• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Asas Nemo Judex In Causa Sua. a.1 Pengertian Asas Nemo Judex In Causa Sua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Asas Nemo Judex In Causa Sua. a.1 Pengertian Asas Nemo Judex In Causa Sua"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Asas Nemo Judex In Causa Sua

a.1 Pengertian Asas Nemo Judex In Causa Sua

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat kita jumpai tiga

pengertian asas, yaitu:1 a. Dasar, alas, pedoman ; misalnya, batu yang baik

untuk alas rumah; b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir berpendapat dan sebagainya; c. Cita-cita yang menjadi dasar.

Dari ketiga pengertian tersebut dapat kita lihat pengertian yang Esensial dari asas itu adalah merupakan dasar, pokok tempat menemukan

kebenaran dan sebagai tumpuan berpikir.2dasar atau pedoman bagi penulis

sangat penting karena dasar yang kuat menjadi acuan bagi penulis untuk mencari kebenaran berdasarkan hati nurani.

Asas-asas hukum ada tiga macam:3

1. Asas-asas hukum objektif yang bersifat moral. Prinsip-prinsip itu telah ada pada para pemikir Zaman Klasik dan Abad Pertengahan.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008),

Hlm. 94

2 Chainur Arrasjid.2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm. 35- 36.

3 J.J.H. Bruggink, Ahli Bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya

(2)

18

2. Asas-asas hukum objektif yang bersifat rasional yaitu prinsip-prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip-prinsip ini juga telah diterima sejak dahulu, akan tetapi baru diungkapkan secara nyata sejak mulainya zaman modern, yakni sejak timbulnya negara-negara nasional dan hukum yang dibuat oleh kaum yuris secara profesional.

3. Asas-asas hukum subjektif yang bersifat moral maupun rasional, yakni hak-hak yang ada pada manusia dan yang menjadi titik tolak pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling Nampak pada bidang ini.

Tentang batasan pengertian asas hukum, ada berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti berikut:

1. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan keterbatasannya sebagai

pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.4 Padangan kesusilaan

pada hukum sangat diperlukan karena hukum itu sendiri hidup ditengah masyarakat. Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas

(3)

19

hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan

hukum positif.5 Asas disini sangat penting sebagai dasar atau

petunjuk arah saat pembentukan hukum positif akan dilakukan. 2. Satjipto Rahardjo asas hukum adalah jantungnya peraturan hukum

karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan hukum atau ia adalah sebagai ratio legis-nya peraturan hukum. Pada akhirnya peraturan-peraturan hukum itu harus dapat

dikembalikan kepada asas-asas tersebut.6 Dari rumusan pengertian

asas hukum yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat dikatakan bahwa asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dan dasar-dasar umum tersebut

adalah merupakan sesuatu yang mengandung nilai-nilai etis.7

Dasar-dasar tersebut menjadi kokoh dan mempunyai nilai bersumber dari asas. Dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang harus dianut dalam kerangka pembaharuan hukum di Indonesia harus dilandaskan pada setidaknya dua nilai sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila yaitu

nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat-istiadat.8

Secara etimologi, asas diartikan sebagai dasar, landasan, fundamen, prinsip, jiwa atau cita-cita. Asas juga diartikan sebagai suatu dalil umum yang

5 Ibid 6 Ibid 7 Ibid

8 Erdianto Effendi.2001.Pertanggungjawaban Pidana Presiden Republik Indonesia Menurut Sistem

(4)

20

dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Terkait dengan ilmu hukum, dikenal pula istilah asas hukum

yang dapat diartikan sebagai berikut:9

a. Prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum yang terdiri dari pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berfikir tentang hokum;

b. Memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau pandangan etis yang ingin diwujudkan.

Asas hukum bukan aturan hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti jika tidak ada asas-asas tersebut. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, asas hukum merupakan dasar utama yang

harus diperhatikan.10 Guna mendapatkan pandangan yang benar ditinjau

berdasarkan hati nurani. Bahkan menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum bukan peraturan hukum, melainkan tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Asas hukum diibaratkan sebagai jantung tata hukum yang memompakan darah sekujur tubuh tatanan tersebut.

Dengan kata lain asas hukumlah yang dapat mengubah kualitas tata hukum sebagai bangunan peraturan yang tersusun secara logis rasional menjadi

9 Dodi Haryono. 2009.Ilmu Perundang-Undangan. Pekanbaru. Pusbangdik. Hlm. 25. 10 Ibid

(5)

21

suatu bangunan hukum yang juga berkualitas etis, moral, dan sosial masyarakat. Asas merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut, Asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum, asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa asas akan melahirkan

peraturan-peraturan selanjutnya.11 Dari penjabaran ini dapat disimpulkan betapa

pentingnya keberadaan asas sebagai perwujudan ruh dalam suatu peraturan hukum, yang dipandang disini bukan hanya berisikan aturan tapi juga berisikan moral, etis yang hidup ditengah masyarakat.

Menurut Oka Mahendra, asas-asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum yang mengandung nilai-nilai moral dan etis merupakan petunjuk arah bagi pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis. Sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat dan nilai yuridis

yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.12penulis

setuju dengan pendapat di atas karena mengandung nilai moral dan etis sebagai petunjuk pembentukan hukum karena disanalah rasa keadilan dan kebenaran

11 Satjipto Rahardjo, “Peranan Dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional”

(Pembahasan Terhadap Makalah Sunaryati Hartono), Seminar Dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta 19-20 Oktober 1988, Hlm.3 Dalam Dodi Haryono, Log.Cit.

(6)

22

dilihat berdasarkan hati nurani. Asas hukum berbeda dengan asal atau sumber

hukum,13 dalam penellitian ini salah satu asas yang menjadi fokus penelitian

penulis adalah asas nemo judex in causa sua berikut penjelasannya:

Asas nemo judex in causa sua atau asas nemo judex in propria causa merupakan asas hukum yang tegas melarang hakim memeriksa perkara yang menyangkut kepentingan sendiri karena tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Maka hakim tidak boleh memeriksa

perkara yang menyangkut kepentingan hakim itu sendiri.14 Asas nemo judex in

causa sua merupakan ruh dari Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berpekara.” Dari penjabaran di atas dapat dikatakan pula bahwa Asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas (ketidak berpihakan) hakim sebagai pemberi keadilan. Imparsialitas dalam proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika hukum dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan asas nemo judex in causa sua dapat dibagi kedalam beberapa pengertian, yaitu:

13 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. 1995.Yogyakarta.Kanisius. Hlm. 81.

14 Fitri Dwi Marsela. 2017.” Kajian Yuridis Terhadap Penafsiran Hakim Konstitusi Terkait Asas

Nemo Iudex In Causa Sua Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014”. Skripsi. UNNES.

(7)

23

a. Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik apabila seseorang yang diadili mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

b. Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

c. Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat. d. Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik apabila ia mempunyai

kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak

yang berpekara.15

Selain itu, Yanis Maladi mengatakan, karena sistem hukum Indonesia menganut asas nemo judex in causa sua yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan. Bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara, bukan pula menjadi pemutus perkaranya

(8)

24

sendiri. Asas nemo judex in causa sua merupakan salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas ini merupakan perwujudan dari imparsialitas. Dalam hal ini Hakim Konstitusi sebagai pihak yang diharapkan dapat memberikan pemecahan terhadap perkara konstitusional yang diajukan kepadanya.

Prinsip imparsialitas melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan putusan, sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima. Sebagai solusi hukum yang adil

bagi semua pihak yang berpekara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.16

Menurut penulis prinsip imparsialitas melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap putusan, karena kepercayaan masyarakat adalah ruh dari pengadilan. Sehingga putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak, yang dikemukakan bapak yanis maladi merupakan cita-cita yang diharapkan rakyat indonesia secara keseluruhan bahwa kepercayaan masyarakat pada pengadilan sangat penting guna mejaga kewibawaan hukum di mata masyarakat.

Menurut Mahfud MD “asas nemo judex in causa sua adalah asas yang menyatakan bahwa hakim tidak membuat putusan yang menyangkut kepentingannya sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung,

16 Yanis Maladi.2010.“Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa Dan Asas Ius Curia

Novit (Telaah Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006)”, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol.7 No.2.

(9)

25

hakim tidak memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait dengan dirinya.”17 Peter Beger “Tidak seorang pun menjadi hakim dalam kasusnya sendiri.” Saldi Isra “Seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri.” Marwan Mas “Tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri.”18

Disini penulis sepakat dengan beliau karena berdasarkan visi Mahkamah Konstitusi, yaitu “Mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan modern dan terpercaya”. Perlu digaris bawahi kata “terpercaya” dalam visi Mahkamah Konstitusi merupakan ruh dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Asas nemo judex in causa sua adalah asas yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk

mengadilinya.19 Karena objektifitas akan sangat sulit diwujudkan, disebabkan

pada diri manusia masih ada rasa keterikatan bila sudah menyinggung akan dirinya sendiri dan keluarga maupun lembaga tempat dia bernaung. Bila asas ini masih di abaikan oleh hakim MK penulis khawatir kepercayaan rakyat pada pengadilan akan memudar.

a. 2 Pengaturan Asas Nemo Judex In Causa Sua

17 M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara. Jakarta. LP3ES.Hlm.100.

18 Fitri Dwi Marsela. 2017.” Kajian Yuridis Terhadap Penafsiran Hakim Konstitusi Terkait Asas

Nemo Iudex In Causa Sua Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014”. Skripsi. UNNES.

(10)

26

Asas ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 17 tersebut khususnya ayat (5) dan (6) menyatakan:

Ayat (5): Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Ayat (6): Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.20

Berdasarkan ketentuan tersebut seharusnya seorang hakim berperan aktif dan mengundurkan diri bila diminta untuk menangani perkara yang berkaitan dengan hakim konstitusi baik kepentingannya sendiri maupun kepentingan lembaganya guna menjaga nama baik dan kewibawaan MK, untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.

B. Tinjauan Umum Putusan

Putusan dalam bahasa Belanda disebut vonnis, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut verdict. Istilah putusan ini semula tidak dikenal di lembaga lain. Istilah ini

20 Nur Agus Susanto.2013. “TIRANI” KONSTITUSIONAL Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi

(11)

27

hanya digunakan di lingkungan pengadilan, yaitu keputusan akhir atas sesuatu

perkara yang diperiksa dan diadili.21Putusan bagi penulis merupakan perwujudan

hukum yang sesungguhnya. Perlu diketahui di lingkungan Mahkamah Konstitusi dikenal adanya: (i) putusan (vonnis); (ii) peraturan (regels); (iii) ketetapan (beschikking) di bidang administrasi justisial; dan (iv) di bidang administrasi umum, empat bentuk produk hukum, penulis berpandangan perlu mencantumkan ini guna

menjadi pemahaman bagi penulis.22

Kebiasaan penggunaan istilah “putusan” ini di lingkungan pengadilan tidak jelas dimulai sejak kapan. Pengertiannya kemungkinan terkait dengan makna “kata putus”, kata keputusan yang bersifat final dan mengikat yang dikaitkan dengan pengertian keputusan yang sudah bersifat tetap (inkracht van gewijs). Kita hanya meneruskan kebiasaan yang diwarisi. Dimana kata putusan itu telah dianggap sebagai kelaziman yang benar, maka kita pun menggunakan istilah itu sampai sekarang guna

menamai sebutan untuk keputusan hakim atas suatu perkara.23 Agar lebih memahami

makna dari putusan maka peneliti memberikan 5 (lima) poin penjabaran secara singkat dan jelas yaitu:

1. Putusan Provisi dan Putusan Akhir

21 Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi.Jakarta.PT. Bhuana

Ilmu Populer.Hlm. 225.

22 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.Jakarta.Sinar

Grafika.Hlm 193

(12)

28

Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim. Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan. Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya terdapat dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada

putusan MK.24

2. Ultra Petita

Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang

24 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. HUKUM ACARA MAHKAMAH

(13)

29

dimohonkan (ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat

(2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.25

3. Sifat Putusan

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Declaratoir, Constitutief, dan Condemnatoir. Putusan Declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum. Putusan Constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan Condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi.

Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan MK bersifat Declaratoir dan Constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan yang mengabulkan bersifat Declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu

norma undang-undang.26

4. Pengambilan Putusan 25 Ibid.

(14)

30

Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya. Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Didalam Penjelasan Pasal 5 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa dalam

sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara abstain,27

karean suara abstain tidak mencerminkan konstitusi secara utuh dan dapat dilihat oleh masyarakat.

5. Isi Putusan

Putusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim. Putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti, Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para pihak, putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. Dilihat secara langsung dalam putusan MK tercantum Demi

27 Ibid

(15)

31

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan MK harus memuat:

a. Kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas

pemohon dan termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik prinsipal maupun kuasa hukum;

c. Ringkasan permohonan;

d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam

persidangan;

e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. Amar putusan; dan

g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Pada bagian “Duduk Perkara”,memuat ringkasan seluruh proses persidangan yang terjadi, mulai dari ringkasan permohonan, alat bukti yang diajukan, keterangan pihak terkait, keterangan saksi pemohon, keterangan ahli pemohon, keterangan saksi termohon/pihak terkait, keterangan ahli termohon/pihak terkait, serta keterangan ahli dari MK (jika ada). Pada bagian pertimbangan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu tentang kewenangan Mahkamah dan Legal Standing pemohon, serta tentang pokok perkara. Pada bagian pertama, MK akan mempertimbangkan apakah

(16)

32

permohonan merupakan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus, guna mendapatkan kejelasan. Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok perkara, Berbagai isu hukum tersebut diberikan pertimbangan satu-persatu, bahkan terhadap keterangan saksi dan ahli juga dijawab oleh majelis hakim, baik menyetujui maupun menolak keterangan itu. Di akhir pertimbangan, dicantumkan kesimpulan (konklusi) dan

dilanjutkan dengan amar putusan.28 Pendapat Berbeda Selain bagian-bagian

di atas, Berdasarkan Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam praktik sering terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat. Pendapat berbeda dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) Dissenting Opinion; dan (2) Concurent Opinion atau Consenting Opinion. Dissenting Opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang mempengaruhi perbedaan amar putusan. Sedangkan Concurent Opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar putusan. Perbedaan dalam Concurent Opinion adalah perbedaan pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama. Concurent Opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda

(17)

33

dengan amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum yang memperkuat amar putusan.

Dissenting Opinion merupakan salah satu bentuk

pertanggungjawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK. Adanya Dissenting Opinion tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan MK. Putusan MK yang diambil secara mufakat oleh 9 hakim konstitusi. Dalam praktik putusan MK, penempatan Dissenting Opinion mengalami beberapa perubahan. Pertama kali, Dissenting ditempatkan pada bagian pertimbangan hukum Mahkamah setelah pertimbangan hukum mayoritas, baru diikuti dengan amar putusan.

Pada perkembangannya, penempatan demikian dipandang akan membingungkan masyarakat yang membaca putusan. Kekuatan Hukum Putusan-Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. Dengan demikian MK merupakan peradilan pertama dan

terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum.29

29 Ibid,

(18)

34

C. Tinjauan Umum Judicial Review

Khusus untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengujian UU melalui lembaga peradilan(judicial review) kita lihat dalam Kamus Hukum.

Menurut Kamus Black Law Dictionary:

Judicial review: A court’s power to review the actions or others branches or levels of government esp., the court’s power to invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional. 2. The constitutional doctrine providing for this power. 3. A courts review of lower courts or an administrative bodys factual or legal findings30

Penulis berpandangan sangat membutuhkan pengertian judicial review diatas guna menjadi acuan dalam menjelaskan makna. Melihat sejarah pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang

pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review.31 Walaupun

terdapat ahli yang mencoba menarik sejarah judicial review hingga masa yunani kuno

dan pemikiran sebelum abad ke-19.32 Tetapi momentum utama munculnya judicial

30 Black Law Dictionary Dalam Muchamad Aziz Pengujia Peraturan Perundang-Undangan Dan

Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia , Seventh Edition, Editor In Chief: Bryan A. Garner, West Group, St. Paul, Minn, 1999, Hlm. 853.

31 Istilah Judicial Review Terkait Dengan Istilah Belanda “Toetsingsrecht”, Tetapi Keduanya Memiliki

Perbedaan Terutama Dari Sisi Tindakan Hakim. Toetsingsrecht Bersifat Terbatas Pada Penilaian Hakim Terhadap Suatu Produk Hukum, Sedangkan Pembatalannya Dikembalikan Kepada Lembaga Yang Membentuk. Sedangkan Dalam Konsep Judicial Review Secara Umum Terutama Di Negara-Negara Eropa Kontinental Sudah Termasuk Tindakan Hakim Membatalkan Aturan Hukum Dimaksud. Selain Itu, Istilah Judicial Review Juga Terkait Tetapi Harus Dibedakan Dengan Istilah Lain Seperti Legislative Review, Constitutional Review, Dan Legal Review. Dalam Konteks Judicial Review Yang Dijalankan Oleh MK Dapat Disebut Sebagai Constitutional Review Karena Batu Ujinya Adalah Konstitusi. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2005), Hal. 6 – 9.

32 Perkembangan Pemikiran Judicial Review Dari Yunani Kuno Dan Sebelum Abad Ke-19

(19)

35

review adalah pada keputusan MA Amerika Serikat dalam kasus Marbury vs. Madison pada 1803. Sejarah ini mencatat awal mula munculnya Judicial Review.

Dalam kasus tersebut, MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang-undang yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA AS yang diketuai oleh John Marshal. Berpendapat kewajiban konstitusional mereka

yang telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi.33 Terhadap

perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan bahwa judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan elemen

esensial konstitusi.34

D. Tinjauan Umum Mahkamah Konstitusi

Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 – 1920. Gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Perkembangan

33 Http://Www.Law.Umkc.Edu/Faculty/Projects/Ftrials/Conlaw/Marburyvsmadison.Mht, Diakses

8/01/ 2020.

34 5 Leonard W. Levy (Ed.), Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, Dan Fungsinya Dalam

Negara Demokrasi, Judul Asli: Judicial Review And The Supreme Court, Penerjemah: Eni Purwaningsih, (Jakarta: Penerbit Nuansa, 2005), Hlm. 3.

(20)

36

lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus menangani Judicial Review dan perkara-perkara konstitusional lainnya. Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan wewenang judicial review sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi, dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan

perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.35

Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang independen merupakan wujud implementasi gagasan negara hukum, yang salah satu cirinya adalah menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi, sehingga konstitusi tersebut harus dilindungi atau dijaga dari tindakan yang menyimpang. Artinya MK dibentuk untuk terciptanya kehidupan bernegara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum di Indonesia. Berfungsinya MK sebagai kekuasaan kehakiman yang independen merupakan katup penekan atas tindakan pelanggaran hukum di bidang ketatanegaraan tanpa terkecuali. Selain itu, keberadaan MK merupakan keharusan bagi suatu negara hukum yang demokratis dan merupakan konsekuensi

35 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. HUKUM ACARA MAHKAMAH

(21)

37

perkembangan ketatanegaraan, serta politik hukum konstitusi.36 Dalam konteks

ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah masyarakat, MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab, ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.

Fungsi MK yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as guardian of the process of democratization). Selain itu, keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Perkembangan selanjutnya, MK justru lebih berani menguji dan membatalkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan eksistensinya, bahkan putusannya sering kali menimbulkan kontrovensi di kalangan masyarakat. Beberapa putusan, misalnya putusan No. 005/PUU-IV/2006 perihal pengujian UU Komisi Yudisial No. 22/2004, putusan ini menimbulkan problem ditengah masyarakat, karena membatalkan beberapa pasal yang urgen terkait dengan pengawasan hakim MK. Kasus lain, misalnya putusan No. 49/PUU-IX/2011 perihal pengujian UU MK Perubahan No. 8/2011 yang membatalkan beberapa pasal,

36 Abdul Latif.2009.Fungsi Mahkamah Konstitusi: Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi,

(22)

38

salah satunya adalah Pasal 50A “MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum”, putusan ini justru memunculkan angin segar dalam pengujian undang-undang dan penegakan negara hukum, karena pasal ini dinilai membatasi/ mereduksi kewenangan MK. Contoh lainnya adalah putusan No. 1-2/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa UU MK Perubahan Kedua No. 4/2014 secara keseluruhan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, putusan ini dinilai kontroversial karena undang-undang ini lahir dalam bentuk Perppu, dan kelahiran dari Perppu ini adalah usaha untuk menyelamatkan MK dari kegaduhan dan kemerosotan institusi (penangkapan salah satu hakim yang menjabat Ketua MK oleh KPK karena kasus penyuapan).

Perspektif yuridis, berangkat dari pertanyaan bahwa lembaga manakah yang diberikan amanah oleh konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal 24A UUD 1945 menyebutkan ketentuan bahwa: “MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang-undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”, tentu telah jelas dalam hal ini bahwa MA tidak memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Pasal 24C menyebutkan bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD…”, ketentuan ini telah jelas dan tidak perlu dipersoalkan, bahwa MK sebagai lembaga negara satu-satunya yang memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini penulis sependapat dengan pandangan MK, bahwa MK

(23)

39

adalah satu-satunya forum yang legitimate dalam melakukan pengujian undang-undang, dan tidak ada forum lain yang sah di luar MK, bahkan secara lebih detail,

MK merupakan satu-satunya lembaga penafsir konstusi yang sah.37

Selain itu, apakah ketentuan UUD membedakan pengujian undang-undang yang mengatur kelembagaan MK dengan undang-undang lainnya. Ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK No. 24/2003 jelas tidak membedakan undang-undang tersebut, dalam hal ini menunjukan bahwa MK berhak dan berwenang menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya. Selain itu, terdapat asas ius curia novit yang merupakan asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas dan sebaliknya hakim harus memeriksa dan

mengadilinya.38 Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Bahkan, beberapa masalah yang akan muncul jika MK tidak boleh menguji undang-undang dimaksud, yaitu:

(a) MK telah melanggar UUD 1945 dengan tidak melaksanakan kewenangannya; (b) hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, lebih lanjut akan merusak tatanan hukum dan keadilan, serta menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga MK. Sebab pengujian

37 Tanto Lailam.2015.Pertentangan Norma Hukum: dalam Teori dan Praktik Pengujian

Undang-undang di Indonesia,Yogyakarta: LP3M UMY. Hlm.395

38 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral

(24)

40

undang merupakan salah satu jalan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi; (c) membiarkan undang-undang MK yang mengandung problem hukum justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi, dan tindakan ini juga bertentangan dengan konstitusi.

Dalam hal lain, terkait fungsi MK sebagai penafsir sah UUD atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution), maka MK tidak dapat melakukan penafsiran secara bebas. Penafsiran secara bebas atau sebebas-bebasnya akan

menimbulkan manipulasi konstitusi.39 Selain itu, MK tidak boleh hanya semata-mata

terpaku pada metode penafsiran originalisme yang mendasarkan pada original intent perumusan pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi UUD itu sendiri secara

keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.40 Merujuk pada hal

tersebut, tidak ada larangan bagi hakim konstitusi untuk menggunakan metode penafsiran yang diyakininya benar, “bukan benar menurut keyakinan hakim semata”, tetapi “benar berdasarkan konstitusi”.

Visi dari Mahkamah Konstitusi, yaitu mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan modern dan terpercaya. Sedangkan misi dari mahkamah konstitusi ialah membangun Sistem Peradilan Konstitusi yang Mampu Mendukung Penegakan

39 Bagir Manan dan Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasinya.Jakarta: Rajawali

Pers, 2014, Hlm.180

(25)

41

Konstitusi dan meningkatkan Pemahaman Masyarakat Mengenai Hak Konstitusional

Warga Negara.41

E. Tinjauan Umum Asas-Asas Hukum Acara MK

Asas dapat disebut sebagai landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung yang menghubungkan antara aturan hukum dengan

cita-cita dan pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum objektif).42

Menurut Maruarar Siahaan, mengemukakan 6 (enam) asas dalam peradilan MK yaitu (1) ius curia novit; (2) Persidangan terbuka untuk umum; (3) Independen dan imparsial; (4) Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; (5) Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem); dan (6) Hakim aktif

dan juga pasif dalam persidangan.43

Selain itu perlu ditambahkan lagi satu asas yaitu asas (7) Praduga Keabsahan

(praesumptio iustae causa).44 Agar lebih memahami asas-asas pandangan menurut

41Mahkamah konstitusi,2020, visi dan misi mahkamah konstitusi, https://mkri.id/, diakses tanggal 17

juli 2020

42 Satjipto Rahardjo.1982.Ilmu Hukum.Bandung.Alumni, 1982. Hlm. 85 – 86.

43 Untuk Asas Hakim Aktif Dan Juga Pasif, Penggunaan Istilah Tersebut Dipandang Kurang Tepat

Karena Seolah Saling Bertentangan. Dalam Buku Ini Akan Digunakan Istilah Hakim Aktif Dalam Persidangan. Istilah Pasif Tidak Digunakan Karena Asas Itu Dimaksudkan Bahwa Hakim Tidak Mencari-Cari Perkara Sehingga Masih Di Luar Persidangan. Selain Itu, Pasif Dalam Arti Tidak Mencari-Cari Perkara Lebih Tepat Melekat Pada Lembaga Peradilannya, Bukan Kepada Hakim. Perubahan Lain Yang Dilakukan Adalah Menempatkan Asas Ius Curia Novit Pada Pembahasan Pertama Karena Bersifat Lebih Umum Walupun Urutan Tidak Menunjukkan Prioritas. Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan MK RI, 2006), Hlm. 61 – 81.

44 Dikenal Juga Dengan Istilah Het Vermoeden Van Rechtmatigheid. Asas Ini Berarti Bahwa Tindakan

Penguasa Dianggap Sah Sesuai Aturan Hukum Sampai Ada Pembatalannya. Asas Ini Dipandang Perlu Khususnya Terkait Dengan Wewenang Memutus Perkara Pengujian Undang-Undang, Sengketa

(26)

42

Maruarar Siahaan salah satu hakim konstitusi pada periode pertama penulis beranggapan perlu dilakukan penjabaran mengenai 7 (tujuh) poin tersebut yaitu :

1. Ius Curia Novit

Asas Ius Curia Novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan

dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.45

2. Persidangan Terbuka Untuk Umum

Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK.46

Sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan

Kewenangan Lembaga Negara, Dan Perselisihan Hasil Pemilu, Di Mana Objek Sengketanya Adalah Produk Tindakan Penguasa.

45 Tentang Latar Belakang Asas Ius Curia Novit, Dapat Dilihat Pada Pertimbangan Putusan MK

Nomor 061/ PUU-II/2004.

46 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. HUKUM ACARA MAHKAMAH

(27)

43

objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan di dalam persidangan, karena objektifitas sangat penting bagi seorang hakim.

3. Independen dan imparsial

Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus Independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau Imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.47karena dari

sanalah kepercayaan masyarakat pada peradilan.

4. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit,Serta membutuhkan biaya yang mahal. Maka hanya sekelompok orang tertentu

(28)

44

yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan, dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan. Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali

tidak disebutkan mengenai biaya perkara.48

5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)

Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial), untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah

dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon.49disinilah letak keunikan

peradilan MK bila masyarakat awam melihatnya. 6. Hakim Aktif Dalam Persidangan

Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui hukum dari suatu perkara,sesuai dengan asas Ius Curia Novit, yang juga dapat diterjemahkan bahwa hakim mengetahui hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan

itu dapat aktif dalam persidangan.50 Hakim tidak hanya berpaku kepada alat

bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak

48Ibid. Halaman 21 49 Ibid. Halaman 22 50Ibid. Halaman 23

(29)

45

tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahkan memerintahkan suatu alat

bukti diajukan ke MK.51

7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa).

Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh. Sebagai konsekuensi dari asas ini, apabila ada upaya hukum untuk melakukan pengujian terhadap tindakan dimaksud maka tindakan itu tetap berlaku walaupun sedang dalam proses pengujian. Perwujudan dari asas ini dalam wewenang MK dapat dilihat pada kekuatan mengikat putusan MK adalah sejak selesai dibacakan dalam

sidang pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum.52

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu:

1. The principle of judicial independence

51Ibid. Halaman 24

(30)

46

Prinsip independensi antara lain harus diwujudkan dalam sikap hakim dalam sikap hakim memutuskan dan memutus perkara yang dihadapinya, disamping itu independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim.

2. The principle of judicial impartiality

Prinsip ketidakberpihakan adalah mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear be impartial) (Jimly

Asshiddiqie, 2005).53

Untuk menyikapi permasalahan benturan asas ius curia novit dan asas nemo judex in causa sua sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan, maka asas lex superiori derogat legi inferiori merupakan pisau yang tepat untuk membedah permasalahan konflik norma. Pengertian lex superiori derogat legi inferiori adalah Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang

tinggi pula.54Jika ada pertentangan (konflik) antara asas ius curia novit maupun nemo

judex in causa sua, maka yang dijadikan rujukan adalah nilai-nilai filosofi tujuan hukum lebih tinggi dan menjadi acuan pembentukan/ pemberlakuan asas tersebut.

53 Eza Aulia. 2014. SISTEM PENGAWASAN TERHADAP HAKIM KONSTITUSI DALAM

MEWUJUDKAN INDEPENDENSI HAKIM. Universitas Teuku Umar. Jurnal Public Policy

54 I Kadek Setiawan.2017. INKONSISTENSI PENGATURAN DALAM PELAKSANAAN

KEWENANGAN DAN BIAYA PEMBERIAN IZIN USAHA MIKRO.Bali. jurnal legislasi Indonesia.Vol. 14 No. 03.Hlm 27-29.

(31)

47

Pemberlakuan ius curia novit maupun nemo judex in causa sua harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai-nilai-nilai konstitusi (UUD 1945). Dalam menguji undang-undang yang berkaitan dengan eksistensinya, MK harus memutuskan permasalahan asas tersebut, sebab disatu sisi MK harus melaksanakan asas ius curia novit sementara disisi lain MK juga terikat dengan asas nemo judex in causa sua.

Solusi yang dilakukan jika terdapat pertentangan antara asas ius curia novit maupun nemo judex in causa sua adalah menggunakan filosofi tujuan hukum untuk mengutamakan satu asas dan mengenyampingkan asas yang lain, dengan tolok ukur pengutamaan nilai-nilai filosofi tujuan hukum yang terkandung dalam Pancasila dan konstitusi, baik nilai keadilan, nilai kemanfaatan, dan nilai kepastian hukum yang adil demi tegaknya negara hukum Pancasila (nilai-nilai pada level pertama dan kedua).

Menurut Yanis Maladi55

Penerapan asas nemo judex in causa sua bisa dilakukan pengecualian, maksud pengecualian disini adalah asas hukum nemo judex in causa sua tidak bisa diterapkan disegala lini proses peradilan. Ada beberapa alasan, antara lain:

(a). bersandar dari kewenangannya MK memiliki kewajiban menyelesaikan permasalahan konstitusional, jika asas ini diterapkan maka ditafsirkan akan menghalangi MK memutus perkara ini, karena menyangkut imparsialitas MK; (b), Lembaga peradilan adalah jalan terakhir bagi para pencari keadilan (justibelen) untuk mencari keadilan, bilamana MK tidak memutus perkara ini maka sudah dipastikan perkara ini tidak memiliki kejelasan dan tidak

55 Yanis Maladi, “Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causadan Asas Ius Curia Novit”

(32)

48

memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan; (c) Imparsialitas hakim disini harus diartikan adanya kepentingan baik secara langsung ataupun tidak langsung hakim terhadap perkara.

Sedangkan dalam konteks ini bisa dilihat bahwa tidak ada kepentingan hakim secara langsung atau tidak langsung, karena perkara yang diajukan adalah perkara yang menyangkut masalah konstitusional, melainkan putusan ini nantinya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dan menyelesaikan benturan aturan di bawah konstitusi dengan konstitusi. Dengan demikian Asas nemo judex in causa sua bisa dilakukan pengecualian dalam konteks ini, akan tetapi asas ini tetap mutlak tidak boleh dikesampingkan dalam peradilan umum. Pro-kontra kewenangan MK dalam menguji undang-undang yang mengatur eksistensinya diawali adanya benturan asas “ius curia novit” dengan asas “nemo judex in causa sua”. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh implikasi beberapa putusan MK (materi), terkadang melakukan terobosan hukum, misalnya membatalkan norma yang dipandang menghalangi atau mereduksi tugas dan kewenangan MK, tambahan kewenangan menguji undang-undang sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan tambahan dalam menguji Perppu, ultra petita, dan penggunaan non konstitusi sebagai tolok ukur, dan lainnya. Namun disisi lain, dilihat dari materi putusannya MK juga kadang memilih logika hukum yang kurang tepat dan anti akuntabilitas. Benturan asas dapat diselesaikan dengan pemahaman filosofi tujuan hukum (nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaaatan), sehingga MK harus mengutamakan asas “ius curia novit”dan meng-enyampingkan asas “nemo judex in causa sua”, hal ini bertujuan agar tegaknya

(33)

49

konstitusi (nilai-nilai) dan negara hukum Indonesia, sekaligus bagi MK bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan konstitusional dan bertujuan untuk melindungi hak konstitusional.

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system), yaitu the principle of judicial independence, dan the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau “modern constitutional state”.

Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Sementara itu, prinsip kedua adalah prinsip ketidakberpihakan, mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat

bekerja secara imparsial (to appear to be impartial)56. Tujuh prinsip yang terangkum

dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tersebut

adalah: 57

1. Prinsip Independensi

56 Eza Aulia.2014. SISTEM PENGAWASAN TERHADAP HAKIM KONSTITUSI DALAM

MEWUJUDKAN INDEPENDENSI HAKIM. Universitas Teuku Umar. Jurnal Public Policy.Hlm.34-35

57 Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang pemberlakuan

(34)

50

Independensi hakim konstitusi merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prinsip ini melekat sangat dalam. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006. Tentang pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi Mahkamah sebagai

institusi peradilan yang beribawa, bermartabat, dan terpercaya.

Independensi hakim konstitusi dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim konstitusi, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung atau tidak langsung.

Berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Prinsip independensi juga diperkuat dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 “Menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK “ Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

(35)

51

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan dalam Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, lebih jelasanya Pasal 3 ayat (1) “Yang dimaksud dengan “kemandirian peradilan”adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.”58 Karena dari sanalah kepercayaan masyarakat pada peradilan.

2. Prinsip Ketakberpihakan

Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam. Yaitu pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan Mahkamah dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berpekara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.

3. Prinsip Integritas

Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim konstitusi sebagai pribadi dan

(36)

52

sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya. Serta ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas,ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

4. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi. Baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bergaul dengan sesama hakim konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak dalam persidangan, atau pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

(37)

53 5. Prinsip Kesetaraan

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equaltreatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik. Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya maisng-masing dalam proses peradilan.

6. Prinsip Kecakapan dan Kesaksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim konstitusi merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim konstitusi yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim konstitusi yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa menunda-nunda pengambilan keputusan.

7. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan

Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi

(38)

54

pada saat itu serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar, tetapi tegas dan lugas.

Referensi

Dokumen terkait

ノ Tokumaru,Yosihiko(2000)五'aspectmelodiquedelamusiquedesyamisen ,Selaf378,Paris:Editions Peeters..

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

Unit ini kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk Operasi Pemindahan Beban. ELEMEN KOMPETENSI KRITERIA

Zdravi : > nivo kortizola inhibira oslobađanje ACTH iz adenohipofize, < nivo kortizola i drugih adrenalnih steroida.. Patološka supresija kortizola - pacijenti sa

Berdasarkan pengamatan karakter morfologi serbuk sari dari tujuh varietas Coleus scutellarioides dapat disimpulkan bahwa unit serbuk sarinya adalah tipe monad

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang hubungan kepuasan kerja dengan kinerja perawat dalam pelaksanaan prinsip 7 benar dalam pemberian obat di ruang rawat inap

Perpangkatan dari bentuk perkalian yang telah kamu pelajari tersebut memperjelas sifat berikut... Berapa joule besarnya energi listrik

para mahasiswa pasca melalui pusat pelatihan doktoral; 4) Menenggarai akses umum untuk data penelitian lembaga, pusat data dan penyimpanan nasional atau keilmuan; dan