• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR BAWAH TANAH YANG BERKELANJUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR BAWAH TANAH YANG BERKELANJUTAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan

SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

BAWAH TANAH YANG BERKELANJUTAN

Dr. Heru Hendrayana Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Gadjah Mada University Email : heruha@ugm.ac.id Website : www.heruhendrayana.staff.ugm.ac,id Tahun : 2003

• PENDAHULUAN

Air bawah tanahmerupakan sumberdaya alam yang terbarukan (renewal natural resources), dan memainkan peranan penting pada penyediaan pasokan kebutuhan air untuk berbagai keperluan. Mengingat peranan air bawah tanahyang semakin vital, maka pemanfaatan air bawah tanahharus memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumberdaya itu sendiri, atau dengan kata lain yang sekarang populer, pemanfaatan air bawah tanahharus berwawasan lingkungan.

Air bawah tanahsebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi permasalahan nasional yang cukup komplek, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi air bawah tanahyang tidak terkendali.

Pengelolaan air bawah tanahharus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang air bawah tanah, serta aspek teknis yang menyangkut pengetahuan ke-air bawah tanah-an (groundwater knowledge) di suatu daerah.

Pengelolaan air bawah tanahdalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah. Pengelolaan air bawah tanahpada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan air bawah tanahharus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah (Groundwater Basin Management). Secara umum pengelolaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi air bawah tanahdan pemantauan keseimbangan pemanfaatan air bawah tanah.

(2)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 2

Pada saat ini pengelolaan air bawah tanahdan kegiatan konservasi air bawah tanahtelah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta, tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi air bawah tanahbelum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.

Pada ayat (3) pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, dituliskan, bahwa "Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat", maka keberadaan sumberdaya air di bumi Indonesia ini harus dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan air baku, bagi kemakmuran seluruh masyarakat. Pada kenyataan selama ini, penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air masih belum mencapai tujuan tersebut. Hanya sebagian kecil masyarakat yang terpenuhi kebutuhan air bersih, sementara itu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, air bersih merupakan barang langka dan mahal.

Sebagai gambaran di daerah Bandung dan sekitarnya, terdapat sekitar 2000 sumur bor untuk memenuhi keperluan industri (Soetrisno, 2002a), dengan rata-rata pemompaan sekitar 200 lt/menit setiap sumur dengan lama pemompaan rata-rata 8 jam/hari, maka untuk keperluan industri di Bandung sebesar 0.2 juta m3 per hari yang berasal dari air bawah tanahdengan mutu prima. Sementara masyarakat miskin di daerah Bandung, dengan mengacu pada angka nasional penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, sebesar 400.000 jiwa. Apabila diperkirakan rata-rata 70% mempunyai akses ke air bawah tanah, maka jumlah air bawah tanahdengan mutu rendah yang diambil masyarakat miskin kota adalah sebesar 14.000 m3 per hari. Dengan demikian bila dibandingkan kedua pemanfaatan tersebut di atas, maka kaum miskin perkotaan hanya menikmati air bawah tanahsebesar 7% (kurang dari 10%) dari yang digunakan untuk sektor industri (Soetrisno, 2000b).

Di samping itu, pengambilan air bawah tanahyang berlebihan pada beberapa cekungan di daerah perkotaan, seperti Jakarta dan Bandung dalam satu dekade terakhir telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, misalnya degradasi muka air bawah tanahantara 2 hingga 4,6 m /tahun; intrusi air asin yang telah mencapai 6 hingga 10 km ke arah daratan, dan amblesan tanah tercatat maksimum 34 cm/tahun. Kondisi seperti ini telah banyak terjadi di daerah-daerah perkotaan di Jawa, Sumatra, dan Bali (Soetrisno, 2002b). Gambaran tersebut merupakan indikasi, bahwa pengelolaan sumberdaya air, khususnya air bawah tanah, yang bertumpu pada pada aspek hukum/kelembagaan yang ada dan aspek teknis, belum mampu mengatasi dampak negatif yang timbul.

(3)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 3

Aspek teknis dan aspek hukum serta kelembagaan merupakan dasar dari penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah. Oleh sebab itu kedua aspek tersebut mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah yang menjamin kemakmuran bagi seluruh rakyat dalam memanfaatkan air bawah tanah sekaligus menjamin keberlanjutan sumberdaya air itu sendiri. Kebutuhan tersebut semakin mendesak dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab Daerah secara otonom untuk mengelola sumberdaya alam (termasuk sumberdaya air) yang ada di wilayahnya. Pada era otonomi dan desentralisasi, pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin rumit. Aspek hukum dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan paradigma pemerintahan yang baru tersebut, sehingga menjamin pemanfaatan yang lebih adil bagi seluruh masyarakat di setiap derah otonom, serta keberlanjutan keterdapatan dan kemanfaatannya.

Tulisan singkat ini bermaksud membahas konsep dasar pengelolaan sumberdaya air bawah tanahyang berkelanjutan pada aspek teknis yang merupakan dasar pelaksanaan aspek hukum dan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air bawah tanah. Di samping itu, akan ditinjau aspek hukum dengan kaitannya pada penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu telaah terhadap pelaksanaan peraturan serta masalah yang timbul dalam pelaksanaan tersebut. Dan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dari aspek teknis dan aspek hukum agar pengelolaan sumberdaya air bawah tanahpada era otonomi daerah dapat mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat dan kemanfaatan air yang berkelanjutan.

• PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI INDONESIA

Pengelolaan air bawah tanahdi Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan air bawah tanah, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan upaya pengelolaan dan perlindungan air bawah tanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam

(4)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 4

pelaksanaan konservasi sumberdaya air bawah tanah. Karena sifatnya demikian, maka peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah seharusnya disesuaikan dan mengacu pada kondisi fisik sumberdaya air bawah tanah di daerah tersebut. Aspek teknis pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah tidak mendasarkan pada batas administrasi suatu daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasi cekungan air bawah tanah dengan memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang ada.

Pelaksanaan kebijakan pengelolaan air bawah tanah mencakup kegiatan inventarisasi, peruntukan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pemantauan pengambilan air bawah tanah, yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya keseimbangan pemanfaatan air bawah tanahdan konservasi air bawah tanah secara optimal. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka VISI Pengelolaan air bawah tanah di Indonesia adalah: KELESTARIAN KETERSEDIAAN AIR BAWAH TANAH DEMI KESINAMBUNGAN PEMANFAATANNYA. Atas dasar hal tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah didasarkan, bahwa:

• Sumberdaya air bawah tanah adalah karunia Tuhan yang terkandung di dalam bumi Indonesia, dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

• Sumberdaya air bawah tanah mempunyai fungsi sosial. Pola pengaturan air bawah tanah didasarkan atas asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian,

• Hak atas air bawah tanah adalah semata-mata hak guna air, yakni hak untuk memperoleh air bagi keperluan tertentu.

• Air bawah tanahuntuk keperluan air minum merupakan prioritas utama diatas keperluan lain.

• Perlu memperhatikan kondisi alam (hidrogeologi) termasuk yang di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.

• Perlu mempertimbangan hal-hal lain, yaitu :

o Keterpihakan kepada masyarakat atau kepentingan yang lebih luas yang tercermin pada prioritas peruntukannya

o Tuntutan kebutuhan PAD perlu diimbangi dengan peningkatan upaya konservasi atau pelestarian air bawah tanah dan pelayanan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.

(5)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 5

Sedangkan perwujudan kebijakan dalam pengelolaan air bawah tanah oleh Menteri Pertambangan dan Energi, adalah:

• Mengkoordinasi segala inventarisasi sumberdaya air bawah tanah dengan memperhatikan kepentingan umum, departemen dan lembaga lain terkait • Mengatur peruntukan pemanfaatan air bawah tanah

• Melakukan pengendalian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah dalam rangka ijin pengambilan dan konservasi

• Mengelola data air bawah tanah sebagai sumber informasi air bawah tanah • Memberi ijin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah

Sampai saat ini upaya pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian air bawah tanah terus menerus diterapkan di lapangan, baik yang mencakup aspek teknis maupun aspek hukum. Tetapi pada kenyataannya, meskipun upaya pengelolaan air bawah tanah telah dilakukan oleh semua unsur terkait, di lapangan masih menunjukkan adanya degradasi sumberdaya air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya, di samping terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini menunjukkan, bahwa pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dalam rangka konservasi air bawah tanah belum mencapai sasaran secara optimal.

Seperti dijelaskan di atas, bahwa pada dasarnya pengelolaan air bawah tanahdi Indonesia bertumpu pada dua aspek, yaitu (1). Aspek hukum dan (2). Aspek Teknis.

• Aspek Hukum

• Perioda Sebelum Otonomi Daerah

Beberapa peraturan tentang air bawah tanah pada masa kolonial tetap dipakai selama masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun pada beberapa kasus sudah tidak sesuai lagi dengan situasi pada saat itu. Adapun beberapa peraturan perundangan yang menyangkut tentang air bawah tanah pada masa sebelum otonomi daerah, antara lain adalah (Soetrisno, 2002b dan Hendrayana, 2002a-b):

ƒ Keputusan Presiden No. 64 Tahun 1972

Keputusan Presiden No. 64 tahun 1972 tentang "Pengaturan Penguasaan dan Pengurusan Uap Geothermal, Sumber Air Bawah Tanah dan Mataair Panas". Pada pasal 1 dari keputusan tersebut tercantum, bahwa tanggungjawab pengurusan administrasi atas geothermal, sumber air bawah tanah dan mataair panas yang terdapat di Indonesia ada pada Menteri Pertambangan.

(6)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 6

ƒ Undang-Undang No. 11 Tahun 1974

Sebagai perwujudan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang Pengairan. Undang-Undang ini menitik-beratkan fungsi sosial sumberdaya air, oleh sebab itu penguasaan atas penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat. Peraturan yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air, sebelum Undang-Undang ini ditetapkan, dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat itu dan tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan seperti pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Algemen Waterreglement (AWR) Tahun 1936 yang dipakai dasar pengaturan sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, tidak memberikan dasar yang kuat untuk usaha pengembangan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Selain itu AWR hanya berlaku di P. Jawa dan Madura.

Khusus tentang air bawah tanah pasal 5 ayat (2) pada undang-undang tersebut, ditetapkan sebagai berikut :

"Pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah dan mataair panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah di luar wewenang dan tanggung jawab Menteri yang disebut dalam ayat (1) pasal ini" (maksudnya Menteri yang diserahi tugas urusan pengairan).

Dengan pasal tersebut jelas, bahwa air bawah tanah memerlukan pengaturan tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan air bawah tanah.

ƒ Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982

Untuk pelaksanaan undang-undang tersebut di atas, kemudian ditetapkan Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1982, tentang Tata Pengaturan Air. Pada ayat (2) pasal 5 Undang-Undang No. 11 dan pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22, maka pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah, mataair panas sebagai sumber mineral dan sumber tenaga menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pertambangan. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) dan (3) peraturan pemerintah tersebut menetapkan :

(7)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 7

Ayat (2) :

Pengambilan air bawah tanah untuk penggunaan airnya pada batas kedalaman tertentu hanya dapat dilaksanakan dengan izin Gubernur yang bersangkutan setelah mendapat petunjuk-petunjuk teknis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Karena kedudukan lapisan pembawa air bawah tanah (akuifer) pada tiap daerah berbeda-beda kedalamannya, maka pengaturan pengambilan air bawah tanah harus disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman ini ditetapkan oleh Menteri yang diatur dalam suatu peraturan tersendiri.

Pengambilan air bawah tanah memerlukan izin dari pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri yang berwewenang dalam bidang pertambangan yang pelaksanaannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur hal tersebut, sedang penggunaannya tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut pada Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan lain dalam bidang pengairan.

Ayat (3) :

Pelaksanaan ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Dengan demikian kewenangan dalam pengaturan air merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan dalam batas-batas tertentu kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dalam rangka tugas pembantuan.

ƒ Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983

Mengingat ketentuan pada pasal 6 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983, tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Pada dasarnya peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan administratif air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti luas yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah.

Peraturan ini lebih lanjut mengatur wewenang dan tanggung jawab Menteri dalam melaksanakan pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah yang

(8)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 8

dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, yang dapat melimpahkan pelaksanaannya kepada Direktur Geologi Tata Lingkungan.

Pengambilan air bawah tanah hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Gubernur, yaitu setelah mendapat saran teknik yang mengikat dari Direktur Geologi Tata Lingkungan. Selain kewenangan dalam pemberian izin, Pemerintah Daerah dilibatkan dalam pelaksanaan pengawasan air bawah tanah bersama-sama dengan Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi.

Dengan demikian Pemerintah Daerah melakukan tugas pembantuan pada pengurusan administratif air bawah tanah. Meskipun di dalam Peraturan Menteri tersebut tidak diatur secara khusus mengenai masalah pungutan/biaya pengelolaan, namun untuk melaksanakan tugas pembantuan tersebut, Pemerintah Daerah menetapkan sendiri pungutan/biaya pengelolaan air bawah tanah di daerah masing-masing berdasarkan Peraturan Daerah di bidang air bawah tanah.

ƒ Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991

Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 menetapkan: Penggunaan air dan/atau sumber air untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri dan Menteri yang bersangkutan.

Oleh itu penggunaan air untuk masing-masing kegiatan tersebut, seperti dinyatakan pada penjelasan pasal di atas, perlu diatur tersendiri dengan memperhatikan aspek teknis maupun administratif bidang bersangkutan dan tata pengaturan air secara keseluruhan. Untuk keperluan itu, pasal tersebut menjelaskan, bahwa Menteri bersama Menteri yang bersangkutan ditugaskan untuk menetapkan peraturan dan persyaratan penggunaan air untuk masing-masing bidang teknis yang bersangkutan.

Atas dasar penjelasan tersebut ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang menetapkan, bahwa : Izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan mataair untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan diberikan oleh Menteri yang pelaksanaannya dilakukan Direktur Jenderal (Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral), sementara izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan mataair untuk kegiatan di luar usaha industri dan pertambangan tetap dapat diberikan oleh

(9)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 9

Gubernur sesuai dengan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/1985.

ƒ Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Pertambangan dan Energi No 04/KPTS/1991 & No. 0076/101/MPE/1991

Keputusan bersama ini dibuat sebagai tindak lanjut Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982. Kepurtusan ini mengatur tentang Penggunaan Air dan atau Sumber Air untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Pengusahaan Sumberdaya Panas Bumi.

Dalam keputusan bersama ini tata cara pelaksanaan penggunaan air permukaan dan air bawah tanah, untuk kegiatan dimaksud, persyaratan teknis penggunaan air, serta iuran jasa pemanfaatan air.

Peraturan ini mencerminkan pemanfaatan bersama sumberdaya air, meskipun sebatas dalam bentuk keputusan bersama dan hanya mengatur beberapa kegiatan manajemen (pemberian izin pemanfaatan) air untuk kegiatan tertentu.

ƒ Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994

Pada pelaksanaan di lapangan dari kedua peraturan di atas ditemui adanya pemahaman yang berbeda tentang kewenangan pemberian izin pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan air bawah tanah di beberapa daerah kurang dapat berjalan dengan lancar.

Oleh sebab itu, di samping untuk menunjang kebijaksanaan Pemerintah di bidang deregulasi dan debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah, maka Menteri memandang perlu mencabut Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 03/P/M/Pertamben/83 dan Nomor 08.P/03/M.PE/1991 dan menetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang Pengurusan Administratif Air Bawah Tanah.

Di dalam peraturan baru tersebut yang paling mendasar adalah, bahwa izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan di luar kegiatan usaha pertambangan dan energi diberikan oleh Gubernur. Sementara izin pengeboran

(10)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 10

dan pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi diatur tersendiri oleh Menteri.

ƒ Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995

Berkaitan dengan penyerahan sebagian urusan pemerintahan di beberapa bidang kepada Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, maka di bidang air bawah tanah, Menteri Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah untuk Daerah Tingkat II.

Urusan bidang air bawah tanah yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan meliputi:

a. penerbitan izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah b. penetapan tarif dan retribusi air bawah tanah

c. pembinaan dan pengawasan operasional terhadap pengelolaan air bawah tanah

ƒ Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995

Sebagai pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, maka ditetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember 1995 tentang Perizinan Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi.

Dalam keputusan tersebut ditetapkan, bahwa pengeboran dan pengambilan air bawah tanah untuk kegiatan usaha pertambangan dan energi hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral.

ƒ Peraturan Daerah tentang Air Bawah Tanah

Berdasarkan peraturan-perundangan di atas, setiap propinsi menerbitkan peraturan daerah tentang air bawah tanah. Pada dasarnya peraturan tersebut mengatur bagaimana pemerintah propinsi membantu (tugas pembantuan) pemerintah pusat melaksanakan pengelolaan air bawah tanah yang ada di wilayahnya. Peraturan

(11)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 11

tersebut terutama mengatur masalah perizinan, retribusi pengambilan air, pengawasan, dan pengendalian.

Dari sisi kelembagaan daerah, umumnya di setiap propinsi, kewenangan tugas pembantuan pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh lembaga Dinas Pertambangan. Sedangkan air permukaan dilaksanakan oleh Dinas Pengairan.

ƒ Peran Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Air Bawah Tanah

Apabila dikaji semua peraturan-perundangan yang ada di bidang air bawah tanah, maka jelas bahwa wewenang pengurusan administratif air bawah tanah adalah pada Menteri Pertambangan dan Energi sebagai Menteri yang bertanggungjawab dalam urusan pertambangan {Undang-undang No. 11 tahun 1974 pasal 5 ayat (2) jo Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 pasal 6 ayat (1)}. Artinya, bahwa pengurusan administratif merupakan wewenang Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah Tingkat I c/q Gubernur Kepala Daerah berwewenang pada pemberian izin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berdasarkan petunjuk teknis Menteri, dalam hal ini Menteri yang bertanggungjawab dalam urusan pertambangan {Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 pasal 6 ayat (2)}.

Dengan demikian, peran Pemerintah Daerah adalah melakukan tugas pembantuan terhadap pemerintah pusat pada pengurusan administratif air bawah tanah; termasuk juga bagi Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan sesuai Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1995 jo Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/95.

Tugas-tugas pembantuan tersebut secara garis besar mencakup:

1. Pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah 2. Pengawasan

3. Pengendalian

• Perioda Otonomi Daerah

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, maka beberapa peraturan perundangan yang menyangkut tentang air bawah tanah telah ditetapkan untuk disesuaikan dengan semangat otonomi dan desentralisasi kewenangan. Adapun

(12)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 12

beberapa peraturan tentang air bawah tanah pada masa perioda otonomi daerah, antara lain (Soetrisno, 2002b dan Hendrayana, 2002a-b):

ƒ Undang–Undang No. 22 Tahun 1999

Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif mulai 1 Januari 2001. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, maka Daerah berwenang untuk mengelola sumberdaya alam (termasuk air) yang ada di wilayahnya, seperti tercantum pada Pasal 10 Ayat (1); Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sumberdaya nasional dimaksudkan adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia yang tersedia di Daerah, seperti diuraikan dalam penjelasan undang-undang tersebut. Mengacu pada penjelasan tersebut, maka sumberdaya air termasuk di dalamnya.

Undang-undang tersebut merupakan semangat otonomi dan desentralisasi semua urusan pemerintahan yang telah diserahkan Pemerintah (Pusat) kepada Daerah. Pemerintah Daerah mengatur setiap urusan pemerintahan sendiri, termasuk pengelolaan air bawah tanah.

Undang-undang ini menjadi sumber bagi pranata hukum dan kelembagaan pengelolaan air bawah tanah setelah otonomi diberlakukan. Dengan demikian setiap peraturan-perundangan yang berkaitan dengan air, khususnya air bawah tanah yang bertentangan dengan undang-undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Oleh sebab itu, Undang-Undang No. 11 tahun 1974 serta peraturan turunannya, menjadi usang (obsolete), karena beberapa pasal tentang kewenangan tidak lagi sesuai, dan semangat desentralisasi tidak pernah ada dalam undang-undang tersebut serta peraturan turunannya.

ƒ Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 12, Undang-Undang No.22 Tahun 1999.

(13)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 13

Peraturan ini mengatur kewenangan di setiap bidang pemerintahan yang ada di Pemerintah Pusat dan Propinsi. Sementara kewenangan bidang pemerintahan yang tidak diatur dalam peraturan tersebut dengan sendirinya adalah kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan tersebut pada dasarnya berupa penetapan, pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. Khusus tentang air bawah tanah, peraturan tersebut menetapkan kewenangan Pemerintah (Pasal 2, Ayat 3) meliputi:

¾ Penetapan standar penyelidikan umum dan standar pengelolaan air bawah tanah;

¾ Pengaturan survei air bawah tanah skala lebih kecil atau sama dengan 1:250.000;

¾ Penetapan pedoman, kriteria, dan standar; pelayanan dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota

¾ Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah.

Sedangkan kewenangan Propinsi mencakup (Pasal 3, Ayat 5) :

¾ Penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan air bawah tanah; ¾ Pelatihan dan penelitian air bawah tanah.

ƒ Peraturan Daerah tentang Air Bawah Tanah

Dengan pemberlakuan otonomi daerah, maka beberapa daerah Kabupaten/Kota telah menerbitkan peraturan daerah tentang air bawah tanah, tetapi sebagian besar masih mengandalkan peraturan daerah yang lama. Hal tersebut antara lain disebabkan karena belum adanya undang-undang yang baru tentang sumberdaya air setelah pemberlakukan otonomi daerah. Kelembagaan yang berwenang melaksanakan pengelolaan air bawah tanah beragam dari satu daerah otonom ke daerah otonom yang lain.

ƒ Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1451 K/10/MEM/2000

Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, dalam rangka memberikan pembinaan dan membantu Daerah pada penyelenggaraan pengelolaan air bawah tanah di wilayahnya, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral

(14)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 14

sesuai dengan kewenangannya menetapkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 tanggal 3 November 2000, tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.

Keputusan tersebut berisi berbagai pedoman dan prosedur pada pengelolaan air bawah tanah di daerah otonom, yang dimaksudkan sebagai acuan pada pelaksanaan pengelolaan. Pedoman dan prosedur tersebut meliputi:

1. Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Bawah Tanah.

2. Pedoman Teknis Perencanaan Pendayagunaan Air Bawah Tanah. 3. Pedoman Teknis Penentuan Debit Pengambilan Air Bawah Tanah. 4. Prosedur Pemberian Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah.

5. Prosedur Pemberian Izin Pengeboran dan Izin Pengambilan Air Bawah Tanah. 6. Prosedur Pemberian Izin Penurapan dan Izin Pengambilan Mata air.

7. Prosedur Pemberian Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah. 8. Prosedur Pemberian Izin Juru Bor Air Bawah Tanah.

9. Pedoman Teknis Pengawasan Pelaksanaan Konstruksi Sumur Produksi Air Bawah Tanah.

10. Pedoman Teknis Penentuan Nilai Perolehan Air dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam Penghitungan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah.

11. Pedoman Pelaporan Pengambilan Air Bawah Tanah.

• Diskusi Peraturan Yang Ada

Berdasarkan prinsip dasar hukum Romawi, air bawah tanah ditetapkan oleh hukum sebagai harta dari pemilik lahan di atasnya. Negara-negara yang menganut kode Napoleonic, seperti halnya negara-negara pengikut tradisi hukum Anglo-Saxon, memberlakukan prinsip yang sama. Negara Republik Indonesia, seperti halnya tradisi Muslim, menetapkan air/air bawah tanah sebagai suatu komoditi umum atau masyarakat, merupakan anugerah Tuhan yang tak dapat dimiliki secara pribadi (Burchi, 1999 dan Soetrisno, 2002a)

Seorang pribadi atau komunitas tertentu hanya dapat memiliki bangunan sumur, tetapi tidak mempunyai hak kepemilikan atas air bawah tanah yang ada di dalam sumur tersebut. Demikian juga sesorang pribadi atau komunitas tertentu tidak mempunyai hak kepemilikan atas mata air yang berada di lahan miliknya.

(15)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 15

Dengan prinsip kepemilikan seperti itu, serta dengan memahami asal-usul dan sifat-sifat air bawah tanah, maka pada dasarnya air bawah tanah adalah sebuah common pool atau public property, yaitu setiap orang berhak mendapatkannya. Hukum atau peraturan yang ada harus mengatur secara adil dan seimbang antara pengakuan hak pribadi dan kekuasaan negara, sehingga orang atau komunitas pemilik lahan di atasnya, serta masyarakat di sekitarnya mempunyai prioritas utama untuk mendapatkan keadilan dan kemakmuran atas setiap pemanfaatan mata air atau air bawah tanah tersebut.

Keberadaan peraturan perundangan tentang sumberdaya air dan air bawah tanah pada dasarnya menunjukkan, bahwa air mempunyai nilai ekonomi dan lingkungan yang strategis, oleh sebab itu perlu diatur, bahkan dimasukkan dalam konstitusi. Prinsip dasar hukum air bawah tanah seperti diuraikan di atas, seharusnya menjadi dasar peraturan perundangan air bawah tanah di Indonesia.

Beberapa pandangan atau diskusi terhadap peraturan perundangan yang ada sebelum masa otonomi daerah (Soetrisno, 2002a dan Hendrayana, 2002a-b):

¾ Pengaturan yang bersifat terfragmentasi dan sektoral. Pengelolaan air bawah tanah dan pengelolaan air permukaaan diatur oleh dua lembaga yang berbeda, tanpa adanya keterpaduan dalam perencanaan, pendayagunaan, dan pelestariannya. Sebagai akibatnya tidak ada jaringan kerja yang bersifat institusional antar pengelola masing-masing sumberdaya air, dan tidak dapat dilakukannya pemanfaatan kedua sumberdaya air yang saling menunjang (conjuctive use).

¾ Pengaturan yang bersifat sentralistik, kurang memberdayakan daerah, sebagai akibatnya daerah lebih berkepentingan dalam memperoleh manfaat nilai ekonomi air/air bawah tanah sebagai pendapatan asli daerah daripada usaha-usaha konservasi atau perlindungannya.

¾ Penetapan Pemerintah sebagai regulator, operator, dan juga penyedia data, mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan menjadi rancu, bias, dan tidak adil, karena Pemerintah mengutamakan kepentingan sendiri apabila terjadi konflik kepentingan dengan pihak lain.

¾ Pengaturan kewenangan yang multi tafsir, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik kewenangan antar sektor.

¾ Pengaturan yang lebih menitik beratkan kepada pemanfaatan daripada konservasinya. Izin pemanfaatan air merupakan instrumen utama pengendalian,

(16)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 16

sementara retribusi atas pemanfaatan air merupakan sumber pendapatan asli daerah yang tidak atau sedikit dikembalikan untuk upaya konservasinya.

¾ Belum adanya pengaturan peran masyarakat, swasta, dan para pihak terkait pada penyelenggaraan pengelolaan air bawah tanah.

¾ Pengaturan yang kurang memberikan sanksi berat bagi pelanggar hukum di bidang sumberdaya air/air bawah tanah.

Peraturan perundangan yang khusus mengatur tentang sumberdaya air bawah tanah pada era otonomi daerah masih sangat terbatas, sehingga peraturan perundangan yang ada sebelum era otonomi daerah masih tetap diberlakukan sepanjang ketentuan di dalamnya tidak bertentangan dengan peraturan perundangan otonomi daerah.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 sebagai dasar pelaksanaan otonomi dalam pengelolaan air bawah tanah daerah otonom, dapat ditelaah bahwa penetapan masalah kewenangan di bidang pemerintahan yang bersifat lintas batas Kabupaten dan Kota dapat menimbulkan tafsiran yang berlainan, tergantung kepentingan Pemerintah, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Hal ini berkaitan dengan karakteristik air yang mengalir tidak mengenal batas kewenangan pemerintahan, khususnya pada suatu cekungan air bawah tanah atau akuifer lintas batas (transboundary aquifer) kabupaten/kota.

Dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan antara lain “Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi ……, pendayagunaan sumberdaya alam..…”. Ayat ini dapat ditafsirkan, bahwa pendayagunaan sumberdaya air masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan “Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya ….”. dengan demikian kedua ayat tersebut dapat ditafsirkan saling bertentangan.

Kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti tercantum pada Pasal 9 Ayat (1) dari undang-undang tersebut di atas, dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, yaitu: a) Apakah pengelolaan air/air bawah tanah termasuk urusan pemerintahan yang bersifat lintas batas daerah otonom?; dan b) Sumberdaya alam yang penyebarannya lintas batas daerah otonom, apakah urusan pemerintahannya juga dengan sendirinya bersifat lintas daerah? (Soetrisno, 2002b)

(17)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 17

Pada aspek kelembagaan di tingkat Pemerintah Pusat, meskipun dengan kewenangan yang sebagian besar telah didesentralisasikan ke Propinsi, Kabupaten/Kota, air bawah tanah dan air permukaan masih dikelola oleh dua lembaga yang berbeda. Air permukaan menjadi tanggungjawab Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, sedangkan air bawah tanah masih menjadi tanggungjawab Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Sementara itu di Propinsi dan Kabupaten/Kota, lembaga yang mengelola sangat beragam, ada satu instansi yang mengelola kedua sumberdaya air, dan ada dua instansi berbeda yang masing-masing mengelola air bawah tanah dan air permukaan. Dengan adanya dua instansi/lembaga yang berbeda baik di tingkat pusat maupun daerah yang mengelola sumberdaya air, maka pada iklim birokrasi dan kultur kerja di Indonesia sangat kurang menguntungkan untuk penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air terpadu, serta hampir tidak memungkinkan dilakukannya pemanfaatan air saling menunjang (conjungtive use).

• Aspek Teknis

Setiap pengelola air bawah tanah mempunyai suatu kewajiban untuk memahami hal paling mendasar mengenai pengetahuan air bawah tanah (groundwater knowledge), yakni asal-usul dan karakteristik air bawah tanah. Dengan pemahaman tersebut, maka setiap pranata hukum dan kelembagaan pengelolaan air bawah tanah yang ada pada praktek pelaksanaanya tidak bertentangan dengan sifat-sifat dasar tersebut, sehingga akan menjamin, bahwa air bawah tanah diperlakukan sesuai dengan fungsi dan nilai ekonomi maupun lingkungannya. Oleh sebab itu, bagi setiap penyelenggara pengelolaan air bawah tanah seharusnya memahami hal yang paling mendasar terhadap ke-air bawah tanah-an tersebut, antara lain (Soetrisno, 2002a-b dan Hendrayana, 2002a-b):

ƒ Air bawah tanah adalah salah satu sumberdaya air yang sangat besar jumlahnya di bumi ini, tetapi kurang dipahami keterdapatannya. Di bumi ini 97% berupa air tawar, di luar tudung es kutub, adalah berupa air bawah tanah.

ƒ Air bawah tanah adalah benda yang tidak dapat dilihat secara langsung, sehingga membutuhkan biaya yang relatif besar untuk menyelidikinya. Hanya sebagian kecil wilayah Indonesia yang diketahui secara kuantitatif keterdapatan air bawah tanahnya.

(18)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 18

ƒ Air bawah tanah terbentuk berasal dari air hujan dan air permukan, yang meresap ke zona tak jenuh dan kemudian meresap semakin dalam hingga mencapai zona jenuh, dan menjadi air bawah tanah. Dengan demikian air bawah tanah merupakan bagian dari daur hidrologi, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekologi. Air bawah tanah berinteraksi dengan air permukaan serta komponen lain yang terlibat dalam daur hidrologi. Interaksi air bawah tanah dan air permukaan dapat bersifat air bawah tanah memasok air permukaan sebagai aliran dasar (base flow) ataupun sebaliknya air bawah tanah dipasok air permukaan.

ƒ Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pengelolaan, maka obyek pengelolaan adalah semua air bawah tanah, baik air bawah tanah dangkal maupun dalam, yakni semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah, yang terkandung dalam zona jenuh.

ƒ Air bawah tanah tersimpan dalam suatu wadah, yakni suatu formasi geologi yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan melalukan air bawah tanah dalam jumlah yang cukup, dan tergantung pada tingkat kemampuannya, maka formasi geologi tersebut dapat disebut sebagai akuifer, akuitard, akuiklud, dan akuifuge. ƒ Sebaran akuifer serta pengaliran air bawah tanah tidak mengenal batas

kewenangan administratif pemerintahan. Sebaran akuifer yang melewati batas administrasi pemerintahan disebut akuifer lintas batas (transboundary aquifer) dalam pengertian lokal. Suatu wilayah yang dibatasi oleh batasan hidrogeologis dan yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas, disebut cekungan air bawah tanah.

ƒ Air bawah tanah terbentuk atau mengalir secara horisontal maupun vertikal dari daerah recharge, seketika itu juga pada saat hujan turun, hingga membutuhkan waktu harian, mingguan, bulanan, tahunan, puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, berada di dalam akuifer sebelum muncul kembali secara alami di daerah discharge. Dengan demikian bila dibandingkan dalam kerangka waktu umur rata-rata manusia, maka air bawah tanah sesungguhnya adalah salah satu sumberdaya alam yang “tak terbarukan dalam waktu singkat”. Sifat alami air bawah tanah tetap merupakan sumberdaya alam yang terbarukan, tetapi memerlukan waktu cukup lama, sehingga upaya konservasi tetap harus dilaksanakan untuk menjamin keberlanjutan kemanfaatan dan keterdapatan air bawah tanah.

ƒ Air bawah tanah dapat muncul ke permukaan secara alami, sebagai mata air, maupun karena budidaya manusia, melalui sumur bor.

(19)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 19

ƒ Mata air adalah keluaran terpusat dari air bawah tanah yang muncul di permukaan tanah sebagai suatu aliran air.

ƒ Pengambilan air bawah tanah dari suatu sistem akuifer dapat menyebabkan penurunan muka air. Pengambilan yang melampaui jumlah rata-rata imbuhan, dapat mengakibatkan penurunan muka air bawah tanah secara menerus, serta pengurangan cadangan air bawah tanah dalam akuifer. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya intrusi air laut di daerah pantai, penurunan kualitas air, serta amblesan tanah.

ƒ Kualitas air bawah tanah secara alami sangat dipengaruhi oleh jenis litologi penyusun akuifer, jenis tanah/batuan yang dilalui air bawah tanah, serta jenis air asal air bawah tanah (=faktor geogen). Kualitas air tersebut dapat berubah apabila terjadi pengaruh aktivitas manusia terhadap air bawah tanah, seperti pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, pembuangan limbah, dll. (=faktor anthropogen). ƒ Pemulihan degradasi kualitas dan kuantitas air bawah tanah membutuhkan biaya

yang sangat mahal serta teknologi maju. Pengalaman menunjukkan, bahwa pemulihan tidak dapat mengembalikan kondisi air bawah tanah seperti kondisi awal.

Dengan tinjauan aspek teknis, maka keterdapatan air bawah tanah tidak dibatasi oleh batas administratif suatu daerah, sehingga pengelolaan air bawah tanah mengacu pada cekungan air bawah tanah, yaitu suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-batasan hidrogeologi, yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas, dimana semua proses hidraulika (pengisian, pengaliran, pengambilan atau pengeluaran) berlangsung. Batasan-batasan teknis hidrogeologi tersebut meliputi : (1) waktu, (2) jumlah, (3) ruang/wadah dan (4) kualitas (Hendrayana, 2000b, 2002a-b)

Waktu : bahwa ketersediaan air bawah tanah dibatasi oleh dimensi waktu yang menyangkut waktu pengaliran dan pembentukan air bawah tanah, termasuk waktu tinggal air bawah tanah di dalam akuifer.

Ruang/wadah : tempat dimana air bawah tanah tersimpan, yaitu akuifer atau

wadah yang secara hidrogeologi memungkinkan menyimpan dan melepaskan air bawah tanah dalam jumlah berarti, sehingga diperlukan pemahaman terhadap konfigurasi, geometri, dan parameter akuifer di suatu cekungan untuk membantu menentukan keterdapatan dan besaran sumberdaya air bawah tanah. Batas akuifer (aquifer boundaries) dalam wadah tersebut ditentukan oleh sifat-sifat hidraulika yang dimilikinya.

(20)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 20

Jumlah : dengan mengetahui adanya batasan waktu dan ruang/wadah, maka jumlah suatu sumberdaya air bawah tanah di suatu cekungan (a) dapat dihitung dan diketahui dan (b) ditentukan skenario pemanfaatannya.

Kualitas : dengan analisis hidrokimia air bawah tanah dapat diketahui kesesuaian peruntukannya, yaitu untuk air minum, industri, pertanian. Beberapa upaya pengelolaan air bawah tanah dari aspek teknis yang telah dilaksanakan di Indonesia dalam rangka pengendalian dampak negatif akibat pemompaan air bawah tanah secara berlebihan, antara lain:

1. Pengaturan Penentuan Lokasi Penurapan

Mengingat keterdapatan lapisan pembawa air bawah tanah tidak merata, maka penentuan lokasi pengambilan air bawah tanah sangat menentukan, agar sumberdaya air bawah tanah dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Disamping itu, pengaruh pengambilan air bawah tanah melalui sumur-sumur yang berdekatan akan mengakibatkan penurunan muka air bawah tanah yang lebih besar, maka penentuan lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah pengaruh dampak negatif tersebut di atas (Hendrayana, 1993, 2000b).

2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan

Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifers). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman penyadapan pada lapisan akuifer tertentu. Dengan pengaturan kedalaman penyadapan dapat dihindari terjadinya eksploitasi air bawah tanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer yang berlainan. Peruntukan air bawah tanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil air bawah tanah dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan air bawah tanah tetap mengacu pada prioritas pemanfaatan/ peruntukan air bawah tanah, di mana air minum merupakan prioritas utama.

3. Pembatasan Debit Penurapan

Pembatasan besarnya debit air bawah tanah yang disadap, bertujuan agar penurunan muka air bawah tanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman. Pengertian aman mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada

(21)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 21

pengambilan air bawah tanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan air bawah tanah yang tersedia, yaitu menyeimbangkan antara jumlah pengambilan dan jumlah imbuhan. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumber-sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan. Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besarnya cadangan dan kualitas air bawah tanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan air bawah tanah, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan air bawah tanah hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan air bawah tanah.

4. Penambahan Imbuhan

Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama air bawah tanah adalah berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan air bawah tanah secara alami, dimana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit air bawah tanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan mendapat penambahan cadangan air bawah tanah. Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa pengisian kembali air bawah tanah pada musim hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan atau fungsi lahan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah imbuh air bawah tanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh air bawah tanah.

5. Penentuan Kawasan Lindung

Kawasan lindung air bawah tanah mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya air bawah tanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung air bawah tanah, disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus dipertimbangkan. Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan, karena sering terjadi konflik kepentingan. Misalnya, di daerah imbuh air bawah tanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan lain yang berdampak

(22)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 22

negatif terhadap jumlah maupun mutu air bawah tanah. Oleh sebab itu banyak kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan air bawah tanah. Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan air bawah tanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan (Hendrayana, 2001a).

• PERMASALAHAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN AIR BAWAH

TANAH

Dengan mendasarkan pada kenyataan, bahwa di lapangan masih menunjukkan adanya gejala degradasi kuantitas dan kualitas terhadap sumberdaya air bawah tanah, serta fakta sebagian besar masyarakat belum atau tidak mendapatkan pelayanan air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, bencana banjir yang terjadi hampir setiap tahun di beberapa daerah, dan kekurangan air di daerah yang sama pada musim kemarau, membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan sumberdaya air pada umumnya dan air bawah tanah pada khususnya. Dengan demikian jelas, bahwa masih banyak dijumpai permasalahan pada pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan. Meskipun hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, serta permasalahan yang sangat kompleks, baik aspek teknis, aspek hukum dan kelembagaan yang ada. Untuk mencapai hasil yang optimal sesuai sasaran pengelolaan, maka perlu identifikasi permasalahan dan meminimalkan kendala yang ada.

Berhubungan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, permasalahan yang timbul selama ini dan mungkin akan timbul pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air bawah tanah perlu diidentifikasi dan dikaji agar pengelolaan air bawah tanah di setiap daerah otonom dapat diselenggarakan secara benar, dan dapat menjamin ketersediaan air serta kemanfaatan yang lebih adil bagi semua masyarakat, serta kesinambungan keterdapatan air bawah tanah.

Pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air/air bawah tanah selama ini dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai penyebab kurang optimalnya

(23)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 23

pencapaian sasaran pengelolaan sumbersaya air bawah tanah, antara lain (Hendrayana, 2002a-b, dan Soetrisno, 2002b):

ƒ Kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air bawah tanah, kurang/tidak menjamin hak dasar masyarakat mendapatkan akses penyediaan air, serta kurang/tidak mengakomodasi keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para pihak lain yang berkepentingan, daerah, dan masyarakat lokal, kurang/tidak memberdayakan sumberdaya lokal.

ƒ Peraturan perundangan yang kurang efektif dan tidak cukup menunjang pelaksanaan pengelolaan. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 dan peraturan-peraturan turunannya, tidak secara tegas mengatur dan menetapkan kewenangan dan tanggung jawab setiap lembaga yang berkaitan dengan pengumpulan data dan sistem pengelolaanya, serta tidak mengatur secara tegas hubungan kelembagaan antar institusi yang berkaitan dengan hal tersebut. Ketentuan, pasal, ayat yang ada berkaitan dengan hal tersebut bermakna ganda (ambiguity), yang menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang kepentingan masing-masing insitusi.

ƒ Fragmentasi sistem pengelolaan sumberdaya air, yang membedakan antara air hujan, air permukaan dan air bawah tanah. Air bawah tanah dikelola secara terpisah dengan air permukaan, oleh institusi yang berbeda, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini menyebabkan pengelolaan pemanfaatan air saling menunjang tidak dapat dilaksanakan.

ƒ Sentralisasi yang terlalu kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan keputusan. Di samping itu, kurang atau tidak memberdayakan organisasi di daerah, yang menyebabkan daerah kurang atau tidak mempunyai rasa memiliki atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya.

ƒ Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup wilayah administratif pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut.

ƒ Tidak adanya jaringan data dan informasi air bawah tanah antar lembaga pengumpul atau pengelola data air bawah tanah, hal tersebut akibat keterbatasan sumberdaya serta kurang diberdayakannya sumberdaya daerah.

(24)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 24

ƒ Pemanfaatan air bawah tanah yang parsial, kurang berkeadilan, serta tidak/kurang menjamin hak masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk mendapatkan akses penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

ƒ Pemanfaatan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai ekonomi dan lingkungan air bawah tanah. Pemanfaatan lebih menitikberatkan kepada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan bagi daerah daripada konservasinya.

ƒ Data dan informasi air bawah tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Data dan informasi yang ada kurang informatif dan tidak seragam dalam format, belum tersusunnya standart sistem informasi air bawah tanah, yang merupakan alat bantu pada dasar perencanaan pengelolaan dan pendukung pengambilan keputusan.

ƒ Degradasi kuantitas, kuantitas, dan lingkungan air bawah tanah akibat pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, pencemaran, serta perubahan fungsi lahan, terutama di cekungan perkotaan. Di sisi lain, telah terjadi peningkatan kebutuhan sumber air baku yang sangat pesat, dan akhirnya terjadi konflik antar pengguna air baku.

ƒ Keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air bawah tanah kurang efektif dilaksanakan. ƒ Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang

terjadi terhadap peraturan pengelolaan air bawah tanah yang ada.

ƒ Konsep pengelolaan dan konservasi air bawah tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah, tetapi lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur (well management) dan juga mendasarkan pada batas administrasi.

ƒ Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat awam terhadap pemahaman air bawah tanah, sehingga kurang concern terhadap keberadaan air bawah tanah, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya.

Demikian juga adanya perubahan paradigma yang pada akhirnya berpengaruh pada penentuan kebijakan dan proses pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air, antara lain (Hendrayana, 2002a-b):

• Perubahan fungsi status air dari Komoditas Sosial menjadi Komoditas Sosial-Komersial

• Pergeseran peran Pemerintah sebagai Provider menjadi Enabler. • Perubahan sistem pemerintahan dari Sentralisasi menjadi Desentralisasi.

(25)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 25

• Perubahan pola pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air dari Government Centrist menjadi Private-Public Participation.

• Perubahan pelayanan pemerintah dari birocrative-normative menjadi responsive-flexible

• Perubahan sistem kebijakan Pemerintah dari top-down menjadi bottom-up Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis maupun non teknis sangat berpengaruh pada sasaran pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dan konservasinya. Dengan demikian dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah menghadapi beberapa TANTANGAN, antara lain seperti berikut (Hendrayana, 2002a-b, dan Soetrisno, 2002a):

ƒ Pengelolaan secara total dan menyatu antara air bawah tanah dan air permukaan, hal ini dengan menyadari, bahwa air bawah tanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan.

ƒ Menerapkan konsep dasar pengelolaan air bawah tanah secara total (Total Groundwater Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin. Pendekatan pengelolaan air bawah tanah dengan mendasarkan konsep Regional-, Intermediate- dan Local/Artificial Groundwater Flow System guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah pada setiap recharge area atau pun discharge area.

ƒ Desentralisasi pengelolaan, yaitu memberdayakan daerah untuk mengelola air bawah tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran air bawah tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas.

ƒ Pemenuhan hak dasar, yaitu menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari air bawah tanah di daerah yang kondisi air bawah tanahnya memungkinkan, bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Menjamin terselenggaranya pemanfaatan air bawah tanah yang adil bagi setiap pengguna air.

ƒ Ketersediaan data dan informasi, yaitu membangun satu sistem informasi dan jaringan informasi air bawah tanah yang terpadu didasari oleh data ke-air bawah tanah-an yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.

ƒ Keberlanjutan ketersediaan air bawah tanah, yaitu dengan menjamin keseimbangan antara pemanfaatan nilai ekonomi air dan keterdapatan air bawah tanah sebagai bagian dari ekosistem, mencegah dan merestorasi degradasi kuantitas, kualitas, dan

(26)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 26

lingkungan air bawah tanah, mengendalikan pemanfaatan air bawah tanah sesuai nilai ekonomi dan aspek lingkungannya.

ƒ Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan air bawah tanah, air permukaan, dan air hujan.

ƒ Ketersediaan sumberdaya (keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan sumberdaya dari masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

• KONSEP PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

• Kebutuhan Konsep Pengelolaan

Sebagai alat bantu utama pada penentuan kebijakan pada proses pengelolaan sumberdaya air, maka diperlukan pemahaman konsep dasar pengelolaan sumberdaya air. Konsep pengelolaan sumberdaya air harus dibedakan menjadi dua konsep pendekatan pengelolaan pada dua macam sumberdaya air, yaitu : (1) Pengelolaan Air Permukaan, dan (2) Pengelolaan Air bawah tanah . Namum demikian implementasi kedua konsep pengelolaan sumberdaya air tersebut harus terintegrasi pada satu kebijakan dan dilaksanakan secara simultan atau bersamaan (Hendrayana 2002a-b).

Pengelolaan air permukaan didasarkan pada pemahaman Daerah Aliran Sungai (River Basin), dengan konsep: “One River - One Plan – One Management”. Sedangkan pengelolaan air bawah tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Bawah Tanah (Groundwater Basin), dengan konsep “One Basin – One Plan – One Management”, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air bawah tanah (Groundwater Flow System), yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran airbawah tanah regional, (2) intermediate dan (3) sistem aliran air bawah tanah lokal atau artificial groundwater flow system (Hendrayana, 2002a-b).

Sinkronisasi konsep pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air bawah tanah tersebut di atas harus diimplementasikan secara benar dengan melibatkan berbagai pihak atau instansi terkait dengan dukungan komitmen para pemegang kebijakan.

Pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah sampai saat ini masih merupakan aktivitas atau kegiatan berorientasi proyek, dan implementasinya

(27)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 27

belum mendasarkan pada konsep yang benar. Kenyataan ini mendorong perlu segera diwujudkannya pendekatan konsep untuk pengelolaan air bawah tanah secara menyeluruh (Total Groundwater Management).

• Tahapan pada Konsep Pengelolaan

Implementasi pengelolaan sumberdaya air bawah tanah perlu didahului oleh beberapa kegiatan awal, yaitu : (1) penentuan daerah/basin yang akan dikelola, (2) penyusunan sistem informasi dan data base dan (3) evaluasi data yang tersedia. Disamping itu mutlak perlu adanya dukungan komitmen semua pihak terkait pada pelaksanaan pengelolaannya.

Penyusunan data base dan sistem informasi pada daerah yang akan dikelola dilaksanakan melalui pengumpulan data primer maupun data sekunder, termasuk di dalamnya aspek legal, manajerial dan aspek teknis. Melalui evaluasi ketiga aspek tersebut, selanjutnya ditentukan variabel utama atau parameter-parameter yang digunakan pada proses commitment building dari semua pihak terkait.

Hasil yang didapatkan pada proses commitment building tersebut digunakan untuk menyusun kebijakan yang dimanifestasikan pada item-item tujuan dan target yang diharapkan dari pelaksanaan pengelolaan. Bersamaan dengan proses tersebut diperlukan pembentukan kelembagaan / pengorganisasian sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Item tujuan dan target pengelolaan yang telah ditentukan di suatu daerah yang akan dikelola harus diikuti dengan penyusunan program-program pengelolaan yang nyata dan sesuai dengan kondisi fisik daerah yang akan dikelola. Tahapan berikutnya pada proses siklus pengelolaan (management cycle) adalah proses audit. Hasil proses audit pengelolaan didasarkan pada evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan dan semua kegiatan dalam rangka pengelolaan. Hal tersebut sangat penting, karena hasil audit tersebut diharapkan sebagai control dari berbagai pihak terkait. Kontrol, saran dan kritik perbaikan dari semua pihak sangat diperlukan untuk peningkatan proses pengelolaan berkelanjutan (gambar 5 dan 6).

(28)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 28

Cekungan air bawah tanah didefinisikan sebagai suatu cekungan hidrogeologi pada suatu wilayah yang dibatasi oleh kondisi hidraulika berbeda, yang mengandung satu akuifer atau lebih dengan penyebaran luas. Cekungan air bawah tanah secara alamiah dibatasi oleh batas-batas hidraulika yang dikontrol oleh karakteristik kondisi geologi dan hidrogeologi wilayah setempat. Suatu cekungan air bawah tanah dapat dibatasi oleh satu atau lebih tipe batas yang kondisi hidraulika pada setiap batasnya berbeda-beda (Hendrayana, 1993). Suatu cekungan air bawah tanah dapat berada dalam satu wilayah kabupaten/kota, lintas kabupaten/kota, lintas provinsi, atau bahkan lintas Negara, dengan demikian batas cekungan air bawah tanah tidak selalu berimpit denga batas administrasi pemerintahan.

Dalam rangka menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air bawah tanah, maka diperlukan langkah-langkah sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas dalam suatu cekungan air bawah tanah. Pengelolaan cekungan air bawah tanah harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada efektifitas pemanfaatan air bawah tanah untuk meminimalkan dampak negatif, seperti penurunan muka air bawah tanah, degradasi kualitas maupun terjadinya penurunan muka tanah/amblesan.

Tidak tercapainya hasil yang optimal pada proses pengelolaan air bawah tanah selama ini, antara lain disebabkan adanya kesalahan konsepsi (misconception) pada pendekatan teknis pengelolaannya, yaitu (Hendrayana, 2000b, 2002a-b) :

(1) implementasi pengelolaan air bawah tanah didasarkan hanya pada konsep well management;

(2) batas administrasi dijadikan batas daerah pengelolaan air bawah tanah ; (3) pengelolaan kuantitas dan kualitas air bawah tanah dilaksanakan dengan

menggunakan konsep pendekatan pengelolaan yang sama;

(4) belum adanya integrasi pengelolaan antara air bawah tanah dan air permukaan;

(5) dan beberapa penyebab lainnya seperti yang telah dijelaskan pada sub bab terdahulu.

Secara umum pengelolaan cekungan air bawah tanah dilaksanakan melalui tiga tahapan utama, yaitu :

1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik cekungan air bawah tanah, identifikasi rona awal kuantitas dan kualitas air bawah tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air bawah tanah, dll.

(29)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 29

2. Tahapan observasi, untuk memantau perkembangan atau perubahan kuantitas dan kualitas air bawah tanah, analisa data dan mengumpulkannya pada sistem data base.

3. Tahapan pengelolaan, implementasi program pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah

Pada kenyataan di alam, satu daerah aliran sungai (River Basin) di permukaan dapat mencakup satu atau lebih cekungan air bawah tanah, dan terdapat juga satu cekungan air bawah tanah di bawah permukaan dapat mencakup satu atau lebih daerah aliran sungai. (lihat gambar ). Masing-masing cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai dapat berada pada satu atau lebih daerah administrasi. Pada kasus kenyataan di alam seperti di atas, maka regulasi pemanfaatan sumberdaya air tidak ditentukan oleh batas administrasi, tetapi tetap mendasarkan pada batas cekungan air bawah tanah atau pun batas daerah aliran sungai (untuk air permukaan).

Pada dasarnya pengelolaan cekungan air bawah tanah di setiap wilayah mempunyai karakteristik dengan kata kunci, sebagai berikut (Hendrayana, 2002a-b) :

a. Bersifat spesifik pada setiap daerah yang dikelola

b. Evaluasi bersifat spatial berdasar cekungan air bawah tanah c. Evaluasi Sebab-Akibat

d. Implementasi program bersifat integrasi

e. Memerlukan komitmen dari pemegang kebijakan f. Didukung oleh peraturan perundangan

g. Memerlukan partisipasi Pemerintah–Masyarakat–Swasta h. Demokrasi-HAM-Lingkungan Hidup

(30)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 30

Gambar 1 : Hubungan antara Cekungan Air Bawah Tanah dan Daerah Aliran Sungai (Hendrayana, 2002a)

Sumberdaya air bawah tanah baik secara kuantitas dan kualitas harus dikelola bersamaan, dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan yang berbeda, sehingga dapat dicapai sasaran atau hasil pengelolaan yang lebih optimal dan nyata. Konsep dasar sistem pola aliran air bawah tanah secara regional, intermediate dan local sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah di suatu daerah, yaitu untuk pendekatan konsep pengelolaan kuantitas dan kualitas air bawah tanah (Hendrayana, 2002b)

Aliran air bawah tanah regional (Regional Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara regional dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu atau antar cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah regional didapatkan dari hasil pemetaan pada skala regional 1 : 100.000 atau lebih kasar (1 : 250.000 dan seterusnya). Pola aliran ini merupakan kondisi aliran air bawah tanah secara alamiah, yang dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi daerah setempat(=faktor geogen). Konsep aliran air bawah tanah regional ini sangat efektif untuk digunakan pada konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air bawah tanah (lihat gambar 2, 3 dan 4)

(31)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 31

Aliran air bawah tanah intermediate (Intermediate Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara sub regional/intermediate/menengah dari satu tempat ke tempat lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah intermediate didapatkan dari hasil pemetaan pada skala intermediate 1 : 50.000 atau 1 : 25.000. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air bawah tanah alamiah (dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi = faktor geogen), tetapi di beberapa tempat tertentu dapat dipengaruhi pula oleh kegiatan manusia (=faktor anthropogen). Konsep aliran air bawah tanah intermediate ini dapat digunakan pada konsep pendekatan pengelolaan kuantitas air bawah tanah, dan pada kondisi tertentu dapat pula diterapkan untuk pendekatan pengelolaan kualitas air bawah tanah (lihat gambar 2, 3 dan 4).

Aliran air bawah tanah lokal (Local Groundwater Flow System = Artificial

Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara lokal dari satu

lokasi ke lokasi lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah lokal didapatkan dari hasil pemetaan pada skala rinci 1 : 12.500 atau lebih detil 1 : 10.000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air bawah tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia (=faktor anthropogen), tetapi di beberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi lokal/setempat (=faktor geogen). Konsep aliran air bawah tanah lokal ini sangat efektif untuk digunakan pada konsep pendekatan pengelolaan kualitas air bawah tanah (lihat gambar 2, 3 dan 4).

Gambar 2 : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal dalam Cekungan Air Bawah Tanah (Domenico, 1990 )

(32)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 32

Gambar 3 : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal pada skala pemetaan yang berbeda (Domenico, 1990)

Groundwater Basin

Regional GwFlow

System Intermediate GwFlow System Local GwFlow System

Regional hydrostratigraphical units (Regional hydrogeological System) Intermediate hydrostratigraphical units (Intermediate hydrogeological System) Local hydrostratigraphical units (Micro hydrogeological System)

(33)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 33

Gambar 4 : Klasifikasi sistem aliran air bawah tanah dan penerapannya pada pemecahan masalah air bawah tanah (Hendrayana,, 2002a-b)

Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah

Langkah awal pada proses pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam cekungan air bawah tanah adalah penentuan batas dan karakterisasi cekungan air bawah tanah yang akan dikelola. Pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam cekungan ini didasarkan pada pemahaman konsep aliran air bawah tanah secara regional atau intermediate tergantung luas penyebaran cekungan air bawah tanah. Analisis sistem aliran airtanah regional/intermediate digunakan untuk menentukan daerah recharge dan discharge air bawah tanah. Selanjutnya pada daerah-daerah tersebut dilakukan analisis neraca air bawah tanah dengan menggunakan evaluasi data numerik sistem aliran air bawah tanah dan bantuan dari sistem data base.

Pada pendekatan konsep ini harus diintegrasikan dengan konsep pengelolaan air permukaan pada suatu daerah aliran sungai. Deliniasi dan karakterisasi daerah aliran sungai dilakukan untuk analisis sistem aliran sungai regional/intermediate dan karakterisasi daerah recharge dan discharge aliran air permukaan. Dengan demikian selanjutnya dapat dihitung neraca air permukaan.

Berdasarkan pada hasil analisis neraca air bawah tanah pada cekungan air bawah tanah dan neraca air permukaan pada daerah aliran sungai, serta didukung

(34)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 34

oleh sistem data base dan sistem informasi sumberdaya air, maka pengelolaan kuantitas air bawah tanah dapat diimplementasikan dengan menggunakan sistem siklus pengelolaan (management cycle) (lihat gambar 5)

Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah

Konseptualisasi secara kuantitatif dari suatu proses pergerakan massa yang komplek dalam air bawah tanah relatif lebih rumit dibandingkan dengan analisis neraca air pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam suatu cekungan. Proses kontaminasi atau pencemaran air bawah tanah yang terjadi di suatu tempat harus diketahui secara akurat dengan melakukan penelitian dan pemantauan secara detil, yaitu untuk mengetahui proses dan pergerakan kontaminan dalam air bawah tanah. Proses pencemaran air bawah tanah berlangsung lambat dan komplek, sehingga memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pemecahan masalah pada kuantitas air bawah tanah.

Berdasar uraian di atas, maka pemahaman konsep pola aliran air bawah tanah secara lokal sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah tanah dalam cekungan, yaitu pemahaman terhadap interaksi air permukaan dan air bawah tanah secara lokal, pola aliran air bawah tanah akibat kegiatan manusia dan akibat pengaruh morfologi daerah setempat.

Pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah tanah ini, maka perlu dilakukan pembagian cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai menjadi satuan-satuan yang lebih kecil, sesuai sub daerah yang akan dikelola kualitas air bawah tanah nya.

Konsep MikroHidrogeologi dapat diterapkan pada cekungan air bawah tanah untuk mengetahui sistem aliran air bawah tanah secara lokal (Local and artificial groundwater flow system), yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada proses dan pergerakan massa / kontaminan dalam air bawah tanah. Demikian juga pada suatu aliran sungai di dalam daerah aliran sungai seharusnya dibagi menjadi segmen-segmen yang lebih pendek untuk mengetahui interaksi antara air permukaan dan air bawah tanah secara lokal di setiap tempat.

Dengan berbasis pada konsep aliran air bawah tanah secara lokal tersebut di atas, maka data hidrokimia air bawah tanah dan air permukaan yang sangat berkaitan dalam cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai, serta dengan dukungan

(35)

Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan 35

sistem database, maka dapat diimplementasikan konsep pengelolaan kualitas air bawah tanah dengan memanfaatkan sistem siklus pengelolaan (gambar 6)

CHARACTERIZATION RECHARGE AND DISCHARGE

AREA OF GROUNDWATER DELINEATION AND CHARACTERIZATION GROUNDWATER BASIN

ANALYSIS

REGIONAL AND INTERMEDIATE GWFLOW SYSTEM

GROUNDWATER QUANTITY MANAGEMENT

Commitment Building Policy Decision DELINEATION AND CHARACTERIZATION RIVER BASIN ANALYSIS GROUNDWATER BALANCE CHARACTERIZATION RECHARGE AND DISCHARGE

AREA OF SURFACE WATER

ANALYSIS WATER BALANCE

ANALYSIS

SURFACE WATER FLOW SYSTEM D E V E L O P M E N T OF DATA BASE SYSTEM

Gambar

Gambar 2  : Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal dalam  Cekungan Air Bawah Tanah (Domenico, 1990 )

Referensi

Dokumen terkait

Tris Hardiyanto, Penerapan Pengelolaan Air ....PascasarjanaUI, 2004... Tris Hardiyanto, Penerapan Pengelolaan Air

dan evaluasi pelaksanaan. c) Mengunggah softcopy laporan akhir (mengikuti format pada Lampiran 5) yang telah disahkan lembaga penelitian dalam format pdf dengan ukuran file

Beri air pada wajan, taruh roller plate di bawah stick roller plate, taruh rak di atas wajan, taruh wajan di atas kompor, nyalakan api, setelah pemutar api

Berdasarkan Tabel 4 di atas, kelas diameter 10–20 cm untuk famili Lauraceae memiliki riap lebih besar daripada famili lain, sementara pada kelas diameter 20–30 cm, riap

Berdoaorkan landao an anggaran yon^j be ri n ban g,

Studi ini dilakukan untuk mempelajari penurunan suhu, peningkatan kelembaban dan peran angin pada penerapan sistem pengabutan air tekanan rendah di iklim tropis

Sebagai tuan rumah bagi CIFOR, kami berharap Pemerintah Indonesia dan juga seluruh warga negara Indonesia, dapat sama-sama merasa bangga dengan hasil kajian tim ahli tersebut

Kualitas asuhan keperawatan dapat mencapai hasil yang optimal apabila beban kerja dan sumber daya perawat yang ada memiliki proporsi yang