• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modal Sosial Kader Kesehatan Dan Kepemimpinan Tokoh Masyarakat Dalam Penemuan Penderita Tuberkulosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modal Sosial Kader Kesehatan Dan Kepemimpinan Tokoh Masyarakat Dalam Penemuan Penderita Tuberkulosis"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Modal Sosial Kader Kesehatan dan Kepemimpinan

Tokoh Masyarakat Dalam Penemuan Penderita

Tuberkulosis

Health Cadres’ Social Capital and Community Figures’

Leadership in the Detection of Tuberculosis

Endang Sutisna Sulaeman1, Reviono2, Arry Setyowati3

1Magister Study Program of Public Health Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University

2Pulmonology Department of Medical Faculty of Surakarta Sebelas Maret University

3Pulmonary Department of Saras Husada Local General Hospital of Purworejo

KATA KUNCI KEYWORDS ABSTRAK

modal social; kepeminpinan; tuberculosis; case detection rate social capital;leadership; tuberculosis;case detection rate

Tuberkulosis (TB) merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. WHO menggulirkan Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan Strategi Stop TB Partnership bertujuan untuk menjangkau semua penderita TB. Kedua strategi tersebut belum mampu mencapai target CDR (Case Detection Rate) secara konsisten. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh dan peran modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat dalam penemuan TB paru BTA positif (CDR). Metode yang digunakan adalah survei dan studi kasus. Sasaran penelitian adalah Tim Penanggulangan TB di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten, serta kader kesehatan, tokoh masyarakat, penderita TB, dan mantan penderita TB di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Hasil penelitian survei dengan analisis jalur menunjukkan, besaran pengaruh langsung modal sosial kader kesehatan terhadap CDR adalah 8,64%, pengaruh langsung kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR adalah 33%, dan pengaruh modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat secara simultan terhadap CDR adalah 27,7%. Hasil penelitian studi kasus menyimpulkan, peran modal sosial kader kesehatan dalam CDR terdiri dari dimensi kognitif, relasional dan struktural. Dimensi kognitif meliputi kepedulian, saling percaya dan rasa memiliki antar anggota keluarga, warga masyarakat, serta kader dan petugas kesehatan. Dimensi relasional meliputi kerjasama dan komunikasi yang dilandasi nilai-nilai bersama. Dimensi struktural meliputi jaringan sosial, perkumpulan dan

(2)

persatuan masyarakat. Peran kepemimpinan tokoh masyarakat dalam CDR adalah memberikan motivasi, tempat bertanya dan konsultasi, mengadakan pertemuan rutin, serta mengelola kegiatan dan menggalang donasi.

ABSTRACT Tuberculosis (TB) is a global emergency for humanity. WHO launches DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) and Stop TB Partnership strategies aiming to reach all people with TB. Both strategies have not been able to reach the target of CDR (case detection rate) consistently. This research aimed to analyze the effect and the role of health cadres’ social capital and community figures’ leadership in finding the people with positive-BTA pulmonary tuberculosis (CDR). The methods employed were survey and case study. The target of research was TB management team in Puskesmas (Public Health Centre) and Regency Health Service, and health cadres, community figures, people with TB, and people with TB previously in Sukoharjo Regency, Central Java. The result of research with path analysis showed that the size of direct effect of health cadres’ social capital on CDR was 8.64%, that of community figures’ leadership on CDR was 33%, and that of health cadres’ social capital and community figures’ leadership simultaneously on CDR was 27.7%. The result of case study research concluded that the role of health cadres’ social capital in CDR consisted of cognitive, relational and structural dimensions. Cognitive dimension included care, mutual trust, and sense of belonging among the members of family, members of society, and health cadres and workers. Relational dimension included cooperation and communication based on commonness value. Structural dimension included social network, community association and unity. The role of community figures’ leadership in CDR was that it provided motivation, served as the one to which any one asking question and consulting, conducted routine meeting, and managed activity and raised donation.

Sejak tahun 1993, WHO menyatakan, Tuberkulosis (TB) merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Pada tahun 1990 WHO meluncurkan strategi DOTS untuk menanggulangi TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita dengan prioritas penderita TB Basil Tahan Asam (BTA) positif. Selanjutnya pada tahun 2006 WHO menggulirkan “Strategi Stop TB

Partnership” bertujuan untuk menjangkau semua pasien, mengintensifkan penanggulangan TB, dan memastikan tercapainya target

Millennium Development Goals (MDG’s) tahun 2015.

Corespondence:

Dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr. M.Kes Magister Study Program of Public Health Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutarno No. 36 A Kentingan Surakarta 57126 Telpon (0271) 664178 E-mail: sutisnaend_dr@yahoo.com

(3)

Target Stop TB Partnership

adalah; (1) Pada tahun 2015, beban global penyakit TB (prevalensi dan mortalitas) akan berkurang sebesar 50% dibandingkan tahun 1990, dan setidaknya 70% orang yang terinfeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh, (2) Pada tahun 2050 TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat global (WHO 2006, WHO 2010, Kementerian Kesehatan RI 2011). Melalui strategi DOTS dan Stop TB Partnership, CDR belum konsisten bisa tercapai, untuk itu perlu mengembang-kan partisipasi masyarakat melalui peran modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat dalam penemuan penderita TB BTA positif (Case Detection Rate/CDR).

Indikator keberhasilan penanggulangan TB adalah CDR dan angka keberhasilan pengobatan (success rate/SR). Sasaran strategi nasional pengendalian TB 2010-2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah; (1) meningkatkan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%, (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%, (3) meningkatkan persentase provinsi dengan case detection rate (CDR) di atas 70% mencapai 50%, (4) meningkatkan persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88% (Kementerian Kesehatan RI 2011). Insidensi TB di Indonesia pada tahun 2010 menduduki urutan keempat dari lima negara terbesar di dunia yaitu 0,37-0,54 juta. Perkiraan CDR untuk semua bentuk TB di tingkat global pada tahun 2010

adalah 65% (kisaran 63-68%) (WHO 2011). Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah baru mencapai 34,89% (2012). Berdasarkan penelitian pendahuluan, faktor-faktor penyebab CDR yang rendah di Kabupaten Sukoharjo yaitu; (1) partisipasi dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus TB belum optimal, (2) penjaringan terlalu longgar atau terlalu sensitive, (3) program TB hanya mengandalkan pasif case finding (PCF) untuk menjaring kasus TB, (4) kerjasama lintas program maupun lintas sektor belum optimal (Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo 2013).

Keberhasilan penanggulangan TB perlu menjalin kerjasama dengan berbagai mitra. Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki kepedulian, kemauan, kemampuan, dan komitmen yang tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi pada pengendalian TB berperan sesuai potensinya. Potensi individu dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keberhasilan pengendalian TB. Mitra TB harus memiliki pemahaman yang sama akan tujuan kemitraan yaitu terlaksananya upaya percepatan pengendalian TB secara efektif, efisien, dan berkesinambungan (Kementerian Kesehatan RI 2011). Penyakit menular TB bukan saja masalah bagi penderita TB tetapi juga masalah sosial bagi masyarakat. Kebijakan sosial sangat dibutuhkan untuk menurunkan insidensi TB (Rasanathan et al., 2011). Program pengendalian TB membutuhkan peran aktif kader kesehatan, tokoh masyarakat, dan penderita TB (Kementerian Kesehatan RI 2011). Krianto (2005) menyatakan perlunya mengembangkan ke-pemimpinan lokal, meningkatkan mobilisasi, dan pendayagunaan sumber

(4)

daya dalam pemecahan masalah kesehatan. Kajian peran modal sosial (social capital) dalam intervensi kesehatan merupakan konsep yang menarik perhatian penelitian kesehatan. Modal sosial berhubungan dengan perilaku kesehatan. Modal sosial yang rendah akan menginduksi perilaku yang tidak sehat (Murti 2010). Kemajuan pengendalian TB di negara dengan pendapatan rendah sampai sedang tidak hanya memerlukan kekuatan program pengendalian, diagnosis dan pengobatan TB tetapi juga modal sosial TB (Bolinet al., 2003).

Konsep modal sosial pertama kali diperkenalkan oleh Hanifan (1916 cit. Sulaeman 2013), mengartikan sebagai kohesi sosial dan investasi pribadi dalam masyarakat. Modal sosial berada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti saling berkunjung, persekutuan, simpati, dan saling berhubungan antara individu, keluarga, tetangga serta kelompok sehingga terakumulasi menjadi modal sosial yang dapat memenuhi kebutuhan sosial dan berpotensi untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat secara keseluruhan (Conrad 2007, Oksanen 2009).

Modal sosial sebagai karakteristik organisasi sosial misalnya jejaring, norma, dan kepercayaan sosial yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama (Putnam 1993). Sebagai sumber daya yang diakses oleh individu dan kelompok dalam sebuah struktur sosial, yang memudahkan kerjasama, tindakan kolektif, dan terpeliharanya norma-norma bersama (Fujiwara et al., 2008). Sebagai kemampuan para pelaku untuk mendapatkan manfaat melalui keanggotaannya dalam jejaring sosial atau struktur sosial lainnya (Portes

1998). Modal sosial mencakup tiga dimensi yaitu kognitif, relasional, dan struktural. Dimensi kognitif memfokus-kan pada makna dan pemahaman bersama antara individu atau kelompok, merasa memiliki satu dengan yang lain. Dimensi relasional berfokus pada karakter koneksi antara individu yang dicirikan melalui kepercayaan dan kerjasama. Dimensi struktural berhubungan dengan kemampuan individu membuat ikatan antara yang lemah dan yang kuat dalam suatu sistem (Nahapiet et al., 1998 cit. Sulaeman 2013). Dimensi kognitif seperti kepercayaan masyarakat, kebersamaan dapat meningkatkan perasaan aman individu dalam masyarakat (Fujiwara et al., 2008). Dimensi kognitif - kepercayaan dan perasaan memiliki sangat berhubungan dengan perasaan sehat fisik dan mental. Dimensi struktural membuka hubungan baik dengan institusi formal maupun informal dan menurunkan dampak negatif gaya hidup yang buruk (Harpham et al., 2001).

Bolin et al., (2003) berpendapat modal sosial merupakan sumber daya yang terdapat dalam struktur masyarakat, jika digunakan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan anggota masyarakat. Beberapa teori tentang modal sosial maupun bukti empiris menunjukan tingkat modal sosial yang tinggi di suatu masyarakat erat kaitannya dengan tingkat kesehatan anggota masyarakat. Modal sosial yang tinggi memudahkan anggota masyarakat untuk berbagi informasi kesehatan, mengakses, dan menggunakan sumber daya yang tersedia di dalam masyarakat. Menurut Lynch et al., (2000) investasi modal sosial

(5)

merupakan strategi yang berguna untuk kesehatan masyarakat. Selanjutnya Macinko (2001) berpendapaat bahwa modal sosial berhubungan positif dengan kesehatan. Jaringan sosial merupakan sumber fundamental untuk mencegah penyakit. Individu yang tinggal di masyarakat dengan tingkat modal sosial tinggi melaporkan dirinya lebih sehat secara jasmani dan rohani dibandingkan individu yang tinggal dalam masyarakat dengan tingkat modal sosial rendah.

Menurut Holtgrave et al., (2004) modal sosial dapat membangun infrastruktur komunitas untuk memecahkan masalah TB. Kawachi et al. (2000) menjelaskan mekanisme modal sosial dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu; (1) modal sosial menyediakan saluran distribusi pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan kesehatan, (2) modal sosial dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk menjaga norma perilaku sehat dan mengerahkan kontrol sosial terhadap perilaku merugikan kesehatan, (3) modal sosial sebagai modal yang memungkinkan untuk mempromosikan akses terhadap layanan dan fasilitas kesehatan, (4) modal sosial berfungsi sebagai penghubung dalam proses psiko-sosial termasuk pengembangan dukungan sosial dan saling menghormati.

Beberapa studi menunjukkan modal sosial berhubungan dengan berbagai indikator kesehatan ataupun perilaku kesehatan seperti mortalitas (Kawachi et al., 1997). Penelitian Sundquist dan Yang (2000) menemukan linking social capital

(menghubungkan modal sosial) berhubungan dengan kesehatan. Menurut Blakely et al., (2006) linking

social capital meningkatkan kesempatan warga mengakses sumber-sumber daya untuk memproduksi kesehatan. Menurut Murti (2010) interaksi antara warga dan pemerintah daerah, kepercayaan warga terhadap sistem pelayanan kesehatan formal, kedekatan antara warga masyarakat dan pemimpin formal serta koordinasi antar institusi merupakan contoh

linking social capital.

Murti (2010) melakukan survei rumah tangga di Surakarta, Pati, dan Tulungagung menggunakan sampel sebanyak 1.986 perempuan. Studi tersebut menemukan hubungan positif antara modal sosial dan kesehatan perempuan. Penemuan penderita TB paru BTA positif sangat tergantung dari inisiatif dan motivasi penderita untuk memeriksakan gejala penyakitnya ke sarana pelayanan kesehatan, tingkat sosio ekonomi, pengetahuan, dan tingkat kewaspadaan kesehatan (Dye et al., 2009, Ngadaya et al., 2009). Menurut WHO (2010) modal sosial memberikan kontribusi penguatan sistem kesehatan pada program penanggulangan TB melalui mobilisasi sosial dalam konteks nasional dan regional sebagai proses membangkitkan keinginan masyarakat secara aktif dengan meneguhkan konsensus dan komitmen sosial di antara pengambil kebijakan dalam penanggulangan TB. WHO Global Plan to Stop TB 2006-2015 menyatakan, sumber utama manusia sangat menentukan program pengendalian TB. Kader kesehatan adalah orang yang diharapkan memegang peran penting di bidang kesehatan. Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan, kemauan, dan

(6)

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan (WHO 2007).

Menurut Ebi et al., (2008) peran kader kesehatan adalah memberikan pelayanan promotif, preventif dan kuratif sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Kader kesehatan memberikan dukungan yang besar, mengembangkan komitmen yang kuat, dan memberikan solusi yang lebih kreatif untuk meningkatkan CDR. Kader kesehatan ikut serta dalam perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program TB. Sementara itu menurut Awofeso (2008) peran kader kesehatan dalam program pengendalian TB adalah; (1) melakukan penyuluhan kepada masyarakat, (2) merujuk penderita yang batuk lebih dari 2 minggu, membagi pot dahak di posyandu, (3) pengawasan minum obat TB paru, (4) memberikan kesadaran untuk berobat secara lengkap, (5) menjelaskan usaha pencegahan dan penularan penyakit TB kepada penderita dan masyarakat, serta (6) pencatatan dan pelaporan.

Kader kesehatan dapat membangun jaringan yang kuat untuk mendapat dukungan sosial sehingga dapat menurunkan stres, tekanan, dan risiko terkena penyakit. Dukungan sosial dan aktivitas fisik mempunyai korelasi yang positif dan sebagai motivator utama (Baum et al., 2003). Dukungan yang diberikan teman, tetangga, dan masyarakat kepada penderita TB akan membuat penderita TB akan lebih terbuka tentang penyakitnya. Dua manfaat potensial yang diperoleh, yaitu manfaat psikologis dimana mereka tidak perlu menyembunyikan penyakitnya dan manfaat material yaitu mereka mendapatkan dukungan dan dorongan diri mereka sendiri. Kader kesehatan

yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan dan berpengalaman sebagai sumber daya manusia yang sangat berharga untuk suatu organisasi (Holtgrave et al., 2004). Individu dengan pendapatan lebih tinggi juga memiliki hubungan sosial, merasakan suatu kewajiban untuk berperan bagi lingkungannya. Individu dari populasi yang homogen lebih mungkin untuk menjadi kader kesehatan karena masyarakat lebih percaya kepada orang dari populasinya sendiri dibanding orang dari populasi lain. Kepercayaan sangat penting karena individu yang bersaangkutan merasa lebih nyaman (Ainyet al., 2012).

Rogers (1999 cit. Sulaeman 2013) berpendapat bahwa dalam setiap sistem sosial terdapat “opinion leader” (pemimpin opini)-pemimpin masya-rakat yang diminta pertimbangan ketika orang mau menerima atau menolak inovasi baru. Tokoh masyarakat adalah orang yang terkemuka atau kenamaan dibidang politik, budaya, kesehatan dan bidang lainnya di masyarakat (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2007). Tokoh masyarakat di tingkat desa/kelurahan meliputi aparat pemerintahan desa/kelurahan (kepala desa/lurah, kepala urusan kesejahteraan rakyat dan kepala dusun), pengurus Badan Perwakilan Desa (BPD), pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa /Kelurahan (LPMD/LPMK), pengurus Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa/kelurahan, ketua RT, pendidik/guru, pemimpin agama dan organisasi masyarakat.

Kouzes et al., (2007cit. Sulaeman 2013) menyimpulkan terdapat lima aspek peran kepemimpinan, yaitu;

(7)

(1) model the way: memberikan contoh dalam pelaksanaan kegiatan, (2)

inspire a shared vision: memberikan inspirasi pada visi bersama, (3)

challenge the process: melakukan pembaharuan dalam proses pencapaian tujuan, (4) enable others to act: meningkatkan kemampuan staf untuk bertindak melalui kerjasama tim, memberikan kepercayaan dan mengembangkan kemampuan staf, serta (5) encourage the heart: memberikan semangat dan penghargaan. Holtgrave (2002) berpendapat bahwa kepemimpinan tokoh masyarakat sangat potensial untuk meningkatkan kepedulian terhadap tanda dan gejala TB, berperan aktif mendorong penderita TB menjalani pengobatan TB dan memberitahu keuntungan pengobatan lengkap, serta membantu mengatasi keluhan penderita. Tokoh masyarakat bekerja sama dengan kader kesehatan mengawasi penderita TB dalam minum obat. Hal ini akan menurunkan angka kegagalan pada penderita TB yang mendapat pengobatan lengkap.

Penelitian Flueggne (2011) menyimpulkan, ada empat hal penting untuk meningkatkan CDR yaitu; (1) menganalisis dan menyimpulkan berbagai metode yang terintegrasi dengan adanya laporan kasus TB, (2) mendeskripsikan lingkungan dan budaya untuk mengurangi kasus TB, (3) menggali sejumlah metode kemasyarakatan yang disesuaikan dengan daerah setempat, (4) identifikasi kompetensi model budaya yang potensial untuk penemuan kasus TB yang lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh dan peran modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh

masyarakat dalam penemuan TB paru BTA positif (CDR) di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.

BAHAN DAN CARA KERJA

Desain penelitian adalah potong-lintang (cross-sectional) dengan pendekatan rancangan gabungan yaitu memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tempat penelitian di Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian dilakukan selama lima bulan mulai bulan Agustus sampai dengan Desember 2013. Penelitian kuantitatif dilakukan di 8 Puskesmas meliputi 4 Puskesmas mewakili Puskesmas yang telah mencapai target CDR dan 4 Puskesmas mewakili Puskesmas yang belum mencapai target CDR. Populasi penelitian kuantitatif adalah seluruh desa berjumlah 177 desa dengan mengambil sampel sebanyak 80 desa. Teknik pencuplikan sampel dilakukan secara disproportionate stratified random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup. Responden penelitian sebanyak 120 orang terdiri dari 80 orang kader kesehatan dan 40 orang dari Tim Penanggulangan TB Puskesmas.

Populasi penelitian kualitatif berupa situasi sosial yaitu interaksi secara sinergis antara tempat, pelaku, dan aktivitas dalam program penemuan kasus baru TB BTA positif. Teknik pencuplikan dilakukan dengan

purposivedan snowball sampling. Sampel penelitian memilih dua desa yaitu satu desa sebagai representasi desa yang telah mencapai target CDR dan satu desa sebagai representasi desa yang belum mencapai CDR. Informan terdiri dari dua kategori; (1) Kelompok petugas (Tim Penanggulangan TB Puskesmas) masing-masing Puskesmas

(8)

sebanyak 6 orang, (2) Kelompok komunitas masing-masing desa sebanyak 18 informan. Informan seluruhnya sebanyak 48 orang meliputi informan petugas Puskesmas sebanyak 12 orang, dan informan kelompok komunitas sebanyak 36 orang. Dengan komposisi informan seperti itu, maka triangulasi sumber informasi dan metoda dalam penelitian kualitatif telah dapat dipenuhi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in depth interview), focus group discussion (FGD), observasi partisipasi (participan observation) dan kajian dokumen.

Analisis data penelitian menggunakan pendekatan analisis gabungan kuantitatif dan kualitatif. Analisis data kuantitatif meliputi analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. Analisis univariat untuk mengetahui deskripsi distribusi frekuensi tiap variabel. Analisis bivariat untuk mengetahui korelasi antara variabel bebas modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat dengan variabel terikat yaitu CDR. Analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman

(non parametrik). Analisis multivariat dilakukan dengan analisis jalur (path analysis).

Analisis data dalam penelitian studi kasus meliputi reduksi data,

penyajian data, dan kesimpulan yang dilakukan secara interaktif dan siklik dengan proses pengumpulan data, sebagai suatu proses analisis interaktif dan analisis jalinan. Analisis menggunakan matriks, data dikelompokkan per-variabel untuk kategori yang sama dan dianalisis segera setelah selesai wawancara mendalam. Beberapa jenis triangulasi digunakan untuk memaksimalkan

kepercayaan data; triangulasi peneliti yaitu bekerja kolaboratif dalam tim penelitian (3 orang) dalam mengidentifikasi kode, mengembang-kan kategori dan tema, triangulasi metode dan sumber data, yaitu menggunakan berbagai jenis data yang dikumpulkan dengan berbagai metode dan sumber data, misalnya rekaman dari wawancara, catatan lapangan, dan pemeriksaan anggota (member checking) untuk memberikan umpan balik hasil analisis data. Triangulasi teori juga digunakan dalam desain pertanyaan wawancara dan tinjauan teoritis.

HASIL Penelitian Kuantitatif

1. Analisis Univariat: Penilaian responden pada peran modal sosial kader kesehatan dan peran kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR

Rata-rata penilaian responden pada peran modal sosial kader kesehatan terhadap CDR yaitu 3,44 (baik) dan rata-rata penilaian

responden pada peran

kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR yaitu 3,5 (baik). Pencapaian CDR di Puskesmas wilayah Sukoharjo masih dibawah target yang ditetapkan yaitu 34,89% dan rentang nilai maksimum dengan minimum masih terlalu lebar yaitu 0–118,3.

2. Analisis Bivariat

Hasil uji normalitas data menujukkan data tidak berdistribusi normal. Untuk itu digunakan uji non-parametrik dengan peringkat

Spearman. Korelasi dinyatakan bermakna antara dua variabel yang diuji jika p < 0,05.

(9)

a. Peran modal sosial kader kesehatan terhadap CDR

Tabel 1. Uji korelasi bivariat antara peran modal sosial kader kesehatan pada subvariabel dimensi kognitif, relasional, dan struktural dengan CDR Variabel dan dimensi Korelasi Spearman terhadap CDR 2012 (Y)

p r Kekuatan korelasi Modal Sosial Kader Kesehatan (X1) 0,000* 0,560 sedang

Kognitif 0,024* 0,263 lemah

Relasional 0,015* 0,282 lemah

Struktural 0,049* 0,230 lemah

Sumber : Data Primer, 2012

Tabel 1 menunjukkan hasil uji korelasi bivariat antara variabel peran modal sosial kader kesehatan meliputi dimensi kognitif, relasional, dan struktural

terhadap CDR dengan

menggunakan uji Spearman. Nilai p=0.000 yang menunjukkan korelasi antara keduanya secara statistik bermakna (p < 0,05) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.560. Dengan demikian terdapat korelasi positif sedang dan bermakna antara peran modal sosial kader kesehatan terhadap CDR. Nilai p=0.024 didapatkan untuk pengujian korelasi antara dimensi kognitif modal sosial kader kesehatan terhadap CDR yang menunjukkan korelasi keduanya bermakna (p < 0.05) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,263 menunjukkan kekuatan korelasi positif lemah. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan bermakna antara dimensi kognitif modal sosial kader kesehatan

terhadap CDR. Nilai p=0.015 didapatkan untuk pengujian korelasi antara dimensi relasional modal sosial kader kesehatan terhadap CDR yang menunjukkan korelasi keduanya bermakna (p < 0.05) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,282 menunjukkan korelasi positif lemah. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan bermakna antara dimensi relasional modal sosial kader kesehatan terhadap CDR. Nilai p=0.049 didapatkan untuk pengujian korelasi antara dimensi struktural modal sosial kader kesehatan terhadap CDR yang menunjukkan korelasi keduanya bermakna (p < 0.05) dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,230 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi lemah. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan bermakna antara dimensi struktural modal sosial kader kesehatan terhadap CDR.

(10)

b. Peran kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR

Tabel 2. Uji korelasi bivariat antara peran subvariabel kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR

Variabel dan dimensi Korelasi Spearman terhadap CDR 2012 (Y)

p r Kekuatan korelasi

Kepemimpinan Tokoh Masyarakat (X2) 0,070 0,212 lemah

Memberi Contoh/Teladan 0,014* 0,284 lemah

Memberi Inspirasi 0,316 0,118 sangat lemah

Melakukan Inovasi 0,129 0,178 sangat lemah

Memberi Motivasi 0,341 0,112 sangat lemah

Meningkatkan Kemampuan Staf 0,090 0,198 sangat lemah

Sumber : Data Primer, 2012

Tabel 2 menunjukkan uji korelasi bivariat dengan menggunakan uji Spearman antara peran kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0,070 didapatkan untuk pengujian antara variabel bebas kepemimpinan tokoh masyarakat dengan variabel terikat CDR dengan koefisien korelasi (r) 0,212. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna antara peran kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0.014 untuk uji korelasi antara kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap aspek memberi contoh/teladan tokoh masyarakat terhadap CDR dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.284. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan bermakna antara aspek memberi contoh atau teladan tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0.316 didapatkan untuk pengujian korelasi antara

subvariabel memberi inspirasi tokoh masyarakat terhadap CDR dengan koefisien korelasi (r) 0.118. Dengan demikian terdapat korelasi positif sangat lemah dan tidak bermakna antara aspek memberi inspirasi tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0.129 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,178 didapatkan untuk pengujian antara subvariabel melakukan inovasi tokoh masyarakat terhadap CDR.

Dengan demikian terdapat korelasi positif sangat lemah dan tidak bermakna antara subvariabel melakukan inovasi tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0.341 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.112 didapatkan untuk pengujian antara subvariabel melakukan memberi motivasi tokoh masyarakat terhadap CDR yang menunjukkan korelasi keduanya tidak bermakna (p > 0.05). Dengan demikian terdapat korelasi positif

(11)

lemah dan tidak bermakna antara subvariabel melakukan inovasi tokoh masyarakat terhadap CDR. Nilai kemaknaan p=0.090 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.198 didapatkan untuk penguji antara subvariabel aspek meningkatkan kemampuan staf tokoh masya-rakat terhadap CDR. Dengan demikian terdapat korelasi positif lemah dan tidak bermakna antara subvariabel meningkatkan ke-mampuan staf tokoh masyarakat terhadap CDR.

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan melalui analisis jalur (path analysis). Diperoleh nilai F sebesar 6.606 dengan nilai probabilitas (sig) 0,000. Karena nilai sig < 0,05, disimpulkan terdapat pengaruh modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat dalam memberi contoh atau teladan terhadap CDR. Berdasarkan hasil perhitungan analisis jalur, dikesimpulan bahwa besaran pengaruh langsung modal sosial kader kesehatan terhadap CDR adalah 8,64%. Besaran pengaruh langsung kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR adalah 33%. Besaran pengaruh simultan modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR adalah 27,7%.

Penelitian Kualitatif

1. Peran modal sosial kader kesehatan dalam CDR

Dimensi kognitif modal sosial kader kesehatan yang berhubungan dengan CDR yaitu adanya kepedulian kader kesehatan terhadap warga masyarakat, adanya saling percaya dan rasa

memiliki antar anggota keluarga, sesama warga serta kader dan petugas kesehatan. Bila ada salah satu warga yang sakit seperti TB, kader kesehatan memberitahukan kepada warga binaannya, serta menggerakan untuk menjenguk dan mengumpulkan iuran warga untuk membantu pengobatan. Saat menjenguk orang sakit, warga berdiskusi serta bertanya tentang penyakitnya, obatnya, dan cara pencegahannya.

Kepercayaan masyarakat terhadap kader kesehatan dalam program pengendalian TB semakin berkembang dengan adanya pelatihan kader dalam program TB, sehingga kader mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan program TB yang memadai. Kader kesehatan berperan sebagai sebagai panutan, pendidik dan penggerak dalam membantu penemuan penderita TB di masyarakat. Berikut beberapa kutipan pernyataan informan:

…..adanya saling percaya antar anggota keluarga, sesama warga dan terhadap kader kesehatan; anggota keluarga menyarankan untuk memeriksakan ke puskesmas; bila ada salah satu warga yang sakit seperti TB, kader kesehatan memberitahukan kepada warga binaannya, serta menggerakan untuk menjenguk dan mengumpulkan iuran warga untuk membantu pengobatan; kader kesehatan meng-informasikan ciri-ciri penderita TB, melakukan penyuluhan agar warga terhindar dari penyakit TB; warga percaya kepada kader kesehatan, dan menjalankan apa yang disarankan kader kesehatan dalam pengobatan TB sampai

(12)

tuntas….” (St, 28 Agustus 2013; Gnd, Bulu 27 Agustus 2013).

“….adanya rasa memiliki satu sama, warga turut prihatin dan peduli terhadap penderita TB terutama lansia, warga akan mengantar ke puskesmas dan membantu dalam minum obat; adanya kepercayaan masyarakat pada pelayanan kesehatan Puskesmas, dimana terdapat bukti penderita TB BTA positif yang sembuh setelah menjalani pengobatan di Puskesmas” (St, Bulu 27 Agustus 2013).

Sementara itu dimensi relasional modal sosial kader kesehatan memfokuskan pada karakter hubungan antara individu yang diwujudkan melalui kerjasama dan komunikasi yang dilandasi nilai-nilai bersama, yang dimanifestasikan dalam pemberian saran dan nasihat, mendampingi berobat, mencari jalan keluar untuk biaya pengobatan, melalui sumbangan perorangan, iuran atau mengambil dari kas RT. Seperti disampaikan informan berikut:

“…..adanya kerjasama antara warga masyarakat, agar penderita TB lebih cepat diketahui dan mencegah penular-an TB; adanya komunikasi antara warga, seperti saling menginformasikan ciri-ciri penderita TB, melakukan pe-nyuluhan agar mengetahui pencegahan, pengobatan, cara penularan agar terhindar dari penyakit TB,, dan lain-lain;

adanya komunikasi dan kerja-sama antara warga masyarakat dan kader kesehatan, penderita TB BTA positif akan cepat diketahui; kerjasama antara

warga masyarakat digerakkan oleh kader kesehatan, seperti dalam pengumpulan dana untuk biaya berobat, meng-komunikasikan kepada warga masyarakat untuk mendampingi dan mengantar berobat; mencari jalan keluar, misal menghimpun sumbangan warga, meminjam mobil warga untuk mengantarkan orang sakit ke Puskesmas atau Rumah Sakit” (Amn, Kartasura 28 Agustus 2013; Wrs, Kartasura 28 Agustus 2013).

“….adanya nilai-nilai bersama, seperti tidak membeda-bedakan antara penderita TB dengan penderita yang lain, warga tidak mengucilkan penderita TB dan tetap menjalin komunikasi, memberikan nasihat serta mengingatkan untuk berobat teratur; adanya norma bersama untuk menjenguk orang sakit; saat menjenguk, warga menanyakan keluhan penderita sehingga warga mengetahui penyakitnya, masyarakat lebih peka terhadap gejala TB; adanya norma bersama, membuat TB lebih mudah diketahui masyarakat.” (Whd, Kartasura 28 Agustus 2013; Fth, Bulu, 27 Agustus 2013; Krs, Bulu, 27 Agustus 2013).

Sementara itu, dimensi struktural modal sosial kader kesehatan berhubungan dengan kemampuan individu untuk membuat ikatan yang lemah menjadi kuat dalam suatu sistem, seperti jaringan sosial, perkumpulan dan persatuan masyarakat. Adanya jejaring masyarakat, penyebaran informasi berpola dari atas bisa sampai ke

(13)

bawah, sehingga warga mendapat informasi TB, dan memperluas penjaringan penderita TB BTA positif. Adanya perkumpulan masyarakat seperti PKK desa, pertemuan dusun, paguyuban RT, dan posyandu merupakan media untuk menyampaikan berbagai informasi terkait dengan kesehatan termasuk TB.

Adanya perkumpulan akan mempermudah dan mempercepat penemuan penderita TB BTA positif, sehingga penderita TB dapat segera diketahui dan diobati. Adanya persatuan masyarakat, menciptakan perasaan ke-bersamaan sehingga pendeita TB tidak dikucilkan. Elemen-elemen tersebut terungkap dalam penelitian studi kasus penelitian ini. Seperti disampaikan informan berikut :

“….adanya jejaring masyarakat yang dibangun oleh kader kesehatan, informasi dari atas bisa sampai ke bawah, misal bidan desa dapat menginformasikan penyakit TB yang diderita oleh warga masyarakat, warga mendapat informasi TB dari kader kesehatan dan petugas puskesmas sehingga penderita TB BTA positif lebih cepat diketahui, dan memperlancat pengobatan TB; adanya perkumpulan masyarakat yang digerakkan kader kesehatan, akan mempermudah dan memperluas penjaringan pen-derita TB BTA positif,; adanya perkumpulan masyarakat, warga mendapat informasi dan saran tentang penemuan dan pe-ngobatan TB; adanya persatuan masyarakat, warga melakukan iuran dan memberikan

sumbangan untuk membantu pengobatan, dan penderita TB tidak dikucilkan dan ”. (Krs, Bulu, 27 Agustus 2013; Gnd, Bulu, 27 Agustus 2013).

2. Peran kepemimpinan tokoh masyarakat dalam CDR

Tokoh masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam CDR di wilayah kerja Puskesmas, yaitu memberikan motivasi, tempat bertanya dan konsultasi. Seperti penuturan salah satu Kepala Desa,

Ada penderita TB yang sulit diajak memeriksakan diri dan sulit diberi nasihat oleh kader atau bidan, namun berhasil dimotivasi oleh tokoh masyarakat dengan melakukan pendekatan pribadi”.

Warga masyarakat akan bertanya atau melakukan konsultasi kepada tokoh masyarakat, baik tokoh formal seperti ketua RT, ketua RW atau kepala dusun, maupun maupun tokoh informal seperti pendidik ataupun guru mengaji. Menurut penuturan salah seorang informan,

“…peran tokoh masyarakat adalah memberi contoh dan menggerakkan dalam penemuan TB paru BTA positif, melapor kepada petugas Puskesmas bila ada anggota masyarakat yang menunjukkan gejala TB, memberikan motivasi kepada masyarakat dengan cara berkunjung ke rumah warga untuk memberikan penyuluhan tentang kesehatan termasuk TB, membantu keuangan untuk pengobatan, menengok warga yang sakit, menyediakan anggaran untuk transport kader kesehatan”. (Whd, Kartasura 28 Agustus 2013).

(14)

Tokoh masyarakat bersama-sama perangkat desa dan kader kesehatan mengadakan pertemuan secara rutin sebulan sekali untuk membicarakan berbagai masalah kesehatan di masyarakat termasuk masalah TB. Seorang tokoh masyarakat menuturkan,

”… Tokoh masyarakat bersama-sama perangkat desa dan kader kesehatan mengadakan pertemuan secara rutin sebulan sekali untuk membicarakan berbagai masalah kesehatan di masyarakat, termasuk permasalahan TB; kemudian mengundang petugas Puskesmas untuk memberikan penyuluhan kesehatan atau penanggulangan kesehatan di desa” (Sgm, Kartasura, 28 agustus 2013). Kegiatan pertemuan khusus untuk penemuan penderita TB tidak secara khusus dibahas di Desa. Tidak ada aparat Desa yang secara khusus diberi tugas untuk menangani penanggulangan TB. Perhatian aparat desa masih bersifat umum seperti terhadap penyakit yang lain. Bila ada warga masyarakat menderita batuk lebih dari dua minggu, tokoh masyarakat memberikan saran untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas, menghubungi kader kesehatan atau petugas Puskesmas agar mengunjungi penderita. Salah

seorang Kepala Desa

menyampaikan,

”….bila ada warga masyarakat menderita batuk lebih dari dua minggu, tokoh masyarakat memberikan saran untuk segera memeriksakan diri ke Puskesmas atau kepala desa dan apatat desa menghubungi kader kesehatan atau petugas Puskesmas agar mengunjungi penderita tersebut dan mengantar ke

Puskesmas” (Stj, Kartasura, 28 Agustus 2013).

Kendala dalam pe-nanggulangan TB, antara lain TB dianggap bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dibandingkan dengan penyakit lain seperti DBD, sehingga respons dari masyarakat sangat kurang dan warga yang menindaklanjuti dengan me-meriksakan diri ke Puskesmas sangat sedikit. Sementara itu informan lain mengatakan,

”….peran tokoh masyarakat dalam penemuan TB masih kurang optimal, mereka kurang memberi contoh dalam penemuan TB, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tokoh masyarakat tentang TB sehingga perlu dilakukan pelatihan tentang TB kepada tokoh masyarakat” (Stn, Kartasura, 28 agustus 2013).

Selanjutnya seorang Kepala Dusun menuturkan,

“….pengetahuan saya (kepala dusun) tentang TB masih sedikit; kepemimpinan desa belum mengembangkan kemampuan staf (pamong desa), selama ini belum ada informasi tentang TB yang diberikan kepada perangkat desa; belum ada pemimpin yang memberikan contoh dan memberikan semangat dalam kegiatan penemuan penderita TB BTA positif” (Str, Kartasura 28 Agustus 2013).

Tokoh masyarakat berperan dalam mengelola kegiatan dan bantuan yang akan diberikan, seperti sarana transportasi yang akan dipakai untuk menjenguk orang sakit. Seperti disampaikan anggota LPMD berikut:

“….kegiatan menjenguk orang sakit ke rumah sakit merupakan

(15)

kebiasaan warga yang sudah rutin dilakukan; kegiatan ini dibantu oleh tokoh masyarakat, misalnya meminjamkan mobil; jika membutuhkan bantuan dana, maka tokoh masyarakat memimpin pengumpulan dana sumbangan warga masyarakat untuk membantu biaya pengobatan” (Gnd, Bulu, 27 Agustus 2013).

PEMBAHASAN

A. Peran modal sosial kader kesehatan dalam CDR

Menurut Murti (2010) upaya mencapai penemuan TB paru BTA positif memerlukan kerjasama lintas sektoral dan pendekatan multidisiplin sehingga mampu mengubah determinan kesehatan penderita TB. Kawachi dan Berkman (2001) menegaskan bahwa modal sosial dapat mempengaruhi kesehatan seperti halnya determinan sosial dan lingkungan serta mendorong orang untuk mempromosikan tindakan kolektif. Penelitian Hawe et al., (2000 cit. Sulaeman 2013) membuktikan bahwa modal sosial berhubungan dengan kesehatan antara lain adanya pertukaran informasi antara warga masyarakat, yaitu tetangga saling memberikan saran atau informasi berharga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Penelitian Datiko et al., (2009) di Ethiopia Selatan menyimpulkan bahwa kader kesehatan yang diberi pelatihan selama satu tahun tentang gejala TB, cara penularan TB, kriteria suspek TB, pengobatan, risiko gagal atau putus pengobatan, mendapatkan temuan CDR lebih tinggi daripada kader

kesehatan yang tidak diberi pelatihan. Penelitian Medina et al.,

(2011) menemukan tingginya kasus penyakit infeksi termasuk tuberkulosis berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan sebagai kekuatan dari dimensi kognitif modal sosial. Stigmatisasi, diskriminasi dan rendahnya tingkat kepercayaan antara masyarakat merupakan akibat dari ketakutan terinfeksi dari komunitas. Penelitian Zolowere et al., (2007) di Malawi Afrika Selatan menunjukkan kesediaan penderita TB mengungkapkan keadaan penyakitnya kepada anggota keluarga, teman, dan sahabat didasarkan atas kepercayaan, kasih sayang, keinginan untuk sembuh, dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Modal sosial merupakan sumber dukungan moral dan material yang sangat berharga. Tanpa dukungan kepercayaan, rasa bebas dari stigmatisasi, dan diskriminasi penderita akan mengalami hambatan motivasi untuk mengungkapkan keadaan penyakitnya. Penelitian Smith (2004) menyimpulkan, implikasi terbesar TB adalah marginalisasi penderita dengan tingkat modal sosial yang rendah ke dalam kemiskinan karena kehilangan pekerjaan dan diskriminasi sosial. Penelitian Meulemans et al., (2005) di Afrika Selatan menyimpulkan bahwa meskipun stigmatisasi masyarakat dirasakan berlebihan terhadap penyakit yang diderita tetapi dengan modal sosial yang kuat berupa akses yang luas terhadap lingkungannya (tidak merasa dikucilkan dan terisolasi)

(16)

penderita dapat secara persisten, rasional, dan efektif menyikapi keadaan sakitnya. Penelitian Holtgrave et al., (2004) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel modal sosial, kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan dengan angka kejadian TB, Modal sosial merupakan prediktor yang sangat kuat (highly predictor level) terhadap angka kejadian TB.

Kader kesehatan merupakan sumber tenaga yang murah dan representatif, bekerja paruh waktu dan bukan pegawai kesehatan profesional (Ebi 2008). Kader kesehatan menyediakan waktu, pengetahuan, dan perhatian sesuai tugasnya. Tugas kerja yang jelas merupakan kunci kesuksesan kader kesehatan (Awofeso et al., 2008). Kemampuan, jumlah, dan penyebaran kader kesehatan sangat menentukan kualitas, efisiensi, dan keberhasilan program TB serta sangat potensial meningkatkan CDR (Baral et al., 2007). Kader kesehatan mendapat dukungan yang tinggi jika mereka berasal dari lingkungannya. Jenis kelamin merupakan faktor penting. Kader kesehatan wanita lebih rajin dan lebih dapat dimotivasi dibanding laki-laki.

Kader kesehatan yang berusia tua lebih dapat meningkatkan jaringan sosial, memiliki hubungan yang lebih luas, lebih berwibawa, dan dapat mempengaruhi (U.S. Department of Health and Human Services 2005). Motivasi kerja kader bersumber dari masyarakat, supervisi, dan pelatihan (Baum 2003). Kader kesehatan berperan penting mengurangi stigma

penderita TB. Kader kesehatan perempuan membesarkan hati anggota keluarga penderita TB, memberi pengetahuan tentang TB serta memberitahu bagaimana cara mencegah penularan TB. Keluarga penderita TB dimotivasi untuk menjaga kesehatan lingkungan, dan diberi pinjaman keuangan untuk meningkatkan status keuangan keluarga penderita TB. Dukungan masyarakat sangat penting untuk menemukan kasus baru, mengurangi stigma penderita TB dan mendorong penderita untuk berobat. Peran kader kesehatan pada program pengendalian TB adalah memberi motivasi dan dukungan kepada penderita TB.

Kader kesehatan seharusnya diterima, dipercaya, dan dihargai masyarakat untuk mencapai tujuan bersama (Awofeso 2008). Program pengendalian TB di Ethiopia memperkenalkan penemuan kasus baru dengan mengikutsertakan kader kesehatan berbasis komunitas. Pemerintah Ethiopia menyadari bahwa salah satu cara meningkatkan CDR adalah dengan mengidentifikasi, menggali potensi, dan bekerja sama dengan masyarakat. Kader kesehatan diberi pelatihan, koordinasi, dan wawancara sebelum memulai intervensi penemuan kasus TB (Awofeso 2008). Kader kesehatan melakukan komunikasi, memberi pengetahuan, kesadaran, dan mengubah persepsi bahwa TB adalah penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan (Lum et al., 2005). Penelitian Agboatwalla et al., (2004) menunjukkan bahwa kader kesehatan lebih berhasil melakukan

(17)

pendekatan kepada masyarakat dibandingkan tenaga kesehatan. B. Peran kepemimpinan tokoh

masyarakat dalam CDR

Terungkap melalui studi kasus, bahwa peran kepemimpinan tokoh masyarakat dalam CDR adalah memberikan motivasi, tempat bertanya dan konsultasi, mengadakan pertemuan secara rutin, serta mengelola kegiatan dan menggalang donasi. Komponen keempat dari tujuh strategi utama pengendalian TB dalam Strategi Rencana Kerja Kementerian Kesehatan RI adalah melibatkan penderita TB dan masyarakat. Dalam penanggulangan TB perlu mengembangkan strategi advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial (AKMS) yang saling berkaitan. Mobilisasi sosial berarti melibatkan semua unsur masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat untuk melakukan kegiatan secara kolektif dengan mengumpulkan sumber daya dan membangun solidaritas untuk mengatasi masalah bersama (Kementerian Kesehatan RI 2011).

Penelitian Agboatwalla (2002) di Pakistan menyimpulkan, jika pemantauan program ditingkatkan dan pelaksanaan DOTS lebih berbasis penderita dan masyarakat, target CDR yang ditetapkan dapat dicapai. Masyarakat diberi pengetahuan bahwa TB adalah penyakit yang dapat disembuhkan untuk menghapus stigma yang melekat pada penyakit dan meningkatkan deteksi kasus. Penelitian Adrian (2010) menyimpulkan bahwa ke-pemimpinan tokoh masyarakat berperan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam program

pembangunan. Sinergi yang jelas di antara mereka dapat berperan saling melengkapi. Bukti dampak dari kepemimpinan tokoh masyarakat sejak tahun 2000 menunjukkan adanya keikutsertaan masyarakat ke dalam ruang tata kelola masyarakat. Sejak tahun 2006 telah menekankan kebutuhan untuk menggerakkan ke-pemimpinan masyarakat yang kuat.

Selanjutnya Lassey et al.,(1976

cit. Sulaeman, 2012) menegaskan bahwa, untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan komunitas perlu difokuskan pada hal-hal berikut; (a) pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, (b) melakukan perencanaan perubahan sosial dan memperluas partisipasi publik, (c) proses perubahan yang direncanakan harus dimengerti dan bisa dilaksanakan secara luas oleh masyarakat, serta (d) potensi kemampuan kepemimpinan diperluas pada populasi melalui kecakapan pengetahuan, pelatihan keterampilan, dan pengalaman kepemimpinan. Menurut penelitian Ferguson et al., (2011) konstruksi-onisme sosial memberikan kerangka teoritis untuk memahami bagaimana masyarakat me-mandang peluang kepemimpinan dalam lembaga masyarakat serta bagaimana proses lembaga men-dorong peningkatan keikutsertaan.

Empat tema utama yang perlu diperhatikan, yaitu suara masyarakat dan kepemilikan, keamanan emosional, kekuasaan, dan dukungan timbal balik. Untuk keberhasilan program masyarakat

(18)

perlu ditunjang dengan pemberdayaan kepemimpinan.

Petter et al., (2002 cit. Pitts, 2005) memformulasikan secara komprehensif tujuh dimensi pemberdayaan kepemimpinan, yaitu: kekuasaan, pengambilan keputusan, informasi, otonomi, inisiatif dan kreativitas, pengetahuan dan keterampilan, serta pertanggung jawaban. Penelitian Ashwell et al., (2009)

menegaskan bahwa kemandirian berkelanjutan di bidang kesehatan dapat dicapai melalui kepemimpinan tokoh masyarakat dan mempertahankan aktivitas, menguatkan intervensi pogram dan meningkatkan interaksi antara masyarakat dan sistem kesehatan, serta meningkatkan penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat.

Penelitian Kironde (2002) di Asia Selatan menyimpulkan bahwa tokoh masyarakat berperan dalam program pengendalian TB. Dukungan tokoh masyarakat sangat penting dalam penemuan penderita TB, karena stigma tentang penyakit TB membuat orang cenderung menyembunyikan penyakit mereka dan tidak melakukan pengobatan. Penderita TB yang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat lebih mungkin untuk menyelesaikan pengobatan. Sumardjo (2003cit. Sulaeman, 2012) melakukan penelitian di Jawa Barat dan Jawa Tengah menemukan fakta bahwa kepemimpinan lokal yang efektif setidaknya apabila memiliki empat prasyarat yaitu terpercaya, kompeten, komunikatif, dan memiliki komitmen kerjasama yang tinggi. Adapun ciri kepemimpinan

yang efektif adalah; (a) memiliki kejujuran dan berhasil meraih kepercayaan masyarakat, (b) memiliki keteladanan yang nyata, (c) Menerapkan gaya ke-pemimpinan sesuai situasi masyarakat, (d) memiliki visi tentang kondisi lingkungan sosialnya yang sangat diyakini dan didukung dengan karakter nyata yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan (e) memiliki kemampuan ber-komunikasi secara efektif dengan masyarakat dan lingkungan sosialnya.

Penelitian Widagdo (2007) menyimpulkan, desa dengan kepala desa yang memberikan motivasi lebih baik kinerja dan kelestarian kegiatan dibandingkan dengan desa yang kepala desanya tidak memberikan motivasi. Motivasi dapat berupa; (a) pemberian tugas yang selalu dimonitor dan disupervisi, (b) memberitahukan mana yang salah dan mana yang benar, (c) selalu mempertimbangkan kemampuan kader sebelum member tugas, (d) memberi imbalan dalam bentuk apapun, dan (e) memperhatikan kesejahteraan kader. Penelitian Pranata (2014) menyimpulkan bahwa keberhasilan program kesehatan ditentukan oleh; (a) pemimpin mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah kesehatan setempat, (b) tokoh agama dan masyarakat setempat mau terlibat secara langsung dalam kegiatan kesehatan, (c) masyarakat tidak segan berkontribusi dalam hal biaya dan tenaga, dan (d) melibatkan organisasi yang potensial seperti PKK, BPD, LSM,

(19)

karang taruna, lembaga keagamaan, dan lembaga adat.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut; (1) Besaran pengaruh langsung modal sosial kader kesehatan terhadap CDR adalah 8,64%, Besaran pengaruh langsung kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR adalah 33%, dan Besaran pengaruh modal sosial kader kesehatan dan kepemimpinan tokoh masyarakat secara simultan terhadap CDR adalah 27,7%, (2) Peran modal sosial kader kesehatan yang berhubungan dengan CDR terdiri dari dimensi kognitif, relasional dan struktural.

Dimensi kognitif meliputi kepedulian, saling percaya dan rasa memiliki antar anggota keluarga, sesama warga serta kader dan petugas kesehatan. Dimensi relasional meliputi kerjasama dan komunikasi yang dilandasi nilai-nilai bersama. Dimensi struktural meliputi jaringan sosial, perkumpulan dan persatuan masyarakat, (3) Peran kepemimpinan tokoh masyarakat dalam CDR adalah memberikan motivasi, tempat bertanya dan konsultasi, mengadakan pertemuan secara rutin, serta mengelola kegiatan dan dan menggalang donasi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan; (1) Perlu meningkatkan peran modal sosial kader kesehatan dimensi kognitif yaitu kepedulian, saling percaya dan rasa memiliki antar anggota keluarga, sesama warga serta kader dan petugas kesehatan, dalam penemuan TB paru BTA positif, (2)

Perlu meningkatkan peran modal sosial kader kesehatan dimensi relasional yaitu kerjasama dan komunikasi yang dilandasi nilai-nilai bersama, dalam penemuan TB paru BTA positif, (4) Perlu meningkatkan peran modal sosial kader kesehatan dimensi struktural yaitu jaringan sosial, perkumpulan dan persatuan masyarakat, dalam penemuan TB paru BTA positif, (5) Perlu meningkatkan peran ke-pemimpinan tokoh masyarakat dalam CDR yaitu memberikan motivasi, tempat bertanya dan konsultasi, mengadakan pertemuan, mengelola kegiatan dan menggalang donasi, serta memberi contoh dalam penemuan TB paru BTA positif.

Ucapan terima kasih

Kami menghaturkan terima kasih kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret yang telah mendanai penelitian ini dalam skim Hibah Unggulan Madya, serta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah dan dr. H. Guntur Subiyantoro, M.Si, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah yang telah memberikan izin dan fasilitasinya sehingga penelitisn ini dapat terlaksana.

KEPUSTAKAAN

Adrian M. 2010. The community leadershp and place-shaping roles of english local government synergy or tension? Public Policy and Administration 2010 25: 175

Agboatwalla M, Kazi GN, Shah SK, Noor, Domki A, Saeed S, et al., 2004. Community involvement in enhancing case detection and treatment success rates of tuberculosis patients under

(20)

DOTS strategy in pakistan. National Program Manager TB Control Program Government of Pakistan.

Ainy A, Makky M, Fajar NA. Alert village: an awareness and health promotion programme on healthy behaviors. BMC Public Health. 2012; 12: p. 1-2. Ashwell HES dan Barclay L 2009. A

retrospective analysis of a community-based health program in Papua New Guinea. Health Promotion International, Vol. 24 No. 2. Published by Oxford University Press. Downloaded from hpp.sagepub.com at University of Wollongong on November 24, 2011

Awofeso N, Schelokova I, Dalhatu A 2008. Training of front-line health workers for tuberculosis control: Lessons from Nigeria and Kyrgyzstan. Human Resources for Health. 6 (20): p. 1478-91.

Baral SC, Karki DK, Newell JN. Causes of stigma and discrimination associated with tuberculosis in Nepal: a qualitative study. BMC Public Health. 2007;7 (211):1-10.

Baum FE, Ziersch AM. Social capital. J Epidemiol Community Health. 2003. 57: p. 320-3.

Blakely T, Ivory V. Commentary: Bonding, bridging, and linking-but still not much going on. International Journal of Epidemiology. 2006;35:614–5.

Bolin K, Lindgren B, Lindstrom M, Nystedt P. Investments in social capital-implications of social interactions for the production of health. Social Science and Medicine. 2003;56:2379-90.

Bourdieu P. The forms of capital. In: J. Richardson, Editor. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (New York, Greenwood), 1986; 241-58.

Coleman JS. Social capital in the creation of human capital. The American Journal of Sociology. Supplement: Organizations and institutions: Sociological and economic approaches to the analysis of social structure. 1988;94:S95-S120.

Conrad D. Defining social capital. Electronic Journal of Sociology 2007.

[cited 2011Nov15].

Availablefrom:http://www.sociology. org/content/2007/_contrad_social_ca pital.pdf.

Datiko D, Lindtjørn B. Health extension workers improve tuberculosis case detection and treatment success in Southern Ethiopia: A Community randomized trial. PLos one Community TB Care in Ethiopia. 2009; 4: p. 5443-50.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. 2013. Profil kesehatan kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah. Sukoharjo

Dye C, Lönnroth K, Jaramillo E, Williams BG, Raviglione M. Trends in tuberculosis incidence and their determinants in 134 countries. Bull World Health Organ. 2009; 87: 683–91. Ebi KL, Semenza J. Community-based

adaptation to the health impacts of climate change. Am J Prev Med. 2008. 35(5): p. 501-7.

U.S. Department of Health and Human Services. Substance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Substance Abuse Treatment. Empowering America Grassroots. 2005. Successful strategies for recruiting, training, and utilizing volunteers. Washington DC

Ferguson KM, Kim MA, McCoy S. Enhancing empowerment and leadership among homeless youth in agency and community settings: A grounded theory approach. Child Adolesc Social Worker Journal (2011) 28:1–22. Published online: 30 September 2010. Springer Science+Business Media, LLC 2010. Downloaded from hpp.sagepub.com at University of Wollongong on November 24, 2011

Fujiwara T, Kawachi I. Social capital and health. A study of adult twins in the U.S. Am J Prev Med. 2008; 35 (2):139 – 44.

(21)

Harpham T, Grant E, Thomas E. Measuring social capital within health surveys: key issues. Health Policy and Planning. 2001;17( 1):106-11.

Holtgrave DR, Crosby RA. Social determinants of tuberculosis case rates in the United States. Am J Prev Med. 2004; 26 (2): 159–62.

Kawachi I, Kennedy BP, Lochner K, Prothrow-Stith D. Social capital, income inequality, and mortality. Am J Public health. 1997; 87:1491-98.

Kawachi I, Berkman LF. Socialties and mental health. Journal of Urban Health. 2001;78 (3): 458-67.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta.

Kironde S, Bajunirwe F. 2002. Lay workers in directly observed treatment (DOT) programmes for tuberculosis in high burden settings: Should they be paid? A review of behavioural perspectives. African Health Sciences. Vol 2(2): p. 73-8.

Krianto T. 2005. Pemberdayaan masyarakat dalam promosi kesehatan. Hal 254-280. dalam Notoatmodjo S. Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Rineka Cipta. Lum T, Lightfoot E. The effects of

volunteering on the physical and mental health of older people. Research on Aging. 2005; 27; p. 31-55. Lynch J, Due P, Muntaner C, Smith GD.

Social capital-Is it a good investment strategy for public health? J Epidemiol Community Health. 2000; 54:404-8. Macinko J, Startfiiel B. The utility of social

capital in research on health determinants. The Johns Hopkins Medical Institutions. 2001; 79 (3): p. 387-427.

Medina DG, Le QV. Infectious diseases and interpersonal trust: international evidence. 2011; 3 (4): 206-10.

Meulemans H, Ouytsel JV, Rigouts L, Mortelmans D, Heunis C, Matebesi Z,

van Rensburg D. Social capital and community TB care in the Free State, South Africa. Acta Academica Supplementum. 2005 (1):128-53.

Murti B. 2010. Determinan sosio-ekonomi, modal sosial, dan implikasinya bagi kesehatan masyarakat. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Nahapiet J, Ghoshal S. Social capital, intellectual capital, and the organizational advantage. The academy of management review. 1998; 23 (2): 242-66.

Ngadaya ES, Mfinanga GS, Wandwalo ER, Morkve O. Detection of pulmonary tuberculosis among patients with cough attending outpatient departments in Dar Es Salaam, Tanzania: does duration of cough matter?. BMC Health Services Research. 2009; 9 (112):1-5.

Oksanen T. 2009. Workplace social capital and employee health.. [cited 2011

Des18]. http://

www.doria.fi/bitstream/handle/1002 4/47617/Annales D876 Oksanen.pdf? sequence=1

Pitts DW. Leadership, empowerment, and public organizations. Review of Public Personnel Administration 2005 25: 5. Downloaded from rop.sagepub.com at University of Wollongong on November 28, 2011

Portes A. 1998. Social Capital: Its origins and applications in modern sociology. Annual review of sociology. Vol 24: p. 1-24.

Pranata, Setia., Lely Pratiwi, Niniek., Rahanto, Sugeng. 2014. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, gambaran peran kader posyandu dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi di kota Manado dan Palangkaraya. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 14 No 2 April 2011.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

(22)

Kebudayaan. 2007. Kamus umum bahasa indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Putnam R. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of Democracy. 1995; 6 (1):65-78.

Rasanathan K, Kurup AK, Jaramillo E, Lönnroth K. The social determinants of health: key to global tuberculosis control. Int J Tuberc Lung Dis. 2011; Vo1 5 (6): p. 30–36.

Smith I. What is the health, social, and economic burden of tuberculosis?. In: Frieden T, editor. Toman's tuberculosis case detection, treatment, and monitoring: questions and answers. 2nd edition. Geneva: WHO; 2004. p. 233-7.

Sulaeman E.S. 2012. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan teori dan implementasi. Cetakan pertama. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Sulaeman ES. 2012. Model pemberdayaan masyarakat dalam kemampuan mengidentifikasi masalah kesehatan: studi pada program Desa Siaga. Jurnal Kedokteran YARSI 20 (3) : 118 – 127 (2012)

Sulaeman ES. 2013. Model pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Surakarta: UNS PRESS. ISBN 978-979-498-848-0. www.unspress.uns.ac.id Sundquist K, Yang M. Linking social

capital and self-rated health: A multilevel analysis of 11.175 men and women in Sweden. Health & Place. 2007;13 (2):324-34.

Widagdo. 2007. Ciri-ciri kepala desa yang berpengaruh terhadap peran serta

kader kesehatan dalam meningkatkan kinerja Posyandu. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia (The Indonesian Journal oh Health Promotion). Volume 2/No.1/Januari 2007.

World Health Organization. 2006. The Stop TB Strategy, Building on and enhancing DOTS to meet the TB-related Millennium Development Goals. Switzerland: World Health Organization.

World Health Organization. 2007. Community health workers: What do we know about them?. Geneva: World Health Organization.

World Health Organization. 2008. Implementing the WHO stop TB strategy. A handbook for national tuberculosis control programmes. Spain: World Health Organization. World Health Organization. 2010. The

global plan to stop TB 2011-2015. Transforming the fight towards elimination of tuberculosis. Switzerland: World Health Organization.

World Health Organization. Advocacy, communications, and social mobilization for TB control. Report of the Regional Workshop Colombo; 2010 Sept 14-17; India; 2010. p. 1-33.

World Health Organization. 2011. World Health Organization Report 2011 Global Tuberculosis Control. Geneva: World Health Organization press. Zolowere D, Manda K, Panulo B, Muula

AS. Experiences of self-disclosure among tuberculosispatients in rural Southern Malawi. Rural and Remote Health. 2008; 8 (1037):1-9.

Gambar

Tabel 1. Uji korelasi bivariat antara peran modal sosial kader kesehatan pada subvariabel dimensi kognitif, relasional, dan struktural dengan CDR
Tabel 2. Uji korelasi bivariat antara peran subvariabel kepemimpinan tokoh masyarakat terhadap CDR

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses

Dalam buku ini ditekankan bagaimana sebuah dongeng telah memosisikan perempuan sebagai sosok yang lemah dan mem- berinya dunia khayal untuk sepakat bahwa sosok laki-laki

Pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya : sebagian besar mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan berada pada rentang tingkat stress berat,

dilarang agama, seperti orang yang sedang puasa melakukan bersetubuh disiang hari pada bulan Ramadan,.. maka dendanya berpuasa selama dua bulan berturut-turut.Jika tidak

Pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi dengan kapang Lentinus edodes terhadap perubahan bahan kering, protein kasar dan retensi nitrogen kulit buah

Keempat, setelah kelompok-kelompok tadi berinteraksi melalui 4 parameter tadi maka figur Net Benefit Analysis to the Referent Group terhadap imunitas hukum aparat

perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal. (lebih dari

Ro'fah Setyowati, &#34;Spiritual Customer Rights in Perspective of Islamic Banking Consumer Protection Law in Indonesia&#34;, Proceedings of the Seminar on Law