• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengemukakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dalam sistem dan proses pendidikan, guru memegang peranan yang sangat penting. Salah satu peran penting tersebut adalah mewujudkan tujuan pembangunan nasional sehingga perlu dikembangkan tenaga profesi guru yang bermartabat dan profesional (Mulyasa, 2007).

Guru profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat (Mulyasa, 2007). Dari uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa sebenarnya tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang guru sangatlah besar (Djamarah, 2000). Agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab terhadap suatu hal dengan baik, seseorang memerlukan keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya atau yang disebut self-efficacy (Bandura, 1997). Self-efficacy guru merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang guru terhadap kapasitasnya

(2)

untuk mempengaruhi peforma siswa dan juga dapat memberikan kinerja yang baik (Bandura, 1997).

Dalam mencapai kinerja dan proses pembelajaran yang baik di sekolah perlu diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Sejalan dengan pendapat Laeis, Prayitno (1991) juga menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah yaitu kepala sekolah dan para staff pemimpin; pendidik meliputi guru-guru yang mengajar di kelas; bimbingan dan konseling yaitu konselor sekolah beserta staf yang berwewenang di bidang bimbingan dan konseling.

Berdasarkan pendapat dua tokoh di atas, terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling di sekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan. Sukma (2009) juga menyatakan bahwa peranan guru bimbingan konseling (BK) memiliki andil cukup besar terhadap laju pendidikan, sama pentingnya dengan guru-guru di bidang yang lain.

Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Guru BK yang lazim disebut sebagai guru BP bukanlah sebuah sistem yang berbeda dalam roda kependidikan yang digelar dan bukan lagi sebagai dua hal yang terpisah melainkan dua hal yang setara yang bersifat komplementer dan kolaboratif (Winkel & Hastuti, 2006).

(3)

Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional), selain itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan bahwa “konselor sekolah adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah” yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing (Dahlani, 2008). Konselor sekolah memiliki tugas membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, pengembangan kehidupan sosial, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan karir (Laeis, 2009).

Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009) peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal ini terjadi disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah. Menurut Sukadji (2000) beberapa kepala sekolah menganggap tidak perlu ada petugas khusus untuk bimbingan. Selain itu masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas bimbingan dan konseling di sekolah (Winkel, 1991).

Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru akan arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah mengakibatkan tugas konselor semakin tidak jelas (Winkel, 1991). Wibowo (dalam Laeis, 2009) juga mengungkapkan bahwa dalam prakteknya banyak terjadi penyimpangan terhadap peran guru BK atau bisa juga disebut mal praktek, misalnya guru mata pelajaran yang menjadi guru BK atau sebaliknya justru guru BK yang mengajarkan pelajaran. Pengangkatan guru BK di sekolah-sekolah juga sering tidak diambil dari lulusan program studi bimbingan dan konseling di perguruan tinggi, namun

(4)

justru diambil dari disiplin ilmu lain. Selain itu posisi guru BK identik pada sosok guru senior, berpengalaman, atau minimal pernah menjadi kepala sekolah (Harian pendidikan, 2009). Hal ini juga dapat kita lihat dari hasil wawancara yang dilakukan pada ibu EP, salah satu guru BK di SMA swasta Medan:

“…saya sih bukan tamatan dari jurusan Bimbingan dan Konseling, saya memang tamatan dari IKIP tapi jurusan Bahasa Indonesia soalnya pas penerimaan guru BP di sekolah ini dulu gak harus dari jurusan Bimbingan dan Konseling jadi saya daftar saja, sebelumya juga saya pernah mengajar bahasa indonesia di sekolah ini …”

(Komunikasi personal, 8 Januari 2010)

Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009), latar belakang pendidikan yang

tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan untuk menghukum anak semata. Pernyataan ini juga diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan Lia (bukan nama sebenarnya) seorang siswa di salah satu sekolah swasta Medan, mengenai peran guru BK di sekolahnya:

“…klo di sekolah kak biasanya guru BP kami hanya mengurusi keterlambatan siswa, klo ada siswa yang terlambat biasanya kena hukum sama guru BP trus klo ada yang gak menaati aturan gitu kak kena hukum juga sama kepala sekolah, misalnya bajunya keluar-keluar ato rok diatas lutut..gitu kak…”

(Komunikasi personal, 8 Januari 2010)

Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat tersebut akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut. Pengangkatan konselor sekolah dari program studi BK diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi konselor sekolah, karena mereka telah memahami secara tepat ruang lingkup dari bimbingan dan konseling tersebut

(5)

(Laeis, 2009). Hal ini juga didukung oleh wawancara yang dilakukan dengan ibu AG, salah satu Konselor Sekolah di SMA swasta Medan:

“….saya tamatan dari BK jadi saya tahu benar pelaksanaan BK itu, dan sekolah ini juga sangat mendukung kinerja saya sebagai konselor di sekolah ini dan kami juga telah menerapkan bimbingan pola 17….menurut saya guru BP sangat penting ada di sekolah dan tidak perlu ditakuti oleh siswa dan sudah selayaknya guru BK itu jadi sahabat siswa, dan saya ingin mengubah stigma yang mengatakan bahwa guru BP adalah polisi sekolah… selain itu siswa-siswa disini juga senang kepada saya, bahkan mereka terkadang ngantri di depan ruang BK hanya untuk curhat…” (Komunikasi personal, 1 Februari 2010)

Berbeda dengan hasil wawancara di atas, walaupun konselor telah diangkat dari program studi BK ternyata masih ada kegiatan BK yang dijalankan belum sesuai dengan semestinya. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan dengan bapak LM, salah satu Konselor Sekolah di SMA swasta Medan:

“…tugas saya disini hanya mengontrol perilaku siswa yang bermasalah…kalau untuk membimbing masalah akademik atau masalah keluarga anak-anak mungkin lebih terbuka pada wali kelasnya, belum pernah ada siswa yang mau curhat pada saya, kecuali karena saya panggil…saya memang tamatan dari jurusan bimbingan dan konseling…seharusnya tugas saya lebih dari itu tapi sejauh ini itulah yang terjadi, ya saya jalani ajalah..lagian pihak sekolah juga menugaskan saya hanya untuk melaksanakan hal tersebut... ”

(Komunikasi personal, 30 Januari 2010)

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada tangga 4 Februari 2010, ternyata beberapa sekolah di kota Medan juga tidak memiliki konselor sekolah, pihak sekolah menganggap bahwa konselor sekolah tidak terlalu dibutuhkan. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan ibu ES salah seorang guru di sekolah swasta Medan:

(6)

“...disekolah ini tidak ada konselor atau guru BK...karena menurut kami guru BK itu tidak terlalu penting, kami masih bisa kok mengatasi masalah-masalah siswa, jd saya rasa juga memang tidak perlu...dan menurut saya kepala sekolah juga sangat cukup memperhatikan siswa, jadi gak perlu ada guru khusus untuk menangani siswa.. ”

(komunikasi personal, 4 Februari 2010)

Berdasarkan uraian data di atas dapat kita ketahui bahwa sebenarnya fungsi konselor sekolah di kota Medan belum optimal dimana hal ini dikarenakan dalam melaksanakan tugasnya konselor sekolah masih banyak mengalami rintangan. Untuk menghadapi rintangan tersebut maka seorang konselor sekolah diharapkan hendaknya memiliki self-efficacy (Maldonado, 2008), dimana jika seseorang memiliki self-efficacy yang tinggi maka seseorang akan menghadapi rintangan tersebut sebagai tantangan bukan sebagai ancaman (Bandura, 1997).

Dalam menghadapi rintangan, konselor sekolah harus memiliki keyakinan akan kemapuan dan keterampilan yang dia miliki untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama ketika berhadapan dengan klien (siswa), keyakinan seperti inilah yang sering disebut self-efficacy oleh Bandura (dalam Maldonado, 2008). Ketika seorang konselor memiliki self-efficacy maka konselor akan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik terutama ketika berhadapan dengan klien (Maldonado, 2008)

Dalam penelitiannya Runner dan Hokanson (2006) menemukan bahwa

self-efficacy guru dipengaruhi oleh sistem sekolah dimana individu bekerja. Self-efficacy guru akan meningkat apabila lingkungannya memberikan dukungan

positif. Selain itu menurut Wolfoolk (dalam Shaughnessy, 2004) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah dan kualitas fasilitas yang diberikan

(7)

juga mempengaruhi Self-efficacy guru. Hal ini juga berlaku pada konselor sekolah, dimana Kaczmarek, dkk (dalam Henson, 2001) menemukan bahwa

self-efficacy konselor juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia melakukan

aktivitas. Selain itu dalam penelitiannya Maldonado (2008) juga menemukan bahwa respek dari orang tua dan murid juga memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan self-efficacy konselor sekolah terutama ketika berhadapan dengan situasi pekerjaan yang sulit.

Menurut Ratna (2008) dalam kehidupan manusia, memiliki self-efficacy merupakan hal yang sangat penting dan self-efficacy dapat mendorong seseorang untuk memahami secara mendalam atas situasi yang dapat menerangkan tentang mengapa seseorang mengalami kegagalan dan keberhasilan. Pintrich, dkk (dalam Henson, 2001) menemukan bahwa dengan adanya self-efficacy maka motivasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas dapat meningkat. Selain itu

self-efficacy juga merupakan cara pandang seseorang terhadap kualitas dirinya sendiri,

baik atau buruk, dan self-efficacy tersebut dapat dibangun sesuai karakteristik seseorang dan bersifat khusus (Ratna , 2008).

Bandura (dalam Zulkaida, dkk., 2007) menjelaskan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Myers (1996) mengatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Sementara Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting

(8)

perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai.

Self-efficacy konselor sekolah merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh

seorang konselor terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa (Maldonado, 2008). Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) juga menyatakan bahwa self-efficacy konselor dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan tentang kemampuan dan keterampilan mereka untuk menghadapi klien secara efektif. Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah dapat mempengaruhi banyak hal. Dengan tingginya

Self-efficacy yang dimiliki, seorang konselor sekolah dapat menampilkan kinerja

yang baik, ia akan bertahan dalam membimbing terutama dalam menghadapi siswa yang bermasalah di sekolah (Bandura, 1997). Selain itu Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor juga dapat mempengaruhi motivasi (Eggen & Kauchak, 2004) dan prestasi siswa dalam belajar (Ashton & Webb, 1986). Oleh karena itu,

self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah sangatlah penting.

Bandura (1997) menyebutkan ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu level,

generality, and strength. Level berhungan dengan level kesulitan tugas yang

diterima oleh seseorang untuk diselesaikan, individu yang memiliki level yang rendah hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang sederhana dan akan cenderung menghindari tugas yang memiliki kesulitan menengah dan tinggi (Hall,

(9)

2009). Generality berhubungan dengan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas dan bagaimana individu menginterpretasikan dirinya gagal atau sukses, individu yang memiliki generality yang rendah adalah individu yang sukses pada tugas-tugas yang sama yang biasa dilakukan dan akan cenderung gagal pada tugas-tugas yang lebih bervariasi.

Strength berhubungan dengan kuatnya keyakinan seseorang mengenai

kemampuan yang dimiliki, individu yang memiliki Strength yang rendah akan cenderung cepat mengalah dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Hall, 2009).

Berdasarkan tiga dimensi yang diungkapkan oleh Bandura, maka perlu diketahui hal-hal yang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya Self-efficacy khususnya efficacy konselor sekolah karena melihat betapa pentingnya

efficacy pada konselor sekolah. Bandura (1994) menyatakan bahwa tingkat self-efficacy seseorang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu tingkat pendidikan

individu, jenis kelamin, usia, serta pengalaman yang dimiliki oleh individu tersebut. Dalam penelitiannnya Runner dan Hokanson (2006) menemukan lima faktor yang mempengaruhi Self-efficacy konselor yaitu umur, pendidikan, lama pengalaman kerja, total latihan untuk menyelesaikan pekerjaan dan gender.

Menurut Bandura (dalam Hall, 2009) faktor-faktor yang mempengaruhi self

efficacy tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebut

berada. Self-efficacy konselor sekolah akan dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dimana dia bekerja, misalnya sistem pendidikan, pekerjaan yang dihadapi, dan

(10)

bagaimana hubungannya dengan orang-orang yang terkait didalam sekolah tersebut.

Bardley dan Fiorini (dalam Maldonado, 2008) menemukan bahwa kemampuan konselor dalam mengidentifikasi kemampuan mereka dalam memberikan konseling sangat dipengaruhi oleh tempat dimana mereka melakukan aktivitas. Selain itu menurut Runner dan Hokanson (2006) ras merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Self-efficacy. Self-efficacy seseorang akan cenderung meningkat ketika lingkungan juga memberikan dukungan terhadap tugas yang dia lakukan dan ketika individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan bisa menghadapi tantangan dengan lebih baik (Bandura, 1997).

Berdasarkan dimensi-dimensi Self-efficacy maka Bandura (1997) menggambarkan karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

(11)

Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin di capai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalanya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997)

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melihat gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan, selain itu berdasarkan fenomena yang terjadi di kota Medan peneliti juga melihat bahwa sangat perlu dilakukan penelitian tentang gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan.

B. Pertanyaan Penelitian

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimanakah gambaran umum self-efficacy konselor sekolah di Kota

Medan?

2. Bagaimanakah gambaran self-efficacy konselor sekolah di Kota Medan ditinjau dari dimensi-dimensinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self-efficacy konselor sekolah di kota Medan.

(12)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis

1. Manfaat teoritis

a. Dapat memberi sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu pikologi pendidikan khususnya bagi psikologi sekolah, yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling.

b. Dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan sistem pendidikan indonesia khususnya berkaitan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.

2. Manfaat praktis

a. Kepada para konselor sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran kepada para konselor sekolah tentang bagaimana gambaran keyakinan akan kemampuan yang mereka miliki dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam pekerjaan mereka sebagai konselor sekolah, sehingga nantinya mereka dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi tantangan tersebut.

b. Kepada pihak sekolah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran tentang kemampuan konselor sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dengan demikian pihak sekolah dapat membuat perencanaan yang tepat terhadap tantangan yang dihadapi oleh unit bimbingan dan konseling di sekolah.

(13)

c. Kepada pihak dinas pendidikan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan konseslor sekolah dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pemerintah dapat melakukan intervensi yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh konselor sekolah.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan self-efficacy dan konselor sekolah.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji coba alat ukur dan reliabilitas, prosedur pelaksanaan, serta metode analisis data.

(14)

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengelolaan sampah di Pasar Banjarsari Kota Pekalongan adalah kesadaran atau partisipasi pedagang dalam penanganan sampah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Marketing Communication berpengaruh positif dan signifikan terhadap Customer Satisfaction Go-Food (Studi Pada Mahasiswa Jurusan

Pengujian jenis suara mezzo sopran dilakukan dengan cara membunyikan suara dengan huruf vokal A selama 10 detik pada sub menu jenis suara mezzo sopran pada aplikasi

Anak tunagrahita tersebut memiliki sikap atau karakter peduli ligkungan yang masih rendah maka untuk meningkatkan sikap atau perilaku peduli ini dilakukan melalui kegiatan

Untuk lebih memperjelas perbedaan kemampuan komunikasi matematik antara kelompok eksperimen (kelompok yang dalam pembelajarannya menggunakan berbantuan software

a) Dis kominfo Jabar perlu memberikan perhatian lebih kepada beberapa indikator faktor s tres kerja lingkungan. Pada beberapa indikator dimens i s tres

daya antioksidannya sedang yang dipengaruhi oleh banyaknya senyawa antioksidan yang terdapat dalam ekstrak daun salam seperti flavonoid, saponin, steroid dan

Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara efektif peristiwa dan situasi