• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Teknologi Penangkapan

Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian “bio-techniko-socio-economic-approach” yaitu:

(1) Bila ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.

(2) Secara teknis efektif digunakan

(3) Dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan (4) Secara ekonomi, teknologi tersebut bersifat menguntungkan.

Satu aspek tambahan yang perlu diperhatikan adalah adanya ijin pemerintah yang berupa kebijakan dan peraturan pemerintah (Haluan dan Nurani 1988).

Menurut Monintja (1987) jika pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan yang relatif mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan para nelayan yang memadai. Dalam kaitannya dengan penyediaan protein hewani untuk masyarakat luas harus dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.

Penerapan teknologi baru tidak begitu mudah karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Nelayan kecil kadang-kadang lambat dalam mengadopsi teknologi baru karena beberapa alasan, yaitu mereka enggan untuk mengambil resiko dengan modal mereka yang terbatas. Menurut Mubiyarto (1996), alasan utama mengapa nelayan berlaku tetap pada cara-cara yang lama dalam lingkungan ekonomi tertentu adalah mereka sangat mempertimbangkan adanya resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terutama pada faktor ketidakpastian, selanjutnya dikatakan bahwa mereka beranggapan bahwa keuntungan yang mereka peroleh dari penggunaan teknologi baru kenyataannya akan lebih rendah hasilnya.

2.2 Alat Tangkap Perangkap (Traps)

Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau menghadang ikan. Pada prinsipnya perangkap bersifat statis sewaktu dipasang dan efektivitasnya tergantung pada

(2)

gerakan ikan menuju alat tersebut (Sainsbury 1982). Alat ini juga bersifat pasif menunggu ikan/hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Ikan dapat masuk dengan mudak ke dalam perangkap tanpa ada pemaksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar meloloskan diri keluar karena dihalangi dengan bermacam-macam cara untuk meloloskan (Von Brant 1984) Pemasangannya berdasarkan pengetahuan tentang lintasan-lintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ke arah pantai pada waktu-waktu tertentu (Gunarso 1985). Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung ikan, menghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar.

Menurut Subani dan Barus (1989), perangkap terbuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboos screen) dan lain sebagainya. Alat tangkap tersebut dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap), dipasang (ditanam) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan.

Martasuganda (2003) mengatakan proses ikan, kepiting atau udang terperangkap ke dalam perangkap kemungkinan dikarenakan adanya :

(1) Tertarik bau umpan; (2) Dipakai untuk berlindung;

(3) Karena sifat thigmotaksis dari ikan itu sendiri; dan (4) Tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

2.2.1 Alat tangkap bubu (pots)

Alat penangkap ikan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan dasar adalah bubu, jaring, pancing, muroami, tombak dan menyelam (Widodo et al. 1998). Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia untuk menangkap ikan-ikan karang. Beberapa keuntungan menggunakan bubu seperti: bahan mudah diperoleh dan harga relatif murah, desain dan konstruksinya sederhana, pengoperasiannya mudah, tidak memerlukan kapal khusus, ikan hasil tangkapan masih memiliki tingkat kesegaran yang baik dan alat tangkap dapat dioperasikan di perairan karang yang tidak terjangkau oleh alat tangkap lainnya (Iskandar dan Diniah 1999).

Menurut Rounsefelt dan Everhart (1962), bubu merupakan alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik di laut maupun danau. Bubu banyak digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias.

(3)

Bubu didesain untuk menangkap crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Pada pengoperasiannya bisa diberi umpan maupun tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung. Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan Prado 1990).

Menurut Von Brant (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok alat perangkap (traps). IMAI (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring).

Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi tiga bagian, yaitu rangka (frame) badan (body), mulut (funnel) dan pintu masuk. Rangka biasanya terbuat dari bahan yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan dengan konstruksi bubu yang diinginkan. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri. Rangka berfungsi untuk mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu berfungsi untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989).

Bubu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan karang karena mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah:

(1) Pembuatan alat mudah dan murah; (2) Pengoperasiannya mudah;

(3) Kesegaran hasil tangkapan baik; dan

(4) Daya tahan tinggi dan dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan (Tirtana 2003).

(4)

Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan memerangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain :

(1) Pergerakan acak ikan;

(2) Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung; (3) Tingkah laku sosial interspesies;

(4) Pemasangan; dan (5) Mencari pasangan.

Menurut Martasuganda (2003), secara umum ikan masuk ke dalam bubu karena faktor-faktor berikut :

(1) Mencari makan;

(2) Mencari tepat berlindung; (3) Mencari tempat beristirahat; dan (4) Sifat thigmotaxis ikan.

Unit penangkapan bubu terdiri atas kapal, alat tangkap bubu dan nelayan. Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus 1989). Posisi peletakan bubu tanpa menggunakan pelampung tanda, posisi tersebut dicatat dengan menggunakan alat bantu Global Poition System (GPS) sehingga hanya nelayan tersebut saja yang mengetahui posisi peletakan bubu. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pencurian hasil tangkapan bubu dan terseretnya bubu oleh kapal.

2.2.2 Pengoperasian bubu

Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga golongan berdasarkan cara pengoperaiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps dan beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main line traps.

Sumertha dan Soedharma (1975) menjelaskan bahwa penyebaran hidup biota di laut dipengaruhi oleh tingkat kedalaman, arus, pasang surut serta mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Puslitkan 1991), kakap merah (Lutjanus

(5)

untuk kedalaman perairan yang berbeda.

Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan telah lama dipraktekkan orang. Pikatan biasanya digunakan oleh alat yang berbentuk perangkap. Pada prinsipnya ikan masuk ke dalam perangkap seolah perangkap sebagai tempat berlindung. Konstruksi alat dibuat sedemikian rupa hingga ikan yang masuk kedalamnya tidak dapat melarikan diri. Mursbahan (1977) menyatakan bahwa ikan banyak terdapat di sekitar rumpon, mungkin karena rumpon tersebut terlihat oleh ikan sebagai tempat berlindung dari buruan musuhnya. Larger et. al. (1977) menambahkan bahwa reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung. Fluktuasi hasil tangkapan bubu menurut Tiyoso (1979) terjadi karena :

(1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;

(2) Keragaman ikan di dalam populasi; dan

(3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.

Menurut Reppie (1989), metode penangkapan dengan alat tangkap bubu tergantung pada tingkah laku ikan sebagai objek penangkapan dan objek ukuran mata bubu. Metode penangkapan dengan bubu mempunyai beberapa karakteristik yang memberikan keuntungan yaitu:

(1) Pembuatan alat tangkap bubu mudah; (2) Pengoperasiannya mudah;

(3) Kesegaran hasil tangkapan bagus; dan

(4) Daya tangkap dapat diandalkan dan bisa dioperasikan pada lokasi yang alat tangkap lain tidak mengoperasikannya (Monintja dan Martasuganda 1990).

2.2.3 Teknik penangkapan

Di Kabupaten Bangka Selatan, ikan karang ditangkap dengan bubu dan muroami. Bubu adalah alat tradisional, biasanya dioperasikan menjadi satu rangkaian dari beberapa unit bubu, atau satu unit bubu (single trap). Daerah penangkapan adalah dekat muara sungai atau sekitar pantai yang berkarang. Semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan (ikan dasar, kepiting, udang, keong, belut, cumi-cumi, gurita serta habitat lainnya yang bisa ditangkap

(6)

oleh bubu) yang akan dijadikan sebagai daerah penangkapan. Pemasangannya ada yang dipasang satu persatu dan secara berantai (sistem rawai).

Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan menggunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury 1996).

Bubu dan jaring penghalang (barrier net) adalah jenis-jenis alat tangkap yang sebenarnya sudah digunakan oleh nelayan sejak lama. Mereka banyak ditinggalkan sejak digunakannya sianida (pada perikanan karang) dan pukat harimau (pada perikanan laut dalam) yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkapan yang berlipat ganda. Upaya menggalakkan kembali alat-alat tangkap ini tidak semata menganjurkan nelayan kembali ke kondisi dulu, tetapi disertai modifikasi yang bertujuan meningkatkan hasil tangkapan dan tetap mengendalikan dampaknya terhadap kualitas habitat (Widyaningsih 2004).

2.3 Capaian Penelitian Bubu Sebelumnya

Penelitian tentang perikanan bubu telah banyak dilakukan hingga saat ini, antara lain mengenai:

1) Studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mawardi, 1998). Pada penelitian ini menunjukkan hasil tangkapan bubu sayap dengan Leader net (DL) dan bubu sayap tanpa Leader net (TL) berbeda nyata. Demikian pula hasil tangkapan bubu sayap (DL) siang dan bubu sayap (TL) malam hari berbeda nyata. Berbeda dengan hasil tangkapan bubu sayap (TL) tidak memperlihatkan hasil tangkapan yang berbeda nyata antara siang dan malam. Hasil rekaman tingkah laku ikan didapatkan proses dan kuantitas ikan pada saat mendekati dan menjauhi mulut bubu, ikan yang masuk kedalam bubu dan yang berhasil meloloskan diri serta menjauhi bubu.

2) Pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dalam pengoperasian bubu (Urbinas, 2004). Pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat trend kedalaman bahwa semakin dalam perairan, hasil tangkapan semakin tinggi atau sebaliknya semakin dangkal perairan, hasil tangkapan semakin sedikit. Kakap merah lebih banyak tertangkap pada kedalaman 109,6-123,6 m,

(7)

53,2-67,2 m, 67,3-81,3 m, 137,8-151,8 m dan 39,1-53,1 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit. Selain itu, ikan kakap merah memiliki pola penyebaran yang tinggi pada kedalaman 33,1-81,3 m dan 109,6-151,8 m dengan kontur dasar perairan yang berbukit-bukit, sedangkan pola penyebaran rendah terjadi pada kedalaman 81,4-109,5 m dengan kontur dasar perairan yang landai.

3) Perbandingan hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat (Setiawan 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu bambu dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat lebih efektif untuk menangkap jenis crustacea.

4) Hasil tangkapan dari bubu kawat dan bubu lipat (Purnama 2006). Pada penelitian ini menunjukkan jumlah dan berat hasil tangkapan bubu kawat dan bubu lipat tidak berbeda nyata. Bubu lipat dapat digunakan sebagai pengganti bubu kawat dan lebih efektif dalam usaha pemanfaatan sumberdaya ikan maupun biota lainnya.

5) Respon Penciuman ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan (Riyanto 2008). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis umpan dan waktu perendaman (siang dan malam) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan. Selain itu juga, umpan alami memiliki efektifitas yang lebuh baik untuk penangkapan ikan kerapu dengan bubu dibandingkan umpan buatan

2.4. Klasifikasi Ikan Karang

Menurut Wiryawan et al. (2002) Ikan karang yang ditemukan di daerah terumbu karang di Sumatera (Lampung) sebanyak 168 spesies yang berasal dari 28 famili. Menurut Adrim (1993) diacu oleh Nasution (2001) dan Terangi (2004), mengelompokkan ikan karang dalam tiga kategori, yaitu :

1) Kelompok ikan target, yaitu ikan yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti : Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan

Lethrinidae;

2) Kelompok ikan indikator, yaitu ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk kelompok ikan indikator yaitu family Chaetodotidae.

3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,

(8)

2.5 Kelayakan Usaha

Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.

2.5.1 Analisis usaha

Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio),

Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI).

2.5.2 Analisis kriteria investasi

Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek. Analisis ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan dalam analisis ini, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net Benefit Cost

Ratio (net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh di kemudian

hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain semua aliran biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis kita ukur dengan nilai sekarang (Gray et al. 1993).

2.5.2.1 Net present value (NPV)

Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih

PV (present value) arus benefit dengan PV arus biaya. Menurut Suratman (2001, NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak

dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif, usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya.

Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur

(9)

ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001).

2.5.2.2 Internal rate of return (IRR)

Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah suatu usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan antara

IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR dilakukan

dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment).

Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan

PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan

mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan

IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam

bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari metode IRR (Suratman 2001).

2.5.2.3 Net benefit cost ratio (Net B/C)

Menurut Umar (2003), net B/C merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan kriteria investasi net B/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan net B/C biaya tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yang positif dan negatif. Kemudian jumlah PV yang positif dibandingkan dengan jumlah PV yang negatif. Sebaliknya, dalam perhitungan gross B/C pembilang adalah jumlah nilai sekarang arus manfaat dan penyebut jumlah nilai sekarang biaya bruto. Metode net B/C ini membandingkan nilai discount net benefit positif dengan discount net benefit negative, apabila net B/C > 1 maka proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C < 1 maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan. Kritera ini menggambarkan seberapa besar bagian biaya proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek (Kadariah

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi kerja karyawan pada UD Surya Logam Desa Temukus dipengaruhi oleh faktor kebutuhan, tingkat pendidikan, kepuasan kerja, kondisi lingkungan kerja, kompensasi yang memadai,

Disamping peluang besar yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menghadapi tren pariwisata halal, tentunya ada beberapa tantangan yang

Pengembangan sistem informasi untuk penerapan peningkatan kualitas dengan metode Six Sigma ini dibuat berdasarkan penyesuaian terhadap keadaan pada perusahaan khususnya

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran peta hubungan yang terjadi pada jaringan sosial, aktor-aktor yang berpengaruh dalam jaringan

Berdasarkan hasil uji Chi Squere didapatkan Chi Square hitung 8,400 &gt; Chi Square tabel 5,991 dan P value sebesar 0,015 &lt; 0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang

Radio Suara Surabaya (SS) merupakan salah satu media massa mainstream yang lahir pada 11 Juni 1983 dan berkembang di Surabaya. SS merupakan stasiun radio yang

Dalam realisasinya terlebih dahulu dibentuk model LP yang terdiri dari fungsi tujuan yang diperoleh dari hasil perhitungan perkembanngan keuntungan penjulan susu pasteurisasi

Investments in the capital of Banking, financial and insurance entities that are outside the scope of regulatory consolidation, net of eligible short positions, where the Bank