• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Orang Nias Memikul Beban Tradisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketika Orang Nias Memikul Beban Tradisi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Ketika Orang Nias Memikul Beban Tradisi

J. A. Sonjaya, M. Hum.

Doesn Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM & Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM

Orang Nias atau Ono Niha mengenal ungkapan bo’o mbanua, bo’o mbowo yang artinya lain kampung, lain pula adatnya. Dari mana sebenarnya asal Suku Nias dan mengapa dalam

perkembangannya adat mereka menjadi beragam?

Itu adalah pertanyaan spontan saya dalam minggu pertama ketika melakukan penelitian tentang tradisi megalitik di Nias. Pencarian saya dimulai dari Börönadu, sebuah tempat kecil di Desa Sifalagö Gomo, Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Jarak dari pusat kecamatan lebih-kurang 8 km. Jika tidak hujan, kendaraan bisa masuk hingga 4 km, separoh jalan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki, menyeberangi beberapa sungai dan naik-turun bukit.

Börönadu berasal dari kata börö yang berarti awal dan adu yang berarti patung. Dahulu, setiap orang Nias yang meninggal akan dibuatkan patung dari kayu atau batu. Patung tersebut merupakan perwujudan orang yang meninggal. Jadi, kata börönadu berarti manusia yang awal. Semua orang Börönadu—juga orang Nias kebanyakan—memang percaya bahwa Börönadu adalah tempat manusia pertama Nias turun dari langit.

Meskipun di Börönadu terdapat banyak batu-batu megalitik, tetapi aktivitas yang terkait dengan pendirian atau penggunaan batu megalitik sulit ditemukan. Batu-batu megalitik di sekitar perkampungan sudah tidak digunakan lagi untuk aktivitas religi. Batu-batu besar tersebut biasa digunakan untuk menjemur pakaian atau biji cokelat yang menjadi hasil perkebunan utama penduduk saat ini. Bahkan, konon anak-anak suka bermain bola menggunakan tengkorak manusia yang diambilnya dari bawah awina, wadah kubur dari batu menyerupai meja.

Untungnya, meski batu-batu tersebut sudah jadi monumen, namun masih ada cerita yang melekat padanya. Ini merupakan modal saya untuk menelusuri jejak budaya megalitik di Börönadu. Saya harus menelusurinya melalui cerita penduduk, hoho (sejenis puisi), praktik tari-tarian, dan ritus-ritus hidup lainnya. Sebagai arkeolog, saya juga mencoba mendengarkan batu-batu yang bercerita kepada saya.

Manusia Pertama

Penelusuran saya mulai dari sembilan buah bekhu (menhir atau batu berdiri) yang terdapat di tengah perkampungan. Batu-batu megalitik yang rata-rata setinggi satu meter itu berdiri berjajar rapi dengan interval antarbatu rata-rata 2 meter. Menurut cerita penduduk

(2)

setempat, sembilan buah bekhu ini adalah monumen dari manusia-manusia pertama yang turun dari langit.

Cerita tentang turunnya manusia itu salah satunya ditemukan dalam sebuah hoho atau sajak yang ditulis oleh Sambörö Hia. Hoho itu menceritakan bahwa, konon, di Teteholiana’a (negeri di atas awan) terjadi pergumulan antara angin Metakheyo Simane Loulou dan angin

Hambulu. Pergumulan angin tersebut melahirkan satu makhluk bernama Sirao. Tidak lama

kemudian Sirao mempunyai banyak anak yang berhamburan ke bumi. Anak Sirao yang turun dari Teteholiana’a sebenarnya banyak. Sebagian ada yang menyangkut di awan atau terbang terbawa angin, sehingga yang bisa turun ke Nias hanya sembilan manusia. Sembilan buah menhir di tengah perkampungan adalah perwujudan sembilan manusia pertama di Nias.

Tidak jauh dari susunan sembilan bekhu, terdapat osalinadu, yakni kursi-kursi dan meja batu yang berfungsi sebagai tempat duduk pemuka masyarakat ketika membicarakan adat. Di kompleks osalinadu dahulu terdapat Omo Nadu (rumah patung) yang menjadi poros utama pemujaan masyarakat Börönadu. Semua itu diturunkan dari Teteholiana’a bersamaan dengan sembilan manusia pertama Nias. Di dalam rumah patung tersebut terdapat patung-patung penting sebagai perwujudan pemuka-pemuka adat yang telah meninggal. Di antara patung-patung tersebut, terdapat sebuah patung-patung yang paling tinggi kedudukannya, yaitu Giwahö yang merupakan perwujudan dari Lowalangi, Tuhan orang Nias.

Memburu Kepala

Tidak jauh dari kompleks Osalinadu, tepatnya di depan rumah-rumah penduduk, terdapat beberapa bekhu dan awina dengan berbagai ukuran. Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah bekhu berukuran sangat besar. Bentuknya hampir empat persegi panjang yang berdiri agak miring setinggi 2,4 meter. Di depan bekhu tersebut terdapat tiga buah awina. Karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya.

Lima generasi sebelum sekarang, kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awu Wukha. Pada suatu hari di kala itu, datanglah ke Börönadu seorang pembawa kabar bahwa di desa tetangga akan diadakan sebuah pesta Owasa yang cukup besar

Ketika melewati rumah Awu Wukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?”, teriak si perempuan yang tiada lain adalah ibunya Awu Wukha.

(3)

Bagi orang Nias, kalimat itu sangat menghina. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awu Wukha hingga tiang rumah gumpal. Orang itu sangat marah, dan melampiaskan dengan menunjukkan bahwa kemaluannya tidak seharusnya diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.

Masalahnya ternyata tidak selesai sampai di situ. Beberapa hari berselang, segerombolan orang mendatangi rumah ibu Awu Wukha, dan tanpa basa-basi melempar api ke rumah yang terbuat dari kayu dan beratap daun sagu tersebut. Rumah ibu Awu Wukha dan dua rumah saudaranya yang berdekatan habis dilalap si jago merah. Ibu Awu Wukha merasa sedih karena hampir seluruh harta bendanya yang ada di dalam rumah habis terbakar. Sementara itu, Awu Wukha berdiri mematung dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.

Saat itu juga Awu Wukha merencanakan untuk balas dendam. Ia pergi seorang diri ke kampung si penyerang. Hasilnya, dengan langkah tenang Awu Wukha pulang membawa belasan kepala di dalam karung. Kejadian ini membuat marah para kerabat yang kepalanya dipenggal. Mereka pun lalu merencanakan untuk menghabisi Awu Wukha, namun tidak berani secara terang-terangan karena mereka menyadari musuhnya tidak bisa dianggap remeh. Usaha membunuh Awu Wukha oleh musuh-musuhnya tidak pernah berhasil. Hal tersebut kian mengangkat status Awu Wukha di mata orang-orang kampung. Status itu kemudian dikukuhkan dengan pesta-pesta, yang tertinggi adalah Owasa. Bagi orang yang sudah menjalankan Owasa, maka segala perkataannya menjadi hukum. Merekalah yang kemudian menduduki strata paling tinggi dalam masyarakat. Awu Wukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut, yang berarti bara api.

Saat menjelang meninggal pun Awu Wukha menyempatkan untuk menggelar pesta

fatome. Dalam pesta tersebut ia menyiapkan beberapa buah batu besar untuk ditanam jika kelak

ia meninggal. Batu yang satu untuk bekhu, sedangkan batu yang lainnya untuk awina. Di tengah pesta, disaksikan anak dan orang banyak, Awu Wukha mengajukan permintaan pada anak-anaknya, bahwa jika ia meninggal nanti, ia minta ditemani oleh lima orang. Seorang untuk menyiapkan minum, seorang untuk membuat sirih pinang, seorang untuk meladeni makanan, seorang untuk menjaga, dan seorang lagi sebagai tukang pijat. Permintaan itu ditutup oleh Awu Wukha dengan meraut kuku jempolnya menggunakan pisau. Itu berarti bahwa permintaannya harus dipenuhi oleh anak-anaknya. Itu berarti si anak harus mencari lima kepala untuk bekal kubur ayahnya. Itu berarti pula si anak akan malu atau menjadi rendah harga dirinya jika tidak bisa mencarikan lima kepala untuk ayahnya, karena permintaan itu dikemukakan di hadapan orang banyak.

(4)

Sampai pada akhirnya Awu Wukha meninggal karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Jenazahnya diletakkan di halaman rumah di atas sarambia (bale-bale dari bambu), hingga dagingnya luruh. Selama lebih-kurang tiga bulan, keluarga yang ditinggal pun bersiap dan berjaga. Bersiap mencari lima kepala untuk dijadikan binu (budak) Awu Wukha di kehidupan lain serta bersiap mengumpulkan babi-babi dan makanan untuk penyelenggaraan pesta. Selain itu, anggota keluarga yang ditinggal bergantian menjaga jenazah Awu Wukha agar tidak hilang dicuri orang, karena jenazah Awu Wukha sangat berharga. Jika kepala Awu Wukha berhasil dicuri untuk dijadikan binu orang lain, maka keluarga si pencuri akan meningkat statusnya, karena memiliki binu si pemberani (Awu Wukha).

Setelah tinggal tulang-belulang, tengkorak Awu Wukha kemudian ditanam di bawah

awina yang sudah disiapkan pada saat pesta fatome. Di dekat awina itu didirikan bekhu sebagai

tanda peringatan. Beberapa binu yang yang diperoleh belakangan dipenggal kepalanya di atas

bekhu tersebut, hingga darahnya melumuri bekhu dan mengalir ke tanah. Kepala binu pun turut

ditanam bersama dengan kepala Awu Wukha. Kepala para binu digunakan sebagai penyangga piring besar, tempat kepala Awu Wukha diletakkan di atasnya.

Megalitik dan Harga Diri

Dari kisah Awu Wukha itu dan dari batu-batu yang masih kokoh berdiri, saya jadi mengetahui bahwa batu-batu megalitik didirikan terkait dengan pengukuhan status seseorang, bukan untuk media pemujaan leluhur semata sebagaimana kebanyakan tafsir arkeolog. Selain itu, dari kisah tentang Awu Wukha saya bisa menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa lain kampung di Nias lain pula adatnya.

Semua orang takut dengan emali. Anak-anak tidak ada yang berani keluar malam. Para lelaki dewasa tidak ada yang bisa bekerja di ladang karena harus menjaga anak-anak dan para perempuan dari para pemburu kepala untuk bekal kubur. Akibatnya, perempuan menjadi pekerja, sedangkan laki-laki menjadi penjaga. Situasi ini berjalan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Tidak heran jika perang antarkampung dan antarmarga sering terjadi.

Beratnya adat tidak sekedar karena persoalan memburu kepala. Siklus hidup orang Börönadu harus dipestakan, mulai dari lahir, menikah, sakit, hingga meninggal. Hampir setiap event penting, seperti kelahiran, kematian, menang perang, panen melimpah, diikuti dengan pesta pendirian megalitik yang sangat mahal harganya. Untuk mengangkat batu dari gunung ke perkampungan diperlukan puluhan orang selama berminggu-minggu. Mulai bekerja, mereka harus dipotongkan babi. Ketika batu sampai ke perkampungan, dipotongkan babi lagi.

(5)

Puncaknya adalah saat batu didirikan. Puluhan hingga ratusan babi pun harus dipotong. Kian banyak babi dipotong, kian tinggi pula status Si Pangkalan (penyelenggara pesta).

Pengalaman beratnya menjalankan adat dialami Sambörö Hia ketika melaksanakan pesta

Owasa pada tahun 1985. Dalam pesta Owasa tersebut, ratusan ekor babi dipotong, puluhan gram

emas dibagikan, dan ribuan tamu harus dijamu makanan selama tiga hari tiga malam. Bagi Sambörö Hia, melakukan Owasa ibarat menabrak karang. Ia sadar betul resiko ekonomis yang bakal dihadapinya. Babi yang tadinya berfungsi sebagai alat tukar pereekonomian kini telah diukur dengan uang. Jika diuangkan, harga babi menjadi terasa sangat mahal, terlebih setelah di Nias terjadi wabah penyakit babi sejak tahun 1995-an. Tetapi, demi adat, demi harga diri, Sambörö ia pun akhirnya melakukannya.

Begitulah, adat yang begitu berat di Börönadu, seperti emali, owasa, dan pesta-pesta pendirian megalitik yang lain, menyebabkan orang-orangnya banyak yang memilih pergi dan membentuk perkampungan baru dengan aturan adat yang lebih longgar. Demikian pula, ketika anggota suatu perkampungan baru yang tidak tahan oleh aturan adat, maka mereka memilih pergi dan membentuk perkampungan baru lagi. Demikian seterusnya, sehingga makin jauh letak perkampungan dari Börönadu makin berbeda pula adatnya.

Seiring berjalannya waktu, tradisi megalitik di Börönadu mengalami penyusutan karena kian hari pelaksanaan adat dirasakan penduduk kian berat. Kebiasaan emali sudah lima generasi ditinggalkan karena masyarakat merasa jenuh dengan rasa takut yang selalu menggelayuti mereka. Adat penguburan megalitik yang membutuhkan waktu lama serta biaya yang besar akhirnya menyesuaikan dengan kebiasaan penguburan yang dilakukan para penyebar Kristen dan Katholik. Masyarakat Börönadu kini sedang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian adatnya dengan ajaran Kristen dan Katholik yang kebetulan bisa membebaskan dari beban tradisi.

Referensi

Dokumen terkait

Teaching akan membuat siswa aktif untuk mencari solusi dalam permasalahan matematika dengan dijiwai rasa tanggung jawab. Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan

Turbin angin tipe Savonius merupakan rotor angin dengan sumbu tegak (vertical) yang dikembangkan oleh Singuard J. Salah satu kelemahan yang dimiliki turbin Savonius

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa implikasi dari ditolaknya pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keteranganterdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan

Maskulinisasi pada penderita CAH dengan genetik perempuan hanya mungkin terjadi akibat adanya hormon androgen ekstragonad (dari luar gonad) yang dapat berasal dari

Praktik mekanisme akad murabahah bil wakalah di Bank BRI Syariah ialah bank hanya sebagai pemberi dana saja, namun pada pelaksanaan akad pihak bank dan calon nasabah

Hal ini dilihat dari jumlah cadangan Batubara (terbukti dan terduga) yang relatif rendah dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki BSSR. Kinerja BSSR dapat dikatakan

39 Menurut ulama Malikiyah mengatakan bahwa obyeknya adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, anggur, terong dan apel, dengan syarat bahwa: (a) Akad

Dalam konteks ini Nawangsih menjadi pusat dari relasi-relasi yang ada, karena Nawangsih mempunyai hubungan di satu pihak dengan Jaka Tarub, di satu sisi lain merupakan anak