• Tidak ada hasil yang ditemukan

11. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tempe Bongkrek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "11. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tempe Bongkrek"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

11. TINJAUAN PUSTAKA A. Tempe Bongkrek

Tempe bongkrek merupakan makanan khas masyarakat daerah Banyumas, biasanya dipergunakan sebagai lauk penghantar nasi atau dibuat makanan jajan (Hardjohutonio, 1970; Ekosapto, 1975; Winarno, 1986). Tempe ini sangat disukai oleh masya- rakat daerah tersebut.

Selain tempe bongkrek, di daerah Banyumas juga ada jenis makanan lain yang mirip dengan tempe bongkrek, yaitu yang disebut semayi (Kuswanto, 1988). Bahan dasar semayi adalah kelapa parut, ampas kelapa atau campurannya. Pada pembuatan semayi proses fermentasi terjadi secara alami, artinya tidak ditambahkan mikrobe tertentu secara sengaja, sedangkan pada pembuatan tempe bongkrek ditambahkan laru t e m p e y a n g berisi kapang R. oligosporus ( N u g t e r e n d a n Berends, 1957; Budijono, 1976/1977; KO dan Kelholt, 1981; KO, 1985) atau Mucor sp. (Hardjohutomo, 1958; Balai Peneli- tian Kimia Semarang, 1979/1980).

Garis besar pembuatan tempe bongkrek adalah sebagai berikut : ampas kelapa atau bungkil kelapa direndam selama semalam, kemudian dicuci dan diperas. Kemudian ampas kelapa tersebut dikukus selama 30 sampai 60 menit. Setelah dingin ampas kelapa dicampur dengan laru dan dibungkus dengan daun pisang, kantung plastik atau dihamparkan d i atas nyiru dengan ketebalan sekitar 3 cm, kemudian ditutup dengan daun

(2)

pisang dan karung goni. Setelah itu ampas kelapa dibiarkan selama dua hari pada suhu kamar, sehingga kapang tempenya tumbuh. Tempe bongkrek yang baik, mempunyai tekstur yang padat dan kompak, berwarna putih seperti kapas karena ditu- tupi secara sempurna oleh miselia kapang tempe (KO et al., 1979; KO, 1985; Ridwan, 1986). Setiap 100 g tempe bongkrek, k a n d u n g a n zat gizinya sebagai berikut : nilai k a l o r i

119 Kal, protein 4.4 g, lemak 3.5 g, karbohidrat 18.3 g,kal- sium 27.0 mg, fosfor 100.0 mg, zat besi 2.6 mg, vitamin B1 0.08 mg, dan air 72.5 g (Ekosapto, 1975).

Bahan dasar yang dipergunakan untuk membuat tempe bong- krek dapat berupa bungkil kelapa pabrik, bungkil kelapa botokan yang diperoleh dari hasil samping pembuatan minyak kelapa dengan menggunakan yuyu (Cancer), ampas kelapa yang merupakan bahan sisa pembuatan minyak kelapa secara tradi- sional (klentik) atau sisa dari industri dodol. Umumnya tempe bongkrek yang dibuat dari bungkil kelapa pabrik jarang ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans karena kadar lemaknya rendah. Akan tetapi bungkil kelapa botokan dan ampas kela- pa, karena masih mengandung minyak yang cukup tinggi maka sering ditumbuhi oleh bakteri P. cocovenenans (van Veen dan Mertens, 1933; Soedigdo, 1977; KO, 1985).

Memurut van Veen dan Mertens (1933); Soedigdo (1977); dan KO (1985) bakteri P. cocovenenans dapat membentuk toksin pada ampas kelapa yang disimpan. Mengingat kemungkinan tersebut di atas maka keracunan tempe bongkrek dapat juga

(3)

disebabkan karena bahan dasar yang telah tercemar oleh tok- sin yang dihasilkan bakteri

P.

cocovenenans selama bahan dasar tersebut disimpan. Menurut Lie et al. (1985) untuk mencegah tumbuhnya bakteri selama penyimpanan, sebaiknya ampas kelapa dikeringkan.

1 B. Keracunan Tempe Bongkrek dan Usaha Pencegahannya

Sudah banyak terjadi korban keracunan akibat mengkon- sumsi tempe bongkrek. Data tentang korban keracunan tempe bongkrek dapat dilihat pada Tabel 1.

.

Tabel 1. Data korban keracunan tempe bongkrek di beberapa daerah di Jawa Tengah (1951-1988)

Penderita keracunan bongkrek Tahun M a t i H i d u p Jumlah

Sumber : Roedhijanto (1988)

Musim terjadinya keracunan tempe bongkrek pada umumnya tidak tertentu. Ada indikasi bahwa keracunan tempe bongkrek

(4)

terjadi bila musim paceklik dan harga bahan dasar bungkil kelapa meningkat, sehingga produsen tempe bongkrek sengaja mengganti atau mencampuri bungkil kelapa dengan ampas kela- Pa

Berat ringannya keracunan tempe bongkrek ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah tempe bongkrek yang dikonsumsi, ketahanan tubuh si penderita, dan kecepatan untuk mendapatkan perawatan dokter. Menurut ~ u r m a n d a l i

(1979) cukup dengan mengkonsumsi sebanyak 5 g sampai 25 g tempe bongkrek yang beracun kematian sudah dapat terjadi. Ciri-ciri atau gejala-gejala keracunan tempe bongkrek dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri-ciri keracunan tempe bongkrek Tingkat Keracunan Ciri-ciri Keracunan

Ringan Pusing, mual, muntah

Sedang Pusing, mual, muntah, sakit perut Berat Diare, kejang, keluar buih dari mulut Meninggal Koma, ada bercak-bercak darah beku

di bawah kulit

Sumber : Suhardjo et al. (1988/1989)

Kasus keracunan tempe bongkrek, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah Banyumas saja, tetapi terjadi juga di dae- rah lainnya. Akan tetapi karena korban keracunan paling banyak terjadi di daerah Banyumas dan dapat dikatakan hampir

(5)

terjadi setiap tahun, maka yang paling terkenal adalah kasus keracunan tempe bongkrek di daerah Banyumas.

Pada tahun 1928 di daerah Kediri terjadi kasus keracun- an tempe bongkrek. Pada saat itu masyarakat daerah Kediri menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar untuk pene- rangan. Ampas kelapa yang dihasilkan dari hasil samping pembuatan minyak kelapa digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat tempe bongkrek. Kasus keracunan tempe bongkrek di daerah Kediri tidak timbul lagi setelah daerah Kediri meng- gunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan. Pada tahun 1956 di Kabupaten Kulonprogo dan di Malang juga terjadi kasus keracunan tempe bongkrek. Demikian juga di daerah Brebes dan Lampung juga pernah terjadi kasus keracun- an tempe bongkrek.

Dahulu diduga penyebab terjadinya keracunan tempe bong- krek di daerah Banyumas adalah alat tembaga yang digunakan untuk merendam dan memasak ampas kelapa atau bungkil kelapa. Namun setelah alat tersebut diganti dengan alat yang tidak terbuat dari tembaga, kasus keracunan tempe bongkrek masih saja terjadi. Selain itu diduga juga penyebab keracunan tempe bongkrek karena penggunaan yuyu (Cancer) untuk membuat minyak kelapa (Soeryopranoto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1976/1977 dan 1979/1980; Budijono, 1976/1977; Winarno, 1986)

.

Sudah banyak usaha dilakukan untuk menemukan dan mence- gah penyebab keracunan tempe bongkrek. Penelitian telah

(6)

diawali oleh Vorderman pada tahun 1902 (Hardjohutomo, 1970; Soewad j

i

et al., 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1976/1977), kemudian dilanjutkan pada tahun 1928 oleh Jansen (Suklan, 1984). Namun baru pada tahun 1932 van Veen dan Mertens berhasil mengungkap penyebab terjadinya keracun- an pada tempe bongkrek dan menemukan bahwa penyebab keracun- an adalah suatu bakteri kontaminan yang disebut Pseudomonas cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958 dan 1970). Ternyata jika bakteri ini tumbuh, maka kapang Rhizopus sp. yang diharapkan menjadi tidak dapat tumbuh sehingga fermentasi tempe bongkrek mengalami kegagalan.

Bakteri P. cocovenenans bila ditumbuhkan pada medium ampas kelapa akan memproduksi toksin yang dikenal dengan na- ma asam bongkrek dan toksoflavin. Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang mempunyai daya toksisitas yang lebih potensial daripada toksoflavin, sedangkan tokso- flavin merupakan toksin yang berwarna kuning yang dapat dilihat jelas jika ampas kelapa tercemar oleh toksin terse- but.

Van Veen (Hardjohutomo,l958) juga telah melakukan usaha untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek sela- ma fermentasi dengan menggunakan kapang Monillia sitophila sebagai pengganti kapang Rhizopus sp.. Kapang ini sanggup memanfaatkan sisa minyak kelapa yang masih terdapat pada ampas kelapa dalam waktu sehari semalam sehingga apabila tempe bongkrek terkontaminasi bakteri P. cocovenenans maka

(7)

bakteri tersebut tidak mampu untuk memproduksi toksin. Meskipun kapang ini berhasil mencegah pembentukan toksin da- lam tempe bongkrek namun ada masalah karena yang dihasilkan bukan tempe.bongkrek melainkan oncom. Dilain pihak masyara- kat daerah Banyumas sangat menyukai tempe bongkrek dan bukan oncom, sehingga usaha penerapannya mengalami kegagalan.

Pada tahun 1956 Hardjohutomo juga melakukan penelitian untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek. Pada awal penelitiannya digunakan antibiotik aureomisin dan teramisin yang ternyata dapat mencegah pertumbuhan bakteri P. cocovenenans. Namun dalam penerapannya senyawa antibio- tik ini susah dicari dan harganyapun mahal, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat diterapkan oleh masyarakat Banyu- mas (Hardjohutomo, 1958)

.

Hardjohutomo kemudian beralih menggunakan daun-daun tanaman yang mengandung senyawa yang bersifat antibiotik. Ternyata dari beberapa jenis daun yang digunakan untuk pene- litian, ada satu jenis daun yang dapat menghambat pertumbuh- an bakteri P. cocovenenans. Daun tanaman tersebut berasal dari tanaman calincing (Oxalis sepium). Daun tanaman terse- but rasanya asam dan sering digunakan untuk membuat sayur asam. Rasp asam daun calincing disebabkan adanya senyawa asam, seperti asam oksalat 0.06 persen, asam sitrat 0.05 persen dan asam-asam tartarat, malat dalam jumlah sedikit

(8)

Penggunaan daun calincing dapat menghambat bakteri P.

cocovenenans

atau merupakan antidotum dari toksin yang diproduksinya. Menurut penelitian Hardjohutomo (1958) daun calincing merupakan penghambat bagi pertumbuhan bakteri, se- dangkan .menurut Subardjo (1983) daun calincing bukan merupa- kan suatu antibiotik, tetapi merupakan antidotum terhadap asam bongkrek. Namun Ekosapto (1975) menyatakan bahwa daun calincing bersifat bakteriostatik dan merupakan antidotum.

Dosis yang efektif untuk mencegah pertumbuhan bakteri P .

c o c o v e n e n a n s

adalah 6 sampai 10 g daun calincing per 250 g ampas kelapa. Penggunaan daun calincing segar menim- I

bulkan masalah karena timbulnya warna hijau pada tempe bong- krek yang dihasilkan. Timbulnya warna hijau ini dapat.di- atasi dengan menggunakan ekstrak daun calincing kering. Penggunaan daun calincing pada mulanya berjalan baik, namun karena susah penyediaannya maka akhirnya upaya ini terhenti.

KO et al. (1979) juga telah melakukan penelitian untuk mencegah terbentuknya toksin pada tempe bongkrek. Ternyata penambahan garam NaCl sebanyak 1.5

-

2.0 persen pada ampas kelapa dapat mencegah tumbuhnya bakteri P.

c o c o v e n e n a n s

tanpa mempengaruhi rasa tempanya. KO dan Kelholt (1981) menyatakan bahwa apabila bakteri P.

cocovenenans

yang tumbuh pada starter jumlahnya kurang dari 10 kali jumlah spora ka- pang R.

o l i g o s p o r u s

maka toksin bongkrek tidak dapat dipro- duksi pada medium ampas kelapa. Hasil penelitian KO et al.

(9)

(1979); KO dan Kelholt (1981) ternyata tidak mudah diterap- kan di masyarakat.

Pemerintah dari dulu juga sudah melakukan upaya untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek. Upaya yang dilakukan umumnya bersifat preventif, seperti dikeluarkannya larangan untuk memproduksi dan menjual tempe bongkrek, pembinaan teknologi dan sanitasi pembuatan tempe bongkrek, penyuluhan yang berkaitan dengan tempe bongkrek yang beracun dan lain-lainnya.

Larangan untuk memproduksi tempe bongkrek dapat menu- runkan jumlah produsen, namun hanya bersifat sementara. Hal ini terjadi karena biasanya larangan yang diberlakukan tidak diikuti dengan cara pemecahan masalah yang tuntas. Penda- patan yang diperoleh dari pekerjaan lain umumnya lebih kecil dari pendapatan yang diperoleh dari usaha tempe bongkrek. Berdasarkan hal-ha1 tersebut maka'meskipun produsen tahu bahwa tempe bongkrek dapat menimbulkan bahaya keracunan dan ada larangan dari pemerintah untuk memproduksinya, mereka tetap saja membuatnya.

Pada umumnya para konsumen tempe bongkrek meskipun me- reka tahu bahwa memakan tempe bongkrek mempunyai resiko ke- racunan, namun masih tetap mengkonsumsinya. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, seperti tingkat sosial ekonominya yang rendah, harganya murah, rasanya enak dan rasa kecan- duannya

.

(10)

Akhir-akhir ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah keracunan tempe bongkrek adalah mengalihkan usaha t e m p bangkrek ke usaha tempe jamur merang atau menjadi.petani jamur merang. Pembuatan tempe jamur merang diharapkan tidak mengalami kesulitan, kareng mereka sudah mempunyai pengalaman menbuat tempe bongkrek.

C . Bakteri P. cocovenezmns

1. B i f a t B a k t e r i

Pada mulanya bakteri yang dicurigai tumbuh pada tempe bongkrek adalah Bacillus, kemudian diberi nama Bacillus cocovenenans. Setelah diteliti kembali di Mikrobiologisch Institut pada Technische Hogenschool, Delft, Nederland, di- ajukan nama genus Pseudomonas, sehingga namanya menjadi P. cocovenenans (Nugteren dan Berends, 1957 ; Hard johutomo,

1958 dan 1970).

Nama P. cocovenenans, berasal dari kata venenum yang berarti toksin di dalaa bahasa Latin dan coco dari kata coconut yang berarti kelapa. Jadi nama P. cocovenenans ber- arti toksin dari kelapa yang diproduksi oleh bakteri genus ~seudonoias (Baluel

,

1978 ; Anggraeni

,

1990)

.

Menurut Bergeyls Manual of Determinative Bacteriology bakteri P. cocovenenans ternasuk famili Bacteriaceae karena bakteri ini bersifat heterotrof dan tidak membentuk spora (Robert et al., 1957). Pada tahun 1936 Kluyver dan van Niel

(11)

menggolongkan bakteri P. cocovenenans k e dalam famili Pseudomonadaceae karena mempunyai flagela polar dan mampu mengubah sakarida menjadi asam (van Damme et al., 1960). Genus Pseudomonas dapat mengubah glukosa dan jenis gula lainnya baik'secara oksidatif maupun secara fermentatif. Bakteri ini juga mempunyai sifat-sifat lainnya sebagai ber- ikut : saprofitik, tidak membentuk spora, aerob atau anaerob fakultatif dan bentuknya berubah-ubah tergantung medium pertumbuhannya (van Veen dan Mertens, 1933; Arbianto, 1963, 1975; Hardjohutomo, 1970; Winarno, 1986; Lie et al., 1988; ~ n g g r a e n i , 1990), berukuran pan jang 0.75 sampai 2.98 j~ dengan lebar 0.30 sampai 0.5 j~ (Arbianto, 1971).

Beberapa jenis bakteri bersifat motil, yaitu dapat bergerak karena mempunyai suatu organ yang disebut flagela yang terdapat pada permukaan s e l f termasuk bakteri genus Pseudomonas (Fardiaz

,

1989)

.

Bakter

i

P. cocovenenans dapat bergerak karena mempunyai flagela polar (Hardjohutomo, 1970). Flagela P. cocovenenans bersifat lopotrikat dan berjumlah 3 sampai 4 buah (van Veen d a n Mertens, 1933). Selain flagela bakteri ini juga mempunyai 4 silia pada salah satu ujungnya (Arbianto, 1975)

.

Bakteri ~.cocovenenans terdapat di alam sebagai orga- nisme bebas (van Veen dan Mertens, 1933). Bakteri ini di- anggap sebagai suatu rnikrobe kontaminan tempe bongkrek atau lainnya yang dapat terjadi secara insidental (Arbianto,

(12)

1979). Trihadiningrum dan Arbianto (1983) berhasil mengi- solasi P.

c o c o v e n e n a n s

yang menghasilkan toksoflavin dan asam bongkrek dari tiga sampel air, yang berasal dari salur- an irigasi sekunder, kolam penduduk dan sungai yang semuanya berada di desa Arjawinangun, Kecamatan Purwokerto, daerah Banyumas

.

Identifikasi bakteri P.

cocovenenans

secara morfologis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pewarnaan Gram dan pengujian dalam medium Kelman yang mengandung zat warna 2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida. Identifikasi dengan pewarnaan Gram sesungguhnya tidak bersifat spesifik terhadap P.

c o c o v e n e n a n s .

Oleh karena itu uji pertumbuhan dalam medium Kelman dilakukan untuk identifikasi P.

c o c o v e n e n a n s

karena keselektifannya terhadap bakteri tersebut. Medium yang ditemukan oleh Kelman pada tahun 1954, terdiri dari pepton 1 persen, glukosa 1 persen, bakto agar 1.7 persen dan 2,3,5-trifenil tetrazolium khlorida 50 ppm (Trihadiningrum dan Arbianto,

-

1983)

.

Sifat-sifat koloni bakteri P.

cocovenenans

dalam medium Kelman adalah berbentuk bundar, bertepi rata (tidak berge- lombang) yang berwarna putih, mempunyai pusat dengan warna merah muda d a n mempunyai kesan lembab (Arbianto, 1980; Trihadiningrum dan Arbianto, 1983). Trifenil tetrazolium khlorida selain berfungsi sebagai pemberi warna pada koloni, juga berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain terutama golongan bakteri Gram positif. Kadang-kadang ke

(13)

dalam medium Kelman ditambahkan juga penisilin untuk mene- kan pertumbuhan bakteri kontaminan.

Menurut penelitian Trihadiningrum dan Arbianto (1983) bakteri P. cocovenenans mempunyai sifat-sifat khas sebagai berikut : mampu mensintesis semua basa asam nukleat yang dibutuhkan dan membutuhkan senyawa organik sebagai sumber enersi. Pada umumnya asam amino mempercepat pertumbuhan karena dapat memperpendek periode lag (fase adaptasi) dengan efektivitas yang berbeda. Glukosa merupakan sumber karbon yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

Seperti halnya mikrobe yang lain, pertumbuhan bakteri P. c o c o v e n e n a n s dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat yang tirnbul karena pengaruh lingkungan ini disebut fenotip (Anggraeni, 1990). Fenotip atau penampakan luar dari bak- teri terjadi karena adanya interaksi antara genotip dan lingkungannya. Biasanya perubahan fenotip dapat disebabkan oleh karena adanya perubahan kondisi lingkungan yang bersi- fat tidak menetap. Fenotip akan kembali normal seperti semula apabila kondisi lingkungan dikembalikan pada keadaan normalnya yang optimum.

Koloni bakteri P. c o c o v e n e n a n s berwarna kuning pada medium yang mengandung gliserol, namun tidak selalu demiki- an. Pada medium yang mengandung glukosa dan pada medium yang mengandung asam-asam lemak dari minyak kelapa pemben- tukan warnanya jauh berkurang (van Veen, 1967).

(14)

2. Produksi Toksin oleh P. cocovenenans

Dalam pertumbuhan dan perkembangbiakannya, mikrobe mem- butuhkan zat-zat gizi untuk mensintesis komponen sel, meng- hasilkan metabolit sekunder dan enersi. Metabolit sekunder adalah suatu hasil metabolisme yang bukan merupakan kebutuh- an pokok sel mikrobe untuk hidup dan tumbuh, seperti misal- nya toksin, antibiotik, pigmen, vitamin dan lain sebagainya. Bakteri P. cocovenenans memproduksi toksin pada medium ampas kelapa dan toksin yang dihasilkan ini merupakan suatu meta- bolit sekunder.

Semenjak pertengahan tahun 1890 telah ditemukan bebe- rapa jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri. ~ e b a g i a n besar bakteri penghasil toksin merupakan bakteri kontaminan pada beberapq bahan pangan, seperti halnya bakteri bongkrek P. cocovenenans yang merupakan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek. Hampir semua toksin yang dihasilkan oleh bakteri

. < .

. L

merupakan protein atau polipeptida, namun ada juga yang bukan merupakan protein, seperti asam bongkrek dan toksofla- vin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans. Asam bongkrek merupakan asam trikarboksilat dan toksoflavin me- rupakan senyawa basa.

Alouf dan Reynoud (1970) yang dikutip oleh Kuswanto dan Sudarmadji (1988) menggolongkan toksin bakteri atas tiga kelompok, yaitu : (1) toksin intraseluler, toksin yang dibentuk di dalam sitoplasma yang dapat ke luar dari sel

(15)

apabila sel inengalami otolisis atau apabila dilakukan eks- traksi; (2) toksin ekstraseluler, toksin yang diproduksi di luar sel; dan (3) toksin yang terdapat diantara sel. Menu- rut Lie et al. (1988) toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans merupakan suatu eksotoksin, sedangkan menu- rut Arbianto (1971) asam bongkrek di produksi di dalam sel dan dibebaskan ke dalam medium ketika beberapa sel mulai mengalami lisis pada fase stasioner.

Produksi toksin dan metabolit sekunder lainnya sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis mikro-

be, pH, suhu, ketersediaan zat gizi, dan terdapatnya mikrobe lain yang tumbuh dalam medium. Pada umumnya bahan dasar yang digunakan untuk fermentasi sudah mengandung zat gizi sebagai sumber enersi, sumber nitrogen, air, vitamin, mineral, dan faktor-faktor lain yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikrobe (Kuswanto dan Sudarmadji, 1988).

Bakteri P. cocovenenans hanya memproduksi toksin apa- bila tumbuh pada medium yang mengandung ampas kelapa. Pada medium lainnya meskipun juga mengandung minyak, seperti kedelai, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, ampas tahu, bi ji kapok, biji munggur, biji lamtoro, dan biji koro be- nguk asal tidak tercampur dengan ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans tidak akan memproduksi toksin (van Veen dan Mertens, 1933; Soepadi, 1953; Hardjohutomo, 1958, 1970; Ekosapto, 1975; Balai Penelitian Kimia Semarang, 1979/1980).

(16)

Pertumbuhan bakteri P. cocovenenans tidak terpengaruh oleh perbedaan kandungan lemak pada kisaran 2 sampai 25 per- sen, sedangkan penurunan produksi toksoflavin nyata terjadi hanya jika kandungan lemak ampas kelapa kurang dari 5 per- sen. Randungan lemak sebesar 7 sampai 14 persen dalam medi- um ampas kelapa (Coconut Culture Medium) merupakan kondisi yang paling sesuai untuk produksi toksin (KO, 1985).

Selain.dipengaruhi oleh kadar lemak ampas kelapa, bak- teri P. cocovenenans dalam pertumbuhan dan produksi toksin- nya dipengaruhi pula oleh kadar air ampas kelapanya. Pada kisaran kadar air ampas kelapa antara 35 sampai 75 persen pertumbuhan dan produksi toksin tidak dipengaruhi oleh per- bedaan kadar air (KO, 1985)

.

Namun pada kadar air rendah seperti pada ampas kelapa yang telah dikeringkan bakteri P. cocovenenans tidak dapat tumbuh (Lie et al., 1985).

Pada medium ampas kelapa, bakteri P. cocovenenans akan menggunakan asam-asam lemak terutama asam oleat dan gliserol s e b a g a i s u m b e r karbon d a n sumber enersi ( v a n Veen d a n Mertens, 19.33, d a n 1934; Nugteren dan Berends, 1957; Hardjohutomo, 1958; van Damme et al., 1960; van Veen, 1967). Asam-asam lemak, terutama asam oleat akan digunakan sebagai substrat untuk pembentukan asam bongkrek sedangkan gliserol digunakan sebagai substrat untuk pembentukan toksoflavin.

Adanya asam-asam amino tambahan pada medium pertumbuhan akan menstimulasi produksi asam bongkrek. Vitamin dan basa- basa purin dan pirimidin tidak diperlukan untuk produksi

(17)

asam bongkrek (Arbianto, 1979). Menurut Levenberg dan Linton (1966) basa-basa purin tertentu yang ditambahkan ke dalam medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans akan menyebabkan toksoflavin yang dihasilkan bertambah banyak. Basa-basa pu- rin tersebut antara lain adalah xantina, xantosina, guanina, isoguaniana, hipoksantina dan adenina.

Penelitian lebih lanjut oleh Levenberg dan Linton (1966) menunjukkan bahwa konversi basa-basa purin menjadi toksoflavin distimulasi oleh adanya glisin di dalam medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans, Nurmandali (1979) telah mencoba melakukan biosintesis toksoflavin dengan menggunakan prekursor xantina, glisina dan metionina dengan bantuan enzim dari bakteri P. cocovenenans, tetapi hasil- nya masih belum seperti yang diharapkan. Gliserol dan asam- asam organik cocok untuk pertumbuhan dan produksi asam bongkrek (Arbianto, 1979)

.

Toksoflavin relatif lebih mudah diproduksi di dalam medium cair daripada di dalam medium padat (van Veen, 1967). Pada medium cair yang mengandung gliserol, pepton dan garam serta dibiarkan berhubungan dengan udara pada suhu 30°C, bakteri P. cocovenenans mudah memproduksi toksoflavin.

Selama fermentasi tempe bongkrek, P, cocovenenans tum- buh bersama dengan kapang tempe dan bersaing untuk mendapat- kan substrat. Menurut penelitian KO et al. (1979) jumlah spora R. oligosporus untuk inokulasi sebanyak lo4- lo7 untuk setiap gram bahan akan dapat menghambat produksi toksin,

(18)

karena pertumbuhan kapang lebih cepat daripada bakteri, sedangkan apabila spora R . o l i g o s p o r u s yang ditambahkan tidak lebih dari 1 500 per gram bahan, diduga produksi asam bong- krek akan meningkat.

Menurut KO dan Kelholt (1981) interaksi pertumbuhan an- tara kapang dan bakteri kontaminan pada tempe bongkrek dapat menghambat pembentukan atau terjadinya penurunan jumlah tok- sin. Kapang R. o l i g o s p o r u s kemungkinan dapat menghasilkan ekstrak metabolit yang dapat menghambat pembentukan toksin oleh P. c o c o v e n e n a n s atau bila toksin sudah terbentuk maka terjadi dekomposisi, perubahan atau digunakan untuk metabo- lisme kapang, sehingga jumlahnya berkurang. Mekanisme peng- hambatan dan degradasi senyawa toksin tersebut masih belum j elas.

Keasaman medium pertumbuhan bakteri P. c o c o v e n e n a n s mempengaruhi produksi toksin. Menurut penelitian Arbidnto .(1975) bakteri P. cocovenenans tidak membentuk toksin apabi- la pH ampas kelapa 4.2 dan produksi toksin'optimum pada pH 8.0, sedangkan menurut penelitian KO (1985) pH awal medium 6.5 sampai 7.0 merupakan kondisi yang optimum untuk produksi toksoflavin. Apabila pH awal rendah maka produksi toksofla- vin juga rendah. Pada pH lebih besar dari 7.0 produksi tok- soflavin akan menurun dengan kenaikan pH.

Suhu inkubasi juga mempengaruhi produksi toksin dari bakteri P. c o c o v e n e n a n s . Produksi asam bongkrek optimum bila suhu inkubasi 30°c, sedangkan produksi toksoflavin

(19)

23 optimum bila suhu inkubasi antara 30°c

-

3 7 O ~ . Secara nyata suhu yang tinggi menghambat produksi asam bongkrek, tetapi tidak menghambat perbanyakan sel. Pada suhu 4 3 O ~ , meskipun sel bertambah jumlahnya namun asam bongkrek dan toksoflavin tidak diproduksi (KO, 1985).

Produksi toksin dipengaruhi oleh kondisi aerasi pada medium pertumbuhan bakteri P. cocovenenans. Menurut van Damme et a1

.

(1960) produksi toksof lavin terhambat bila jumlah oksigen terbatas.

D. Toksin Bongkrek

Bakteri P. cocovenenans pada medium ampas kelapa akan memproduksi dua macam toksin, yaitu toksoflavin dan asam bongkrek. Kedua toksin ini disebut juga toksin bongkrek, karena sering terdapat secara bersamaan pada tempe bongkrek yang beracun

.

1. Toksof lavin

Toksoflavin adalah toksin yang berwarna kuning, ber- sifat sedikit basa dan sangat polar. Toksoflavin larut dalam air, kloroform, etanol dan aseton serta hampir tidak larut dalam eter, benzena dan petroleum eter (van Veen dan Mertens, 1933; Hardjohutomo, 1958; van Veen, 1967; Arbianto, 1975).

Meskipun toksisitasnya lebih rendah daripada asam bongkrek, tetapi toksoflavin bersifat toksik terhadap sel,

(20)

sehingga merupakan senyawa yang penting juga. Di samping itu strukturnya lebih sederhana dan lebih stabil sifatnya (Soedigdo, 1977). Toksoflavin pertama kali diisolasi oleh van Veen pada tahun 1932 dari tempe bongkrek yang beracun yang berasal dari daerah Banyumas.

Menuruk penelitian van Veen dan Baars (1938) rumus empiris toksoflavin adalah C6H6N4O2 dan rumus bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1A. Menurut rumus van Veen dan Baars struktur toksoflavin serupa dengan metilsantin, hanya berbeda posisi ikatan rangkapnya, sehingga mudah dilakukan isomerisasi tetapi kenyataannya tidak mudah diisomerisasi . menjadi metilsantin. Sifat fisik dan kimiawi 1-metilsantin sangat berbeda dengan toksoflavin, sehingga rumus toksofla- vin menurut van Veen dan Baars ditolak. Toksoflavin dengan o-fenilenediamin dalam larutan sedikit asam akan menghasil- kan senyawa C11H8N402, yang berarti menjadi N-metilalloksa- zin, dan berarti bahwa toksoflavin mengandung N-metilallok- san.

Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut van Damme et al. (1960) menemukan bahwa rumus empiris toksoflav.in adalah C7H7N502 dan mempunyai struktur seperti terlihat pada Gambar 1B. Struktur ini didukung oleh penelitian yang dila- kukan oleh Daves et al. (1962).

Latuasan dan Berends (1961) melaporkan bahwa toksofla- vin identik dengan senyawa antibiotik xantotrisin yang diproduksi oleh bakteri Streptococcus albus. Toksisitas

(21)

toksoflavin dan xantotrisin sama kuatnya. P. glumae dan P. farinofermentus menghasilkan toksin yang serupa dengan toksoflavin. De Boer et a1.(1960) serta Elbe et a1.(1960) yang dikutip oleh Anggraeni (1990) mengisolasi suatu anti- biotik ferfenulin dari Streptomyces ferfenulens yang ter- nyata merupakan isomer dari toksoflavin.

Gambar 1. Struktur toksoflavin. (A) menurut van Veen dan Baars, 1938; (B) menurut van Damme et al., 1960.

Toksoflavin diberi nama akhiran flavin karena sifat fisiko-kimiawinya serupa dengan riboflavin, yaitu rnempunyai warna kuning, menunjukkan fluoresensi hijau walaupun lemah,

(22)

stabil terhadap panas dan mempunyai spektrum absorpsi yang serupa dengan riboflavin (van Veen, 1967) , Toksof lavin yang murni berbentuk seperti jarum. Toksoflavin dengan SO2 menjadi tidak berwarna, tetapi bila dikocok di udara menjadi berwarna lagi.

Apabila toksoflavin direaksikan dengan HC1 6N pada suhu kamar dan dibiarkan selama 24 jam maka akan diperoleh suatu larutan t a k berwarna dan tidak melakukan absorpsi pada daerah ultra violet. Pemekatan larutan ini akan menghasil- kan senyawa tidak berwarna yang mempunyai dua puncak absorp- si pada daerah ultra violet, yaitu pada panjang gelombang 223 nm dan 328 nm. Senyawa ini diberi nama toksoflavin B. Toksoflavin sendiri mempunyai absorpsi maksimum pada daerah ultra violet dengan panjang gelombang 258 nm dan 395 nm (van D a m e et al., 1960).

Toksoflavin biasanya diukur pada panjang gelombang 258 nm dengan nilai koefisien penyerapan sebesar 16 400. Toksoflavin bila direaksikan dengan asam mineral dihasilkan senyawa yang mempunyai rumus C6H8N4o3, senyawa ini dianggap sebagai suatu hidrat dari toksoflavin (van Veen, 1967).

Slamet (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan ternyata toksoflavin yang dihasilkan mempunyai dua puncak absorpsi, yaitu pada panjang gelombang 260 nm dan 216 nm. Tantie (1985) juga telah melakukan ekstraksi toksoflavin ternyata daerah absorpsi maksimumnya pada panjang gelombang 260 nm dan 208 nm, sedangkan Windarmaya (1987) menemukan

(23)

bahwa absorpsi maksimum dari toksoflavin yang diperoleh adalah pada panjang gelombang 253.5 nm dan 205.5 nm.

KO (1985) telah melakukan ekstraksi toksoflavin dan mendapatkan hasil maksimum sebesar 0.3 sampai 0.5 mg tokso- flavin untuk setiap g ampas kelapa kering, yang dihasilkan setelah 3 sampai 6 hari fermentasi. Nilai pH awal pertum- buhan 6.5 sampai 7.0 dan suhu pertumbuhannya antara 30°c sampai 3 7 O ~ .

~ e n u r u t van Veen (1967) dan Lijmbach et al. (1970) t i t i k cair toksoflavin adalah 171°c, sedangkan menurut Hardjohutomo (1958) titik cair toksoflavin adalah 1 5 0 ~ ~ . Toksoflavin tahan terhadap pemanasan sampai suhu 1 5 0 ~ ~ dan baru mulai rusak bila suhu pemanasan lebih besar dari 1 5 0 ~ ~

(Winarno, 1986)

.

Anggraeni (1990) telah melakukan pemurnian toksin bong- k r e k selain asam bongkrek, yang dihasilkan oleh bakteri P. cocovenenans. Berdasarkan penelitiannya diperoleh tiga buah senyawa toksin. Karakteristik dari ketiga senyawa toksin tersebut adalah sebagai berikut : senyawa pertama mempunyai faktor retensi (Rf) pada kromatograf i lapis tipis dengan eluen kloroform dan metanol ( 1 1

,

v/v) sebesar 0.75, berfluoresensi putih dan membentuk kristal putih, mempu- nyai titik cair 216Oc dan mempunyai absorpsi maksimum pada panjang gelombang 360 nm dan 268 nm. Senyawa toksin yang kedua mempunyai nilai Rf sebesar 0.65, berfluoresensi biru hitam dan membentuk kristal kuning berbentuk jarum dengan

(24)

28

t i t i k c a i r 2 0 5 ~ ~ s e r t a mempunyai puncak a b s o r p s i pada panjang gelombang 258 nm dan 2 0 2 nm. Senyawa toksin yang ketiga mempunyai nilai Rf sebesar 0 . 6 0 , berfluoresensi biru hitam dan membentuk kristal krem dengan titik cair 181°c dan mempunyai puncak absorpsi pada panjang gelombang 328 nm dan 202 nm.

2 . Asam Bongkrek

Asam bongkrek merupakan toksin yang tidak berwarna yang diproduksi oleh bakteri

P I

cocovenenans. Toksin ini merupa- k a n asam lemak tidak jenuh tinggi. Menurut van Veen d a n M e r t e n s ( 1 9 3 3 ) a s a m bongkrek mempunyai r u m u s e m p i r i s C28H3807# dan menurut d e Bruijn et al. (1973) asam bongkrek mempunyai struktur kimia seperti terlihat pada Gambar 2 .

Gambar 2. Struktur Asam Bongkrek (de Bruijn et al., 1973)

(25)

Asam bongkrek tidak larut dalam air tetapi larut dalam petroleum eter dan alkohol. Toksin ini dapat dipisahkan da- r i toksoflavin karena larut dalam pelarut lemak, tetapi ti- dak larut dalam air, sedangkan toksoflavin larut dalam air

(van Veen, 1967).

Asam bongkrek sukar dibebaskan dari asam lemak yang ada di dalam minyak kelapa. Di dalam ekstraksi asam bongkrek akan terikut asam kaprat dan asam kaproat. Apabila dicampur dengan larutan bikarbonat maka asam bongkrek akan larut dengan mudah dalam fase cairnya (van Veen, 1967). Asam bongkrek mudah larut dalam larutan lipofilik dan dapat dipisahkan dari larutan dengan mengekstraknya memakai larut- an alkali (Nugteren dan Berends, 1957).

Asam bongkrek yang murni sangat tidak stabil karena ce- pat teroksidasi dan mempunyai kecenderungan terpolimerisasi (Latuasan dan Berends, 1961). Asam bongkrek yang tidak murni sangat stabil dalam medium lemak dan lebih stabil lagi dalam larutan alkali. Asam bongkrek mudah sekali dioksidasi

dan inaktif pada suhu pemanasan yang lebih tinggi dard 1 0 0 ~ ~ (Hardjohutomo, 1958)

.

Stabilitasnya yang tinggi di dalam suatu emulsi minyak menyebabkan asam bongkrek masih bersifat toksik pada tempe bongkrek yang digoreng (van Veen, 1967). Pemasakan dan penggorengan tanpa minyak mempunyai sedikit atau tanpa nen- punyai efek terhadap toksisitas asam bongkrek.

(26)

Asam bongkrek mempunyai sifat-sifat yang penting. Per- tama, daya toksisitasnya tinggi terhadap semua hewan perco- baan yang diuji, seperti tikus, burung dara, kera dan yang lainnya. Kedua, mempunyai aktivitas antibiotik terhadap be- berapa bakteri, khamir dan kapang. Ketiga, aktivitas optik-

nya cukup kuat, yaitu aE2 =

-

+

165O dalam larutan natrium bi-

karbonat 2 persen dan ag2 =

-

+

105O dalam etanol 96 persen.

Keempat, mempunyai absorpsi yang kuat pada daerah sinar ul- tra violet, maksimum pada panjang gelombang 239 nm dan 267nm ( ~ ~ ~ ~ ' 4 1 000 dan ~ 2 ~ 000) ~ ~dalam etanol. Kelima, sangat 4 5 tidak stabil dalam medium asam tetapi cukup stabil dalam larutan garam pada suhu kamar (Nugteren dan Berends, 1957).

KO (1985) telah melakukan isolasi asam bongkrek dari

medium ampas kelapa yang ditumbuhi bakteri P. cocovenenans.

Produksi toksin maksimum adalah 4 mg per g ampas kelapa

kering, dan hasil produksi berkisar antara 2

-

4 mg per g

ampas kelapa kering. Produksi maksimum dicapai setelah 3

sampai 6 hari fermentasi dan suhu inkubasi yang baik untuk

produksi asam bongkrek adalah suhu 30°c,

3. Isolasi ban Pemurnian

Metode isolasi dan pemurnian toksin bongkrek sudah ba- nyak dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti. Van

Veen dan Mertens (1933) dan van Damme et al. (1960) telah

melakukan isolasi toksoflavin dari ampas kelapa dengan meng- qunakan kloroform.. Soedigdo (1975) dan Soedigdo (1977) juga

(27)

31 telah melakukan isolasi dengan menggunakan alkohol, kloro- form dan air.

Toksoflavin yang murni dapat diperoleh dengan cara-cara sebagai berikut : pertama-tama bahan diekstraksi menggunakan kloroform, kemudian ekstrak kloroformnya diekstraksi dengan air bebas ion. Air bebas ion yang mengandung toksoflavin dipekatkan, kemudian ditambah ammonium sulfat sampai jenuh. Setelah itu ekstraksi diulangi kembali dengan kloroform, dan kloroform kemudian diuapkan. Toksoflavin yang tertinggal dilarutkan dalam propanol pada suhu 5 5 O ~ kemudian disimpan di dalam lemari pembeku selama 48 jam sampai akhirnya kris- tal berbentuk jarum yang berwarna kuning terbentuk (van D a m e et al., 1960; van Veen 1967).

Toksoflavin dalam suatu larutan dapat dideteksi dengan menggunakan spektrofotometer, kromatografi lapis tipis, kro- matografi kertas maupun kromatografi cairan tekanan tinggi. Eluen yang digunakan pada kromatografi lapis tipis maupun kromatografi kertas biasanya campuran metanol : etil asetat (1:1, v/v), sedangkan pada kromatografi cairan tekanan tinggi dapat digunakan campuran metanol : air : asam asetat (5:94:1, v/v) (van D a m e et al., 1960; Soedigdo, 1977; KO, 1985). Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dan kromatografi cairan tekanan tinggi biasanya dilakukan pada panjang gelombang 258 nm.

Metode isolasi asam bongkrek pertama kali dikembangkan oleh van Veen (van Veen dan Mertens, 1933) yang berdasarkan

(28)

32 kenyataan asam bongkrek larut dalam larutan lipofilik dalam suasana asam kemudian dapat diisolasi dengan ekstraksi menggunakan larutan alkali encer, Sejak itu berbagai cara isolasi dilakukan oleh peneliti lainnya (Nugteren d a n Berends, 1957; Lijmbach et al., 1970; Soedigdo, 1975).

Untuk mengetahui apakah asam bongkrek yang dihasilkan murni atau belum dapat dilakukan pemisahan dengan mengguna- kan kromatografi lapis tipis. Asam bongkrek akan mudah di- bedakan dari asam-asam lemak yang terikut, karena asam bong- krek mempunyai nilai Rf yang lebih rendah daripada asam le- mak dan mempunyai fluoresensi hitam apabila disinari dengan sinar ultra violet (Nugteren dan Berends, 1957).

Apabila digunakan kromatografi lapis tipis untuk men- deteksi asam bongkrek, eluen yang digunakan adalah campuran kloroforom:metanol:asam asetat (94:5:1, v/v)(Ko et a1.,1979) atau campuran etil asetat 15 persen:metanol 1 persen dalam heptana (1 : 1, v/v) (Soedigdo, 1977). Untuk kromatografi kertas digunakan eluen campuran etanol : ammonia : air (20 : 1 : 4, v/v) (Soedigdo, 1977), sedangkan apabila digunakan kromatografi cairan tekanan tinggi digunakan eluen campuran metanol : air : asam asetat (80 : 19 : 1, v/v )(KO, 1985).

4. Mekanisme Keracunan

Telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana mekanisme keracunan toksoflavin maupun asam bong- krek terjadi. Selain toksik, menurut penelitian Arbianto

(29)

(1975) asam bongkrek dan toksoflavin merupakan kofaktor da- lam metabolisme lemak pada bakteri P.cocovenenans. Penam- bahan toksoflavin dan asam bongkrek pada medium pertumbuhan bakteri tersebut akan mempengaruhi aktivitas pertumbuhan- nya, yaitu meningkatkan pengambilan oksigen untuk respirasi sel bakteri tersebut.

Toksin yang diproduksi oleh bakteri P. cocovenenans me- rupakan antibiotik bagi mikrobe lain sehingga apabila bakte- ri tersebut tumbuh pada tempe bongkrek mikrobe lainnya tidak

dapat tumbuh (van Veen, 1967). Toksoflavin pada umumnya

berpengaruh terhadap bakteri Gram positif. Toksoflavin

mempunyai sifat antibiotik yang lebih kuat dibandingkan dengan ampisilin terhadap bakteri Gram negatif tetapi lebih

lemah daripada tetrasiklin (Slamet, 1985). Pada kondisi

aerob toksoflavin mempunyai aktivitas yang tinggi dan dalam keadaan anaerob tidak.

Latuasan dan Berends (1961') telah meneliti toksisitas

toksoflavin terhadap beberapa mikrobe, seperti Escherichia coli, Shigella, Micrococcus pyogenes, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis dan khamir. Hasil penelitiannya dapat di-

lihat pada Tabel 3. Toksoflavin juga menghambat pertumbuhan

kapang Aspergillus niger (Nurmandali, 1979; Nugroho, 1980; Anggraeni, 1990; Suryanti, 1990).

Toksoflavin bersifat toksik terutama pada mikrobe dan bagian sel yang tidak banyak mengandung enzim katalase. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

(30)

van Damme et al. (1960) yang meneliti pengaruh toksoflavin terhadap metabolisme khamir Saccharomyces cerevisiae, ter- nyata pertumbuhan khamir tersebut tidak dihambat oleh tokso- flavin. Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) sam- pai konsentrasi 100 pg/ml toksoflavin tidak mempengaruhi pertumbuhan khamir S.cerevisiae. Hasil penelitian mengenai kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikrobe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kadar toksoflavin yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikrobe

Jenis mikrobe Kadar toksoflavin (pg/ml) E. coli Shigella P. vulgaris B. subtilis M. pyogenes

Sumber : Latuasan dan Berends (1961)

Ketahanan khamir terhadap toksoflavin meskipun dalam keadaan aerob, disebabkan karena khamir mempunyai enzim katalase. Enzim katalase akan mengkatalisis pemecahan hidrogen peroksida (H202) yang terbentuk karena aktivitas toksoflavin, menjadi oksigen &an air, dengan demikian hidrogen peroksida tidak sernpat menyebabkan terjadinya keracunan pada mikrobe tersebut.

(31)

35 Menurut penelitian Latuasan dan Berends (1961) tokso- flavin berfungsi sebagai suatu pembawa elektron antara NADH dan oksigen, yang memungkinkan kerja sitokrom dibuat pintas (by pass) sehingga menghasilkan hidrogen peroksida yang ber- sifat toksik. Reaksi pembentukan senyawa H20Z adalah seba- gai berikut :

Jadi kematian karena keracunan toksoflavin disebabkan karena terbentuknya H202 yang banyak, sedangkan tubuh tidak cukup banyak menyediakan enzim katalase.

Toksoflavin mempunyai efek memusnahkan antimisin A dan kalium sianida dalam sel khamir (Latuasan dan Berends, 1961). Toksoflavin menstimulasi pengambilan oksigen dari sel-sel darah merah dan mengubah oksihemoglobin menjadi methemoglobin (Baluel, 1978).

Menurut Zainuddin (1981) yang dikutip oleh Suklan (1984) toksoflavin tidak stabil pada pH rendah seperti dalam lambung, sehingga menjadi toksoflavin B yang tidak beracun. Walaupun begitu apabila pH lambung meningkat kemungkinan toksoflavin akan terserap ke dalam peredaran darah.

Toksoflavin dalam bentuk alami lebih toksik daripada dalam bentuk kristalnya. Pada keadaan awal toksoflavin membentuk kompleks yang tidak erat dengan suatu protein.

(32)

Pemasakan dan pembakaran makanan yang beracun akan mendena- turasi senyawa kompleks tersebut dan menyebabkan toksoflavin b e r s i f a t k u r a n g t o k s i k ( v a n Veen d a n M e r t e n s , 1 9 3 3 ; Arbianto, 1971).

Toksoflavin lebih toksik apabila diberikan pada hewan percobaan melalui injeksi ke dalam darah daripada diberikan lewat mulut. Dosis mematikan atau LDS0 untuk tikus bila di- berikan lewat penyuntikan adalah sebesar 1.7 mg per kg berat badan tikus dan apabila diberikan lewat mulut 8.4 mg per kg berat badan tikus (Latuasan dan Berends, 1961; Lijmbach

Menurut percobaan Nugroho (1980), penyuntikan dengan dosis 1.3 mg sampai 1.5 mg toksoflavin per kg berat badan tikus, sesudah 18 jam ternyata menyebabkan penurunan kandungan glikogen hati secara nyata, sedangkan kandungan lemak dan protein tidak dipengaruhi. Apabila cara penyuntikan tokso- flavin ke dalam tubuh hewan percobaan berbeda maka pengaruh- nya juga berbeda.

Toksoflavin diperkirakan menghambat kerja ATP-ase yang menghidrolisis ATP menjadi ADP

+

Pi

+

enersi. Akibat kerja toksoflavin maka produk ATP pada mitokondria juga terhalang. Dalam sistem'pernafasan terjadi fosforilasi oksidatif dimana sebagian enersi yang berasal dari hasil oksidasi disimpan dalam bentuk ATP. Setiap pasangan elektron yang dihasilkan oleh fosforilasi substrat dapat membentuk tiga molekul ATP melalui sistem sitokrom. Akibat kerja toksoflavin yang

(33)

memintas sistem sitokrom tersebut maka akan mengakibatkan dua molekul ATP hilang pada reaksi pernafasan (Suryanti,

1990).

Menurut penelitian Tantie (1985) toksoflavin dapat menghambat transpor gula di dalam membran eritrosit dan juga menyebabkan hemolisis darah. Toksoflavin menghambat kerja enzim glutamat transaminase dan alkali fosfatase yang ada di dalam eritrosit.

Asam bongkrek lebih toksik daripada toksoflavin sehing- ga lebih berperanan pada peristiwa keracunan tempe bongkrek yang terjadi pada manusia. Van Veen dan Mertens (1934) men- duga asam bongkrek mempunyai efek seperti narkotik dan teta- nik. Aktivitas fisiologisnya sebanding dengan aktivitas op- tiknya (Nugteren dan Berends, 1957).

Asam bongkrek bersifat antibiotik terhadap khamir, ka- pang dan bakteri (Nugteren dan Berends, 1957). Asam bong- krek mempunyai nilai LDS0 sebesar 2 mg per 100 g berat badan tikus bila diberikan lewat mulut dan menyebabkan kematian dalam waktu 2 jam sampai 5 jam (Nugteren dan Berends, 1957; Welling et al., 1960).

Sifat toksik asam bongkrek bersifat kumulatif (Nugteren dan Berends, 1957). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Welling et a1.(1960). Menurut penelitian mereka apabila asam bongkrek sebesar 1 mg per 100 g berat badan tikus masih dapat ditolerir, tetapi apabila diulangi sesudah 48 jam dosis tersebut menjadi letal.

(34)

Welling et al. (1960) telah meneliti pula efek biokimi- awi asam bongkrek dan menyatakan bahwa asam bongkrek adalah inhibitor kuat bagi enzim mitokondria. Proses oksidasi asam p i r u v a t , a-ketoglutarat dan malat dihambat o l e h asam bongkrek, tetapi oksidasi suksinat dan 43-hidroksi butirat distimulasi.

Asam bongkrek akan menutupi gugus -SH dari ATP-ase, akibatnya produksi ATP pada mitokondria terhenti, sehingga ATP diproduksi di luar mitokondria secara glikolisis dari glikogen cadangan yang ada di dalam hati. Proses fosforila- si oksidatif, yaitu mekanisme pemecahan oksidatif dari kar- bohidrat dan lipida yang menghasilkan enersi akan dihambat oleh asam bongkrek sehingga organ-organ tubuh kekurangan enersi. Apabila siklus Krebs dihambat maka satu-satunya jalan untuk mem~eroleh enersi adalah melalui penggunaan ADP dan 3-fosfogliseraldehida. Hal ini akan menyebabkan terja- dinya penguraian glikogen hati, jantung dan otot-otot se- hingga kadar gula glukosa darah naik. Setelah persediaan glikogen habis, maka glukosa darah segera turun dan penderi- ta keracunan bongkrek akan mengalami asidosis (Nugteren dan Berends, 1957; Welling et al., 1960; van Veen, 1967).

Pada orang yang keracunan tempe bongkrek, mula-mula mengalami hiperglikemia, karena terjadi pengerahan glikogen h a t i , jantung d a n otot-otot, kemudian diikuti d e n g a n terjadinya hipoglikemia yang fatal karena persediaan gliko- gen habis. Asidosis akan terjadi karena selama terjadinya

(35)

glikolisis terbentuk asam laktat, sedangkan asam laktat akan terakumulasi karena tidak dapat disintesis lagi menjadi gli- kogen. Akibat yang lainnya adalah pH darah akan turun.

Penyuntikan glukosa secara intravenous hanya memberikan keringanan atau memperlambat kematian, tetapi tidak dapat mencegah kematian karena tidak dapat lagi mengembalikan gli- kogen hati, jantung dan otot. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa sebelum kematian semua glikogen tidak nampak pada hati dan otot juga kandungan asam laktat dalam darah naik menjadi 2 sampai 3 kalinya nilai normal (Welling et al., 1960).

Kerja dari asam bongkrek ini tidak sama dengan insulin dan ha1 ini diuji coba dengan hewan percobaan anjing. Hormon adrenal'in dan insulin tidak dipengaruhi oleh asam bongkrek

(Soedigdo, 1975). Di dalam tubuh sebenarnya ada glutation . yang sedikit banyak dapat menawarkan toksin, namun terbatas jumlahnya. Henderson dan Lardy (1970) juga telah melakukan penelitian tentang mekanisme kerja asam bongkrek pada mito- kondria dan hasilnya memperkuat hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Welling et a1.(1960). Mekanisme kerja asam bongkrek mirip dengan atraktiloksida, yaitu mencegah trans- lokasi adenin nukleotida ke dalam mitokondria dengan jalan menghambat enzim translokase, sehingga pembentukan ATP melalui fosforilasi oksidatif terganggu. Besarnya hambatan asam bongkrek terhadap translokasi adenin nukleotida sangat tergantung perbandingan antara kadar asam bongkrek dengan kadar protein (Arbianto, 1975).

(36)

40 Soedigdo (1970) mengungkapkan bahwa asam bongkrek dapat bertindak sebagai penghambat enzim-SH, sehingga asam bong- krek akan menghambat enzim papain dan fusin, tetapi tidak menghambat aktivitas enzim tripsin. Kebenaran dari hasil penelitian Soedigdo ini didukung oleh peran asam bongkrek sebagai penghambat kuat terhadap enzim ATP-ase, protease-SH, penyerapan nutrien di usus halus dan transpor glukosa mela- lui membran eritrosit (Margonohadi, 1980; Sabikis, 1981; Murachi et al., 1982). Hambatan yang ditimbulkan oleh asam bongkrek pada percobaan ini dapat dihilangkan atau dikurangi dengan penambahan sistein.

Penghambatan translokasi NAD pada mitokondria oleh asam bongkrek tergantung pada pH. Potensi penghambatan menurun bila pH lebih tinggi dari 6.5 (Kemp et al., 1970). Aktivi- tas asam bongkrek terhadap mikrobe sama dengan aktivitasnya terhadap manusia dan hewan percobaan yang lain, yaitu mem- pengaruhi metabolisme karbohidrat (Nugteren dan Berends, 1957). Van Veen (1950) menemukan bahwa asam bongkrek dalam bentuk garamnya sangat aktif sebagai antibiotik terhadap Rhizopus, Penicillium glaucum dan beberapa khamir serta bak- teri. Nio (1966) meneliti pengaruh natrium sulfit terhadap aktivitas antibiotik asam bongkrek pada Aspergillus niger dan ternyata natrium sulfit dapat menghambat aktivitas anti- biotik asam bongkrek. Menurut Melanie (1971) natrium sulfit tidak mengurangi toksisitas asam bongkrek terhadap respirasi

(37)

sel, sedangkan sistein dapat mengurangi aktivitas asam bong- krek secara nyata.

Soedigdo et al. (1981) telah melakukan penelitian ten- tang aktivitas asam bongkrek merusak dalam jaringan kanker. Percobaan yang dilakukan dengan menggunakan mencit menunjuk- kan bahwa asam bongkrek dapat merusak jaringan kanker dengan jalan menyuntik tumor dengan asam bongkrek sebanyak 1 pg per g bobot badan setiap selang satu hari selama 10 hari. Tumor hilang sekitar lima hari sesudah injeksi yang terakhir.

E. Pengujian Toksisitas

Pengujian aktivitas toksin biasanya dilakukan secara biologis, yaitu dengan cara menguji daya toksisitasnya terhadap suatu hewan percobaan. Metode untuk deteksi daya toksisitas yang sudah ada adalah menggunakan hewan percobaan tingkat tinggi, mikrobe, jaringan tubuh dan hewan percobaan yang lain seperti tikus, kelinci, mencit, berbagai jenis burung seperti ayam dan lain-lainnya (Soedigdo et al., 1980; Suwandi dan Lie, 1988; Kuswanto dan Slamet, 1988).

Uji biologis atau uji toksisitas suatu toksin biasanya

' ditentukan dengan menghitung nilai LD50 atau letal dosis 50

persen. Penentuan nilai DS0 dilakukan dengan menghitung jumlah kematian hewan percobaan yang terjadi 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal toksin. Pada perhitungan ini jumlah kematian dipergunakan sebagai tolok ukur untuk

(38)

efek toksik suatu toksin pada sekelompok hewan percobaan (Miya et al., 1973).

Untuk menentukan daerah harga letal dosis 50 persen be- berapa ahli menganjurkan untuk menggunakan paling tidak em- pat peringkat dosis dan tiap dosis terdiri dari 8 sampai 10 ekor hewan percobaan. Namun ada ahli yang lain yang masih menerima jika jumlah hewan percobaan tiap peringkat dosis paling tidak empat ekor. Dosis dibuat sebagai suatu pe- ringkat dosis dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan dan dosis tertinggi merupakan do- sis yang menyebabkan kematian 100 persen hewan percobaan.

Ada beberapa cara untuk menentukan nilai LD50t yaitu antara lain perhitungan dengan metode grafik Miller dan Tainter, metode grafik De Beer, metode grafik Litchfield dan ~ i l c o x o n , metode aritmatik dari Karber, metode Reed-Muench dan lain-lainnya (Miya et al., 1973). Pada penelitian ini digunakan metode Reed-Muench.

Pada metode Reed-Muench digunakan harga kumulatif se- bagai dasarnya. Harga kumulatif diperoleh dari asumsi bahwa hewan percobaan yang tidak mati atau tetap hidup pada suatu dosis tertentu tidak akan mati oleh dosis yang lebih kecil; dan suatu hewan yang mati dengan suatu dosis tertentu tentu akan mati apabila diberikan dosis yang lebih tinggi.

Angka kumulatif kematian diperoleh dengan menjumlahkan kematian hewan percobaan yang mati pada dosis terkecil

(39)

dengan jumlah hewan percobaan yang mati pada dosis-dosis yang lebih besar. Angka kumulatif hidup diperoleh dengan menjumlahkan hewan percobaan yang tetap hidup pada dosis terbesar dengan jumlah hewan percobaan yang tetap hidup pada dosis-dosis yang lebih kecil. Persentase kematian diperoleh dari angka kumulatif kematian dibagi dengan jumlah angka ku- mulatif kematian dan angka kumulatif hidup pada dosis yang

sama (total) dikalikan 100 persen.

Nilai LD50 dapat dihitung berdasarkan persamaan Reed- Muench berikut ini :

A - B D

Log LDS0

-

X log

-

+

log Dl

C

-

B dimana :

A = persentase kematian 50 persen

B

= persentase kematian <50 persen C = persentase kematian >50 persen

D

= dosis toksin pada persentase kematian > 50 persen Dl= dosis toksin pada persentase kematian < 50 persen

Embrio ayam kadang-kadang juga dipergunakan untuk uji biologis dengan beberapa alasan tertentu antara lain ekono- misf mudah tersedia, ukurannya cukup kecil, relatif bebas dari infeksi laten dan kontaminan dan tidak memproduksi antibodi yang melawan toksin ata; virus yang disuntikkan. Telur yang digunakan untuk menghasilkan embrio ayam harus kuat, sehat dan bebas dari penyakit. Dalam penggunaan em- brio ayam untuk tujuan pengujian biologis perlu diperhatikan

(40)

44 hal-ha1 berikut ini : umur embrio ayam, tempat penyuntikan, pengenceran inokulan dan volume inokulan, suhu inkubasi, dan sebagainya (Cunningham, 1963).

Untuk uji biologis biasanya digunakan embrio ayam yang berumur antara 7

-

9 hari, karena pada umur teraebut embrio ayam diperkirakan sudah cukup kuat untuk diberi perlakuan. Umumnya embrio ayam mulai umur 10 hari akan cepat bertambah besar dan berbulu sehingga susah untuk dilakukan peneropong- an. Selain itu ukuran embrio ayam juga . menjadi bertambah besar dan terjadi penurunan volume cairan di luar embrio se- hingga sulit juga dilakukan penyuntikkan pada embrio ayam. Demikian juga kuning telur yang terdapat pada kantung kuning telur akan cepat menjadi kering setelah embrio ayam berumur 12 hari dan kulit telur menjadi lebih rapuh (Cunningham, 1963).

Beberapa penelitian yang menggunakan hewan percobaan embrio ayam maupun anak ayam sudah banyak dilakukan, seperti Romanoff dan Romanoff (1972) dan Mitruka et al. (1976) telah mempelajari tentang embriologi dasar dan teratologi dari em- brio ayam (Ruyani, 1991). Ruyani (1991) juga telah melaku- kan penelitian untuk mempelajari pengaruh seng sulfat terha- dap perkembangan embrio ayam selama penetasan.

I

P. Ketahanan

Panas

Sejak jaman Purbakala, manusia sudah memanfaatkan panas yang berupa api untuk pengolahan bahan pangan, agar supaya

(41)

dihasilkan suatu produk makanan yang mempunyai rasa lebih lezat dan lebih mudah dicerna. Pemanfaatan panas untuk me- ngawetkan bahan pangan baru dimulai pada tahun 1810 oleh Nicholas Appert. Sejak penemuan ini maka penggunaan proses termal dalam pengolahan dan pengawetan bahan pangan berkem- bang dengan sangat pesat. Proses termal adalah salah satu bidang ilmu yang cukup luas dan berkembang terus. Di dalam pengolahan bahan pangan dikenal tiga jenis proses termal yang pent ing

,

yaitu proses blansir, pasteurisasi dan steri- lisasi komersial (Fardiaz, 1988/1989).

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan mi- krobe, khususnya bakteri. Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan dan daya tahan hidup bakteri. Suhu rendah pada umumnya memperlambat aktivitas metabolisme sell sedang- kan suhu tinggi sampai batas tertentu akan mempercepat akti- vitas sel. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim dan denaturasi protein atau keru- sakan bagian sel yang lain.

Blansir adalah

suatu

proses pemanasan bahan pangan dengan uap air atau air panas secara langsung pada suhu ku- rang dari 1 0 0 ~ ~ selama kurang lebih 10 menit.. Proses ini tidak bertujuan untuk menginaktifkan atau mematikan mikrobe.

.

Proses ini sering dilakukan pada bahan pangan yang akan dibekukan, dikeringkan atau dikalengkan.

Tujuan proses blansir bermacam-macam tergantung dari p r o s e s s e l a n j u t n y a . Di dalam p r o s e s p e m b e k u a n d a n

(42)

pengeringan, blansir bertujuan untuk menginaktifkan enzim agar tidak terjadi perubahan warna, tekstur, cita rasa, maupun nilai gizi selama penyimpanan, sedangkan di dalam proses pengalengan, blansir bertujuan melayukan jaringan tanaman agar mudah di pak, menghilangkan gas dari dalam jaringan, menginaktifkan enzim dan menaikkan suhu awal bahan pangan sebelum disterilisasi.

Proses termal yang berupa pasteurisasi dan sterilisasi komersial bertujuan untuk menginaktifkan atau mematikan mikrobe yang ada pada bahan pangan. Pasteurisasi merupakan proses termal yang dilakukan pada suhu kurang dari 10oOc, dengan waktu yang bervariasi dari mulai beberapa detik Sam- pai beberapa menit. Hal ini tergantung pada suhu yang digu- nakan, biasanya makin tinggi suhu pasteurisasi, makin sing- kat proses pemanasannya. Proses pasteurisasi bertujuan untuk menginaktifkan sel vegetatif dari mikrobe patogen, mikrobe pembentuk toksin dan mikrobe pembusuk. Ketahanan panas beberapa bakteri yang penting di dalam proses pasteu- risasi bahan-pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Sterilisasi komersial nerupakan suatu proses termal yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari 1 0 0 ~ ~ . Proses ini bertujuan untuk membunuh semua mikrobe yang dapat

8

menyebabkan kebusukan makanan pada suhu penyimpanan yang di- tetapkan. Disebut proses sterilisasi komersial karena tidak semua mikrobe yang terdapat pada bahan pangan yang diste- rilisasi tersebut inaktif atau mati. Bahan pangan yang

(43)

disterilisasi tidak betul-betul steril dalam arti kata yang sebenarnya. Proses termal ini hanya diterapkan untuk meng- hilangkan atau wengurangi aktivitas mikrobe yang tidak di-

inginkan terjadi d,i dalam bahan pangan yang diproses.

Tabel 4. Ketahanan panas beberapa bakteri yang penting dalam pasteurisasi - -

Ketahanan panas Golongan bakteri

D (menit) (OF)

Bakteri patogen dan pembentuk

toksin

Mycobacterium tuberculosis Brucella sp. Coxiella burnetti Salmonella sp. Salmonella senftenberg Staphylococcus aureus Streptococcus pyogenes D18 0

~lostridium botulinum tipe E 0.10

-

3.00 Jasad renik pembusuk

Bakteri tidak membentuk spora,

khamir, dan kapang 0.50

-

3.00 Sumber : Stumbo (1973)

I

Ketahanan panas beberapa bakteri yang penting dalam proses sterilisasi komersial dapat dilihat pada Tabel 5. Pada umumnya bahan pangan yang diproses dengan sterilisasi komersial dikemas dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi ini

(44)

Tabel 5. Ketahanan panas beberapa spora dan bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial

Golongan Bakteri

Ketahanan Panas D (menit) z (OF)

Bahan Pangan Berasam Rendah (pH di

atas 4.5) D150

Bpora

Termofilik

Penyebab busuk asam (flat sour)

Bacillus stearothermophillus 4.0

-

5.0 14

-

22 .Pembusuk/Produksi gas

Cl

os

tri dium thermosaccharolyticum 3.0

-

4.0 16

-

22 Pembentuk bau Sulfida

C . nigrificans 2.0

-

3.0 16

-

22

Spora Hesofilik

Putrefactive Anaerob (PA)

C. botulinum tipe A dan B 0.10

-

0.20 14

-

18 C. sporogenes (termasuk PA 3679) 0.10

-

1.50 14

-

18 Bahan Pangan Asam (pH 4.0

-

4 -5)

Spora Termofilik 8. coagulans

Mesof il D2 12

8. polymyxa dan 8 . macerans 0.10

-

0.50 12

-

16 Anaerob Butirat (C. pasteurianum) 0.10

-

0.50 12

-

16 Bahan Pangan Berasam Tinggi

(pH di bawah 4.0) D 1 5 ~

Lactobacillus sp.; Leuconostoc sp.;

kapang dan khamir 0.50

-

1.00 8

-

10 Sumber : Stumbo (1973)

spora bakteri pembusuk tidak tahan panas. Selain itu kon- disi anaerobik dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi, baik selama pemanasan maupun selama penyimpanan. Agar supaya kondisinya tetap anaerobik, pada sterilisasi komersial bahan pangan dikemas dengan kemasan yang kedap

Gambar

Tabel 1.  Data korban keracunan tempe bongkrek di beberapa  daerah di Jawa Tengah  (1951-1988)
Tabel  2.  Ciri-ciri keracunan tempe bongkrek  Tingkat Keracunan  Ciri-ciri Keracunan
Gambar  1.  Struktur toksoflavin.  (A) menurut van Veen dan  Baars, 1938;  (B) menurut van Damme et al.,  1960
Gambar  2.  Struktur  Asam  Bongkrek  (de Bruijn  et  al.,  1973)
+4

Referensi

Dokumen terkait

UANG SAKU MAKAN UANG (ORANG/HARI) (ORANG/HARI) UANG MAKAN UANG MAKAN 2 2 BIAYA PENGINAPAN (ORANG/HARI) PELAKSANA PELAKSANA 2 PELAKSANA PELAKSANA (ORANG/HARI) NO Sesuai dengan

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Tipe paling umum dari mesin ini adalah mesin pembakaran dalam putaran empat stroke yang membakar bensin. Pembakaran dimulai oleh sistem ignisi yang membakaran spark

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang aneka sampel yang dikirim ke Unit Diagnostik untuk pengujian laboratorium terhadap berbagai penyakit sesuai dengan

Hasil uji BNJ pengaruh rnenunjukkan bahwa pengaruh komposisi Hydrilla verticillata dan komposisi Hydrilla verficillafa dan Lenma minor terhadap pertambahan Len'lna

Grafik hubungan antara tekanan darah terhadap waktu tersebut menggambarkan tekanan darah pada manusia normal yaitu tekanan sistolik &lt;120 mmHg dan tekanan

Marilah kita memandang pada kesabaran Allah pada diri kita itulah kekuatan agar kita juga berlaku sabar terhadap orang lain... Hal- 3

Spora berwarna krem hingga kekuningan, atau kemerahmudaan, berbentuk ellip, permukaan licin , berukuran 6–8 x 3–3,5 mikron.Habitat: pada hutan cemara atau kayu lapuk, hidup