HADIS PERINTAH PERANG DALAM KITAB
SUNAN IBN
MAJAH
NOMOR INDEKS 3927
SKRIPSI
Oleh:
ROBIATUL ADAWIYAH
E03213076
PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
HADIS PERINTAH PERANG DALAM KITAB
SUNAN IBN
MAJAH
NOMOR INDEKS 3927
SKRIPSI
Diajukan Kepada:
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam
Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
ROBIATUL ADAWIYAH
E03213076
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Robiatul Adawiyah, 2017. PERINTAH PERANG DALAM SUNAN IBN
MA<JAH NOMOR INDEKS 3927
Berbagai fenomena dalam masyarakat menuntut adanya penyelesaian. Salah satu fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah maraknya teror dan bom bunuh diri di Indonesia. Hadis diatas menyatakan bahwa Rasu<lullah SAW memerangi orang-orang mushrikin yang mulai meninggalkan ajaran Islam. Hadis ini difahami secara mentah dan dijadikan rujukan oleh kelompok radikal untuk melakukan teror dan bom bunuh diri.
Fakta ini yang mendorong penulis melakukan penelitian untuk mengetahui maksud dari pemaknaan terhadap hadis tersebut lebih mendalam sekaligus menelusuri apakah sanad dan matan hadis tersebut telah memenuhi kriteria ke-s{ahi<h-an hadis.
Penelitian pada hadis Sunan Ibn Ma>jah tentang Perintah Perang No. Indeks 3927 diharapkan dapat memberikan satu pemahaman yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menjawab fenomena ini. Penelitian ini mengarah pada kualitas, keh}ujjahan, pemaknaan, dan implikasi hadis. Dalam pengumpulan data digunakan metode takhrij, i’tibar, kritik sanad maupun matan dan teori pemaknaan.
Penelitian hadis tentang perintah perang ini menghasilkan bahwa hadis tersebut berkualitas S}ahi>h li Dha>tihi. Hal ini disebabkan karena sanadnya muttas{il, periwayat yang pertama sampai terakhir semuanya thiqah, dan tidak ditemukan adanya shudhudh dan ‘illat. Juga disamping itu matan hadis tidak bertentangan dengan tolak ukur yang dijadikan barometer penilaian ke-s{ahi>h-an matan, maka hadis tentang Perintah Perang ini termasuk kategori maqbu>l ma‘mu>lun bihi, sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagaih}ujjah. Setelah metode Ma’a>ni al-H{adi>th diterapkan, menghasilkan makna bahwa tujuan Rasu>lulla>h SAW memerangi adalah untuk mengembalikan ajaran Islam yang mulai dikesampingkan oleh kaum kafir Makkah. kemudian makna tersebut dikontekstualkan kepada realitas kekinian, yaitu kelompok radikal yang menggunakan hadis ini secara tidak menyeluruh dan digunakan untuk mencekoki orang-orang Islam awam agar melakukan teror terhadap muslim lainnya yang tidak sefaham dengannya dan dianggap kafir. Upaya kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa kekacauan yang terjadi di negara Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai bukti kurangnya kesadaran setiap individu atas sifat toleran terhadap sesama muslim, serta kurangnya pengetahuan tentang agama menjadi peluang besar bagi para kelompok radikal untuk melakukan aksinya. Maka jika seseorang ingin mengambil suatu dalil dari al-Qur’a>n maupun h}adi>th, perlu untuk memperhatikan rujukan dalil tersebut yang sudah diakui ke-s{ahi>han-nya.
x
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ...i
ABSTRAK ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN SKRIPSI ...iv
PERNYATAAN KEASLIAN...v
MOTTO ...vi
PERSEMBAHAN ...vii
KATA PENGANTAR ...ix
DAFTAR ISI...x
PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Kegunaan Penelitian ... 10
F. Telaah Pustaka ... 10
G. Penegasan Judul ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
BAB II : KAIDAH KES{AH{I<HAN H{ADI<TH, KEHUJJAHAN H}ADI<TH, SERTA TEORI PEMAKNAAN H}ADI<TH
A. Kaidah Kes}ah}i>h}an H}adi>th ... 18
1. Kritik Sanad... 19
2. Kritik Matan ... 22
B. Kaidah Keh}ujjahan H}adi>th ... 23
C. Teori Pemaknaan H}adi>th ... 26
1. Pendekatan dari Segi Bahasa... 27
2. Pendekatan dari Latar Belakang Turunnya H}adi>th ... 28
D. Teori Perdamaian ... 29
1. Pengertian Damai ... 29
2. perdamaian dalam Islam ... 31
BAB III : IMAM IBN MA<JAH DAN H}ADI>TH TENTANG PERINTAH PERANG A. Biografi Imam Ibn Ma>jah ... 36
1. Guru dan Murid Imam Ibn Ma>jah ... 36
2. Karya Imam Ibn Ma>jah ... 37
B. Kitab Sunan Ibn Ma>jah ... 37
1. Pendapat Ulama tentang Kitab Sunan Ibn Ma>jah ... 39
C. H}adi>th tentang Perintah Perang ... 40
xii
BAB IV : ANALISISH}ADI>THTENTANG PERINTAH PERANG
A. Kualitas dan Keh}ujjahan H}adi>th tentang Perintah Perang .... 64
1. Analisis sanad H}adi>th tentang Perintah Perang ...64
2. Analisis matan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 69
3. Analisis Keh}ujjahan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 75
B. Pemaknaan H}adi>th tentang Perintah Perang ... 76
C. Implikasi H}adi>th Tentang Perintah Perang dalam Kehidupan Manusia ... 86
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 91
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam disyari’atkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan
dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun
masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum islam itu
menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia. Aspek-aspek kepentingan
manusia itu menurut para ulama, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu:
dharuriyyat(primer),hajjiyat(sekunder), dantahsiniyyat(stabilitas sosial).1 Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah etika
(akhlak-agama), kultural (ilmu-iptek), dan profesi (amal shaleh-keahlian). Petunjuk kitab
suci maupun sunnah Nabi dengan jelas menganjurkan kepada para pemeluk
agama (Islam) untuk meningkatkan kesadaran beretika, berkultur, dan berprofesi.
Ketiga kesadaran inilah yang amat dibutuhkan pada era global ini.2
Ada banyak penafsiran tentang al-Qur’a>n, yang menunjukkan betapa
pentingnya teks yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Al-Qur’a>n
telah memberikan inspirasi kepada berjuta-juta manusia di muka bumi ini, yang
akan terus berlangsung selama manusia masih hidup di dunia. Banyak musuh
Islam yang mencoba menyerang kitab suci ini dan mencoba untuk
membuktikannya dengan cara merek bahwa al-Qur’a>n menimbulkan rasa benci
1Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: PT. Penamadani 2004),
19.
2
terhadap orang yang tidak percaya kepadanya, serta menunjukkan bahwa
al-Qur’a>n memerintahkan agar mereka dibunuh. Asumsi ini tentunya memberikan
kekakuan dan kefanatikan sistem keyakinan, seolah karena al-Qur’a>n-lah umat
Islam menjadi fanatik dan telah menumpahkan banyak darah di bumi ini.3
Ketika agama membentuk dasar hubungan masyarakat dengan menyediakan
penafsiran tentang hubungan sosial serta legitimasi, pada saat itulah agama
mempunyai fungsi ideologis: wajah agama yang hadir dalam tatanan sosial.
Yakni, tatanan sosial yang dikehendaki oleh tuhan. Oleh karena itu,
hubungan-hubungan antara berbagai kelompok yang membentuk masyarakat (mestinya)
merupakan produk dari kehendak tuhan yang harus didasarkan pada aturan
pencipta bumi. Hubungan-hubungan sosial adalah naturalisasi tatanan sosial.
Menurut pandangan Hourtart, setiap naturalisasi hubungan sosial yang tidak
seimbang merupakan sumber dari munculnya kekerasan, baik ketika
membentuknya, mereproduksinya, atau ketika adanya resistensi dalam
mentransformasinya.
Hal yang sama juga terjadi ketika agama dijadikan sebagai faktor
pembentukan identitas. Identitas bisa didefinisikan sebagai rasa memiliki pada
etnis, agama atau kelompok sosial tertentu yang pada gilirannya memberikan
status, stabilitas sosial, dan cara berpikir tertentu. Agama bisa menjadi pembentuk
identitas, sehingga orang yang berasal dari suku atau etnis yang sama bisa
menjadi berbeda karena agamanya berbeda. Inilah yang terjadi di Sri Langka,
dimana suku Sinhalese adalah penganut Budha sementara suku Tamil penganut
3
Hindu. Meskipun begitu, dalam kasus Sri Langka, agama hanya menimbulkan
pergolakan dalam satu kelompok, Sinhalese. Ini disebabkan suku Sinhalese
merasa identitasnya sebagai rakyat terancam, karena mereka dipaksa untuk
menganut agama Budha pada masa raja Azoka. Suku Tamil hindu secara bertahap
menduduki wilayah utara, sambil menghancurkan budaya dan agamanya.
Perlawanan dalam bentuk perang suci pun tidak bisa dielakkan, yang salah satu
daya pendorongnya karena adanya justifikasi dari ajaran agama. Kaum
Sinhalese-Budha melihantnya sebagai misi keagamaan. Inilah yang menyebabkan Budhisme
menjadi faktor munculnya kekerasan yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran
dasar Budhisme itu sendiri.
Semua agama-agama yang ada di dunia ini pernah dilibatkan oleh
penganutnya di dalam gerakan terorisme. Meskipun demikian, saat ini agama
yang menjadi sorotan dan sering dikaitkan dengan terorisme adalah Islam. Hal ini
tidak lepas dari fakta bahwa kasus-kasus yang menjadi sorotan tentang terorisme
belakangan memang bersinggungan dengan Islam, karena pelakunya adalah
kelompok Islam. Al-Qaedah misalnya, dianggap sebagai dalang dari terorisme
yang meluluhlantakkan gedung kembar di New York. Jama’ah Islamiyah
dianggap bertanggung jawab terhadap pengeboman di Bali, hotel Mariot dan
kasus-kasus terorisme di Asia Tenggara. Hammas dipandang sebagai biang kerok
dari terorisme yang ada di Timur Tengah, dan kelompo-kelompok yang lain.4 Jika disederhanakan, ada dua variabel penjelas utama untuk memahami
munculnya gerakan-geraan radikal di kalangan Islam, yaitu faktor dari dalam
4 Muhammad Asfar, Islam Lunak Islam Radikal (Surabaya:Pusdenham dan JP Press
4
Islam dan faktor dari luar Islam. Faktor dari dalam ini lebih banyak berkaitan
dengan penafsiran konsep jihad yang dipahami oleh sebagian penganut Islam.
Penganut gerakan-gerakan radikal Islam umumnya didorong oleh pemahaman
mereka tentang konsep jihad yang dimaknai sebagai perang terhadap non Muslim.
Mereka selalu melihat dunia ini dalam dua kaca mata: da>r al-harb (negeri non
Muslim atau perang) dan da>r al-Islam (negeri Islam). Daerah yang dianggap da>r
al-harb harus dipandang sebagai sasaran ekspansi dan penundukan. Ekspansi dan
penundukan itu menggunakan kata jihad sebagai slogan mobilisasi yang tak
jarang disertai senjata seperti pedang dan bom. Akibatnya, darah tercecer
dimana-mana. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘a>lamin dihadirkan dengan wajah
yang menakutkan.5
Implementasi konsep jihad lebih banyak dipahami sebagai perang suci. Jihad
dipahami sebagai kewajiban setiap muslim untuk menegakkan kalimat Allah di
muka bumi ini melalui kekuatan perang. Akibatnya, banyak kaum Muslim yang
rela sebagai martir untuk melakukan perang atas nama agama. Kelompok ini
merujuk pada ayat-ayat al-Qur’a>n yang membenarkan tindakan jihad dalam
pengertian perang suci, melawan kezaliman, sebagaimana yang pernah disebut
oleh Imam Samudra, pelaku bom bali, bahwa ada 28 ayat al-Qur’a>n yang
memerintahkan umat Islam untuk berjihad, sebagai dasar untuk membunuh
musuh. Namun, disamping 28 ayat jihad dalam pengertian perjuangan ini, kata
jihad juga disebut oleh Allah sekitar 41 kali.6
5 Muhammad Said Al-Ashmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem (Jakarta: Desantara
2002), 62.
5
Jihad dalam pengertian perang suci ini bisa ditujukan kepada banyak
kalangan, kaum kafir yang melakukan penyerangan terhadap kaum Muslim atau
orang Muslim yang sudah keluar dari keimanannya (murtad). Hanya saja, menurut
banyak ahli, konsep jihad dalam Islam tidak hanya dalam pengertian perang.
Perjuangan tidak harus dimaknai dengan mengangkat senjata, pengeboman,
apalagi menjadikan diri sebagai martir dalam bentuk melakukan bom bunuh diri.
Jihad besar sebenarnya dalam bentuk melawan hawa nafsu. Yaitu jihad melawan
diri sendiri.7
Sementara itu, gerakan radikalisme di kalangan Islam juga dipicu oleh faktor
luar. Pada awalnya, dan sebagian juga berlaku sampai sekarang, faktor luar ini
bisa berbentuk reaksi terhadap modernitas yang dilakukan oleh barat terhadap
dunia Islam. Daniel Lerner, menjelaskan munculnya fundamentalis di Timur
Tengah sebagai reaksi atas medernisasi yang dikenalkan barat yang di anggap
telah mendistorsi otoritas tradisional mereka. Namun, perkembangan belakangan
ini menunjukkan bahwa radikalisme di kalangan sebagian penganut Islam
didorong oleh kondisi sosial ekonomi internasional yang dianggap tidak adil bagi
kaum muslimin. Radikalisme Islam dipahami sebagai reaksi atas perlakuan tidak
adil yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, seperti adanya 7F perangkap
yahudi yakni food, film, fashion, free thinkers, financial, faith, and friction;
adanya konspirasi internasional untuk menghambat perkembangan agama dan
gerakan-gerakan Islam, yang melibatkan kekuatan antar negara dengan disponsori
oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pendek kata, radikalisme di kalangan
6
sebagian Islam ini sebagai reaksi atas ketidakadilan yang terjadi di dunia Islam,
seperti yang diungkapkan oleh seorang penulis: “ pada 200 tahun terakhir, umat
muslim tidak mendapatkan jalan untuk mengendalikan jalannya sejarah. Kita
tidak membuat sejarah, tetapi kita menjadi korban sejarah. Kita merupakan orang
yang mem\bawa manusia keluar dari kegelapan. Peradaban kita diambil oleh barat
yang asing, antagonistis, agresif, dan tidak beradab. Kita merupakan orang
pertama yang memperadabkan dunia...”.8
Dalam hadis perintah perang No. 3927 dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah
terdapat pedoman yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama yang teliti baik
dari kalangan salaf maupun kalangan khalaf. Pedoman yang dimaksud bahwa
seseorang yang hanya bermodalkan yakin dan mantap memeluk agama Islam,
maka hal itu sudah cukup baginya. Hanya dengan modal itu dia sudah dijuluki
sebagai seorang mukmin yang bertauhid. Dia tidak wajib belajar dalil-dalil yang
digunakan oleh para ulama ahli kalam. Hal ini sama sekali berbeda dengan
sekelompok ulama yang mewajibkan seseorang untuk mengetahui dalil agama
sebagai syarat untuk menjadi seorang muslim. Sekelompok ulama ini
beranggapan bahwa seseorang baru bisa dikatakan muslim jika sudah menguasai
beberapa dalil agama seperti yang dikuasai oleh ulama ahli kalam. Pendapat inilah
yang dianut oleh kebanyakan orang Mu’tazilah dan sebagian ulama ahli kalam.
Tentu saja pendapat seperti ini jelas-jelas salah.9
8Siddiqui Kalim,Seruan-Seruan Islam(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002), 130-131.
7
Dalam hadis ini lafaz}
memiliki makna memerangi yang
ditujukan kepada orang-orang yang menolak tauhid (musyrikin) karena mereka
menolak melaksanakan shalat dan membayar zakat. Syaikh Muhyiddin
al-Nawa>wi> berkata, “hadis ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja akan dibunuh atau di hukum mati.” Kemudian
beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Ketika al-Karmani ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan zakat,
beliau menjawab bahwa hukum shalat dan zakat adalah sama karena tujuan kedua
hal tersebut tidaklah berbeda, yaitu “memerangi” bukan “menghukum mati”.
Adapun perbedaannya, orang yang tidak mau membayar zakat dapat diambil
secara paksa sedangkan dalam shalat tidak dapat diperlakukan seperti itu. oleh
karena itu, jika seseorang telah mencapai nisab dan tidak mau membayar zakat
maka ia harus diperangi. Dalam kerangka ini, Abu> Bakar al-S}iddiq memerangi
golongan yang tidak mau membayar zakat. Tidak ada satupun riwayat yang
menunjukkan bahwa beliau membunuh mereka.10
Ibn Daqi>q al-‘Id dalam kitabnya syarh al-‘Umdah telah menjelaskan secara
panjang lebar dalam menolak pendapat yang menggunakan hadis tersebut sebagai
dasar legalitas eksekusi bagi yang meninggalkan shalat. Beliau berkata,
diperbolehkannya memerangi (golongan tersebut), bukan berarti diperbolehkan
membunuh mereka. Karena bentuk “ muqatalah” berasal dari wazan “mufa’alah” yang mengharuskan adanya interaksi dari kedua belah pihak, sedangkan dalam
al-qatlu (membunuh) tidak seperti itu. al- Baihaqi>meriwayatkan dari al-Sha>fi’i yang
8
berkata, “perang tidaklah sama dengan membunuh, karena terkadang kita
diperbolehkan memerangi seseorang tetapi tidakboleh membunuhnya.”11
Minimnya sebuah pengetahuan atau kurangnya sebuah pengkajian terhadap
makna jihad, yang mana telah menyebabkan spekulasi negatif terhadap makna
jihad itu sendiri, maka penelitian tentang makna jihad dengan mengkaji kitab
Sunan Ibn Ma>jah sangatlah tepat.
Dalam hal ini kitab Sunan Ibn Ma>jah merupakan kitab kajian yang tepat
untuk mengupas tuntas tentang makna jihad, sebab kitab ini mudah untuk
dipahami bagi peneliti.
Adanya keistimewaan tersebut, kitab hadis ini mampu mencuri hati penulis
untuk melakukan kajian penelitian tentang makna jihad. Sehingga hasil penelitian
ini mampu mengungkap makna yang sesungguhnya yang layak untuk dikuak
dengan tuntas dan akurat, dan masyarakat tak hanya mampu memahami dari
makna jihad itu sendiri, Namun mampu menelaah hal-hal yang positif tentang
jihad, dengan bersandar pada kitab Sunan Ibn Ma>jah. Dengan alasan inilah,
kemudian penulis mengangkat topik dengan judul hadis perintah perang dalam
kitab Sunan Ibn Ma>jah.
B. Identifikasi Masalah
Topik mengenai jihad memang sangat menarik dan tidak pernah surut
menjadi pembahasan hangat di kalangan masyarakat. Sebab dengan kedahsyatan
dampaknya, maka makna jihad itu sendiri mampu menyita perhatian masyarakat
9
untuk selalu dapat memecahkan problematika dari jihad tersebut. Adapun
kerangka bahasan di dalamnya antara lain:
1. Pemaknaan perang
2. Pemaknaan hadis perintah perang
3. Kualitas hadis perintah perang
4. Kehujjahan hadis perintah perang
5. Implikasi hadis dalam kehidupan manusia
Mengingat banyaknya masalah yang teridentifikasi serta untuk efisiensi
waktu dan tenaga diperlukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah dilakukan
agar kajian ini dapat fokus dengan hasil maksimal. Penelitian ini difokuskan pada
makna jihad yang ditawarkan oleh kitab Sunan Ibnu Majah dengan jihad zaman
sekarang.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kualitas dan keh}ujjahan hadis tentang Perintah Perang dalam
kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927?
2. Bagaimana pemaknaan hadis Perintah Perang dalam kitab Sunan Ibn
Ma>jah No Indeks 3927?
3. Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?
D. Tujuan dan Kegunaan
Setelah mengetahui persoalan yang telah dipaparkan diatas, berikut ini adalah
tujuan dan kegunaan penelitian yang akan dilakukan.
10
a. Untuk mengetahui kualitas dan keh}ujjahan hadis tentang Perintah
Perang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927.
b. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang Perintah Perang dalam
kitab Sunan Ibn Ma>jah No Indeks 3927.
c. Untuk mengetahui implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
2. Kegunaan
a. Secara akademik, turut memperkaya khazanah pemikiran keilmuan
terutama dalam bidang kajian al-Qur’a>n. Dalam hal ini pembahasan
mengenai makna perintah perang.
b. Dapat menjadi bahan dakwah untuk meningkatkan keimanan dan
ketakwaan umat Muhammad. Seperti kegiatan dakwah penyuluhan,
dakwah lapangan dan lain sebagainya.
E. Telaah Pustak
Kajian pustaka merupakan uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya tentang tema yang sejenis, sehingga diketahui
secara jelas posisi dan kontribusi peneliti. Dalam menghasilkan penelitian yang
komprehensif dan untuk memastikan tidak adanya pengulangan dalam penelitian
maka sebelumnya harus dilakukan sebuah pra-penelitian terhadap objek
penelitiannya.
Setelah peneliti melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya
11
Syari’at agama Islam itu mudah (kajian hadis dalm kitab Sunan al-Nasa>’i
No.5034) skripsi karya Bahrul, Takwallo jurusan Tafsir Hadis tahun 2016. Dalam
skripsi ini membahas tentang sifat Rasulullah SAW.
Radikalisme dalam Islam (tinjauan tentang asal-usul, doktrin, dan dampaknya
terhadap konflik sosial) skripsi karya Ramadhansyah jurusan perbandingan agama
tahun 2006. Skripsi ini membahas tentang latar belakang munculnya radikalisme
dalam Islam.
Jihad dalam al-Quran (telaah penafsiran terhadap surat al-Hujurat ayat 15) skripsi karya Nur Syamsuddin jurusan tafsir hadis tahun 2010. Skripsi ini membahas tentang makna jihad menurut mufassir berdasarkan surat al-Hujurat ayat 15.
F. Penegasan Judul
Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman, maka
sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara singkat
sebagai berikut:
Hadis : Sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad SAW.
Yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk
menjelaskan dan menentukan hukum Islam.12
Perintah : Perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.13
Perang : Permusuhan (pertempuran) bersenjata antara negara
dengan negara.14
12 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka 2005), 380. 13Ibid., 859.
12
Sunan Ibn Ma>jah : Imam Ibn Ma>jah, Vol.2, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, No
3927.
Ma’aniHadis :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan
memahami hadis Nabi Muhammad SAW.15
Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah untuk
mencari makna hadis tentang perintah perang dalam Sunan Ibn Ma>jah No Indeks
3927.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur yang digunakan untuk
melakukan penelitian sehingga mampu menjawab rumusan masalah dan tujuan
penelitian.16Maka dalam hal ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Model Penelitian
Model dalam penelitian ini adalah library research (penelitian
kepustakaan) yaitu dengan cara mencari dan meneliti hadis dari kitab-kitab
induk kemudian mengolahnya dengan kaidah keilmuan hadis.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk
mendapatkan data yang komprehensif tentang perintah perang dalam
pemaknaan hadis.
15 Abdul Mustaqim,Ilmu Maani al-Hadis Paradigma Interkonektif: Berbagai Teori dan
Metode Memahami Hadis Nabi(ttp: Erlangga, t.th), 23.
16Rosady Ruslan,Metode penelitian Public Relations dan Komunikasi(Jakarta: Rajawali
13
3. Sumber Penelitian
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini terdapat dua data,
yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data
utama yang digunakan dalam penelitian. Adapun data primer dalam
penelitian ini adalah kitab Sunan Ibn Ma>jah karya Abu> ‘Abdullah
Muhammad ibn Yazi>d Al-Qazwini.
Sedangakan sumber data sekunder adalah sumber data yang
melengkapi data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini antara
lain:
a. Fath}u al Bari>Sharh S{ahi>h al Bukhari>karya Zain al-Di>n Abd al-Rah}ma>n
ibn Ahmad ibn Rajab ibn al-Hasan al-Salami> al Baghdadi>
b. Sharh} S{ah}i>h} Muslim karya al-Ima>m Abu> Zakariya Yahya> bin Sharf
al-Nawawi>
c. Ilmu Hadiskarya Utang Ranuwijaya
d. Metode Takhrij dan Penelitian sanad hadis karya Mahmud al-Tahhan
e. Ulumul Hadiskarya Abdul Majid khon
f. Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>dhi al-Hadis al-Nabawy karya A.J.
Wenscink
g. Tahdhi>b al-Kama>l fi A sma>’i al-Rija>l karya Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf
al-Muzzi>
h. Kaidah Kesahihan Sanad Hadiskarya M. Syuhudi Ismail
14
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi. Yaitu dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel
berupa catatan, kitab, buku, jurnal, dan lain-lain. Melalui metode
dokumentasi ini, maka diperoleh data-data yang berkaitan dengan
penelitian berdasarkan konsep penelitian yang telah disiapkan sebelumnya.
Selanjutnya, dalam pencarian data akan digunakan metode takhri>j al hadi>th
dani’tiba>r al-hadi>th:
a. Takhri>j al-Hadi>th
Takhri>j yaitu menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada
sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya
dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing,
kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang
bersangkutan.17
Hal ini dilakukan bertujuan agar dapat diketahui banyak sedikitnya
jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian, juga
untuk mengetahui kuat dan tidaknya periwayatan. Semakin banyak jalur
periwayatan, semakin bertambah kekuatan riwayat, sebaliknya tanpa
dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak bertambah.
Kemudian, kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari
15
periwayatan jalur isna>d yang lain. Baik dari segi rawi, isna>d maupun
matan hadis.18
b. i’tiba>r al-hadi>th
Menurut istilah ilmu hadis, i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian
sanad-nya tampak hasanad-nya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tesebut akan dapat diketahui apakah
ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanaddari sanad
hadis yang dimaksud.
Dengan dilakukan i’tiba>r, maka akan terlihat dengan jelas seluruh
jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya,
dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat
yang bersangkutan. Jadi, kegunaan i’tiba>r adalah untuk mengetahui
keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya
pendukung berupa periwayat yang berstatusmutabi’atausha>hid.19
5. Teknik Pengolahan Data
Mengolah data berarti menimbang, menyaring, mengatur dan
mengklasifikasikan. Maka dalam konteksnya dengan judul skripsi diatas,
terhadap data-data yang bersifat dokumenter atau Library Research,
18Ahmad Husnan, Kajian Hadis metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993),
107.
16
penulis menggunakan analisis data kualitatif yaitu data yang tidak bisa
diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.20
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat
ditafsirkan.21 Sebagai pendekatannya, penulis menggunakan metode deskriptif, juga metode analitis yang artinya menggambarkan dan
menguraikan penafsiran Imam Ibn Ma>jah tentang makna perintah perang
yang tertuang dalam kitab Sunan Ibn Ma>jah. Metode deskriptif dan analitis
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin. Dengan
demikian penulis akan mengkritisi kitab Sunan Ibn Ma>jah.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
menampakkan titik beat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang
berhubungan sehingga tak dapat dipisahkan.
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi: Latar belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan penelitian, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika
Pembahasan. Dalam bab pertama ini tampak penggambaran isi skripsi secara
keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi
pedoman untuk bab kedua, ketiga, keempat dan kelima.
20Ibid., 76.
17
Bab kedua merupakan landasan teori, yang meliputi : Kaidah ke-S{ah}i>h}-an
hadis, kaidah ke-H}ujjah-an hadis, serta teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan
landasan yang menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.
Bab ketiga merupakan data Kitab Sunan Ibn Ma>jah dan Hadis Tentang
Perintah Perang, merupakan penyajian data tentang ImamMukharijdan kitabnya
yang meliputi Biografi Imam Ibn Ma>jah, Kitab Sunan Ibn Ma>jah, Data Hadis
tentang Perintah Perang, serta ditampilkan skemaSanad danl’tiba>rdari
masing-masing hadis tersebut.
Bab keempat berisi tentang analisa penulis yang didalamnya akan
ditampilkan kualitas dan kehujjahan hadis tentang Perintah Perang. Kemudian
pemaknaan Hadis Perintah Perang dan implikasi hadis tentang Perintah Perang
dalam kehidupan Manusia.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang
18
BAB II
KAIDAH KES{AHI<HAN H}ADI<TH, KEHUJJAHAN H}ADI<TH, SERTA TEORI PEMAKNAAN H}ADI<TH
A.
KAIDAH KES{AHI<HAN H}ADI<THUntuk mengukur kes{ahi>han suatu hadis diperlukan acuan standar yang dapat
digunakan sebagai ukuran menilai suatu hadis. Acuan yang dipakai adalah kaidah
ke-s{ahi>h-an hadis, jika hadis yang diteliti ternyata bukan hadis mutawa>tir. Para
ulama hadis mendefinisikan hadis s{ahi>h yaitu hadis yang sambung sanad-nya,
diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dha>bit, serta tidak terdapat
kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat yang samar (‘illat). Maka suatu hadis dapat
dinyatakans{ahi>hapabila memenuhi persyaratan diatas.1
Ke-s{ahi>h-an suatu hadis tidak menjamin keakuratan dari teks hadis tersebut.
Artinya bisa jadi persyaratan otentisitas sebuah hadis sudah terpenuhi
keseluruhannya, namun dari sisi analisis matan-nya dinilai ada kejanggalan.
Kadang ditemukan sebuah hadis yang sanadnyad}a’i>f namun sisi maknanya tidak
bermasalah, atau sebaliknya. Adapun kreteria Ke-s}ah}i>h-an hadis Nabi terbagi
dalam dua pembahasan, yaitu kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanad hadis dan Ke-s}ah}i>h-an
matanhadis. Jadi, sebuah hadis dikatakans}ah}i>hapabila kualitassanaddan
matan-nya sama-sama bernilais}ah}i>h.2
1Tim Penyusun MKD, Studi Hadis (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 156.
19
1. Kritik Sanad
Sanad merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keabsahan sebuah
hadis. Sanaddalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri
dari rawi yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan sumber riwayat,
yaitu Rasulullah SAW (pada hadismarfu<’) atau sahabat (pada hadismawqu<f) dan
tabi’in (pada hadis maqtu<’). Yang menjadi objek kajian pada sanad ini adalah
kualifikasi orang per-orang dalam jajaran rantai narasi tersebut, dan hubungan
antara masing-masing rawi yang di atas dengan di bawahnya secara berurutan.3 Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa hadis yang s{ahi>h adalah
hadis yang sudah memenuhi lima syarat, diantaranya:
a. Sanad-nya bersambung
Sanad-nya bersambung maksudnya adalah dari perawi pertama
sampai perawi terakhir tidak terjadi keterputusan sanad. Hadis yang
sanad-nya tidak bersambung masuk dalam kategori hadisd{a’i>f. Untuk
mengetahui apakah hadis tersebut bersambung atau tidak, dapat
dilakukan dengan beberapa cara:
- Mencatat semua nama perawi yang ada dalam sanad sehingga
dapat diketahui relasi guru ndan murid yang dipaparkan dalam
berbagai buku biografi perawi.4
- Mencari tahun wafat antara guru dan murid melalui referensirija>l
al-h}adi>th. Dan antara guru dan murid masa jeda tahun wafatnya adalah enam puluh tahun.
3Daniel Juned,Ilmu Hadis(Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama 2010), 28.
20
- Melihat sighat tahammul hadis semacam sami’tu, haddatsana,
akhbarana>, dan sebagainya.
b. Perawi yang‘A dil
Kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti pertengahan,
lurus, atau condong kepada kebenaran. Sedangkan secara istilah para
ulama berbeda pendapat.5 Dari berbagai pendapat para ulama, dapat
disimpulkan bahwa kriteria perawi yang adil yaitu:
- Beragama Islam
- Mukallaf
- Melaksanakan ketentuan agama
- Memelihara muru’ah
Untuk mengetahui keadilan para perawi hadis para ulama telah
menetapkan ketentuan sebagai berikut:
- Berdasarkan popularitas keutamaan perawi di kalangan para
ulama.
- Berdasarkan penilaian para kritikus hadis
- Berdasarkan penerapan kaidah al-jarhu wa al-ta’di>l.6
Cara ini ditempuh apabila para kritikus perawi tidak terbukti
menyepakati kualitas pribadi perawi tertentu. Jadi, penetapan
keadilan perawi diperlukan kesaksian para ulama kritikus hadis.
5Ibid.
6 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan
21
c. Perawi yangD{{abit
Secara harfiyah makna d{abit berarti kuat, kokoh, dan hafal
dengan sempurna.7 Sedangkan secara istilah berhubungan dengan
kapasitas intelektual. Adapun kriteria perawi d{abit yaitu:
- perawi dapat memahami dengan baik riwayat yang
didengarnya.
- perawi hafal dengan baik riwayat yang didengarnya.
- perawi mampu menyampaikan kembali riwayat yang telah
didengat itu dengan baik.
Ketiga kriteria diatas menurut para ulama disebut dengan d{abit
S{adr. Yaitu sifat yang dimiliki perawi yang memahami dengan baik
tulisan hadis yang dimuat dalam kitab yang dimilikinya, dan
mengetahui dengan baik letak kesalahan yang ada dalam tulisan yang
ada padanya.8
d. Tidak mengandungShudhudh
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian shudhudh
pada hadis, dan yang paling populer adalah pendapat imam al-Syafi’i,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih
thiqah.9
7Luwis Ma’luf,A l-Munjid fi al Lughah(Beirut: Dar al-Mashri>q, 1873), 445.
8MKD, Studi Hadis, 160.
9Abu>‘Abdullah al-haki>m al-Naisaburi,Ma’rifatu ‘Ulum al-Hadis(Kairo: Maktabah
22
e. Tidak ada unsur ‘illat
Yang dimaksud ‘illat dalam pembahasan ini adalah, sebab-sebab
tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya
menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak berkualitas s{ahi>h
menjadi tidak s{ahi>h.10langkah yang perlu ditempuh adalah dengan
cara menghimpun seluruh sanad untuk matan yang satu tema,
kemudian diteliti dengan cara membandingkansanaddanmatanyang
satu dengan lainnya. Apabila bertentangan dengan matan hadis
lainnya yang setema, atau kandungannya bertentangan dengan
al-Qur’a>n, maka hadis tersebut mengandung‘illat.11
Menurut para ulama, ‘illat hadis biasa ditemukan pada: (1)sanad
yang tampak muttasil dan marfu’, tetapi ternyata mawqu>f walaupun
sanad-nya muttasil, (2) sanad yang tampak marfu’ dan muttasil,
tetapi ternyata mursal walaupun sanadnya muttasil, (3) di dalam
hadis tersebut terjadi kerancuan karena tercampur dengan hadis lain
dan dalam sanad hadis tersebut terjadi kekeliruan penyebutan nama
periwayat yang memiliki kemiripan nama dengan perawi lain yang
kualitasnya berbeda.12
2. Kritik Matan
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd atau dari katatamyi<z yang
diartikan sebagai usaha membedakan dan menemukan kekeliruan dan kesalahan
10MKD, Studi Hadis, 164.
23
dalam rangka menemukan kebenaran. Jadi kritik matandisini maksudnya adalah
satu upaya mengkaji hadis Rasulullah SAW demi menentukan bahwa hadis
tersebut benar-benar datang dari Nabi Muhammad SAW.13
Dengan adanya kritik matan, akan dapat dibedakan antara hadis yang s{ahi>h
dengan yang lain termasuk hadis mawd{u<’ (palsu). Karena dengan mengadakan
penelitian terhadapmatansuatu hadis akan dapat dipastikan bahwamatantersebut
benar-benar berasal dari sumbernya.14
Dari berbagai tolok ukur yang ditawarkan oleh berbagai pakar hadis dapat
diambil kesimpulan pokok-pokok kritikmatanhadis mencakup:
1. Pengujian dengan ayat-ayat al-Qur’a>n.
2. Pengujian dengan hadis yang lebihs{ahi<h.
3. Pengujian dengan rasio dan logika yang sehat atau ilmu pengetahuan
atau penemuan ilmiah.
4. Pengujian dengan fakta historis yang diketahui oleh umum.15
B.
KEH}UJJAHAN H}ADI<THYang dimaksud dengan keh}ujjahan hadis adalah keadaan hadis yang wajib
dijadikan h}ujjah atau dasar hukum, sama dengan al-Qur’an dikarenakan adanya
dalil-dalil syari’ah yang menunjukkannya.
Keh}ujjahan hadis sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
qat{‘i yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW. Selain itu,
keabsahan hadis sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qat{‘i yang
13 Masturi Irham, “Kritik Matan (Sejarah dan Perkembangannya)”, Mutawa<tir Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis,vol. 3 No. 2 (Juli-Desember, 2013), 228. 14Ibid., 229.
24
menyatakan bahwa beliau tidak menyampaikan sesuatu kecuali berdasarkan
wahyu yang telah diwahyukan.16Para ulama mempunyai pendapat sendiri
mengenai teori keh}ujjahan hadiss}ah}i>h}, h}asandand}a‘i>f, yaitu:
1. Keh}ujjahan hadiss}ah}i>h}
Para ulama berpendapat bahwa hadiss{ahi>hdapat dijadikan hujjah, baik
rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya,
atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak
sampai mencapai derajat mutawa>tir.17
2. Keh}ujjahan hadish}asan
Meskipun derajat keabsahahan hadis h}asan dibawah hadis s{ahi>h, namun
para ulama hadis sepakat bahwa hadis h}asan dapat diterima dan dapat
digunakan sebagai dalil atau h}ujjah dalam menetapkan suatu hukum atau
sebagai pedoman dalam beramal.18
Hadis yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai h}ujjah,
disebut hadis maqbu>l, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang
dapat diterima, disebut hadismardu>d.
Hadis maqbu>l menurut sifatnya, dapat diterima menjadi h}ujjah dan
dapat diamalkan, yang disebut dengan hadis maqbu>l ma‘mu>lun bihi.
Sedangkan hadis maqbu>lyang tidak dapat diamalkan karena beberapa sebab
tertentu disebut hadismaqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih.
16Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis(Jakarta: Ahzam, 2008), 48.
17Muhammad Nur Ichwan,Studi Ilmu Hadis(Semarang: Rasail, 2007), 51.
25
1. Hadismaqbu>l ma‘mu>lun bihialah:19
- Hadis tersebut muh}kam, yakni dapat digunakan untuk
memutuskan hukum, tanpasubhatsedikitpun.
- Hadis tersebut mukhtali>f (berlawanan) yang dapat
dikompromikan, sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.
- Hadis tersebut rajih}yaitu hadis tersebut merupakan hadis
terkuat diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.
- Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga
mengganti kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis
sebelumnya.
2. Hadismaqbu>l ghayru ma‘mu>lun bih,ialah:20
- Mutashabbih(sukar dipahami).
- Mutawaqqaf fihi (saling berlawanan namun tidak dapat
dikompromikan).
- Marju>h}(kurang kuat dari pada hadismaqbu>llainnya).
- Mansu>kh (terhapus oleh hadis maqbu>l yang datang
berikutnya).
- Hadis maqbul yang maknanya berlawanan dengan Alquran,
hadis mutawattir,akal sehat dan ijma‘ para ulama.
19Fatchur Rohman,Ikhtisar Musthalahul Hadits(Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 144.
26
3. Keh}ujjahan hadisd}a‘i>f
Hadis d{a’i>f dapat digunakan sebagai dalil hukum atau sumber dengan
syarat:
a. tingkat ke-d{a’i>fan-nya tidak parah
b. berada dibawah nash lain yangs{ahi>h
c. ketika mengamalkan tidak boleh meyakini ke-thabit-annya,
maksudnya ketika kita mengamalkan hadis d}a’i>f tersebut, kita
tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda
Rasu>lulla>h SAW. Namun hanya menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari Rasu>lulla>h SAW.21
C. TEORI PEMAKNAAN H}ADI><TH
Teori pemaknaan yang timbul dalam sebuah hadis tidak hanya karena faktor
periwayatan dengan makna, akan tetapi juga disebabkan oleh faktor keterkaitan
dengansanad.
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, maka penting sekali
untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan
kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari satu
masa ke masa lainnya, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Inilah
yang menjadi alasan Yusuf al-Qard}awi untuk berhati-hati dalam memastikan
makna suatu kata tertentu dalam hadis.22
21Ibid.
27
1. Pendekatan dari segi bahasa
Dalam catatan sejarah, rintisan metode tematis dalam kajian hadis telah
dilakukan para ulama Mutaqaddimin. Imam al-Sha<fi’i (w.204 H/820 M)
Misalnya, mengemukakan mekanisme metode tematik dengan pertama-tama
mengumpulkan teks-teks hadis yang semakna maupun kontradiktif (berlawanan)
untuk kemudian dikompromikan maknanya.23
Adapun mekanisme yang kedua dengan ta’wi<l untuk mengungkap makna
yang dikehendaki teks. Para penyusun kutub al-sittah bagaimanapun dapat
dikatakan telah memperkenalkan tahapan-tahapan awal langkah metode tematik,
yakni dengan mengumpulkan hadis-hadis yang masuk dalam satu pembahasan.
Para ulama hadis yang secara spesifik menyusun kitabasbab wurud al-h}adi<th,
A l-nasikh wa al-mansu<kh, gha<rib al-hadi<th maupun mukhtalif al-h}adi>th
sebenarnya telah mengedepankan metode tematik dengan analisis komparasi
riwayah.
Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendekatan bahasa,yakni:
1. Menghimpun hadis-hadis yang setema
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis
yang sebenarnya, perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema.
Adapun prosedurnya ialah menghimpun hadis-hadis yang setema,
kemudian mengembalikan kandungan hadis yangmutasha<>bihkepada yang
muhkam, mengaitkan yangmut{laq kepada yangmuqayyaddan yang ‘amm
ditafsirkan dengan yang kha<s{. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk
28
menafsirkan al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya, maka sudah
pasti ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara
keseluruhan.24
2. Membedakan antara ungkapanHaqi<qahdenganMajaz
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majaz (kiasan atau
metafora), sebab Rasulullah adalah orang arab yang menguasai balaghah.
Rasulullah menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau
dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majaz
adalah majaz lughawi, ‘aqli, isti’arah, kinayah dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi
hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik
yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Menurut Yusuf al-Qard{awi, ada beberapa hadis yang harus diartikan
secara majaz, dengan alasan sesuai dengan nash-nash agama, adanya
alasan logis maupun empiris yang menghalangi pengertiannya secara
lahiriah. Sedangkan, jika hadis-hadis tersebut harus dipahami secara
lahiriah atau harfiah, juga karena adanya alasan yang logis dan empiris,
serta nash-nash agama yang memungkinkan hadis tersebut dipahami
secara lahiriah atau harfiah.25
2. Pendekatan dari latar belakang turunnyah}adi>th
Untuk memahami hadis nabi, dapat dengan memperhatikan sebab-sebab
khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau terkait dengan
24Suryadi,Metode Kontemporer, 145.
29
suatu ‘illah tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi
menyelesaikan berbagai problem yang bersifat lokal (maudhu<’i), partikular
(juz’i), dan temporal (ani). Dengan mengetahui hal tersebut, seseorang dapat melakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang
sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dengan yang universal.
Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing.26
Dengan demikian, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada lagi ‘illah, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya.
Hal itu sesuai dengan kaidah “ suatu hukum berjalan seiring dengan ‘illahnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya”. Begitu pula terhadap hadis yang
berlandaskan suatu kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan
mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang
dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.27 D. TEORI PERDAMAIAN
1. Pengertian Damai
Kata damai adalah antonim dari kata konflik, permusuhan, perseteruan,
sengketa, pertengkaran, perselisihan, dan pertikaian. Kendati demikian, dalam
hukum logika biner, keberadaan atau ketiadaan salah satu merupakan keberadaan
dan sekaligus ketiadaan yang lain. Damai tidak akan ada jika tidak ada konflik.
Damai menjadi ada hanya karena konflik juga ada. Ketika damai dinegasikan,
hadirlah konflik. Jika konflik dinegasikan, hadirlah damai. Damai adalah cermin
30
dari terkelolanya konflik. Damai bukanlah semata-mata ketiadaan perang, karena
perdamaian yang sejati adalah damai yang dinamis, partisipatif, dan berjangka
waktu panjang. Damai sejati dapat terwujud manakala nilai-nilai kemanusiaan
universal telah mengakar di segala lini, mulai dari kehidupan keluarga, sekolah,
komunitas, masyarakat, hingga negara.28
Secara etimologis, istilah perdamaian diterjemahkan dan dilafalkan secara
berbeda sesuai konstruksi bahasa dan tradisi masyarakat masing-masing.
Masyarakat Jerman memiliki istilah friede, Bangladesh mengenal istilah shanti,
dan Jepang menyebutnya heiwa. Masyarakat Indonesia sendiri menggunakan
istilah damai yang sering diartikan sebagai kondisi harmoni, tenang, dan tenteram.
Perdamaian dimaknai sebagai segala prakarsa dan upaya kreatif manusia untuk
mengatasi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan, baik langsung maupun
tidak langsung, struktural, kultural, maupun personal di masyarakat.
Dalam ajaran Islam, perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan
antar manusia. Sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber malapetaka yang
berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan
keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu
hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu.29
Dalam mendukung sifat damai Islam, para sarjana mengartikan kata Bahasa
Arab Islam sebagai “Perwujudan perdamaian”. Seorang Muslim menurut
al-Qur’a>n adalah ia yang damai dengan Tuhan dan manusia. Maksud damai dengan
28 Imam Taufiq, Al-Quran Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
al-Qur’an(Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2016), 31-32.
29 Perpustakaan Nasional, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
31
Tuhan adalah ketundukan sempurna pada kehendak-Nya yang jadi sumber segala
kemurnian dan kebaikan. Adapun maksud damai dengan manusia adalah
melakukan kebaikan kepada sesama manusia. “Tidak demikian, barang siapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT dan berbuat kebaikan
kepada yang lain, maka baginya pahala dari Tuhannya, dan tak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”(2:12). Penjelasan terkenal tentang pentingnya perdamaian tercermin dalam sapaan
Muslim sehari-hari yaitu “As-Salamu‘alaikum” yang berarti “Kedamaian atas kamu” ucapan ini berasal dari al-Quran:
Do´a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil ´aalamin".30
2. Perdamaian dalam Islam
Kedamaian dalam Islam dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial. Berdamai dengan tuhan lewat ketaatan dan
berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Islam
mewajibkan para pengikutnya untuk mencari kedamaian di segala bidang
kehidupan. Tujuan utama wahyu al-Quran bagi kaum Muslim adalah untuk
menciptakan tatanan sosial yang adil dan damai. Kedamaian dianggap sebagai
hasil yang dicapai hanya dengan ketaatan penuh pada kehendak Tuhan. Karena
32
itu, kedamaian mempunyai penerapan internal, personal, dan sosial, dan Tuhan
merupakan sumber penopang kedamaian tersebut.31
Menghindari kekerasan dan penyerangan dalam segala bentuknya menjadi
fokus utama dari nilai dan tradisi keislaman. Banyak ayat al-Quran yang
menekankan prinsip ini, di antaranya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.32
Pencarian perdamaian juga jelas dalam tradisi dan hidup Nabi Muhammad
SAW. Tradisi Nabi juga mendukung penghindaran kekerasan. Pengampunan atau
pemaafan dipandang sebagai reaksi terbaik terhadap kemarahan dan perselisihan.
Penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik dikesampingkan
dalam kehidupan Nabi dan al-Qur’a>n serta senantiasa dilihat sebagai usaha
terakhir. Semasa periode Makkah (610-622 M), Nabi Muhammad SAW tidak
menunjukkan kecenderungan pada pengerahan kekuatan dalam bentuk apapun,
bahkan untuk pertahanan diri. Bahkan ia melakukan kampanye perlawanan anti
31 Mohammed Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam, terj: M. Irsyad
Rhafsadi dan Khairil Azhar (Jakarta: Democracy Project, 2010), 114-115.
33
kekerasan melalui ajarannya di masa itu, ketika kaum Muslim merupakan kaum
minoritas.33
Ajaran Nabi pada masa itu khususnya berpusat pada nilai-nilai kesabaran dan
keteguhan dalam menghadapi penindasan. Selama 13 tahun, Nabi secara penuh
memakai metode anti kekerasan, bersandar pada ajaran spiritualnya dalam
menghadapi serangan dan bentrokan. Pada masa itu, meski ia disiksa, difitnah,
dan dihinakan, serta keluarga dan para pengikutnya diasingkan, dia tidak
mengutuk musuh-musuhnya ataupun menganjurkan kekerasan. Sebaliknya,
ajarannya terpusat pada ibadah dan harapan akan pencerahan dan kedamaian.
Dalam Islam, pengupayaan perdamaian meluas menyangkut perselisihan dan
pertentangan antar-perorangan maupun masyarakat. Muslim dilarang
menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaaan mereka, melainkan
harus bersandar pada arbitrase atau bentuk intervensi lainnya. Berbagai ayat
al-Qur’a>n memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mengembalikan
perselisihan kepada Tuhan dan Nabi-Nya. Untuk menjaga perdamaian antar umat
manusia dan umat beragama, tugas pokok para pemimpin adalah berupaya
mencegah meletusnya konflik dengan melakukan hal-hal berikut.34
Pertama,untuk menghadapi konflik pada umumnya, lebih-lebih konflik antar
agama, para pemimpin hendaknya memahami secara lebih baik tentang peran
agama bagi kehidupan para pemeluknya di mana pun mereka berada. Dunia Barat
yang sekuler seringkali meremehkan peran agama dan simbol-simbol yang
33Nimer,Nirkekersan dan...,116.
34 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer I (Jakarta: Lajnah
34
melekat di dalamnya, sehingga tidak jarang menimbulkan tindakan pelecehan
terhadap kitab suci dan penghinaan para pemimpin atau Nabi yang sangat
dihormati, seperti yang terjadi di Denmark, maupun di Inggris dengan kasus
Salman Rushdi. Hal ini menunjukkan ketidakpekaan para pemimpin politik dan
agama terhadap keberagaman kelompok tertentu sehingga menimbulkan respon
keras di dalam negeri, hingga menyebar luas hampir ke seluruh dunia Muslim.
Kedua,para pemimpin harus mewaspadai benih-benih konflik yang mengarah
pada timbulnya kekerasan untuk mengubah keadaan atau untuk menghentikan
perubahan. Para pemimpin bertugas menyalurkan kekuatan para tokoh atau
pemimpin kelompok yang berselisih ke arah perubahan yang damai dan anti
kekerasan.
Ketiga, dalam kasus-kasus yang disebut konflik agama, sebenarnya agama
hanyalah salah satu dari banyak faktor yang terlibat. Adapun isu pokoknya boleh
jadi persoalan-persoalan yang terkait dengan keberlangsungan hidup, keamanan,
keadilan, atau kejujuran hingga permasalahan-permasalahan kompleks seperti
kebutuhan untuk diakui, dihormati, otonomi, dan penentuan nasib. Rasa takut tak
jarang berperan sebagai pembakar emosi dan tindakan kekerasan yang mudah
meledak.
Keempat, Para pemimpin mendorong para kelompok yang berselisih untuk
menemukan pemecahan persoalan atas inisiatif mereka sendiri. Hal itu membantu
mereka membangun dan menumbuhkan cara-cara pemecahan masalah secara
mandiri dan mebangun komunitas yang lebih kokoh dengan cara mereka sendiri.
35
kebaikan, seperti kasih sayang, taat hukum, keadilan, hormat kepada orang lain
atau kelompok lain dan rendah hati adalah sifat-sifat yang dapat mendukung
terwujudnya perdamaian.
Kelima, para pemimpin agama mengingatkan kelompok-kelompok yang
berkonflik, bahwa keimanan atau kepercayaan mereka selamanya tidak
membolehkan tindakan menyerang kelompok lain atau melakukan tindakan
kekerasan apapun. Di samping itu, mereka hendaknya dapat menuntun proses
pengungkapan rasa penyesalan, rasa iba, kesedihan, dan pemberian maaf sebelum
langkah mengurai konflik dan perdamaian yang diusahakan. Dalam proses
resolusi, para diharap menghimbau seluruh kelompok yang berselisih untuk
mendasarkan apa saja yang akan mereka lakukan di atas landasan kepercayaan
36
BAB III
IMAM IBN MA<<<<<<JAH DAN H}ADI<TH TENTANG PERINTAH PERANG
A. Biografi ImamIbn Ma>jah
Nama lengkap Ibn Ma>jah adalah Abu>‘Abdullah Muhammad ibn Yazi>d
Al-Qazwini, dilahirkan di Qazwin salah satu kota di Iran pada tahun 207 H/824 M,
dan wafat pada tahun 273 H. Beliau belajar hadis di berbagai kota di antaranya
Irak, Hijaz, Mesir, dan Syam. Beliau juga belajar kepada murid-muridMa>lik dan
Laith, rahimahullah, sehingga beliau menjadi salah seorang imam terkemuka pada
masanya dalam bidang ilmu nabawi.1 1. Guru dan murid ImamIbn Ma>jah
Di antara ulama yang menyampaikan hadis kepadaIbn Ma>jahantara lain:
Abu>Bakar ibn Abi>Shaibah, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Numair, Hisha>m
ibn ‘Amma>r, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Rumh, Ahmad ibn al-Azhar,
Bishr ibn Adan, dan lain-lain.2
Ulama yang menerima hadis dari ibn Ma>jah antara lain:Muhammad bin
‘Isa al-Abhan, Abu>al-Hasan al-Qat{t{a>n, Sulaiman ibn Yazi>d al-Qazwini, Ibn
Sibawaihi, Isha>q ibn Muhammad, Ahmad ibn Ibra>him, dan ulama-ulama
lainnya.3
1Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis(Surabaya: Alpha, 2005), 104.
2Ibid.
3 Muhtadi Ridwan, Studi Kitab-Kitab hadis Standar (Malang: UIN-Maliki Press, 2012),
37
2. Karya-karyanya:
Ibn Ma>jah banyak mengarang buku yang tercatat oleh sejarah, di
antaranya: Kitab al-Sunan, Kitab al-Qur’a>n al-kari>m, Kitab al-Tarikh, berisi
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak masa sahabat sampai masa Ibn
Ma>jah.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling populer dan masuk dalam
al-Kutub al-Sittahialah kitabal-Sunanyang terkenal dengan sebutan “Sunan
Ibn Ma>jah”.4
B. Kitab Sunan IbnMa>jah
Kitab ini disusun oleh Muhammad ibn Yazi>d al-Qazwini, atau lebih dikenal
dengan sebutan Ibn Ma>jah. kitab Sunan ini disusun seperti bab fiqh, jumlah
hadisnya sebanyak 4.341 buah hadis. 3002 hadis, di antaranya diriwayatkan oleh
A s{h}a>b A l-Khamsah dan 1.339 buah hadis merupakan hadis zawa>’id (tambahan)
atas hadis yang sudah tercantum dalam al-Kutub al-Khamsah sebelumnya.5Dari
keseluruhan hadis itu, dinilai ulama ada yangs{ahi>h, h}asan, dand{a’i>f.
Keberadaan hadis zawa>’id dalam sunan ibn Ma>jah memiliki mutu sanad
yang berbeda-beda, dalam pengertian tidak semua sebanding dengan tingkat
kemaqbulannya, diantaranya:6
1. 428 hadis yang didukung oleh perawi yang thiqahdan memilikisanad
s{ahi>h
2. 199 hadis memilikisanad h}asan
3. 613 hadis memilikisanad d{a’i>f
4Zainul, Studi Kitab, 105.
5 M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT. Remaja
38
4. 99 hadis yang memiliki sanad sangat lemah, munkar, atau diduga
palsu.
Dalam proses mengoleksi hadisnya Ibn Ma>jah mengonsultasikan kepada Ibn
al-Ra>zi (W. 277 H) seorang ulama yang dikenal masa itu dengan spesialisasi
fiqhul-h}adi>th. Dari pemeriksaan al-Ra>zi itu pula Imam Ibn Ma>jah mengetahui
keberadaan 30 satuan hadis yang ber-sanad d{a’i>f. Dalam hal ini Ibn Khillikan
berpendapat sama dengan ibn al-Ra>zi bahwa hanya 30 hadis saja yang
benar-benar pantas dikategorikan sebagai hadisd{a’i>f.7
Dalam menyusun kitabnya, Ibn Ma>jah sama dengan al-Nasa>’i yaitu menurut
tertib sistematika fiqh. Ia menyusun menjadi beberapa kitab dan bab sunan ini
terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab, jumlah hadisnya sebanyak 4.000 buah.8untuk
perinciannya sebagai berikut: A l-Muqaddimah (24). Bab, al-T{aha>rah (139),
al-S{ala>h (13), al-A dha>n (6), al-Masjid (19), al-Iqa>mah (205), al-Jana>iz (65), al-T{alaq
(36), al-Zakah (27), al-Nika>h (63), al-Kafa>rat (21), al-Tija>rah (69), al-A hka<m
(23), al-Hibah (7), al-S{adaqah (21), al-Ruhum (24), al-shufi’ah (4), al-Luqa>t{ah
(4), al-Iqh (10), al-Hudu>d (38), al-Diyah (36), al-W as{a>ya (9), al-Fara>’id{(18),
al-Jiha>d (46), al-Mana>sik (108), al-‘A dalah (17), al-Dhaba>ib (15), S{aid (20),
al-A t{’imah (52), al-T{i>bb (27), al-Lina>s (46), A dab (59), Du’a (22), Ta’bir
al-Ru’ya (10), al-Fita>n (36), al-Zuhd (39) buah bab.9
7Ibid., 106.
8Zainul, Studi Kitab, 105.
39
1. Pendapat Ulama Tentang Kitab sunan Ibn Ma>jah
Sunan Ibn Ma>jah berisi 4.341 hadis yang s{ahi>h, h}asan, dand{a’i>f, bahkan ada
hadis yang sangat lemah. Oleh karena itu, para ulama sebelum abad ke-6 belum
memasukkannya ke dalam Buku Induk hadis Enam ( Ummaha>t Kutub
al-Sittah) kemudian dimasukkannya setingkat al-Muwat{t{a’ karya Imam Ma>lik. Para
ulama mendahulukan Sunan Ibn Ma>jah daripada al-Muwat{t{a’ dalam gabungan
Buku Induk Hadis Enam tersebut, karena di dalamnya terdapat beberapa hadis
yang tidak didapati dalam Kutub al-Khamsah, dan didapatkan lebih banyak dari
al-Muwat{t{a’.10
Abu> Faraj ibn al-Jauzi berpendapat sebagaimana disitir Abu> Shuhbah bahwa
ada 30 hadis maud{u>’ terdapat di dalam Sunan Ibn Ma>jah. melihat pendapat
tersebut, maka inilah yang membuat turunnya derajat Ibn Ma>jah. Maka ulama
Mutaqaddiminkeberatan memasukkan Sunan Ibn Ma>jah dalam deretan Kutub
al-Sittah. Dan sebagai gantinya adalahMuwat{t{a’Imam Ma>lik.11
Sedangkan al-Maqdisi> dalam kitabnya A t{ra>f al-Kutub al-Sittah, dan dalam
risalahnya Shuru>f A ’immah al-Sittah, ia telah menjadikan Sunan Ibn Ma><jah
sebagai kitab keenam dari al-Kutub al-Sittah, padahal hadis-hadis yang ada pada
al-Muwat{t{a’ Imam Ma>lik kebanyakan hadis-hadis s{ahi>h, dan ia tidak
menceritakan kecuali dari orang-orang yang terpercaya.
10Ibid., 299.
40
Terlepas dari pendapat pro dan kontra, yang jelas Sunan Ibn Ma>jah lebih
rendah derajatnya dari al-Kutub al-Khamsah, dan merupakan kitab Sunan yang
paling banyak mengandung hadisd{a’i>f.12
C. Hadis tentang Perintah Perang
Untuk mendapatkan data hadis yang valid tentang perintah perang , maka
penulis menggunakan sebuah kitab standar takhrij yaitu Mu’jam al-Mufahras li
al-Fa>dhi al-H}adi>th al-Nabawy>dengan menggunakan kata kunci Adapun .13
dalam penelitian ini penulis hanya menemukan pada hadis-hadis Kutub al-Sittah,
adapun data hadisnya sebagi berikut:
1.
Hadis Riwayat Ibn Ma>jah:
:
:
"
:
14
.
12Ibid., 107.
13 A.J. Wenscink,Mu’jam al-Mufahras li al-Fa>dhi al-H}adi>th al-Nabawy>,juz 5 (Madinah
Leiden: Brill, 1969), 297.
41
2. Hadis Riwayat Bukha<ri
: (
)
:
:
:
15
.
3. Hadis Riwayat Muslim
:
,
:
,
:
:
, :
:
16
.
,
,
4. Hadis Riwayat Abu> Da>wud
:
:
:
17
.
5. Hadis Riwayat Tirmidhi>
:
:
:
18
.
15 Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif, Shahi>h al-Bukha>ri, vol.1 (Beirut: Dar
al-Fikr 1993), 32.
16 Muslim bin al Hajja>j Abu al Hasan al Qushairi al Naisaburi, S{ahi>h Muslim, Vol. 5,
cet. Ke-2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008 ), 115.
17Abu Daud Sulaiman,Sunan A bu> Da>wud, vol. 2 (Beirut: Dar a-Kitab al-Ilmiyah 1996),
42
6.