ISLAM LIBERAL, MAU APA?
Upaya konsolidasi umat Islam Indonesia dengan tujuan agar umat Islam lebih dapat berperan dan menyumbangkan manfaatnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak selalu mudah dilakukan. Selama ini upaya
konsolidasi umat Islam itu hampir selalu direcoki oleh munculnya isyu internal maupun tekanan eksternal yang kadang bermaksud memaksakan agenda dari luar agar umat Islam mau menuruti apa yang mereka maui. Ada berbagai isyu internal maupun eksternal yang kemudian berubah menjadi PR yang berlarut-larut
penyelesaiannya. Ini menyebabkan energi umat Islam habis gara-gara melayani atau berkutat dengan isyu-isyu yang sesungguhnya kurang strategis untuk ditanggapi. Sementara agenda strategis umat Islam, dalam kerangka konsolidasi misalnya (konsolidasi ekonomi, konsolidasi sosial, konsolidasi budaya,
konsolidasi agama sebagai aktor publik, konsolidasi pendidikan, konsolidasi politik dan hukum), menjadi terbengkelai. Seringkali energi umat Islam habis hanya karena mau masuk dalam perangkap agenda anak nakal dari kalangan internal atau mau masuk perangkap agenda dari pihak-pihak nakal dari luar yang menginginkan agar konsolidasi umat Islam itu gagal. Dengan demikian upaya untuk mengoptimalkan peran publik dari umat Islam juga mengalami kegagalan. Dalam kaitan ini sekarang umat Islam yang sedang melakukan konsolidasi itu tengah disodori oleh PR baru. PR itu bernama Islam Liberal.
Agenda Islam Liberal seperti dipaksakan masuk dalam lini kesadaran kolektif sebagai agenda penting untuk diwacanakan, seolah-olah menjadi kebutuhan mendesak (atau malahan paling mendesak) bagi umat Islam. Benarkah demikian? Siapa yang sesungguhnya berkepentingan untuk mengacaukan agenda konsolidasi umat Islam dengan memunculkan PR, yaitu isyu tentang Islam Liberal? Benarkah umat Islam Indonesia kini benar-benar butuh ‘makanan intelektual’ bernama Islam Liberal? Apakah Islam Liberal itu betul-betul merupakan ‘makanan intelektual’ yang bergizi tinggi, ataukah ia hanya mirip dengan makanan fast food yang sekarang berkat jaringan pemasaran, iklan, infrastruktur saji sekarang agak berhasil menguasai ‘pasar lidah’ dari masyaraka elit di perkotaan. Jadi apakah Islam Liberal itu mirip dengan pizza, burger, hot dog, fried chicken dan donat yang di negara asalnya disebut sebagai junk food (makanan sampah), yang sesungguhnya tidak bergizi kecuali sebagai penyubur sel kanker dan berbagai penyakit dalam yang berbahaya karena dapat menimbulkan stroke dalam usia muda? Fast food yang sekaligus junk food itu sekarang sedang menjadi mode, lantas apakah Islam Liberal juga menjadi mode pemikiran, sehingga barangsiapa yang menjadi penganut akan tampak trendy dan modis?
dagangannya dengan pemikiran, filsafat dan ideologi kritis sampai yang paling ekstrim (kiri) mereka menjajakan pemikiran, filsafat dan iedologi Marxisme lengkap dengan berbagai variannya? Dan ketika semua itu sudah tidak menarik lagi sebagai komoditi pemikiran atau sudah kurang modis dan trendy lagi untuk dimunculkan maka kemudian akhir-akhir ini para selebritis pemikiran itu getol sekali menjajakan Islam Liberal?
Mengapa yang mereka perdagangkan dan mereka jajakan bukan Islam Advokatif atau Islam Profetik yang dalam bahasa Ali Syariati disebut sebagai agama
Ibrahimik, agama yang berani menghancurkan berhala-berhala pemikiran (siapa tahu Islam Liberal kemudian menjadi berhala pemikiran yang juga perlu
dikampak dan dihancurkan) sekaligus membela dan memperjuangkan dengan sungguh-sungguh umat dan rakyat yang sekarang sedang terpuruk ini? Kalau agama hanya difahami sebagai wacana, sebagai konsumsi intelektual, itu saja dengan mempersempit fungsi kehadirannya (Islam sebagai agama privat, bukan sebagai agama publik) lantas apa bedanya dengan faham, dan ideologi yang selama ini bersifat elitis dan membius orang mengeluarkan busa kata-kata sampai mabuk, sementara tetangganya yang kelaparan pelan-pelan mendekati sekarat? Dalam kondisi masih didera krisis demi krisis ini sesungguhnya yang dibutuhkan adalah Islam Advokatif atau Islam Profetik. Dalam fakta, siapakah yang bergerak ikut mendirikan posko menolong korban banjir di Jakarta tempo hari? Bukan kelompok Islam Liberal yang memilih diskusi dan berkelana dalam dunia maya lewat milist di intenet, atau berkata bergaya-gaya di kafe-kafe. Tetapi yang tersentuh hati nuraninya adalah aktivis masjid yang ingin menerjemahkan wahyu dalam tindakan (bukan dalam kata-kata). Padahal kelompok aktivis masjid ini sering dilecehkan oleh pendukung Islam Liberal sebagai Islam Radikal yang harus dilawan.
Yang jelas serkarang tengah terjadi perang wacana. Antara pendukung Islam Liberal yang mendapat kucuran dana melimpah entah dari mana yang dilawan oleh pendukung Islam Advokatif atau Islam Profetik. Buku dilawan buku, diskusi dilawan diskusi, tulisan dikounter dengan tulisan. Tetapi ketika ada manusia dianiaya dan dihabisi nyawanya (di Afghanistan dan Palestina) kelompok Islam Liberal memilih diam dan menutup mulutnya dengan makanan enak atau
minuman bersoda. Sementara itu pihak lain yang mereka lecehkan justru berbuat konkret, berani melawan pelanggaran HAM lewat aksi-aks mereka. Siapa yang lebih bermakna kehadirannya? Kita tunggu saja. (Bahan dan tulisan: man).
Sumber: