• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Evaluasi Rancangan dan Implementasi Balanced Scorecard (BSC)

Dalam rangka melaksanakan evaluasi atas langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Departemen Keuangan (Depkeu) dalam mengembangkan konsep BSC dapat menggunakan Nine Steps to Success Framework. Pada fase pertama yakni Building The Scorecard dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mengevaluasi Organisasi (Organizational Assessment)

Tujuan jangka panjang Depkeu tertuang dalam visi dan misinya, namun untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan budaya organisasi yang mendukung karena jika tidak diperhatikan budaya organisasi justru akan menghambat perkembangan organisasi. Salah satu unsur pembentuk budaya organisasi adalah nilai-nilai inti (core values). Menurut Wirawan (2007), nilai-nilai adalah kepercayaan permanen mengenai apa yang tepat dan tidak tepat yang mengarahkan tindakan dan perilaku karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Nilai-nilai merupakan pembentuk ideologi yang meresap ke dalam keputusan setiap hari.

Nilai-nilai juga merupakan pedoman atau kepercayaan yang dipergunakan oleh orang atau organisasi untuk bersikap jika berhadapan dengan situasi yang harus membuat pilihan. Nilai-nilai berhubungan erat dengan moral dan kode etik yang menentukan apa yang harus dilakukan. Individu dan organisasi yang mempunyai nilai kejujuran, integritas, dan keterbukaan menganggap mereka harus bertindak jujur dan berintegritas tinggi. Pada saat membuat kuesioner untuk mengukur tingkat kesiapan strategis organisasi, ternyata ditemukan bahwa secara corporate-wide atau Depkeu-Wide tidak ada core values yang dinyatakan secara tertulis yang menjadi panduan bagi pegawai Depkeu dalam berperilaku. Nilai-nilai inti yang dinyatakan secara tertulis hanya dimiliki oleh masing-masing unit kerja eselon 1 dibawahnya. Padahal dalam menentukan visi, misi, dan nilai-nilai inti tiap-tiap unit kerja eselon 1 seharusnya berpedoman pada visi, misi, dan nilai-nilai inti Depkeu-Wide. Oleh karena itu Depkeu perlu menetapkan core values

(2)

secara tertulis yang menjadi tuntunan tindakan dan perilaku pegawai agar organisasi dapat mencapai tujuannya.

Sementara itu dalam kurun waktu lima tahun (2005-2009) masa pemerintahan Presiden SBY, pada dasarnya Depkeu telah melakukan tiga proses perubahan atau penyempurnaan dalam menentukan tujuan jangka menengah dan jangka pendek. Pertama, penetapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan (Menkeu) saat itu, Jusuf Anwar, dengan menyusun suatu dokumen perencanaan departemen yang selanjutnya disebut sebagai Road-Map Depkeu tahun 2005-2009 yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 464/KMK.01/2005. Kedua, setelah Sri Mulyani ditunjuk menjadi Menkeu menggantikan Jusuf Anwar, dengan mengacu kepada RPJMN dan Road-Map disusunlah Rencana Strategis (Renstra) Depkeu yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.01/2006 yang merupakan penajaman dari RPJMN dan Road-Map. Terakhir, dalam rapat pimpinan Depkeu pada tanggal 12 Desember 2007 di Bali Menkeu Sri Mulyani memutuskan untuk menggunakan BSC sebagai sistem manajemen kinerja sekaligus sistem manajemen strategis di departemen yang dipimpinnya dalam rangka meningkatkan kinerja dan pelaksanaan strategi Depkeu yang lebih terarah. Pada kesempatan itu Menkeu mengesahkan Strategy Map Depkeu-Wide dan Scorecard dalam lima tema strategis, menetapkan Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan (Pushaka) sebagai Strategic Management Office (SMO) yaitu pengelola kinerja strategis Menkeu menuju strategic focused organization, dan menyatakan perlunya menetapkan Key Performance Indicator (KPI) Manajer di setiap unit kerja eselon 1. Sementara itu, meskipun BSC merupakan sistem manajemen kinerja yang terbukti lebih baik, namun sistem manajemen kinerja sebelumnya yang menggunakan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau LAKIP (masih bersifat tradisional) tetap berjalan paralel karena berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 1999 setiap instansi pemerintah tetap wajib menggunakan dan melaporkannya.

Dalam penyusunan Road-Map dan Renstra, Depkeu telah melaksanakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) sebelum menetapkan tujuan dan sasaran strategisnya. Secara eksplisit analisis SWOT

(3)

memang tidak disebut dalam dokumen Renstra Depkeu, hanya digunakan istilah atau penamaan yang berbeda. Pada dokumen Road-Map hasil analisis disebut sebagai “Kondisi dan Permasalahan”, sedangkan pada Renstra diberi judul “Identifikasi Permasalahan”. Hasil analisis keduanya tidak jauh berbeda, hanya terdapat sedikit penyempurnaan saja. Secara garis besar hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Tantangan dan Isu Strategis Depkeu

No. Tantangan

1 2 3 4

5 Pengaruh APBN terhadap ekonomi makro 6

9

11

13 10

Lemahnya pengawasan dan pengaturan Liberalisasi pasar

Otonomi daerah Menjaga stabilitas makro Indonesia

Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat

Meningkatkan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dengan adil, transparan, dan efisien

Adanya pemusatan aset pada lembaga jasa keuangan negara

7

8 Penghimpunan dana dari pasar modal masih rendah dibandingkan dari perbankan

12 Kejahatan finansial (pencucian uang, penipuan kredit, dll)

Kekayaan negara yang sangat besar

Mewujudkan Departemen

Keuangan yang bertaraf

internasional dan dapat dipercaya 1

2

3

Kemajuan produk keuangan dan perbankan Integrasi ekonomi global

Adanya trauma pasar atas krisis ekonomi Indonesia Isu Strategik

4 14

15

16

Reformasi birokrasi (Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003) dengan penerapan e-Government Kompatibilitas Depkeu dengan standar internasional (perundangan, penyusunan APBN, statistika keuangan, dll)

Penyusunan kebijakan yang dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya

Ketergantungan pembiayaan APBN pada SBN dan pinjaman luar negeri

Pembayaran pajak yang belum maksimal

Sumber: Departemen Keuangan dan PT LAPI ITB, 2008

Perubahan atau penyempurnaan yang dilaksanakan Depkeu secara terus menerus tersebut bertujuan untuk mencari cara terbaik dalam menerjemahkan visi, misi, dan strateginya ke dalam tujuan operasional sehingga aktivitas yang dijalankan dapat selaras dengan strategi organisasi tersebut.

Pada tahap ini, Depkeu juga diharapkan dapat memahami keinginan pelanggannya untuk setiap tema strategis. Keinginan pelanggan atau lebih tepatnya stakeholder telah diidentifikasi khususnya Tema Pendapatan Negara. Tema ini mempunyai beberapa stakeholder yakni wajib pajak, importir atau eksportir, masyarakat, dunia usaha, DPR, dan pemerintah atau departemen teknis.

(4)

Aspek lain dalam tahap ini seperti pemilihan jawara BSC dan tim BSC, jadwal penyusunan BSC, komitmen pengembangan BSC, dan rencana komunikasi akan dibahas secara detail dalam karya akhir ini dengan menggunakan kerangka pemikiran Niven (2005).

2. Mendefinisikan Strategi (Define Strategies)

Tema strategi (strategic theme) dapat ditentukan berdasarkan hasil analisis SWOT yang menghasilkan pengetahuan mengenai operasi internal organisasi dan pengaruh eksternal terhadap organisasi. Kemudian hasil analisis SWOT tersebut dipilah menurut fungsi-fungsi Depkeu, dan dengan bantuan GML Performance Consulting disusunlah lima tema strategi Depkeu yang terdiri dari:

• Tema Pendapatan Negara (Revenue Generation Theme;) • Tema Belanja Negara (Disbursement Theme);

• Tema Pembiayaan APBN (Financing Theme); • Tema Kekayaan Negara (Asset Management Theme);

• Tema Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank (Capital Market and Non-Bank Financial Instituons Theme).

3. Sasaran Strategis (Objectives Strategies)

Tujuan strategis dari Tema Pendapatan Negara adalah ”meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat.”

Sasaran-sasaran strategis (objectives) Tema Pendapatan Negara yang merupakan penjabaran dari tema strategi telah ditetapkan oleh Depkeu sebanyak 19 Sasaran Strategis (SS) yang detailnya dapat dilihat penjelasannya dalam Bab 3. SS disusun berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP), Uraian Jabatan (Urjab), Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) dari masing-masing unit kerja eselon 1 yang terkait dengan tema Pendapatan Negara, sehingga ada beberapa SS yang mempunyai beberapa unit eselon 1 yang bertanggungjawab atas pencapaian KPI-nya (lihat tabel 4.2.).

Menurut Niven (2005), BSC adalah alat untuk memberikan fokus pada organisasi, menjaga organisasi tetap terpaku pada pengendali kesuksesan yang

(5)

paling penting dan menjaga pelengkap yang lain tetap disekitar pengendali tersebut. Pemimpin yang bertindak akan berfokus pada sedikit sekali prioritas yang dapat diraih orang lain. Jika segala hal menjadi prioritas, berarti tidak ada yang menjadi prioritas. Salah satu klien terbesar Niven ternyata hanya memiliki sembilan objectives pada peta strateginya, CEO-nya bersikeras bahwa peta strategi pada dasarnya adalah suatu alat komunikasi dan karena itu harus berupa dokumen yang sederhana dan pragmatis. Oleh karena itu, secara pragmatis disarankan bahwa sebaiknya organisasi mempunyai objectives lebih sedikit lebih baik yakni berkisar antara 10 sampai 15 sasaran strategis. Berdasarkan teori tersebut, disarankan agar jumlah sasaran strategis tema Pendapatan Negara dikurangi sampai jumlah yang ideal yakni antara 10 s.d. 15 SS, sehingga Depkeu dapat menjadi organisasi yang lebih berfokus pada strategi.

Sasaran strategis yang terdapat dalam Tema Pendapatan Negara sudah dibuat cukup baik, singkat, jelas dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sehingga tidak ada keluhan dari para anggota tim BSC.

4. Peta Strategi Organisasi Sektor Publik (Public Sector Strategy Map)

Pada organisasi sektor publik, pencapaian akhir strategy map adalah misi organisasi tersebut. Depkeu telah menyusun strategy map untuk kelima tema strategi yang dimilikinya dan seluruhnya mendorong untuk terwujudnya visi dan misi Depkeu seperti diperlihatkan pada gambar 4.1.

Berdasarkan pengamatan terhadap strategy map dari kelima tema strategis yang ada, ternyata terdapat sasaran-sasaran strategis yang sejenis atau tidak jauh berbeda untuk perspektif learning and growth, sehingga terjadi pengulangan penggunaan SS, terjadi sedikit perbedaan hanya karena berbeda tema strateginya saja. Selain itu satuan kerja yang bertanggung jawab (Satker PIC) pun relatif sama dan hanya sedikit perbedaan karena berbeda tema strateginya. Misalnya pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM), untuk tema Pendapatan Negara memiliki sasaran strategis: SS.PEND.16, merekrut dan mengembangkan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi dalam pengelolaan pendapatan negara, dengan salah satu satker PIC adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan dan

(6)

pelatihan pegawai Depkeu. Sementara itu pada bagian yang sama, tema Belanja Negara mempunyai sasaran strategis: SS.BEL.14, merekrut dan mengembangkan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi di bidang penganggaran dan perbendaharaan negara, dengan salah satu satu satker PIC adalah BPPK juga.

Gambar 4.1. Strategy Map Depkeu-Wide

Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2008

Adanya pengulangan sasaran strategis pada strategy map Depkeu-Wide tersebut menandakan bahwa peta strategi tersebut tidak sederhana lagi dan tidak efisien. Apalagi jika dijumlah semua sasaran strategis dari lima tema strategi yang ada akan ditemukan jumlah yang cukup besar yakni 82 SS (206 KPI). Oleh karena itu diperlukan pengurangan jumlah SS dan penyederhanaan strategy map Depkeu-Wide yang akan memudahkan Menkeu selaku pimpinan tertinggi untuk melakukan evaluasi kinerja secara periodik.

Untuk peta strategi tema Pendapatan Negara yang ditunjukkan pada gambar 4.2, masih terdapat kekurangan yaitu tidak adanya financial perspective. Menurut hasil evaluasi dari konsultan PT LAPI ITB, ketiadaan perspektif ini mengakibatkan analisis tentang motif atau orientasi organisasi dalam berkiprah

(7)

menjadi tidak lengkap atau menjadi kabur. Sebenarnya ada cara yang lebih baik untuk memperlakukan financial perspective dalam sebuah organisasi sektor publik seperti Depkeu. Alternatif pertama, memperlakukan financial sebagai fiduciary/budget, sehingga aspek kehati-hatian dalam mengelola uang negara tersebut menjadi sangat dikedepankan. Alternatif kedua, memperlakukan financial sebagai tangible assets melengkapi intangible assets dalam learning and growth perspective (yaitu: SDM, organisasi, dan sistem informasi), sehingga aspek efektivitas pengelolaan uang akan menjadi fokus utama. Dengan demikian diperlukan modifikasi strategy map tema Pendapatan Negara dengan memasukkan financial perspective supaya lebih baik.

Gambar 4.2. Strategy Map Tema Pendapatan Negara

(8)

Pembahasan lebih mendalam untuk strategy map akan dilanjutkan pada sub bab berikutnya.

5. Pengukuran Kinerja (Performance Measures)

Dalam mengukur kinerja dari masing-masing SS perlu diidentifikasi dan ditentukan indikator atau Key Performance Indicator (KPI). Pada Tabel 4.2. ditunjukkan bahwa setiap SS memiliki Indikator Kinerja Utama (IKU) atau KPI.

Tema Pendapatan Negara secara keseluruhan mempunyai 44 IKU dan 16 High Impact KPI (berwarna hijau). Setiap IKU yang ditetapkan mempunyai satker PIC yang bertanggungjawab atas pencapaian target dari masing-masing IKU tersebut.

Meskipun pada SS.PEND.5. terdapat dua KPI yang terlihat semata-mata hanya untuk mengetahui dan mengukur jumlah pelaporan yang diserahkan oleh BKF yaitu 5.1. Jumlah Pelaporan Perkembangan Ekonomi Secara Reguler dan 5.2. Jumlah Pelaporan Pengaruh Perubahan Indikator Ekonomi Terhadap Pendapatan Negara, namun setelah dilakukan konfirmasi kepada pihak Pushaka ternyata kedua KPI tersebut ditujukankan untuk mengukur pemenuhan target pelaporan dalam setahun dan juga mengukur tingkat responsivitas unit kerja BKF dalam membuat pelaporan untuk setiap perubahan indikator ekonomi yang terjadi.

KPI yang digunakan dalam Tema Pendapatan Negara memiliki tiga tingkatan (seperti yang ditunjukkan pada kolom ketiga), yakni:

a. KPI Exact

KPI Exact merupakan ukuran yang ideal untuk mengukur hasil pencapaian SS yang diharapkan (measure results). Meskipun ideal, kadang KPI Exact sulit untuk dilakukan apalagi bila pengukurannya perlu dilakukan dalam frekuensi yang tinggi (sering) karena KPI ini membutuhkan proses, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.

b. KPI Proxy

KPI Proxy adalah indikator yang mengukur hasil tidak secara langsung, tetapi lewat sesuatu yang mewakili hasil tersebut. KPI ini memang tidak mengukur seakurat KPI Exact tetapi lebih memungkinkan untuk dilakukan pengukurannya karena proses, waktu, dan biaya yang diperlukan tidak sekomplek KPI Exact.

(9)

Tabel 4.2. Indikator Kinerja Utama Tema Pendapatan Negara

1.1. Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (Tax Ratio) Exact BKF, DJP, DJBC

% Pencapaian Target Pendapatan

- Pendapatan Pajak Exact DJP, BKF

- Penerimaan Bea dan Cukai Exact DJBC, BKF

- Penerimaan PNBP Exact DJA, BKF

1.3. Rasio Realisasi Belanja Dibandingkan dengan Tingkat Pendapatan Exact DJP, DJBC

Indeks Kepuasan

- Indeks Pelayanan Perpajakan Exact DJP

- Indeks Pelayanan Bea dan Cukai Exact DJBC

- Indeks Pelayanan Lelang Exact DJKN

3.1. % WP Non-filer Dibanding Total WP Exact DJP

3.2. % Pemblokiran Dibandingkan dengan Jumlah Perizinan Proxy DJBC

3.3. % Jumlah Cukai yang Dibayar Tepat Waktu Dibandingkan dengan Jumlah Cukai Secara Keseluruhan

Proxy BKF, DJBC

4.1. % Jumlah Rekomendasi yang Menjadi Kebijakan Perpajakan Proxy BKF, DJP

4.2. Tingkat Manfaat Ekonomi (ERR) atas Fasilitas Kebijakan Pendapatan Negara yang Dikeluarkan Sesuai Tujuan

Proxy BKF

5.1. Jumlah Pelaporan Perkembangan Ekonomi Secara Reguler Proxy BKF

5.2. Jumlah Pelaporan Pengaruh Perubahan Indikator Ekonomi Terhadap Pendapatan Negara

Proxy BKF

5.3. % Deviasi Asumsi Makro dan Target Defisit APBN Proxy BKF

6.1. % Jumlah Kajian yang Dilakukan Sesuai Rencana Proxy BKF

6.2. Rata-rata % Deviasi Koreksi Proyeksi Pendapatan Negara oleh Presiden

Proxy BKF

7.1. % Realisasi dari Janji Pelayanan ke Pihak Eksternal Activity DJP, DJBC, DJA, DJKN

7.2. Jumlah Kantor Pajak Modern yang Terealisasi Activity DJP

7.3. Jumlah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang Terealisasi Activity DJBC

7.4. Rasio Peningkatan Pendapatan Anorganik dan Pelayanan di Kantor Modern dan Kantor Utama Terhadap Belanja Barang dan Modal

Activity DJP, DJBC

8.1. % Jumlah Sosialisasi dan Penyuluhan Terhadap Rencana Activity DJP, DJBC, BKF, DJA, DJKN

8.2. % Jumlah Berita Negatif Dibanding Total Pemberitaan Proxy DJP, DJBC, BKF, SETJEN

9.1. % Jumlah Rekomendasi yang Menjadi Kebijakan PNBP Proxy BKF

9.2. Waktu yang Diperlukan Untuk Memproses Administrasi Pengaturan Mengenai PNBP

Exact DJA

10.1. % Penyelesaian Piutang Negara Exact DJKN

10.2. Nilai Hasil Lelang Terhadap Rencana Exact DJKN SS. Pend. 11 11.1. % Penerimaan Negara dari Dana yang Idle Dibandingkan Tingkat

Rata-rata Pengembalian dari Masing-masing Instrumen yang Sama

Proxy DJPb

11.2. % Kesesuaian antara Penerimaan Negara Dibandingkan dengan Dokumen Pembayaran

Proxy DJPb

12.1. Jumlah Perjanjian Hibah yang Tercatat dalam APBN Activity BKF, DJPU

12.2. Nilai Hibah yang Tercatat dalam APBN Exact DJA, DJPU

12.3. Rasio Realisasi Terhadap Rencana Perolehan Hibah Exact DJA, DJPU

13.1. % Pertambahan Wajib Pajak Exact DJP

13.2. % Pemenuhan Pembetulan SPT Terhadap Jumlah Himbauan Pembetulan

Proxy DJP

14.1. Tingkat Kepatuhan Penyampaian SPT Proxy DJP

14.2. Jumlah Importir, Eksportir, dan PPJK Proxy DJBC

15.1. % Jumlah Kasus Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai yang Diproses di Pengadilan

Proxy DJP, DJBC, ITJEN

15.2. % Realisasi Pemeriksaan / Audit Dibandingkan dengan Rencana Activity DJP, DJBC, ITJEN

15.3. % Pencairan Tunggakan Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak, Bea Masuk, dan Cukai

Activity DJP, DJBC

16.1. % Karyawan yang Sesuai Kompetensinya dengan Kebutuhan Kompetensi Jabatan Tematik

Proxy DJP, DJBC, DJA, DJKN, SETJEN, BPPK

16.2. Jam Pelatihan per Karyawan di Jabatan Tematik Activity DJP, DJBC, DJA, DJKN, SETJEN, BPPK

16.3. Jumlah Pegawai Bidang Pendapatan Negara yang Terkena Kasus KKN

Proxy DJP, DJBC, DJA, DJKN, ITJEN

17.1. Jumlah SOP yang Dibangun / Perbaharui di Bidang Pendapatan Negara

Activity DJP, DJBC, DJA, DJKN

17.2. % Sarana dan Prasarana Terpenuhi Sesuai Rencana DIPA Exact DJP, DJBC, DJA, DJKN

18.1. Jumlah Temuan Audit di Bidang Pendapatan Negara oleh BPK, BPKP, Itjen untuk Kasus yang Sama Berdasarkan Closing

Conference

Proxy DJP, DJBC, DJA, DJKN, ITJEN

18.2. % Rekomendasi Itjen / BPK / BPKP yang Telah Ditindaklanjuti untuk Semua Temuan

Proxy DJP, DJBC, ITJEN SS. Pend. 19 19.1. Jumlah Sistem Aplikasi ICT yang Terimplementasi Sesuai Rencana Activity DJP, DJBC, SETJEN

SS Key Performance Indikator (KPI) Type KPI Satker PIC

SS. Pend. 1 1.2. 2.1. SS. Pend. 5 SS. Pend. 6 SS. Pend. 7 SS. Pend. 3 SS. Pend. 4 SS. Pend. 2 SS. Pend. 15 SS. Pend. 16 SS. Pend. 17 SS. Pend. 18 SS. Pend. 8 SS. Pend. 9 SS. Pend. 10 SS. Pend. 12 SS. Pend. 13 SS. Pend. 14

(10)

c. KPI Activity

KPI Activity adalah KPI yang mengukur jumlah, biaya, dan waktu dari kegiatan-kegiatan (measure activities) yang berdampak pada SS yang bersangkutan. Sesuai namanya aktivitas disini berarti kegiatan. Oleh karena itu, pengukurannya berfokus pada proses kegiatan semata. KPI ini lebih mudah dilakukan daripada KPI Exact dan KPI Proxy.

Di samping itu, Depkeu juga menggunakan IKU berdasarkan tingkat kendali (degree of controllability) yang terdiri dari:

a. High, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya tinggi, dalam hal ini pihak yang terlibat merupakan pihak internal suatu unit yang bersangkutan.

b. Moderate, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya sedang, dalam hal ini melibatkan antara pihak internal suatu unit yang bersangkutan dan beberapa pihak luar yang dapat berpengaruh. Semisal data untuk formula IKU berasal dari kementerian atau lembaga lain.

c. Low, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya rendah, dalam hal ini banyak aspek-aspek eksternal yang sulit untuk dikendalikan (uncontrollable), misalnya IKU mengenai persepsi stakeholders.

Setiap IKU yang digunakan sebagai ukuran kinerja suatu SS dibuatkan Lembaran Indikator Kinerja Strategis yang disebut juga KPI Manual, berisi informasi detail mengenai IKU tersebut seperti definisi, formula, satuan pengukuran, PIC, sumber data, dan lain-lain. Contoh lembaran indikator diperlihatkan pada gambar 4.3.

Secara best practice, sebenarnya dianjurkan agar setiap SS memiliki 1 sampai 2 KPI, dan secara total sebuah peta strategi organisasi hendaknya tidak melebihi 30 KPI (Luis dan Biromo, 2007). Pembatasan ini perlu dilakukan karena jumlah KPI yang terlalu banyak malah akan membuat organisasi tidak fokus pada pencapaian SS. Sementara itu, Niven (2005) menyatakan bahwa untuk menjaga agar organisasi berfokus pada strategi, sebagian besar ahli menyarankan supaya jumlah tolok ukur berkisar antara 20 sampai 25 ukuran yang merentangkan keempat perspektif BSC. Dalam artikelnya, Baum (2002) menyebutkan jika mempunyai lebih dari 20 tolok ukur penting untuk suatu departemen, maka departemen tersebut dianggap memiliki terlalu banyak tolok ukur. Oleh karena itu

(11)

jumlah IKU pada tema Pendapatan Negara perlu dikurangi sejalan dengan pengurangan SS yang ada yakni berkisar antara 20 sampai 30 IKU karena masing-masing SS memiliki 1 sampai 2 IKU dari sejumlah SS yang ideal yaitu antara 10 sampai 15 SS seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.

Gambar 4.3. Contoh Lembaran Indikator Kinerja Strategis

Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2007

Setelah menetapkan KPI pada masing-masing SS, setiap unit eselon 1 (satker PIC) akan menentukan target yang akan dicapai selama satu tahun. Target yang ditetapkan merupakan target incremental (tambahan) berdasarkan baseline tahun sebelumnya. Selain itu target yang dipakai juga campuran antara single target dan range target. Depkeu melaksanakan pembaharuan target setiap tahun

(12)

yang menyeimbangkan antara tantangan yang memberi inspirasi dengan realitas praktis.

6. Inisiatif (Inisiatives)

Inisiatif dibutuhkan untuk mendorong dan memastikan implementasi strategi tereksekusi dengan sukses. Inisiatif dibangun setelah berakhirnya proses pembuatan scorecard. Inisiatif mewakili berbagai program, aktivitas, proyek atau tindakan tertentu akan dilakukan organisasi untuk mencapai bahkan melebihi target kinerja organisasi. Pada Depkeu-Wide tidak memiliki strategic inisiative dari setiap KPI dan target yang telah ditentukan. Menurut keterangan dari Pushaka, hal ini disebabkan Depkeu merupakan holding type organization sehingga Depkeu-Wide bersifat strategis. Dengan demikian inisiatif baru dapat ditentukan pada level Depkeu-One ke bawah yang lebih bersifat teknis.

Pada fase kedua dari Nine Steps yang menekankan kepada Implementing The Scorecard dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

7. Automasi (Automation)

Setelah melalui proses tender, automasi BSC Depkeu diputuskan menggunakan software Actuate Performancesoft Suite yang ditawarkan oleh perusahaan Actuate Solution. Software ini dipilih karena telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dan dipakai secara luas oleh lebih dari 3.500 organisasi di seluruh dunia. Di Indonesia, organisasi yang sudah menggunakan software ini adalah KPK, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, dan BP Migas.

Dari hasil wawancara dengan Tim BSC DJP dan DJBC, ditemukan kendala bahwa akses dari kantor mereka masih belum stabil karena koneksi belum bagus. Selain itu, belum diadakan pelatihan yang intensif untuk menggunakan software tersebut.

8. Menurunkan Scorecard (Cascade Scorecards Support Strategy)

Setelah tugas GML Performance Consulting selesai dalam membangun BSC Depkeu-Wide, selanjutnya melalui proses tender Tim LAPI ITB ditetapkan

(13)

sebagai pemenang tender pembangunan BSC Depkeu-One (level unit kerja eselon 1) dan Depkeu-Two (level unit kerja eselon 2) atau dengan kata lain melaksanakan proses cascading. Berdasarkan BSC Development Phase yang telah dibuat secara bersama oleh Depkeu dan GML, Tim LAPI ITB telah mempelajari dan mengusulkan berbagai penyesuaian dalam rangka penguatan KPI/KPI Manual dalam Depkeu-Wide.

Tim LAPI ITB membentuk tim pendamping bagi masing-masing unit kerja eselon 1 untuk bekerja secara paralel dalam proses cascading strategy map dan penyusunan KPI untuk tingkat eselon 1 dan 2. Tim ini juga menempatkan personilnya di Depkeu yang berinteraksi secara langsung dengan Pushaka sebagai SMO.

DEPKEU-WIDE (DEPARTEMEN)

DEPKEU-ONE (UNIT ESELON I)

DEPKEU-TWO (UNIT ESELON II)

DEPKEU-THREE (UNIT ESELON III)

DEPKEU-FOUR (UNIT ESELON IV)

Performance Appraisal Sistem Manajemen Kinerja Individu SDM STRATEGIS TAKTIS OPERASIONAL

Gambar 4.4. Pola Cascading

(14)

Pola cascading yang dilakukan Tim LAPI ITB diperlihatkan pada gambar 4.4. Cascading dimulai dari Depkeu-Wide dan Depkeu-One yang sifatnya lebih strategis, dilanjutkan Depkeu-Two dan Depkeu-Three yang bersifat taktis, dan berikutnya adalah Depkeu-Four yang berkaitan dengan operasional. Akhir dari proses cascading, tim ini ditargetkan dapat menyelesaikan pekerjaannya pada akhir bulan Desember 2008 dengan program kerja sebagai berikut:

a. Pengembangan Visi dan Misi; b. Pengembangan Strategy Map; c. Pengembangan Strategy Objectives; d. Pengembangan IKU Strategis; e. Perincian Manual IKU Strategis;

f. Pengembangan Program Kerja Strategis;

g. Perincian Charter Program Kerja Strategis yang Dikaitkan dengan Anggaran; h. Penggunaan SOP dalam implementasi Sistem Manajemen Kinerja Berbasis

BSC;

i. Pelatihan-pelatihan yang komprehensif untuk sosialisasi dan pembangunan BSC ke semua jajaran pimpinan di Depkeu.

Pada proses cascading ini penyelarasan (alignment) antara Depkeu-Wide ke Depkeu-One dan Depkeu-One ke Depkeu-Two dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang hubungan antara level executive team, top management, dan staff. Proses penyelarasan dilaksanakan secara vertikal dan horizontal dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

a. Compatible: outcomes dari unit bawah menjadi pembentuk outcomes unit di atasnya;

b. Consistent and mutually supportive: sasaran strategis sampai dengan SOP memiliki kandungan muatan yang sama dan bersifat konvergen;

c. Harmony: ukuran kinerja dari unit bawah dan unit atas harus seirama dan satu makna.

Untuk tema Pendapatan Negara, dilakukan wawancara dengan Tim BSC DJP dan DJBC. Tim BSC DJP menjelaskan bahwa Depkeu-One DJP telah selesai disusun oleh DJP bersama konsultan GML Performance Consulting dengan menggunakan anggaran DJP sendiri, sedangkan Depkeu-Two dibantu oleh

(15)

konsultan Tim LAPI ITB. Sementara itu, Tim BSC DJBC dalam menyusun baik Depkeu-One maupun Two dibantu oleh konsultan Tim LAPI ITB. Menurut informasi yang diperoleh dari Tim BSC DJBC, dirasakan bahwa Tim LAPI ITB kurang kompeten dalam membimbing proses cascading sehingga proses ini berjalan dengan lambat dan berakibat target waktu penyelesaiaan Desember 2008 terlampaui. Dalam mengembangkan BSC Depkeu-One dan Depkeu-Two, Tim LAPI bekerja dengan meminta masukan SS dan KPI dari unit kerja eselon 1 kemudian mereka menyusunnya dalam strategy map, padahal pekerjaan seperti ini sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh Tim BSC DJP dan DJBC. Berdasarkan informasi tersebut, maka dilakukan konfirmasi kepada Pushaka, ternyata hal tersebut dibenarkan karena Pushaka juga merasakan ketidakmampuan konsultan ini dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dalam proses cascading. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini, dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Pushaka untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih konsultan dengan cara melakukan cek referensi lebih cermat dan lebih teliti atas pekerjaan yang pernah diselesaikan oleh konsultan tersebut sebelum ditetapkan sebagai pemenang dalam tender.

9. Evaluasi dan Perubahan (Evaluate and Change)

Evaluasi yang dilaksanakan adalah hanya atas IKU-IKU yang terdapat pada Depkeu-Wide karena Depkeu-One dan Depkeu-Two belum final akibat masih adanya beberapa perubahan yang diperlukan. Tiap tiga bulan sekali dilakukan evaluasi dan sampai saat ini evaluasi sudah terlaksana sebanyak empat kali terhadap sasaran-sasaran strategis setiap tema dan targetnya. Hasil pencapaian target atas IKU kemudian dianalisis penyebab jika target tidak tercapai, sehingga dapat dicari solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Proses evaluasi dan review atas BSC results Depkeu merupakan double loop process artinya hasil tersebut dijadikan pembelajaran untuk melakukan improvisasi dan perbaikan-perbaikan kinerja yang diperlukan.

Dalam mengevaluasi prosentase tingkat pencapaian IKU, Depkeu menggunakan sistem polarisasi (tabel 4.3.) yang terdiri dari tiga status yang ditunjukkan dengan warna merah, kuning, dan hijau berdasarkan pencapaian dari masing-masing KPI tersebut.

(16)

Sistem polarisasi IKU menunjukkan ekspetasi arah nilai aktual dari IKU dibandingkan dengan nilai target. Terdapat tiga jenis polarisasi, yaitu:

a. Maximize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan lebih tinggi dari target;

b. Minimize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan lebih kecil dari target;

c. Stabilize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan berada dalam suatu rentang nilai tertentu.

Tabel 4.3. Sistem Polarisasi IKU

Polarisasi

Maximize Minimize Stabilize Status

X < 80% X >120% X<80% atau X>120% Merah

80% ≤ X<100% 100%<X ≤ 120% 80% ≤ X < 90% atau 120 ≥ X > 110% Kuning

X ≥ 100% X ≤ 100% 90% ≤ X ≤110 Hijau

Sumber: Departemen Keuangan dan PT LAPI ITB, 2008

Selain itu dalam evaluasi juga terdapat sistem pembobotan status pencapaian SS atas masing-masing KPI sebagai berikut:

a. Validity (V) terbagi atas tiga tipe KPI:

• Exact (E) = orientasi pada tujuan (pengukuran ideal), bobot 0.5;

• Proxy (P) = leading indicators bagi exact KPI untuk mencapai tujuan, bobot 0.3;

• Activity (A) = orientasi pada kegiatan, bobot 0.2. b. Controllability (C) terbagi atas tiga level:

• High (H) = pencapaian target secara dominan ditentukan oleh unit yang bersangkutan, bobot 0.5;

• Moderate (M) = pencapaian target juga dipengaruhi unit lain di lingkungan Depkeu dan/atau diluar Depkeu, bobot 0.3;

• Low (L) = pencapaian target sangat dipengaruhi secara dominan oleh unit lain diluar Depkeu, bobot 0.2.

Sebagai contoh evaluasi pencapaian IKU dapat dilihat pada tabel 4.4. yang menunjukkan capaian beberapa IKU DJP dan DJBC pada tema Pendapatan Negara selama tahun 2008.

(17)

Tabel 4.4. Contoh Pengukuran Pencapaian IKU Tahun 2008

PIC SS KPI T/R Q1 Q2 Q3 Q4 Y-08 V/C Keterangan

Target 25.13% 21.38% 25.13% 31.45% 100.00% Realisasi 24.20% 25.19% 27.62% 29.61% 106.84% Target 15.40% 14.70% 28.00% 11.90% 70.00% Realisasi 13.70% 11.77% 10.05% 45.03% 80.56% Target 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 20.00% Realisasi 4.16% 4.28% 2.24% 3.52% 14.19% Target 25.00% 25.00% 25.00% 25.00% 100.00% Realisasi 26.89% 29.82% 32.51% 25.77% 114.99% Target 2.50% 5.00% 7.50% 10.00% 10.00% Realisasi 2.97% 5.66% 8.68% 10.49% 10.79% Target 25.00% 25.00% 25.00% 25.00% 100.00% Realisasi 23.40% 20.81% 19.70% 25.51% 89.42% PEND.1.2.1. % Pencapaian Target

Pendapatan Pajak E/M Maximize

PEND.15.2.1.% Realisasi Pemeriksaan

Dibandingkan dengan Rencana A/H Maximize

PEND.15.3.1.% Pencairan Tunggakan

Terhadap Jumlah Tunggakan A/M Maximize

DJP

PEND.1.2.2. % Realisasi Pencapaian Target

Penerimaan Bea dan Cukai E/M Maximize

DJBC PEND.3.2. % Pemblokiran Dibanding

dengan Jumlah Perijinan P/H Minimize

PEND.15.2.2.% Realisasi Audit DJBC

Dibandingkan dengan Rencana A/H Maximize

Sumber: Departemen Keuangan, 2009

Adapun penjelasan atas capaian IKU-IKU untuk kedua instansi tersebut adalah:

a. PEND.1.2.1.

Penerimaan pajak sampai dengan triwulan IV sebesar 571,101 triliun, melebihi target penerimaan tahun 2008 sebesar 534,530 triliun. Pertumbuhan penerimaan neto DJP triwulan I sebesar 52,94%, semester I sebesar 50,78% s.d. triwulan III sebesar 46,39%, dan s.d. Desember 2008 sebesar 33,99%. Sedangkan pertumbuhan penerimaan neto DJP tanpa PPh Migas berturut-turut 45,92%, 48,38%, 42,37%, dan 29,27%. Trend ini menunjukkan terjadinya perlambatan pertumbuhan penerimaan DJP sebagai akibat dari krisis keuangan global.

b. PEND.15.2.1.

Pemeriksaan bisa mencapai target karena (1) proses modernisasi UP2 yang telah mencakup seluruh Indonesia sehingga proses pemeriksaan di UP2 Kanwil DJP Jawa, Bali, dan Sumatera telah normal kembali, (2) penambahan jumlah fungsional pemeriksa di bulan Oktober 2008 dan adanya kebijakan terkait satuan tugas pemeriksaan efektif untuk mempercepat penyelesaian pemeriksaan.

c. PEND.15.3.1.

Jumlah saldo tunggakan yang ada, sekitar 25-30% berkriteria macet. Pencairan digunakan (laporan rincian penambahan dan pembayaran dan KPL KW 615). Saldo akhir tahun 2007 dan awal 2008 masih belum rekonsiliasi.

(18)

Rekomendasi perbaikan yang diberikan (1) pemetaan dan analisis jumlah tunggakan pajak berdasarkan sektor usaha yang memiliki tunggakan terbesar, umur tunggakan, kualitas tunggakan, dan jenis wajib pajak untuk prioritas tindakan penagihan, (2) membuat profil 100 besar penunggak pajak, (3) tindakan penagihan aktif untuk WP non kooperatif terutama melalui tindakan pemblokiran rekening.

d. PEND.1.2.2.

• Penerimaan bea masuk dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya penguatan kurs mata uang asing, volume impor, meningkatnya kepatuhan importer / PPJK terhadap peraturan, dan kualitas integritas pejabat DJBC yang membaik;

• Penerimaan bea keluar pada Q4 mengalami penurunan karena menurunnya nilai ekspor CPO;

• Penerimaan cukai melampaui target didorong oleh peningkatan produksi rokok.

e. PEND.3.2

• Pemblokiran pada tahun 2008 melampaui prediksi sebesar 0,49%. Pemblokiran tersebut didominasi pemblokiran terhadap pengusaha BKC, Importir, dan Pengusaha Gudang Berikat;

• Pemblokiran terhadap Pengusaha NPPBKC (Pabrikan Hasil Tembakau Golongan Kecil) disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah atas permintaan sendiri, terbukti melakukan tindak pidanan, dan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam ketentuan untuk memeproleh ijin NPPBKC. f. PEND.15.2.2.

Tidak tercapainya target yang telah ditetapkan dipengaruhi oleh beberapa hal: • Banyaknya permintaan audit dari unit lain, yang notabene tidak masuk ke

dalam Daftar Rencana Objek Audit (DROA); • Jumlah auditor yang masih terbatas;

• Anggaran / dana yang terbatas.

Secara keseluruhan pencapaian IKU tema Pendapatan Negara adalah 73,44% (hijau), 12,50% (kuning), 9,38% (merah), dan 4,68% belum dapat dilaporkan pencapaiannya, sedangkan dari jumlah total IKU Depkeu-Wide

(19)

sebanyak 206 IKU pencapaiannya dapat dirinci 134 (65,05%) berwarna hijau, 26 (12,62%) berwarna kuning, 32 (15,53%) berwana merah, dan belum dapat dilaporkan pencapaianya sebanyak 14 IKU (6,80%). Hal ini menunjukkan perlunya upaya yang keras dari Depkeu untuk mengajak seluruh unit kerja eselon 1 bekerja keras memperbaiki kinerjanya dan mau menggunakan BSC sebagai sistem pengukuran kinerja.

Untuk melakukan evaluasi disain dan implementasi BSC Depkeu, juga digunakan kerangka pemikiran Paul R. Niven dalam bukunya Balanced Scorecard Diagnostics yang menyarankan langkah-langkah yang dapat diterapkan organisasi jika ingin sukses mengimplementasikan BSC. Namun terdapat beberapa langkah yang sama dengan Nine Steps, oleh karena itu hanya akan dibahas langkah-langkah yang berbeda atau dibahas langkah-langkah-langkah-langkah yang sama tapi sifatnya melengkapi. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:

1. Tahap I: First Things First a. Alasan Penggunaan BSC

Suatu organisasi seharusnya memiliki alasan yang tepat untuk menerapkan BSC, sekaligus mengkomunikasikannya kepada seluruh karyawan agar mereka termotivasi untuk melakukan perubahan dengan mendukung implementasi BSC. Dalam memilih BSC sebagai management tool untuk memperbaiki kinerja departemen yang dipimpinnya, Menkeu terlebih dahulu meyakini bahwa BSC merupakan pilihan yang tepat dengan melakukan benchmarking ke negara lain yakni Singapura. BSC diharapkan dapat mempercepat program reformasi birokrasi yang sedang berjalan saat ini yang ingin melakukan perubahan pada Depkeu agar menjadi organisasi birokrasi yang lebih profesional. Kepala Pushaka sendiri menjadi Ketua Pengelola Indikator Kinerja Utama dalam Tim Reformasi Birokasi Depkeu. Dengan demikian Menkeu menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan BSC merupakan proyek perubahan (change project) bukan hanya sekedar proyek penyusunan pengukuran kinerja.

Meskipun Pushaka merasa bahwa alasan panduan dan penggunaan BSC sudah dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh karyawan Depkeu, namun

(20)

dari hasil wawancara dengan KPI Manajer DJP dan DJBC dirasakan bahwa sebenarnya KPI Manajer tersebut kurang memahami sepenuhnya alasan panduan BSC. Hal ini berakibat kurangnya motivasi dari Tim BSC untuk menerapkan BSC yang tercermin dari masih adanya IKU Depkeu-Wide yang berlum dapat dilaporkan pencapaiannya sebanyak 6,8% untuk tahun 2008.

b. Dukungan Eksekutif

Menkeu sangat mendukung diterapkannya BSC sebagai sistem pengukuran kinerja di Depkeu. Hal tersebut juga dibenarkan oleh KPI Manajer DJP dan DJBC, mereka juga menambahkan bahwa Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai juga berkeinginan kuat agar BSC dapat diimplementasikan dengan baik di institusi masing-masing. Untuk meningkatkan komitmen semua pimpinan unit kerja eselon 1 (Sekjen/Dirjen/Kepala Badan/Irjen) dalam mendukung penerapan BSC, Depkeu menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 tentang Kontrak Kinerja Depkeu-Wide.

2. Tahap II: Sebelum Anda Mengukur (Before You Measure) a. Pembentukan Tim BSC

Untuk menyukseskan pengembangan dan implementasi BSC Depkeu, sejak awal Menkeu telah menunjuk Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan (Pushaka) sebagai Strategic Management Office (SMO) yang merupakan koordinator pengelolaan BSC Depkeu. Pushaka bertanggungjawab melakukan koordinasi tim-tim BSC di setiap unit eselon 1 yang dipimpin oleh KPI Manajernya masing-masing. Tugas KPI Manajer adalah menyiapkan KPI, melakukan validasi cara pengukuran KPI, mengelola operasional software BSC, membuat laporan pencapaian KPI, mengevaluasi KPI dan melakukan penyelarasan yang berkesinambungan dengan strategi, dan menjadi change agent untuk manajemen kinerja di satuan kerjanya.

Tim BSC unit kerja eselon 1 ditunjuk oleh pimpinannya yang terdiri dari beberapa pejabat eselon 2, 3, dan 4. Untuk pekerjaan yang berkaitan dengan BSC biasanya ditangani oleh satu unit kerja eselon 3 dimana KPI Manajer dipegang oleh pejabat eselon 3 pada unit kerja tersebut. Unit kerja eselon 3 tersebut adalah Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) yang dimiliki oleh semua unit kerja

(21)

eselon 1, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah menyiapkan bahan penyusunan prosedur dan metode kerja, monitoring, evaluasi dan pengembangan prosedur dan metode kerja, serta pengembangan kinerja organisasi.

Pada unit kerja DJBC, hanya satu unit kerja eselon 3 yaitu Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) yang ditugaskan menangani seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi BSC, sehingga terlihat lebih efektif dan efisien dalam hal koordinasi pekerjaan.

Sementara itu, di DJP terdapat unit kerja eselon 3 lain selain Bagian Ortala yang menangani BSC yakni Sub Direktorat (Subdit) Transformasi Organisasi. Dalam pembagian tugasnya Subdit ini lebih berkonsentrasi kepada pengembangan BSC, sedangkan Bidang Ortala berfokus kepada operasional dan pelaporan hasil pengukuran kinerja menggunakan BSC.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para anggota tim BSC baik di DJP maupun DJBC, maka pada unit kerja eselon 1 untuk masa yang akan datang sebaiknya pekerjaan pengembangan dan implementasi BSC ditangani oleh satu unit kerja eselon 3 yang benar-benar berkonsentrasi mengelola BSC dengan alasan sebagai berikut:

• Pada praktiknya, pekerjaan pengembangan dan implementasi BSC di unit kerja eselon 1, bukanlah satu-satunya pekerjaan yang harus di-handle oleh unit kerja eselon 3 tersebut karena masih banyak tugas rutin lain yang harus diselesaikan; • Ketika proses cascading sudah selesai dilakukan, dimana setiap pegawai telah

memiliki personal scorecard, maka akan banyak pekerjaan yang berkaitan dengan BSC yang harus ditangani;

• Apabila ditangani oleh satu unit kerja akan lebih mempermudah koordinasi pekerjaan;

• Keanggotaan Tim BSC saat ini melekat pada suatu jabatan karena terkait dengan tugas pokok dan fungsi. Padahal seringkali terjadi pergantian pejabat karena adanya mutasi berkala. Jika BSC ditangani oleh satu unit kerja, maka dokumentasi BSC akan tersimpan dan terpusat pada satu tempat, sehingga akan mempermudah proses transfer knowledge BSC kepada pejabat yang baru.

Menurut Niven (2005), setelah BSC diimplementasikan, tim BSC akan mengalami metamorfosis menjadi Kantor Manajemen Strategis (SMO). SMO

(22)

yang ada di Depkeu agak berbeda dengan yang dimaksud oleh Niven. Sejak awal Pushaka telah ditunjuk sebagai SMO yang bertanggung jawab dari pengembangan sampai dengan implementasi BSC di Depkeu. Meskipun agak berbeda dengan teori, namun kenyataannya proses pengembangan dan implementasi BSC dapat berjalan dengan baik.

Tim BSC seharusnya dipimpin oleh seorang Jawara BSC (BSC Champion). Niven (2005) menjelaskan bahwa secara pragmatis, jawara BSC adalah seorang master tugas logistik dari proses yang menjadwalkan rapat, menelusuri hasilnya, memastikan distribusi materi, dan berinteraksi dengan eksekutif pendukung. Secara filosofis, jawara tersebut merupakan seorang ahli dalam masalah subyek, yang melahap literatur terbaru tentang scorecard, mengikuti seminar, membuat jaringan dengan organisasi lain, dan memastikan bahwa implementasi tersebut mengambil manfaat dari praktik terbaik yang telah terbukti. Jawara BSC di Depkeu dipegang oleh Menkeu sendiri, secara teori akan sulit sekali tugas sebagai jawara BSC dapat dipenuhi yakni menjadi master tugas logistik maupun ahli dalam subyek BSC karena sebagai Menteri tentu saja banyak tugas negara lain yang masih harus diselesaikan. Oleh karena itu, Pushaka sebagai tangan kanan Menkeu dalam mengelola BSC Depkeu telah mem-back up sepenuhnya tugas Menkeu sebagai jawara BSC. Menkeu menjadi motivator yang mendorong dengan kuat adanya rapat-rapat yang bersifat strategis dan monitoring implementasi BSC Depkeu. Sampai sejauh ini, Pushaka dapat menjalankan tugasnya tersebut dengan baik.

b. Pelatihan BSC

Pelatihan awal BSC sebaiknya dilaksanakan beberapa bulan sebelum pengembangan disain BSC dengan melatih sebanyak mungkin karyawan dalam suatu organisasi. Sampai sekarang Depkeu baru melakukan tiga kali pelatihan mengenai BSC tetapi sifatnya tidak menyeluruh. Pertama, bulan November 2007 yang melibatkan sebagian besar pimpinan unit eselon 1 dan beberapa eselon 2 dan 3 yang mendampingi pada saat dilakukan penyusunan peta strategi Depkeu-Wide. Kedua, diadakan workshop mengenai fungsi dan peran SMO dan KPI Manajer dalam implementasi BSC selama tiga hari tanggal 26-28 Maret 2008 yang diikuti semua KPI Manajer. Terakhir, para pejabat unit eselon 1 yang terkait dengan

(23)

proses cascading Depkeu-One dan Depkeu-Two. Oleh karena itu, pengetahuan yang baik mengenai BSC di Depkeu masih dimiliki kalangan terbatas. Depkeu perlu menyiapkan program pelatihan mengenai BSC yang menyeluruh kepada para pegawainya jika menginginkan penerapan BSC dapat berhasil dengan baik. c. Rencana Komunikasi

Pushaka mengakui bahwa memang belum dilakukan rencana program sosialisasi dan internalisasi mengenai BSC secara masif dan intensif kepada seluruh pegawai Depkeu. Baru pada tahun 2009 ini akan difokuskan kepada pelaksanaan program komunikasi yang dikoordinasi oleh Pushaka yang bertujuan agar BSC dapat menjadi effectively daily management tool hingga ke level pejabat eselon 2. Selama ini sosialisasi diserahkan kepada masing-masing unit kerja eselon 1. Tim BSC DJP telah memulainya dengan menerbitkan buku Renstra yang menggunakan BSC sebagai sistem pengukuran kinerja, selain itu internalisasi melalui intranet juga telah dilakukan dengan menyebarkan Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur mengenai Renstra DJP yang berbasis BSC tersebut. Beberapa kali sosialisasi juga sudah dilakukan kepada pegawai DJP bahwa pada masa mendatang akan dilaksanakan sistem pengukuran kinerja individu. Apabila rencana komunikasi tidak digarap dengan serius maka ada potensi Depkeu akan melakukan kesalahan nomor 6 dari Six Fatal Mistakes (Baum, nd) yakni gagal melembagakan inisiatif kinerja di seluruh organisasi.

d. Terminologi

Daftar terminologi dibuat untuk memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi mempunyai pengertian yang sama mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam BSC. Depkeu belum mempunyai daftar terminologi ini sehingga masih sering ditemui penggunaan istilah dalam BSC Depkeu yang tidak konsisten yang dapat membingungkan pegawai Depkeu dan tim BSC sendiri. Pushaka baru merencanakan pembuatan buku mengenai BSC sekaligus berisi istilah-istilah baku yang akan digunakan dalam implementasi BSC Depkeu.

e. Rencana Implementasi

Depkeu bersama konsultan BSC yang pertama yakni GML Performance Consulting telah membuat rencana komprehensif yang meliputi fase perencanaan dan fase pengembangan. Rencana komprehensif tersebut diberi nama BSC

(24)

Development Timeline yang terdiri dari lima fase dan sudah dijelaskan secara detail pada Bab 3. Meskipun setelah fase pertama GML tidak menjadi konsultan lagi, tetapi konsultan berikutnya – PT LAPI ITB – tetap menjalankan rencana yang telah dibuat tersebut. Pelaksanaan mengalami beberapa kali keterlambatan seperti pemilihan software BSC karena proses tender yang memakan waktu lama, ketidakmampuan PT LAPI ITB menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, masih ada KPI Manajer yang belum dapat menentukan KPI dan target, dan lain-lain. Keterlambatan pelaksanaan rencana ini sebaiknya dicegah supaya tidak terus terjadi karena akan menyebabkan organisasi kehilangan momentum dan semangat untuk menerapkan BSC.

3. Tahap III: Peta Strategi (Strategy Map)

Pada fase pertama BSC Developmet Timeline, GML telah mengadakan lokakarya (workshop) pengembangan peta strategi Depkeu-Wide di lokasi yang mendorong refleksi, kreatifitas, dan wawasan. Lokakarya ini diikuti hampir semua pimpinan unit kerja eselon 1 Depkeu yang didampingi beberapa unit eselon 2 dan 3 yang menghasilkan peta strategi dengan lima tema strateginya.

Dalam perancangan scorecard harus memperhatikan hubungan sebab akibat (cause and effect relationship) yang akan bermuara kepada objectives akhir suatu organisasi. Pada organisasi sektor publik, sasaran akhirnya adalah pencapaian misi organisasi tersebut. Menurut Kaplan dan Norton (2004) hubungan sebab akibat antara perspektif yang satu dengan yang lainnya dapat diperjelas dengan dalam suatu representasi visual yang disebut peta strategi. Peta strategi diharapkan dapat secara kreatif mengkaitkan objectives yang ada dengan cara mengungkapkan cerita strategis yang memikat yang memungkinkan semua karyawan suatu organisasi dapat memahaminya dan mendapatkan pandangan tambahan mengenai kegiatan organisasinya.

Hubungan sebab akibat pada peta strategi tema Pendapatan Negara dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Learning and growth perspective merupakan perspektif paling bawah yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mempertahankan infrastruktur sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan perspektif di atasnya, bukan hanya pada

(25)

saat ini tapi juga pada masa yang akan datang. Perspektif ini menekankan kepada peningkatan kompetensi SDM, membangun organisasi yang modern, mewujudkan good governance, dan menciptakan sistem teknologi yang terintegrasi. Menurut Pushaka, pencapaian good governance sendiri secara implisit sebenarnya juga merupakan tujuan dari financial perspective dimana anggaran keuangan Depkeu diharapkan dapat dikelola dengan transparan, efektif, dan efisien.

SDM BERINTEGRITAS DAN BERKOMPETENSI TINGGI ORGANISASI MODERN GOOD GOVERNANCE SISTEM TEKNOLOGI YANG TERINTEGRASI PERUMUSAN

KEBIJAKAN PENGADMINISTRASIANPELAYANAN DAN PENEGAKAN HUKUMPENGAWASAN DAN TINGKAT KEPATUHAN

WAJIB PAJAK YANG

TINGKAT KEPERCAYAAN STAKEHOLDER YANG

TINGGI

TUJUAN STRATEGIS

MENINGKATKANDAN MENGAMANKAN PENDAPATAN NEGARA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN PERKEMBANGAN

EKONOMI DAN KEADILAN MASYARAKAT

L E AR N IN G AN D GR O W T H PE R S PE C T IV E ST R A TEG I C DRI V E R PERS P E CTI V E ST R A T E G I C OUT C OME S PER S P E C T

IVE TINGKAT PENDAPATAN YANG OPTIMAL

Gambar 4.5. Cause and Effect Relationship Tema Pendapatan Negara

(26)

• Internal business process perpective diganti namanya menjadi strategic driver perpective yang terdiri dari tiga aspek yakni perumusan kebijakan, pelayanan dan pengadministrasian, pengawasan dan penegakan hukum. Perspektif ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses kritis yang diperlukan dalam mencapai outcome yang diinginkan yaitu memenuhi harapan stakeholders.

• Customer perspective diganti menjadi strategic outcomes perspective karena Depkeu tidak berhubungan dengan pelanggan dan segmen pasar. Dengan dukungan strategic driver perspective diharapkan Depkeu dapat memenuhi keinginan stakeholder yaitu tingkat kepatuhan wajib pajak dan tingkat kepercayaan stakeholder yang tinggi yang dapat mewujudkan tingkat pendapatan yang optimal.

Secara sederhana, cerita strategis yang mengungkapkan cause and effect relationship antara beberapa perspektif peta strategi tema Pendapatan Negara diperlihatkan pada gambar 4.5.

4. Tahap IV: Ukuran, Target, dan Inisiatif

5. Tahap V: Melakukan Cascading untuk Mendorong Keselarasan Organisasi (Cascading the Balanced Scorecard to Drive Organizational Alignment)

Tahap 4 dan 5 telah dibahas dengan memakai kerangka berpikir Nine Steps to Success Fremework.

6. Tahap VI: Keterkaitan Proses BSC yang Penting (Key Balanced Scorecard Process Linkages)

a. Alokasi Sumber Daya Strategis BSC dan Pembuatan Anggaran

Sistem penganggaran di Depkeu yang tadinya masih menggunakan cara tradisional secara perlahan diubah dan disesuaikan dengan perkembangan manajemen anggaran. Dengan diimplementasikannya BSC, Depkeu menyempurnakan sistem anggaran dengan mengintegrasikan antara BSC dengan Performance Based Budgeting (PBB) yakni mengkaitkan proses penganggaran dengan BSC. Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah:

• Pada tahap awal akan disinkronkan IKU BSC dengan PBB. IKU yang tidak dapat disinkronisasi tetap digunakan dalam pengukuran kinerja berbasis BSC;

(27)

• Direktorat Sistem Penganggaran DJA, Biro Perencanaan Keuangan Setjen, dan Pushaka akan menyusun Champion Team Integrasi BSC dengan PBB;

• Champion Team melakukan reguler meeting (satu bulan sekali) membahas integrasi dan menjalankan Pilot Project dengan pengawasan DJA dan Bapppenas;

• Champion team bertugas menyusun road-map implementasi PBB tahun 2009 di Depkeu dan draft manual implementasi PBB 2010;

• Champion team akan memperoleh pembekalan / capacity building berupa knowledge sharing antara Tim PBB dan Tim BSC, training diberikan oleh nara sumber kompeten (TAMF-GPF Ausaid dan konsultan PT OTI).

b. Mengaitkan Kinerja dengan Kompensasi

Keberadaan sistem kompensasi insentif di perusahaan manapun di seluruh dunia merupakan bukti bahwa kekuatan uang adalah motivator ekstrinsik perilaku manusia. Namun sayang, Depkeu belum mengkaitkan antara pengukuran kinerja melalui BSC dengan sistem kompensasi pegawai. Padahal jika hal ini dilaksanakan, selain akan membuat pegawai ingin tahu mengenai BSC juga akan memotivasi pegawai untuk berperilaku selaras dengan strategi Depkeu.

c. Corporate Governance

Keinginan Depkeu untuk mewujudkan corporate governance sudah ditunjukkan dengan ditetapkannya sasaran strategis pada learning and growth perspective Tema Pendapatan Negara yakni SS.PEND.18. Mewujudkan good governance dalam pengelolaan pendapatan negara bagi stakeholders.

7. Tahap VII: Membagikan Hasil-hasil BSC (Sharing Balanced Scorecard Results)

Penerapan BSC di Depkeu mendorong terciptanya rapat manajemen yang berpusat pada strategi yang diadakan per kuartal / triwulanan. Rapat ini dipimpin langsung oleh Menkeu dan dihadiri seluruh tim BSC unit kerja eselon 1 yang dipimpin oleh pejabat eselon 1 masing-masing. Dalam rapat ini setiap unit kerja eselon 1 melaporkan perkembangan pengukuran kinerja masing-masing disertai dengan penjelasan mengapa kurang / melebihi target. Adanya rapat manajemen

(28)

strategis pada level departemen ini ternyata men-drive rapat strategis di level unit kerja eselon 1.

Untuk menyiapkan bahan rapat triwulanan dengan Menkeu ini, Tim BSC DJBC melaksanakan rapat strategis setiap bulan yang diipimpin langsung oleh Dirjen Bea dan Cukai.

Sementara itu, untuk DJP, sebelum diterapkan BSC sudah melaksanakan rapat pimpinan rutin yang diadakan empat kali dalam setahun (triwulanan) yang dihadiri semua pejabat eselon 2 dan Dirjen Pajak, oleh karena itu untuk kepentingan pelaporan monitoring pengukuran kinerja, rapat pimpinan juga membahas hasil pengukuran BSC tersebut. Sementara itu dua kali setahun dilaksanakan workshop brainstorming renstra untuk evaluasi sekaligus mencari masukan pengembangan renstra DJP.

Mulai kuartal keempat (Q4) tahun 2008, analisis dan pelaporan hasil pengukuran kinerja BSC Depkeu-Wide menggunakan software Actuate Performancesoft Suite setelah sebelumnya dilaksanakan secara manual.

Berdasarkan evaluasi disain dan implementasi BSC menggunakan Nine Steps to Success Framework dan Balanced Scorecard Diagnostics, bisa disimpulkan bahwa Depkeu belum melaksanakan implementasi BSC secara lengkap dan ideal karena masih ada beberapa hal yang sama sekali belum dilakukan dan masih banyak juga belum selesai dilakukan dan ideal seperti yang diharapkan dalam teori. Secara ringkas ikhtisar evaluasi dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa Depkeu sama sekali belum memiliki dan melakukan komponen BSC seperti nilai-nilai inti yang dinyatakan secara tertulis, rencana komunikasi, daftar terminologi, dan pengkaitan kinerja dengan kompensasi, sedangkan inisiatif memang belum ada pada Depkeu-Wide karena sifatnya yang strategis namun pada level Depkeu-One dan Two sudah ada.

Sementara itu komponen yang belum selesai dilakukan adalah manajemen perubahan (reformasi birokrasi masih berjalan), automasi (belum ada pelatihan), proses cascading, alokasi sumber daya dan anggaran. Komponen BSC yang kurang ideal adalah alasan penggunaan BSC, pembentukan tim BSC untuk unit

(29)

kerja eselon 1, pelatihan BSC untuk seluruh pegawai, dan rencana implementasi yang masih tidak tepat waktu dilaksanakan. Untuk peta strategi, tema strategi, sasaran strategi, KPI, dan target masih kurang ideal karena Depkeu belum memiliki BSC yang streamline dan simple.

Tabel 4.5. Evaluasi Komponen BSC Sukses di Departemen Keuangan

Sumber: telah diolah kembali

4.2. Evaluasi Strategy Map Departemen Keuangan

4.2.1. Evaluasi Strategy Map Tema Pendapatan Negara

Organisasi sektor publik tidak bisa lepas dari pengukuran keuangan yang terdapat pada financial perspective karena memiliki kewajiban dan tanggung

(30)

jawab atas pemakaian biaya operasional (Moore, 2002). Harapan kondisi keuangan yang sehat tentunya dapat dilihat dari akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas, dan sebagainya. Penempatan perspektif ini tergantung pada bagaimana organisasi sektor publik tersebut memperlakukannya, yakni sebagai input atau output. Input merupakan sumber dana yang digunakan sebagai modal organisasi, sedangkan output merupakan hasil dana yang ingin didapat (outcome) oleh organisasi.

Namun seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada strategy map tema Pendapatan Negara tidak terdapat financial perspective. Menurut penjelasan Pushaka, meskipun tidak disebutkan perspektif keuangan sebenarnya secara implisit terdapat pada learning and growth perpective yang terletak paling bawah pada peta strategi. Sasaran strategis yang mendukungnya adalah SS.PEND.18. yaitu mewujudkan good governance dalam pengelolaan pendapatan negara bagi stakeholder, sedangkan IKU yang digunakan ada dua yakni:

• Jumlah temuan audit di bidang Pendapatan Negara oleh BPK, BPKP, Itjen untuk kasus yang sama berdasarkan closing conference;

• Persentase (%) rekomendasi Itjen / BPK / BPKP yang telah ditindaklanjuti untuk semua temuan.

Kedua IKU tersebut diatas memang menunjukkan pengukuran kinerja keuangan Depkeu berdasarkan hasil audit lembaga pengawasan keuangan eksternal yang independen yang merupakan amanat Undang-undang.

Meskipun demikian, dalam praktiknya penggunaan kata good governance lebih menunjukkan kepada upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan budaya good governance pada organisasi Depkeu sehingga aspek keuangan sama sekali diabaikan dalam strategy map tema Pendapatan Negara atau dengan kata lain tidak ada financial perspective.

Niven (2003) menyatakan bahwa ”No complete balanced scorecard without financial perspective”. Meskipun organisasi sektor publik meletakkan misi sebagai pencapaian akhir dan bukan financial perspective, namun perspektif ini tidak boleh ditiadakan. Setiap organisasi sektor tidak bisa lepas dari aspek keuangan, walaupun mungkin hanya sebatas mengelola anggaran keuangan yang ada. Selain berkewajiban sebagai pengelola anggaran departemennya sendiri,

(31)

Depkeu juga merupakan instansi pemerintah yang bertugas sebagai penghimpun dana dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk membiayai APBN. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa aspek keuangan merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan strategy map Depkeu karena Depkeu mempunyai tugas sebagai pengelola anggaran dan sekaligus penghimpun dana. Dengan demikian, financial perspective seharusnya dimunculkan secara eksplisit pada strategy map tema Pendapatan Negara agar setiap pegawai dapat langsung mengetahui bahwa Depkeu juga melaksanakan pengukuran kinerja keuangan. Pada strategy map, perspektif ini dapat diperlakukan sebagai input dan output karena Depkeu memiliki peran sebagai penghimpun dana dan pengelola anggaran.

Sementara itu mengenai letak financial perspective pada strategy map, sebaiknya financial perspective ditempatkan sejajar dan satu level dengan customer perspective pada bagian atas dan langsung di bawah misi yang ingin dicapai (Kaplan dan Norton, 2004). Namun karena pada strategy map tema Pendapatan Negara tidak terdapat customer perspective melainkan sudah diganti menjadi perspektif stakeholder atau strategic outcomes yang pada dasarnya adalah sama, maka financial perspective diletakkan sejajar dan satu level dengan perspektif tersebut. Hal ini dapat dilihat pada gambar modifikasi strategy map tema Pendapatan Negara (gambar 4.6). Rancangan strategy map yang hampir mirip dipandang dari SS yang ingin dicapai pada financial perspective dapat dilihat pada organisasi State Department of Transportation dan State of Michigan Department of The Treasury yang dijelaskan pada Bab 2, meskipun letak perspektif keuangan pada strategy map organisasi tersebut agak berbeda.

Berdasarkan fungsi Depkeu sebagai penghimpun dana dan pengelola anggaran, maka dipandang perlu untuk memasukkan dua SS yang berkaitan dengan kedua fungsi tersebut pada financial perspective yaitu Meningkatkan Pendapatan Negara (SS PEND.4.) dan Mengelola Anggaran yang Efisien dan Efektif (SS PEND.5.).

Pada perspektif strategic outcome tema Pendapatan Negara terdapat SS PEND.1. yaitu Tingkat Pendapatan yang Optimal, yang mempunyai tiga IKU yang selalu dimonitor yaitu:

(32)

• % Pencapaian Target Pendapatan;

• Rasio Realisasi Belanja Dibandingkan dengan Tingkat Pendapatan.

Gambar 4.6. Modifikasi Strategy Map Tema Pendapatan Negara

(33)

Apabila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa IKU kedua dari SS tersebut yakni % Pencapaian Target Pendapatan merupakan target sejumlah dana yang ingin dicapai oleh Depkeu dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai penghimpun dana dari masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa IKU kedua ini sebenarnya merupakan IKU pada financial perspective yang diperlakukan sebagai output (hasil dana yang ingin dicapai oleh suatu organisasi). Berdasarkan hal tersebut, maka Depkeu sebaiknya memindahkan IKU kedua tersebut menjadi salah satu IKU pada financial perspective yaitu SS PEND.4. (Meningkatkan Pendapatan Negara), sedangkan IKU pertama dan ketiga tetap menjadi IKU dari SS PEND.1. Untuk SS PEND.1. sendiri, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai SS pada perspektif stakeholder dan lebih berfokus melakukan pengukuran kinerja dengan IKU-IKU yang menggunakan rasio-rasio yang berhubungan dengan optimalisasi pendapatan negara karena hal tersebut memang diharapkan oleh para stakeholders Depkeu.

Gambar 4.7. Modifikasi Cause and Effect Relationship Tema Pendapatan Negara

(34)

Modifikasi dengan menambahkan financial perspective yang dilakukan pada strategy map tema Pendapatan Negara ini juga berpengaruh dan mengubah visualisasi cause and effect relationship pada peta strategi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7.

4.2.2. Evaluasi Strategy Map Depkeu-Wide

Gambar 4.8. Executive Summary Strategy Map

Sumber: Departemen Keuangan, 2009

Penggunaan SS yang sejenis dan berulang seperti telah dijelaskan sebelumnya di antara lima tema strategi yang berbeda dalam strategy map Depkeu-Wide menyebabkan ketidakefisienan. Seiring berjalannya waktu Pushaka mulai merasakan bahwa strategy map Depkeu-Wide terlalu kompleks dan kurang fokus karena banyaknya SS dan KPI yang ada terlalu banyak seperti yang

(35)

dikatakan para ahli BSC. Dalam rapat Forum Staf Ahli (FORSA) tanggal 6 Februari 2009, Menkeu berpandangan bahwa:

• Perlunya pengkajian IKU Depkeu-Wide agar lebih mencerminkan kinerja riil Depkeu;

• Perlunya membangun strategy focused organization yang akan men-drive 60% sampai 70% agenda Menkeu;

• Perlunya membangun budaya kinerja yang tinggi di level eselon 1 dan 2 melalui monitoring pencapaian peta strategi Depkeu-Wide, One, dan Two.

Hasil penyempurnaan dari Depkeu-Wide yang mencakup lima strategy map disebut sebagai Executive Summary Strategy Map (lihat gambar 4.8). Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam pennyusunan executive summary adalah: a. Penyempurnaan peta strategi Depkeu-Wide;

• Melaksanakan brainstorming untuk penyusunan executive summary untuk satu peta strategi level Menkeu melalui penggabungan SS sejenis yang berasal dari lima peta strategi Depkeu-Wide;

• Adanya keterwakilan seluruh unit eselon 1 sebagai unit in charge.

b. Penyusunan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan IKU yang bertujuan:

• Sebagai landasan pengelolaan IKU dengan pendekatan BSC;

• Sebagai pendorong internalisasi prinsip budaya manajemen kinerja tinggi. Setelah penyempurnaan selesai dilakukan dengan dibantu konsultan dari Depkeu Australia, maka hasilnya dapat diperbandingkan dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6. Perbandingan Strategy Map Depkeu-Wide Lama dan Baru

Jumlah IKU 206 41 Jumlah SS 82 20 Customer Perspective (-) (+) Keterwakilan Tupoksi (+) (+) Fokus Strategi / Integrated Perspective (-) (+) Kemudahan Monitoring (-) (+)

Kemudahan Link dengan

PBB (-) (+)

Kemudahan Deteksi

Problem Suboptimasi (-) (+)

Uraian 5 Strategy Map Executive Summary Strategy Map

(36)

Executive Summary Strategy Map Depkeu-Wide dicantumkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 yang mengatur Kontrak Kinerja antara Menkeu dengan semua pejabat eselon 1 atas IKU-IKU yang menjadi tanggung jawabnya.

Gambar 4.9. Modifikasi Executive Summary Strategy Map

Sumber: telah diolah kembali

Meskipun demikian, peta strategi lama yang terdiri dari lima tema strategi tersebut tetap digunakan secara paralel. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang tidak efisien karena melakukan pekerjaan yang sama secara berulang. Jika peta

(37)

strategi baru sudah disepakati, sebaiknya peta lama tidak usah dipakai lagi. Langkah selanjutnya melakukan penyesuaian peta strategi Depkeu-One dan Two yang sudah jadi untuk diselaraskan (aligned) dengan strategy map Depkeu-Wide yang baru (gambar 4.8). Selain itu, peta strategi yang baru juga perlu dilakukan penyempurnaan karena belum mencantumkan financial perspective seperti halnya dalam pembahasan strategy map tema Pendapatan Negara. Pada dasarnya modifikasi yang dilakukan adalah sama yaitu menempatkan financial perspective sejajar dan satu level dengan customer perspective dengan dua SS yang sama untuk mendorong tercapainya optimalisasi pendapatan negara pada perspektif stakeholder (lihat gambar 4.9.).

4.3. Evaluasi Efektivitas Implementasi BSC Menggunakan Kerangka MBCPE untuk Mewujudkan Departemen Keuangan yang Berkinerja Unggul

MBCPE, yang lebih dikenal dengan kriteria Baldrige, merupakan manajemen penguji modern yang mampu mendeteksi efektivitas pendekatan yang ditetapkan, kesesuaian antara pendekatan atau perencanaan dengan pelaksanaannya, serta dengan hasil yang diperoleh. Kriteria ini juga menguji kemampuan kelangsungan hidup dari suatu organisasi karena mengukur berdasarkan persyaratan-persyaratan kinerja unggul yang komprehensif.

Kriteria Baldrige bukanlah alat (tool) atau teknik (technique), tetapi lebih merupakan state of mind-guidance (penuntun) bagi suatu organisasi untuk mencapai kinerja unggul. Kriteria Baldrige tidak secara spesifik mensyaratkan penggunaan tool tertentu untuk meningkatkan kinerja, tetapi lebih mempertanyakan efektivitas tool tersebut dalam implementasinya. Kriteria Baldrige mengarahkan kepada pembentukan budaya organisasi yang efektif dan menuntun pencapaian kinerja unggul.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, akan dilakukan evaluasi efektivitas implementasi BSC dengan menggunakan kerangka MBCPE dalam rangka ingin mengetahui kemampuan Depkeu menjadi organisasi yang berkinerja unggul. Pembahasan evaluasi menggunakan urutan tujuh kategori yang dipersyaratkan dalam kriteria Baldrige sebagai berikut:

(38)

1. Leadership

Dalam kategori ini masih banyak hal yang kurang dilakukan oleh Depkeu. Secara terbuka dalam suatu wawancara pihak Pushaka mengakui memang belum berkonsentrasi mengembangkan leadership di Depkeu. Namun dengan adanya implementasi BSC secara tidak langsung aspek ini juga tersentuh, apalagi dalam organizational capital di learning and growth perspective, suatu organisasi juga harus menyiapkan para pemimpin untuk mempunyai leadership yang ideal.

Dari hasil penelitian tingkat kesiapan strategis organisasi juga didapatkan data dan informasi bahwa para pemimpin Depkeu tidak melakukan dengan baik pengkomunikasian visi, misi, dan nilai-nilai inti kepada para bawahan, sedangkan komunikasi atasan dan bawahan dan dorongan dari pemimpin untuk melakukan inovasi masih mempunyai nilai rata-rata yang rendah. Selain itu, Depkeu belum mempunyai sistem kepemimpinan yang mampu menciptakan pemimpin dengan kepemimpinan yang ideal, yang ada hanya sebatas standar kompetensi untuk menduduki suatu jabatan, dan penilaian leadership seorang pejabat juga belum dilaksanakan dengan baik.

Tabel 4.7. Evaluasi Kategori Leadership

1

a Menciptakan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi V

b Mengkomunikasikan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi V

c Menciptakan lingkungan yang mendorong pemberdayaan, inovasi, kegesitan,

perilaku etis, dan pembelajaran organisasi dan pegawai V

d Melaksanakan komunikasi dua arah dengan seluruh pegawai dan pihak luar V e Mendorong upaya fokus pada pencapaian sasaran strategis, perbaikan kinerja,

dan pencapaian visi organisasi V

f Menyeimbangkan kebutuhan dan harapan pelanggan dan stakeholders V

g Mendorong upaya mewujudkan good governance V

h Melakukan sistem evaluasi yang fair kepada pimpinan senior V

i Menerapkan sistem kepemimpinan yang baik V

j Mendorong perilaku etis pada seluruh interaksi internal dan eksternal organisasi V

k Memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan komunitas penting V

No. Kurang

Dilakukan

Belum Dilakukan Item-item Kriteria Baldrige

Leadership

Sudah Dilakukan

Gambar

Gambar 4.3. Contoh Lembaran Indikator Kinerja Strategis
Gambar 4.4. Pola Cascading
Gambar 4.5. Cause and Effect Relationship Tema Pendapatan Negara
Gambar 4.6. Modifikasi Strategy Map Tema Pendapatan Negara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dasar-dasar Audit Internal Sektor Publik, Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik STAN Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)

Hipoksia stagnan (anoksia stagnan) Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak mampu membawa oksigen ke jaringan oleh karena kegagalan

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian tentang pengaruh sikap dan cara belajar terhadap hasil belajar mata pelajaran sejarah dapat disimpulkan bahwa :

pedoman atas tingkat keuntungan perusahaan. Dalam menjalankan perusahaan, pihak manajemen memerlukan pendanaan untuk aktiva dan masalah pengunaan hutang terhadap equitas

6) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan

Dan yang terakhir narasumber ke tujuh Sella Amalia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Agar dapat terus berjalan dan berkembang dalam persaingan, perusahaan menerapkan sistem manajemen mutu (SMM) ISO 9001:2008 kedalam kinerja organisasi untuk menghasilkan produk

Menurut pendapat Bapak/Ibu, apabila nantinya diterapkan teknologi pengelolaan sampah perkotaan maka aktifitas teknologi tersebut harus mampu menumbuhkan lapangan usaha lain yang