• Tidak ada hasil yang ditemukan

Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua Kamis, 15 Januari 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua Kamis, 15 Januari 2009"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua

Kamis, 15 Januari 2009

Siti Komariah

Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan kandidat Doktor di Universiti Malaya Kualalumpur, Malaysia

Pendahuluan

        Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang.

Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.

        Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu—yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan pendekatan keamanan—merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Papua, kondisi itu menjadi pemicu munculnya pergolakan di masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI (Lihat Kausar, 2006:1-2).

        Presidium Dewan Papua, pada awal tahun 2002, menerbitkan sebuah buku karangan Yorrys Th. Raweyai, dengan judul Mengapa Papua Ingin Merdeka. Judul bukunya mengundang pertanyaan yang sama di banyak kalangan; mengapa Papua (Irian) ingin merdeka? Pertanyaan itu lahir dari indikasi masih adanya gerakan di Papua yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Organisasi Papua Merdeka (OPM), bendera Bintang Kejora, dan semangat sebagian kaum muda Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, masih belum padam.

        Untuk meredam keinginan sebagian rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI serta guna mempercepat pembangunan di Papua dan memperkecil kesenjangan, Pemerintah mulai memberikan perhatian yang

sungguh-sungguh kepada Provinsi Papua dan Papua Barat agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana wilayah lain di tanah air. Pada tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19992 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua.

        Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang bersifat khusus. Aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon

oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.

        Kebijakan otonomi Khusus merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

(2)

Realitas Kondisi Kehidupan di Tanah Papua Saat Ini

        Wilayah Papua, pada awalnya dikenal dengan nama Irian3 Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto mengganti nama Irian Barat menjadi Irian Jaya. Nama Irian Jaya tetap digunakan secara resmi

hingga tahun 2000. Berdasarkan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua, DPRD Provinsi Irian Jaya, melalui Surat Keputusan Nomor 7/DPRD/2000 tertanggal 16 Agustus 2000

mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Pada tahun 2004, wilayah Papua dibagi oleh Pemerintah menjadi dua provinsi; wilayah bagian timur tetap memakai nama Provinsi Papua, sedangkan wilayah bagian barat diberi nama Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) yang kemudian berubah nama menjadi Papua Barat4 (Lihat Wikipedia Indonesia, www.wikipedia.org. 2007:1).

        Tanah Papua yang sering juga disebut Bumi Cendrawasih terletak di wilayah paling timur negara Republik Indonesia dan sering dijuluki “tanah penuh harapan―.

        Tanah Papua didiami sejak ratusan tahun yang lalu oleh suku Melanesia5 yang jumlahnya sekitar 82,52%, dan non-Melanesia6 yang jumlahnya sekitar 17,48 %. Jumlah penduduk Papua pada tahun 2007 sebanyak 2.576.822 jiwa.

Sekitar 70% penduduk tinggal di pedesaan atau perkampungan dan pegunungan tengah yang terpencil. Luasnya wilayah Papua tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang mendiaminya.

        Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Suku-suku di Papua dapat dikelompokkan ke dalam beberapa suku, antara lain, suku Ansus, Amungme, Asmat, Ayamaru, Bauzi, Biak, Dani,

Empur, Hatam, Iha, Komoro, Mee, Meyakh, Moskona, Nafri, Paniai, Sentani, Souk, Waropen, Muyu, Tobati, dan Enggros. Mereka memiliki ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Keanekaragaman bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Namun, melalui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, berbagai suku bangsa di Papua dapat

berkomunikasi dengan baik melalui bahasa Indonesia yang digunakan secara resmi oleh masyarakat di Papua hingga ke pedalaman.

        Pada daerah-daerah yang bervariasi topografinya, terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat-istiadat yang saling berbeda. Pada umumnya, masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah atau patrilineal. Dengan mengacu pada perbedaan topografi dan adat-istiadatnya, secara garis besar penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:

Â

- 1.   Penduduk daerah pantai dan kepulauan, dengan ciri-ciri umum: rumah di atas tiang (rumah panggung), mata pencahariannya menokok sagu, dan menangkap ikan;

- 2.   Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa, danau, dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu, dan mengumpulkan hasil hutan; dan

- 3.   Penduduk dataran tinggi, dengan mata pencaharian berkebun dan beternak secara sederhana. (lihat www.wikipedia.org. 2007)

        Tanah Papua memiliki sumber kekayaan alam, yang mencakup flora, fauna, mineral, tanah dan pasir, air dan

(3)

lautan, energi, bahan-bahan tambang serta potensi perhutanan, pertanian, dan peternakan. Daerahnya masih relatif asli dan belum banyak dirambah oleh aktivitas manusia. Tanahnya yang luas membentang dipenuhi oleh hutan belantara. Lautnya yang luas dengan keindahan alam dan keragaman biotanya. Di perut bumi Papua, tersimpan gas alam, minyak, dan aneka bahan tambang.

        Di Sorong, tersedia sumber minyak dan gas, potensi perikanan, serta potensi wisata bahari. Di Fak-Fak tersedia minyak dan gas, tanaman padi, dan pariwisata. Manokwari memiliki lahan perkebunan dan pertambangan. Di Biak,

tersedia pengembangan perikanan dan industri. Demikian pula di Mamberamo, tersedia sumber energi, industri, dan Pariwisata. Sementara di Timika, tersedia pertambangan, perkebunan, perikanan, dan pariwisata. Di Merauke, tersedia lahan perkebunan, kehutanan, tanaman pangan, perikanan, hingga pertambangan. Akan tetapi, dengan potensi sumber daya alam yang sangat kaya, kekayaan yang dimiliki Papua, dinilai oleh banyak kalangan tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat Papua. Terdapat kesenjangan yang relatif besar dalam pembangunan antara Provinsi Papua (termasuk Papua Barat) dengan provinsi lain di Kawasan Barat Indonesia.

        Sementara itu, tatanan politik di tanah Papua relatif belum berkembang dan cenderung diwarnai oleh isu-isu separatisme. Penyaluran aspirasi masyarakat di Papua belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan, baik oleh

masyarakat Papua sendiri maupun oleh Pemerintah.

        Demikian pula kehidupan ekonomi masyarakat Papua pada umumnya masih tertinggal dari daerah-daerah lain. Hal ini disebabkan, antara lain, karena lokasi yang terisolasi dengan tingkat aksesibilitas infrastruktur yang sangat

kurang; rendahnya taraf sosial ekonomi, dan masih banyaknya jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal. Kesenjangan ekonomi masyarakat Papua mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat yang masih sederhana.

        Di sisi lain, tanah Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejak berabad-abad silam, memiliki kekhasan dalam tradisi, adat-istiadat, dan budaya masyarakatnya, serta memiliki lebih dari 250 bahasa daerah. Wilayah Papua sejak awal telah didiami secara turun temurun oleh berbagai suku yang masing-masing memiliki keragaman budaya dan adat-istiadat yang khas.

        Di era reformasi, benih-benih disintegrasi dan gerakan separatis di Papua seakan mendapatkan momentum yang baik. Demikian pula, krisis multidimensional yang berlangsung tahun 1997-2000 merupakan situasi yang kondusif bagi

gerakan separatis untuk menggulirkan gagasan kemerdekaan; melepaskan diri dari NKRI. Dari aspek pertahanan dan keamanan, meskipun menunjukkan penurunan kegiatan gerakan separatis di Papua, namun aktivitas gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus tetap diwaspadai.

Pemberlakuan Otonomi Khusus

        Sejak tahun 2001, diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kebijakan otonomi Khusus menurut Kambuaya (2006:8) merupakan suatu kebijakan yang bernilai strategis

dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

        Di Papua, hampir tujuh tahun telah diberlakukan Otonomi Khusus (2001-2008), namun kebijakan ini belum mampu diimplementasikan secara efektif dan masih terdapat kesenjangan dalam realitas. Pemberlakuan kebijakan ini

belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service),

(4)

membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat. Akibat belum berjalannya Otonomi Khusus, tampak pada beberapa hal sebagai berikut:

Â

-

1.   Laporan Biro Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Development Project (UNDP) mengenai Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004 yang berjudul: The Economics of Democracy; Financing Human Development in Indonesia, mengemukakan bahwa secara nasional, kualitas sumber daya manusia Papua berada pada posisi yang sangat rendah. Angka Human Development Index (HDI) Papua pada tahun 2002 hanya mencapai 60,1, berada pada peringkat ke-29 dari 32 provinsi7.

-

2.   Dalam pandangan Masyarakat Adat Papua—pada evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua—Otonomi Khusus tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat adat Papua. Sebagai

konsekuensi dari penilaian ini, Dewan Adat Papua (DPA) pada bulan Agustus 2004 atas nama masyarakat adat, menyatakan menolak dan mengembalikan Otonomi Khusus Papua.

-

3.   Masih banyak di antara komponen masyarakat Papua yang belum memahami secara baik dan benar hakikat Otonomi Khusus Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai persepsi, penafsiran, bahkan kebijakan yang keliru, baik dari para elit politik Papua, para praktisi, akademisi, maupun masyarakat luas terhadap materi muatan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

-

4.   Belum memadainya perangkat hukum sebagai landasan taktis dan teknis dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Selama enam tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, perangkat hukum dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang sudah dirumuskan dan ditetapkan hanya empat Perdasi. Padahal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan pembuatan 17 Perdasi dan 11 Perdasus.

-

5.   Sejumlah institusi yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, masih belum terbentuk, antara lain: Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Peradilan Adat.

-

6.   Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, juga mengamanatkan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Misalnya, perubahan kecamatan menjadi distrik atau desa menjadi kampung. Perubahan ini harus pula diikuti dengan perubahan struktur dan kewenangan, bukan hanya sekedar perubahan

nomenklatur seperti yang telah dilakukan. Â

        Dalam penyelenggaraan pembangunan di Papua, pemberlakuan Otonomi Khusus yang telah berjalan selama tujuh tahun (2001-2008) belum dapat meningkatkan pemahaman yang sama terhadap proses pembangunan di Papua.

Pembangunan di Papua masih berjalan apa adanya. Belum banyak perubahan yang berarti dalam peningkatan

(5)

pembangunan di Papua. Pemahaman konsepsi Wawasan Nusantara juga belum sepenuhnya difahami oleh seluruh elemen masyarakat di Papua. Terbukti, beberapa gerakan separatis8 masih muncul dengan kasat mata. Padahal, Kebijakan Otonomi Khusus telah diberlakukan di Papua. Dengan demikian, perlu ditingkatkan hubungan sistemik antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan di Papua guna mendukung Otonomi Khusus. Hal ini penting dilakukan mengingat pemberian Otonomi Khusus Papua ternyata belum mampu meredam keinginan sekelompok masyarakat untuk memperjuangan kemerdekaan Papua.

Permasalahan Strategik yang Belum Terpecahkan

        Salah satu alasan masyarakat Papua menuntut kemerdekaan dari Republik Indonesia karena selama puluhan tahun mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan hak

asasi manusia. Masyarakat Papua merasa tidak mendapatkan hak-hak politiknya (political rights), tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajibannya sebagai warga bangsa, tidak terlibat langsung dalam proses pembangunan, serta tidak mendapatkan keamanan dan ketentraman. Mereka juga merasa dianggap sebagai warga negara kelas dua, baik dalam proses pembangunan nasional secara keseluruhan maupun dalam proses pembangunan di daerahnya sendiri. Di sinilah pentingnya Wawasan Nusantara dimana segenap komponen bangsa seiring, sejalan, harmoni, dan bersama-sama membangun NKRI. Melalui pemahaman Wawasan Nusantara yang komprehensif integral, masyarakat Papua akan tetap menjadi bagian dari NKRI. Â

         Demikian pula, hasil pembangunan yang belum memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Papua selama puluhan tahun sangat mengecewakan masyarakat Papua. Ungkapan kekecewaan itu disalurkan dalam bentuk tuntutan

kemerdekaan atau memisahkan diri dari NKRI. Masyarakat Papua memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi itu secara terbuka setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan muncul era reformasi.

        Secara umum, permasalahan stratejik di tanah Papua yang belum terpecahkan sampai saat ini, antara lain:

- 1. Belum terbangunnya hubungan sistemik antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat dalam menjalankan program otonomi khusus di Papua dan Papua Barat untuk mewujudkan tanah Papua yang mandiri, maju, dan sejahtera.

- 2. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Papua belum meningkat, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan sukar diperoleh dengan mudah.

- 3. Sumber daya manusia masih kurang dengan mimimnya anggota masyarakat Papua terdidik.Â

- 4. Infrastruktur yang tidak memadai sehingga tidak dapat menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat. - 5. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Percepatan Pembangunan belum berjalan baik.

- 6. Sumber kekayaan alam belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Papua.

- 7. Masih adanya gerakan separatis yang akan memisahkan Papua dari NKRI sehingga keutuhan NKRI tetap menjadi ancaman.

Otonomi Khusus Mengubah Realitas Kehidupan di Tanah Papua

         Berkembangnya demokrasi; penghormatan terhadap hak asasi manusia; perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan, peningkatan ekonomi, pelayanan dasar dan pembangunan infrastruktur; serta perhatian terhadap

(6)

pentingnya pelestarian lingkungan hidup merupakan nilai-nilai universal yang membuka peluang bagi Indonesia menjadi negara yang demokratis9 yang menjunjung nilai-nilai Hak Asasi manusia, dan meningkatkan kesejahteraan bagi

rakyat10. Bagi rakyat Papua, hal ini memberikan peluang yang sangat baik bagi peningkatan kesejahteraan, ekonomi, infrastruktur, dan penegakkan HAM. Apalagi, Pemerintah telah mengambil kebijakan Otonomi Khusus bagi Papua dan Percepatan Pembangunan bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

        Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris11―. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk

mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

         Otonomi Khusus yang diberlakukan bagi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri dalam kerangka NKRI. Secara

garis besar, terdapat empat hal mendasar di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yaitu:

- 1. Pengaturan kewenangan antara Pemerintah (Pusat) dengan Pemerintah Provinsi Papua—juga Papua Barat—serta penerapan kewenangan itu di Papua yang dilakukan dengan kekhususan.

- 2. Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar.

- 3. Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dengan bercirikan;

a.   Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. b.   Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Papua pada umumnya.

c.   Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

- 4. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu (Kausar, 2006:3).

        Secara ideal, pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakkan supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, percepatan pembangunan ekonomi,

peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua. Untuk itu, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang berorientasi pada program pembangunan tanah dan masyarakat Papua melalui kebijakan yang disebut kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (The New Deal Policy for Papua).

        Kebijakan pembangunan Papua saat ini dan di masa yang akan datang telah memiliki landasan hukum yang jelas berupa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Instruksi Presiden

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

         Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut:

(7)

- 1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

- 2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

- 3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

- 4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah Otonomi Khusus;

- 5. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri;

- 6. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakkan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

- 7. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

- 8. Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka NKRI;

- 9. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;

- 10. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi manusia penduduk asli Papua.

- 11. Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua; - 12. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-Undang.Â

        Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidaklah lahir dari suatu kevakuman. Menurut Solossa (2005:26), secara formal, gagasan untuk mencari penyelesaian politik yang menyeluruh

terhadap masalah Papua dibicarakan dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999. Pada akhirnya Pemerintah melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, berkeinginan untuk mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

        Instruksi Presiden RI itu, diberikan kepada:

(8)

- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; - Menteri Pekerjaan Umum;

- Menteri Perhubungan; - Menteri Dalam Negeri; - Menteri Pertanian;

- Menteri Kelautan dan Perikanan; - Menteri Kehutanan;

- Menteri Pendidikan Nasional;

- Menteri Kesehatan; - Menteri Keuangan;

- Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; - Gubernur Provinsi Papua;

- Gubernur Provinsi Papua Barat; dan

- Para Bupati/Walikota di Provinsi Papua dan Papua Barat.

        Kepada para Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota12, Presiden RI mengeluarkan beberapa instruksi untuk mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat antara lain:

        Pertama, mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya dalam rangka pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;

Â

        Kedua, melakukan pendekatan kebijakan baru bagi Provinsi Papua dan Papua Barat atau The New Deal Policy for Papua, dengan prioritas sebagai berikut:

- 1.   Pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; - 2.   Peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan;

- 3.   Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan;

- 4.   Peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman, dan perbatasan negara; dan

(9)

- 5.   Perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli Papua. Â

        Ketiga, untuk mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat diperlukan upaya khusus melalui pembangunan infrastruktur transportasi yang dilaksanakan berdasarkan rencana aksi yang disusun berdasarkan

Rencana Induk Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Beberapa Skenario Kebijakan

        Di era otonomi daerah, Pembangunan Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakikatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu

kemampuan yang andal dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan untuk mengelola sumber daya ekonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.

        Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan sumber daya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Pembangunan daerah juga merupakan upaya

untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan

masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju, tenteram, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi peningkatan harkat, martabat, dan harga diri, sebagaimana yang diutamakan dalam pembangunan daerah di tanah Papua.

        Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus, diharapkan masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki kewenangan yang sangat luas. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengatur segala

sesuatunya bagi peningkatan kemakmuran masyarakat berdasarkan peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus. Melalui kebijakan Otonomi Khusus, juga diharapkan penyelenggaraan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, terbuka lebar dengan pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Sumber keuangan, baik bantuan Otonomi Khusus dari Pemerintah Pusat maupun Pendapatan Asli Daerah akan menjadi lebih besar, termasuk di dalamnya pembagian keuangan menjadi 80 % untuk daerah berbanding 20 % untuk Pemerintah Pusat.

        Pada tataran kebijakan politik, Pemerintah telah memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap Papua dibandingkan dengan provinsi lainnya. Melalui Undang-Undang Otonomi Khusus dan Instruksi Presiden tentang

Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, maka Pemerintah Daerah dan masyarakat Papua harus mengamankan dan menjalankan kebijakan politik itu.Â

        Keragaman masyarakat dan budaya Indonesia—termasuk Papua—merupakan potensi kekayaan yang harus dioptimalkan sehingga terasa manfaatnya. Potensi itu diwujudkan menjadi kekuataan riil sehingga mampu menjawab

berbagai tantangan kekinian yang ditunjukkan dengan melemahnya ketahanan budaya yang berimplikasi pada menurunnya kebanggaan nasional. Untuk itu, sinergi segenap komponen bangsa, terutama hubungan antara

pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendukung program otonomi khusus di Papua dan Papua Barat, perlu terus dilakukan untuk mewujudkan tanah Papua yang mandiri, maju, dan sejahtera di tahun 2025.

         Beberapa skenario kebijakan yang dapat dilaksanakan secara sistemik antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah antara lain:

(10)

-

1.   Membangun Hubungan Sistemik Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat

     Membangun hubungan sistemik antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat diperlukan untuk meningkatkan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan bagi penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 melalui reformasi birokrasi seperti tertuang dalam RKP tahun 2008 dan tahun 2009. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya pelayanan publik yang prima (cepat, tepat, murah, transparan, dan akuntabel) dan peningkatan kinerja birokrasi yang semakin baik.

     Tuntutan reformasi yang menghendaki pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), mewujudkan corak baru dalam era  demokrasi, yakni penyelenggaraan negara dengan mengedepankan proses demokratisasi melalui pemberdayaan lembaga-lembaga swadaya masyarakat —atau pemberdayaan lembaga adat dan Majelis Rakyat Papua di Papua, civil society yang aktif, partnership pemerintah dan masyarakat, dan kemampuan menghadapi pluralisme.

     Pola good government esensinya adalah pemerintahan yang mengikutsertakan semua lapisan masyarakat dalam rancang bangun pembangunan, transparan, dan bertanggung jawab, efektif dan adil, serta menjamin terlaksananya

supremasi hukum. Good government juga harus dapat menjamin bahwa prioritas di bidang politik, sosial, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan didasarkan pada konsensus masyarakat; memperhatikan kepentingan rakyat banyak; mendukung visi strategis pemimpin; dan masyarakat yang mampu melihat jauh ke depan dari suatu pemerintahan yang baik dan berorientasi pada pembangunan untuk semua (kelayakan sosial).

     Penyelenggara pemerintahan yang tangguh dapat mempercepat proses pembangunan di Papua sesuai dengan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus dan Instruksi Presiden mengenai Percepatan Pembangunan di Provinsi

Papua dan Papua Barat.

-

2.   Meningkatkan Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat

     Upaya mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui dua strategi utama, yaitu melalui upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

     Upaya penanggulangan kemiskinan di Papua terus ditingkatkan dan menjadi prioritas utama pembangunan. Program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat telah memberikan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin di Papua. Beberapa program tersebut diantaranya adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD).

      Penduduk miskin di Papua pada umumnya tinggal di kawasan perdesaan, pegunungan tinggi, pedalaman, dan daerah-daerah terpencil. Perhatian yang besar terhadap masyarakat di kawasan seperti itu, akan membantu upaya

menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

     Pembangunan wilayah perdesaan, pedalaman, pegunungan, dan daerah terpencil terus didorong melalui penumbuhan kegiatan ekonomi pertanian yang memperkuat keterkaitan sektoral antara pertanian, dan jasa

penunjangnya; peningkatan kapasitas dan keberdayaan masyarakat perdesaan untuk dapat menangkap peluang

(11)

pengembangan ekonomi, serta memperkuat kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan yang antara lain berupa budaya gotong royong dan jaringan kerja sama.

     Pemerintah juga mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang usaha unggulan daerah yang memiliki keterkaitan usaha ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages) yang kuat;

peningkatan ketersediaan infrastruktur perdesaan dengan melibatkan partisipasi dan peran serta masyarakat

(community based development) dalam pembangunan dan/atau pemeliharaannya, antara lain, pembangunan jaringan jalan perdesaan yang membuka keterisolasian, pembangunan jaringan listrik perdesaan, serta penyediaan

jaringan/sambungan telepon dan pelayanan pos, dan pusat informasi masyarakat (community access point).

3.   Meningkatkan Sumber Daya Manusia

     Meningkatnya sumber daya manusia di Papua, diperlukan untuk membangun Papua ke depan. Sumber daya manusia tidak lepas dari peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Peningkatan pendidikan di Papua diharapkan dapat meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, serta penuntasan pendidikan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun. Selain itu, ke depan warga Papua yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi harus ditambah dan diperluas jangkauannya hingga masyarakat pedalaman.

     Dalam bidang kesehatan, diperlukan peningkatan jumlah, jaringan, dan kualitas Puskesmas hingga ke wilayah pedalaman, pegunungan, dan daerah terpencil. Oleh karena itu, diperlukan penambahan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular, serta penanggulangan gizi buruk pada anak balita, dan ketersediaan obat generik.

Â

4.   Menyediakan Infrastruktur yang Memadai

     Ketidaktersediaan infrastruktur di Papua merupakan salah satu masalah yang menyebabkan pembangunan di Papua berjalan sangat lamban. Kondisi pelayanan infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi—baik jalan, jembatan, maupun kendaraan—umumnya masih kurang. Sebagian besar penduduk yang tinggal di pedesaan, pedalaman, dan pegunungan tinggi harus menempuh jarak sejauh 6-10 kilometer ke pusat pemasaran hasil pertanian yang biasanya berada di kota kecamatan. Di desa lainnya, penduduk harus menempuh jarak lebih dari 10 kilometer dengan kondisi jalan yang memprihatinkan bahkan menembus hutan belantara.

     Hal ini mengakibatkan rendahnya tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua. Demikian pula penduduk yang tinggal di perdesaan, pedalaman, pegunungan tinggi, dan daerah terpencil tidak memiliki akses terhadap

pelayanan air bersih, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan energi (listrik) masih belum merata. Akibatnya, tingkat kesehatan masyarakat sangat rentan. Sumber daya manusia lemah dan kehidupan keseharian masih jauh tertinggal dibandingkan masyarakat di daerah lainnya.

     Ketersediaan infrastruktur menjadi hal yang penting dalam upaya meningkatkan akses ekonomi masyarakat Papua dan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, terutama di wilayah perdesaan, pedalaman, pegunungan, dan

daerah terpencil serta terisolasi. Aksesibilitas pelayanan transportasi, menjadi sangat penting terutama pada

penanganan sistem jaringan jalan yang masih belum terhubungkan ke daerah terisolir dan belum berkembang. Demikian pula sektor ketenagalistrikan, yang sangat diperlukan melalui pemanfaatan energi non-BBM untuk pembangkit listrik terutama energi terbarukan, antara lain, energi panas bumi, surya, mikro hidro, dan angin.

5.   Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Kekayaan Alam Secara Optimal bagi Kesejahteraan Rakyat Papua      Di Papua, pemanfaatan sumber kekayaan alam, yang berasal dari hutan, laut dan perut bumi yang sering menimbulkan kerusakan ekosistem, harus diupayakan ke arah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang memperhatikan kondisi lingkungan, penggunaan dan penataan ruang yang baik; serta sinergi antarsektor baik dalam

(12)

kewenangan, pengawasan, maupun penegakkan hukum.

     Kekayaan yang dimiliki tanah Papua terlebih dahulu harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Papua. Keterlibatan masyarakat Papua dalam eksploitasi sumber kekayaan alam yang dilakukan baik oleh pemerintah, swasta, maupun pihak asing, harus mengutamakan keterlibatan penduduk asli Papua.

6.   Menghentikan Gerakan Separatis

     Hubungan sistemik antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, juga dapat menanggulangi gerakan separatisme13. Pemberian otonomi khusus Papua ternyata belum mampu meredam keinginan sekelompok masyarakat untuk

memperjuangkan kemerdekaan Papua. Berbagai aktivitas Organisasi Papua Merdeka, baik yang dilaksanakan secara fisik maupun politik sedikit banyak mampu menarik simpati internasional. Oleh karena itu, upaya memperkuat sistem intelijen dan diplomasi luar negeri diperlukan untuk melawan aktivitas propaganda negatif OPM di luar negeri.Â

     Pemerintah juga terus berupaya menempuh langkah strategis baik melalui lobi-lobi internasional maupun pendekatan dengan pemangku kepentingan di Papua. Di samping itu, pemerintah juga melakukan perlawanan propaganda guna meluruskan dan meletakkan permasalahan Papua secara jernih dan objektif, serta dapat dimengerti masyarakat internasional bahwa penyelesaian masalah Papua melalui Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI, merupakan solusi terbaik.

     Tindak lanjut terhadap pelaksanaan program pemerintah yaitu: pengembangan ketahanan nasional14; pengembangan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan keamanan negara; penegakkan kedaulatan dan penjagaan keutuhan wilayah NKRI; pemantapan keamanan dalam negeri; peningkatan komitmen persatuan dan

kesatuan nasional; serta peningkatan kualitas pelayanan informasi publik guna lebih mengefektifkan upaya penyelesaian pencegahan dan penanggulangan separatisme di Papua. Dengan cara itu, maka keutuhan NKRI akan tetap terjaga.

Penutup

        Salah satu alasan masyarakat Papua menuntut kemerdekaan dari Republik Indonesia karena selama puluhan tahun mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan hak

asasi manusia. Masyarakat Papua merasa tidak mendapatkan hak-hak politiknya (political rights), tidak mendapatkan persamaan hak dan kewajibannya sebagai warga bangsa, tidak terlibat langsung dalam proses pembangunan, serta tidak mendapatkan keamanan dan ketentraman. Mereka juga merasa dianggap sebagai warga negara kelas dua, baik dalam proses pembangunan nasional secara keseluruhan maupun dalam proses pembangunan di daerahnya sendiri. Di sinilah pentingnya Wawasan Nusantara, dimana segenap komponen bangsa seiring, sejalan, harmoni, dan bersama-sama membangun NKRI. Melalui pemahaman Wawasan Nusantara yang komprehensif integral, masyarakat Papua akan tetap menjadi bagian dari NKRI.Â

Â

        Hasil pembangunan yang belum memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat Papua selama puluhan tahun, sangat mengecewakan masyarakat Papua. Ungkapan kekecewaan itu disalurkan dalam bentuk tuntutan kemerdekaan

atau memisahkan diri dari NKRI. Masyarakat Papua memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi itu secara terbuka setelah pemerintahan Orde Baru jatuh, dan muncul era reformasi.

        Pembangunan Daerah, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakikatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang andal dan

(13)

profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan untuk mengelola sumber daya ekonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan daerah dilaksanakan melalui pengembangan otonomi daerah dan pengaturan sumber daya yang memberikan kesempatan bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik.

        Pembangunan daerah, juga merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat di seluruh daerah sehingga tercipta suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kualitas kehidupan yang lebih baik, maju,

tenteram, dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan masyarakat bagi peningkatan harkat, martabat, dan harga diri, sebagaimana yang diutamakan dalam pembangunan daerah di tanah Papua.

       Melalui pemberlakuan Otonomi Khusus, masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat memiliki kewenangan yang sangat luas. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengatur segala sesuatunya bagi

peningkatan kemakmuran masyarakat berdasarkan peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus. Melalui kebijakan Otonomi Khusus, penyelenggaraan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, terbuka lebar dengan pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri.[]

________________

Â

-

2Â Â Â Dalam perkembangan kemudian, pada tanggal 15 Oktober 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

merupakan sumber hukum bagi penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang berlaku secara nasional. Namun, khusus bagi daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan Otonomi Khusus, Undang-Undang ini memberikan ruang untuk diberlakukan ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain, yang dalam konteks pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2001.

-

3Â Â Â Kata Irian sering diartikan kepanjangan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland (IRIAN).

-

4Â Â Provinsi Papua Barat beribukota di Manokwari, Provinsi Papua Barat sebelumnya bernama Irian Jaya Barat (Irjabar) yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung Pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, dibatasi oleh Samudera Pasifik, bagian barat berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, di selatan berbatasan dengan Laut Seram, dan di tenggara berbatasan dengan Provinsi Papua.

-

5Â Â Â Suku Melanesia di Papua terdiri dari suku Aitinyo, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamura, Mandacan, Biak, dan Suku

(14)

Serui.

-

6Â Â Â Non-Melanesia atau pendatang, antara lain berasal dari Suku Jawa, Makassar, Batak, dan Suku Manado.

-

7Â Â Peringkat ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan peringkat pada tahun 1999. Ketika itu Provinsi Papua berada pada peringkat ke-25. Penurunan peringkat ini terutama disebabkan karena adanya penambahan Provinsi dari 29 Provinsi menjadi 32 Provinsi. Pada tahun 2004, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Papua mengalami kenaikan yang kecil, yakni menjadi 62,5. Capaian ini bahkan lebih kecil dari beberapa provinsi yang baru dibentuk.

-

8Â Â Â Insiden yang terjadi pada saat berlangsungnya Kongres Masyarakat Adat Papua pada tanggal 3 Juli 2007 yang menampilkan suguhan para penari yang membawa bendera Bintang Kejora menunjukkan masih adanya permasalahan separatisme yang memerlukan perhatian lebih serius bagi upaya menjaga dan menegakkan kedaulatan NKRI.

-

9  Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di hadapan anggota DPR RI, tanggal 16 Agustus 2007 mengemukakan: “… Dalam era reformasi sekarang ini, demokrasi makin mekar. Kebebasan tumbuh, dan hak-hak asasi manusia mendapatkan penghormatan yang tinggi. Tantangan baru yang kita hadapi adalah bagaimana kita semua menggunakan kebebasan ini secara tepat, penuh manfaat, penuh tanggung jawab dan disertai akhlaq yang baik. Kita tentu tidak ingin menggunakan kebebasan yang tanpa batas karena akan mengganggu tatanan kehidupan yang tenteram dan harmonis. Marilah kita abdikan demokrasi dan kebebasan ini untuk menjawab kepentingan rakyat, untuk mengatasi permasalahan rakyat, dan untuk membangun kesejahteraan rakyat.

-

10Â Â Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangun-an Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009 tercantum tiga agenda pembangunan nasional, yaitu agenda menciptakan Indonesia yang aman dan damai; agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat.

-

11Â Â Pendekatan seperti ini, banyak dilakukan di berbagai negara di dunia, bahkan dalam skala yang lebih besar seperti Monaco di Perancis, Roma di Italia, Kurdi di Irak, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris.

-

12  Pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, tanggal 23 Agustus 2007, Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan sebagai berikut: “Untuk melaksanakan percepatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat, Pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan tujuan untuk memantapkan ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, meningkatkan

pelayanan pendidikan dan kesehatan, meningkatkan infrastruktur dasar, serta kebijakan khusus bagi putra-putri Papua. Saya mendorong jajaran Pemerintah Daerah untuk memimpin upaya percepatan pembangunan ini, dengan mengambil inisiatif untuk mendayagunakan potensi daerah, menggerakkan masyarakat, dan memimpin paling depan dalam upaya penyuksesan program ini... (Sekretariat Negara RI, 2007:12-13).Â

(15)

-

13Â Â Di antaranya upaya penguatan koordinasi dan kerja sama antarlembaga pemerintah, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan akses sumber daya ekonomi dan politik, pendidikan politik dan bela negara untuk meningkatkan rasa saling percaya, serta menumbuhkan kecintaan masyarakat wilayah konflik separatisme terhadap NKRI. Penanggulangan separatisme dapat dilakukan pula melalui upaya koordinasi seluruh badan-badan intelejen pusat dan daerah, antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau non-militer terhadap gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI, melanjutkan upaya diplomasi untuk memperoleh dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI, pengembangan sistem kewaspadaan dini sosial di Papua, pemantapan nilai-nilai kebangsaan, dan sosialisasi wawasan kebangsaan melalui berbagai media.

-

14  Pengembangan ketahanan nasional perlu ditindaklanjuti melalui: (a) penyelenggaraan kajian kebijakan ketahanan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan, kepentingan nasional, dan keselamatan negara dari ancaman terhadap kedaulatan, persatuan, dan kesatuan; (b) pengembangan otomasi sistem dalam pemantapan nilai-nilai kebangsaan; (c) pendidikan strategis ketahanan nasional dalam rangka peningkatan kualitas kader pemimpin nasional (Lihat Bappenas: 2007: 05 – 7).

Referensi

Dokumen terkait

Kata alua jo patuik menjadi sumber perundang-undangan dalam timbang-menimbang untuk mengambil keputusan hukum adat guna menempatkan sesuatu masalah, keadaan, peristiwa supaya

Dalam inisiatif oleh komputer, pengguna memberikan tanggapan atas prompt yang diberikan oleh komputer untuk memasukkan perintah atau parameter perintah, biasanya

Komponen strategi bauran pemasaran yang meliputi (produk, harga, saluran distribusi, promosi, orang, proses dan bukti fisik) saling berkaitan satu sama lain yang akan

Hal ini disebabkan karena petani memerlukan biaya produksi yang cukup tinggi untuk pengolahan dan pemeliharaan tanaman pertanian berupa sayuran maupun palawija, sehingga

 90 % dari draf yang disiapkan pemerintah mengalami perubahan yang sangat mendasar, baik dari segi substansi maupun formulasi rumusannya, yang disepakati pada

Makalah ini merupakan langkah awal untuk menemukan dan mengenali potensi pusaka budaya kawasan pesisir yang ada di Kepulauan Maluku dari sudut pandang studi arkeologi

Sumber: Pengolahan data, 2016 Klasifikasi pada tabel 1 menunjukkan konsentrasi TSM dan CDOM sangat tinggi diwakili kelas 1, sedangkan pada klasifikasi konsentrasi

Pemberian kompensasi sangat penting bagi karyawan, karena besar kecilnya kompensai merupakan ukuran terhadap prestasi kerja karyawan, maka apabila sistem kompensasi