• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01671

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01671"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 PEMENUHAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN BAGI PENGHAYAT

KEPERCAYAAN

(STUDI KASUS DI KOMUNITAS SEDULUR SIKEP di KUDUS)

Dr. Bambang Suteng Sulasmono, MSi/Progdi MMP-FKIP-UKSW

sulasmonobambang@yahoo.com

Ubbadul Adzkiya, MPd/Alumni MMP-FKIP-UKSW

adzkiya24@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kebijakan pemerintah tentang pendidikan keagamaan bagi penghayat aliran kepercayaan di Indonesia dan mendeskripsikan fenomena pemenuhan pendidikan keagamaan bagi para penghayat aliran kepercayaan di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Komunitas Sedulur Sikep Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Jenis penelitian ini adalah penilitian deskriptif kualitatif, dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belum pernah ada kebijakan pendidikan keagamaan bagi penghayat kepercayaan di Indonesia, karena selama ini pemerintah melalui Undang-Undangnya hanya mengatur tentang pendidikan agama bagi pemeluk enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Turunan dari undang undang itu dalam bentuk peraturan perundangan lain di bawahnya juga hanya memberikan fasilitas pemenuhan pendidikan agama bagi pemeluk ke enam agama resmi tersebut. Pemenuhan hak atas pendidikan keagamaan bagi penghayat Samin (Sedulur Sikep), atau agama Adam di Kudus dikembalikan kepada orang tua masing, karena pihak sekolah tidak bisa memfasilitasi guru keagamaan yang sesuai dengan keyakinan Sedulur Sikep. Para siswa dan orang tua Sedulur Sikep di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus berharap adanya pendidikan keagamaan yang sesuai dengan keyakinan mereka, serta adanya payung hukum yang jelas bagi pelaksanaan kegiatan pemenuhan hak atas pendidikan keagamaan tersebut.

Kata Kunci: kebijakan pemerintah, Pendidikan Keagamaan, Penghayat Kepercayaan

1. Pengantar

(2)

2 muncul pada masa penjajahan Belanda abad 19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar, Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenang-wenangan Belanda yang merampas tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Samin muncul pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Namun pada tahun 1890an pergerakan Samin berkembang di dua Desa di hutan kawasan Randublatung, Blora. Gerakan ini lantas dengan cepat menyebar ke desa-desa lainnya. Mulai

dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di sekitar perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam peta sekarang.

Dalam ajaran Samin terdapat lima pantangan dasar ajaran Samin yaitu; a) tidak boleh mendidik ana dengan pendidikan formal, b) tidak boleh bercelana panjang, c) tidak boleh berpeci, d) tidak diperbolehkan berdagang, dan e) tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Rosyid (2008) menganalisis alasan larangan pendidikan formal oleh ajaran Samin, sebagai berikut. Pertama, jika melaksanakan pendidikan formal akan merangsang anak untuk pintar membaca dan menulis, sehingga mereka akan bekerja meninggalkan pertanian, dan berujung pada lepasnya pantauan keluarga dan lepasnya ikatan kekeluargaan. Kedua, dengan pendidikan formal pergaulan menjadi terbuka luas, sehingga anak-anak Sedulur Sikep akan mudah meninggalkan budaya yang selama ini dijauhi oleh ajaran Samin. Ajaran yang diajarkan sesepuh Sedulur Sikep memang dilarang memasukkan anaknya di sekolah formal, dan sampai sekarang ada yang masih kukuh dengan pendirian tersebut (Wawancara dengan Maskat, tanggal 7 Januari 2015).

Walau demikian, pantangan pendidikan formal sekarang sudah mengalami penafsiran baru bagi Sedulur Sikep, mereka sudah bersedia mendidik anaknya di sekolah formal dan sekarang sudah mulai untuk menyuarakan haknya sebagai bagian dari warga negara untuk mendapat pendidikan agama (Maskat dan Santoso, wawancara tanggal 7 Januari 2015). Menempuh pendidikan formal di bangku sekolah bagi Sedulur Sikep adalah fenomena baru, karena pada mulanya mereka menentang sekolah formal. Karena pendidikan formal merupakan bagian dari produk kolonialisme Belanda. Namun seiring

perkembangan zaman Sedulur Sikep sudah mempunyai tafsir sendiri atas pemahaman pentingnya pendidikan formal bagi anak-anaknya.

(3)

3 pasal 11 (1) diterangkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Pada satu sisi Undang Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 (1) menetapkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: “a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b.

mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”;

namun di lapangan anak-anak Samin Desa Larekrejo Rt 2 Rw 1, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus yang bersekolah di lembaga pendidikan formal dilayani dengan pelajaran agama Islam. Lebih dari itu seorang reponden (Budi Santoso) menyatakan bahwa warga Samin mulai mengenal bangku sekolah sejak tahun 1980-an, dan perlakuan diskriminatif dalam pelayanan pendidikan agama ini berlangsung sama lamanya dengan lama mereka mengenyam bangku sekolah. Perlakuan diskriminasi tersebut juga berjalan hingga sekarang termasuk dalam ikhwal pendidikan yang sudah jelas diatur dalam perundang-undangan (Wawancara tanggal 7 Januari 2105).

Dari gambaran awal di atas kemudian penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana sebenarnya negara memperlakukan penghayat aliran kepercayaan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam hal pendidikan keagamaan. Penelitian ini dilakukan di komunitas penghayat kepercayaan, Sedulur Sikep, Samin di Desa Larekrejo dan Kaliyoso, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualititatif (Nusa Putra: 2012) yang berupa hasil ekplorasi atas subjek penelitian melalui pengamatan dengan semua variannya dan wawancara mendalam. Penelitian ini juga merupakan studi kebijakan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan keagamaan bagi pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia. Penelitian kebijakan menurut Majchrzak dan dianut oleh ilmuwan kebijakan di Indonesia (Riant Nugroho, 2003) dimaksudkan sebagai upaya untuk mengkaji masalah-masalah sosial yang fundamental dalam upaya mengkreasi tindakan pragmatis dalam rangka memperbaiki atau

membenahi masalah sosial.

2. Hasil Penelitian dan Pembahasan

(4)

4 dan c) persepsi dan harapan Sedulur Sikep tentang Pendidikan. Setelah itu akan disajikan pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian tersebut.

2.1. Hasil Penelitian

2.1.1. Kebijakan Negara tentang Pendidikan Agama Bagi Penghayat Kepercayaan.

Pendidikan merupakan hak mendasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang yang mempunyai tugas untuk mencerdaskan

kehidupan seluruh warganya. Pengertian ini tidak terkecuali bagi mereka yang tidak memiliki agama resmi, yaitu para penghayat kepercayaan di Indonesia yang selama ini memang tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Memang pendidikan agama adalah masalah yang rumit, hal ini sesuai dengan perkataan Ki Hadjar Dewantara “Agama di dalam pengajaran sekolah adalah soal lama dan terus menerus menjadi persoalan sulit” (Dewantara: 1977; 188). Sehingga Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Sekolah Taman Siswa pendidikan agama bagi muridnya dimasukkan dalam kategori ethik, pendidikan Budi Pekerti. Tidaklah mengherankan jika kebijakan publik dan implementasi kebijakan tentang pendidikan keagamaan melalui mata pelajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia memiliki dinamika yang menarik.

Menurut Sulasmono (2010) secara garis besar terdapat 3 (tiga) tahap perkembangan kebijakan tentang pendidikan agama di sekolah di Indonesia, yaitu era pra Orde Baru, era Orde Baru, dan era paska Orde Baru. Pada tahun 1949, ketika Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Pendidikan, masalah pendidikan agama menjadi bahan perdebatan di parlemen sementara yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut. Dua pokok persoalan yang menjadi obyek pergumulan saat itu adalah (a) pendidikan agama dan (b) sekolah swasta. Perdebatan mengenai pendidikan agama menyita banyak waktu karena terjadi perbedaan tafsiran mengenai bagaimana pelaksanaannya di sekolah dan kedalaman dari pendidikan agama itu di dalam masyarakat Pancasila. Perdebatan sengit terjadi saat mereka hendak memutuskan apakah pendidikan agama diharuskan atau tidak di sekolah-sekolah

(5)

5 pandangan Mr. Tambunan (Tilaar, 1995) yang pada intinya mengingatkan akan pentingnya kebebasan beragama dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Dalam Undang Undang No 4 tahun 1950 yang kemudian dihasilkan, akhirnya ditetapkan bahwa: (a) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; (b) Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sekolah negeri diatur dalam peraturan yang

ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama dengan Menteri Agama (ps 20). Penjelasan pasal 20 tersebut antara lain menyatakan bahwa (a) apakah suatu jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah bergantung kepada umur dan kecerdasan murid-muridnya, (b) murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut dan tidaknya pelajaran agama, (c) sifat pelajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang undang tentang jenis sekolahnya, (d) pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.

Implementasi ketentuan ini pada masa Demokrasi Parlementer diperkuat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB, Januari 1951), yang antara lain menetapkan: (a) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar); (b) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di Kalimantan, Sumatra dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV; (c) Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu; (d) Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua/walinya; (e) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Demikianlah, sejak awal-awal dekade 50-an sampai dengan tahun 1959, dunia pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan UU PP dan K 1950/1954 berdasarkan spirit

(6)

6 sosialistik. Oleh karena itu pelajaran agama tetap menjadi mata pelajaran pilihan, bukan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri. Siswa diperbolehkan untuk tidak mengikuti mata pelajaran agama. Siswa yang tidak mengikuti mata pelajaran agama, diwajibkan mengikuti pendidikan budi pekerti. Pendidikan agama di SD terintegrasi dalam pelajaran budi pekerti. Di SMP, pendidikan agama menjadi kelompok pelajaran dasar bersama dengan budi pekerti. Di SMA, pendidikan agama menjadi bagian dari filsafat

Manipol Usdek dan merupakan pelajaran pelengkap.

Keadaan menjadi berubah ketika Indonesia masuk ke era Orde Baru. Dalam semangat membersihkan pengikut dan simpatisan G30S/PKI, muncul kebijakan MPRS mengenai pendidikan agama. Di dalam Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS 1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 1 dinyatakan bahwa”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan

universitas-universitas negeri”. Kebijakan itu diikuti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 23 Oktober 1967, yang antara lain menetapkan bahwa di Kelas I-II SD diberikan mata pelajaran agama 2 jam perminggu, di kelas III 3 jam perminggu, dan di kelas IV – VI 4 jam perminggu. Hal itu berlaku juga bagi SMP dan SMA, sedangkan di perguruan tinggi 2 jam perminggu.

Pada akhir tahun 1970, Menteri Agama mengajukan usulan perubahan kurikulum pengajaran agama. Dalam hal ini, diusulkan agar pelajaran agama di semua kelas SD dan SMP dilangsungkan selama 6 jam per minggu. Usulan ini tidak berhasil karena tidak disetujui oleh Departemen Pendidikan dan Pengajaran. Di sisi lain, pada awal tahun 1980-an, ada usul dari masyarakat agar pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama bagi sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas. Namun usul ini mendapat tentangan dari kalangan muslim, dengan alasan hal itu dapat merusak dan melemahkan iman para siswa (Noer, 1983). Akhir tahun 70-an, Pemerintah mengeluarkan SK Menteri P & K No. 0211/U/1978, yang memuat ketentuan bahwa bulan puasa sebagai waktu belajar dan larangan bagi siswi menggunakan jilbab di sekolah. Keputusan tersebut memunculkan kontroversi di masyarakat, karena pada masa sebelumnya bulan puasa adalah masa libur

(7)

7 pemerintah dalam memaknai dan menjabarkan kebijakan MPRS tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen agama tampak amat berkepentingan dengan proses agamaisasi pendidikan, sedang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak.

Melalui UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional kewajiban untuk memberikan matapelajaran agama diperluas berlakunya bukan saja hanya bagi sekolah negeri namun juga bagi sekolah swasta. Di samping itu dalam penjelasan pasal 28 UU

ditentukan „setiap anak didik wajib memperoleh pelajaran agama sesuai agamanya dan oleh pengajar yang seagama pula’. Keberatan yang diajukan oleh berbagai pihak terhadap ketentuan itu, membuat Presiden Soeharto menyatakan jaminan bahwa kewajiban semacam itu hanya berlaku di sekolah negeri. Sekolah-sekolah berciri khas keagamaan tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan agama lain, selain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Jaminan itu lantas dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah dengan ciri khas agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dari agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut.

Implementasi kebijakan semacam itu mengusik perhatian beberapa pihak dan memicu pro-kontra serta demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru tanah air seiring pembahasan RUU Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU No. 2 tahun 1989. Pendidikan agama kembali mencuat ke permukaan dan menjadi perdebatan ketika RUU Sisdiknas itu hendak ditetapkan oleh pemerintah. Perdebatan terjadi karena sebagian kelompok memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah privat, sehingga negara tidak mempunyai hak untuk mengatur dan diserahkan ke orangtua masing-masing, sementara kelompok lainnya memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah publik, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi pendidikan agama di sekolah negeri.

Ketika kemudian ditetapkan, dalam pasal 5 (1) UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang

(8)

8 diperoleh para siswa di sekolah ditetapkan dalam pasal 12 (1) bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan

agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan

pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”.

Dalam hubungannya dengan layanan pendidikan keagamaan bagi para penghayat kepercayaan, dapatlah dikatakan bahwa Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang

Sisdiknas telah mengatur pendidikan agama di sekolah bagi pemeluk agama yang diakui pemerintah, namun belum terdapat aturan yang mengatur tentang pendidikan agama bagi para penghayat kepercayaan. Oleh karena undang-undang tentang sistem pendidikan nasional hanya mengatur pendidikan agama bagi pemeluk agama resmi, maka berbagai peraturan perundangan yang menerjemahkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 itu juga tindak menyentuh persoalan pendidikan keagamaan bagi penghayat kepercayaan.

Pertama, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 55 Tahun 2007 Tentang

Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata, PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi agama suku ketika kita dengan teliti bahasan-bahasan eksplisitnya. Termasuk bahasa-bahasa serta simbol keagamaan yang digunakannya pun sudah sangat condong kepada agama-agama pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada pasal 9 ayat 1 bahwa (1) Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Model ini yang kemudian berimbas pada bahasan-bahasan dalam pasal berikutnya yang secara gamblang hanya membatasi pendidikan agama dan keagamaan pada enam agama.

Kedua, Peraturan Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu. Melihat teks ayat tersebut menjadi jelaslah bahwa penghayat kepercayaan tidak ada dalam domain Kementerian Agama.

Ketiga, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri

(9)

9 sanggar atau sarasehan bagi kelompok penghayat. Tapi, dalam aturan ini tidak disinggung sama sekali ikhwal soal pendidikan bagi penghayat kepercayaan.

Dari paparan di atas tampak bahwa pelaksanaan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan di sekolah formal sampai sekarang tidak memiliki payung hukum yang jelas. Hal ini terjadi karena berbagai aturan tentang pendidikan agama hanya mengatur pendidikan agama bagi pemeluk agama resmi yang diakui oleh negara di Indonesia.

2.1.2. Pelaksanaan Pendidikan Agama Bagi Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep

Hasil dari FGD Lembaga Sosial dan Agama (eLSA) Semarang yang melibatkan perwakilan penghayat kepercayaan di Jawa Tengah menyimpulkan bahwa anak-anak penghayat yang bersekolah di pendidikan formal mempunyai ragam sikap atas pendidikan agama yang diberikan di sekolah. Pertama, mereka masih belum terbuka atas identitas mereka, sehingga di sekolah siswa menerima pendidikan agama yang diajarkan. Kedua, mereka menunjukkan dan berani mengakui bahwa mereka adalah penghayat kepercayaan yang tidak memeluk enam agama yang ada di Indonesia, dan tidak mau menerima atau dipaksa mengikuti pelajaran agama (Wawancara dengan Tedi, tanggal 23 Desember 2014).

Sedulur Sikep penganut ajaran Samin atau agama Adam yang tinggal di Desa Larekrejo dan Kaliyoso Kecamatan Undaan, Kudus termasuk kategori yang berani menunjukkan jatidiri keyakinannya. Responden penelitian ini menyatakan bahwa saat penelitian berlangsung terdapat 15 anak yang tercatat dan aktif menempuh di berbagai lembaga pendidikan formal. Delapan anak sekolah di SMP Negeri 2 Undaan, 1 (satu) anak di SMK Kristen, dan 6 (enam) anak sekolah di Sekolah Dasar (wawancara dengan Budi Santoso, tanggal 8 Januari 2015). Nama 8 (delapan) anak yang sekolah di SMP Negeri 2 Undaan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.1.

Daftar Siswa Keluarga Sedulur Sikep di SMP 2 Undaan Kudus Tahun 2014/2015

No Nama Wali Murid

1 Anik Safitri Budi Santoso

2 Tridayanti Ngateno

3 Widodo Budi Utomo Purwito

4 Puspo Dwi Prastyaningsih Prantoso

5 Putri Retno Sari Karsono

6 Retno Sarti Narto

7 Ani Agustina Karjo

8 Ria Wijayanti Subadi

(10)

10 Niat Sedulur Sikep untuk mendidik di sekolah formal, SMP 2 Undaan, pada mulanya sempat menjadi permasalahan. Pada saat mendaftar timbul masalah karena tidak adanya identitas agama yang di anut oleh calon siswa tersebut. Gumani (23 tahun) menceritakan bahwa ketika ia sekolah di SMP pernah ada oknum guru yang mengatakan „dasar orang Samin tidak memiliki agama‟ Hal itu kemudian berimbas pada pendidikan agama yang kemudian diberikan oleh pihak sekolah. Pada masa sebelum tahun 2009, para

anak Sedulur Sikep yang sekolah di lembaga pendidikan formal diminta untuk belajar agama Islam. (Wawancara dengan Gumani, tanggal 24 Desember 2014).

Pada perkembangannya, berkat perjuangan dari tokoh Sedulur Sikep, sejak tahun ajaran 2009 para siswa dari komunitas Sedulur Sikep diberi kebebasan oleh pihak sekolah untuk memilih untuk mengikuti atau tidak mengikuti pelajaran agama pada saat jam pelajaran agama berlangsung. Moh. Norhadi (wakil Kepala Sekolah) membenarkan bahwa anak-anak Sedulur Sikep sekarang bebas untuk bersekolah di SMP N 2 Undaan, dan diberikan kebebasan ketika berlangsung pembelajaran mata pelajaran pendidikan agama (wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah, tanggan 8 Januari 2015). Pihak sekolah memang tidak bisa berbuat banyak atas permasalahan ini dan tidak bisa memberikan lebih atas pendidikan agama bagi penghayat selain membebaskannya untuk mengikuti atau tidak. Mungkin lantaran pasal 29 tidak jelas, dijamin kemerdekaannya memeluk agama masing dan kepercayaannya itu. Kalau kepercayaan diakui sebagai agama, maka negara dengan akal sehatnya akan berpikir tentang itu (wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMP 2 Undaan).

Wakil Kepala Sekolah juga menjelaskan bahwa nilai rapor semester atau nilai Ujian Nasional bagi siswa-siswi Sedulur Sikep sepenuhnya diserahkan kepada orangtua masing-masing untuk mengisinya. Namun, menariknya adalah bahwa pengisian nilai rapor atau nilai Ujian Nasional itu harus sesuai dengan kolom salah satu mata pelajaran agama dari agama resmi yang diakui negara. Biasanya mereka mengisi di kolom pelajaran agama Kristen.

Seorang responden, siswi SMP N 2 Undaan yang berasal dari komunitas Sedulur

(11)

11 bukan menganut ajaran agama yang diakui negara tapi ajaran Samin atau Agama Adam. Responden yang bersusia 14 tahun ini juga menerangkan bahwa selama ini siswa-siswi di SMP 2 Undaan tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut, mereka tetap bermain bersama layaknya usia anak-anak(wawancara dengan Anik Safitri, tanggal 7 Januari 2015).

Meski dalam praktik pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan belum bisa terpenuhi namun hemat peneliti ini sebagai sebuah kemajuan bagi pihak sekolah karena

tidak memaksakan pelajaran agama tertentu bagi siswa-siswi Sedulur Sikep. Terkait dengan ajaran agama Adam pihak sekolah tidak punya hak untuk menyediakan layanan ajaran agama tersebut baik guru maupun kurikulum, karena memang tidak ada payung hukum yang menjadi dasar pelaksanaan tersebut. Namun pihak sekolah dalam hal ini SMP 2 Undaan sangat terbuka atas keinginan Sedulur Sikep untuk mendidik anaknya di sekolah formal.

2.1.3. Persepsi dan Harapan Sedulur Sikep atas Pendidikan di Sekolah.

Sedulur Sikep menilai bahwa telah terdapay kemajuan yang berarti dalam pendidikan bagi putra putri mereka yang bersekolah di SMP 2 Undaan. Mereka menilai bahwa sudah mulai ada perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah atas pendidikan agama yang diberikan kepada anak-anak mereka. Jika sebelumnya anak-anak dipaksa untuk mengikuti salah satu dari antara 6 (enam) agama resmi negara, maka kini sekolah telah memberikan kebebasan orang tua Sedulur Sikep untuk memilih sendiri keyakinan bagi anak-anak mereka. Dalam FGD yang dilakukan bersama antara antara siswa dan wali murid dari penghayat Sedulur Sikep, teradapat kesan yang sangat kuat bahwa Sedulur Sikep menganggap sekolah sudah “mending” memberikan kebebasan bagi Sedulur Sikep daripada dipaksa untuk belajar agama tertentu, seperti kasus-kasus yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Lebih dari itu sebagian besar masyarakat Sedulur Sikep sudah mempunyai pandangan yang sama bahwa pendidikan formal adalah sebuah keharusan untuk usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, namun mereka meminta agar pihak sekolah tidak mengganggu kepercayaan mereka, yang diyakini sebagai hak mendasar bagi seluruh umat hidup untuk mempunyai kepercayaan tertentu.

(12)

12 terpenuhi secara penuh dan ada kesetaraan kedudukan di antara sesama warganegara, apapun agama dan kepercayaannya, di hadapan negara. Kedua, mereka juga menginginkan agar apa praktik pelayanan pendidikan keagamaan yang sudah mereka terima selama ini di sekolah diberi payung hukum yang jelas oleh pihak yang berwenang, baik di tingkat sekolah maupun di tingkat dinas terkait, agar kelak di kemudian hari tidak ada warga Sedulur Sikep yang dipaksa untuk belajar agama di luar kepercayaannya. Ketiga, mereka juga berharap agar para siswa dari komunitas Sedulur Sikep dapat

diberikan pendidikan agama oleh tokoh dari Sedulur Sikep. Keempat, yang paling sederhana, mereka berharap agar para siswa yang berasal dari komunitas Sedulur Sikep tidak mendapat tekanan ketika mereka belajar di sekolah manapun, karena mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

2.2. Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa Undang Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia memang sudah cukup menjamin dan mengakui kebebasan siswa agar memperoleh layanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang mereka anut. Hal itu tentu tidak terlepas dari pengakuan negara Indonesia terhadap kebebasan beragama sebagai salah satu hak asasi manusia sebagaimana tersirat maupun tersurat dalam berbagai acuan berikut ini.

Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” secara implisit menegaskan keyakinan bangsa Indonesia tentang kebebasan beragama bagi setiap warganegara Indonesia dan bahkan semua manusia di dunia. Sebagai falsafat negara, maka secara operasional setiap Sila dalam Pancasila kemudian di terjemahkan ke dalam dasar konstitusional kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena pada perubahan Keempat UUD 1945, dimasukkan pasal 28E ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran”. Kemudian pasal 28I ayat 1 menyatakan bahwa “Hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Sedang pasal 28G ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas

rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

(13)

13 agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu”.

Pada tataran hukum yang lebih rendah, Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, tidak disiksa, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,

hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusiayang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Selain itu patut dicermati pula berbagai dokumen internasional yang berhubungan dengan pendidikan agama, yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. Dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa 1981 tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi yang didasarkan pada Agama atau Keyakinan Pasal 5 ayat 3 disebutkan:

Anak akan dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan. Dia akan diasuh dalam semangat pemahaman, toleransi, persahabatan antar sesama, perdamaian dan persaudaraan universal, penghormatan terhadap kebebasan beragama atau keyakinan orang lain, dan dalam kesadaran penuh bahwa energi dan bakatnya harus dicurahkan pada pelayanan sesama manusia.

Sedang tentang pendidikan, deklarasi tersebut mengatakan dalam Pasal 5 ayat 2:

Setiap anak akan menikmati hak untuk mengikuti pendidikan dalam bidang agama atau keyakinan sesuai dengan harapan atau keinginan orangtuanya, atau walinya yang sah –bila memang dia berada di bawah perwalian– dan dia tidak dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima pengajaran agama atau keyakinan yang tidak sesuai dengan keinginan orangtuanya atau walinya yang sah, dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.

Deklarasi ini memuat setidaknya dua prinsip pokok (Plesner dalam Ghanea (ed): 2010). Pertama, pemajuan toleransi dan saling menghargai sebagai tujuan pendidikan umum. Kedua, pihak hak orangtua untuk memberi keputusan akhir mengenai pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka.

Selain dalam Deklarasi 1981, tujuan dan prinsip dalam pendidikan yang harus diindahkan oleh negara juga termaktub dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak Tahun 1989. Pasal 3 ayat 1 Deklarasi itu mengatakan, “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, . . . kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi

(14)

14 Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab dalam

suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan diantara semua orang, kelompok etnis, bangsa dan agama dan orang-orang pribumi.

Yang lebih prinsipiil, Kovenan Hak Anak di atas juga menekankan kepada negara peserta untuk menghormati hak anak atas kebebasan berpikir (Pasal 14. 1). Negara peserta juga dipastikan akan menghormati hak-hak dan kewajiban orangtua dan bila dapat diterapkan, wali yang sah, untuk memberi pengarahan kepada anak dalam melaksanakan haknya dengan cara yang konsisten dengan kemampuan-kemampuan yang berkembang (Pasal 14. 2). Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan hanya tergantung pada pembatasan seperti yang ditetapkan dalam undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain (Pasal 14. 3).

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga mengatur kebebasan orangtua dalam menentukan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Dalam Pasal 18 ayat 4 disebutkan:

Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Aturan serupa (kebebasan orangtua menentukan pendidikan agama anaknya) juga diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 13 ayat 3 mengatakan:

Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidkan sebagaimana ditetapkan atau disetujui olehnegara yang bersangkutan, dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

(15)

15 maupun implementasi pendidikan agama di sekolah harus memperhatikan prinsip non diskriminasi dan memiliki tujuan untuk memajukan toleransi bagi siswa didik.

Dalam kenyataannya, penelitian ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia gagal menjamin kebebasan beragama, khususnya bagi penghayat kepercayaan, dalam kebijakan pendidikan. Secara umum penghayat kepercayaan di Indonesia mempunyai tantangan yang sama, baik dalam perkawinan, pemakaman, dan akses layanan publik lainnya yang

disediakan oleh pemerintah, termasuk layanan pendidikan agama bagi anak-anak mereka. Masalah yang paling mendasar bermula dari sikap negara yang hanya “mengakui” enam agama tersebut. Dalam UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama disebutkan kalau enam agama itu mendapatkan bantuan dan juga jaminan. Sementara agama dunia (Yahudi, Zoroaster dan Sinto) ada di level dua, dijamin meski tidak dapat bantuan. Penghayat kepercayaan tidak dapat bantuan ataupun jaminan tapi justru diarahkan ke pandangan yang sehat berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap klausul ini, Mahkamah Konstitusi saat sidang judicial review tahun 2010 menyebutkan bahwa maksud dari menyalurkan ke arah pandangan yang sehat adalah tidak bertujuan melarang, melainkan karena konteks saat itu (tahun 1960-an) banyak aliran yang meminta korban manusia untuk upacara, maka pandangan itu dianggap tidak sehat.

Tak hanya itu, PNPS 1965 mengindikasikan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama. Ini terlihat jelas dalam Tap MPR No. IV/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menunjukkan bahwa kepercayaan itu bukan agama. Berdasar aturan ini, maka menjadi sangat dimengerti jika dikemudian hari pemerintah memfasilitasi pendidikan agama hanya untuk enam agama. Tidak ada pendidikan untuk penghayat kepercayaan, karena mereka hanyalah sub dari sebuah agama. Disinilah letak keruwetan hubungan agama dan negara itu bermula. Imbasnya, penghayat kepercayaan menjadi korban yang sistematis oleh kebijakan negara. Selain itu, terkadang akibat minimnya pengetahuan kelompok-kelompok dalam masyarakat, mereka melakukan tindakan diskriminatif kepada para penghayat kepercayaan. Sebagai contoh semisal warga menolak

pemakamkan penghayat yang meninggal karena masyarakat menganggap pemakaman tersebut –misalnya- khusus untuk orang muslim saja.

(16)

16 pendidikan dalam menterjemahkan pengakuan atas hak kebebasan beragama bagi setiap Warga Negara sebagaimana telah diuaraikan dalam penjelasan sebelumnya. Dan itu bermula dari adanya kebijakan yang justru mereduksi prinsip pengakuan dan jaminan negara atas kebebasan beragama menjadi jaminan dan pengakuan pada 6 (enam) agama saja. Undang-Undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 pun justru mereduksi pengakuan negara atas keragaman beragama dan keyakinan sebagaimana dinyatakan dalam Pancasial dan

UUD 1945.

Kedua, kegagalan pelaksana kebijakan pendidikan untuk menerapkan

pendekatan-pendekatan lokal dalam pelaksanaan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat Samin. Berdasarkan hasil penelitian diatas, tampak bahwa pelaksana kebijakan pendidikan telah gagal mengembangkan dua pendekatan penting untuk memberikan layanan pendidikan agama bagi kelompok minoritas dan masyarakat adat. Padahal menurut Plesner (2010), sesungguhnya terdapat alternatif pendekatan dalam praktik pengelolaan pendidikan agama yaitu pendekatan confessional dan pendekatan non-confessional. Pendekatan berdasarkan agama yang dianut atau confessional berarti

komunitas keagamaan menentukan atau bertanggungjawab atas kurikulum, kualifikasi dan pengakuan terhadap guru pendidikan agama serta buku-bukunya. Jenis pendidikan agama seperti ini pada umumnya ditujukan bagi komunitas agama tertentu. Tetapi ada juga penganut agama lain yang tidak harus menjadi bagian dari komunitas tertentu bisa mengikuti pelajaran tersebut. Boleh seorang anak yang beragama Islam mengikuti pelajaran agama Kristen tanpa ia harus menjadi Kristen. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah memfasilitasi anak dalam membentuk identitas dalam menjawab jika diajukan pertanyaan mengenai makna hidup, kematian, cinta, kebahagiaan dan lainnya. Pendekatan kedua yakni non-confessional berarti pendekatan yang tidak berdasarkan agama tertentu yang dianut. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menginformasikan kepada anak mengani agama-agama dan pandangan-pandangan dunia lain. Belajar tentang agama (bukan belajar agama) yang dikombinasikan dengan belajar mengambil sikap terhadap agama yang bertujuan membantu siswa membuat pilihannya sendiri. Pendekatan ini bisa

difokuskan dalam satu agama atau banyak agama.

(17)

17 agama yang eksklusif dan tertutup. Akhirnya terbentuklah “mentalitas ghetto.” Sementara pendekatan non-confessional agak dekat dengan model integrasi. Siswa tidak dipisah berdasarkan agama, tetapi ia belajar bersama dalam satu ruang dan tidak hanya mempelajari agama yang mereka anut tetapi juga tradisi atau keyakinan lainnya.

3. Penutup

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

a) belum pernah ada payung hukum yang jelas bagi pemenuhan layanan pendidikan keagamaan bagi penghayat kepercayaan di Indonesia kebijakan pendidikan keagamaan bagi penghayat kepercayaan di Indonesia, karena selama ini pemerintah melalui Undang-Undangnya hanya mengatur tentang pendidikan agama bagi pemeluk enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Turunan dari undang undang itu dalam bentuk peraturan perundangan lain di bawahnya juga hanya memberikan fasilitas pemenuhan pendidikan agama bagi pemeluk ke enam agama resmi tersebut; b) terdapat perkembangan yang positif dalam praktik pelayanan pendidikan keagamaan

bagi siswa dari komunitas Sedulur Sikep yang bersekolah di SMP N 2 Undaan

Kudus, dari yang semula wajib mengikuti pelajaran agama Islam, menjadi bebas untuk memilih apakah akan tetap tinggal di kelas atau ke luar kelas senyampang pelajaran agama berlangsung. Pemenuhan hak atas pendidikan keagamaan bagi penghayat Samin (Sedulur Sikep), atau agama Adam di Kudus dikembalikan kepada orang tua masing-masing siswa, karena pihak sekolah tidak bisa memfasilitasi guru keagamaan yang sesuai dengan keyakinan Sedulur Sikep. Nilai rapor dan ujian nasional pada mata pelajaran agama pun kini menjadi tanggung jawab orang tua untuk memberikannya;

c) Para siswa dan orang tua Sedulur Sikep di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus berharap adanya pendidikan keagamaan yang sesuai dengan keyakinan mereka, serta adanya payung hukum yang jelas bagi pelaksanaan kegiatan pemenuhan hak atas pendidikan keagamaan tersebut. belum terdapat.

DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, Ki Hadjar, 1977, Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Majlis Luhur Persatua Taman Siswa

(18)

18 Hasan, M. Iqbal, 2003, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,

Jakarta: Ghalia Indonesia

Kholiludin, Tedi, 2009, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang: Rasail

Noer, D., 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik.; Jakarta: Rajawali.

Nusa Putra, 2012. Metode Penelitian Kualitatif Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan

Riant Nugroho., 2009. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Rosyid, Moh., 2008, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Samiono, David, 2010, Sedulur Sikep; Struktur Sosial dan Agama Masyarakat Samin di Sukalila, Salatiga: Program Magister Sosiologi Agama UKSW

Sulasmono, B.S., 2010. Interaksi Negara dan Civil Society dalam Kancah Pendidikan Agama di Daerah Istimewa Yogyakarta 1998 – 2003; Salatiga: Widyasari

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Jakarta: ?.

Tilaar, A.A.R., 1995. Pembangunan Pendidikan Nasional 1945 – 1995. Suatu Analisis Kebijakan; Jakarta: Grasindo.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan metode inkuiri terhadap kemampuan mengevaluasi dan mencipta siswa kelas V SD BOPKRI Gondolayu Yogyakarta

Dari hasil pengujian menggunakan analisis statistik deskriptif pada Tabel 1 , didapatkan nilai terbesar pada parameter rasa yaitu kopi lengkuas dengan penambahan gula

Adopsi pada program STBM di kelompok Cangkeng dan Kul-kul 2 masih dalam tahap intention yaitu ditandai dengan rata-rata rumah tangga memiliki motivasi dan kepedulian untuk

Pekerjaan luar – Pekerjaan lain yang dilakukan selepas waktu kerja Haemonetics boleh menimbulkan konflik kepentingan jika pekerjaan itu memberikan kesan yang negatif

Secara matematis daya rata-rata atau daya nyata merupakan perkalian antara tegangan efektif, arus efektif, dan koefisien faktor dayanya.. θ cos eff eff I V P = Daya Reaktif (

Pada kesempatan ini saya mohon kesediaan ibu untuk menjadi reponden penelitian saya yang berjudul Perbedaan Pengetahuan Ibu, Perilaku Pemberian Makan, Perilaku

Bersama Entry Form yang telah terisi lengkap kirimkan desain poster dalam format JPEG, file tidak lebih dari 1280 x 1024 pixels , melalui email

Maka untuk menentukan zero crossing siproheptadin HCl dan ketotifen fumarat dapat langsung menggunakan spektra derivat pertama selain itu pita serapan untuk