• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAGASAN SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG DISEMINASI KARYA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI INDONESIA. Sundani Nurono Soewandhi 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAGASAN SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG DISEMINASI KARYA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI INDONESIA. Sundani Nurono Soewandhi 1"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

GAGASAN

SEBUAH PEMIKIRAN TENTANG DISEMINASI KARYA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PERGURUAN TINGGI INDONESIA

Sundani Nurono Soewandhi1 1

Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, sundani@fa.itb.ac.id

Ringkasan Eksekutif

Media untuk mendiseminasikan karya unggul pengabdian kepada masyarakat (PPM) masih sangat terbatas. Teknik mendiseminasikannya baik dalam jurnal ataupun prosiding masih beragam. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena selama ini tulisan PPM diarahkan untuk mengikuti pola artikel riset yang sebenarnya memiliki karakter berbeda. Kesulitan lain adalah belum dikenalnya metode pengabdian yang bersifat universal dan berlaku untuk seluruh bidang keilmuan. Tulisan ini menyampaikan struktur dasar artikel yang berkarakter sesuai bagi karya PPM sekaligus menjadi petunjuk penulisan bagi majalah Ngayah. Disamping itu, metode PPM juga dirumuskan secara sederhana, dengan penamaan mirip aktivitas, bersifat universal untuk seluruh bidang studi tetapi berbeda dengan prosedur pelaksanaan kegiatan.

Kata kunci: Ngayah, metode PPM, struktur dasar artikel PPM

Executive Summary

Media for disseminating of community services (CS) master product still have strictly limitation. Dissemination techniques either on journals or proceedings still also have variation. Such condition can be caused by false directing of CS article to follow the research articles style that actually has different character. The other difficulty is that because the universal methods of CS and valid for all discipline of study has not been known. This article gives the basic structure of CS manuscript that has appropriate character for CS product, and at the same time to be instructions for authors for Ngayah journals. Besides, the CS methods has simple resumed, and named activity-like, universally for all discipline of study but differ to application procedure of the CS activities.

(2)

Key words: Ngayah, CS methods, basic structure of CS articles A. PENDAHULUAN

Seluruh entitas Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia sudah tentu paham tentang Tri Darma yang terdiri dari 1) Pendidikan, 2) Penelitian dan 3) Pengabdian kepada Masyarakat(1). Undang Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mewajibkan PT menyelenggarakan ketiga darma tersebut. Meskipun demikian, di lingkungan PT umumnya, hanya darma Pendidikan dan Penelitian terbebas dari interpretasi yang ambigu. Keduanya sudah dapat dipahami, diterapkan dan diupayakan untuk saling bersinergi dengan baik. Tetapi tidak demikian halnya dengan darma ketiga, yakni Pengabdian kepada Masyarakat (PPM). Pada umumnya PPM dihubungkan dengan arti harfiah pengabdian, yaitu pengerahan keterampilan dan kemampuan akademik (PT) secara tulus tanpa pamrih untuk kesentosaan (masyarakat). Jadi PPM identik dengan aktivitas PT yang ditujukan untuk masyarakat miskin, terkebelakang dan kurang beruntung. Bagaimana dengan kegiatan akademik bagi masyarakat eksternal PT lainnya? Selama ini di banyak PT masih belum menggolongkannya ke dalam PPM, tetapi diistilahkan sebagai proyek, kerjasama, kemitraan atau istilah-istilah sejenis lainnya. Tidak jelas benar mengapa PT melakukannya. Mungkin karena PPM diartikan sebagai kegiatan yang tidak mendatangkan uang, sedangkan proyek, kemitraan dan lainnya mampu mendatangkan pendapatan bagi PT. Bahkan pemerintahpun mengapresiasi kegiatan PPM yang luar biasa berat dengan skor yang sangat minimalis. Tidak ada keseimbangan antara karya PPM dan apreasiasi yang diterimakan.

Sebagaimana bisa dibayangkan bersama, pada awal masa kemerdekaan Indonesia, kehidupan sosial, ekonomi masyarakat begitu sulit, sehingga entitas PT pada saat itu, yang menaruh empati kepada kehidupan masyarakat, merealisasikannya dalam wujud “pengabdian” kepada masyarakat secara mandiri. Istilah yang identik dengan pengertian community development, yaitu kegiatan yang membawa nilai-nilai dan juga keterampilan atau kemampuan baru untuk membangun harkat kemanusiaan dan juga kehidupan sosial ekonomi seorang atau sekelompok orang. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa perbaikan kinerja perorangan ataupun kelompok harus mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat secara keseluruhan di wilayah itu(2). Belum terciptanya berbagai strata sosial dan juga infrastruktur industri di masyarakat pada masa itu, memberi tuntutan yang relatif homogen bagi PPM PT. Akan tetapi, di era tahun 1970an, atau mungkin lebih awal lagi, strata sosial masyarakat Indonesia sudah mulai tegas terbentuk berlapis-lapis, mulai dari kategori termiskin sampai terkaya. Demikian pula klasifikasi atas dasar pekerjaan masyarakat, mulai dari individu sampai korporat yang masing-masingnya memiliki persoalan, tantangan atau kebutuhan sendiri, sampai kepada kemampuan finansialnya. Kondisi sosial semacam itu secara nyata memberi

(3)

persoalan, tantangan dan pola pemenuhan kebutuhan yang juga berbeda dan semakin spesial. Dengan demikian, PT segera saja dihadapkan dan beradaptasi dengan berbagai macam persoalan serta kinerja ekonomi masyarakat yang variatif. Artinya, ada persoalan yang dapat diselesaikan secara spesifik, tetapi ada yang tidak dapat diatasi secara parsial dan harus sinergistik dari berbagai bidang keilmuan. Di samping itu, kalangan berpunya umumnya lebih menyadari PT sebagai sumber solusi persoalan. Kelompok ini akan secara aktif datang atau menghubungi PT untuk membantu menemukan solusi atas persoalan, kebutuhan atau bahkan tantangan dan sekaligus siap membiayainya. Tetapi kalangan tak berpunya masih memiliki persepsi bahwa PT itu ada untuk memikirkan hal-hal futuristik bangsa dan bukan kondisi realistik seperti yang mereka alami dalam kesehariannya. Masyarakat ini baru memahami adanya kewajiban PT untuk membantu mereka, setelah entitas PT berbaur melalui kegiatan PPM. Bahwa PT kemudian membuat slot-slot berbeda untuk mengantisipasi permintaan yang ada, hal itu tentu dapat dipahami. Oleh karena itu, banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa perubahan ekonomi dan sosial di masyarakat yang sudah demikian signifikan, belum mengubah pengertian dan program PPM?

B. LAYANAN MASYARAKAT

Perkembangan tatanan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia telah membawa perubahan pola kebijakan dan program PPM di DP2M Ditjen Dikti sejak tahun 2009. Perubahan itu tampak pada berbagai ragam program yang dinilai telah mengantisipasi dan mengakomodasi seluruh jenis persoalan atau kebutuhan masyarakat, kecuali masyarakat industri multinasional. Program PPM DP2M 2009 yang tercantum dalam Buku Pedoman(3) adalah: 1) Program Ipteks bagi Masyarakat (IbM) untuk kalangan masyarakat kebanyakan baik yang secara ekonomis produktif maupun tidak; 2) Ipteks bagi Wilayah (IbW) untuk kegiatan pembangunan wilayah dan masyarakatnya bersinergi dengan kebijakan pembangunan Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten; 3) Ipteks bagi Kewirausahaan (IbK) akses untuk mahasiswa dan alumni PT menjadi wirausaha baru; 4) Ipteks bagi Produk Ekspor (IbPE) untuk meningkatkan kinerja usaha kecil atau menengah dengan produk berpotensi atau sudah diekspor; 5) Ipteks bagi Inovasi dan Kreativitas Kampus (IbIKK) diperuntukkan bagi dosen untuk mensosialisasikan produk intelektualnya ke masyarakat. Ke 5 program tersebut menuntut tercapai dan terpeliharanya budaya baru yang dikembangkan entitas PT bagi masyarakat mitranya.

Pada hakekatnya, PPM menjadi media sosialisasi produk-produk intelektual entitas PT yang dihasilkan melalui kedua darma lainnya, yaitu Pendidikan dan Penelitian. Kriterianya tentu harus sesuai dengan kebutuhan atau persoalan masyarakat. Jadi belum tentu seluruh produk kedua darma dapat langsung

(4)

disosialisasikan, terlebih lagi jika dari sejak awal pelaksanaan tidak terpikirkan untuk dimanfaatkan masyarakat. Bahkan, cukup dengan berbekal pengetahuan yang dimiliki, entitas PT dapat melakukan PPM dengan baik. Empirik menunjukkan bahwa produk penelitian PT umumnya sukar diimplementasikan atau disosialisasikan ke masyarakat karena terkendala berbagai kondisi. Pertama, karena ipteks yang terkandung di dalam produk atau teknik manufakturingnya belum mampu diterimakan dan diadopsi masyarakat; kedua, topik penelitian seringkali tidak terinspirasi persoalan atau kebutuhan masyarakat; ketiga, penelitian umumnya bersifat spesial sesuai bidang keilmuan, sementara kebutuhan atau persoalan masyarakat bersifat kompleks; keempat, skala produk masih sebatas laboratorium; kelima, fasilitas atau infrastruktur yang diperlukan untuk menkonstruksikan produk penelitian dan mensosialisasikannya ke masyarakat sulit diwujudkan; atau kendala-kendala lainnya. Oleh karena itu, produk penelitian yang memiliki peluang besar untuk disosialisasikan ke masyarakat umumnya dihasilkan bidang keilmuan pertanian, peternakan, rekayasa, sosial humaniora, keperawatan atau bidang ilmu lain yang kerap berhubungan dengan masyarakat.

Di Jepang dan Amerika Serikat, ada koneksitas yang menarik dan saling menguntungkan antara PT dan industri dalam merealisasikan transfer teknologi(4). Dalam hal ini, produk-produk riset PT segera dimanfaatkan industri dan keinginan atau kebutuhan industri akan produk-produk masa depan menjadi topik-topik riset PT. Fenomena sejenis, meskipun pasti dengan skala yang jauh lebih kecil, seharusnya dapat dilakukan di tanah air antara PT dengan usaha kecil atau menengah bahkan multi nasional. Namun karena koneksitas PT-industri belum terbangun dengan benar, maka peran aktif pemerintah sementara waktu dalam menyediakan dana PPM yang lebih besar masih sangat diperlukan dan mendesak. Fenomena transfer teknologi semacam itu, tergolong ke dalam PPM. Dengan demikian PPM PT juga memiliki peluang besar dalam membentuk siklus transfer teknologi dari PT masyarakat PT. Transfer ipteks atau transfer teknologi PT bagi masyarakat belum dapat dikatakan sempurna jika PT belum mampu mengambil alih persoalan atau kebutuhan masyarakat untuk dijadikan topik penelitian atau kajian. Siklus terjadi jika hasil penelitian atau kajian tersebut disampaikan kembali kepada masyarakat.

Pemahaman semacam itu belum banyak dimiliki entitas PT dalam melaksanakan PPM. Kebanyakan masih berasumsi bahwa PPM adalah gerakan memenuhi kebutuhan atau mengatasi persoalan masyarakat, belum berupaya merekrut persoalan atau kebutuhan selanjutnya bagi keperluan penelitian. Akibatnya, selesai pelaksanaan PPM selesai juga aktivitas transfer ipteksnya. Padahal umumnya yang terjadi di PPM PT, begitu satu persoalan atau kebutuhan masyarakat terpenuhi, akan segera datang persoalan-persoalan atau kebutuhan-kebutuhan esensial lainnya. Jika kondisi tersebut terjadi, itu pertanda bahwa kepercayaan masyarakat kepada PT sudah tumbuh dan transfer ipteks sudah berlangsung.

(5)

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, beragam istilah diberikan entitas PT pada kegiatannya bekerjasama dengan pihak eksternal. Ada istilah proyek, training, pendidikan berkelanjutan, konsultasi, sosialisasi produk, studi atau kajian, kerjasama, in-house training, kemitraan industri dan PPM. Jadi masih ada pemisahan antara kegiatan PPM dan bukan PPM. Untuk meletakkan kegiatan PPM secara proporsional sebagai darma PT, dirasa perlu adanya perubahan paradigma pada arti PPM. Jika paradigma lama mengartikan PPM sebagai kegiatan entitas PT yang melembaga bagi masyarakat yang tidak beruntung, maka paradigma baru seharusnya mencakup kegiatan akademik yang lebih luas namun tidak tergolong ke dalam dua darma PT lainnya. Secara universal aktivitas entitas PT bagi masyarakat dikenal sebagai community services. Mungkin hanya di Indonesia istilah itu menjadi PPM. Jika menuruti istilah yang lebih universal, maka PPM selayaknya digantikan dengan istilah Layanan Masyarakat. Meskipun untuk melegitimasi istilah Layanan Masyarakat juga tidak sederhana, karena UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 masih mencantumkan istilah PPM.

Paradigma baru PPM dirumuskan mengacu kepada pengertian layanan masyarakat, yaitu aktivitas akademik entitas PT dalam merespons langsung ataupun tidak, persoalan, kebutuhan ataupun tantangan masyarakat dengan membawa nilai-nilai intelektual dan perilaku pembaharu yang arif pada kehidupan lingkungan. Jika mengacu kepada pengertian tersebut, maka seluruh kegiatan kerjasama dengan pihak eksternal (perorangan atau kelompok masyarakat, industri, institusi pemerintah) ataupun sosialisasi produk yang berdampak langsung ataupun tidak bagi masyarakat, dapat diklasifikasikan sebagai PPM. Melalui paradigma baru tersebut, kategorisasi kegiatan tri darma di PT diharapkan menjadi lebih jelas. Dengan demikian, setiap PT akan dengan mudah menginformasikan kelompok masyarakat mana yang menjadi primadona PPMnya, termasuk berapa total biaya PPM per tahunnya. Hal ini juga akan memudahkan DP2M Ditjen Dikti dalam mengevaluasi kinerja PPM PT setiap tahunnya. Hasil evaluasi Kinerja PPM 2004-2008(5) menunjukkan bahwa 80-90% mitra masyarakat PT BHMN, adalah institusi bisnis. Dari sumber yang sama diketahui bahwa beberapa PT sudah mengalokasikan dana PPM yang nilai nominalnya bervariasi dari Rp 25 sampai Rp 750 juta per tahun. Namun faktanya, ada PT yang mampu menyerap 100% alokasi dana PPM tersebut, dan ada yang masih menyisakannya 100%. Yang menarik adalah bahwa PT sudah secara sadar mengalokasikan dana PPM per tahunnya, meskipun masih sekitar 20-30% dari alokasi dana riset. Ada PT yang sudah memiliki Buku Pedoman PPM dan umumnya mengacu kepada kebijakan program PPM DP2M, akan tetapi masih banyak yang melaksanakan PPM tanpa pedoman. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara PT mengalokasikan anggaran PPM tahunannya, sementara LPM atau LPPM PT belum memiliki rencana strategis lima tahunan?

(6)

5 (lima) jenis PPM PT bagi masyarakat, antara lain: 1) Layanan BAGI Dunia Usaha; 2) LayananBAGI Instansi Pemerintah; 3) LayananBAGI Perorangan atau Kelompok Masyarakat; 4) LayananBAGI Perguruan Tinggi lain dan 5) LayananBAGI Institusi Luar Negeri. Klasifikasi semacam ini diharapkan dapat membantu administrasi Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) atau Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) atau Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat (DRPM) PT dalam mengevaluasi kinerja PPM di PT masing-masing termasuk pada upaya perimbangannya.

PPM meliputi 6 (enam) aspek utama, yaitu: sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan personal/spiritual(2). Oleh karena itu, PPM secara prinsip terbuka untuk seluruh bidang keilmuan. Meskipun ada 6 aspek yang umumnya ditangani dalam kegiatan PPM secara universal, namun hanya dua aspek yang menonjol dan paling banyak dilakukan, yaitu: aspek sosial dan ekonomi. Respons PT terhadap program PPM DP2M Ditjen Dikti juga didominasi kedua aspek tersebut. Belum diketahui benar mengapa pelaksanaan PPM dengan aspek lain seperti lingkungan, politik, budaya dan spiritual masih terbilang langka. Coba tengok pertikaian antar pendukung parpol dalam pilkada, antar mazhab muslim di Lombok, antar hukum adat dan hukum positif di Bali, menjaga kelestarian adat budaya nusantara, banjir dan longsor di banyak daerah di tanah air yang belum tertangani sebagaimana mestinya. Mungkin adanya asumsi PT bahwa PPM yang diprioritaskan harus selalu terkait dengan aspek ekonomi, turut berkontribusi pada rendahnya PPM politik, budaya, spiritual dan lingkungan.

C. PPM PT

Langkah awal dan paling sulit dalam upaya melakukan PPM adalah mengidentifikasi, menemukan dan memperoleh data lengkap calon masyarakat mitra termasuk persoalan atau kebutuhannya. Kondisi tersebut menuntut entitas PT untuk datang dan berdiskusi dengan calon mitranya. Hal inilah yang menyebabkan entitas PT menghadapi kesulitan lebih besar pada saat menyusun proposal PPM daripada penelitian. Oleh karena itu, jumlah proposal PPM per tahun akan selalu lebih sedikit daripada penelitian. Tahapan berikutnya adalah mengidentifikasi dan menemukan penyandang dana untuk menyesuaikan format dan isi proposal. Dilanjutkan dengan pelaksanaan PPM di lapangan dan yang paling krusial adalah menjaga agar seluruh upaya akademis dan nilai-nilai intelektual yang telah disampaikan melalui PPM menjadi tradisi atau budaya baru bagi masyarakat mitra.

Tahap paling menentukan keberhasilan kegiatan PPM terletak pada kemampuan entitas PT untuk mencari tahu dan menemukan persoalan yang menurut masyarakat mitra adalah prioritas. Kemudian memperoleh kesepakatan masyarakat untuk

(7)

diselesaikan bersama. Tanpa kesepakatan, umumnya kegiatan PPM akan mengalami kegagalan sehingga tidak memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, sebelum melakukan kegiatan PPM, PT direkomendasikan untuk bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat mitra atau masyarakat yang menjadi target PPM. Pada kesempatan tersebut dilakukan pembahasan mengenai persoalan, tantangan dan kebutuhan masyarakat dari sudut pandang masyarakat sendiri. Jangan dilupakan bahwa di masyarakat sendiri sudah tumbuh pengetahuan yang mereka peroleh dari empirik kesehariannya atau kearifan lokal yang dijaga turun temurun. PT dapat memberi masukan hasil evaluasi lapangan kepada masyarakat terutama yang relevan dengan kebijakan memanfaatkan sumder daya yang ada dil lingkungan masyarakat itu sendiri. Keduanya dipertemukan kemudian disepakati persoalan mana yang akan ditangani paling awal sesuai jangka waktu dan biaya kegiatan yang dialokasikan. Pemaksaan kehendak sendiri meskipun dilandasi hasil survei lapangan, seringkali tidak disambut baik. Sebab apa yang terlihat sesaat bersifat mendesak dan harus segera ditangani, seringkali tidak menjadi persoalan serius bagi masyarakat. Misalnya, hasil survei entitas PT menunjukkan 90% penduduk suatu desa menderita penyakit kulit (panu, kadas, kurap dll) sehingga tim memutuskan untuk melakukan kegiatan PPM hidup bersih tanpa panu. Sementara penduduk desa itu justru semakin bangga dengan semakin lebarnya diameter panu di tubuhnya. Kasus lain, terjadi di suatu kampung melayan. Kebutuhan nelayan akan alat pengering sudah terdengar klasik dan memang itu yang benar-benar diperlukan untuk membantu kehidupan mereka. Tetapi tak ada satupun entitas PT yang mampu memenuhinya dengan pas. PT seringkali membuatkan lemari pengering bertenaga surya atau api untuk membantu proses pengeringan ikan hasil tangkapan nelayan. Kapasitas lemari pengering yang dibuat hanya mampu mengeringkan ikan sebanyak 40 kg dan memerlukan waktu 8-10 jam, sementara ikan tangkapan nelayan bisa mencapai 3 ton per hari. Bisa diperkirakan berapa besarkah manfaat yang diperoleh nelayan? Mengapa tidak terpikirkan untuk membuatkan lemari pengering berukuran lapangan sepakbola yang dapat dioperasikan baik cuaca hujan ataupun terik? Pada kasus ini PT sudah mengantisipasi kebutuhan masyarakat nelayan dengan benar tetapi dampak dan manfaat PPM yang dirasakan, masih sangat terbatas.

Perbedaan antara PPM dan penelitian, disamping pada saat penyusunan proposal, pola kerja, metode yang digunakan, juga pada apresiasi hasilnya. Kegagalan dalam penelitian masih memperoleh apresiasi yang layak, sebab kegagalan termasuk hasil suatu penelitian. Akan tetapi kegagalan dalam PPM akan direspons dan dikomentari keras oleh masyarakat. Sebaliknya, jika PPM PT dirasakan betul manfaatnya, maka masyarakat tak pernah putus menginspirasi munculnya produk-produk intelektual baru dan mendoakan kebaikan bagi para pelaksana PPM.

(8)

D. DISEMINASI

Persoalan lain yang harus dihadapi masyarakat pelaksana PPM di Indonesia, yaitu diseminasi karya. Tidak seperti kedua darma lain dalam mendiseminasikan karya-karyanya, karya PPM justru belum menemukan wadah yang cocok. Meskipun tidak seluruh karya PPM dapat dipublikasikan, khususnya jika terkait pada kerahasiaan mitra yang harus dijaga. Tetapi cukup banyak jumlah karya PPM yang layak dipublikasikan secara meluas namun forum mendiseminasikannya sangat terbatas. Jika penelitian mengenal muaranya dalam bentuk jurnal dan seminar ilmiah maka darma PPM belum memilikinya. Untuk mencoba mengatasi keterbatasan tersebut beberapa PT sudah mencoba menerbitkan Majalah atau Jurnal PPM, meskipun isi artikelnya masih terbatas pada model pelaporan. Tetapi secara garis besarnya Majalah PPM semacam itu menunjukkan adanya “pemaksaan” publisitas hasil kegiatan PPM ke dalam struktur dasar artikel riset. Hasilnya adalah suatu kejanggalan. Apakah kondisi semacam ini menjadi alasan bagi pemerintah menetapkan peraturan perhitungan skor akademik yang rendah bagi karya-karya PPM?

Sejak tahun 2009, bagi pelaksana program PPM yang dananya bersumber dari DIPA DP2M Ditjen Dikti, berlaku kewajiban untuk menuliskan artikel ilmiah berskala nasional (untuk biaya program senilai Rp 50 juta/tahun) dan internasional (senilai Rp 100 juta/tahun). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jurnal ataupun forum pertemuan masyarakat PPM belum tersedia. Kewajiban menuliskan artikel ilmiah bagi kegiatan PPM terasa janggal, apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan bahwa yang disampaikan kepada masyarakat adalah hasil penelitian. Bukankah hasil penelitian sudah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal atau seminar-seminar ilmiah? Jika PPM merupakan wujud implementasi hasil penelitian, maka pertanggungjawaban akademik di dalamnya sejatinya adalah dampak dan manfaat kegiatan. Jika dampak dan manfaat yang harus dipertanggungjawabkan, maka substansinya adalah seberapa kuat dampak dan seberapa besar manfaat yang diperoleh masyarakat. Untuk keperluan itu harus ditetapkan dahulu indikator kinerja PPM. Dampak dan manfaat PPM sekaligus merupakan dampak dan manfaat produk penelitian yang diimplementasikan. Dalam kasus ini yang ditulis sebagai artikel adalah bagian hilir suatu hasil penelitian. Artikel semacam ini dinilai kurang tepat jika diposisikan sebagai artikel dalam jurnal ilmiah. Kasus ini menjadi lebih spesial dan jelas, jika pelaksana PPM mengimplementasikan hasil penelitian orang lain. Bagian ilmiah mana yang menjadi haknya untuk dituliskan dalam sebuah artikel nasional bahkan internasional?

Dalam hiruk pikuk kebingungan banyak pihak khususnya pelaksana program PPM DP2M, bersama entitas NGAYAH Bali mencoba menyusun struktur artikel yang cocok bagi karya PPM. Entitas NGAYAH sendiri berarti suatu komunitas yang

(9)

berkarya tanpa pamrih dan terdiri dari entitas PT seluruh Bali dengan dukungan penuh Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat PT. Pada awal pendiriannya 25 April 2010, entitas NGAYAH diwujudkan melalui kerjasama 4 (empat) PT, yaitu: Universitas Udayana, Universitas Pendidikan Ganesha, Universitas Mahasaraswati Denpasar dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Entitas NGAYAH berfungsi sebagai penata karya PPM PT se Bali bagi masyarakat Bali, berkewajiban menerbitkan majalah aplikasi ipteks yang berjudul NGAYAH, mengelola pelatihan PPM dan menyelenggarakan pameran karya-karya PPM se Bali.

Majalah NGAYAH yang diterbitkan entitas NGAYAH bertujuan untuk menyampaikan sebanyak mungkin kegiatan PPM di Indonesia yang memberi dampak dan manfaat signifikan bagi masyarakat kepada para birokrat, entitas PT dan masyarakat luas. Majalah NGAYAH sebagai media komunikasi para pelaksana PPM PT sifatnya bukan sebagai jurnal ilmiah dan bukan pula kumpulan laporan pelaksanaan PPM. Yang tak kalah pentingnya, di samping penerbitan majalah aplikasi ipteks NGAYAH, adalah penyelenggaraan pertemuan PPM secara reguler sebagai bentuk lain diseminasi hasil PPM. Entitas NGAYAH dapat mencoba memprakarsai acara yang belum pernah ada di tanah air tetapi diyakini banyak memberi manfaat bagi penyempurnaan metode, program hingga pada dampak dan manfaat PPM untuk kemajuan bangsa Indonesia.

E. METODE PPM

Tidak seperti halnya metode riset yang telah banyak dikuasai dan dapat dituliskan secara spesifik bagi setiap bidang keimuan, metode PPM lebih rumit dan bahkan mungkin tidak spesifik. Beberapa metode PPM yang selama ini dikenal antara lain: pelatihan, penyuluhan, pembimbingan, pembinaan, pendampingan, demplot, participation rural appraisal, continuing education, penerapan ipteks dan lain-lain, pada hakekatnya agak sukar dibedakan apakah benar suatu metode ataukah aktivitas? Metode sejatinya adalah teknik atau cara. Teknik mengukur, menetapkan, menghitung suatu parameter dari suatu hubungan sebab akibat atau perlakuan. Untuk PPM yang berada jauh di hilir terhadap riset, metodenya tidak bermakna teknik atau cara mengukur, menetapkan atau menghitung melainkan teknik atau cara penyampaian atau pengaplikasian suatu produk riset atau ipteks yang sudah dikuasai kepada masyarakat. Dengan demikian, penamaan metode PPM besar kemungkinannya identik dengan suatu aktivitas tetapi tetap harus dapat dibedakan dengan prosedur kerja. Untuk mengevaluasi apakah suatu metode berfungsi dengan benar sehingga hasil riset dapat dipercaya, maka dalam riset dikenal istilah metodologi. Dalam hal PPM, metodologi juga berarti evaluasi terhadap metode yang diterapkan dengan menentukan level dampak dan manfaat kegiatan bagi masyarakat. Oleh karena itu, berbeda dengan riset yang fokus pada produk; maka PPM fokus

(10)

pada dampak dan manfaat sosial, seni budaya atau ekonomi.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penulisan proposal ataupun manuskrip PPM dengan memilih salah satu atau kombinasi dua atau beberapa metode berikut:

· Pendidikan Masyarakat

Digunakan untuk kegiatan berupa a) training seperti in-house training; b) continuing education; c) training penyegaran keilmuan, d) penyuluhan yang bertujuan meningkatkan pemahaman (misalnya dalam bidang hukum, agama, peraturan) sehingga menyadarkan masyarakat akan adanya kemungkinan kesalahpahaman di antara mereka

· Konsultasi

Untuk kegiatan dimana persoalan atau kebutuhan usaha kecil/menengah atau masyarakat diselesaikan melalui diskusi atau dialog dengan PT

· Difusi Ipteks

Untuk kegiatan yang menghasilkan produk bagi konsumen baik internal maupun eksternal PT

· Pelatihan

Untuk kegiatan yang melibatkan a) penyuluhan tentang substansi kegiatan, diikuti dengan demonstrasi untuk mengkonstruksikan atau merealisasikannya; b) melatih mengoperasikan sistem atau peralatan yang dihibahkan; c) atau kegiatan untuk membentuk kelompok wirausaha baru, d) PT yang menawarkan jasa layanan bersertifikat kepada masyarakat

· Mediasi

Untuk kegiatan seperti: a) pelaksana PPM dalam kegiatannya menempatkan diri sebagai penengah atau mediator dari pihak-pihak yang bertikai atau bersengketa; b) atau bersama-sama masyarakat menyelesaikan persoalan yang memerlukan kebijakan dan keputusan instansi pemerintah atau swasta

· Simulasi Ipteks

Untuk kegiatan dimana karya utamanya adalah sistem informasi atau sejenisnya yang bertujuan guna menjelaskan tentang sesuatu yang tidak dapat dilakukan sebagaimana seharusnya secara fisik atau nyata

· Substitusi Ipteks

Untuk kegiatan yang membawakan ipteks baru, lebih modern dan efisien kepada usaha kecil/ menengah, masyarakat dengan menggantikan penguasaan ipteks lama

(11)

F. PENUTUP

Upaya untuk meningkatkan kegiatan PPM di PT masih harus terus dilakukan. Dukungan tidak hanya diharapkan dari pemerintah (dalam hal ini DP2M Ditjen Dikti) dengan cara meningkatkan biaya dan alokasi tahunan program PPM, Pemerintah Kabupaten/Kota, Industri melalui dana Corporate Social Responsibility, CSR, melainkan juga dari entitas dan pimpinan PT serta masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan peningkatan kegiatan PPM baik kualitatif maupun kuantitatif secara signifikan, jika Rektor dan/atau Ketua LPM PT menaruh atensi luar biasa kepada PPM. Di samping itu, koneksitas yang baik antara PT dengan Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota sangat membantu dalam penyediaan informasi tentang dunia usaha kecil/menengah atau kondisi masyarakat di sekitar wilayah PT. Suatu hal yang masih jarang dijumpai padahal kesulitan awal entitas PT adalah dalam mengidentifikasi calon mitranya.

Entitas NGAYAH sudah memulai upaya penerbitan majalah PPM dengan harapan bahwa akan bermunculan entitas-entitas PPM baru di berbagai wilayah tanah air dengan majalah-majalah PPM baru pula. Oleh karena jumlah PPM yang telah dan sedang dilaksanakan dengan dampak dan manfaat positif yang dijumpai, terbilang cukup banyak sehingga keperluan akan majalah PPM diperkirakan lebih dari satu. Ini tantangan berat untuk direalisasikan. Ada satu hal lagi yang menarik, yakni tekad kuat entitas NGAYAH untuk membawa majalah NGAYAH ke level regional atau bahkan internasional. Tekad ini cukup realistis, mengingat segala sesuatu yang terjadi di masyarakat Bali atau bahkan mungkin Indonesia, selalu atraktif bagi dunia internasional. Kemunculan entitas-entitas PPM di tanah air sangat diharapkan, untuk membuka peluang bagi dilaksanakannya seminar PPM berskala nasional. Pada kesempatan lain akan dicoba untuk menyusun indikator kinerja yang relevan dengan kegiatan PPM, paling tidak untuk seluruh program PPM DP2M tahun 2009.

G. BAHAN BACAAN

· Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003

· Ife JW. Community Development: Creating community alternatives –vision, analysis and practice, Longman Australia Pty. Ltd., Melbourne 3205 Australia, 1995

· DP2M Ditjen Dikti. Buku Pedoman Pengabdian kepada Masyarakat, 2009 · Branscomb LM, Kodama F, and Florida R. University-Industry Linkages in

Japan and the United States in: Industrializing Knowledge, The President and Fellows of Harvard College, 1999

· Sundani N. Profil Kinerja Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2004 – 2008, LPPM ITB, 2009

Referensi

Dokumen terkait

Yasaratodo Wau, M.Pd dijelaskan mulai dari pengertian dan hakikat profesi seorang guru, jabatan profesionalisme guru dalam pendidikan, peranan guru dalam

Perangkat sistem instrumentasi dan kendali ini siap digunakan untuk mengatur catu daya pada sumber elektron tiga elektroda. o

Analisis Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan terhadap Kinerja Perawat dalamMelaksanakan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Mataram. Jurnal Kesehatan

Program yang akan dibuat sebagaimana mestinya untuk memudahkan penghitungan. Aplikasi ini dibangun untuk memudahkan pengguna, dimana kasus ini ditujukan kepada

Karena itu dapat dikatakan bahwa lembaga “ ngge’e ada ” (tinggal Budak) menurut pihak istana adalah penyerahan hasil pertanian yang dikerjakan oleh budak-budak atas tanah

Usaha yang dilakukan oleh guru Madrasah Tsanawiyah Negeri Pucanglaban yaitu guru selalu memberi memotivasi siswa dengan cara memberikan wawasan tentang pentingnya

Creativity (kreativitas): Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami atau guru menyampaikan beberapa pertanyaan pemicu kepada siswa berkaitan dengan upacara

Risiko waktu : waktu yang sia-sia yang akan dihabiskan konsumen karena mengkonsumsi atau membeli suatu produk atau jasa. Risiko hilangnya kesempatan : hilangnya kesempatan