• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Prinsip Percobaan

Pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) secara kromatografi lapis tipis dimana sampel yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal) pada plat KLT. Kemudian setelah plat KLT dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak kloroform-metanol 95:5), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

1.2 Tujuan Percobaan

a. Untuk mengetahui prinsip skrining fitokimia dan kromatografi lapis tipis b. Untuk mengetahui hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai

(Phyllanthus acidus L.)

c. Untuk mengetahui hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.)

1.3 Manfaat Percobaan

a. Dapat mengetahui hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.)

b. Dapat mengetahui hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.)

(2)

2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Pohon ini berasal dari India, dapat tumbuh pada tanah ringan sampai tanah berat dan tahan akan kekurangan sampai kelebihan air. Ceremai banyak ditanam orang di halaman, di ladang dan di tempat lain sampai ketinggian 1.000 m dpl (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Menurut Johnny Ria Hutapea (1994) sistematika tumbuhan ceremai adalah sebagai berikut: Divisi : Spematophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Euphorbiales Suku : Euphorbiaceae Marga : Phyllanthus

(3)

3 2.1.2 Nama Daerah

Di beberapa daerah Indonesia, namanya berbeda-beda. Di Aceh disebut ceremoi, cerme (Gayo), ceramai (Melayu), camin-camin (Minangkabau), careme, cerme (Sunda), cerme (Jawa). Di Bali disebut carmen, cermen, careme (Madura), sarume (Bima) (Dalimartha and Agriwidya, 1999).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Ciri pohon kecil, tinggi sampai 10 m kadang lebih, percabangan banyak, dan kulit kayu tebal. Daun tunggal, bertangkai pendek, tersusun dalam tangkai membentuk rangkaian seperti daun majemuk. Helai daun bundar telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal tumpul sampai bundar, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin tidak berambut, panjang 2 cm hingga 7 cm, lebar 1,5 cm hingga 4 cm. Warna hijau muda (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

Bila tangkai gugur akan meninggalkan bekas yang nyata pada cabang. Perbungaan berupa tandan yang panjang 1,5 cm hingga 12 cm, keluar di sepanjang cabang, kelopak bentuk bintang, mahkota merah muda. Terdapat bunga betina dan jantan dalam satu tandan. Buahnya buah batu, bentuknya bulat pipih, berlekuk 6 cm hingga 8 cm, panjang 1,25 cm hingga 1,5 cm, lebar 1,75 cm hingga 2,5 cm, warnanya kuning muda, berbiji 4 hingga 6, rasanya asam. Biji bulat pipih berwarna coklat muda (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

2.1.4 Kandungan Kimia dan Manfaat Tumbuhan

Kandungan kimia ceremai adalah saponin, flavonoida, tanin, dan polifenol (Hutapea, J.R., 1994).

Daun Ceremai berkhasiat untuk mengobati kanker, selain itu juga berkhasiat mengobati batuk berdahak, menguruskan badan, mual, dan sariawan. Sedangkan

(4)

4

kulit berkhasiat mengatasi penyakit asma dan sakit kulit. Biji berkhasiat untuk mengobati sembelit serta mual akibat perut kotor (Dalimartha dan Agriwidya, 1999).

2.2 Uraian Kimia

2.2.1 Saponin Glikosida

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1996).

Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Senyawa saponin dapat pula diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966).

Saponin memiliki berat molekul tinggi, dan berdasarkan struktur aglikonnya, saponin dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe steroida dan tipe triterpenoida. Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom

(5)

C-5

3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid (Gunawan dan Mulyani, 2004).

a. Saponin Steroida

Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan hecogenin yang terdapat pada Agave americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).

b. Saponin Triterpenoida

Saponin triterpenoida banyak terdapat pada tumbuhan dikotil seperti: gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp., dan asam glisiretat terdapat pada Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mulyani, 2004).

(6)

6 2.3. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu (Depkes, 2000).

Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu (Depkes, 2000): A. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik, sedangkan maserasi yang dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

(7)

7

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

B. Cara Panas 1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan terus-menerus pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

(8)

8 3. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90o C selama waktu 15 menit.

5. Dekoktasi Dekoktasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur sampai titik didih air selama 30 menit atau lebih.

2.4 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani Rusia pada tahun 1903 yang bernama Michael Tswett untuk memisahkan pigmen warna dalam tanaman. Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, analisis kuantif, atau preparatif dalam bidang farmasi, industry dan lain sebagainya. Kromatografi merupakan

(9)

9

suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) pada umumnya disebut sebagai kromatografi planar. Pada kromatografi lapis tipis (KLT), fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau plat plastik. Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah. Demikian juga peralatan yang digunakan (Rohman, 2007).

Pada KLT yang penting diperhatikan dari penyerapnya adalah ukuran partikel dan homogenitasnya. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu alasan untuk menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan penyerap yang butirannya halus.Beberapa contoh penyerap yang biasa digunakan untuk pemisahan dalam KLT adalah silika gel, alumina, selulosa, dan pati (Sastrohamidjojo, 1990).

(10)

10

Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fase diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penjerap) dan fase gerak berupa zat cair yang disebut larutan pengembang (Gritter, et al., 1991). Empat macam adsorben yang umum dipakai adalah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde), kieselguhr (diatomeous earth), dan selulosa (Adnan, 1997).

Fase gerak adalah medium angkut, terdiri dari satu atau beberapa pelarut, yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori karena adanya gaya kapiler (Stahl, 1985). Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like, artinya untuk memisahkan sampel yang bersifat nonpolar digunakan sistem pelarut yang bersifat nonpolar juga. Proses pengembangan akan lebih baik bila ruangan pengembangan tersebut telah jenuh dengan uap sistem pelarut (Adnan, 1997). Pelarut dalam ruangan pengembang dihindarkan dari atmosfer luar untuk menghindari penguapan komponen-komponen (Sastrohamidjojo, 1985) dan campuran pelarut dianjurkan hanya dipakai untuk sekali pengembangan saja karena susunannya mudah berubah akibat salah satu komponennya menguap (Gritter, et al., 1991). Harga Rf dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana persamaan sebagai berikut: Rf = Jarak yang ditempuh senyawa

Jarak yang ditempuh fase gerak

Harga Rf maksimum adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Rohman, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf pada KLT (Sastrohamidjojo, 1985), antara lain:

(11)

11 1. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya 3. Tebal dan kerataan lapisan penyerap 4. Derajat kemurnian fase gerak

5. Derajat kejenuhan uap pengembang pada bejana 6. Jumlah cuplikan

7. Suhu

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT juga dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas (Anggraeni, 2009).

Lazimnya untuk identifikasi menggunakan atau dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilakan nilai berjangka 0 sampai 100. Jika dipilih 10 cm sebagai jarak pengembangan, maka jarak rambat suatu senyawa (titik awal-pusat bercak dalam cm) x 10 menghasilkan angka hRf. Tetapi, karena angka Rf merupakan fungsi sejumlah factor, angka ini harus dianggap sebagai penunjuk. Inilah yang menjadi alasan mengapa angka hRf-lah, misalnya hRf 60-70 yang dicantumkan untuk menunjukan letak suatu senyawa pada kromatogram (Stahl, 1985).

(12)

12 BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan adalah alat refluks, chamber, Erlenmeyer, kertas saring, plat pra silika GF 254, tabung reaksi, vial.

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah aquadest, buah cermai, (Phyllanthus acidus L), etanol 70 %, HCL 2N, kloroform , Liebermann, methanol.

3.3 Prosedur

3.3.1 Skrining Fitokimia

1. Buah cermai dihaluskan secukupnya.

2. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan air secukupnya, dipanaskan di penangas air hingga mendidih.

3. Tunggu hingga dingin.

4. Kemudian kocok kuat selama 10 detik. 5. Diukur tinggi buih.

6. Tambahkan HCl 2N sebanyak 2 tetes. 7. Diukur tinggi buih.

(13)

13

3.3.2 Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin secara Kromatografi Lapis Tipis

1. Buah cermai dihaluskan secukupnya.

2. Kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambahkan etanol 70%. Direfluks selama 2 jam.

3. Kemudian disaring, residu dibuang, filtrat diambil. 4. Filtrat ditotolkan pada plat.

5. Dimasukkan kedalam chamber yang telah dijenuhkan (kloroform : methanol (95:5) dalam 10 ml).

6. Dikeluarkan plat dari chamber apabila telah merambat samapi batas pengembangan

7. Diamati noda yang terjadi secara visualisasi, UV, dan larutan penampak bercak (Liebermann).

(14)

14 3.4 Flowsheet

3.4.1 Skrining Fitokimia

Dimasukkan kedalam tabung reaksi Ditambahkan 10 ml air panas Didinginkan

Dikocok kuat selama 10 detik

Ditambah 1 tetes HCl 2N

3.4.2 Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin secara Kromatografi Lapis Tipis

Dihaluskan

Ditambahkan 25 ml etanol 70% Direfluks selama 1 jam

Didinginkan Disaring

Diuapkan sampai 1/3 bagian Dimasukkan kedalam vial Ditotolkan pada plat KLT GF254

Dimasukkan kedalam chamber yang telah dijenuhkan dengan fase gerak

Dikeluarkan plat dari chamber Dilihat noda secara visual, UV, dan

setelah disemprotkan penampak bercak Dihitung harga Rf Filtrat Sampel Hasil Sampel

Buih setinggi 1-10 cm selama 10 menit

(15)

15 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Hasil Skrining Saponin Glikosida pada Ekstrak Buah Ceremai (Phyllanthus acidus L.)

No. Golongan Senyawa Kimia

Pereaksi Hasil Kesimpulan

1. Saponin Air panas

Ditambah 1 tetes HCl 2N

Buih setinggi 4 cm

Buih tidak hilang

(+) Saponin Glikosida

Tabel 2. Hasil Penentuan Golongan Senyawa Kimia Saponin Glikosida secara Kromatografi Lapis Tipis

Fase Gerak

Kloroform-metanol (95:5)

Harga Rf Warna Noda pada Kromatogram

Sebelum Visualisasi  

Hasil UV  

Sesudah Visualisasi (Penyemprotan penampak bercak

Carr-Price)

 

(16)

16 4.2 Pembahasan

Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui jenis metabolit sekunder apa yang terkandung dalam sampel. Sampel yang digunakan pada percobaan kali ini adalah buah ceremai (Phyllanthus acidus L.). Berdasarkan hasil skrining fitokimia, diketahui bahwa ekstrak buah cermai mengandung senyawa saponin glikosida. Hal ini terlihat dari busa stabil yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan teori, dimana setelah sampel yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, lalu didinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik; terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N, buih tidak hilang, menunjukkan adanya saponin glikosida (Robinson, 1995). Menurut Robinson (1995) senyawa yang memiliki gugus polar dan non polar bersifat aktif permukaan sehingga saat dikocok dengan air, saponin dapat membentuk misel. Pada struktur misel, gugus polar menghadap ke luar sedangkan gugus nonpolarnya menghadap ke dalam. Keadaan inilah yang tampak seperti busa.

Prosedur uji dengan KLT dilakukan untuk lebih menegaskan hasil yang didapat dari skrining fitokimia. Identifikasi terhadap sampel (buah ceremai) menggunakan fase gerak kloroform-metanol (95:5), memberikan hasil negatif. Ini terlihat dari tidak terdapatnya noda pada kromatogram. Hal ini mungkin dikarenakan dalam menotolkan sampel pada plat KLT, praktikan tidak melakukannya dengan benar. Sehingga tidak terdapat noda/bercak pada plat KLT tersebut.

(17)

17 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Prinsip skrining pemisahan senyawa kimia saponin glikosida pada ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) secara kromatografi lapis tipis dimana sampel yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal) pada plat KLT. Kemudian setelah plat KLT dimasukkan kedalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak kloroform-metanol 95:5), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

b. Hasil skrining fitokimia ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus L.) menunjukkan hasil positif mengandung senyawa kimia saponin glikosida c. Hasil kromatografi lapis tipis ekstrak buah ceremai (Phyllanthus acidus

L.) memberikan hasil negatif yang dikarenakan tidak terdapatnya noda/bercak pada kromatogram.

5.2 Saran

 Sebaiknya menggunakan fase diam dan fase gerak yang lainnya agar diketahui fase diam dan fase gerak mana yang memberikan hasil yang maksimal

 Sebaiknya dalam menotolkan sampel ke plat KLT, praktikan harus lebih teliti dan berhati-hati agar hasil yang didapat sesuai dengan yang diinginkan.

(18)

18

DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya, Jakarta. Hal. 43-47

Depkes RI.(2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Jakarta.

Gritter et al., (1991). Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 107. Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan

Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 69-76.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan: K. Padmawinata.Bandung: Penerbit ITB. Hal. 191-216.

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Cetak pertama.Yogyakarta: Liberty. Hal.29-32, 126-136.

Stahl, E., (1985), Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, penerbit ITB, Bandung. Hal. 3-17

Wagner, H., Bladt, S., and Zyainski, E. M. (1984). Plant Drug Analysis A Thin Layer Chromatography Atlas. Translated by Th. A. Scott. New York :

Gambar

Tabel  1.  Hasil  Skrining  Saponin  Glikosida  pada  Ekstrak  Buah  Ceremai  (Phyllanthus acidus L.)

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan pada itik dengan penambahan suplemen limbah tauge yang kaya akan vitamin E, diduga dapat berpengaruh terhadap kadar kolesterol pada daging

Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait mikroba yang diberikan sebagai pakan terkait dosis pakan tersebut, karena dalam penelitian ini dosis yang digunakan terbatas. Dosis yang

Hasil penelitian ini diantaranya menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan menerapkan Missouri Mathematics Project (MMP) dapat meningkatkan proses dan hasil belajar

UNIT LAYANAN PENGADAAN EMPAT LINGK UNGAN PERADILAN KOORDINATOR WILAYAH JAWA T IMUR.. Jalan

Cara paralel yaitu pada ground disambungkan dengan ground sedangkan yang satu lagi dihubungkan sama seperti lampu percobaan yang pertama, sehingga setiap kali ingin

Satuan Kerja Direktorat Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi,

Due to the lack of ground truth data, the SPOT 5 images of Greece and La Palma were used for the validation of both the optical and the radar detected burned area1. The affected area

Tiga kriteria menurut Smith (dalam Trisnawati, 2015: 25) telah dipenuhi oleh model pembelajaran matematika Knisley matematika empat tahap Knisley, yaitu tentang