TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH
D
ALAM SUNAN ABU< DA<WUD NOMOR
INDEKS 3891
SKRIPSI
Oleh:
M. FATHURROHMAN
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
NIM: E03212058
TEKNIK TERAPI RUQYAH SHAR’IYYAH D
ALAM SUNAN ABU<
DA<WUD NOMOR
INDEKS 3891
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Ilmu Tafsir dan Hadis
Oleh:
M. Fathurrohman NIM: E03212058
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Hadis Tentang Teknik Ruqyah Shari’iyyah
Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3891
Oleh: M. Fathurrohman
Ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu cara pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Saw. Namun dewasa ini banyak praktik teknik ruqyah yang tidak syar’i sehingga dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam proses ruqyah shar’iyyah yang tidak disyariatkan. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (2) Bagaimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud (3) Bagaimana pemaknaan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Dawud. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), dalam menjawab penelitan tersebut dilakukan dengan pengumpulan data yang diperoleh dari kitab-kitab hadis dan sharh hadisnya,. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhrij terhadap hadis yang diteliti, melakukan kritik sanad maupun matan terhadap hadis yang diteliti dan mencari pemahaman dari pemaknaan hadis ini. Adapun hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud ini bernilai S}ah}i>h} li Dha>tihi karena
sudah memenuhi kriteria ke-S}ah}i>h}-an hadis dan juga hadis ini dapat dijadikan hujjah serta dapat diamalkan (maqbu>l ma‘mu>l bih) karena termasuk hadis muhka>m. Adapun pemahaman tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud bahwa (a) ruqyah merupakan pengobatan ilahiyah dan T}ibbu an- Naba>wi yang di dalamnya mengandung dhikrullah, tauh}i>d (berharap hanya kepada-Nya) dan meminta pertolongan dengan kemuliaan serta kekuasaan-Nya. Karena segala penyakit datangnya dari Allah, dan kesembuhan datangnya juga dari Allah. Sementara Rasulullah Saw telah mengajarkan bagaimana teknik-teknik cara pengobatan ila>hiyah yang benar sehingga dapat menyebabkan kesembuhan. (b) Ruqyah Shar’iyyah merupakam sebuah terapi syar’i dengan cara membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dan do’a-do’a perlindungan yang bersumber dari Rasulullah Saw. (c) Ruqyah Shar’iyyah bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan bagi orang yang terkena gangguan dan penyakit.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Dalam hal ini terdapat dua sumber pengetahuan yaitu sumber pengetahuan
naqli dan ‘aqli. Sumber pengetahuan yang bersifat naqli ini merupakan pilar
dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik
dalam agamanya secara khusus, maupun dalam masalah dunia pada
umumnya. Adapun sumber yang paling otentik bagi umat Islam dalam hal ini
adalah al-Qur’an dan al-Hadis.1
Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqri>r (diamnya) maupun sifatnya.2 Kandungan al-Quran ada yang bersifat ijma>li>(global) dan umum, ada yang bersifat tafs}iliy (detail). Hal-hal yang bersifat umum, sudah barang tentu membutuhkan
penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai petunjuk
dan kaidah hidup manusia. Muhammad sebagai Rasulullah telah diberi tugas
otoritas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an itu. Bahkan untuk hal-hal
yang bersifat teknis, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan lisan, tetapi juga
1 Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), 19.
2 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, terj. Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2
langsung amalan praktis.3 Umat Islam zaman dahulu hingga sekarang telah
sepakat, terkecuali orang-orang yang berpaling menyalahinya, bahwa Hadis
Nabi merupakan salah satu sumber hukum Islam.4
Terkait dengan Hadis sebagai sumber hukum Islam, salah salah satu
ajaran yang terkandung di dalamnya adalah ajaran ruqyah shar’iyyah. Musdar Bustaman Tambusai memberikan penjelasan tentang ruqyah shar’iyyah di dalam bukunya yang berjudul Halal-Haram Ruqyah, bahwa ruqyah berasal dari bahasa Arab dengan makna yang sangat luas. Lafaz “ruqyah” diambil dari kata kerja: raqa – yarqi. Secara bahasa (etimologi), ruqyah berarti al-‘audhah atau at-ta’wi>dh, yaitu meminta perlindungan (isti’a>dhah). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, ruqyah dapat pula diartikan sebagai jampi atau mantra.5 Namun kata mantra dalam dunia magic dapat dipahamhi sebagai kata sandi atau password. Oleh karena itu tidak pas apabila kata ruqyah diterjemahkan sebagai mantra. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),
mantra didefinisikan sebagai “Perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan
gaib misalnya dapat menyembuhkan penyakit, mendatangkan celaka dan lain
sebagainya.”6 Atau “Susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang
3 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, t.th.), 55. 4Ibid., 45.
3
dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan dukun atau pawang
untuk menadingi kekuatan gaib lain.7
Dari dua definisi yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di
atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dibacakan oleh dukun atau
paranormal kepada pasiennya dapat dikatakan ruqyah dalam pengertian mantra. Namun dalam terminologi syariat, mantra tidak termasuk dalam
kategori ruqyah shar’iyyah yang dibolehkan karena ruqyah bukanlah segala macam ucapan atau perkataan yang bisa diambil dari manapun. Ruqyah bukanlah kata-kata yang tidak dapat dipahami, bukan pula kata-kata bijak
seorang dukun atau paranormal, bukan pula ucapan ulama atau para wali,
tetapi ruqyah shar’iyyah adalah bacaan ayat-ayat al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.8
Adapun definisi ruqyah shar’iyyah sangat beragam sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, tetapi di antara definisi-definisi itu yang paling
representatif adalah definisi yang diberikan oleh Syaikh Abul Aliyah
Muhammad bin Yusuf Al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ruqyah al-Shar’iyyah
min al-Kita>b wa al-Sunnah sebagaimana yang dikutip oleh Musdar Bustaman
Tambusai dalam bukunya Halal-Haram Ruqyah, bahwa “Ruqyah shar’iyyah adalah meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan cara membacakan
sebagian ayat-ayat al-Qur’an, nama-nama Allah, dan sifat-sifat-Nya, disertai
7 Ibid.
4
dengan membacakan doa-doa yang syar’i dengan bahasa Arab atau dengan
bahasa yang dapat dipahami maknanya lalu ditiupkan.”9
Sesungguhnya al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi siapa saja
yang percaya dan mengamalkan serta membacanya untuk mendapatkan
kesembuhan dari Allah SWT dengan meyakini bahwa kesembuhan itu
datangnya dari Allah SWT dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang
dan yang menurunkan Alquran. Maka tidak mengherankan jika dahulu para
salafu as-s}alih selalu berobat dengan Qur’an, sampai-sampai Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah pun pernah berkata bahwa “barangsiapa yang tidak
mendapatkan kesembuhan melalui al-Qur’an maka Allah tidak akan
menyembuhkannya.”10
Dewasa ini, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan
atau mengobati penyakit. Bisa dengan datang kepada dokter dan berobat
kepadanya, klinik kesehatan, rumah sakit, tabib, pengobatan alternatif, atau
cukup dengan meminum obat yang dapat dibeli di apotek. Semua pilihan tadi
tentunya bergantung pada diri masing-masing yang disesuaikan dengan
kayakinan, kecocokan, dan kemampuan ekonomi. Jika melihat dari jenis-jenis
pengobatan yang ada, secara umum terbagi pada dua jenis pengobatan, yakni
pengobatan medis dan pengobatan alternatif. Keduanya merupakan pilihan,
9 Ibid.,10.
10 Abul Fida’ Muhammad Izzat Muhammad Arif, Terapi Ayat Alquran Untuk Kesembuhan, terj. Saiful
5
bergantung keinginan dan keyakinan individu untuk mendapatkan
kesembuhan penyakit dengan lebih cepat dan tidak memakan banyak biaya.
Terapi ruqyah shar’iyyah merupakan bagian dari pengobatan alternatif, cukup dengan membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an atau dengan
membacakan doa yang diajarkan oleh Rasulullah segala macam penyakit bisa
disembuhkan. Tentu saja kesembuhan itu semata-mata bisa terjadi atas izin
Allah Swt. zat yang menurunkan penyakit dan yang menyembuhkan. Adapun
manusia sebagai makhluk yang hanya berusaha mendapatkan kesembuhan
sementara hasilnya hanya Allah yang bisa menentukan.11
Di Indonesia, terapi ruqyah shar’iyyah merupakan salah satu terapi yang muncul secara fenomenal pada tahun 2000-an hingga saat ini di
kota-kota besar hampir semua orang tahu apa itu ruqyah shar’iyyah, walaupun dari segi pemahaman mereka tentang ruqyah shar’iyyah dan praktiknya terdapat hal yang perlu diluruskan. Salah satunya adalah terkait teknik ruqyah
shar’iyyah itu sendiri. Ada persepsi di tengah masyarakat khususnya umat
Islam, bahwa semua ruqyah itu boleh dan benar asal yang melakukannya adalah seorang kiai, ustadz, buya, abah, atau wak haji meskipun dalam
praktiknya ada jimat, rajah, al-Qur’an yang ditulis sebagai tangkal dan
11 Lutfil Kirom Az-Zumaro, Ajaibnya Pengobatan Air Yang Didoakan, (Yogyakarta: Semesta Hikmah,
6
syarat yang tidak syar’i seperti minum air dari tujuh sumur masjid dan lain
sebagainya.12
Rasulullah merupakan teladan terbaik sepanjang zaman bagi manusia
khususnya umat Islam dalam segala hal, tidak terkecuali dalam masalah
pengobatan. Salah satu metode yang Rasulullah ajarkan dalam mengobati
penyakit selain menggunakan ramuan herbal dan bekam adalah dengan terapi
ruqyah shar’iyyah. Dalam melakukan ruqyah, Rasulullah menggunakan
beberapa teknik, diantara teknik tersebut adalah menggunakan teknik usapan
dan do’a sebagaimana yang dituturkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
‘Uthma>n bin Abu> Al-‘Ash yang berbunyi:
ْعك نْب َا دْبع نْب ورْمع نأ ةفْيصخ نْب ديزي ْنع كلام ْنع يبنْعقْلا َا دْبع انثدح
يمُلا ب
هربْخأ سو هْيع َا ى ص يبنلا ىتأ هنأ صاعْلا يبأ نْب نامْثع ْنع هربْخأ ريبج نْب عفان نأ ا
ْحُْما سو هْيع َا ى ص َا وسر اقف ا ينكْهي داك ْد عجو يبو نامْثع
عْبس كنيميب ه
زع َا به ْذأف كلذ تْ عفف ا دجأ ام رش ْنم هترْد و َا ةزعب ذوعأ ْل و تارم
ناك ام لجو
ْ ه رْيغو ي ْه أ هب رمآ ْ زأ ْ ف يب
13 .
Telah menceritakan kepada kami Abdullah Al Qa'nabi dari Malik dari Yazid bin Khushaifah bahwa 'Amru bin Abdullah bin Ka'b As Sulami telah mengabarkan kepadanya, bahwa Nafi' bin Jubair mengabarkan kepadanya dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa ia telah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam -Utsman berkata; sementara aku sedang sakit yang hampir membinasakanku- Utsman berkata, "Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Usaplah menggunakan tangan kananmu sebanyak tujuh kali, lalu ucapkanlah: A'U<DHU BI 'IZZATILLA<HI WA QUDRATIHI MIN SHARRI MA< AJIDU (Aku berlindung kepada kemuliaan Allah dan kemampuan-Nya dari keburukan yang aku temui) '." Utsman berkata, "Lalu aku melakukan hal tersebut, maka Allah 'azza wajalla menghilangkan apa yang ada padaku, dan aku selalu memerintahkan keluargaku dan yang lainnya untuk mengucapkannya.
12 Tambusai, Halal-Haram…,5
7
Hal menarik di sini yang perlu untuk diteliti lebih dalam adalah,
apakah status hadis di atas benar-benar sahih dan dapat diamalkan sehingga
umat Islam memiliki alternatif untuk mendapatkan kesembuhan tanpa harus
datang ke dokter. Juga apakah teknik dan bacaan do’a di atas dapat
memberikan efek berupa kesembuhan karena yang membacakannya adalah
seorang sahabat Nabi, ataukah dapat juga dilakukan oleh setiap umat Islam.
Tidak hanya berhenti sampai disitu, hal yang juga penting untuk diketahui
adalah bagaimana saja teknik ruqyah shar’iyyah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sehingga umat Islam tidak terjebak ke dalam praktik ruqyah shirkiyyah.
Dari permasalahan di atas, pembahasan tentang ruqyah shar’iyyah ini bukan hanya sekedar menarik tetapi sangat penting untuk diteliti. Dalam
penelitian ini penulis ingin mengkaji hadis-hadis tentang teknik ruqyah
shar’iyyah dengan memfokuskan penelitian pada hadis dengan nomor indeks
3891, di mana pada hadis tersebut perlu diadakan pen-takhrij-an secara menyeluruh, meneliti keshahihan hadis baik dari segi sanad maupun
matannya, kehujjahan hadis serta pemaknaannya.
B. Rumusan Masalah
8
1. Bagaimana kualitas hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?
2. Bagimana kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d no indeks 3891?
3. Bagaimana pemaknaan hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu Da>wu>d 3891?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui kualitas sanad dan matan hadis dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.
2. Mengetahui kehujjahan hadis tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud no indeks 3891.
3. Memahami tentang pemaknaan hadis yang menerangkan tentang
teknik terapi ruqyah shar’iyyah no indeks 3891.
Berdasarkan tujuan di atas, diharapkan penelitian ini memberi manfaat:
1. Secara teoritik: diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
bagi perkembangan pemikiran dalam dunia pengobatan alternatif serta
9
2. Secara praktis: diharapkan penelitian ini dapat diaplikasikan sehingga
terapi ruqyah dapatdilakukan secara shar’i.
3. Secara institusional: diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh
mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Surabaya untuk melakukan penelitian berikutnya.
4. Untuk menambah pengetahuan bagi diri penulis pribadi dan
masyarakat luas tentang bagaimana kualitas dan pemaknaan hadis
yang menerangkan tentanng teknik ruqyah shar’iyyah. D. Penegasan Judul
Agar lebih mudah memahami penulisan skripsi ini, maka penulis akan
mengemukakan pengertian dari kata atau istilah penting sesuai dengan
pembahasan pada judul: “TEKNIK RUQYAH SHAR’IYYAH DALAM SUNAN ABU< DA<WUD NO INDEKS 3891.”
Adapun pengertian dari kata atau istilah penting tersebut adalah:
1. TEKNIK : Metode atau cara mengerjakan sesuatu14
2. RUQYAH : Meminta perlindungan bagi orang yang sakit dengan
doa yang diajarkan Rasulullah atau dengan ayat Alquran
3. SHAR’IYYAH : Yang berdasarkan syariat
Penelitian ini merupakan upaya untuk mendapatkan informasi tentang
teknik ruqyah shar’iyyah dari dalam kitab Sunan Abu> Da>wud setelah
10
dilakukan penelitian terkait kualitas hadis, kehujjahanserta pemaknan tentang
hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah.
E. Telaah Pustaka
Dalam menciptakan orisinalitas karya tulis ilmiah, cara yang dapat ditempuh adalah melakukan kajian yang merupakan rekomendasi dari
penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan pihak lain.15 Adapun
setelah dilakukan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang
berkaitan dengan pengobatan penyakit fisik dengan terapi ruqyah shar’iyyah belum banyak ditemukan, karena pada umumnya penelitian tentang ruqyah
shar’iyyah lebih difokuskan untuk mengobati atau mengusir gangguan jin dan
sihir. Di antaranya adalah:
1. Skripsi yang ditulis oleh Mizan Anshori dari Fakultas Dakwah Universitas
Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Ruqyah Syar’i Penawar Sihir Dan
Kesurupan Jin. Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui bagaimana
konsep dasar dan pelaksanaan ruqyah shar’iyyah sebagai penawar atau penyembuh terhadap pasien yang terkena guna-guna sihir dan kesurupan
jin di pondok Baitussalam Prambanan Yogyakarta.
2. Skripsi yang ditulis oleh Duwiyati dari Fakultas Dakwah Universitas
Negeri Sunan Kalijaga dengan judul “Terapi Ruqyah Syar’iyyah Untuk Mengusir Gangguan Jin.” Tidak jauh berbeda dengan skripsi yang ditulis
11
oleh Mizan Anshori di atas, skripsi yang ditulis oleh Duwiyati ini juga
bertujuan untuk mengetahui konsep dasar terapi ruqyah syar’iyyah yang dipraktekkan di Baitur Ruqyah Syar’iyyah Kotagede, Yogyakarta.
3. Skripsi yang ditulis oleh Siti Fatimah dari Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat yang berjudul “Ludah Dan Tanah Sebagai Obat Dalam Sunan Abu> Da>wud Nomor Indeks 3895” Fokus penelitian skripsi ini adalah tentang khasiat ludah dan tanah sebagai obat serta kehujjahan hadis tersebut.
Dari ketiga skripsi di atas, belum ditemukan adanya tema yang sama
dengan penelitian yang hendak penulis lakukan. Selain obyek penelitiannya
berbeda, konsentrasi yang diteliti juga berbeda dengan penelitian-penelitian di
atas sehingga masih terdapat ruang penelitian yang sangat luas untuk meneliti
hadis yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dalam kitab Sunan Abu> Da>wud. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberi
kontribusi positif terhadap khazanah keilmuan Islam dalam bidang
pengobatan dengan ayat-ayat suci al-Quran dan doa-doa yang diajarkan Nabi
atau yang lebih dikenal dengan istilah ruqyah shar’iyyah. F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti
12
empiris dan sistematis.16 Berikut akan dipaparkan metode yang digunakan
dalam penelitian ini.
1. Model Penelitian
Model penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
library research, yaitu suatu riset kepustakaan dengan menggunakan metode
kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperoleh
dari perpustakaan berupa buku-buku, kitab-kitab, naskah-naskah atau surat
kabar yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.17
2. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana disebut di atas bahwa penelitian ini bersifat liberary
research. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah dokumentasi, yakni mencari data-data hadis
yang menerangkan tentang teknik ruqyah shar’iyyah dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
3. Sumber Data
Dilihat dari sumber datanya, maka dapat dikualifikasikam menjadi dua sumber yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data, sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang
16 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 2.
13
tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.18 Adapun dalam
penelitian ini, sumber primer dan sumber sekunder yang penulis gunakan
antara lain:
a. Sumber Primer
1) Sunan Abu> Da>wud karya Sulaiman ibn al-Ash’as ibn Ishaq ibn Bashir ibn Shidad ibn Amr al-Azdi al-Sijistani.
2) ‘Aun al-Ma‘bu>d Sharh Sunan Abu> Da>wud karya Shamsul H}aq ‘Adhim ‘Abadiy.
b. Sumber Sekunder
1) H}alal-H}aram Ruqyah karya Musdar Bustaman Tambusai
2) Terapi Qur‘ani karya Achmad Zuhdi
3) At}-T}ib An-Nawa>wi, karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah
4) Kaidah Kesahihan Hadis karya Syuhudi Ismail
5) Metodologi Penelitian Hadis karya Syuhudi Ismail
6) Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis karya Umi
Sumbulah
7) Studi Kitab Hadis karya Zainul Arifin
8) Pengantar Studi Ilmu Hadis, karya Manna’ Al-Qaththan
dan karya lain yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian
ini.
14
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam
dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan
meliputi dua komponen tersebut.
Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan
pendekatan keilmuan rija>l al-hadith dan al-jarh} wa al-ta’dil dengan mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut
(tah}ammul wa al-ada>’). Hal ini dilakukan agar supaya diketahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang periwayat serta validitas pertemuan
antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.19
Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan
penegasan eksplisit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah,
informasi hadis-hadis lain yang berkualitas sahih serta hal-hal yang oleh
masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.20
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian ini, maka perlu
adanya sistematika pembahasan sebagai berikut:
15
BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka,
metodologi penelitian serta sitematika pembahasan. Bab ini
digunakan sebagai pedoman acuan dan arahan sekaligus target
penelitian agar penelitian dapat terarah dan pembahasannya tidak
melebar.
BAB II Kerangka Teoritis, yang membahas tentang kriteria kesahihan hadis, teori kehujjahan hadis, teori pemaknaan hadis, lambang
periwayatan. Bab ini merupakan landasan yang akan menjadi tolok
ukur dalam penelitian ini.
BAB III Data penelitian, yang membahas tentang biografi singkat Abu> Da>wud dan kitab sunannya, komentar ulama terhadap Abu> Da>wud
dan Kitab Sunannya, data hadis serta hadis penunjang dari kitab
lainnya.
BAB IV Analisis data, yang berisi analisis dan pembahasan hadis tentang terapi ruqyah shar’iyyah dalam Sunan Abu> Da>wud. Bab ini mencakup penelitian sanad, matan, kehujjahan dan pemaknaan
hadis.
16
pertanyaan dan bab ini juga berisi saran-saran yang konstruktif
BAB II
TEORI KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS
A. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis
Keadaan sanad dan matan hadis sangat beragam. Hal itu dapat
dimaklumi karena kualitas dan kapasitas intekektual periwayat yang
terlibat dalam periwayatan hadis juga sangat beragam. Sehingga hal
tersebut memengaruhi kualitas hadis. Suatu hadis dapat dikategorikan
sebagai hadis sahih jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat
dalam sanad hadis dari periwayat pertama hingga akhir terus
bersambung. Rangkaian periwayat hadis mulai dari mukha>rrij
sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi saling memberi dan
menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya;
keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu
hadis.1
Di kalangan ulama hadis terkait dengan bersambungnya sanad
dikenal juga dengan sebuah istilah hadis muttas}il atau hadis
maus}ul. Hadis muttas}il atau maus}ul adalah hadis yang bersambung
sanadnya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun
hanya sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi hadis muttas}il atau
18
maus}ul ada yang marfu>’ (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang
mauqu>f (disandarkan kepada sahabat Nabi).2
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadis menempuh cara sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang
diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
melalui kitab-kitab rija>l al-h}adis, misalnya kitab
Tahdhi>b al-Tahdhi>b, susunan Ibn Hajar al-‘Atsqalaniy,
Tahdhi>b Al-Kama>l, susunan Al-Mizziy dan kitab
al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy.
Sehingga dari kitab-kitab ini dapat diketahui
kredibilitias periwayat serta hubungan kesamaan zaman
dan hubungan antara guru dan murid dalam
periwayatan hadis.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para
periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang dipakai berupa h}addatsani>,
h}addatsana>, akhbarana>, ‘an, anna atau kata-kata
lainnya.3
Jadi suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila
seluruh periwayat dalam sanad itu thiqah (‘adil dan d}a>bit}) dan
19
antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan
periwayatan hadis.
2. Periwayat bersifat adil
Sifat adil adalah sifat dasar yang harus dimiliki oleh
seorang periwayat yang dapat dipercaya. Periwayat yang tidak
termasuk adil tidak dapat diterima riwayatnya, walaupun misalnya
periwayat itu memiliki hafalan yang sempurna. Ketidakadilan
seseorang menjadikan diri orang itu tidak dapat dipercaya
riwayatnya.4
Kata ‘adil berasal dari bahasa arab yang berarti
pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan
secara istilah para ulama berbeda pendapat.5 Al-Sauka>ni> dan
Al-Ghaza>li> memberikan kriteria perawi yang adil adalah setiap perawi
yang beragama Islam, baligh, berakal, memelihara muru>’ah, tidak
berbuat dosa besar seperti syirik, menjahuhi (tidak selalu berbuat)
dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat
merusakkan muru>’ah.6
Secara umum dapat dinyatakan, ulama telah
mengemukakan cara penetapan kadilan periwayat hadis yakni
berdasarkan:
4 Ibid.,128.
20
a. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya,
misalnya Ma>lik bin Anas dan Sufyan al-Sauriy, tidak
lagi diragukan keadilannya.
b. Penilaian dari kritikus periwayat hadis; penilaian ini
berisi pengugkapan kelebihan dan kekurangan yang ada
pada diri periwayat hadis.
c. Penerapan kaedah al-jarh} wa al-ta’di>l, cara ini
ditempuh, bila para kritikus periwayat hadis tidak
sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
Khusus untuk para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama
menilai mereka bersifat adil. Oleh karena itu, dalam proses
penilaian periwayat hadis, pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh
ulama hadis dari segi keadilan sahabat.7
Ta’dil dapat diterima tanpa menyebutkan alasan dan
sebabnya menurut pendapat yang s}a>h}i>h} dan mashhu>r, karena
sebabnya banyak sehingga sulit menyebutkannya. Sedangkan jarh}
tidak boleh diterima kecuali dengan alasannya, karena hal itu
terjadi disebabkan satu masalah dan tidak sulit menyebutkannya.8
3. Periwayat bersifat d}a>bit}
Menurut Ibn Hajar al-‘Athqa>laniy dan as-Sakha>wiy, yang
termasuk dalam kriteria periwayat yang bersifat d}abit} ialah orang
7 Ibid., 119.
8Manna Al-Qaththan, Maba>hith Fi> ‘Uluumi Al-Hadi>th, ter. Mifdhol Abdurrahman,
21
yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan
mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia
menghendakinya.9
Ada pula ulama yang menyatakan, orang d}abit} ialah orang
yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia
memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia
menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal
dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya
itu kepada orang lain dengan baik. Sebagian ulama menyatakan,
orang yang d}a>bit} ialah orang yang mendengarkan riwayat
sebagaimana seharusnya; dia memahaminya dengan pemahaman
yang mendetail dan dia hafal dengan sempurna, dan dia memiliki
kemampuan yang demikian itu mulai dari saat dia mendengar
riwayat sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang
lain.10
Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan,
maka kriteria sifat d}a>bit} adalah sebagai berikut:
a. Periwayat itu memahami dengan baik terhadap riwayat
yang telah didengarnya (diterimanya).
b. Periwayat itu hafal dengan baik terhadap riwayat yang
telah didengarnya (diterimanya).
22
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah
dihafalkannya itu dengan baik kapan saja dia
menghendakinya; sampai saat dia menyampaikan
riwayat itu kepada orang lain.
Adapun cara penetapan ke-d}abit}-an seorang periwayat,
menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan
sebagai berikut:
a. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian para ulama.
b. Ke-d}abit}-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal
ke-d}abit}-annya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya
sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat
harfiah.
c. Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami
kekeliuran, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang d}abit}. Tetapi apabila kesalahan itu
sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak
lagi disebut sebagai periwayat yang d}abit}.11
Ke-d}abit}-an sendiri terbagi menjadi dua, yakni d}abit} s}adr dan
d}abit} kitab. D}}abit} s}adr adalah seorang periwayat yang hafal dengan
23
sempurna hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalkannya kepada orang lain. Sedangkan yang
dimaksud d}abit} kitab adalah seorang periwayat yang memahami dengan
baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya ; apabila
ada kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.
Ke-d}abit}-an kitab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang tatkala
menerima dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qira’ah
‘ala al-shaikh ataupun ijazah.12
4. Terhindar dari shudhu>dh (ke-shadh-an)
Ada tiga pendapat terkait penentuan shadh suatu hadis, yaitu: 1.
Menurut Muhammad Idris al-Sya>fi’i (W. 204 H/820 M) hadis shadh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang thiqah tetapi
riwayatnya bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan
orang yang thiqah juga; 2. Menurut Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405
H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat yang thiqah secara mandiri, tidak ada periwayat thiqah
lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut; dan 3. Menurut Abu
Ya’la al-Khalili (w. 405 H/1014 M), hadis shadh adalah hadis yang
sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat thiqah
maupun tidak bersifat thiqah.13
Pada umumnya ulama hadis mengikuti pendapat al-Syafi>’i di
atas. Dari penjelasan al-Syafi>’i tersebut dapat dinyatakan bahwa
12 Ibid., 122.
24
hadis s}adh, tidak disebabkan oleh (a) kesendirian individu periwayat
dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal hadis fard mut}laq
(kesendirian absolut); atau (b) periwayat yang tidak thiqah. Hadis
baru kemungkinan mengandung shudhu>dh bila hadis itu memiliki
lebih dari satu sanad, para periwayat hadis tersebut seluruhnya
thiqah, dan matan atau sanad hadis itu ada yang mengandung
pertentangan. Hadis yang mengandung shudhu>dh tersebut oleh
ulama disebut hadis shadh, sedang lawan dari hadis shadh disebut
sebagai hadis mah}fu>z}.14
5. Terhindar dari ‘illat
Menurut bahasa,‘illat merupakan isim maf’ul dari kata
a’allahu yang berarti yang cacat. Adapun menurut Istilah, hadis yang
jika dicemati terdapat cacat yang merusak kesahihannya, meski
secara lahirnya selamat dari cacat (‘illat).15
Sebagaimana shudhu>dh hadis, ‘illat hadis juga dapat terjadi di
matan, di sanad, atau di matan dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang
lebih sering terjadi ‘illat hadis adalah pada sanad. Ulama hadis
umumnya menyatakan, ‘illat kebanyakan berbentuk: 1. Sanad yang
tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi mauqu>f; 2.
Sanad yang tampak muttas}il dan marfu>’, ternyata muttas}il tetapi
mursal (hanya sampai ke al-t}abi’iy); 3. Terjadi percampuran hadis
dengan bagian hadis lain; dan 4. Terjadi kesalahan penyebutan
25
periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki
kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama thiqah.16
Ulama hadis pada umumnya mengakui, shudhu>dh dan ‘illat
hadis sangat sulit untuk diteliti. Hanya mereka yang benar-benar
mendalam pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti
kualitas hadis yang mampu menemukan shudhu>dh dan ‘illat hadis.
Sebagian ulama hadis lain menyatakan, penelitian shudhu>dh hadis
lebih sulit daripada penelitian ‘illat hadis. Hal ini terbukti karena
belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang hadis
shadh, sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal, walaupun
jumlahnya tidak banyak tetapi telah ada. Adapun sebab utama
kesulitan penelitian tentang kedua hal ini adalah karena kedua hal ini
terdapat dalam sanad yang tampak sahih. Para periwayat hadis itu
bersifat thiqah dan sanadnya tampak bersambung. Shudhu>dh dan
‘illat hadis baru dapat diketahui setelah hadis itu diteliti lebih
mendalam, antara lain dengan diperbandingkan dengan berbagai
sanad yang matannya mengandung masalah sama.17
B. Kriteria kesahihan matan hadis
Dari segi bahasa, matan berarti: punggung jalan (muka jalan);
atau tanah yang keras dan tinggi. Dari segi istilah, matan berarti materi
berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqri>r Nabi yang terletak
26
setelah sanad yang terakhir.18 Kajian tentang matan penting untuk
dilakukan dalam penelitian hadis, karena sanad tidak akan bernilai baik
jika matannya tidak dapat dipertanggungjawankan keabsahannya.19
Penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian sanad,
demikian juga kriteria dan cara penilaian terhadap keduanya. Hal yang
patut untuk diperhatikan dalam hubungannya dengan pelaksanaan
kegiatan kritik sanad dan matan hadis adalah meneliti matan setelah
melakukan penelitian terhadap sanadnya, sehingga matan yang diteliti
akan bermanfaat jika sanad hadis yang bersangkutan telah memenuhi
syarat untuk hujjah. Bila sanad bercacat berat, maka matan tidak perlu
diteliti sebab tidak akan bermanfaat untuk hujjah.20
Adapun untuk metode penelitian matan, menurut Syuhudi
Ismail, kaidah yang dipergunakan untuk meneliti matan hadis adalah
apakah matan tersebut sesuai atau tidak dengan petunjuk/atau
ketentuaN-ketentuan umum dari:
1. al-Qur‘an
2. Hadis Mutawatir
3. Ijma’ ulama
4. Logika
Bagi matan hadis yang sesuai atau tidak bertentangan dengan
empat macam tolok ukur diatas dinyatakan sebagai hadis sahih, sedang
18 Ismail, Pengantar Ilmu…., 21.
19 Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik…., 58.
20 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
27
yang bertentangan atau tidak sesuai dinyatakan sebagai hadis d}a’if atau
bahkan mawd}u>’.21
Tolok ukur yang empat macam di atas, oleh ulama diperinci lagi
menjadi beberapa macam. Dr. Musthafa As-Siba’iy misalnya, dalam
bukunya sebagaimana yang dikutip Syuhudi Ismail memuat tujuh
macam. Dinyatakan bahwa suatu matan hadis dinilai berkualitas palsu
(tidak berasal dari Nabi), apabila matan tersebut:
1. Susunan gramatikanya sangat jelek.
2. Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal.
3. Menyalahi al-Qur’an yang telah jelas maksudnya.
4. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman
Nabi.
5. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya,
sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap
madhabnya.
6. Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut
diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya
diriwayatkan oleh seorang saja.
7. Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk
perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap
suatu perbuatan yang tidak berarti.22
28
Menilai hadis hanya dari segi matannya saja tanpa menilai
sanad dan rawinya merupakan suatu hal yang sangat berbahaya. Sebab
para pemalsu hadis akan dengan sangat mudah untuk menyampaikan
suatu pernyataan yang memenuhi tolok ukur di atas bila rangkaian
sumber berita atau sanad tidak diadakan penelitian sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu metode yang lebih hati-hati dalam menilai
suatu hadis adalah dengan menggunakan metode gabungan, yakni:
metode isnad dan matan.23
C. Teori kehujjahan hadis
Umat Islam zaman dahulu sampai zaman sekarang sepakat,
terkecuali kelompok yang berpaling menyalahinya, bahwa hadis Nabi
yang berupa sabda, perbuatan dan pengakuannya itu merupakan salah
satu sumber hukum Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam atau
sebagai dasar-dasar pokok syariat Islam.24 Ulama berdepakat bahwa
hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadis yang maqbu>l,
sedangkan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah adalah hadis yang
mardu>d.
1. Hadis maqbu>l
Maqbu>l, menurut bahasa berarti ma’khu>d (yang diambil) dan
musaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut
istilah adalah:
23 Ibid
29
25
لوبقلاى رشىعيمىهيفىترفاوتىام
“Hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat
penerimaan.”
Menurut Al-Baqi dan Jala>l al-Di>n as-Suyut}i kriteria hadis
maqbu>l adalah sebagai berikut:26
a. Perawinya adil
b. Perawinya d}a>bit} walaupun tidak sempurna
c. Sanadnya bersambung
d. Susunan kalimatnya tidak rancu
e. Tidak terdapat ‘illat yang merusak
f. Terdapat mata rantai yang utuh
Berikut pembagian hadis yang tergolong maqbu>l:
a. Hadis sahi>h li dha>tihi>, yaitu hadis yang sanadnya bersambung
melalui riwayat rawi yang adil lagi d}abit dari rawi yang semisal
hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (shudhu>dh)dan cacat
(‘illat)yang merusak.27
b. Hadis sahi>hli ghairihi, yaitu hadis yang tidak memenuhi
sifat-sifat hadis maqbu>l secara sempurna, karena ia sebenarnya
25 Zainul Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis, (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 156
26 Ridlwan Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi Cara Praktis Menguasai Ulumul
30
bukan hadis sahih namun naik derajatnya lantaran ada faktor
pendukung yang data menutupi kekurangan yang ada.28
c. Hadis h}asan li dha>tihi, yaitu yaitu hadis yang sanadnya
bersambung dengan para perawi-perawi yang adil dan daya
ingatannya kurang sempurna mulai dari awal sanad sampai
akhir sanad tanpa kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat (‘illat)
yang merusak.29
d. Hadis h>asanli ghairihi yaitu hadis d}aif yang dikuatkan dengan
beberapa riwayat lain, dan sebab ke-dhaif-annya bukan karena
kefasikan perawi hadis (yang keluar dari jalan kebenaran) atau
kedustaannya.30
Adapun hadis maqbu>l dibagi menjadi dua yakni ma’mu>l bihi>
(diterima dan dapat diamalkan ajarannya) dan ghairu ma’mu>l bihi>
(diterima dan tidak dapat diamakan ajarannya). Yang termasuk
ma’mu>l bihi> adalah:31
a. Hadis muh}ka>m, yakni hadis yang telah memberikan pengertian
jelas.
b. Mukhtalif, yakni hadis yang dapat dikompromikan dari dua
buah hadis atau lebih, yang secara lahiriah mengandung
pengertian bertentangan.
28 Nashir, Ilmu Memahami Hadis Nabi…., 114. 29 Ibid., 120.
31
c. Ra>jih}, yakni hadis yang lebih kuat, dan hadis na>sikh, yakni
hadis yang me-nasakh terhadap hadis yang datang terlebih
dahulu.
Adapun yang ghairu ma’mu>l bihi>dapat dibagi menjadi:32
a. Marjih}, yakni hadis yang kehujjahannya dikalahkan oleh
hadis yang lebih kuat.
b. Mansu>kh, yakni hadis yang telag di-nasakh (dihapus), dan;
c. Mutawaquf fi>h, yakni hadis yang kehujjahannya ditunda,
karena terjadinya pertentangan antara satu hadis dengan hadis
lainnya yang belum bisa dikompromikan.
Jika dilihat dari ketetntuan-ketentuan hadis maqbu>l seperti
yang telah diuraikan di atas, maka hadis maqbu>l dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu Hadis S}ah}i>h} dan H}asan.33
2. Hadis mardu>d
Mardu>d, menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang
“tidak diterima”. Sedangkan mardu>d menurut istilah adalah:
34
ا عبى اى رشلاىكلتىدقف
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat
hadis maqbu>l.”
32 Ibid., 157. 33 Ibid.
32
Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi
pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadis jenis
ini menjadi dua macam, yaitu Hadis d}ai>f dan hadis mawd}u>’.
Adapun beberapa faktor penyebab hadis d}ai>f tertolak adalah
sebagai berikut:35
a. Segi Rawi. Adanya unsur-unsur cacat pada rawi, baik dalam
hal keadilannya maupuun dalam ke-d}abit}-annya antara lain:
1. Unsur dusta, yakni berdusta dalam membuat hadis
walaupun hanya sekali seumur hidup. Hadis ini dikenal
dengan hadis mawd}u>‘.
2. Unsur tertuduh dusta, yakni perawi yang terkenal dalam
pembicaraan dusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia
pernah berdusta. Hadis ini dikenal dengan hadis matru>k.
3. Unsur kefasikan, yakni adannya kecenderungan dalam
amal, bukan kecurangan i’tikad, juga mereka berbuat
maksiat.
4. Unsur kelengahan hafalan dan banyaknya kesalahan, yakni
lenngah dalam penerimaan hadis dan banyak salah dalam
penyampaiannya. Hadis dari seorang yang fasiq, lengah
hafalan dan banyak salah dikenal dengan hadis munkar.
33
5. Unsur banyaknnya sangkaan buruk (waham), yakni salah
sangka seolah-olah hadis tidak ada cacat pada matan dan
sanadnya. Hal ini dikenal hadis mu‘allal.
6. Unsur menyalahi riwayat orang kepercayaan. Pada unsur
ini terdapat lima unsur hadis, yaitu; Hadis mudraj, Hadis
Maqlu>b, Hadis Mud}d}arib, Hadis Muh}arraf, dan Hadis
Mus}ah}h}af.
7. Unsur tidak diketahuinya identitas rowi. Apabila hal ini
terjadi dikenal dengan istilah hadis Mubham.
8. Unsur penganut bid‘ah, yakni adanya kecurangan dan
i‘tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari Nabi
dengan dasar shubhat. Hadis ini dikenal dengan hadis
mardu>d.
9. Unsur hafalan yang tidak baik, yakni menyalahi riwayat
orang yang lebih rajah atau karena buruk hafalan
disebabkan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, hilangnya
kitab. Bila pertama dikenal dengan hadis shadh dan kedua
dengan hadis mukhtali>t}.
b. Segi sanad. Hadis bisa dinyatakan d}ai>f bila sanadnya tidak
bersambung. Rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru
sehinga mengakibatkan ketidaksambungannya pada sanad. Hal
34
1. Gugurnya sanad pertama, bahwa rawi yang menyampaikan
hadis kepada mudawwin. Hal ini dikenal dengan hadis
mu‘allaq.
2. Gugurnya sanad terakhir atau rawi pertama, bahwa
periwayatan hadis kepada Nabi tanpa menyebutkan dari
sahabat mana ia menerima hadis tersebut. Hal ini dikenal
dengan hadis mursal.
3. Gugurnya dua orang rawi atau lebih secara berurutan, dan
hal ini dikenal dengan hadis mu’d}al.
4. Gugurnya seorang rawi atau lebih tetapi tidak berurutan,
dan hal ini dikenal dengan hadis munqat}i’.
c. Segi matan. Materi hadis terputus tidak sampai pada
Rasulullah, disebabkan dua hal, yakni:
1. Penisbatan kepada sahabat, bila ini terjadi maka hadis
disebut hadis mauqu>f yang didefinisikan sebgai berita yang
hanya dinisbatkan kepada sahabat, baik itu perkataan, atau
perbuatan dan baik itu sanadnya bersambung atau terputus.
2. Penisbatan matan kepada tabi’i>n, dan apabila ini terjadi
maka hadis ini disebut hadis maqthu>‘ yang didefinisikan
sebagai perkataan atau perbuatan dari seorang tabi‘i>n serta
dinisbatkan kepadanya, baik sanadnya bersambung ataupun
35
Dapat disimpulkan, bahwa hadis d}ai>f itu berarti lemah dan
dinyatakan lemah, apabila pada jalur sanadnya ditemukan
perawi yang tidak dipercaya atau pada matannya yang
terputus.36
D. Teori pemaknaan hadis
Bagaimana memahami hadis Nabi, memang merupakan persoalan
yang urgen untuk dikedepankan. Persoalan ini berangkat dari realitas
hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Persoalannya
menjadi semakin kompleks, karena keberadaan hadis itu sendiri dalam
beberapa aspeknya berbeda dengan al-Qur’an. Dalam kaitannya
dengan al-Qur’an, pengkodifikasiannya secara mutawa>tir, qat}’iy
al-wuru>d, dijaga otentitasnya oleh Allah dan secara kuantitas sedikit lebih
banyak dibandingkan hadis. Sementara hadis nabi tidaklah demikian
kondisinya.37
Syuhudi Ismail dalam bukunya Telaah Ma’ani Al-Hadits
Tentang Ajaran Islam Yang Uiversal Temporal Dan Lokal
menyatakan, bahwa hal-hal yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan
suasana yang melatarbelakangi atau sesuatu yang menyebabkan
terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam
pemahaman suatu hadis. Mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat
36 Arifin, Ilmu Hadis, Historis dan Metodologis…., 168.
37 Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi”, dalam Wacana Studi
36
dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih
tepat dipahami secara yang tersirat (kontekstual).38
Menurutnya, pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual
dilakukan apabila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan
dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang
terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadis yang bersangkutan. Sementara itu, pemahaman dan
penerapan hadis secara kontekstual dilakukan apabila “di balik” teks
suatu hadis, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang
bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak secara tekstual.39
Adapun Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Kaifa Nata’amalu
Ma’a As-Sunnati an-Nabawiyyah, beliau memaparkan setidaknya ada
delapan poin penting yang mampu memberikan sebuah opsi bagi
peneliti hadis dalam kaitannya dengan ilmu hadis. Dalam hal ini
tentang petunjuk dan markah untuk memahami hadis Nabi dengan
baik. Adapun poin-poin tersebut akan penulis jelaskan sebagai
berikut:
1. Memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‘an.
Untuk memahami sunah dengan baik dan benar, agar
terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk,
maka hendaklah suatu hadis dipahami berdasarkan petunjuk al-Qur’an
38 Syuhudi Ismail, Telaah Ma’ani Al-Hadits Yang Universal Temporal Dan Lokal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009), 6.
37
yang sudah pasti kebenarannya dan diyakini keadilannya. al-Qur’an
merupakan ruh bagi keberadaan Islam dan fondasi bangunannya, yang
mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang pokok sebagai
sumber perundang-undangan Islam. Sedangkan hadis Nabi merupakan
penjelas perundangan itu secara terperinci. Dengan kata lain, hadis
Nabi merupakan penjelas secara teoritis dan penerapannya. Artinya,
penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan materi yang
dijelaskannya.40
2. Memadukan hadis yang topik pembahasannya sama
Untuk dapat memahami hadis secara benar, seorang peneliti
harus menghimpun hadis-hadis sahih yang topik pembahasannya sama.
Dengan demikian hal-hal yang shubhat dapat dijelaskan dengnan
hal-hal yang muh}ka>m, dan hal-hal yang mut}laq dapat dibatasi dengan hal
yang muqayyad (terikat), dan hal-hal yang bermakna umum dapat
ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga jika hal ini
dilakukan makna yang terkandung dalam hadis tersebut dapat menjadi
jelas dan tidak bertentagan dengan hadis yang lain.41
Diawal sudah dijelaskan bahwa fungsi hadis adalah
menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskan maknanya. Dengan kata lain
bahwa hadis memerinci makna al-Qur‘an yang bersifat global,
menafsirkan bagian al-Qur‘an yang masih belum jelas,
40 Dr. Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’ al-Sunnah Nabawiyyah, terj. Bahrun Abubar (Bandung: Trigenda Karya, 1996), 96.
38
mengkhususkan yang umum, dan mengikat makna yang mutlak, maka
sudah seharusnya ketentuan ini dipelihara dalam bagian hadis yang
menafsirkan sebagian hadis lain. Apabila seorang peneliti hanya
terfokus dalam satu hadis saja tanpa memadukannya dengan hadis
yang lain, maka akan terjerumus ke dalam kesalahan dan
menjauhkannya dari pemahaman yang benar terhadap hadis tersebut.42
3. Memadukan atau mentarjih hadis-hadis yang (tampaknya)
betentangan.
Menurut kaidah, nas}-nas} syariat yang telah dikukuhkan itu tidak
mungkin bertentangan karena antara satu perkara yang haq tidak akan
bertentangan dengan perkara yang haq lainnya. Jika terdapat
pertentangan antara nash-nash yang ada di dalamnya, maka hal itu
hanya menurut makna tekstualnya saja, tetapi tidak bertentangan pada
hakikat dan kennyataannya. Atas dasar itu, seorang peneliti wajib
menghilangkannya. Menurut Yusuf Qaradhawi, jika pertentagan itu
masih bisa dihilangkan dengan cara mengkolaborasikan dua nas} yang
bersangkutan tanpa harus bersusah payah mencari takwil yang jauh,
maka hal ini lebih utama daripada menggunakan cara tarji>h, karena
mentarjih sama dengan menafikan salah satu dari kedua nash yang
tampak bertentangan tersebut.43
4. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya.
42 Ibid.
39
Poin penting berikutnya kaitannya dalam memahami hadis
Nabi adalah dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan
mengetahui latar belakang ketika hadis diterbitkan kaitannya dengan
sebab atau alasan tertentu yang tertuang dalam teks hadis atau tersirat
dari maknanya, atau terbaca dari kenyataan yang melahirkan
keberadaan hadis tersebut. Selain itu harus diketahui juga kondisi yang
meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa hadis tersebut
diucapkan. Sehingga dengan demikian, maksud hadis dapat diketahui
dengan jelas dan terhindar dari pemahaman yang menyimpang.44
Para ulama mengatakan bahwa faktor yang dapat membantu
memahami al-Qur‘an dengan pemahaman yang baik adalah
mengetahui asba>b al-nuzu>l (latar belakang penurunannya), sehingga
tidak terjerumus kepada pemahaman yang salah. Jika asba>b al-nuzu>l
Alquran diperlukan bagi orang yang ingin memahami maknanya atau
hendak menafsirkannya, maka asba>b al-wuru>d hadis (latar belakang
penurunan hadis), lebih diperlukan lagi. Dengan pendekatan ini maka
fungsi sunnah akan teraplikasikan yakni, menanggulangi sebagian
besar masalah yang bersifat temporer, detail, dan berkaitan dengan
tempat. Oleh karena itu hadis memiliki kekhususan dan rincian yang
tidak terdapat di dalam al-Qur‘an. Untuk itu harus dibedakan hal yang
bermakna khusus dan bermakna umum, yang bersifat temporer dan
yang bersifat tetap, yang bersifat juz‘i> (sebagian) dan yang bersifat
40
kulli (menyeluruh) yang masin-masing memiliki ketentuan hukum
tersendiri.45
5. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang bersifat tetap
dari setiap hadis.
Sebagian orang banyak yang keliru dalam memahami hadis
Nabi. Salah satu penyebabnya adalah mereka mencampuradukkan
antara tujuan atau sasaran tetap yang dituju oleh suatu hadis dan
merealisasikannya dengan sarananya yang bersifat temporer dan
adakalanya berwawasan kedaerahan. Mereka hanya memusatkan
perhatian kepada sarana-sarana tersebut , seakan-akan sarana itu
merupakan tujuan yang dimaksud. Padahal bagi siapa saja yang
benar-benar berusaha menggali makna yang terkandung di balik kata-kata
yang tersurat dalam hadis, akan menemukan kejelasan bahwa hal yang
terpenting adalah tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini karena tujuan
itu bersifat tetap dan permanen, sedangkan sarana adakalamya
berubah-ubah, seiring dengan perubahan lingkungan, zaman, atau
tradisi yang berlaku serta faktor-faktor lain yang memengaruhinya.46
6. Membedakan makna hakiki dan makna majazi
Menurut Yusuf Qaradhawi, dalam banyak hadis terdapat
ungkapan Nabi yang bersifat majaz untuk menggambarkan makna
yang dituju dengan ungkapan indah dan sangat memikat. Majaz di sini
mencakup majaz lugha>wi, ‘aqli, dan isti‘a>rah, kina>yah dan isti’arah
41
tamthiliyah, serta ungkapan lainnya atau lafazh lainnya yang tidak
mengandung arti yang sebenarnya. Memahami makna majazi, tidak
semudah memahami makna hakiki, karena dalam memahami redaksi
yang menggunakan lafazh majazi, memerlukan penafsiran atau
pena’wilan sehingga dapat diketahui maksud yang sebenarnya dari
suatu hadis tersebut. Masih menurut Qaradhawi, takwil yang
mengartikan makna hadis sebagai suatu kiasan, tidaklah ditolak oleh
agama selama tidak mempersulit dan menyimpang, serta sepanjang
masih ada hal yang mengharuskan untuk ditakwilkan. Pengertian
keluar dari makna hakiki kepada makna majazi adalah apabila terdapat
suatu tanda yang menghalangi penyampaian maksud makna hakiki
menurut penilaian akal atau hukum syara’ yang benar, atau ilmu pasti,
atau kenyataan yang mendukungnya.47
7. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata
Diantara kandungan hadis adalah membahas hal-hal yang
berkaitan dengan alam gaib yang sebagiannya menyangkut
makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam nyata seperti para malaikat
yang telah diperintahkan Allah untuk menangani berbagai macam
tugas dan juga jin, penduduk bumi yang dikenakan takli>f sama seperti
umat manusia, ia dapat melihat kita, tetapi kita tidak dapat melihatnya.
Diantara mereka terdapat setan-setan, yaitu bala tentara iblis yang telah
bersumpah di hadapan Allah bahwa dia akan menyesatkan manusia
42
dan menghiasi kebatilan dan kejahatan dengan keindahan supaya
mereka (manusia) mengerjakannya.48
Sebagaian hadis yang membicarakan perkara gaib ini ada yang
predikatnya tidak mencapai s}ahi>h, sehingga tidak dapat dijadikan
pegangan. Adapun pembahasan dalam perkara ini hanya menyangkut
hadis-hadis yang terbukti kesahihannya dan bersumber dari Nabi.
Sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim menerima
hadis-hadis yang telah terbukti kesahihannya. Tidak boleh seorang pun
menolaknya hanya karena bertentangan dengan kenyataan yang biasa
dialami atau mustahil terjadi menurut kebiasan manusia selama hal
tersebut masih bisa ditoleransi oleh rasio.49
8. Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis
Suatu hal yang amat penting dalam memahami hadis Nabi
dengan pemahaman yang benar adalah memastikan makna dan
konotasi kata-kata tertentu yang digunakan dalam susunan kalimat
hadis. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah karena
perubahan dan perbedaan lingkungan. Masalah ini akan lebih jelas
diketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa serta
pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Sejumlah orang memang
adakalanya membuat istilah dengan memakai lafaz-lafaz untuk
menunjukkan kata tertentu yang belum ada istilahnya. Akan tetapi
yang membahayakan adalah berkaitan dengan istilah atau kata yang
43
digunakan dalam al-Qur‘an maupun hadis, lalu diartikan sesuai dengan
istilah masa kini yang akibatnya akan menimbulkan kekacauan dan
kekeliruan.50
E. Teknik terapi Ruqyah Shar’iyyah dan media yang digunakan
Dalam beberapa hadis Nabi Saw, dapat diketahui tentang
cara-cara melakukan ruqyah dan media yang dipergunakan, di antaranya
adalah dengan cara (a) sekedar membaca doa atau beberapa ayat
al-Qur’an; (b) membaca do’a, meniup kedua telapak tangan kanan ke
badan yang terasa sakit serta mengusapnya ke seluruh anggota badan;
(c) membaca do’a, meniup dan sedikit meludah; (d) membaca do’a
dan meletakkan tangan kanan ke badan yang terasa sakit serta
mengusapnya; (e) membaca do’a dan meletakkan jari di tanah
kemudian mengangkatnya; (f) membaca do’a dan memasukkan tangan
ke dalam air yang dicampur dengan garam; (g) membaca do’a,
menuangkan air zam-zam dan meminumnya; (h) memukul dada,
meniup mulut dengan sedikit air ludah dan mengusap wajah sambil
membaca do’a.51
50 Ibid., 218.
BAB III
TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS TENTANG TEKNIK
RUQYAH SHAR’IYYAH
DALAM SUNAN ABU
<
DA
<
WUD
A. Biografi Singkat Abu>Da>wud
Nama lengkap Abu> Da>wud adalah Sulaiman Ibn al-As}’as} ibn Isha>q ibn
Bashir ibn Shidad ibn ‘Amr al-Azdi al-Sijistani>. Al-Sijistani> adalah nisbah pada
tempat kelahirannya, yaitu sajistan, salah satu daerah yang terdapat di Bas}rah
pada tahun 202 H.1
Abu> Da>wud terlahir di lingkungan dan keluarga yang yang religius, kedua
orang tuanya merupakan seorang hamba yang taat beragama. Oleh orang tuanya,
sejak kecil Abu> Da>wud dididik dan dikenalkan dengan ilmu-ilmu ke-Islaman
yang sangat kaya. Selanjutnya, orang tuanya mendidik dan mengarahkan Abu>
Da>wud agar menjadi ulama besar yang disegani.2
Sejak kecil, Abu> Da>wud sudah mencintai ilmu dan para ulama’ guna
menimba ilmunya. Persiapan dirinya untuk mengadakan perlawatan ke berbagai
negeri telah ia siapkan sebelum ia dewasa. Dalam menempa diri agar menjadi
ulama besar, ia pergi ke beberapa negeri yaitu Kufah, Baghdad, Harrat, Rayy,
Khurasan, Tarsus, Damaskus, Mesir dan Basrah. Abu> Da>wud mengunjungi
Baghdad pada tahun 221 H. Hal ini menunjukkan bahwa ia memulai belajar
tentang hadis dalam usia yang masih sangat muda, yakni pada usia 19 tahun.3
1 Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis & Metodologis, (Surabaya : Pustaka Al-Muna, 2014), 260.
2 Dhulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Jogjakarta: Insan Madani, 2008), 102.
45
Dalam perjalanan studinya ini ia bertemu dengan beberapa ulama, dan dari
mereka ia meriwayatkan Hadis. Sewaktu berada di Baghdad, ia mengajarkan
hadis dan fiqih kepada penduduk di Baghdad dan kitab sunan Abu> Da>wud sendiri
sebagai pegangan. Selanjutnya atas permintaan gubernur di Bashrah, yang juga
saudara Khalifah Al-Muwafiq, meminta agar Abu> Da>wud menetap di Bashrah
untuk menjadi guru, khususnya dalam bidang ilmu Hadis. Didalam kota ini pula
Abu> Da>wud meninggal yakni pada tanggal 16 Syawwal 275 H yang bertepatan
dengan tanggal 21 Februari 899 M. Selain ahli hadis, Imam Abu> Da>wud juga ahli
dalam bidang fiqih, hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kitab Sunannya
yang bercorak fiqih.4
Perjalanan studinya ke berbagai negara telah berhasil mengantarkan Abu>
Da>wud menjadi seorang al-Ha>fidh yang menguasai ‘illat al-h}adis, dirasat
al-asa>nid dan atas keilmuan yang telah dikuasainya ini, juga menobatkan dirinya
sebagai al-Faqih kedua dalam jajaran ulama al-muh}addithi>n setelah Imam
Bukhori. Tercatat dalam bidang ilmu hadis, sekitar 300 ulama Hadis yang telah
menjadi gurunya sebagaimana yang diperkirakan oleh Ibnu H}ajar al-‘Athqa>lani.
Ulama yang menjadi guru Imam Abu> Da>wud banyak jumlahnya. Diantara
guru-gurunya yang paling terkemuka adalah Ima>m Ah}ma>d ibn Hanbal, Abdulla>h Ibn
Raja’, Abu> al-Wali>d al-T}ayalisi, dan lain-lain. Sebagian gurunya