• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari-Dimensi-Kesehatan-Hingga-Hubungan-Internasional- 1http://

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dari-Dimensi-Kesehatan-Hingga-Hubungan-Internasional- 1http://"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TEMATIK TENTANG BISNIS DAN HAM

Kabut Asap dan Urgensi Adopsi United Nations Guiding Principles (UNGP) dalam Hukum Indonesia

SETARA Institute, Jakarta 1 November 2015

RINGKASAN EKSEKUTIF

I. Latar Belakang

Ekonomi politik Indonesia oleh banyak kalangan yang bekerja di isu lingkungan, agraria, pertambangan, perkebunan, hak asasi manusia, dll., diyakini banyak tidak berpihak pada rakyat dan tidak berpijak pada Konstitusi RI. Ketidakpatuhan pada Konstitusi RI dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia, selain berpotensi menimbulkan ketegangan sosial juga merupakan pelanggaran prinsip penyelenggaraan ekonomi yang diatur dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Pembubaran BP Migas (2012), sebagai konsekuensi dari pembatalan sejumlah pasal dalam UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, adalah salah satu contoh, bahwa politik ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya patuh pada prinsip-prinsip penyelenggaraan ekonomi konstitusional. Dalam konstruksi politik ekonomi yang demikian, setiap paket kebijakan ekonomi berpotensi mengundang persoalan hukum, pelanggaran hak-hak warga negara, dan ketidakpastian dunia usaha.

Situasi ini akan diperburuk dengan kebijakan ekonomi Indonesia dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang tidak mengintegrasikan perspektif hak asasi manusia dan pemenuhan hak ekonomi sosial budaya bagi rakyat. MP3EI adalah jalan lapang bagi perluasan industri-industri pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak. Atas nama percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi, berbagai regulasi yang tidak pro-investasi akan diubah. Sementara regulasi yang menghambat investasi akan dipangkas. Dalam konteks kebijakan ini pula, maka tragedi Mesuji Lampung (2011), kerusuhan Bima, NTB (2011), akan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di 6 koridor ekonomi yang masuk dalam peta MP3EI.

MP3EI adalah upaya khusus pemerintah meningkatkan pendapatan negara. Saat ini Indonesia berada di urutan ke-17 dalam ekonomi dunia, targetnya pada 2025 jadi urutan ke-6. Ironisnya, upaya ini akan ditempuh dengan mengandalkan pada sektor eksploitasi kekayaan alam: timah, nikel, bauksit, batubara, kakao, sawit, gas alam, panas bumi, serta kelautan dan perikanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa upaya ini bukan sekadar bisnis pada umumnya. Oleh karena itu, MP3EI juga memasukkan pembangunan infrastruktur sebagai penopang percepatan dan perluasan pembangunan ini. Bahkan, MP3EI mengundang investor-investor asing untuk turut serta dalam percepatan ini. Tanpa tata kelola yang konstitusional dan respect pada hak-hak asasi manusia, obesesi

(2)

pembangunan yang terdapat dalam MP3EI hanya akan menjadi ancaman serius bagi warga negara. Prinsip hak asasi manusia harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam paket kebiajakan MP3EI.

Penegasan perlunya integrasi HAM dalam dunia bisnis adalah sejalan dengan gagasan pemenuhan tanggung jawab moral dan sosial perusahaan dalam memajukan HAM. perkembangan diskurus HAM telah menempatkan dunia usaha secara strategis dalam sebuah komitmen global pada wadah United Nations Global Compact (GC). GC adalah program yang disponsori Sekjen PBB Kofi Annan dan diluncurkan pada 26 Juli 2000. GC bertujuan menyusun perilaku yang standar bagi korporasi global. Fokusnya adalah agar korporasi global memperbaiki praktik bisnis dengan memperhatikan HAM, standar perburuhan, lingkungan hidup, dan anti korupsi di dalam dan di luar perusahaan.

Setelah Global Compact diluncurkan, sejak 2011, PBB telah mengeluarkan Prinsip Panduan atas Bisnis dan HAM: Pelaksanaan Kerangka Kerja PBB untuk Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan, sebagai upaya pewajiban elemen non negara menjadi bagian untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam pemajuan HAM. Dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, negara berkewajiban mendorong dunia bisnis menghormati HAM, tetapi melalui tangan negara, seluruh kebijakan ekonomi negara ditujukan semata-mata untuk memenuhi hak-hak asasi manusia.

II. Tentang Laporan

Laporan tentang Kabut Asap dan Urgensi Adopsi United Nations Guiding Principles (UNGP) merupakan laporan tematik SETARA Institute yang diproduksi oleh Kelompok Peneliti SETARA Institute yang membidangi isu Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pilihan tema tentang kabut asap ditujukan untuk menjawab kebutuhan aktual tentang langkah komprehensif dan berkelanjutan bagaimana pemerintah dan sektor bisnis mendesain suatu regulasi dan tata laksana yang akuntabel dalam mengelola dan mengembangkan usaha, khususnya pada sektor perkebunan dan kehutanan.

III. Penyebab Kabut Asap

Kabut asap yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, bukanlah peristiwa pertama yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut. Lebih kurang sudah 18 tahun peristiwa kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan terjadi. Pada 2015 peristiwa ini mengundang perhatian meluas karena eskalasi kebakaran dan volume asap yang melampaui batas kewajaran. 1 Dari berbagai sumber, diidentifikasi beberapa penyebab kebakaran, (a) suhu yang terlalu panas sebagai dampak pemanasan global, (b) adanya pembakaran oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab, (c) lahan gambut yang disulap jadi area perkebunan, (d) tidak

1

(3)

ada pencegahan signifikan oleh aparat, (e) kelambanan penanganan, khususnya pemadaman api, dan (f) penegakan hukum yang lemah. Pihak lain menyebut bahwa kebakaran merupakan dampak dari ketidakpatuhan pengusahan dan petani dalam memahami regulasi serta rendahnya pengawasan lapangan. Kelompok pegiat lingkungan memastikan bahwa penyebab kebakaran hutan adalah akibat ulah korporasi yang menjadi modus pembakaran sebagai cara efektif membuka lahan baru, membersihkan lahan, termasuk argumen klaim asuransi.

Dari sisi regulasi UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyisakan masalah. Pasal 69 ayat 1 (h) UU a quo menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan secara dibakar. Tapi kontradiksi itu muncul pada pasal yang sama pada ayat 2 yang menyebutkan bahwa larangan pembakaran bergantung pada kearifan lokal, yang oleh penjelasan UU a quo disebutkan bahwa melakukan pembakaran dibolehkan untuk membuka lahan maksimal 2 ha. per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Setidaknya terdapat 4 regulasi yang membolehkan pembakaran bersyarat dalam membuka lahan. Dari semua penyebab itu, yang bisa dipastikan adalah bahwa penyebab kebakaran tidaklah tunggal dan karena itu semua pihak harus mengambil peran dan tanggung jawab.

Hingga 27 Oktober 2015, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, luas area kebakaran huan dan lahan (karhutla) yang terjadi tahun 2015 mencapai 2.089.911 hektare. Dari jumlah tersebut Menurut data BNPB, karhutla tahun 2015 sebenarnya tidak didominasi lahan gambut. Lahan non-gambut yang terbakar hingga 20 Oktober lalu telah mencapai 1.471.337 hektare, dengan 3.226 titik api per 21 Oktober 2015.2

IV. Tentang Dampak dan Penanganan

Kerugian materiil yang dapat diidentifikasi jangka pendek adalah lebih dari Rp20 triliun. Sedangkan pemerintah telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp500 miliar. Dana tersebut terbagi untuk dana penyewaan pesawat dan helikopter, pelaksanaan hujan buatan, pengerahan personel hingga aktivasi posko. Sedangkan jumlah korban jiwa hingga Oktober mencapai 19 orang dan 529.527 orang terserang penyakit ISPA. Kerugian lain yang tidak teriidentifikasi termasuk kerugian sosial dan immateriil dipastikan lebih luas dari yang sudah diperhitungkan.

Menyimak data yang teridentifikasi, laporan ini utamanya tidak ditujukan untuk memberikan masukan teknis penanganan pada saat ini, tetapi lebih utama ditujukan bagaimana dalam jangka panjang peristiwa serupa tidak berulang. Laporan ini meyakini bahwa prinsip-prinsip internasional tentang standar etika

2

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030133801-20-88437/bnpb-kebakaran-hutan-2015-seluas-32-wilayah-dki-jakarta/ .

(4)

bisnis yang akuntabel sebagaimana dituangkan dalam UN Global Compact dan United Nations Guiding Principles for Business and Human Rights (Ruggie’s Principles), jika diadopsi dan sungguh-sungguh ditegakkan dapat menjadi jalan tengah antara kebutuhan korporasi memperluas lahan sebagai penopang industri nasional dan pemenuhan tanggung jawab etis dan tanggung jawab hukum korporasi yang dalam skema Ruggi‟s Principles memiliki kewajiban menghormati HAM (to respect) dan penyediaan mekanisme pemulihan (acces to remedy). Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah secara seksama dan sungguh-sungguh menangani kebakaran hutan dan lahan. Selain menyediakan alokasi anggaran Rp. 500 miliar, BNPB juga masih memiliki alokasi dana on call sebesar 2,5 triliun.3Kinerja lintas kementerian/ lembaga secara umum telah menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani bencana asap. Selain TNI/Polri, sejumlah perusahaan juga telah menunjukkan keterlibatannya dalam penanganan asap, khususnya dalam hal pemadaman api di area konsesi masing-masing. Namun, menurut sebagian kalangan, pemerintah justru dinilai terlambat menangani bencana ini, khususnya dalam hal mematikan sumber-sumber api (hot spot) sehingga kebakaran menjadi semakin meluas. Terkait penegakan hukum lingkungan, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah memerankannya, sebagai penegak hukum lingkungan dengan menerbitkan tiga jenis sanksi, setidaknya terhadap 14 perusahaan.4 Namun demikian, bagi sebagian kalangan, penegakan hukum lingkungan ini pun juga tidak luput dari kritik, khususnya karena tidak dilakukan secara akuntabel. Betapapun sejumlah perusahaan diidentifikasi melakukan pembakaran, tetapi proses penegakan hukum lingkungan tetap harus mengedepankan proses yang fair, terbuka, dan akuntabel, sehingga tidak kontraproduktif dengan upaya Pemerintahan Jokowi-JK yang mengutamakan pembangunan ekonomi. Proses penegakan hukum lingkungan umumnya diprotes oleh sejumlah perusahaan, karena tidak adanya proses obyektivikasi yang fair.

VI. UNGC dan UNGP

Gagasan bisnis dan HAM merupakan gagasan etis untuk memastikan keberlangsungan usaha, pembangunan, dan dunia yang berkelanjutan. Kehendak manusia dan korporasi yang tanpa batas mendorong berbagai korporasi, utamanya perusahaan-perusahaan dalam kategori Multinational Coorporations (MNCs)/ Transnational Coorporations (TNCs), melakukan ekspansi global untuk merengkuh sebesar-besarnya keuntungan. MNCs/TNCs bahka memiliki kekuasaan dan daya rusak yang melampaui kekuatan negara. Karena posisinya yang sangat sentral, maka gagasan meletakkan dunia usaha sebagai subyek hukum atau subyek standar etik yang mengikat menjadi kebutuhan. Studi yang dilakukan 3 http://nasional.kompas.com/read/2015/10/30/19353221/BNPB.Habiskan.Rp.500.Miliar.un tuk.Tangani.Kabut.Asap 4 http://www.tribunnews.com/nasional/2015/10/24/14-perusahaan-diduga-penyebab-karhutla-disanksi-administrasi

(5)

oleh International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) pada 1997 menunjukkan bagaimana MNCs/TNCs beroperasi dan mengabaikan hak asasi manusia.5

Peragaan yang sama, bisa disimak dalam berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi akibat beroperasinya korporasi di Indonesia. Subyek hukum hak asasi manusia adalah negara. Karena itu, tanggung jawab pelanggaran HAM yang terjadi akibat beroperasinya sebuah korporasi tetap melekat kepada negara. Namun, kekuasaan dan daya rusak yang sangat besar dari MNCs/TNCs maka muncul dorongan agar subyek hukum HAM diperluas menjangkau juga kepada korporasi. Beberapa diskursus mutakhir tentang subyek hukum HAM internasional yang diperluas inilah yang kemudian berhasil menungkan dua prinsip internasional UN Global Compact (1999) dan UNGC (2011) sebagai pihak yang pantas dianggap sebagai „subyek hukum‟ HAM internasional. Akan tetapi, diskursus inipun tidak tuntas, karena secara generik pihak dalam perjanjian HAM internasional tetap meletakkan negara sebagai subyek utama. Atas dasar itu pula, maka daya ikat dari UNGC dan UNGP adalah voluntary atau sukarela.

Pada dasarnya, isu bisnis dan hak asasi telah dimulai sejak lama dengan berbagai inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan mengeluarkan kesepakatan-keseapakatan yang diharapkan diakui secara universal yakni :6

5

K Robert Hitchock. 1997. “Indegenous Peoples, Multinational Corporations and Human Rights.” Indigenous Affairs, IWGIA, No.2. dalam Ifdhal Kasim. 2010. “Tanggungjawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, tidak diterbitkan).

(6)

1. UNGC (United Nation Global Compact);

2. OECD Guidelines for Multinational Corporations and Principles of Corporate Governance;

3. the World Bank Policy on Indigenous Peoples and Draft Policy on Involuntary Resettlement;

4. Amnesty International’s Human Rights Guidelines for Companies; 5. the Global Sullivan Principles;

6. the Australian Non- Government Organisations’ Principles for the Conduct of Company Operations within the Minerals Industry; and

7. the German NGO network’s Principles for the Conduct of Company Operations within the Oil and Gas Industry.

Berbagai prakarsa internasional itu kemudian dilanjutkan oleh sebuah badan di bawah PBB pada tahun 1998 dengan mengeluarkan Rancangan Norma tentang Tanggung jawab Perusahaan terkait HAM. Rancangan itu diterbitkan pada 2003 bertajuk “Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights,” yang dikenal dengan sebutan the Draft Norms. 7 Perdebatan terjadi antara aktivis HAM yang mendukung draft tersebut dengan kalangan bisnis yang menolaknya. Hingga pada akhirnya PBB batal mengadopsi draft tersebut padahal mereka sendiri mengatakan bahwa draft dimaksud adalah sebuah elemen yang berguna. Setelah perdebatan yang berujung pada terbuangnya the Draft Norms, Koffi Anan selaku Sekjen PBB saat itu menunjuk John Ruggie untuk mempertemukan para stakeholder kembali membahas tentang perkembangan bisnis dan hak asasi manusia dari pendekatan yang berbeda. Pada akhirnya John Ruggie mampu membuat laporan kepada Dewan HAM PBB berupa pedoman prinsip hak asasi yang bernama Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework atau lebih dikenal dengan nama Ruggie’s Principles,8yang diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB No. 17/4 16 Juni 2011.

Dalam tataran hukum internasional, resolusi adalah suatu rekomendasi dari suatu masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan. Istilah “resolusi” sebagaimana yang digunakan

6Crish Ballard, “Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study”,

2001, MMSD, Canberra, hlm. 9.

7

IWGIA European Network On Indigenous Peoples, Business And Human Rights;

Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples; Report 16, 2014. Hlm. 11

8

Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for

Human Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network

(7)

oleh PBB memiliki arti yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga keputusan.9

Berbeda dengan deklarasi yang keberlakuannya menuntut adanya proses ratifikasi oleh negara, resolusi yang dikeluarkan Dewan HAM PBB ini bersifat morally-binding yang kekuatannya baru mengikat apabila negara yang bersangkutan menyatakan diri mendukung resolusi tersebut dan melakukan aksi nyata berupa adopsi resolusi ke dalam sistem hukum nasional. Melalui Simposium Nasional Mengenai Bisnis dan HAM, Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri, menyatakan spirit yang ada dalam Ruggie’s Principle sejalan dengan apa yang dikehendaki Indonesia. 10 Indonesia dalam menyikapi Ruggie’s Principles menyatakan dukungannya untuk menjadikan prinsip tersebut sebagai acuan bagi perusahaan di Indonesia untuk menghormati HAM.

Dalam hukum Indonesia, sebuah hukum internasional yang diakui oleh Indonesia harus diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional. Setelah proses adopsi itu, barulah norma tersebut dapat berlaku efektif. Begitu juga dengan Ruggie’s Principles. Prinsip-prinsip yang dikandung di dalamnya harus diadopsi dalam berbagai peraturan-perundang-undangan di Indonesia barulah bisa berlaku secara efektif. Karena pada dasarnya, Ruggie’s Principles tidak membebankan tanggung jawab hukum atas pedoman yang ada di dalamnya, maka butuh langkah nyata dari negara untuk merealisasikannya.

Ruggie’s Principles mendasari panduan prinsip untuk bisnis dan HAM dengan tiga pilar yakni perlindungan, penghormatan, serta pemulihan hak asasi manusia sebagai berikut :11

a) Kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

b) Peran perusahaan bisnis sebagai organ khusus dari masyarakat yang melakukan fungsi-fungsi khusus, sehingga harus mengikuti peraturan yang berlaku dan menghormati hak asasi manusia.

c) Kebutuhan akan hak dan kewajiban yang sesuai dengan pemulihan yang layak dan efektif ketika dilanggar.

Pada dasarnya, keberadaan pedoman ini adalah untuk mengklarifikasi berbagai tindakan negara dan perusahaan tentang apa yang harus dilakukan dalam

9

Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and

General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ , 16 Eur.J.Int‟l.L.2006. hal. 879.

10

http://ham.go.id/kegiatan/simposium-nasional-mengenai-bisnis-dan-ham diakses pada 12 September 2015, pukul. 22.11.

11

Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011, hlm.

(8)

menjalankan bisnis yang selaras dengan HAM. Pedoman ini juga digunakan untuk mengklasifikasi tindakan atau kondisi apa saja yang merupakan bentuk penghambatan atas penghormatan, perlindungan, serta pemulihan HAM.

Sedangkan Global Compact (GC) adalah panduan untuk mewujudkan praktik bisnis yang compliance/ memenuhi empat (4) prinsip: hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, dan antikorupsi, yang diluncurkan oleh PBB pada 1999. Empat (4) prinsip di atas kemudian diturunkan ke dalam 10 prinsip operasional yaitu:12

Prinsip 1 Dunia Usaha harus mendukung dan menghormati perlindungan atas hak asasi manusia yang diproklamirkan secara internasional.

Prinsip 2 Dunia Usaha harus memastikan bahwa kegiatan mereka tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Prinsip 3 Dunia Usaha harus menegakkan kebebasan berserikat dan pengakuan secara efektif atas hak untuk melakukan perundingan bersama.

Prinsip 4 Dunia Usaha harus menegakkan penghapusan kerja paksa atau kerja wajib.

Prinsip 5 Dunia Usaha harus menegakkan penghapusan pekerja anak.

Prinsip 6 Dunia Usaha harus menegakkan penghapusan diskriminasi pekerjaan dan jabatan.

Prinsip 7 Dunia Usaha harus mendukung pendekatan yang bersifat preventif terhadap masalah lingkungan.

Prinsip 8 Dunia Usaha harus melaksanakan upaya untuk mempromosikan tanggungjawab yang lebih besar terhadap lingkungan hidup.

Prinsip 9 Dunia Usaha harus mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi yang ramah lingkungan.

Prinsip 10 Dunia Usaha harus melawan segala bentuk korupsi, termasuk tindak pemerasan dan penyuapan.

UNGP atau Ruggie’s Principles,Ruggie’s Principles adalah sebuah referensi yang dikeluarkan dan disahkan oleh Dewan Hak Asasi Manusia untuk negara dan perusahaan mengintegrasikan penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM dalam setiap bisnis yang beroperasi di dunia. Prinsip ini kemudian diterima dengan suara bulat dan diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) No. 17/4 16 Juni 2011.13

12

Global Compact – Perserikatan Bangsa Bangsa, Prinsip-prinsip Ketenagakerjaan: Panduan untuk Dunia Usaha, Jakarta: ILO, 2009. Hlm 10.

13

Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011, hlm. iv.

(9)

Ruggie’s Principles dan Global Compact mendukung satu sama lain di dalam dua area khusus :

1. Minimum dan lebih dari minimum: Ruggie menyediakan standar dasar bagi tanggung jawab hak asasi manusia perusahaan, tidak memandang apakah perusahaan tersebut sudah menjadi anggota GC atau tidak. Dengan bergabung dengan GC, perusahaan tidak hanya secara eksplisit mengetahui tanggung jawab ini, mereka juga berkomitmen untuk berusaha melebihi standar dan membantu memajukan hak asasi manusia sebagai bagian pembangunan yang berkelanjutan secara lebih luas.

2. Menjalankan “tanggung jawab untuk menghormati:” Dengan memperkenalkan konsep uji tuntas hak asasi manusia, Kerangka Kerja

Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihanmenyediakan pedoman lebih

lanjut tentang bagaimana menerapkan komponen “penghormatan” yang merupakan prinsip pertama dari Global Compact, dalam praktik nyata. Ruggie juga menyatakan bahwa uji tuntas hak asasi manusia dapat membantu perusahaan menghindari keterlibatan dalam pelanggaran hak asasi manusia (sebagaimana Prinsip GC kedua). Tabel di bawah ini (Tabel 1) menunjukan komponen-komponen uji tuntas hak asasi manusia sejalan dengan langkah-langkah yang direkomendasikan oleh Global Compact untuk mengimplementasikan prinsip-prinsipnya.

Antara UNGC dan UNGP memilki perbedaan konseptual dalam beberapa prinsipnya seperti berikut :14

Tabel 1: Perbandingan UNGP dan UNGC

Ruggie's Principles Global Compact

Istilah Dasar Menghormati Hak Asasi Manusia Menghormati dan Mendukung Hak Asasi Manusia Subyek Keberlakuan nya Semua Perusahaan, di manapun

Yang menandatangani Global Compact

Tingkat

Harapan Dasar

Dasar melebihi standar minimum

Ruang Lingkup

Konteks Negara; Kegiatan Sendiri;

Lingkaran Pengaruh (sphere of influence)

14Inisiatif Bisnis dan Hak Asasi Manusia (2010), “Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan

Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah Alat Panduan bagi Perusahaan,” Den Haag: Global Compact Network Netherlands. Jakarta: Elsam. Hlm. 135.

(10)

Ruggie's Principles Global Compact Hubungan-hubungan. Kata-kata yang digunakan Perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia yang berarti

menghindari pelanggaran hak-hak orang lain; perusahaan bisa menghindari terlibat dalam pelanggaran dengan melakukan uji tuntas hak asasi manusia

Bisnis seharusnya

mendukung dan menghormati Hak Asasi Manusiayang diakui secara Internasional; Memastikan bahwa mereka tidak terlibat pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Tindakan yang

diharapkan Human Rights Due Diligence meliputi :

Menerima, mendukung, dan melaksanakan prinsip-prinsip Global Compact (di dalam lingkup kemampuan mereka) dengan:

a. Pernyataan Kebijakan;

1. membuat GC menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari bisnis; b. penilaian dampak; 2. menggunakan prinsip tersebut dalam pengambilan keputusan; c. integrasi; 3. berkontribusi melalui hubungan-hubungan kerjasama;

d. Melacak dan melaporkan kinerja; Perusahaan juga seharusnya memiliki mekanisme penanganan keluhan yang efektif.

4. komunikasi yang sedang berjalan;

5. advokasi dan penjangkauan aktif.

Harus dicatat bahwa GC atau Ruggie’s Principles tidak bertujuan untuk menjabarkan tanggung jawab hukum perusahaan. Keduanya terbatas memandu secara volunatary bagaimana perusahaan memenuhi tanggung jawab etisnya. Menyangkut penegakannya dalam suatu negara, hal itu sangat bergantung pada

(11)

konstruksi hukum nasional negara masing-masing. Addressaat norm dari Ruggie‟s Principles dan Global Compact yang utama mengarah pada negara. Karena prilaku dunia usaha dalam bentuk apapun adalah tanggung jawab negara.15

Sesuai dengan tiga pilar yang dikandung dalam Ruggie‟s Principles, ada tiga cara mekanisme penerapan prinsip-prinsip tersebut. yakni: rtate duty to protect, corporate responsibility to respect, and acces to remedy.16 Ketiga pilar tersebut bersinergi dalam fungsi preventif serta pemulihan terhadap pelanggaran HAM.

a. State Duty to Protect

Negara di bawah hukum Internasional telah sepakat untuk melindungi seluruh warganya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga, atau bahkan oleh negara itu sekalipun. Meskipun titik tekan dari Ruggie’s Principles adalah untuk membebankan tanggung jawab kepada perusahaan, namun hal itu tidak mengesampingkan kewajiban negara sebagai penanggung jawab utama untuk menciptakan dan menghadirkan pemenuhan HAM bagi setiap warganya. Dalam melaksanakan pemenuhan HAM, Ruggie’s Principles memberikan pedoman kepada negara untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, penghukuman dan pemulihan atas pelanggaran HAM melalui kebijakan, legislasi, peraturan, dan sistem peradilan yang efektif. Serta dengan penyampaian ekspektasi bahwa seluruh perusahaan di negara tersebut menghormati HAM.17

Ada hal yang menarik dalam Ruggie’s Principlesmengenai keberadaan perusahaan yang terkait dengan pemerintah. Negara harus mengambil langkah-langkah tambahan untuk melindungi dari pelanggaran HAM oleh perusahaan bisnis yang dimiliki atau dikontrol oleh negara, seperti BUMN atau yang menerima dukungan substansial dan layanan jasa dari negara seperti kredit ekspor, penjaminan, dan lain-lain. Langkah tambahan tersebut salah satunya adalah dengan mensyaratkan adanya uji tuntas hak asasi manusia (Human Rights Due Diligence). Tidak hanya pada perusahaan yang dikontrol oleh negara, perusahaan yang mengikat kontrak dengan pemerintah pun harus diawasi oleh negara.18 Pengawasan tersebut dapat berbentuk laporan kepada negara secara berkala. Terkhusus bagi wilayah yang terkena konflik, negara dituntut untuk memastikan bahwa perusahaan tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Hal ini membuktikan bahwa negara tidak dikurangi

15

Ibid, hlm. 136.

16

Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. Hlm. 3

17

John Gerrard Rugie, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”. 2012. Jakarta: Elsam. Hlm 12-16.

18

(12)

perannya dalam perlindungan terhadap HAM. Artinya, selain mendorong legislasi nasional untuk mengikat kepatuhan perusahaan-perusahaan pada Ruggie’s Principles,sekurang-kurangnya, negara pertama-tama diwajibkan untuk segera menerapkan prinsip-prinsip tersebut pada perusahaan-perusahaan BUMN atau perusahaan-perusahaan yang mengikatkan diri dengan negara dalam berbisnis.

b. Coorporate Responsibility to Respect

Pada dasarnya Ruggie’s Principles menuntut perusahaan untuk menghormati HAM dalam setiap operasi bisnis yang ia lakukan. Meskipun tanggung jawab untuk menghormati tersebut terbatas sebagai standar tindakan yang diharapkan diakui dalam setiap instrumen secara sukarela, dan tidak mengikat yang terkait dengan tanggung jawab perusahaan. Akan tetapi, hal ini bukan membebaskan perusahaan begitu saja dari penghormatan HAM. Sebagaian unsur tanggung jawab tetap dapat dibebankan kepada perusahaan melalui instrumen hukum nasional.19

Hal yang paling nyata dalam Ruggie’sPrinciples terkait keharusan perusahaan untuk menghormati HAM adalah dengan diterapkannya uji tuntas hak asasi manusia (HR Due Diligent)dalam mekanisme internal perusahaan, yang mana unsur-unsusr inti dari uji tuntas tersebut adalah sebagai berikut : kebijakan HAM, penilaian dampak, integrasi dalam operasional perusahaan, melacak kinerja untuk mengetahui dan menunjukkan kinerja perusahaan, dan mekanisme penanganan komplain sedini mungkin dengan solusi yang efektif.

Berikut adalah garis besar unsur-unsur dari Human Rights Due Diligence secara lebih rinci :20

1. Kebijakan Hak Asasi Manusia “Mengatur Nada”.

a) Melibatkan manajemen senior dan mencari persetujuan;

b) Mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan dan komitmen yang ada;

c) Mempertimbangkan untuk melakukan pemetaan resiko hak asasi manusia;

d) Melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam proses tersebut;

e) Membuat pernyataan kebijakan mengenai hak asasi manusia. 2. Menilai Dampak “Dari Reaktif ke Proaktif”.

a) Memahami dampak-dampak pada hak asasi manusia;

19

Inisiatif Bisnis dan Hak Asasi Manusia (2010), “Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi Manusia: Sebuah Alat Panduan bagi Perusahaan,” Den Haag: Global Compact Network Netherlands. Jakarta: Elsam. Hlm. 21.

20

(13)

b) Membedakan ragam proses dari “penilaian dampak”; c) Melakukan pemetaan resiko hak asasi manusia; d) Melibatkan fungsi manajemen resiko yang ada;

e) Mengidentifikasi resiko-resiko terhadap hak asasi manusia; f) Memprioritaskan tindakan-tindakan yang mengurangi resiko

tersebut;

g) Memasukan hasil-hasil penilaian dalam operasi bisnis. 3. Mengintegrasikan “Tidak Sekedar Bicara/Walking the Talk”.

a) Memberikan tanggungjawab untuk hak asasi manusia; b) Mengatur kepemimpinan dari atas;

c) Melibatkan hak asasi manusia dalam perekrutan dan pemberian kerja;

d) Membuat hak asasi manusia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya perusahaan;

e) Melatih manajer dan karyawan utama; f) Membangun insentif dan disinsentif;

g) Membangun kapasitas untuk merespon dilema dan kondisi yang tidak diperkirakan.

4. Melacak Kinerja “Mengetahui dan Menunjukkan”. a) Memulai pelacakan dan pelaporan kinerja;

b) Membangun indikator kinerja utama yang spesifik bagi perusahaan;

c) Mempertimbangkan jenis-jenis Indikator yang berbeda; d) Memantau kinerja pemasok dan hubungan-hubungan lainnya; e) Melakukan verifikasi kinerja dengan menggunakan beragam

instrumen;

f) Mempertimbangkan bagaimana melaporkan kinerja;

g) Mempertimbangkan bagaimana memperbaharui kinerja dan uji tuntas hak asasi manusia.

5. Mekanisme Penanganan keluhan “Peringatan Dini, Solusi Efektif”. a) Mengambil manfaat penuh dari mekanisme penanganan

keluhan;

b) Membuat analisa kesenjangan dari mekanisme penanganan keluhan;

c) Menyesuaikan mekanisme penanganan keluhan dengan prinsip-prinsip Ruggie;

d) Mempertimbangkan bagaimana berkontribusi pada mekanisme bagi pemangku kepentingan eksternal;

e) Mengintegrasikan mekanisme penanganan keluhan pada manajemen pemangku kepentingan;

(14)

c. Acces to Remedy

Pemulihan adalah inti dari penyelesaian pelanggaran HAM, yang mana memiliki 2 aspek penting yakni prosedural dan substansial. Secara substansial, pemulihan bertujuan untuk menghilangkan atau menyelesaikan kerugian HAM yang telah terjadi. Pemulihan dilakukan dengan cara yudisial, admisnistratif, legislatif, atau lainnya. Bentuk pemulihan dapat berupa permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi finansial atau non-finansial, dan sanksi hukuman. Sedangkan secara prosedural, ketentuan tata cara pemulihan harus imparsial, terhindar dari kepentingan politik, korupsi, serta usaha apapun untuk menghalanginya.21Dalam mekanisme pemulihan (access to remedy) Ruggie‟s Principlesmemperkenalkan terdapat tiga (3) mekanismepemulihan HAM, yaitu :22

1) Mekanisme Hukum Berbasis Negara

Mekanisme ini disediakan oleh negara sebagai langkah untuk pemulihan terhadap pelanggaran HAM melalui jalur hukum domestik seperti badan peradilan, ataupun komisi. Negara juga wajib menjamin bahwa mekanisme ini berjalan efektif dengan tidak ada hambatan. 2) Mekanisme Pengaduan Non-Hukum Berbasis Negara

Hal ini berupa proses berbasis mediasi, ajudikatif, atau mengikuti cara lainnya sesuai dengan budaya dan cocok dengan hak atau melibatkan beberapa kombinasinya tergantung dari isu terkait, setiap kepentingan publik yang terlibat, dan kebutuhan potensial dari pihak-pihak. Dalam mekanisme ini, institusi HAM nasional memiliki peran yang sangat penting.

3) Mekanisme Pengaduan Bukan Berbasis Negara

Satu kategori dari mekanisme pengaduan bukan berbasis negara mencakup semua yang diatur oleh sebuah perusahaan bisnis sendiri atau dengan pihak terkait, oleh sebuah asosiasi industri atau sebuah kelompok pihak-pihak terkait. Mekanisme ini non-hukum, tetapi dapat menggunakan proses ajudikatif, dialog atau lainnya sesuai dengan budaya dan sesuai dengan hak. Mekanismetersebut dapat menawarkan benefit seperti kecepatan akses dan pemulihan, mengurangi biaya dan/atau capaian transnasional. Perusahaan yang menyediakan mekanisme pengaduan non hukum harus memenuhi kriteria antara lain:

a) Legitimate: mendapatkan kepercayaan dari para pemangku kepentingan;

21

John Gerrard Rugie, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”. 2012. Jakarta: Elsam. Hlm 67-68.

22

(15)

b) Aksesibel: diketahui dan dapat diakses oleh semua kelompok pemangku kepentingan dan memberikan bantuan yang memadai jika ada halangan akses;

c) Dapat diprediksi: menyediakan prosedur yang jelas dan diketahui dengan indikasi waktu pada setiap tahap;

d) Equitabel: menyediakan akses ke sumber informasi; e) Transparan;

f) Kompatibel dengan prinsip-prinsip HAM yang diakui secara internasional;

g) Sumber pembelajaran berlanjut: yang tergambar dalam tindakan untuk

h) meningkatkan mekanisme dan mencegah kegagalan dan pengaduan di kemudian hari;

i) Berdasarkan keterlibatan dan dialog: mengkonsultasikan kelompok pemangku kepentingan yang dituju pada kinerja dan disain, dan fokus pada dialog sebagai cara untuk mengatasi dan menyelesaikan pengaduan.23

V. Status Pemajuan dalam Hukum Indonesia

Global Compact dan Ruggie’s Principles secara limitatif belumd diadopsi dalam hukum Indonesia. Laporan yang dirilis oleh HRRCA (Human Rights Resources Center ASEAN) mengenai Indonesia, dikatakan bahwa Indonesia merespon dengan sangat positif keberadaan Ruggie’s Principles. Indonesia meletakkan dua (2) isu utama yakni kewajiban negara dalam mengambil pertimbangan dalam melakukan persetujuan bisnis dengan pihak ketiga dan memperbaiki sistem peradilan yang independen,24 guna menopang potensi pelanggaran HAM. Tetapi, policy scanning yang dilakukan dalam studi ini menunjukkan meskipun sejumlah peraturan perundang-undangan telah dianggap mengadopsi sebagian prinsip-prinsip etika bisnis, masih mengandung kontradiksi. [Lihat Matrik Terlampir

Daftar Peraturan Perundang-undangan yang Kompatibel/Compliance dan Tidak Kompatibel dengan Ruggie’s Principles].

Dalam banyak peraturan perundang-undangan, pemerintah memilih mengadopsi kebijakan pemidanaan terhadap korporasi dibanding dengan meyakinkan koorporasi untuk memenuhi tanggung jawab acces to remedy dari dampak peristiwa pelanggaran HAM. Dalam UU 32/2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur bagaimana seseorang dan badan hukum korporasi dapat dipidana akibat pelanggaran HAM yang diduga terjadi karena tindakan seseorang atau badan hukum korporasi tersebut. Pilihan ini jelas memungkinkan tidak diperolehnya pemulihan bagi warga terkena dampak.

23

Ibid, hlm. 81-82.

24

Human Rights Resources Center ASEAN, Business and Human Rights in ASEAN A

(16)

Namun demikian, sebagai sebuah kebijakan, pemidaan dengan mengadopsi strict liability untuk menjerat korporasi, dari satu sisi dapat dipahami sebagai tanggung jawab negara secara sungguh-sungguh memproteksi hak-hak warga negara, meski berpotensi mengganggu iklim investasi.

UN Global Compact saat ini beranggotakan lebih dari 8.300companies dari 162 countries dan di Indonesia tercatat 114 korporasi, NGO dan individu sebagai anggota. Selain Global Compact, sejumlah perusahaan perkebunan juga terhimpun dalam wadah-wadah yang pada pokoknya mempromosikan pemajuan pembangunan yang berkelanjutan dengan sejumlah standar etik dalam berbisnis, seperti Roundtable on Sustainble Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) yang memiliki standard prinsip dan kriteria keberlanjutan dan lestari yang tinggi.Perusahaan-perusahaan besar di bidang perkebunan juga sebagiannya terlibat aktif dalam Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), yang memiliki komitmen sama untuk mempromosikan bisnis dan pembangunan yang berkelanjutan. Semua komitmen dalam berbagai perkumpulan bisnis itu tetap merupakan kemajuan sekalipun yang jauh lebih utama, bagaiamana akuntailitas komitmen itu bisa dipenuhi.

Atas komitmennya selama ini, gerakan lingkungan hidup kelas dunia, seperti Greenpeace pun terpikat untuk membangun strategi engagement dengan IPOP. Dalam konteks adopsi Ruggie’s Principles, pilihan strategi pelibatan ini merupakan keharusan, karena baik Global Compact maupun Ruggie’s Principles menuntut „kesukarelaan‟ dunia usaha untuk mematuhinya. Jika pun negara telah mengadopsi dan memaksa perusahaan untuk patuh, pemenuhan acces to remedy sebagai pilar ketiga pun, menuntut adanya engagement dengan korporasi itu.

Keberadaan UNGP meskipun bersifat voluntary duties tapi telah memberikan perubahan positif dalam perjalanan HAM internasional. Terbukti dengan adanya perubahan-perubahan mengenai instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat maupun tidak seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises direvisi dengan mengadopsi kerangka UNGP ke dalam sebuah Chapter khusus yang mengatur HAM. OECD Common Approaches for Export Credit Agencies 2012, sebuah instrumen yang mengatur akses permodalan di negara-negara OECD juga telah mengadopsi dan mengakui kerangka UNGP. Berikutnya adalah International Finance Corporation (IFC) “Sustainability Principles and Performance Standards”, memperkuat ketentuan mengenai penghormatan HAM dengan menggunakan UNGP sebagai role model. Internasional Standards Association (ISA) mengeluarkan ISO26000, yang berisi bagian tentang HAM dengan merujuk pada kerangka UNGP.25

European Commission menyebut UNGP sebagai rujukan pelaksanaan Corporate Social Responsibility bagi korporasi asal EU dalam “EU Strategy 2011-14 for Corporate Social Responsibility”. Terakhir, The Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2013 mengeluarkan dokumen mengenai petunjuk

25

Schoemaker (2011), dalam Imam Prihandono, Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan

(17)

penyampaian komplain oleh CSOs dan masyarakat lokal terhadap kegiatan usaha kelapa sawit. Petunjuk komplain ini secara tegas menyebutkan mengadopsi prinsip penyelesaian sengketa dan pemulihan luar-pengadilan dalam UNGP, termasuk menggunakannya sebagai instrumen.26

Bagaimana statusnya di Indonesia? Sebagai dokumen yang bersifat voluntary duty, maka keberlakuan UNGP terbatas mengikat secara moral (morally binding), karena Indonesia merupakan bagian komunitas internasional yang mengakui dan mendukung UNGP. Positivisasi prinsip-prinsip Rugie kedalam hukum nasional menjadi kebutuhan bagi pemajuan tanggung jawab negara dan korporasi dalam berbisnis di Indonesia. Sejalan dengan prioritas pembangunan yang menjadi mainstream dalam kepemimpinan Jokowi-JK, berbagai potensi pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, misalnya dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan, kemudahan akses perizinan dalam usaha perkebunan, kehutanan, minyak, gas bumi, dll. Karena itu, paper ini hendak memeriksa status mutakhir diseminasi UNGP dan mengidentifikasi langkah-langkah pemajuannya di Indonesia.

Secara aktual, diskursus bisnis dan HAM belum menunjukkan kemajuan signifikan. Kondisi ini menyebabkan dorongan untuk terjadi proses adopsi/integrasi dalam produk hukum nasional, masih jauh dari harapan. Semenjak disahkannya UN Guiding Principle oleh UNHCR pada tahun 2011, beberapa usaha telah dilakukan oleh sejumlah lembaga riset dan advokasi, seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), yang giat memprakrasai dialog-dialog perihal UNGP, termasuk dengan menerjemahkan panduan PBB tersebut. Baseline study secara umum juga telah disediakan oleh The Human Rights Resources Center for ASEAN (HRRCA). Sedangkan Komnas HAM bersama ELSAM tengah merancang sejumlah agenda pemajuan bisnis dan HAM ini.

Pada tahun 2013, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, mengadakan seminar dengan tema Hak Asasi Manusia dan Bisnis yang diselenggarakan bekerjasama dengan Raoul Wallenberg Institute of Human Rights Swedia.27 Pada tahun yang sama, Komnas HAM juga sempat mendesimenasikan Ruggie Principle melalui seminar yang diselenggarakan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dalam rangka kompetisi peradilan semu nasional.28

Kementerian Hukum dan HAM tampaknya juga menaruh perhatian terhadap desimenasi UNGP untuk menjadi acuan bisnis dan HAM di Indonesia. Pada Sepetember 2015 ini melalui Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia,

26

Sophie Chao (2013), dalam Imam Prihandono, Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan

HAM di Indonesia, hlm 4. 27 http://ham.go.id/kegiatan/seminar-hak-asasi-manusia-dan-bisnis-kerja-sama-dengan-rwi-swedia. 28 http://www.komnasham.go.id/mandat-pendidikan-dan-penyuluhan/seminar-hukum-hak-asasi-manusia-%C3%A2%E2%82%AC%C5%93pertanggungjawaban-pidana.

(18)

mengadakan simposium nasional dengan tema Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang menghadirkan pembicara yang merepresentasikan beberapa kalangan seperti pemerintah, korporasi, komnas HAM, serta perwakilan masyarakat. Dalam pembahasan simposium tersebut UNGP kembali mendapat perhatian untuk menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yang sampai saat ini tidak memiliki landasan penanganan yang jelas.29

VII. Tanggung Jawab Negara

Jaminan atas hak asasi manusia yang termaktub dalam UUD 1945. Dalam konteks bencana asap Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Negara sebagai pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan di tengah masyarakat wajib melakukan berbagai upaya untuk menjamin hak-hak rakyat tetap terjamin. Sehingga, dalam setiap segi aktivitas yang dilakukan oleh pihak lain tidak boleh melanggar hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Upaya itu secara normatif telah terakomodir dalam berbagai Undang-undang yang mengatur di bidang kehutanan dan perkebunan yang melarang pembukaan lahan dengan cara pembakaran, yang mana cara tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan menganggu masyarakat dalam menjalankan hidup dan kehidupannya.

Penanganan kabut asap oleh berbagai jajaran pemerintahan sampai saat ini tetap harus diapresiasi, meskipun kelambanan begitu jelas terlihat, karena kelemahan koordinasi antarsektor. Hingga Oktober ini kabut asap akibat pembakaran dan kebakaran yang tidak terkendali telah menimbulkan korban yang semakin luas. Rilis Mabes Polri (22/10) mencatat 230 orang menjadi tersangka 17 korporasi yang dijerat dan 3 telah dibekukan izin usahanya. Baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Mabes Polri telah berupaya menegakkan hukum lingkungan, sehingga memungkinkan adanya tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan. Namun demikian, dalam situasi darurat upaya pemerintah belum cukup, utamanya terkait perlindungan hak warga negara. Dalam konstruksi hak asasi manusia, termasuk dalam prinsip-prinsip bisnis dan HAM sebagaimana dikemukakan di atas, tanggung jawab utama atas dampak beroperasinya korporasi tetap melekat kepada negara. Karena itu, selain upaya pemadaman, pemerintah didorong untuk fokus pada penanganan korban asap dan perlindungan warga. Segala upaya untuk melindungi hak asasi manusia harus dilakukan.

Pararel dengan kerja penanganan bencana dan pemadaman, upaya penegakan hukum yang adil, fair, dan obyektif juga bisa terus dilakukan. Proses ini penting dilalui agar dampak lanjutan dari penanganan hukum itu tidak menjadi masalah baru, di kemudian hari, dimana Presiden Jokowi-JK sekuat tenaga menciptakan

29

(19)

iklim usaha dan investasi yang kondusif. Pemulihan korban dan masyarakat terdampak adalah yang utama, karena di situlah tuga negara. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pilihan untuk meminta pertanggungjawaban pemulihan dari perusahaan-perusahaan yang terbukti telah melakukan pembakaran, di banding dengan pilihan pemidanaan atau pengenaan sanksi yang menyebabkan hilangnya akses pemulihan. Tetapi, pilihan-pilihan itu harus disampaikan kepada publik secara rasional sehingga tidak memunculkan dugaan-dugaan abusive karena Presiden dikelilingi oleh politis-pengusaha yang dianggap bermasalah. Dalam waktu yang segera, pemerintah didorong untuk melakukan revisi berbagai regulasi yang dianggap sumir dan membuka ruang dan kesempatan orang/badan hukum melakukan pembakaran. Pararel dengan revisi itu adposi Ruggie’s Principles secara holistik adalah pilihan rasional dan mendesak untuk mengantisipasi bencana asap serupa di masa yang akan datang. Pemerintah juga melalui Kementerian terkait, seperti Menteri Perindustrian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Hukum dan HAM segera memformulasikan ketentuan keharusan adanya human rights due diligence oleh suatu komisi independen atau oleh expert group/ counsultant yang kredibel dan tersertifikasi.

VIII. Status BUMN dalam diskursus Business and Human Rights

BUMN (state owned coorporation) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang bertujuan untuk mencari keuntungan.30 Sebagai badan yang profitable, kegiatan operasi BUMN demi mencapai tujuan itu tidak jarang bersinggungan dengan kepentingan lain, khususnya dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Data penerimaan laporan oleh Komnas HAM hingga tahun 2012, terdapat 305 laporan pelanggaran HAM yang diterima dengan pihak yang dilaporkan adalah BUMN.31 Laporan ini menunjukkan bahwa BUMN yang merupakan „organ‟ negara juga memiliki potensi yang sama dengan korporasi terkait dengan kepatuhan pada prinsip-prinsip etis dalam berbisnis. Karena itu penting dikemukakan, bagaimana status BUMN dalam kaitannya dengan business and human rights, termasuk memintai pertanggungjawabannya secara berlapis ketika terjadi pelanggaran HAM.

Terdapat tiga (3) teori utama pertanggungjawaban yang dapat dibebankan terhadap korporasi. Pertama, korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan aktor rasional

30

Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Miliki Negara

31

Komnas HAM RI, Laporan Data Pengaduan Tahun 2012 Subbagian Penerimaan Dan Pemilahan Pengaduan.

(20)

korporasi.32Kedua, keuntungan yang diterima oleh korporasi dan kerugian yang diderita oleh rakyat sangat tidak sebanding, sehingga menjadi tidak efektif apabila korporasi hanya dijatuhkan sanksi keperdataan. 33 Ketiga, kegiatan operasi korporasi melalui agen-agennya seringkali menimbulkan kerugian yang mendalam bagi masyarakat, sehingga pembebanan sanksi pidana dapat menjadi fungsi pencegahan dalam hal pengulangan terhadap tindakannya yang merugikan.34

Menjadi pertanyaan bagaimana sebuah badan (perseroan) yang merupakan rechtpersoon, no body to kick, dapat dijerat dengan pertanggung jawaban pidana? Von Gierke telah menjelaskan dalam teori organ,35 bahwa keberadaan perseoran yang bersifat artifisialdijalankan oleh organ-organ seperti direksi, komisaris, dan pemegang saham yang bersifat real sebagai otak yang menentukan dan menjalankan perseoranlah sebagai pihak yang dapat dibebani tanggungjawab pidana yang bersifat penjara. Sedangkan untuk perseoran itu sendiri sebagai badan hukum dapat dikenakan denda yang diambil langsung dari harta kekayaan perseroan. Pesan yang coba disampaikan di atas adalah bahwa usaha untuk menarik pertanggungjawaban korporasi ke ranah pidana sudah disuarakan demi meningkatkan fungsi pencegahan pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi, karena jika hanya membebankan pada ranah perdata, dengan modal luar biasa yang dimiliki korporasi, tentu hal itu tidak akan menjadi peringatan bagi korporasi untuk kembali dan terus melakukan pelanggaran HAM.

Dalam Ruggie‟s Principle, pada pilar ketiga mengenai acces to remedy, pertanggungjawaban korporasi lebih diarahkan agar perusahaan menyediakan mekanisme pengaduan atas kegiatan operasi yang berdampak negatif bagi para penikmat HAM. Hal ini diharapkan agar upaya pemulihan dapat berjalan lebih cepat dan efektif. Dengan kata lain, upaya untuk menerapkan Ruggie‟s Principles di setiap perusahaan di Indonesia tentu bukan merupakan hal yang sulit. Mengingat upaya untuk pembebanan pidana saja sudah sering untuk disuarakan bahkan telah diadopsi dalam UU Lingkungan Hidup.

Saat ini, status BUMN yang pure milik negara (state-actor) ataupun yang sudah diprivatisasi (non state-actor) tetap dalam satu payung hukum yang sama mengenai tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga, yakni mendasarkan pada UU PT dan UU BUMN.36 Dengan menacu pada UU tersebut, secara konseptual BUMN ditempatkan sebagai perseroan dan merupakan entitas yang terpisah dari

32

Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, American Criminal Law Review, 2007, hlm. 128.

33

Beth Stephens, The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human Rights, Berkeley Journal of International Law, 2002, hlm. 46.

34

Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, Journal of Business & Technology Law, 2007, hlm. 27

35

Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cetakan Ketiga, Jakarta: Ikrar Mandiri, 2011. Hlm. 123.

36

(21)

setiap orang yang menjalankan BUMN tersebut.37 Artinya BUMN sebagai rechtpersoon dapat mempertanggungjawabkan secara badan atas operasi perusahaan yang merugikan pihak ketiga, termasuk pelanggaran HAM. Bahkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah secara eksplisit menyebutkan badan hukum dapat menjadi pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas sebuah perbuatan melanggar hukum. Namun, yang menjadi masalah adalah ketidakjelasan norma yang mengatur penghormatan dan perlindungan HAM oleh korporasi berjenis BUMN ini menyebabkan pelanggaran HAM yang terjadi minim penyelesaian.

Menyerahkan mekanisme pertanggungjawaban BUMN atas pelanggaran HAM kepada mekanisme yang ada dalam hukum perusahaan saat ini (UU PT, UU Ketenagakerjaan, UU lingkungan, dan UU sektoral lainnya) tentu tidak akan menciptakan keadilan substansial. Selama ini pemulihan lebih banyak bergantung pada mekanisme pengadilan yang memakan biaya besar dan waktu lama.38 Apalagi rendahnya kemauan politik para penegak hukum serta kadar pembelaan pada rakyat yang rendah, menjadikan keadilan semakin jauh.

Dalam Ruggie‟s Principles, pilar pertama yakni tugas negara untuk melindungi hak asasi manusia, pada huruf ke empat tentang hubungan negara-bisnis telah sangat tegas dinyatakan sebagai berikut :

“Negara-negara harus mengambil langkah-langkah tambahan untuk melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh perusahaan bisnis yang dimiliki atau dikontrol oleh Negara, atau yang menerima dukungan substansial dan layanan jasa dari badan-badan negara seperti badan kredit ekspor dan badan penjaminan atau asuransi investasi resmi, termasuk, ketika pantas, dengan mensyaratkan uji tuntas hak asasi manusia.”39

Dalam Ruggie‟s Principles di atas terdapat 3 klasifikasi perusahaan yang harus diberikan langkah tambahan oleh negara dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, yakni : (1) perusahaan yang dimiliki pemerintah; (2) perusahaan yang dikontrol pemerintah; dan (3) perusahaan yang menerima dukungan substansial dan layanan jasa dari pemerintah.

BUMN yang secara yuridis memiliki pengertian sebagai perusahaan yang modalnya sebagian atau keseluruhan dimiliki oleh negara, berarti termasuk ke dalam klasifikasi pertama, dan juga memungkinkan untuk masuk ke klasifikasi kedua, karena penyertaan modal dalam sebuah perusahaan ditandai dengan saham yang berarti andil/turut serta.40 Dengan kata lain, pemerintah berandil dalam

37

Lihat pasal 3 UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

38

Iman Prihandono, Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia, Jakarta, Elsam.

39

John Gerrard Rugie, Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”. 2012. Jakarta: Elsam. Hlm. 23.

40

(22)

perusahaan tersebut. Dan jika pemerintah memiliki saham di atas 51% dengan hak suara, maka sudah dipastikan perusahaan tersebut berada di bawah kontrol pemerintah.

Namun, masih menjadi sebuah hal yang debatable mengenai hubungan tanggung jawab BUMN yang juga merupakan tanggung jawab negara. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 pada pertimbangan hukumnya mengatakan bahwa BUMN yang harta kekayaannya terpisah dari harta kekayaan negara, maka kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang, tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan UU PT (UU 40/2007).41 Hal seakan menjadi garis pemisah bahwa keuangan negara yang mengalir dalam tubuh BUMN adalah berasal dari APBN sebagai penyertaan modal, maka berlaku limited liability yang mengharuskan tanggungjawab hanya sebatas apa yang disetorkan dalam BUMN tersebut, sehingga tanggung jawab tidak dapat menjangkau negara.

Untuk memperjelas status hubungan antara BUMN dan Negara, kembali dilakukan Judicial Review kali ini mengenai apa yang dimaksud dengan keuangan negara dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, di mana keuangan negara termasuk juga kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.42 Serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.43 Dengan demikian, tanggung jawab negara masih melekat dalam BUMN tersebut dengan bukti bahwa BUMN dapat menjadi objek audit daripada BPK. Hal ini yang kemudian diajukan uji konstitusionalitas kepada Mahkamah Konstitusi agar menyatakan dengan tegas bahwa keuangan negara yang dipisahkan yang menjadi penyertaan modal dari BUMN berarti memisahkan pula hubungan tanggung jawab BUMN dengan negara. Sehingga BUMN tidak patut untuk di audit oleh BPK. Dengan menggunakan logika demikian untuk permasalahan tanggung jawab pelanggaran HAM, maka pelanggaran HAM yang dilakukan oleh BUMN tidak menjadi pertanggungjawaban negara. Namun, Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, dalam pertimbangan hukum nya dalam Putusan nomor 62/PUU-XI/2013.44

menyatakan bahwa pemisahan kekayaan negara dalam BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya, harus dikaitkan dengan kerangka pemikiran tersebut. Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartika sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain sejenis. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenis hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan

41

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/IX-PUU/2011 hlm. 71

42

Pasal 2 huruf h Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

43

Pasal 2 huruf i Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

44

(23)

persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cara segera namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenaraanya.

Dengan demikian, hubungan tanggung jawab antara BUMN dengan tanggung jawab negara tidak akan terputus hanya dengan penyertaan modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN tetap tunduk di bawah UUPT (UU 40/2007) untuk hal-hal yang bersifat keperdataan, namun untuk hal yang bersifat publik, juga terikat dengan peraturan lain seperti tentang BUMN dan keuangan negara. Dari putusan MK tersebut justru kita semakin mendapat penguatan bahwa BUMN sebagai perpanjangan tangan negara dalam berbisnis harus dilekatkan perangkat yang lebih dalam hal menghormati keberlangsungan Hak Asasi Manusia.

Pada akhirnya, negara harus memberikan langkah tambahan yang dikehendaki oleh Ruggie‟s Principle dengan menambahkan pengaturan baru dalam peraturan-perundang-undangan khususnya mengenai BUMN. Mekanisme tambahan yang dapat dijadikan model pertanggungjawaban BUMN yakni :

a) BUMN wajib mengadakan human rights due diligence;

b) BUMN waijb menyediakan mekanisme pemulihan non-hukum bukan berbasis negara yang melibatkan para pemangku kepentingan dan korban, seperti CSO, perusahaan, dan korban;

c) BUMN wajib mengadakan forum komunikasi berupa diskusi reguler baik formal maupun informal untuk menjaring aspirasi dan kepentingan masyarakat yang terkena dampak operasi perusahaan; dan

d) BUMN wajib menyediakan mekanisme pemulihan internal dengan menetapkan paremeter pelanggaran HAM sesuai dengan Ruggie‟s Principles, serta memberikan ketentuan mengenai pemulihan yang harus dilakukan.

IX. Kesimpulan

Menyimak latar belakang terjadinya bencana asap akibat kebakaran dan/atau pembakaran, sesungguhnya tidak ada penyebab tunggal yang menyebabkan terjadinya bencana asap. Regulasi yang sumir dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk peraturan turunan lainnya dianggap sebagai salah satu pemicunya. Demikian juga kebijakan pembukaan perkebunan di lahan gambut warisan pemerintah sebelumnya, saat ini telah menjadi arena bencana itu. Di sisi yang lain, akuntabilitas komitmen terhadap raksasa korporasi perkebunan juga minim penegakan, sehingga menghasilkan kepatuhan yang minimum.

Namun demikian, apapun penyebab dari bencana asap tersebut, negara tetap yang terdepan mengambil tanggung jawab karena negara adalah duty barrier (pemangku kewajiban) atas dampak yang dialami warga sebagai rights holder (pemegang hak). Negara telah menjalankan kewajiban jangka pendek dari

(24)

penanganan kabut asap, meski masih terbatas. Termasuk yang menjadi kewajiban negara adalah menegakkan hukum lingkungan dan memberikan sanksi dengan mekanisme yang akuntabel, fair dan dengan bukti-bukti obyektif, sehingga tidak mengesankan bahwa pengenaan sanksi terhadap sejumlah korporasi itu sebagai pencitraan dan tindakan yang abusif serta tebang pilih. Pemerintah juga didorong untuk mengupayakan agar korporasi mengambil peran memenuhi hak atas pemulihan.

Berbagai instrumen internasional, baik UN Global Compact maupun Ruggie’s Priciples yang sebagiannya telah diadopsi secara sukarela oleh korporasi di Indonesia belum memberikan pengaruh signifikan pada penghormatan HAM dan pemenuhan hak atas pemulihan yang dilakukan oleh korporasi, karena tidak adanya mekanisme yang mengikat dari negara. Laporan ini mendorong pemerintah untuk melakukan langkah-langkah nyata dan mengambil prakarsa segera melakukan revisi sejumlah regulasi dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip bisnis yang beretiket secara ketat sebagai salah satu cara mitigasi bencana asap yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang.[]

Contact Person : Ismail Hasani – Direktur Riset SETARA Institute (08111884787) : Muhamad Raziv Barokah – Peneliti SETARA Institute ( 08567333975)

Gambar

Tabel 1: Perbandingan UNGP dan UNGC

Referensi

Dokumen terkait

- Pengunjung yaitu masyarakat baik yang berasal dari daerah sekitar (dalam kota), maupun dari luar kota bisa pengunjung pasar maupun pengunjung pusat perbelanjaan.. - Pedagang

Ciri khas yang membedakan mochi yang berasal dari Taiwandengan mochi dari negara lain adalah varian rasanya yang beragam, serta isian yang tidak berupa pasta

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual.. Utang atas surat berharga yang dijual dengan janji dibeli kembali

Hasil pelaksanaan penelitian menunjukkan bahwa permainan tradisional gamang yang dilakukan pada upaya meningkatkan kemampuan Mengenal Angka terbukti dengan data sebagai berikut

(Xrhd;dh cd;dj...) rpYitapdhy; kPl;ltNu Muhjid Muhjid rpwFfshy; %LgtNu Muhjid Muhjid. (Xrhd;dh cd;dj...) top elj;Jk; tpz;kPNd Muhjid Muhjid xsp tPRk; tpbnts;spNa

Intervensi yang ditetapkan pada masalah keperawatan nyeri akut untuk kedua klien yaitu, observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan, kontrol lingkungan yang

Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada te tapi untuk memperoleh sifat baru yang

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Putra (2010) yang meneliti tentang pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja dan sistem informasi pengelolaan keuangan