• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Migrasi Burung Pemangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Migrasi Burung Pemangsa"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Migrasi Burung Pemangsa

Migrasi adalah pergerakan organisme musiman terarah yang dilakukan selama perjalanan bulak-balik diantara area reproduksi (breeding site) dan area masa musim dingin (wintering site). Hal ini terjadi pada semua bentuk kehidupan dari hewan dan tanaman, baik besar maupun kecil. Migrasi merupakan suatu respon makhluk hidup terhadap pergantian musim. Burung pemangsa mencari kondisi yang sesuai terhadap suhu, cahaya, dan makanan (Bildstein, 2006).

Selama beberapa tahun, banyak teori migrasi yang telah menjelaskan tentang asal-usul dari sistem migrasi. Teori tersebut menyatakan bahwa sistem migrasi berkembang ketika populasi nenek moyang yang menetap membangun perilaku bermigrasi yang kemudian individu memulai untuk bermigrasi baik menuju maupun keluar dari area breeding yang baru (belahan utara), atau menuju dan keluar dari area non-breeding yang baru (belahan selatan). Teori komprehensif menunjukkan bahwa kecenderungan migrasi telah berkembang, dan terus berlanjut untuk berkembang (Bildstein, 2006). Migrasi tahunan terjadi dengan perubahan garis lintang dan ketinggian (Kendeigh, 1961).

Dalam terminologi habitat burung pemangsa yang bermigrasi, terdapat tiga jenis residen, di antaranya: residen permanen, residen musim panas, dan residen musim dingin. Residen permanen adalah spesies yang ada di suatu area sepanjang tahun walaupun spesies lain bermigrasi. Residen musim panas adalah spesies yang ada hanya pada area yang hangat (tropis), termasuk juga musim reproduksi yang terjadi pada awal musim semi sampai akhir musim gugur. Residen musim dingin adalah spesies yang ada hanya pada musim dingin atau periode non-reproduksi (Kendeigh, 1961).

Migrasi musim gugur dan musim semi merupakan salah satu tipe migrasi burung pemangsa. Migrasi musim gugur atau outbond migration adalah migrasi yang terjadi dari habitat reproduksi menuju habitat non-reproduksi (habitat musim dingin) ketika burung pemangsa selesai melakukan reproduksi di habitat asalnya

(2)

(habitat reproduksi). Migrasi ini terjadi pada akhir musim gugur untuk menghindari cuaca ekstrim di habitat asalnya dan mencari makanan di luar habitat asalnya. Migrasi musim semi disebut sebagai return migration ialah migrasi yang terjadi dari habitat musim dingin kembali menuju habitat asalnya. Migrasi ini terjadi pada musim semi. Umumnya, migrasi musim semi terjadi lebih cepat dibandingkan migrasi musim gugur. Migrasi jarak jauh ini dapat memberi manfaat menghindari musim dingin yang cukup keras di belahan utara, dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan menjamin masa reproduksi rata-rata yang lebih tinggi (Bildstein, 2006).

2.2. Habitat Burung yang Bermigrasi

Selama migrasi, burung pemangsa memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan untuk tiga tujuan, yaitu reproduksi (breeding site), persinggahan (stop-over), dan tinggal sementara pada masa musim dingin (wintering site). Tempat reproduksi ialah tempat yang digunakan oleh suatu spesies untuk melakukan proses reproduksi. Stopover didefinisikan sebagai tempat burung yang bermigrasi berhenti sementara untuk beberapa waktu tertentu pada rute migrasi. Selama pemberhentian sementara, burung menggunakan habitat untuk beristirahat, berkumpul dan mencari makan. Lokasi stopover ialah lokasi yang menjadi rute migrasi dan tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu atau lebih. Aktivitas persinggahan ini seringkali digunakan untuk antisipasi terhadap migrasi yang melewati habitat yang tidak terlalu baik (Bildstein, 2006).

Selain itu, umumnya burung pemangsa berpindah dan menetap selama periode tertentu selama lokasi asalnya yang mengalami musim dingin. Oleh karena itu, burung pemangsa bermigrasi menuju lokasi yang lebih hangat. Lokasi yang lebih hangat ini disebut sebagai habitat musim dingin. Habitat musim dingin (wintering site) didefinisikan sebagai area dimana SMA tinggal di dalam area yang kurang dari diameter 30 km dalam kurun waktu 24 jam (Higuchi H, Pierre JP, 2005).

(3)

2.3. Core Habitat dan Edge Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra, 1990). Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra,1990). Habitat inti (core habitat) atau interior ialah habitat yang memiliki tingkat isolasi yang tinggi dari gangguan seperti bising, angin, radiasi surya, dan peningkatan predator (Tietje, 2000). Habitat pinggir (edge habitat) adalah tempat yang terdiri dari sekumpulan tumbuhan bertemu dengan daerah suksesi atau sekumpulan tumbuhan lain. Area ini dipengaruhi oleh transisi antara komunitas yang disebut sebagai ecotone. Area ini umumnya lebih kaya satwaliar dibanding area sekitarnya. Edge habitat memiliki karakteristik yang mempengaruhi ukuran dari edge habitat dan tingkat kekayaan habitat tersebut (Thomas, 1979).

Edge habitat merupakan bagian terluar dari suatu inti (patch) yang memiliki nilai lingkungan berbeda dengan bagian inti. Luasan area ini dapat berukuran kecil sampai ratusan meter bergantung pada faktor lingkungan (Tietje, 2000). Core habitat merupakan area yang memiliki tingkat perlindungan yang cukup tinggi. Core habitat umumnya dikelilingi oleh edge habitat. Fungsi dari edge habitat ini di antaranya sebagai penyangga yang dapat menjamin aktivitas penggunaan lahan yang tidak mengancam integritas dari fungsi core habitat. Edge habitat ini juga berfungsi untuk menciptakan koridor satwa liar dan konektivitas diantara kedua core habitat. Fungsi core habitat dan edge habitat secara ekologis tersaji pada Gambar 2 (Phillips, 2002).

Area yang dikelilingi oleh kawasan lahan basah (wetlands) dan sungai memiliki fungsi lebih dari sekedar area untuk melindungi sumber daya akuatik, tetapi area ini dapat disebut sebagai core habitat untuk spesies tertentu. Area ini dapat dijadikan sebagai kriteria baru untuk mengevaluasi, melindungi dan mengelola area kritis. Habitat ini penting untuk menyelamatkan jumlah spesies dan melestarikan keanekaragaman biologis (Semlitsch RD, Jensen JB, 2001). Zona penyangga (edge habitat) mendapat perhatian yang lebih besar dari para ahli

(4)

konservasi dan peneliti dikarenakan nilainya dalam melindungi sumber akuatik. Keberadaan zona penyangga (edge habitat) harus berada di sekitar area daratan yang menjadi core habitat. Edge habitat ini diperlukan untuk melindungi habitat daratan dan akuatik dari pemanfaatan tata guna lahan yang bisa merusak area tersebut. Ketika core habitat menopang populasi agar dapat hidup, edge habitat berfungsi untuk melindungi sumber daya air (Semlitsch et al., 2001).

Gambar 2. Core Habitat dan Edge Habitat (Sumber : www.data.iucn.org) 2.4. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus)

Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) atau sering dikenal dengan istilah Oriental Honey Buzzards adalah burung pemangsa yang hidup di kawasan hutan, kawasan lahan yang terolah, dan semi-gurun (Ferguson J, Christie DA, 2005). 2.4.1. Deskripsi Fisik

Elang berukuran sedang, berwarna gelap dengan jambul kecil (Gambar 3). Panjang burung sekitar 53 – 65 cm, lebar sayap sekitar 113-142 cm, dan lebar ekor sebesar 24-29 cm (Ferguson et al., 2005). Warna sangat bervariasi dengan penampilan warna terang, normal, dan gelap dari dua ras yang berbeda. Tubuh bagian atas berwarna coklat sedangkan bagian tubuh bawah berwarna putih sampai merah sawo matang dan coklat gelap berbintik-bintik dan bergaris-garis banyak. Pada ekor, terdapat garis-garis yang tidak teratur. Setiap ras mempunyai bercak di kerongkongan yang umumnya berwarna pucat dan dibatasi coretan hitam sehingga sering mempunyai garis tengah berwarna hitam. SMA memiliki

(5)

warna iris jingga, warna paruh abu-abu, kaki kuning, dan dari jarak pendek bulu-bulu yang berbentuk sisik di depan mata merupakan ciri khas yang bersifat diagnostik. Suara burung ini keras dan bernada tinggi (MacKinnon, 1990). Burung ini bertengger secara berkelompok (Ferguson et al., 2005).

Berdasarkan jenis kelamin, burung ini memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:

1. jantan dewasa : memiliki puncak kepala yang ramping, bulunya berwarna coklat, kepala dan badannya berwarna coklat tua gelap,

2. jantan dewasa tipikal : memiliki puncak kepala yang panjang, berwarna coklat, dan

3. Betina Dewasa : terbang rendah, tidak memiliki puncak, lebih pucat, besar

Gambar 3. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) (Sumber : www.reference.findtarget.com)

2.4.2. Penyebaran

Sikep Madu Asia (SMA) berkembang biak di bagian Selatan Siberia, Utara Mongolia, Timur Laut Cina, Korea dan Jepang yang kemudian bermigrasi ke arah Selatan pada musim dingin (Ornithological Society of Japan, 2000). SMA ini merupakan salah satu dari burung pemangsa yang bermigrasi yang

(6)

menghabiskan waktu musim dingin di Asia Tenggara yang dijadikan sebagai habitat musim dingin. SMA terdistribusi ke Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Semua SMA yang bermigrasi ke Asia Tenggara akan bergerak menuju semenanjung Malaysia, tetapi arah dan titik pangkalan berbeda antar individu. Setelah mencapai Sumatera, tujuh burung mengubah arah pergerakan ke arah timur laut: satu individu tiba di Pulau Mindanau dan enam individu mengakhiri migrasi untuk menetap selama musim dingin di Pulau Kalimantan (Yamaguchi et al., 2008).

Setiap tahunnya, SMA melakukan dua tipe migrasi, yaitu migrasi musim gugur (autumn migration) dan migrasi musim semi (spring migration). Migrasi musim gugur yang dilakukan oleh individu SMA dilakukan pada bulan September dari breeding habitat di Jepang kemudian sampai di habitat musim dingin di kawasan Asia Tenggara sekitar bulan Desember. Migrasi musim semi dilakukan pada akhir bulan Februari dari habitat musim dingin. Individu SMA kembali ke habitat asalnya sekitar bulan Mei (Higuchi H, Shiu H, Nakamura H, Uematsu A, Kuno K, Saeki M, Hotta M, Tokita K, Moriya E, Morishita E, Tamura E, 2005). 2.4.3. Kebiasaan, Makanan, dan Perkembangbiakan

SMA sering mengunjungi bukit berhutan. Spesies ini juga memiliki gaya terbang yang khas, yaitu dengan beberapa kepakan sayap yang diikuti oleh gerakan melayang yang lama. Spesies ini juga terbang membumbung tinggi di langit dengan bentangan sayap tetap datar. SMA mempunyai kebiasaan mengambil sarang tawon dan lebah. Makanan SMA adalah lebah, tawon, madu, dan tempayak juga buah-buahan yang lunak, reptilia, dan lain-lain. Sarang burung ini terbuat dari ranting-ranting bercampur daun-daun hijau, diletakkan pada pohon-pohon di hutan. Saat reproduksi, SMA menghasilkan satu atau dua butir telur berwarna putih atau kuning tua dengan banyak bercak merah atau coklat (MacKinnon, 1990).

2.5. Satellite Tracking

Satellite tracking merupakan alat yang sangat ampuh untuk menginvestigasi pergerakan hewan khususnya dalam situasi ketika subyek yang diteliti bepergian

(7)

dalam skala global (Cohn, 1999; Webster et al., 2002). Dengan menggunakan teknologi ini, ahli ekologi dapat mengakumulasi bukti yang terkait pada jalur migrasi, tempat singgah, dan tempat mencari makan. Data satellite tracking ini tidak hanya menyediakan informasi dasar mengenai pergerakan dari spesies target, tetapi juga menunjukkan tempat singgah penting yang didatangi oleh burung-burung yang sedang mencari makan atau yang berada di area perikanan (Higuchi et al., 2005).

Sejak tahun 1980, teknologi satellite tracking digunakan untuk memantau burung. Satellite tracking pada hewan menggunakan PTTs (Platform Transmitter Terminals) untuk ditrack menggunakan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). PTT ditempelkan pada bagian punggung dari burung kemudian PTT digabungkan dengan GPS (Global Positioning System) (Gillespie, 2001).

Berat PTT relatif kecil (sekitar 200 gram) untuk menghindari gangguan pada burung saat sedang terbang. Energi yang digunakan dalam PTT memanfaatkan tenaga surya dengan menggunakan baterai nikel-kadmiun yang dapat diisi kembali. Baterai ini dapat diisi ulang sebanyak 1000 kali dan bertahan selama 3 tahun (Seegara WS, Henkeb MB, Schorc M, Stoned M, 1996). Akan tetapi, kegagalan dalam tracking dapat terjadi pada saat penggunaaan PTT yang dikarenakan oleh burung mati, PTT yang terlepas, daya tahan baterai habis, dan baterai yang digunakan terlepas dari PTT.

Secara umum, satellite tracking memberikan informasi waktu dan lokasi satwa bergerak. Dengan mengintegrasikan data dengan beberapa variabel lingkungan dan menggabungkannya dengan teknik Sistem Informasi Geografi (GIS), penggunaan habitat dari burung yang telah ditandai dapat dianalisis. Beberapa peneliti menggunakan pendekatan ini untuk memeriksa strategi migrasi (Fujita G, Hong-Liang G, Ueta M, Goroshko O, Krever V, Ozaki K, Mita N, Higuchi, H, 2004), dan untuk penggunaan habitat (Kernohan BJ, Millspaugh JJ, Jenks JA, Naugle DE, 1998).

SMA di-track dengan sistem Argos (Argos, 1996). Sistem ARGOS menggunakan satelit US National Oceanic and Atmospheric Adminsitration

(8)

(NOAA). NOAA mengikuti lintasan sepanjang 830 km di atas permukaan bumi pada kecepatan satu lintasan orbit setiap 102 menit. Data yang diterima dan ditaruh oleh NOAA akan dikirimkan ke stasiun pusat di Amerika Serikat dan Prancis. Data ini umumnya diterima sekali per orbit dan dikirimkan ke ARGOS Global Processing Centre. Informasi diubah ke dalam informasi posisi lintang dan bujur. Informasi ini dikirimkan kepada peneliti melalui internet (Gambar 4). Proses ini membutukan 1-2 jam dari waktu saat satelit menerima signal dari transmitter ke waktu saat data lokasi diperoleh oleh peneliti (Higuchi et al., 2005).

Gambar 4. Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS (Sumber : Higuchi et al., 2005)

Berdasarkan akurasi lokasi yang diperkirakan, Argos membagi kelas-kelas lokasi (LCs) dengan akurasi: Z (akurasi terkecil), B, A, 0, 1, 2, dan 3 (akurasi terbesar). Akurasi yang dimulai dari urutan terkecil seperti A, B, dan Z tidak dapat diestimasi dengan sistem ARGOS. Secara umum, kelas lokasi (LC) 0-3 digunakan untuk analisis data yang telah ditetapkan satu akurasi standar deviasi lebih dari 1000 m, 350-1000 m, 150-350 m, dan <150 m. Habitat musim dingin didefinisikan sebagai area yang ditinggali oleh SMA kurang dari 30 km selama minimal 24 jam (Higuchi et al., 2005). Distribusi habitat musim dingin SMA tersaji pada gambar 5.

(9)

Gambar 5. Distribusi habitat musim dingin 49 invididu SMA yang di-track tahun 2003-2010

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Jumlah SMA Persentase

Gambar

Gambar 2. Core Habitat dan Edge Habitat  (Sumber : www.data.iucn.org)  2.4. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus)
Gambar 3. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus)  (Sumber : www.reference.findtarget.com)
Gambar 4. Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS  (Sumber : Higuchi et al., 2005)
Gambar 5. Distribusi habitat musim dingin 49 invididu SMA   yang di-track tahun 2003-2010

Referensi

Dokumen terkait

Ini adalah struktur sederhana yang dapat digunakan untuk menyimpan kentang di lapangan. 7al ini berguna ketika seseorang tidak ingin berin'estasi dalam

Kami harap dengan sarana dan program yang kami berikan, masyarakat pengguna jasa layanan bidan dapat memperoleh akses pelayanan yang bermutu dari standarisasi pelayanan praktik

Dengan dialog dan argumen yang semakin disempurnakan, setiap peserta dalam diskusi terbuka ini hendaknya memiliki kemampuan untuk membedakan, tradisi mereka sendiri, dari yang

Setelah dilakukan pemeriksaan darah rutin dan PT/ APTT , pada tanggal 19 Maret 2012 pasien dirawat dengan diagnosis kerja suspek TB laring + radang kronis paru

Berdasarkan persoalan ini, maka judul yang diangkat adalah Bagaimana Dampak Iklan Kampanye pemilihan Gubernur NTT Periode 2008-2013 di Surat Kabar Harian Umum (SKHU)

Pelaksanaan pemasangan batu bata ini membutuhkan bahan batu bata yang cukup banyak pada lapangan apalagi bangunan gedung ini terdiri dari lima (5) lantai,

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014