• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR AL- SULṬON. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR AL- SULṬON. Skripsi"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

i

KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR AL- SULṬON

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Mochamad Fauzan NIM 11150340000252

OVER

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

KARYANYA TAFSIR AL-SULṬON

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Mochamad Fauzan NIM 11150340000252 Pembimbing Syahrullah, MA. NIP 197808182009011016

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M

(3)

iii

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI

BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR AL-SULTON telah diujikan

dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

Jakarta, 7 Maret 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretatis Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag NIP. 19710217 199803 1 002

Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Moh. Anwar Syarifuddin, MA NIP. 19560417 198603 2 001 Fasjud Syukroni, MA NIDN. 9920113567 Pembimbing, Syahrullah, MA NIP. 19780818 200901 1 016

(4)

iv Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Mochamad Fauzan NIM : 11150340000252

Judul Skripsi : KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI

BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR

AL-SULṬON

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 November 2020

(5)

v

ABSTRAK Mochamad Fauzan

Konsep al-Rahmān Perspektif Fahmi Basya dalam Karyanya Tafsir

al-Sulṭon

Dalam perkembangan Khazanah Tafsir, bermunculan berbagai macam Tafsir dengan metode dan corak yang berbeda, salah satunya adalah Tafsir al-Sulṭon karya Fahmi Basya. Permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang pendapat kontroversialnya terhadap arti kata al-Rahmān. Al-Rahmān yang diartikan sebagai “Maha Pengasih” itu tidak rasional. Menurutnya, kata al-Rahmān lebih cocok diartikan sebagai “Maha Pengatur” seperti contoh dalam QS. Al-Mulk[67]: 19 yang menjelaskan tentang fenomena burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya, menurutnya fenomena diatas itu merupakan masalah pengaturan. Mengapa? Karena orang dahulu memahami makna kata al-Rahmān itu dengan melihat akar katanya padahal dalam ayat ini Allah menyuruh kita untuk melihat ke burung.

Dalam penelitan ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research). Oleh karena itu pada mulanya penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai sumber informasi seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan lain-lainya. Adapun temuan dalam penelitian ini yaitu bahwasannya Fahmi Basya merupakan seorang pemikir, saintis yang kaya akan pendapat, mampu menyelami banyak makna, serta menolak taklid dan lebih mengandalkan akal (ra‟yu). Kemudian dalam melakukan penafsiran al-Qur‟an itu dengan menerapkan metode Ijmali (global) sehingga lebih mudah dipahami tanpa berbelit-belit.

Kata Kunci: Al-Rahmān, Al-Qur‟an, Al-Sulṭon.

(6)

vi

Segala puji bagi Allah SWT. Karena telah memberikan rahmat nikmat serta anugrah-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ KONSEP AL-RAHMĀN PERSPEKTIF FAHMI

BASYA DALAM KARYANYA TAFSIR AL-SULṬON ”. Ṣhalawat

serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga dan para sahabatnya manusia untusan Allah, dengan perantara-Nya lah kita mendapatkan nikmat Iman dan Islam.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak luput dari dukungan, arahan, serta bantuan dari banyak pihak secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Imu Al-Qur‟an dan Tafsir, Dr. Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH. Selaku Sekretaris Program Studi, dan seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan, juga memberikan masukan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah berkenan memberikan masukan kepada penulis dan meluangkan waktunya di tengah kesibukannya.

(7)

vii

5. Syahrullah, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia memberikan waktunya di tengah kesibukan beliau. Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, arahan, masukam, saran, dan juga motivasi selama proses penyusunan skripsi ini.

6. Kedua Orang tua yang selalu memberikan kasih sayang nya dan selalu mendoakan, serta memberikan semangat, perhatian yang semuanya dibungkus dengan ketulusan, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman-teman Keluarga Mahasiswa Majalengka Jakarta (KEMKA) Jakarta, Forsila Bpc, Prodi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan 2015 dan kolega Buntu Literasi, Ade Samsul Falah, SH, Ali Nur Alizen, Abdul Rofik, Oman Kholilurahman, S.Hum yang telah memberikan banyak pengalaman serta keluasan dalam berfikir. Proses itu pula yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kepada Nur Aida yang selalu membantu sekaligus menyemangati, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih banyak.

Jakarta, 10 November 2020

(8)

viii

Pedoman Transliterasi Arab latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. No: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf latin dapat dilihat pada halaman berikut ini:

Huruf Arab Huruf Latin Nama

ا

- Tidak dilambangkan

ب

b Be

ت

t Te

ث

ṡ Es (dengan titik di atas)

ج

j Je

ح

ḥ Ha (dengan titik di bawah)

خ

kh Ka dan Ha

د

d De

ذ

ż Zet (dengan titik di atas)

ر

r Er

ز

z Zet

س

s Es

ش

sy Es dan Ye

ص

ṣ Es (dengan titik di bawah)

ض

ḍ De (dengan titik di bawah)

ط

ṭ Te (dengan titik di bawah)

(9)

ix

ع

„ Apostrof terbalik

غ

gh Ge

ؼ

f Ef

ؽ

q Qi

ؾ

k Ka

ؿ

l El

ـ

m Em

ف

n En

و

w We

ى

h Ha

ء

` Apostrof

ي

y Ye

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa ditandai apapun. Jika ia terletak ditengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (`).

B. Tanda Vokal

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap yang disebut dengan diftong. Untuk vokal tunggal sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ََ

a Fatḥah

َِ

i Kasrah

(10)

Adapun vokal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ىََ

ai A dan I

وََ

au A dan U

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

َ اى ā a dan garis di atas

يٍى ī i dan garis di atas

وُى ū u dan garis di atas

C. Kata Sandang

Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf syamsiyah dan qamariyah.

Al – Qamariyah

ْيِنلدا

Al – Munīr

Al – Syamsiyah

ؿاَجِرلا

Al – Rijāl

D. Syaddah (Tasydid)

Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan ” َ ْ “ ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:

Al – Qamariyah َُةَّوُقلا Al – Quwwah

(11)

xi

E. Ta marbūṭāh

Transliterasi untuk ta marbūṭāh ada dua, yaitu: ta marbūṭāh yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, Kasrah dan Ḍammah, transliteraisnya adalah [t]. sedangkan ta marbūṭāh yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h]. kalau pada kata yang berakhir ta marbūṭāh diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭāh itu ditransliterasikan dengan ha (h). contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

1 َ ة ق يِر ط Ṭarīqah

2 َِةَّيِم لا سِلإاَُة عِما جلا Al – Jāmi‟ah al – Islāmiah

3 َِدوُجُولاُة د ح و Waḥdat al – Wujūd

F. Huruf Kapital

Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang harus ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal bukan atau kata sandangnya. Contoh: abū Hāmiīd, Ghazālī, al-Kindī.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Indonesia sendiri disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „And al-Samad al-Palimbānī., Nuruddinal-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

(12)

G. Penulisan Kata Arab Yang Lazim digunakan dalm Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan Bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan Bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟an (dari al-Qur‟ān), sunnnah, khusus dan umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fī Ẓilāl al-Qur‟ān

(13)

xiii

DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ...xv

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat ... 5

D. Tinjauan Pustaka... 6

E. Metodologi Penelitian... 8

BAB IISKETSA BIOGRAFI FAHMI BASYA...11

A. Personal ... 11

1. Latar Belakang Keluarga ... 11

2. Latar Belakang Pendidikan ... 11

3. Kiprah Sosial ... 12 4. Corak Pemikiran ... 13 5. Karya Intelektual ... 15 B. Tafsir Al-Sulṭon... 16 1. Latar Penulisan ... 16 2. Sumber Penafsiran ... 17

3. Metode dan Sistematika Penafsiran ... 18

(14)

BAB IIITINJAUAN UMUM KATA AL-RAHMĀN ... 21

A. Pemahaman Semantik Term al-Rahmān ... 21

B. Tinjauan Mufassir Terhadap Term al-Rahmān ... 30

C. Letak dan Penyebutan Kata al-Rahmān dalam al-Qur‟an ... 32

BAB IVANALISIS KONSEP AL-RAHMĀN FAHMI BASYA... 45

A. Makna Kebahasaan Term al-Rahmān Menurut Fahmi Basya ... 45

B. Pendekatan Matematis Fahmi Basya Terhadap Term al-Rahmān dalam al-Qur‟an ... 48

C. Pendekatan Sains Fahmi Basya Terhadap Konsep al-Rahmān dalam Al-Qur‟an ... 56

D. Penafsiran dan Kritik Term al-Rahmān Fahmi Basya ... 59

BAB VPENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Contoh makna denotasi ... 23 Tabel 3. 2 Contoh makna denotasi dan konotasi ... 23 Tabel 3. 3 Contoh makna leksikal ... 24

(16)
(17)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada tabi‟atnya umat islam mempercayai dalam hati bahwa al-Qur‟an dengan segala kemujmalannya senantiasa sesuai dengan waktu dan tempat Ṣahīh lī kulli zamān wa makān. Al-Qur‟an yang turun pada zaman Rasulullah Saw, yang mana berbeda waktu dan tempat dengan sekarang tentunya, maka al-Qur‟an butuh penyajian yang sesuai agar Ṣahīh lī kulli zamān wa makān, namun ketika cara menyajikan al-Qur‟an saat ini tidak lagi sesuai dengan karakter manusia modern, maka secara otomatis membutuhkan tambahan penjelasan penyederhanaan dan penyajian dengan cara bertahap dan sempurna.1 Oleh karenanya kita perlu mengenali terlebih dahulu beberapa pendekatan, dan salah satu pendekatan yang harus diperkenalkan agar mendapatakan pemahaman yang komprehensif2 Terhadap al-Qur‟an adalah yang dinamakan dengan pendekatan sintetik analitik.3

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat islam yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia yang berisikan nilai-nilai universal. Dari sisi teks, al-Qur‟an memang tidak ada perubahan ataupun pengurangan.4 Sifat keterjagaan ini biasanya dirujuk pada QS. Al-Hijr [15]: 9 karena itu al-Qur‟an mempunyai sifat-sifat statis,5

hal ini bisa menjadi salah satu bukti bahwa keaslian teksnya terjaga, tidak satupun penambahan ayat dan

1

Ibrahim El-Deeb, Bee A Living Qur‟an :Petunjuk Praktis penerapan Ayat-ayat

al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari ( Ciputat, Tangerang Selatan : Lentera Hati,

2009) , 3.

2 Dalam Kamus Ilmiah Komprehensif yaitu mengandung pengertian yang luas dan

menyeluruh.

3

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, cet. VIII (Bandung : Mizan, 1998), 327.

4

M. Quraish Shihab, Dalam Sejarah dan Ulumul Qur‟an ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 50.

5

(18)

pengurangan kepadanya oleh pergantian periode-periode zaman yang melingkupinya.

Sebagai kitab pembawa petunjuk kehidupan umat manusia, maka tidak heran jika perjalanannya dari masa penurunan hingga sekarang banyak perhatian yang dicurahkan untuk menggali petunjuk dan memperoleh pemahaman al-Qur‟an.6 Apresiasi ini kemudian dituangkan dalam jutaan jilid buku generasi ke generasi. Produk apresiasi berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran, karena al-Qur‟an ibarat permata yang memancarkan cahaya beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing.7

Pada masa periode pertengahan sudah terlihat tanda-tanda bergesernya tradisi penafsiran dari Tafsīr bi al-ma‟tsūr ke bi al-ra‟yī, dengan melibatkan rasio yang semakin besar maka membuka keluasan apresiasi dalam menafsirkan al-Qur‟an dengan corak dan kecenderungan sesuai dengan disiplin ilmu penafsirnya8, kemudian yang menjadi garis besarnya adalah teks al-Qur‟an merupakan sistem tanda, meskipun terbatas tetapi ia tetap mengandung makna yang beragam karena adanya proses pemaknaan atau penafsiran oleh para mufasirnya.9

Al-Qur‟an diidealisasi sebagai nilai sakral dan transendental, sementara dipihak lain realitas sosial harus yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional dan materialistis. Akhirnya, seoalah-olah al-Qur‟an yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Tidak salah memang, namun yang harus perlu kita ketahui, alangkah baiknya kita juga mentransendensikan al-Qur‟an supaya

6

Rusdi, “Al-Qur‟an dan Dialektika Kebudayaan” ( Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2009), 9.

7

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an dan Tafsir atas Pelbagai Persoalan

Umat Islam (Bandung, Mizan, 1998), 3.

8

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur‟an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), 90.

9 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi

(19)

3 pemahaman kita terhadapnya tidak terbatasi oleh warisan historis kita.10 Oleh karena itu perlu adanya tafsir untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan al-Qur‟an tersebut.11

Pada dasarnya agama diturunkan untuk membimbing dan mendamaikan kehidupan manusia, maka agama memiliki kitab suci dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi yaitu al-Qur‟an al-Karim. Al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang didalamnya mencakup segala sesuatu meskipun hanya bersifat global. Maksudnya, pemahamannya itu mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi dan sekaligus merupakan kalam mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.12 Karena terdapatnya ayat-ayat al-Qur‟an yang bersifat umum sehingga memerlukan sentuhan akal untuk memahami rinciannya, 13 walaupun memang pada dasarnya pencapaian terhadap kebenaran mutlak merupakan suatu hal yang mustahil, tetapi usaha untuk terus interpretasi, reinterpretasi kembali yang continu diharapkan akan dapat membawa pada pencapaian idealita dari suatu agama.14

Dalam memahami makna al-Qur‟an bisa jadi setiap orang yang membaca, meneliti, mengkaji dan menafsirkan suatu ayat dari al-Qur‟an itu merasa puas dengan apa yang dia ketahuinya, tetapi tidak menutup kemungkinan juga adanya orang lain yang melakukan hal yang sama justru menemukan makna-makna lain yang berbeda.15

Dalam perkembangan khazanah tafsir, bermunculan berbagai macam tafsir dengan metode dan corak yang berbeda, salah satunya

10 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 332. 11

Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsīr al-

Misbāh, cet. I (Jakarta, Amzah: 2015), 3-4.

12

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manâr, juz 1 ( Mesir, Dâr al-Manâr ), 143-151.

13

Said Agil Husain Al-Munawwar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki, cet.III (Jakarta: Ciputat Press, 2004) , 12.

14

Adi Fadli, “Al-Qur‟an dan Pluralisme Agama perspektif Mahmoud Mustofa Ayub”. Ulumuna, vol. ix edisi 15, no.1( Januari-Juni 2005) , 1.

15

(20)

adalah Fahmi Basya, dengan latar belakang keilmuan dibidang eksaknya dia intens menggali dan mencari maksud yang diungkapkan dalam kalam-kalam ilahi. Fahmi Basya adalah seorang Ahli Matematika Islam yang telah mendapatkan berbagai macam penghargaan atas karyanya itu, sehingga pikiran dan penemuannya dia tuangkan dalam bentuk tulisan dalam buku dan power point hingga penjelasannya dalam bentuk video yang diupload melalui sosial media yang dinamainya sebagai Flying Book, 16

dan juga dia menyebarkannya dalam laman facebooknya.17 Materi yang disuguhkannya merupakan apresiasi dia terhadap al-Qur‟an, yang mana di dalam al-Qur‟an itu sendiri terkandung isyarat-isyarat ilmu pengetahuan sehinga mendorong untuk merefleksikannya sebagai tanda-tanda keagungan Tuhan pencipta alam.18

Salah satu pemikiran Fahmi Basya adalah pendapat kontroversialnya tentang arti kata al-Rahmān. Menurutnya, al-Rahmān yang diartikan dengan “Pengasih” adalah tidak rasional, menurutnya kata al-Rahmān lebih cocok dimaknai dengan “pengatur”, berangkat dari argumennya ini dia memberikan contoh ayat yang menjelaskan ketidakcocokannya al-Rahmān sebagai “pengasih”, ayat yang dikemukakan adalah Q.S Maryam:19:45 yang berbunyi “ Hai bapakku, aku takut mengenai kamu azab dari al-Rahmān, maka jangan jadikan setan sebagai kawan.19

Berbagai macam penemuannya terdapat dalam buku tentang Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, Risalah Rob ku (One Million Phenomena) dan lain-lain. Pendapat-pendapatnya melalui penemuannya itu kerap menimbulkan kontroversi di kalangan agamawan, sejarawan bahkan akademisi sekalipun, seperti hal yang ditemukan oleh Fahmi

16

File yang berbentuk flying book ini dapat dikunjungi melalui website https://m.youtube.com/watch?v=51nZJ5yo&feature=youtu.be. Diakses pada tanggal 7 Agustus 2019

17

https://www.facebook.com/KH-Fahmi-Basya-570821729608320/. Diakses pada tanggal 7 agustus 2019

18

Ahmad Dallal, Al-Qur‟an Sains dan Ilmu Sosial terj. Lien Iffah Naf‟atu Fina (Yogyakarta: eLSAQ, 2010) , 4.

19

(21)

5 Basya mengenai penemuannya dalam makna kata al-Rahmān, dengan latar belakang keilmuannya dalam menafsirkan ayat ini membuat penulis ingin mengatahui bagaimana Fahmi Basya meneliti kata al-Rahmān sehingga dapat berbeda dengan penafsiran lainnya, lalu melalui pendekatan apa beliau menginterpretasikan kata al-Rahmān itu, serta masih terdapat ruang yang kosong untuk melakukan penelitian tentang hal ini.

B. Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi sub-sub permasalahan menjadi tiga yaitu:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan masalah yang dikemukakan tentang konsep al-Rahmān oleh Fahmi Basya, masalah yang menjadi pemerhati penulis yaitu: masih minimnya masyarakat dalam mengetahui tafsiran kata al-Rahmān dan kitab al-Sulṭonnya karya Fahmi Basya.

2. Batasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis perlu memberikan batasan masalah dalam penelitian ini, pembatasan tersebut hanya membahas tentang pemaknaan kata al-Rahmān oleh Fahmi Basya.

3. Rumusan Masalah

Adapun pembahasan dalam tulisan ini dirumuskan ke dalam pertanyaan utama yaitu: Bagaimana konsep al-Rahmān menurut Fahmi Basya serta bagaimana pendekatan dan metode yang digunakan dalam penafsirannya?

C. Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka tujuan yang dicapai oleh penulis adalah:

(22)

1. Mengetahui konsep yang ditawarkan oleh Fahmi Basya dalam penafsiran kata al-Rahmān.

2. Mengetahui pendekatan dan metode yang digunakan oleh Fahmi Basya. Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain:

1. Memberikan kontribusi terhadap wacana telaah pemikiran tokoh. 2. Menjadi pijakan bagi peneliti selanjutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil pengamatan penulis ada beberapa hasil penelitian skripsi, meskipun demikian penelitian skripsi yang dibahas itu berbeda dengan penelitian penulis ini. Meskipun pembahasannya sama namun objek kajiannya berbeda, berikut ini adalah penelitian berdasarkan variabel Fahmi Basya yaitu:

Muhammad Nadjib, Kisah Negeri Saba‟ dalam al-Qur‟an (Studi Kritis Pemahaman Fahmi Basya) skripsi, Semarang : Jurusan Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016. Meskipun pembahasan dalam skripsi ini sama yaitu membahas pemikiran Fahmi Basya namun objek kajiannya berbeda dengan yang diangkat penulis. Perbedaannya adalah objek kajian yang dipilih Muhammad Nadjib berkenaan tentang Negeri Saba‟ dalam al-Qur‟an, sedangkan objek kajian penulis adalah terjemahan kata al-Rahmân dalam al-Qur‟an.20

Siti Fatimah, Fenomena Alam Kaum Saba‟: Studi Analisis Surat Sabā Ayat 15-17, Skripsi, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Yang dibahas dalam Skripsi ini sama seperti

20

Muhammad Nadjib, “Kisah Negeri Saba‟ dalam al-Qur‟an Studi Kritis Pemahaman Fahmi Basya” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2018)

(23)

7 apa yang penulis angkat yaitu membahas pemikiran Fahmi Basya, namun yang membedakan adalah objek kajiannya.21

Mannan az-Zaidi, Konsep Arsy Menurut Fahmi Basya, Skripsi, Yogyakarta, Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, 2016. Penulisan Skripsi yang diangkat olehnya ini tentunya berbeda dengan penulis. Kajian yang diangkat oleh Mannan berkenaan dengan Konsep Arsy, hal ini jelas berbeda dengan objek kajian yang penulis angkat.22

Rini Susanti, Studi Kritis Pemikiran Fahmi Basya Tentang Kisah Nabi Sulaiman dalam Buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, Skripsi ini memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, karena ruang lingkup yang dibahas tergolong sama yaitu mengkritisi pemikirannya Fahmi Basya, namun hanya objek penelitiannya saja yang berbeda.23

Dumair, Negeri Sabā dalam Al-Qur‟an, Skripsi, Yogyakarta Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2016. Penelitian yang diangkat olehnya hanya fokus pada kajian tahlili terhadap al-Qur‟an, berbeda objeknya dengan penelitian penulis yang membahas tentang penafsiran Fahmi Basya.24

Latania Fizikri, Kekeliruan dalam Buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman Karya Fahmi Basya. Skripsi ini hanya fokus pada

21

Siti Fatimah, “Fenomena Alam Kaum Saba‟: Studi Analisis atas Surat Saba‟ ayat 15-17” ( Skripsi S1.,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).

22

Mannan az-Zaidi, “Konsep Arsy Menurut Fahmi Basya” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.)

23

Rini Susanti, “Studi Kritis Pemikiran Fahmi Basya tentang Kisah Nabi Sulaiman dalam Buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.)

24

Dumair, “Negeri Saba‟ dalam al-Qur‟an” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016).

(24)

penafsiran Fahmi Basya yang terdapat unsur Al-dakhīl25 dalam karyanya yaitu Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, tentu berbeda objek penelitiannya dengan penulis.26

Fahmi Basya dalam bukunya Indonesia Negeri Saba‟. Dalam bukunya ini Fahmi Basya menguraikan bukti-bukti keberadaan Negeri Sabā di Indonesia melalui pendekatan ilmu Matematika yang dirumuskan berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an.

E. Metodologi Penelitian

Ketika melakukan sebuah penelitian dalam membuat karya ilmiah, tentunya metodologi sangat mutlak dibutuhkan guna mempermudah peneliti dan mengantarkan peneliti kepada hasil yang rasional.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat kepustakaan (library research).27 Oleh karena itu penelitian ini pada awalnyaa dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai macam data dan sumber informasi seperti buku-buku yang berkaitan dengannya, jurnal, kitab Turast dan lain-lain. Dalam mengumpulkan data dan sumber informasi bisa diakses melalui perpustakaan secara manual maupun digital, dengan demikian, penelitian ini akan sepenuhnya didasarkan pada sumber-sumber kepustakaan yang berkaitan dengan penafsiran dan terjemahan al-Qur‟an menurut Fahmi Basya.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini ada dua macam, yaitu:

25

Secara bahasa Ad-dakhil yaitu bagian dalamnya rusak, ditimpa kerusakan dan mengandung cacat. Lihat Ibrahim Mustafa, al-Mu‟jâm al-Wasith, (Turki:Dâr al-Da‟wah,1990) ,275.

26

Latania Fizikri, “Kekeliruan dalam Buku Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman Karya Fahmi Basya” (Skripsi S1., Insitut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, 2019).

27

Winamo Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik (Bandung: Tarsita,1997). 139.

(25)

9 a. Sumber Primer : Adapun yang masuk pada sumber primer adalah Tafsir al-Sulthōn karya Fahmi Basya, Flying book, dan al-Qur‟an al-Karîm.

b. Sumber Sekunder : Beberapa literatur lain seperti jurnal ilmiah, Diskursus munasabah al-Qur‟an yang ditulis Oleh Hasani Ahmad Said, Be a living al-Qur‟an yang ditulis oleh Ibrahim el-Deeb dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan pembahasan ini. 3. Teknik Analisa Data

Berikut ini merupakan langkah – langkah dan cara yang digunakan penulis dalam menganalisis data:

a. Data dari sumber tertulis yaitu sumber primer maupun sekunder yang terkait dengan topik penelitian, kemudian dikumpulan untuk selanjutnya diseleksi sesuai kerangka berfikir atau fokus penelitian. b. Data yang telah terkumpul kemudian diinterpretasikan dan dianalisis

selaras dengan tujuan penelitian. 4. Tahapan Penelitian

Adapun tahapan penelitian dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data yang yang terkait tentang skripsi ini baik itu buku, jurnal, kitab-kitab tafsir dan lain-lain.

b. Mengolah data yang sudah terkumpul kemudian mengklasifikasikan data tersebut.

c. Menganalisis data yang sudah dikumpulkan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

d. Membuat kesimpulan dari penulisan skripsi ini. 5. Teknik Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini menggunakan pedoman skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan terjemah ayat al-Qur‟an berdasarkan mushaf yang ditashih oleh Departemen Agama RI.

(26)

6. Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan yang bertujuan untuk menjelaskan tulisan ini secara universal. Sub-babnya berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, jenis penelitian, tinjauan pustaka, hingga sistematika dan teknik penulisan.

Bab II menjelaskan pembahasan mengenai biografi Fahmi Basya, latar belakang keluarganya, latar belakang pendidikan, kiprah sosial, corak pemikiran dan karya intelektual, kemudian membahas karyanya dari mulai bagaimana sistematika penulisannya, sumber penafsiran hingga metode penafsiran.

Bab III berisi pemahaman semantik term al-Rahmān, tinjauan Mufassir terhadap term al-Rahmān.

Bab IV berisi pemahaman makna kebahasaan term al-Rahmān, pendekatan Matematis Fahmi Basya terhadap tern Rahmān dalam al-Qur‟an, pendekatan Sains terhadap term al-Rahmān dalam al-al-Qur‟an, penafsiran dan kritik term al-Rahmān Fahmi Basya.

Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran tujuannya untuk memberikan jawaban atas apa yang dipersoalkan dalam rumusan masalah.

(27)

11

BAB II

SKETSA BIOGRAFI FAHMI BASYA

A. Personal

1. Latar Belakang Keluarga

Fahmi Basya lahir di Padang pada tanggal 3 Februari 1952. Ia merupakan keturunan dari keluarga terhormat. Menilik ke belakang untuk melihat garis keturunannya, ia merupakan keturunan ke-6 dari seorang Ulama besar yang berasal dari Banjarmasin yaitu KH. Muhammad Arsyad Al-Banjari. Fahmi Basya juga merupakan generasi ke-31 dari Sayyidina Husein cucu Rasulullah.1 Kemudian tidak hanya itu, ia juga dibesarkan dalam lingkungan agamis serta religius, hal itu terbukti dari bahwasannya ayah beliau adalah seorang kyai besar di tempat kelahirannya yaitu KH. Hamdi Bakri.2

2. Latar Belakang Pendidikan

Fahmi Basya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di daerahnya yaitu Padang. Ia menyelesaikan Pendidikan di Sekolah Dasar 27 Padang tersebut pada tahun 1965. Kemudian setelah lulus, ia melanjutkan studinya ke Jakarta yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 58 Jakarta dan lulus pada tahun 1968. Setelah lulus SMP ia lalu melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas Negeri yaitu di SMAN 24 Jakarta dan lulus pada tahun 1971. Lalu kemudian ia melanjutkan pendidikan Strata satu (S1) di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan Matematika di Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FMIPA) pada

1

Aep Saepudin, Misteri Kerajaan Nabi Sulaiman di Nusantara: Benarkah Candi

Borobudur merupakan warisan Nabi Sulaiman? (Yogyakarta : Buku Pintar, 2012), 235.

2Latania Fizikri, “Kekeliruan dalam Buku Borobudur dan Peninggalan Nabi

(28)

tahun 1972.3 Gelar S1 nya diraih pada tahun 1983. Setelah itu ia melanjutkan studinya di Harvard kemudian di Pesantren Gontor.4

3. Kiprah Sosial

Fahmi Basya tergolong sebagai seseorang yang aktif dari semenjak masih menempuh Sekolah dulu. Itu terbukti saat ia masih duduk di bangku SMP, ia sudah tercatat aktif sebagi anggota KAPPI. Keaktifannya juga berlanjut semasa SMA dengan ikut aktif dalam organisasi intra sekolah bahkan pernah menjabat sebagai ketua OSIS.5 Kemudian berikut ini juga diantara pengalaman Fahmi Basya6; pada tahun 1975 Fahmi Basya sudah diangkat menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Teknik Jakarta, ia mengajar Matematika pada jurusan elektro tingkat 1 dan jurusan mesin tingkat 2, selain itu di tahun yang sama juga juga ia menjabat sebagai Ketua Masjid Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba, kemudian ditahun 1982 ia bergabung dengan Korp Mubaligh Jakarta untuk berdakwah keliling kota Jakarta, belum cukup sampai disitu saja, pada tahun 1984 ia menerbitkan buku One Million Phenomena, kemudian tahun 1985 sampai 2000 ia aktif memberikan Studium General tentang Matematika di Fakultas Tarbiah IAIN Jakarta, tahun 1989 ia menjadi pembicara utama dalam seminar al-Qur‟an dan Matematika di IAIN Jakarta, kemudian pada tahun 1995 ia kembali menulis buku yang diberi judul Bumi itu Al-Qur‟an, tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1998 ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum ICMI ORSAT Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada tahun 2004 ia kembali menerbitkan buku yang berjudul Matematika Islam, dan pada tahun 2004 ia menjadi Dosen Matematika islam pertama di UIN Jakarta. Dan masih banyak lagi berbagai macam pengalaman yang telah beliau lalui sampai saat ini.

3

Latania Fizikri, “Kekeliruan dalam Buku Borobudur, ” 45.

4

Fahmi Basya, Bumi itu Al-Qur‟an: Menguak Alam Semesta melalui Matematika

Al-Qur‟an (Jakarta : Zahira, 2014), 437.

5

Latania Fizikri, “Kekeliruan dalam Buku Borobudur ,” 46.

6

(29)

13

4. Corak Pemikiran

Jika kita menelaah lebih jauh lagi terkait corak pemahaman Fahmi Basya, kita akan mengetahui bahwa ia adalah seorang yang memahami teks al-Qur‟an dengan menggunakan perspektif ilmu pengetahuan (Sains), maka sebelum kita menelisik tentang corak pemikiran Fahmi Basya, kiranya penjelasan terkait hubungan wahyu dengan ilmu pengetahuan harus dimunculkan agar kita mengetahui bagaimana titik temunya.

Di dunia barat sendiri bahkan telah muncul pandangan terkait masalah wahyu dengan ilmu pengetahuan (Sains), para pakar dunia di dua bidang tersebut memiliki pandangan yang berbeda.

Ian G. Barbour sebagaimana telah dikutip oleh Andi Rosadisastra, menjelaskan bagaimana teori munculnya empat tipologi hubungan antara Sains dengan agama atau kitab suci.7 Pertama, yaitu Tipologi konflik Golongan ini berpandangan bahwasannya agama dan ilmu pengetahuan itu saling bertentangan. Adapun tipologi ini dipimpin oleh golongan materialisme ilmiah dan golongan literalisme kitab suci. Alasan dari golongan ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat objektif, dan terbuka. Sebaliknya agama itu bersifat subjektif, tertutup, serta tidak kritis.8

Kedua, Tipologi independensi Golongan ini berpandangan bahwa sebaiknya tidak perlu adanya konflik, karena agama dan ilmu pengetahuan itu berada pada domain yang berbeda. Jadi ketika kita membahas tentang ilmu pengetahuan maka fokus kajiannya adalah alam. Sedangkan agama itu fokus kajiannya lebih kepada tatacara atau aturan bagaimana manusia berprilaku dan hubungannya dengan Tuhan.9

Ketiga, yaitu Tipologi dialog. Golongan ini lebih cenderung membandingkan kedua bidang tersebut (sains dan agama). Golongan ini

7

Andi Rosadi sastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial (Jakarta : Amzah, 2007), 15.

8

Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, 15.

9

(30)

ingin menunjukan bahwa antara sains dan agama itu sangat erat sekali hubungannya. Contoh kecilnya, ketika sains membahas persoalan diluar wilayahnya sendiri seperti misalnya, mengapa alam semesta itu serba teratur dan dapat dipahami? Dari sinilah dibutuhkan dialog antara agama dan sains guna menjawab pertanyaan tersebut. Jadi, konsep sains diperlukan untuk membahas hubungan antara Tuhan dengan dunia.10 Dari sinilah suatu dialog terbentuk ketika sains keluar dari ranah persoalannya kemudian agama menawarkan sebuah jawaban.11

Keempat, Tipologi integrasi. Golongan ini lebih mengedepankan terhadap adanya titik temu antara agama dan sains. Golongan ini menyerukan gagasan untuk melakukan perumusan ulang teologi tradisional yang lebih menjangkau dan sistematis daripada seperti apa yang dilakukan oleh golongan tipologi dialog.12

Dari berbagai macam perbedaan pandangan di atas, Fahmi Basya lebih cenderung mengikuti kelompok yang menganggap bahwasannya agama dan ilmu pengetahuan itu memiliki hubungan yang sangat erat. Dengan kata lain berarti antara agama dan ilmu pengetahuan itu tidak bertentangan. Bahkan dalam salah satu bukunya ia mengatakan banyak persoalan di dalam agama Islam membangun sains.13 Dari sinilah kemudian Fahmi Basya mencurahkan segala fikirannya untuk membuat karya yang terkait dengan hal itu. Buku yang sempat menjadi kontroversi yaitu Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman itu adalah merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya, yang dimana dalam bukunya tersebut ia mengatakan bahwa kerajaan Saba‟ itu berada di Indonesia.14

10 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, 18. 11

Bambang Ranggono, Percikan Sains dalam Al-Qur‟an: Menggali Inspirasi

Imiah (Bandung : Khazanah Intelektual, 2005), ix.

12

Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, 18.

13

Fahmi Basya, Bumi itu Al-Qur‟an, Vii.

14

Fahmi Basya, Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman (Jakarta : Zaytuna, 2014), 161-184.

(31)

15 Komaruddin Hidayat, dalam sebuah kata pengantar dalam bukunya yang berjudul Matematika Islam : Sebuah Pendekatan Rasional untuk Yakin ia mengatakan bahwa Fahmi Basya adalah orang yang sangat peka dan kreatif untuk melakukan penelitian tentang kemukjizatan al-Qur‟an dari pendekatan matematis.15

5. Karya Intelektual

Selain aktif sebagai pendakwah dan rajin mengisi seminar atau studium general diberbagai tempat terutama kampus-kampus, ia juga tak lupa mendedikasikan sisa hidupnya untuk menulis berbagai macam buku, banyak karyanya yang telah ia tulis terutama seputar Matematika dan al-Qur‟an, berikut ini diantara karya-karya nya :

a. Bumi itu Al-Qur‟an

Buku Bumi itu al-Qur‟an ia tulis pada tahun 1995, dalam bukunya ini ia mengajak bagi para pembacanya untuk memiliki paradigma bahwa ilmu eksak itu berkoneksi dengan al-Qur‟an.16 Menurutnya ilmu eksak ini semestinya harus dipelajari secara lebih detail, bahkan sudah seharusnya ilmu Sains al-Qur‟an itu diajarkan di Pesantren-pesantren dan Perguruan Tinggi.

b. Matematika Islam

Fahmi Basya semakin menunjukan ke produktifannya dalam menulis, pada tahun 2004 ia menulis buku yang diberi judul Matematika Islam. Dalam bukunya ini ia mencoba menjelaskan atau menafsirkan al-Qur‟an seperti fisika dan matematika.17

c. One Million Phenomena

Buku ini merupakan karya pertama Fahmi Basya yaitu pada tahun 1984. Buku ini menjelaskan tentang penafsiran al-Qur‟an dilihat dengan kacamata ilmu pasti. Kemudian buku ini juga ditulis saat ia berada dalam jeruji besi, penangkapan tersebut disebabkan karena usahanya untuk

15

Fahmi Basya, Matematika Islam (Jakarta : Republika, 2005), ix.

16

Fahmi Basya, Bumi itu Al-Qur‟an, 5.

17

(32)

menumbangkan rezim Soeharto, pada saat itu ia ditangkap di Masjid Arif Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI) Salemba yang mana pada waktu itu ia menjabat sebagai ketua Masjidnya.18

d. Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman

Buku ini ditulis pada tahun 2012 setelah melalui penelitan selama 33 tahun. Buku ini sempat menjadi kontroversial karena dalam bukunya ia mengatakan bahwa Kerajaan Saba‟ itu berada di Indonesia tepatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu Candi Borobudur. Dalam bukunya juga secara langsung ia membantah penelitian yang dilakukan oleh Theodor Van Erp pada tahun 1817 yang mengatakan bahwa Candi Borobudur itu merupakan peninggalan umat Budha yang dibangun oleh Wangsa Syailendra pada abad ke-8 M. Dari fenomena ini ia melakukan sebuah penilitian panjang dengan menggunakan al-Qur‟an sebagai data yang paling valid. Kemudian hasil dari penelitiannya mengatakan bahwa Indonesia adalah Negeri Saba‟ dan Borobudur merupakan kerajaan Nabi Sulaiman.19

B. Tafsir al-Sulṭon 1. Latar Penulisan

Pada abad 20 M ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Oleh karena itu umat Islam sibuk untuk mengejar ketertinggalannya dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, itu terbukti dengan lahirnya penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan (sains). Di Indonesia sendiri penafsiran dengan menggunakan metode tersebut terbilang tertinggal, perkembangan nya bisa dikatakan lambat. Bahkan karya tafsir

18

Fahmi Basya, Risalah Robbku, One Million Phenomena (Jakarta: Zahira, 2014), 3.

19

(33)

17 pertama di Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia baru terbit pada tahun 1928 yaitu Tafsîr al-Furqon karya A.Hasan.20

Fahmi Basya sebagai salah seorang ilmuan di Indonesia berupaya untuk mengejar ketertinggalan dan membuat karya tafsir yang menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Salah satu karya tafsirnya yang ber bahasa Indonesia dan bercorak Tafsîr Ilmî yaitu Tafsir al-Sulton. Kitab Tafsir al-Sulton adalah salah satu karya Fahmi Basya dari sekian banyak karyanya.

2. Sumber Penafsiran

Tafsir merupakan suatu interpretasi umat Islam terhadap al-Qur‟an dengan berbagai macam bentuk, metode dan corak yang berguna untuk mencari makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Keragaman tafsir tersebut merupakan gambaran bahwa al-Qur‟an itu bagaikan berlian yang memancarkan kilauan cahayanya ke berbagai sudut kehidupan. Dari pancaran al-Qur‟an tersebut kemudian lahirlah berbagai macam ilmu keislaman, karena memang al-Qur‟an sendiri mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian.21

Perbedaan terkait latar belakang sosial mufasir, keilmuan yang dimiliki, dan budaya merupakan dimensi yang ikut memberikan keragaman dalam corak penafsiran. Karenanya, hasil dari penafsiran merupakan produk sebuah budaya yang dipengaruhi oleh sosial budaya dan kapasitas keilmuan penafsirnya.22

20

Muhammad Nadjib, “Kisah Negeri Saba‟ dalam al-Qur‟an: Studi Kritis

Pemahaman Fahmi Basya” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2018), 95-96.

21

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut

anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟an (Tangerang: Lentera Hati, 2013) ,

5

22

Junizar Suratman, “Pendekatan Penafsiran al-Qur‟an yang Didasarkan pada Instrumen Riwayat, Nalar dan Isyarat Batin”. Intizar, vol.20, no.1 (2014): 45.

(34)

Berbicara penafsiran, suatu penafsiran tidak akan dapat terpisah dari tiga hal, yaitu: metode, corak dan bentuk penafsiran (sumber penafsiran). Bentuk penafsiran itu ada kalanya berupa bi al-ma‟tsûr (penafsiran yang bersumber dari riwayat), bi al-ra‟yî (penafsiran yang bersumber dari nalar), dan bi al-isyârî (penafsiran yang bersumber dari isyarat).

Adapun dalam Tafsir al-Sulton karya Fahmi Basya, jika dilihat dari sumber penafsirannya, ia termasuk ke dalam tafsir bi al-ra‟yî (penafsiran yang bersumber dari nalar), karena lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dalam penafsirannya dan cenderung cocokologi.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh penulis di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa Tafsir al-Sulton itu bentuk penafsirannya bercorak tafsîr „ilmî, yaitu salah satu corak penafsiran yang lebih cenderung pada ilmu pengetahuan.

3. Metode dan Sistematika Penafsiran

Metode penafsiran yang digunakan oleh Fahmi Basya dalam kitab Tafsir al-Sulton nya adalah metode Ijmali (global). Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode ini pada umumnya mudah dipahami tanpa berbelit-belit dengan pemahaman al-Qur‟an sehingga cepat dapat dimengerti oleh pembacanya.

Metode Ijmali adalah suatu metode yang digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.23

Dalam menulis Tafsir al-Sulṭon, sistematika penulisan yang digunakan oleh Fahmi Basya berbeda dengan mufassir yang lain. Penafsirannya hanya sebagai bentuk koreksian terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan yang tidak sesuai dengan pandangan nya. Seperti contoh dalam QS. Al-Mulk [67]:19.

23

Mashuri Sijojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 2005) 88.

(35)

19

َب ٍئَش ّْلُكِب ُوَّنِا ُنَْحَّْرْلا ّْلِِّا َّنُهُكِسُْيُاَم َنْضِبْقَػيَّو ٍتَّفَص ْمُهَػقْوَػف ِْيَّطْلا َلَِا اْوَرَػي َْلََوَا

ٌرْػِْصِ

“Tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? tidak ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pengatur. Sesungguhnya Dia Maha melihat segala sesuatu”. (QS. Al-Mulk [67]:19)

Adapun ayat diatas dalam Tafsir al-Sulton dijelaskan sebagai fenomena burung yang bershof dan menyempit dan kata al-Rahmân juga diartikan bukan sebagai maha pemurah. Fenomena bershof dan menyempit menurutnya itu adalah masalah pengaturan yang rumit, dan kata al-Rahmân di ayat tersebut seharusnya diartikan sebagai maha pengatur. Mengapa bisa terjadi demikian? Menurutnya, orang dulu memahami kata al-Rahmân itu melihat ke akar kata. Padahal dalam ayat tersebut menurutnya Allah menyuruh melihat ke burung.24

4. Bentuk Penyajian

Bentuk penyajian penafsiran yang dilakukan oleh Fahmi Basya adalah bentuk penyajian yang global, yaitu suatu bentuk penyajian yang singkat.

Tafsir al-Sulton disajikan dalam bentuk yang sederhana, hampir seperti terjemahan al-Qur‟an karena ia berbahasa Indonesia, model penyajiannyapun utuh, dimana satu ayat diterjemahkan seluruhnya.

Setelah ayat-ayat diterjemahkan, di bawahnya mufasir terkadang memberi catatan pada ayat-ayat tertentu yang bertujuan untuk memberi penjelasan tambahan mengenai ayat tersebut.

24

(36)
(37)

21

BAB III

TINJAUAN UMUM KATA AL-RAHMĀN A. Pemahaman Semantik Term al-Rahmān

Istilah “semantic” baru diciptakan pada abad ke-19 dari seorang berkebangsaan Yunani yang berarti “menandakan”. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa ahli memalingkan perhatiannya pada penyelidikan makna dan kata-kata. Sebaliknya, sejak dulu hingga kini ahli-ahli tata bahasa tertarik akan makna kata-kata dari pada akan fungsi sintaksisnya.1

Manifestasi praktik ketertarikan ini terlihat dari tidak terhitungnya kamus-kamus yang telah dihasilkan selama ini. Tidak hanya di barat, tetapi juga diseluruh penjuru dunia. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kategori tata bahasa tradisional banyak ditentukan oleh cara-caranya menandakan yang khusus.2

Chaer mengatakan bahwa dalam semantik itu yang dibahas adalah hubungan antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut.3

Tarigan berpendapat bahwa semantik itu adalah menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang meyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.4

Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji arti atau makna serta lambang-lambang yang memberi tanda pemaknaan dan mempunyai kedudukan ilmu yang sama dengan cabang ilmu bahasa lainnya.

Semantik sendiri memiliki tiga unsur, yaitu:5

1

Djaja sudarma. Semantik I, Pengantar ke arah Ilmu Makna. (Bandung: Eresco,1993), 2.

2

Imam Hidayat. Semantik dan Perkembangan Bahasa. (Yogyakarta: Kasturi Pres,1995), 1.

3

Abdul Chaer . Lingustik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 37.

4

(38)

1. Tanda atau Simbol

Tanda atau simbol merupakan dua unsur yang terdapat dalam bahasa. Tanda atau simbol itu sendiri dikembangkan menjadi sebuah teori yang dinamakan semiotik. Semiotik kemudian mempunyai beberapa aspek yang sangat berkaitan dengan ilmu bahasa, yaitu; aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik.

2. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah bagian yang terkecil di dalam sistem makna suatu ilmu bahasa yang keberadaannya dapat dibedakan dari bagian terkecil lainnya. Sedangkan hubungan referensial yaitu hubungan yang terdapat diantara sebuah kata dan dunia luar bahasa yang diacu oleh pembicaraan.

3. Penamaan

Penamaan, diartikan Kridalaksana yaitu sebagai suatu proses pencariaan lambang bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses dan sebagainya, biasanya dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-perubahan makna atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata.

Jenis-jenis makna dalam semantik : a. Makna Denotasi dan Konotasi

Makna denotasi ialah makna yang menunjukan arti langsung pada acuan makna dasarnya.6

5

Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik Edisi Keempat. ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 58-59.

6 Ahmad Ibn Faris, Mu‟jam Muqāyīs Lugah, Juz 4, dalam Maktabah

(39)

23

Tabel 3. 1 Contoh makna denotasi

No Kata Makna Denotasi

1. 2. 3. Merah دْلا دسأ

Warna seperti darah

دسلجا نم ؼورعلدا وضعلا (Salah satu anggota tubuh) سِترفلدا فاوْلحا (Binatang buas/ singa)

Sedangkan makna konotasi ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang beruba nilai rasa tertentu.7

Tabel 3. 2

Contoh makna denotasi dan konotasi

No Kata Makna Denotasi Makna Konotasi

1. 2. 3. Merah دْلا دسأ Warna seperti darah دسلجا نم ؼورعلدا وضعلا سِترفلدا فاوْلحا Berani, dilarang ام ٍرمأ في بُّبستلا,ةوقلا ,ـاعنِلِّا عاجُّشلا لجرلا

Kata denotasi berasal dari kata to denote yang berarti „menunjuk‟, sedangkan konotasi berasal dari kata to connote yang berarti „menambahkan atau menempelkan sesuatu kepada sesuatu yang sudah ada‟. Dengan demikian makna konotasi pasti menempel pada makna denotasi (tidak berdiri sendiri).8

b. Makna Leksikal dan Gramatikal

Makna leksikal ialah bentuk ajektif yang diturunkan dari nomina leksikon ( vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Menurut Chaer, makna leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal ini juga dapat diartikan sebagai makna kata secara

7

Abd al-Rahmān Hasan Habannakah al-Maidānī, al-Balāgah al-„Arabiyah:

Asāsuhā wa „Ulūmuhā wa Funūnuhā, dalam al-Maktabah al-Syamilah. 628.

8

Stephen Ullmann, Semantics: An Introduction to the Science of Meaning, Terj. Sumarsono, Pengantar Semantik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) 96.

(40)

lepas, di luar konteks kalimatnya. Oleh karena itu, makna leksikal dapat pula diartikan makna yang sesuai dengan referennya atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.9

Tabel 3. 3 Contoh makna leksikal

No Kata Makna Leksikal

1. 2. 3.

تْب

ضْب

لكأ

لمّشلا عملرو بألداو ىوألدا

(Rumah/ tempat tinggal)

فاوللأا نم ضاََْػبلا

(Warna putih)

اماعط ؿوانت

(Memakan makanan) c. Makna Idiomatik

Makna idiomatik ialah kiasan atau pemakaian kata dengan makna yang tidak sebenarnya atau gabungan kata yang membentuk arti baru dimana tidak berhubungan dengan kata dasarnya. Misalnya idiom „cuci mata‟ yang berarti cari hiburan dengan melihat sesuatu yang indah, atau idiom „kambing hitam‟ yang berarti orang yang menjadi pelimpahan suatu kesalahan yang tidak dilakukannya.10

Padanan kata semantik dalam bahasa Arab disebut dengan ilmu al-dilâlâh yang berasal dari kata

ًةَلَلِِّد

-

ُّؿُدَي

-

َّؿَد

yang berati „menunjukkan‟ seperti dalam (QS. al-Saff [61]: 10).11

ٍمِْلَا ٍباَذَع نِم مُكِْجنُت ٍةَراَّْتِّ ىَلَع مُكُّلُدَأ لَى اوُنَمَأ َنيِذَّلااَهُّػيَااَي

9

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Cet. 3, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 60.

10 Idiom Ungkapan dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia”

http://organisasi.org/ (diakses pada tanggal 24 Februari 2021)

11 Abdul Wahab. Metedologi Pembelajaran Bahasa Arab (Jakarta: Genta Pres,

(41)

25 “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih”. (QS.al-Saff [61]: 10).

Dalam bahasa Arab, „ilm- al-dilâlâh itu terdiri atas dua suku kata yaitu: „ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilâlâh, yang berarti penunjukkan atau makna. Jadi, „ilm al-dilâlâh menurut bahasa ialah ilmu pengetahuan tentang makna.12

Secara terminologis, „ilm- al-dilâlâh yaitu merupakan salah satu cabang ilmu linguistik („ilm-al-lughah) yang telah berdiri sendiri atau disebut juga ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada mufrodat (kosa-kata) maupun pada tarkib (struktur).13

Ahmad Mukhtar „Umar mendefinisikan „ilm al-dilâlâh sebagai berikut:14

ِد

ْيِذَّلَا ِةَغلُّلْا ِمْلِع ْنِم ُعْرَفلا َكِلاَذ ْوَأ َنَْعَمْلا ُسُرْدَي ْيِذَّلَا ِمْلِعلْا ِوَا َنَْعلدا ُةَساَر

َػي

ِزْمَرلا ِفِ اَىُرُػفاَوَػت ِبِجاَولا ِطْوُرُّشلا ُسُرْدَي يِذَّلَا ِعْرَفلْا َكِلاَذ ْوَأ َنَْعَلدْا ُةَّيِرْظَن ُؿَواَنَػت

َنَْعَمْلا ِلَْحْ ىَلَع اًرِداَق َفْوُكَي َّتََّح

.

“Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga memiliki makna”.

Dilihat dari perspektif metode linguistik historis dan deskriptif, „ilm al-dilâlâh dibagi menjadi dua, yaitu (1) „ilm al-dilâlâh al-tarīkhīَ (semantik historis), dan (2) „ilm ad-dilâlâh al-washfī (semantik deskriptif). Pertama mempelajari perubahan makna dari masa ke masa, dan yang kedua mempelajari makna pada kurun waktu tertentu dalam sejarah suatu bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure yang pertama itu

12

Muhammad Masna, Orientasi Semantik (Jakarta: Anglo Media, 2006), 27.

13

Rianda Muhammad, Terjemah Al-Khasais (Jakarta: Rahman 2010), 38.

14

(42)

disebut studi diakronik, yaitu mengkaji tentang perubahan-perubahan makna (makna yang berubah), sedangkan yang kedua disebut sinkronik, yaitu mengkaji hubungan-hubungan makna (makna yang tetap) dari suatu bahasa dalam kurun waktu tertentu.15

Adapun ruang lingkup pembahasan „ilm al-dilâlâh berkisar pada:16 a. Al-dâl (penunjuk, pemakna yang ditunjuk, dimaknai, makna) serta

hubungan simbolik diantara keduanya.

Lafaz dalam bahasa Arab sendiri dapat dikategorikan dalam 4 bagian:17

1) Monosemi (al-Tabayyun) yaitu, satu lafaẓ yang menunjukkan satu makna.

2) Hiponimi (al-Isytimâl) yaitu, satu lafaẓ yang menunjukkan makna umum yang mencangkup beberapa arti. Dalam pengertian lain disebutkan, hiponimi ialah hubungan semantik antara sebuah bentuk kata yang maknanya tercakup dalam makna bentuk kata lain.

3) Sinonimi (al-Tarâduf) yaitu, beberapa lafaẓ yang menunjukkan satu makna meskipun tidak sama persis. Dalam pengertian lain disebut pula, sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan kata dengan satuan kata lain.

4) Polisemi (Ta`addud al-Maknâ) yaitu, satu lafaẓ yang mengandung lebih dari satu makna. Jika dua makna itu tidak saling berlawanan, maka disebut al-Musytarâk al-Lafẓī, namun apabila saling berlawanan, maka disebut al-Tadâd (antonimi).

15

Abd Karim Muhammad Hasan, Fī Ilm Dilālāh (Cairo: Dar Ma‟rifat al-Jam‟iyah, 1992), 19.

16

Abu Qasim al-Zumakhsyari, Asas al-Balāghah, Maktabah Syamilah, versi 2, 172.

17

Abu Qasim al-Zumakhsyari, Asas al-Balāghah, Maktabah Syamilah, versi 2, 172-173.

(43)

27 b. Perkembangan makna, sebab kaidahnya, hubungan kontekstual dan situasional dalam kehidupan ilmu dan seni. Perubahan makna kata disebabkan oleh:18Faktor kebahasaan, faktor kesejarahan, sebab sosial, faktor psikologis, pengaruh bahasa asing dan karena kebutuhan terhadap kata-kata baru.

c. Majaz (kiasan), majaz berbeda dari gaya. Arti majaz diperoleh jika denotasi kata atau ungkapan dialihkan dan mencangkupi juga denotasi lain bersamaan dengan tautan pikiran lain.

Adapun tujuan pokok dari penelitian semantik ialah agar pendegar dapat memahami dengan baik makna yang dimaksud dari perkataan atau pembicaraan lawan bicaranya atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya, sehingga untuk menghindari pengguna bahasa arab dari kesalahan semantik menyangkut pemilihan dan penggunaan kosa-kata agar tepat dan sesuai dengan struktur dan konteks kalimat. Termasuk juga kesalahan penggunaan istilah dan idiom.

Di dunia Arab sendiri, kajian tentang makna sudah banyak dilakukan oleh para linguis Arab. Perhatian mereka terlihat pada berbagai kegiatan, antara lain19;

a. Pencatatan makna-makna yang asing dalam al-Qur‟an b. Pembicaraan mengenai kemukjizatan al-Qur‟an c. Penyusunan kamus

d. Pemberian harokat pada mushaf al-Qur‟an

Perhatian terhadap ilmu al-dilâlâh ini telah mengantarkan kita kepada perkembangan kamus dalam bahasa Arab. Karena itu, pembahasan tentang perkamusan dalam bahasa Arab sangat erat hubungannya dengan

18

Abu Qasim al-Zumakhsyari, Asas al-Balāghāh, Maktabah Syamilah, versi 2, 173-174.

19

Taufiqurahman, Leksikologi Bahasa Arab (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), 37.

(44)

ilmu al-dilâlâh. Hal ini dapat dipahami karena salah satu fungsi perkamusan ialah memberikan pemaknaan terhadap suatu kata atau kalimat. Dengan demikian kajian tentang ilmu al-dilâlâh sudah dimulai sejak munculya kajian perkamusan yaitu pada sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, yang diprakarsai oleh Al-Khalil Ibnu Ahmad al- Farâhidi dengan kitabnya al-„Aīn.20

Dalam kalangan linguis Arab muncul salah satu nama yaitu Ibrahim Anis, guru besar bidang linguistik Arab di universitas Cairo dengan kitabnya yang berjudul Dilâlâh al-Alfâẓ, yang diantaranya membahas tentang sejarah perkembangan bahasa manusia dan bagaimana hubungan antara lafadz dan maknanya serta jenis hubungan keduanya, selain itu dibahas pula tentang macam-macam makna yaitu fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikologi.21

Sebagai bentuk konkrit dari perhatian para ulama Arab terhadap semantik ialah adanya upaya penyusunan kamus yang berlangsung melalui beberapa fase. Pertama, tahap penyusunan kata-kata dengan penjelasannya yang belum disusun secara teratur. Kedua, tahap pembukuan lafaz-lafaz secara teratur, akan tetapi berbentuk risalah-risalah yang terpisah-pisah dengan materi yang terbatas, contohnya Kitab Al-Mathâr karya Abū Zaid al-Ansharî. Ketiga, tahap penyusunan kamus secara komprehensif dan sistematis yang dipelopori oleh Al-Khalîl Ibnu Ahmad al-Farāhidi, dialah yang memberikan inspirasi bagi para ahli bahasa lainnya untuk menyusun kamus.22

Menurut Syaikh Muhammad bin Shālih al-Utsaimin, secara semantik kata al-Rahmân itu artinya Yang memiliki rahmat, kasih sayang yang luas, karena wazannya (bentuk kata) fa‟lān

(َ نلا ع ف)

dalam bahasa

20

Taufiqurahman, Leksikologi Bahasa Arab, 37.

21

Taufiqurahman, Leksikologi Bahasa Arab, 37.

22

(45)

29 Arab menunjukkan makna luas dan penuh. Semisal dengan kata „ghadhbân, ‟ artinya penuh kemarahan.23

Al-Arzami rahimahullah mengatakan; semantik dalam kata al-Rahmân artinya Yang Maha Pengasih terhadap seluruh makhluk. Dengan demikian, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Rahmân adalah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu di dunia, karena bentuk kata atau wazan fa‟lân itu menunjukkan penuh dan banyak.24

Ibnu al-Qayyim memandang bahwa kandungan semantik dalam kata al-Rahmân itu menunjukkan sifat kasih sayang pada Dzat Allah ta‟ala (yakni Allah ta‟ala memiliki sifat kasih sayang), Sehingga seakan-akan nama al-Rahmân adalah sifat bagi-Nya.25

Abdu al-Rahmân al-Sa‟di berpendapat, semantik kata al-Rahmân yang menunjukkan bahwa Allah ta‟ala memiliki kasih sayang yang luas dan agung. Nama ini meliputi segala sesuatu dan meliputi seluruh makhluk. Allah ta‟ala telah menetapkan kasih sayangnya yang sempurna bagi orang-orang yang bertakwa yang mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka mendapatkan kasih sayang sempurna yang bersambung dengan kebahagiaan yang abadi.

Adapun orang-orang yang selain mereka terhalang dari kasih sayang yang sempurna ini, karena mereka sendiri yang menolaknya dengan cara tidak mempercayai berita (Ilahi) dan malah berpaling dari perintah Allah ta‟ala. Oleh karena itu, janganlah mereka mencela siapapun kecuali diri mereka sendiri. Mereka (yang bertakwa) mengimani bahwa Allah ta‟ala

23

Ali Muhtadi “Semantik Asmaul Husna” Jurnal Muqoddam, vol. 119 (September 2013), 3.

24

Lukmanul Hakim, “Perbedaan al-Rahman dan al-Rahim ditinjau dari Aspek Morfologis, Sintaksis, dan Semantik”. Jurnal Al-Jawami, vol.23 no.6 (Juli 2008), .2.

25Sa‟id bin Abdullah al-Hamyi, Tafsir al-Rahmān al-Rahīm, alukah.net, diakses

(46)

Maha Rahman dan, memiliki rahmat yang agung, dan rahmat-Nya terkait dengan makhluk-Nya yang dirahmati.

Orang yang memperhatikan nama Allah ta‟ala al-Rahmān, bahwa Allah ta‟ala memiliki kasih sayang yang sempurna, dan kasih sayang-Nya telah memenuhi alam semesta baik yang atas maupun yang bawah, serta mengenai seluruh makhluk-Nya, serta mencakup dunia dan akhirat.26

B. Tinjauan Mufassir Terhadap Term al-Rahmân

Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam tafsir Jalālain berpendapat bahwa al-Rahmān adalah:

ِلْىَِلأ ِْيَْلخا ُةَداَرإ َيِىَو ةَْحَّْرلا يِذ ْيَأ

ِو

“Yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya”.27

Sedangkan Quraish Shihab dalam tafsir Misbāh menafsirkan al-Rahmân adalah pemeliharaan tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai dengan rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, ayat ini sebagai penegasan kedua setelah Allah sebagai Maha Pemelihara seluruh alam. PemeliharaanNya itu bukan atas dasar kesewenangan-wenangan semata, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.28

Imam Ismail bin Umar bin Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir seraya mengemukakan pendapat para ulama bahwa al-Rahmân adalah nama Ibrani bukan Arab. Dimana lafaz al-Rahmân lebih kuat dibandingkan dengan al-Rahîm, yaitu berbelas kasih di dunia maupun di akhirat.29 Para ulama berselisih pendapat, sebagian ulama menyebut al-Rahmân tidaklah

26

Qomar Suadi, “Perbedaan Ar-rahman dan Ar-rahim”. Jurnal Asyariah vol 1, no.2 (Agustus 2011), 2.

27

Abu Abdirrohman, Terj. Surat al-Fatihah (Jakarta: Sajadah, 2001), 19.

28

M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Tangerang: Lentera Hati, 2002), 5.

29

https://alhadist.com/tafsir-ibnu-katsir-surat-al-fatihah-ayat-3/ diakses pada tanggal 13 Februari 2021. Pukul 14:04

Gambar

Tabel 3. 1   Contoh makna denotasi .......................................................
Tabel 3. 3    Contoh makna leksikal

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Terhadap ketiga tafsir di atas, yang dijadikan sebagai fokus kajian penulis adalah kecenderungan tafsir bil ma’tsur dalam menjelaskan ayat-ayat tentang kebebasan

Terhadap ayat yang mempunyai asba>b al-nuzu>l dari riwayat s}ah}ih yang menjadi pegangan para ahli tafsir, maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih dahulu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir, yakni sebuah ilmu yang membicarakan mengenai aturan atau teknik dalam menjelaskan ayat-ayat Al- Qur‟an agar supaya

Penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al- Qur‟an yang tersebar dalam pelbagai surat yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh

Dyer (1982) menjelaskan iklan harus mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara tepat dengan masyarakat yang dituju sekaligus memberi citra

Menurut hasil analisis yang diperoleh bahwa konsep pendidikan Islam dalam al-Qur‟an surat al-Jumu‟ah ayat 1-5 menurut tafsir al-Maraghi adalah konsep pendidikan Islam

Tafsir „ilmi adalah sebuah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur‟a>n yang mengandung isyarat ilmiah dari perspektif ilmu pengetahuan modern.13 Menurut H}usain az\-Z\aha>bi “interpretasi

“Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Wacana Pluralisme Agama dalam Al-Qur‟an Surat Al-An‟am Ayat 108 Pada Tafsir Fi Zhilal Al-Qur‟an.” Sophist : Jurnal Sosial Politik Kajian Islam dan