusap wajah sambil

membaca do’a.51

50 Ibid., 218.

(51)

BAB III

TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS TENTANG TEKNIK

RUQYAH SHAR’IYYAH

DALAM SUNAN ABU

<

DA

<

WUD

A. Biografi Singkat Abu>Da>wud

Nama lengkap Abu> Da>wud adalah Sulaiman Ibn al-As}’as} ibn Isha>q ibn

Bashir ibn Shidad ibn ‘Amr al-Azdi al-Sijistani>. Al-Sijistani> adalah nisbah pada

tempat kelahirannya, yaitu sajistan, salah satu daerah yang terdapat di Bas}rah

pada tahun 202 H.1

Abu> Da>wud terlahir di lingkungan dan keluarga yang yang religius, kedua

orang tuanya merupakan seorang hamba yang taat beragama. Oleh orang tuanya,

sejak kecil Abu> Da>wud dididik dan dikenalkan dengan ilmu-ilmu ke-Islaman

yang sangat kaya. Selanjutnya, orang tuanya mendidik dan mengarahkan Abu>

Da>wud agar menjadi ulama besar yang disegani.2

Sejak kecil, Abu> Da>wud sudah mencintai ilmu dan para ulama’ guna

menimba ilmunya. Persiapan dirinya untuk mengadakan perlawatan ke berbagai

negeri telah ia siapkan sebelum ia dewasa. Dalam menempa diri agar menjadi

ulama besar, ia pergi ke beberapa negeri yaitu Kufah, Baghdad, Harrat, Rayy,

Khurasan, Tarsus, Damaskus, Mesir dan Basrah. Abu> Da>wud mengunjungi

Baghdad pada tahun 221 H. Hal ini menunjukkan bahwa ia memulai belajar

tentang hadis dalam usia yang masih sangat muda, yakni pada usia 19 tahun.3

1 Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis & Metodologis, (Surabaya : Pustaka Al-Muna, 2014), 260.

2 Dhulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Jogjakarta: Insan Madani, 2008), 102.

(52)

45

Dalam perjalanan studinya ini ia bertemu dengan beberapa ulama, dan dari

mereka ia meriwayatkan Hadis. Sewaktu berada di Baghdad, ia mengajarkan

hadis dan fiqih kepada penduduk di Baghdad dan kitab sunan Abu> Da>wud sendiri

sebagai pegangan. Selanjutnya atas permintaan gubernur di Bashrah, yang juga

saudara Khalifah Al-Muwafiq, meminta agar Abu> Da>wud menetap di Bashrah

untuk menjadi guru, khususnya dalam bidang ilmu Hadis. Didalam kota ini pula

Abu> Da>wud meninggal yakni pada tanggal 16 Syawwal 275 H yang bertepatan

dengan tanggal 21 Februari 899 M. Selain ahli hadis, Imam Abu> Da>wud juga ahli

dalam bidang fiqih, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kitab Sunannya

yang bercorak fiqih.4

Perjalanan studinya ke berbagai negara telah berhasil mengantarkan Abu>

Da>wud menjadi seorang al-Ha>fidh yang menguasai ‘illat al-h}adis, dirasat

al-asa>nid dan atas keilmuan yang telah dikuasainya ini, juga menobatkan dirinya

sebagai al-Faqih kedua dalam jajaran ulama al-muh}addithi>n setelah Imam

Bukhori. Tercatat dalam bidang ilmu hadis, sekitar 300 ulama Hadis yang telah

menjadi gurunya sebagaimana yang diperkirakan oleh Ibnu H}ajar al-‘Athqa>lani.

Ulama yang menjadi guru Imam Abu> Da>wud banyak jumlahnya. Diantara

guru-gurunya yang paling terkemuka adalah Ima>m Ah}ma>d ibn Hanbal, Abdulla>h Ibn

Raja’, Abu> al-Wali>d al-T}ayalisi, dan lain-lain. Sebagian gurunya

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian penambahan obat deksametason 5 mg pada bupivakain 0,5% dibanding dengan bupivakain 0,5% murni terhadap mula kerja blok dan lama kerja blok pada 32

Perubahan kadar albumin dan prealbumin pasien diukur setelah pemberian ekstrak ikan gabus metode freezy dryer sebagai asupan protein tambahan dengan nutrisi enteral selama 3

Rawat gabung memberikan peluang bagi keluarga saya untuk memberikan dorongan dalam menyusui bayi.. Petugas akan merasa tenang dan dapat melakukan pekerjaan lain yang

PERMENDAGRI ini sebagai landasan operasional pelaksanaan pengarusutamaan gender pada Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan

Pemilihan dan penetapan penari merupakan salah satu hal terpenting dalam sebuah karya tari, karena lewat penari, penata tari dapat menyampaikan keinginannya dalam wujud

Saintifik jelas sekali di dalam setiap langkahnya harus dilakukan secara sistematis mulai dari melakukan pengmatan sampai dengan membuat kesimpulan atau

Adapun rekomendasi yang penulis ajukan: (1) Para dosen maupun para pemegang jabatan di Universitas Bengkulu, hendaknya dapat mengupayakan dan memberi teladan kepada para

Guna memenuhi kebutuhan gas di seluruh Pulau Jawa yang akan meningkat di masa-masa mendatang dan dalam rangka penetrasi pasar gas baru, maka mutlak diperlukan adanya transmisi gas