• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELAS DAN POTENSI KONFLIK NELAYAN DI KOTA KUPANG (Studi Kasus Nelayan Di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KELAS DAN POTENSI KONFLIK NELAYAN DI KOTA KUPANG (Studi Kasus Nelayan Di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KELAS DAN POTENSI KONFLIK NELAYAN DI KOTA KUPANG

(Studi Kasus Nelayan Di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang,

Nusa Tenggara Timur)

Class and Potential Conflict of Fishers in Kupang City

(Case Study of Fishers in Kelapa Lima sub-district, Kupang City, East

Nusa Tenggara)

*Petrus Kobesi, Rilus A. Kinseng dan Satyawan Sunito

Dapartemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University

Jl. Kamper, Babakan, Kec. Dramaga, Bogor, Jawa Barat 16680, Indonesia Diterima tanggal: 7 Juli 2019 Diterima setelah perbaikan: 28 Agustus 2019

Disetujui terbit: 9 Desember 2019 ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam melimpah; salah satunya perikanan tangkap. Potensi ini didukung oleh luas perairan mencapai 200.000 km2 dan letak yang sangat strategis. Hal yang sama juga dengan Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang Nusa Tenggara Timur memiliki kekayaan alam laut yang melimpah sehingga masyarakat pesisir pantai memilih melaut sebagai sumber penghidupan ekonomi kelaurga. Dalam proses penangkapan ikan oleh nelayan; seringkali memperlihatkan cara-cara yang bersifat eksploitasi sehingga berpotensi konflik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui formasi kelas, potensi konflik dan pengelolaan konflik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Hasil penelitian menunjukan bahwa perubahan teknologi penangkapan mengakibatkan terbentuknya kelas sosial nelayan. Terdapat 4 kelas nelayan di Kecamatan Kelapa Lima yakni nelayan buruh, nelayan kecil, nelayan menengah dan nelayan besar. Adapun potensi konflik yang mengemuka, yakni konflik yang dipicu oleh hubungan produksi antara pemilik perahu dengan nelayan buruh. Konflik yang dipicu oleh cara produksi dan penggunaan alat penangkapan antara bagan apung dengan bagan tanam. Konflik yang dipicu oleh tumpang tindih wilayah penangkapan antara nelayan purse seine dengan nelayan pukat. Pengelolaan konflik dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki otoritas sebagai mediator seperti pemerintah, tokoh agama dan pemilik perahu.

Kata Kunci: formasi kelas; konflik; perikanan; nelayan; Kupang ABSTRACT

Indonesia is blessed with rich natural resources; one of which is capture fisheries. This potential

is supported by an area of water reaching 200,000 km2 and a very strategic location. The same thing also with Kelapa Lima Subdistrict, Kupang City, East Nusa Tenggara has abundant natural resources of the sea so that coastal communities choose to go to sea as a source of family economic livelihood. In the process of fishing by fishers; often shows ways that are exploitative so that the potential for conflict. The purpose of this study is to determine class formation, potential conflicts and conflict management. The method used in this study is a qualitative method using a critical paradigm. The results showed that changes in fishing technology resulted in the formation of a social class of fishers. There are 4 classes of fishers in Kelapa Lima Sub-district namely labor fishers, small fishers, medium fishers and big fishers classes. The potential for conflicts that arise are, the potential for conflict triggered by the production relations between boat owners and labor fishers. Conflict triggered by the method of production and use of capture equipment between floating and planting charts. Conflict triggered by overlapping fishing areas between purse seine fishers and trawlers. Conflict management is carried out by various parties who have authority as mediators such as the government, religious leaders and boat owners.

Keywords: class formation; conflict; fishery; fishers; Kupang

(2)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara maritim (Maritim state) karena 75% wilayah Indonesia merupakan laut. Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan (archipelagic nation) terbesar di dunia menurut ketetapan United Nations Convention on the Law of the Sea dengan jumlah 17.500 pulau; dan berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6 tahun 2018). Kondisi geografis yang sangat strategis tersebut membuat Indonesia memiliki kekayaan alam laut yang melimpah; salah satunya sumber daya ikan. Potensi ikan di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 1,4 triliun dan produktivitas ikan di Indonesia sebanyak 6,04 juta ton (KKP 2018)

Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya perikanan laut yang melimpah yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini didukung oleh luas perairan yang mencapai 200.000 km2 diluar Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan memiliki 1192 pulau. Potensi perikanan tangkap di Nusa Tenggara Timur terdiri dari potensi lestari (MSY) mencapai 388,7 ton/tahun. Namun dalam pemanfaatannya belum mencapai 50% (BPS 2018). Produksi ikan di Kota Kupang sendiri mencapai 24.524 ton/tahun(DKP Kota Kupang). Kondisi sumber daya seperti ini menjadi daya tarik bagi masyarakat pesisir untuk memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada, hingga tahun 2018 jumlah nelayan di NTT sebanyak 101.522 orang, jumlah nelayan di Kota Kupang 4.275 orang dan jumlah nelayan di Kecamatan Kelapa Lima mencapai 2.604 orang (Data Kecamatan Kelapa Lima, 2018).

Menurut Imron (2003) masyarakat nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut. Kehidupan mereka umumnya sangat identik dengan kemiskinan. Hal yang sama dikemukakan oleh Kusnadi (2000), yang menyatakan bahwa komunitas nelayan merupakan komunitas paling miskin diantara komunitas lain. Nelayan kerap berada pada posisi yang lemah dan termarjinalkan sehingga mereka terjebak dalam lilitan kemiskinan. Selain dikenal sebagai kelompok marjinal; nelayan merupakan kelompok sosial yang terbagi atas beberapa kelas (Kinseng, 2007). Dalam kehidupan masyarakat nelayan, konflik seringkali terjadi sebagai bentuk perlawanan atas rasa ketidakadilan oleh kelompok nelayan lain hingga menyebabkan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material.

Menurut Kinseng (2013) konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai dengan pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka ataupun tidak dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing. Dikatakan konflik terbuka jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan itu terbuka dan jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan tertutup maka disebut konflik laten. Fisher et al. (2001)menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Konflik nelayan sering terjadi karena perebutan sumber daya ikan yang jumlahnya terbatas dan karena karakteristik sumber daya perikanan yang bersifat “open acces” artinya siapapun dapat melakukan penangkapan dan kapanpun. Berdasarkan hasil kajian Royandi, Satria & Saharuddin (2018), konflik antar nelayan juga terjadi karena perbedaan etnis. Selanjutnya ditegaskan olehy Rizky, Anna, Rizal, & Suryana (2018) bahwa konflik sosial nelayan disebabkan karena perbedaan alat tangkap dan daerah penangkapan antar nelayan besar dan nelayan kecil.

Dalam kaitannya dengan proses produksi di lokasi penelitian, kapasitas penangkapan yang digunakan nelayan sangat bervariasi. Perbedaan kelas yang ada sering memperlihatkan hubungan produksi yang dapat merugikan nelayan lain dimana nelayan kecil dirugikan oleh nelayan besar karena menangkap tidak sesuai aturan yang sudah ditetapkan pemerintah; akibatnya sering menabrak pukat nelayan kecil sehingga mendapat protes. Kekecewaan lain yang berpotensi konflik adalah karena nelayan lain menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom ikan. Menurut Wijaya (2009) penyebab terjadinya konflik nelayan karena beroperasinya nelayan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan, perbedaan teknologi tangkapan, belum tegasnya pemerintah dalam menerapkan aturan penangkapan. Dengan demikian, penting untuk melakukan kajian tentang kelas dan potensi konflik nelayan di Kecamatan Kelapa Lima. Tujuan penelitian terdiri atas tiga, yaitu mengkaji (1) proses pembentukan kelas nelayan di Kecamatan Kelapa Lima, (2) potensi konflik nelayan di Kecamatan Kelapa Lima, dan (3) pengelolaan potensi konflik pada masyarakat nelayan di Kecamatan Kelapa Lima.

(3)

Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus– Maret tahun 2018 di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang. Sebagai studi kasus; penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Menurut Guba dan Lincoln (2005) paradigma kritis berupaya melihat pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi. Denzin & Lincoln (2009) studi kasus memiliki kekhasan pada sifatnya yang partikular atau unik yang biasanya tersebar pada hakikat kasusnya, latar belakang historis konteks lain seperti ekonomi, politik. Menurut Creswell (2016) penelitian kualitatif merupakan proses kajian untuk memahami secara khusus permasalahan sosial. Terdapat dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yakni data primer diperoleh dari wawancara mendalam dengan informan dan observasi sedangkan data sekunder diperoleh dari profil kecamatan dan instansi-instansi terkait. Neuman (1999) menyatakan bahwa pemilihan informan secara purposif dapat dilakukan oleh peneliti yang ingin melakukan penelitian secara mendalam atau indepth investigation. Dipertegas oleh Marshal dan Rossman (1989) wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan fenomena yang akan diteliti. Data yang diperoleh didokumentasikan dalam bentuk foto, catatan harian, voice record. Jumlah informan kunci yang diwawancarai secara mendalam, yakni nelayan 20 orang, staf pemerintah 3 orang dan tokoh agama 2 orang. Adapun tahapan-tahapan analisis data kualitatif yang dilakukan yakni tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Perkembangan Nelayan di Kecamatan Kelapa Lima

Periode 1960an-1970an.

Pada tahun 1960-1970an armada penangkapan yang digunakan nelayan masih bersifat tradisional seperti perahu dayung yang terbuat dari kayu. Armada tersebut belum dilengkapi teknologi mesin sehingga untuk menggerakannya membutuhkan tenaga manusia. Alat tangkap yang digunakan pada perahu dayung yaitu pukat tangan, pancing tangan dan panah. Ada 2-3 orang yang dibutuhkan untuk mengoperasikan perahu dayung, yaitu 2 orang menangkap ikan dan satu orang bertugas menggerakkan perahu. Waktu melaut pagi atau sore hari dengan lama melaut sekitar

4-5 jam dan jarak melaut sekitar 2 km dari pantai. Jenis ikan yang ditangkap antara lain ikan tongkol, ikan nipi dan ikan tembang. Selain perahu dayung, nelayan Kecamatan Kelapa Lima menangkap ikan menggunakan perahu layar tradisional yang mengandalkan arah angin. Alat tangkap yang digunakan yaitu pancing tangan, panah ikan dan tombak ikan. Proses produksi dilakukan pada siang dan sore hari dengan jarak sekitar 3-5 km dari pantai. Salah satu tokoh nelayan mengatakan:

“Dulu tahun 1960-an sampai masuk tahun 1970-an pak, kami menangkap ikan itu

masih menggunakan perahu tangkap yang tradisional seperti perahu dayung, perahu

layar. Alat tangkap seperti pukat tangan

kalau untuk perahu dayung itu agak kecil dan besar untuk perahu layar, mancing tangan, panah ikan dan tombak ikan untuk ikan besar” (Paman L)

Selain menangkap menggunakan perahu dayung dan perahu layar, jenis alat tangkap lain yang digunakan nelayan Kelapa Lima pada tahun 1960-an yaitu bagan tanam dan bubu. Pada masa tersebut bagan tanam yang digunakan terbuat dari bambu dengan bangunan berukuran relatif kecil, sekitar panjang 8 meter dan lebar 8 meter. Bagan tanam dilengkapi satu buah bola lampu strongking; alat tangkap yang digunakan untuk bagan tanam ialah pukat waring atau jaring angkat yang ukuran besarnya disesuaikan dengan ukuran besar bagan. Jenis ikan yang ditangkap antara lain ikan pelagis kecil dan ikan tembang. Alat tangkap ini dioperasikan di sekitaran pantai agar mudah dijangkau.

Jenis alat tangkap lain yang digunakan nelayan pada tahun 1960-an yaitu bubu atau nelayan menyebutnya “perangkap”. Bubu ialah alat tangkap tradisional yang dirakit menggunakan bambu (anyaman) berbentuk kurungan seperti ruang tertutup sehingga ikan tidak dapat keluar jika sudah berada di dalamnya. Alat tangkap ini ditempatkan pada suatu titik, selanjutnya menunggu beberapa waktu (sekitar 12 jam) hingga ikan masuk. Untuk memudahkan ikan masuk kedalam perangkap, dilengkapi dua pintu atau mulut bubu yang berbentuk corong sehingga memudahkan ikan untuk masuk dan disertai umpan seperti ampas kelapa atau ikan-ikan kecil untuk menarik perhatian ikan.

Bubu yang digunakan pada pada masa itu ialah bubu dasar yang dapat dioperasikan didasar laut dengan ukuran yang bervariasi. Bubu kecil

(4)

berukuran panjang sekitar 1 m, lebar mencapai 70 cm; bubu besar memiliki panjang sekitar 3 meter dan lebar 2 meter. Namun, pada umumnya masyarakat nelayan Kelapa Lima lebih banyak menggunakan bubu kecil karena memudahkan untuk dibawa dan mudah diangkat karena alat ini dioperasikan secara sendiri ataupun dibantu oleh anggota keluarga sehingga tidak ada pembagian hasil atau upah tangkapan. Jenis ikan yang ditangkap sangat bervariasi seperti udang, ikan tembang, ikan merah dan jenis ikan dasar lainya.

Pada masa 1960an-1970an, relasi kerja nelayan di kecamatan Kelapa Lima bersifat kekeluargaan walaupun sudah terdapat kepemilikan armada atau alat-alat produksi. Struktur sosial nelayan pada saat itu hanya terdiri dari dua bentuk yakni pemilik armada atau pemilik teknologi produksi dan anggota nelayan yang jumlah anggotanya disesuaikan dengan kapasitas armada penangkapan yang digunakan. Dalam proses penangkapan; dilakukan secara bersamaan antara anggota nelayan dan pemilik perahu sehingga pola pembagian hasil dilakukan sama besar.

Periode 1980an-1990an.

Pada tahun 1980an-1990an jumlah nelayan yang memanfaatkan perikanan tangkap di perairan Kelapa Lima, Kota Kupang mulai bertambah dan pasaran ikan mulai meluas. Hal ini memotivasi nelayan untuk terus menangkap sehingga beberapa nelayan memodifikasi armada penangkapan atau teknologi penangkapan yang digunakan untuk menangkap di wilayah yang lebih jauh. perubahan teknologi penangkapan yang dilakukan pertama ialah perubahan armada perahu layar. Nelayan memodifiksi armada tersebut menjadi ukuran lebih besar yakni berkapasitas 15 GT dan sudah dilengkapi mesin dalam yang disebut perahu

jala lompo. Alat tangkap yang digunakan perahu

jala lompo ialah pukat senar(pukat nilon) dengan ukuran yang cukup panjang dan besar. Tenaga kerja yang digunakan sekitar 6-7 orang dengan waktu melaut yang cukup lama sekitar 7 jam perhari. Wilayah melaut jala lompo cukup jauh sekitar 5-6 km dari pantai dan jenis ikan yang ditangkap bervariasi seperti ikan tongkol, ikan kembung, ikan parang-parang, ikan nipi dan ikan tembang. Penggunaan jala lompo sangat memudahkan nelayan dalam melaut dan lebih efektif waktu dan tenaga.

Selain perubahan perahu layar, beberapa pengguna perahu dayung juga melengkapi armada mereka dengan mesin tempel berkekuatan kecil sehingga memudahkan proses penangkapan dan efektif waktu saat menangkap. Perahu dayung yang dilengkapi mesin tempel saat itu disebut perahu bodi. Alat tangkap yang digunakan pukat nilon berukuran sedang, ada juga yang menggunakan mancing tangan. Tenaga kerja yang digunakan masih sama yakni sekitar 2-3 orang, dan waktu yang dibutuhkan untuk melaut cukup lama sekitar 4 jam perhari. Penangkapan juga dapat dilakukan pada wilayah yang cukup jauh dari sebelumnya yakni sekitar 3 km dari pantai. Jenis ikan yang ditangkap ikan nipi, ikan tembang, dan ikan tongkol. Seorang nelayan diwawancarai mengatakan:

“Tahun 1980an, beberapa nelayan dari Bugis mulai memodifikasi perahu tangkap

tradisional mereka seperti perahu layar

menjadi jala lompo dan perahu dayung

yang dilengkapi mesin tempel yang

saat ini disebut body.Alat tangkap yang digunakan juga sudah berukuran besar dari

sebelumnya sehingga mendapatkan hasil

yang banyak dan juga lebih efektif waktu dan tenaga” (Paman J.)

Perubahan armada penangkapan pukat layar menjadi jala lompo dan penggunaan mesin tempel pada perahu dayung pada umumnya karena pengaruh nelayan Bugis dan Nelayan Flores yang migrasi ke Kecamatan Kelapa Lima, dan memperkenalkan teknologi baru. Selain itu juga karena adanya intervensi oleh pemerintah yang memberikan bantuan mesin-mesin kecil yang dapat dikredit oleh beberapa nelayan.

Pada masa ini pola hubungan yang dibangun tidak saja antara pemilik dan anggota nelayan tetapi juga hubungan antara pemilik dan papalele atau pedagang keliling. Penting diketahui bahwa pada tahun 1980-an pasaran ikan di Kota Kupang dan beberapa wilayah sudah lebih berkembang sehingga nelayan membangun hubungan dengan papalele sehingga hasil tangkapan dapat dibeli tetapi hubungan yang tidak bersifat hutang piutang. Beberapa nelayan berkerja sama dengan papalele sebagai mitra. Pola relasi kerja pada periode ini masih bersifat kekeluargaan seperti periode sebelumnya dan pembagian hasil juga dilakukan sama besar.

(5)

Periode 1991-2000

Memasuki tahun 1991 jumlah nelayan Kecamatan Kelapa Lima semakin bertambah, sehingga persaingan semakin kuat dalam memperebutkan sumber daya. Kondisi tersebut mendorong nelayan menangkap ke wilayah yang lebih jauh. Nelayan juga beralih dari armada penangkapan jala lompo ke armada penangkapan lampara (purse seine) yang memiliki ukuran lebih besar (berkapasitas 30 GT) dan menggunakan mesin dalam sehingga sangat efektif dalam menangkap. Alat tangkap yang digunakanbesar berbentuk kantong dilengkapi dengan cincin dan tali yang berada di bawah tali ris yang dapat berfungsi menyatukan bawah jaring saat dioperasikan. Purse seine mempunyai cara penangkapan yang lebih modern yaitu ketika terdapat gerombolan ikan, nelayan dapat melingkarkan jaring dan ikan akan terjebak di dalamnya. Alat tangkap ini sangat efektif dan dapat memproduksi dalam jumlah banyak dengan jarak melaut mencapai 12 mill. Tenaga kerja yang digunakan sekitar 16-20 orang dan waktu melaut sekitar 12-14 jam perhari.

Selain peralihan armada penangkapan jala lompo ke purse seine, tahun1991- 2000 beberapa nelayan Kecamatan Kelapa Lima beralih penggunaan alat tangkap dari bagan tanam menjadi bagan perahu. Untuk memudahkan proses penangkapan; armada ini dilengkapi teknologi pengangkat jaring. Pukat yang digunakan ialah pukat waring yang disesuaikan dengan ukuran bagan (sekitar 30 meter x 29 meter) dan dilengkapi penerangan listrik (generator) karena alat tangkap ini dioperasikan pada malam hari. Tenaga kerja yang digunakan sekitar 14-16 orang dan wilayah operasi armada ini sekitar 4-5 mil. Pada bulan terang nelayan biasanya membawa bagan ke tepian pantai untuk melakukan perbaikan seperti memastikan sambungan kayu atau bambu tetap kuat dan pengecetan kapal dan memeriksa mesin. Meskipun pada masa ini teknologi modern sudah dapat diakses oleh nelayan, namun sebagian nelayan masih menangkap menggunakan alat tangkap tradisional seperti bubu, bagan tanam dan perahu kecil. Perubahan armada penangkapan dipengaruhi oleh dua sumber yakni pertama adanya pengaruh dari nelayan luar dan adanya intervensi dari pemerintah dengan memberikan bantuan armada penangkapan dan bantuan mesin teknologi yang canggih.

Masuknya armada penangkapan purse seine dan bagan perahu yang berukuran besar dengan

berkapasitas perahu 30 GT membuat sistem kerja sangat berbeda dengan proses penangkapan menggunakan armada sebelumnya. Armada penangkapan purse seine dan bagan perahu dengan teknologi yang sudah canggih menerapkan cara produksi dan pola hubungan kerja yang terorganisir dengan baik. Pada armada penangkapan perahu purse seine sudah menggunakan tenaga yang mahir mengoperasikan perahu pada saat melakukan penangkapan. Selain mengoperasikan perahu, juragan juga bertugas membantu merawat dan memperbaiki mesin apabila di terjadi kerusakan, posisi juragan ini biasanya diisi oleh anak, keluarga terdekat dari pemilik kapal atau orang lain yang dipercayai karena kemampuan yang dimiliki.

“Setelah purse seine dan bagan perahu masuk sudah mulai ada perubahan mulai

dari perekrutan tenaga kerja (ABK) dan pola bagi hasil. Untuk perekrutan tidak hanya yang memiliki fisik kuat tetapi

diutamakan yang bisa kemudikan kapal dan bisa operasikan alat tangkap pukat

cincin. Pola bagi hasil tidak lagi seperti dulu yang dibagikan secara merata tetapi 50% bos-50% buruh” (Paman L.).

Perubahan alat tangkap tersebut telah berimplikasi pada perubahan pola bagi hasil yang memperlihatkan cara eksploitasi karena upah yang diterima buruh nelayan tidak sebanding dengan beban kerja. Selain itu juga berimplikasi pada perekrutan tenaga kerja yang menjadi lebih selektif. Penilaian pemilik alat produksi terhadap buruh nelayan tidak semata-mata berdasarkan kekuatan fisik tetapi juga dinilai memiliki keterampilan dan keahlian tertentu, misalnya untuk posisi membantu mengemudi dan penunjuk arah serta penentu lokasi penangkapan diperlukan keterampilan dan keahlian serta pengalaman tersendiri.

Periode 2001-sekarang

Pada periode ini perkembangan alat produksi nelayan semakin cepat. Selain bertambahnya penggunaan armada purse seine; periode ini juga ditandai dengan keberadan kapal berukuran 3 GT yang menggunakan mesin diesel bantuan pemerintah. Pada periode ini juga mulai masuknya armada penang kapan mancing rangke yakni armada penangkapan yang berbobot 24 GT yang digunakan pertama kali pada tahun 2009. Kondisi tersebut mengakibatkan persaingan pemanfaatan sumber daya laut semakin ketat.

(6)

Pengunaan armada penangkapan modern terjadi karena adanya intervensi dari pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) dan aktor-aktor lokal yang mempunyai modal. Pemerintah melihat bahwa kesejahteraan nelayan merupakan tujuan utama yang harus diupayakan oleh karena itu melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) memberikan bantuan kepada nelayan di Kecamatan Kelapa Lima dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan memajukan perekonomian. Sejak tahun 2001- 2016 pemerintah terus memberikan bantuan sarana prasarana perikanan seperti bantuan coolbox, kapal 3 GT, kapal 24 GT, genset, pancing, cincin pemberat, pelampung dan juga lampara. Seorang nelayan mengatakan:

“Dulu pak, kapal armada penangkapan

hanya dimiliki oleh beberapa orang saja

tetapi sekarang sudah banyak memiliki

kapal tersebut. Kapal-kapal tersebut sudah

dengan mudah diakses karena ada nelayan

yang buat sendiri dan juga ada nelayan

yang mendapat bantuan dari pemerintah”

(D.M).

Setelah pemerintah memberikan bantuan pancing rangke, para elit lokal membeli alat tangkap rangke dan ada juga yang membeli armada penongkol berkapasitas 24 GT. Pemerintah terus memberikan bantuan alat tangkap maupun mesin tangkap setiap tahun membuat nelayan beroperasi lebih efektif dan leluasa menentukan wilayah tangkapan yang banyak ikan. Semula armada modern hanya dimiliki oleh beberapa orang saja seperti nelayan Bugis, Bali namun sekarang sudah diakses oleh nelayan-nelayan lain. Nelayan dapat membeli armada pancing dan perahu pukat pada perakit kapal yang ada di Kecamatan Kelapa Lima. Walaupun banyak yang menggunakan armada penangkapan yang modern seperti purse seine, bagan perahu, pancing dan perahu pukat yang dilengkapi mesin dalam namun banyak juga nelayan yang masih menangkap menggunakan alat tangkap bagan tanam.

Seiring dengan perubahan armada penangkapan yang lebih modern,maka pola hubungan produksi juga mengalami perubahanan. Dalam perekrutan tenaga kerja (anak buah kapal tetap) tidak hanya diutamakan kekuatan fisik namun diutamakan yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam mengoperasikan perahu

dan alat tangkap. Dalam penangkapan biasanya ada pembagian tugas dalam mengemudi, pada malam hari ada beberapa buruh yang bertugas mengontrol perahu dan buruh lainya mendapatkan bagian pada hari berikutnya. Seorang juragan mengatakan.

Pak, sekarang memang beda dalam

perekrutan anak buah kapal. Kalau dulu diutamakan fisik yang kuat tetapi sekarang tidak lagi seperti itu. Kita utamakan yang

punya pengalaman atau bisa dibimbing dalam mengoperasikan perahu karena kita

biasanya bagi tugas. Kalau yang orang tua paling diutamakan untuk didapur saja.

(Paman U)

KELAS NELAYAN KECAMATAN KELAPA LIMA Kajian kelas nelayan sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, Attamimi, Kinseng & Agusta (2018) menemukan bahwa nelayan di Kota Ambon dapat dikelompokan menjadi empat kelas yakni buruh nelayan, nelayan kecil, nelayan menengah dan nelayan besar. Hal yang sama juga pada nelayan di Balikpapan dapat dikelompokan menjadi empat kelas dengan modal investasi dan tenaga tenaga kerja yang berbeda-beda yakni buruh nelayan, nelayan kecil, nelayan menengah dan nelayan besar (Kinseng, 2014). Nelayan Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang juga dapat dikelompokan menjadi empat kelas dengan modal investasi dan tenaga kerja yang berbeda-beda. Keempat kelas nelayan yang ada yakni buruh nelayan, nelayan kecil, nelayan menengah dan nelayan besar. Terbentuknya kelas nelayan Kecamatan

Kelapa Lima melalui tahap-tahap yang cukup

panjang, dilihat dari perkembangan teknologi dan kepemilikan teknologi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan laut.

Dalam membahas kelas nelayan, terdapat tiga dimensi yang digunakan untuk menentukan struktur kelas yakni aset pada alat produksi, aset pada organisasi dan aset pendidikan formal atau “kredensial” (Kinseng, 2014). Dalam penelitian kelas nelayan di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, dasar kepemilikan alat produksi (ownership of in the means of production) dijadikan dasar untuk menentukan kelas-kelas nelayan yang ada. Berikut ini diuraikan keempat kelas yang ada di Kecamatan Kelapa Lima.

(7)

Buruh

Struktur nelayan terendah di Kecamatan Kelapa Lima adalah buruh nelayan. Buruh nelayan seringkali disebut anak buah kapal (ABK); seperti uraian sebelumnya bahwa kelas pada nelayan berkaitan erat dengan kepemilikan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Tidak semua alat tangkap yang ada di Kelapa Lima dalam pengoperasiannya membutuhkan buruh seperti bagan tanam dan terdapat beberapa armada dalam proses penangkapan membutuhkan buruh seperti purse seine, bagan perahu, nelayan pancing dan nelayan pukat. Di Kecamatan Kelapa Lima buruh nelayan tidak dibayar dalam bentuk upah bulanan melainkan melalui sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang dilakukan berbeda- beda misalnya pada bagan perahu apabila pemilik (bos) tidak terlibat langsung dalam penangkapan berarti dibagi dua bagian 50% pemilik dan 50% untuk ABK namun sebelumnya dilakukan pemotongan biaya operasional. Apabila pemilik (bos) juga ikut dalam melaut sebagai juragan, pembagian dilakukan sama besar 50% pemilik dan 50% buruh yang mana bos juga mendapat bagian dari buruh sehingga pada pola ini bos mendapat dua bagian.Dengan sistem seperti itu ABK masih menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena nelayan masih memiliki ketergantungan pada pemilik dan bergantung pada hasil penangkapan (Widihastuti & Rosyidah, 2019). Menariknya di Kecamatan Kelapa Lima, buruh nelayan terdiri dari dua kelompok yakni buruh nelayan tidak tetap dan buruh nelayan tetap. Berikut akan diuraikan perbedaan sistem bagi hasil dan pola kerja dari kedua kelompok ini.

Disebut buruh tidak tetap karena kelompok ini mempunyai pekerjaan pokok lain seperti sopir sewa, ojek, teknisi bengkel dan ada juga yang berstatus sebagai mahasiswa/pelajar. Bagi mereka kegiatan melaut dilakukan sewaktu-waktu untuk mencari penghasilan tambahan, ada juga saat berkeinginan mengkonsumsi ikan. Keterlibatan kelompok ini dalam melaut atas ijin juragan saja sehingga tidak terdaftar dalam buku anggota yang dipegang oleh pemilik armada. Buruh nelayan tidak tetap hanya menerima insentif dalam sekali trip dan besaran insentif yang diterima disesuaikan dengan hasil yang diperoleh. Apabila hasil tangkapan banyak insentif yang diterima mencapai Rp100.000-Rp400.000 sekali trip namun apabila tangkapan sedikit insentif yang diterima hanya sekitar Rp30.000- Rp50.000.

Salah seorang buruh tidak tetap yang mempunyai profesi sebagai sopir sewa mengatakan bahwa:

“Saya kapan saja dapat melaut kalau punya waktu luang karena hanya ijin di juragan, jadi kami sebagai buruh tidak

tetap ini tidak terdaftar dalam buku (daftar

anggota) yang dipegang oleh bos. soal

besar atau kecilnya insentif itu tergantung dari hasil tangkapan yang diperoleh, kalau hasil tangkapan banyak insentif yang

diterima juga besar namun apabila hasil

tangkapan sedikit biasanya kita bagi hasil

(ikan) lalu menjualnya kembali ke tengkulak atau dibawa kerumah untuk konsumsi saja” (Even).

Pada umumnya mahasiswa atau pelajar ikut melaut pada saat liburan sekolah dan saat musim barat (bulan Desember - Maret) karena pada bulan itu biasanya nelayan hanya melaut pada sore hari sehingga tidak mengganggu tugas pokok mereka untuk belajar. Satu armada penangkapan biasanya diikuti oleh buruh tidak tetap sekitar 2-4 orang dan mereka dapat berpindah-pindah armada. Pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tidak tetap saat penangkapan yakni menarik pukat dan ada juga yang membantu memasak (koki kapal) untuk makan bersama. Buruh nelayan tidak tetap biasanya berpindah-pindah armada baik purse seine, maupun bagan perahu. Untuk perahu pancing jarang terdapat buruh tidak tetap karena memiliki waktu melaut yang lama.

Buruh nelayan tetapmerupakan orang yang bekerja secara tetap pada satu armada penangkapan. Buruh nelayan tetap terbagi menjadi dua tingkatan yakni juragan dan buruh pekerja. Juragan ialah orang yang dipercayakan penuh oleh pemilik perahu (bos) dalam mengoperasikan armada penangkapan dan buruh pekerja ialah orang bekerja dibawah kendali juragan. Dalam hubungan produksi, pemilik perahu melakukan kontrol kondisi perahu dan hal lain berkaitan dengan penangkapan melalui juragan karena juragan memiliki skill lebih dalam mengoperasikan perahu. Kaitannnya dengan pembagian hasil atau nelayan menyebutnya “tutup buku” dilakukan dalam satu-dua kali sebulan dengan pola pembagian sama besar sesuai penjelasan di atas. Hasil pembagian yang diterima buruh berfluktuatif, apabila tangkapan banyak perolehan buruh bisa mencapai Rp3.000.000 - Rp 4.000.000 tetapi saat tangkapan sedikit mencapai Rp1.000.000 - Rp2.000.000. Saat pembagian hasil

(8)

juragan mendapat insentif tambahan dari pemilik perahu. Seorang nelayan mengatakan:

“Biasanya pembagian hasil itu dilakukan dua kali dalam sebulan untuk tanggalnya tidak

menetap. Pola pembagian hasil dilakukan sama besar 50% pemilik armada dan 50% untuk buruh. Namun, sebelum pembagian

biasanya dikurangi biaya operasional yang kami pakai selama melaut misalnya solar,

makan-minum, kopi. Besaran upah yang diterima tidak stabil (fluktuatif) tergantung

hasil tangkapan kalau banyak upah yang

diterimapun banyak. Kalau total upah buruh sudah pasti juragan yang lebih karena

mendapat insentif tambahan dari bos”

(paman Z).

Buruh nelayan tetap di Kecamatan kelapa Lima umumnya tidak mempunyai sumber nafkah lain atau pola nafkah ganda untuk menambah pendapatan ekonomi. Pada saat iklim tidak mendukung untuk melaut biasanya buruh nelayan hanya bersantai di rumah bersama keluarga atau bersama anggota nelayan lain mengecat perahu, mengecek kondisi mesin perahu sehingga hal ini dapat berpengaruh terhadap ekonomi keluarga nelayan itu sendiri. Berbeda dengan nelayan di daerah lain yang memiliki pola nafkah ganda seperti bertani dan jasa pengangkutan untuk meningkatkan ekonomi (Patriana & Satria, 2013). Menurut Vibriyanti (2019) nelayan di Kendari tidak menggantungkan hidup pada hasil laut saja tetapi berburuh dan berdagang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Nelayan Kecil

Dari segi jumlah tenaga kerja dan modal usaha, nelayan kecil ialah nelayan yang dapat bekerja sendiri atau dibantu buruh dan modal investasi yang dibutuhkan relatif kecil. Kelompok nelayan di Kecamatan Kelapa Lima yang dikategorikan sebagai nelayan kecil yakni bagan tanam, perahu pukat karena memiliki alat tangkap yang relatif kecil. Modal investasi yang digunakan oleh nelayan kecil berkisar antara Rp13.000.000- Rp15.000.000 dengan tenaga kerja 1-3 orang saja karena perahu tangkap yang digunakan berkapasitas 3 GT. Berbeda dengan Penelitian (Kinseng, 2014) pada nelayan di Balikpapan, modal investasi yang digunakan pada nelayan kecil berbeda beda yakni nelayan rengge sekitar Rp10.000.000, dogol sekitar Rp20.000.000, bagan sekitar Rp.25.000.000 dan tenaga kerja umumnya bekerja

sendiri atau dibantu satu hingga tiga orang. Saat penangkapan bagan tanam menggunakan pukat waring dan mengandalkan cahaya lampu (pompa) yang dinyalakan pada malam hari. Nelayan pukat dalam proses produksi menggunakan 3 (tiga) jenis alat tangkap yang berbeda yaitu pukat nilon, pukat senar dan pukat milenium. Penggunaan pukat disesuaikan dengan musim, pada bulan Januari-Maret biasanya nelayan menggunakan pukat nilon, bulan April-Juni menggunakan pukat senar dan bulan Juli- Desember menggunakan pukat milenium namun pukat milenium dapat digunakan oleh sebagian nelayan pada bulan januari-juni.

Waktu melaut juga dapat dipengaruhi oleh musim, pada musim normal nelayan kecil di Kecamatan Kelapa Lima melaut pada sore hari sekitar pukul 16.00 - 07.00 pagi dan musim barat nelayan biasanya melaut pada sore hari sampai malam hari saja. Sesuai Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) Nomor 71 tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penetapan alat tangkap di wilayah pengelolaan perairan nelayan kecil menangkap pada zonasi 1-3 mill. Mesin yang digunakan oleh perahu pukat berkekuatan 15 PK dan jenis ikan yang ditangkap nelayan kecil ialah ikan tembang, ikan tongkol, ikan nipi yang paling sering berada pada zonasi perairan tersebut.

Nelayan Menengah (Sedang)

Secara umum, nelayan menengah di Kecamatan Kelapa Lima terbagi menjadi dua yakni nelayan mancing penongkol dan mancing

rangke. Kedua perahu ini memiliki kapasitas

perahu sekitar 24 GT dengan panjang perahu sekitar 15 meter, lebar sekitar 3,5 meter. Untuk nelayan penongkol di lokasi penelitian hanya 1 (satu) nelayan yang menggunakan kapal ini sedangkan nelayan mancing rangke di lokasi penelitian mencapai 30 kapal. Modal investasi pada kelompok nelayan ini cukup besar berkisar Rp45.000.000 - Rp50.000.000. Nelayan penongkol dan rangke dalam penangkapan selalu berpindah-pindah wilayah sesuai dengan musim. Nelayan biasanya melaut di perairan selatan pada saat musim barat dan di perairan utara pada musim angin timur (perbatasan Timor Leste). Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan kecelakaan yang terjadi karena gelombang arus yang besar. Seorang nelayan mengatakan:

(9)

“Kami nelayan pancing berbeda dengan nelayan lain, kami biasanya menangkap

selalu berpindah-pindah lokasi tergantung cuaca. Kalau saat musim barat kami

biasanya melaut di laut selatan namun

kami juga selalu memantau info cuaca

kalau ada peringatan dari BMKG kami biasanya tidak melaut” (SP).

Dalam proses produksi, kelompok nelayan ini dapat melaut hingga 4-7 hari sehingga sebelum melaut dipersiapkan kebutuhan makanan-minum, bahan bakar yang cukup dan es batu untuk pengawetan ikan. Jenis ikan yang ditangkap bervariasi seperti ikan tuna, ikan cakalang tetapi nelayan lebih fokus menangkap ikan tuna karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Alat tangkap yang digunakan saat mancing terbuat dari senar dengan panjang mencapai 200 meter dengan jarak antara mata kail sekitar 50 cm. Tenaga kerja yang dibutuhkan pada kedua armada ini berkisar antara 6-7 orang.

Nelayan Besar

Nelayan besar pada lokasi penelitian merupakan nelayan yang memiliki teknologi produksi yang besar dan modern, nelayan besar kecamatan Kelapa Lima disebut sebagai nelayan purse seine dan nelayan bagan perahu. Nelayan besar menggunakan tenaga kerja atau buruh berkisar antara 16-20 orang. Modal investasi nelayan besar mencapai Rp400.000.000 dan kapasitas kedua perahu ini sebesar 30 GT. Alat tangkap yang digunakan berbeda, seperti halnya pada purse seine menggunakan pukat cincin dengan panjang pukat mencapai 250 meter, setiap pukat dilengkapi timah baja sebagai pemberat dan pelampung agar bagian atas pukat tetap terapung. Waktu melaut purse seine disesuaikan dengan cuaca, biasanya nelayan melaut pada sore hari sekitar pukul 15.00 – 07.00 pagi pada musim biasa dan nelayan hanya melaut pada siang hari sekitar pukul 13.00 – 21.00 pada musim barat dan musim angin timur karena gelombang yang tinggi dan sangat beresiko. Salah seorang nelayan mengatakan:

“Pada bulan Desember sampai Maret itu angin barat, lebih sering melaut pada

siang sekitar pukul 12 siang - 9 malam saja karena angin yang sangat kencang dan saat angin timur bulan April - Juni

boleh melaut di malam hari tetapi harus selalu pantau info cuaca, berbeda dengan

bagan karena berbentuk rumah dan hanya

ditempat saja” (Paman J).

Berbeda dengan proses produksi purse seine, nelayan bagan perahu menangkap tidak jauh dari pantai dan proses penangkapan tidak dipengaruhi oleh cuaca karena bentuk perahu yang menyerupai bangunan sehingga aman. Bagan perahu menggunakan pukat waring yang diturunkan pada malam hari, bagan dilengkapi dengan penerangan menggunakan genset (generator) dengan bola lampu sekitar 50 yang dipasang pada setiap sudut bangunan bagan untuk menarik perhatian ikan. Bola lampu tersebut dinyalakan sampai pagi dan keesokan paginya pukat waring diangkat kembali. Ikan yang ditangkap antara lain ikan kembung, tongkol dan nipi.

POTENSI KONFLIK

Pada dasarnya, prinsip pengelolaan sumber daya perikanan khususnya perikanan tangkap telah diatur jelas dalam Permen no. 71 tahun 2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan. Namun, dalam proses penangkapan seringkali menyimpang dari aturan-aturan yang ada sehingga menimbulkan protes dari nelayan-nelayan lain. Fisher et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan kepentingan, prioritas dan keinginan merupakan sumber pemicu konflik. Menurut Mahmud, Satria & Kinseng (2016), konfik antar nelayan juga terjadi karena perbedaan kepemilikan sumber daya dan pengelolaan sumber daya. Selanjutnya menurut Yulianty, Kurniasari, Muharto & Priyan (2019) kesenjangan kapasitas dan teknologi penangkapan antara nelayan menimbulkan kecemburuan akibat penurunan hasil tangkapan dan berpotensi konflik. Di wilayah perairan laut Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang, perubahan teknologi penangkapan yang terjadi sejak 1980an sampai saat ini telah menimbulkan berbagai potensi konflik pada kalangan nelayan, sehingga tidak menutup kemungkinan berubah menjadi konflik manifes (terbuka) pada suatu waktu jika dibiarkan.

Potensi Konflik yang Dipicu Pola Hubungan

Produksi

Pemilik Perahu VS Buruh Nelayan

Secara umum potensi konflik hubungan produksi pemilik perahu dan buruh disebabkan oleh dua hal yakni relasi kerja dan upah. Hal

(10)

relasi kerja, terdapat beberapa pemilik armada penangkapan seperti purse seine, bagan perahu, pancing yang ikut melaut dan merangkap sebagai juragan sehingga anak buah kapal merasa bekerja di bawah tekanan dan selalu dimarahi bahkan dimaki apabila melakukan kesalahan-kesalahan kecil saat menangkap, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang nelayan:

“Bos kami juga ikut melaut jadi merangkap sebagai juragan, kami selalu bekerja di bawah tekanan. Selalu dimarahi kalau

salah, lebih parah lagi saat ada ikan dan terlambat mengambil haluan untuk

menurunkan pukat itu kami selalu dimaki.

Saat pembagian hasil bos mendapat dua bagian (sebagai pemilik armada dan

juragan” (Paman A).

Buruh nelayan juga menyesalkan sistem upah yang diterapkan pemilik perahu yang dianggaptidak adil. Mereka merasa dieksploitasi karena besaran upah yang diterima tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan saat melaut. Pola pembagian hasil yang dilakukan yaitu pemilik perahu menerima dua bagian (sebagai pemilik dan juragan) sehingga para buruh sering melakukan protes. Hal tersebut apabila dibiarkan terus-menerus akan menjadi konflik terbuka yang dapat menimbulkan kerugian material bahkan korban jiwa.

Nelayan vs Tengkulak

Potensi konflik hubungan produksi antara nelayan dengan tengkulak disebabkan tengkulak (papalele) membeli ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) Oeba dan pasar ikan Kelapa Lima dengan harga yang selalu berfluktuasi. Para tengkulak seringkali menentukan harga ikan secara sepihak, saat tangkapan nelayan banyak harga yang ditentukan papalele sangat murah yakni Rp300.000-Rp400.000 untuk satu bakul (keranjang basket) ikan tongkol dan untuk ikan kembung apabila tangkapan nelayan banyak papalele membeli dengan harga Rp600.000; hal yang sama untuk harga ikan tuna dan jenis ikan lainnya. Pola hubungan seperti ini akan menimbulkan konflik seperti penelitian Syahdin (2013) yang mengemukakan bahwa pola hubungan tengkulak dan nelayan ialah salah satu penyebab terjadinya konflik karena tengkulak menentukan harga ikan di bawah harga pasaran. Menurut seorang nelayan, harga tersebut dianggap merugikan:

“Harga ikan yang ditentukan papalele ini sangat merugikan kami nelayan, mereka dengan sesuka hati menentukan harga

ikan jadi kami nelayan ini sangat dilema

pak, Padahal biaya kita melaut setiap harikan tetap besar seperti biasanya”

(Paman Jak).

Praktik seperti itu memperlihatkan gejala eksploitasi yang dapat berpotensi konflik karena nelayan merasa dirugikan. Pada umumnya nelayan yang sering dirugikan akibat penentuan harga sepihak ialah nelayan besar seperti purse seine, bagan apung dan nelayan sedang seperti pancing yang sering memperoleh hasil tangkapan banyak.

Potensi Konflik yang Dipicu oleh Cara Produksi

dan Penggunaan Alat Penangkapan

Bagan Apung vs Bagan Tanam

Bagan apung dan bagan tanam merupakan teknologi produksi menyerupai bangunan yang terbuat dari bambu, kayu dan mengandalkan penerangan listrik di malam hari untuk menarik ikan, dengan bola lampu yang cukup banyak mencapai 50 bola lampu.Ukuran bagan apung mencapai panjang 29 meter dan lebar mencapai 28 meter. Bagan menggunakan pukat waring berukuran besar untuk menangkap ikan kembung, nipi dan tongkol. Berbeda dengan bagan tanam, teknologi ini menggunakan bangunan yang terbuat dari bambu dengan kedalaman yang disesuaikan dengan kedalaman air laut yang biasanya berkisar antara 8-9 depa bambu.Dalam proses produksi teknologi ini juga mengandalkan penerangan cahaya (lampu pompa) untuk menarik ikan. Potensi konflik yang terjadi antar kedua armada ini disebabkan karena keberadaan bagan perahu sangat dekat bagan tanam sehingga hasil tangkapan nelayan bagan tanam berkurang.

Nelayan Pembom Ikan

Persoalan yang sering terjadi pada nelayan di Kelapa Lima yakni terdapat beberapa nelayan yang menangkap tidak sesuai aturan yang sudah berlaku. Masih ada nelayan yang menangkap menggunakan bom ikan dan potas ikan yang dapat merusak terumbu karang dan membunuh ekosistem laut lainnya. Hal itu sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya kelautan sehingga sering diprotes oleh nelayan lain. Seorang nelayan mengatakan:

(11)

“Sampai saat ini masih ada beberapa

nelayan yang kerja sama dengan nelayan

luar seperti (tablolong) tangkap dengan

bom ikan. Biasanya mereka bos saat siang karena jarang ada patroli dengan siang atau tangkap di tempat-tempat yang sepi saat itu agar tidak diketahui” (D.A ).

Cara produksi menggunakan bom mendapat kecaman dari nelayan lain karena merusak terumbu karang yang menjadi habitat ikan dan mengancam keberlanjutan sumber daya ikan, sehingga berpotensi konflik karena nelayan lain merasa dirugikan.

Potensi Konlik yang Dipicu oleh Tumpang Tindih Wilayah Penangkapan

Persoalan tumpang tindih wilayah penangkapan sebenarnya sudah diatur dalam PERMEN No 71/PERMEN-KP/ 2016.Dalam Permen tersebut telah ditetapkan tiga jalur penangkapan ikan yaitu jalur I yang terdiri dari IA dan IB, jalur II, dan jalur III. Jalur IA meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah; jalur IB meliputi perairan pantai di atas 2 – 4 mil laut (3 GT); jalur II meliputi perairan di atas 4 – 12 mil laut (24 GT); dan jalur III meliputi perairan ZEEI dan di atas 12 mil laut (30 GT). Atas dasar PERMEN tersebut nelayan harusnya menangkap pada zonasi yang ditentukan. Namun, Dalam proses penangkapan nelayan di Kecamatan kelapa Lima seringkali menyeleweng seperti halnya nelayan besar seperti purse seine yang seharusnya menagkap pada zonasi 12 mil tetapi pada kenyataanya nelayan Purse seine menangkap pada zona 3 mil. Akibatnyanelayan besar sering menabrak pukat nelayan kecil yang ditebar pada perairan sehingga nelayan pukat melakukan protes. Salah seorang nelayan pukat mengatakan bahwa:

“Pak, kami inikan nelayan kecil yang tangkap

tidak jauh seperti nelayan lampara, jadi kami hanya tangkap sekitar 3 mil. Biasanya

pada pagi hari saat nelayan lampara

keluar untuk sandar di TPI sana, kadang

mereka masih tangkap di area luar (wilayah

tangkap nelayan kecil) ini jadi seperti kita berebutan kalau ada ikan. yah, kadang

kami mengalah pak dan kadang pukat kami ditambak kalau rusak ganti harus

ganti” (D.M).

Penangkapan tidak sesuai zonasi ini

berpotensi konflik nelayan kecil merasa dirugikan karena hasil tangkapan nelayan pukat berkurang. Hal lain yang juga terjadi ialah kapal-kapal nelayan besar tersebut dapat menabrak pukat nelayan kecil. Hal ini sudah seringkali terjadi di wilayah perairan Kelapa Lima.

PENGELOLAAN KONFLIK

Annisa, Satria & Kinseng (2009) mengemukakan bahwa dalam mengatasi berbagai konflik pada kalangan nelayan perlu melibatkan pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan, tokoh masyarakat nelayan dan tokoh agama untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik. Di samping itu, Dinas Perikanan dan Kelautan melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada nelayan terkait aturan yang berlaku. Hal yang sama juga di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang dalam mengatasi konflik nelayan seringkali melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang, Pemerintah Kecamatan Kelapa Lima, tokoh agama dan pemilik perahu. Berikut diuraikan peranan dari pihak-pihak di atas dalam upaya mengelola konflik.

Peran Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang dan Pol Air

Pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang dan Pol air merupakan pihak yang paling berwenang dan berperan penting dalam menanggulangi masalah yang berkaitan dengan nelayan. Adapun peran dinas perikanan setempat ialah mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentang jalur penangkapan dan penempatan alat tangkap. Pemerintah juga mengawasi dan menangkap nelayan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti menggunakan bom ikan dan penggoperasian alat tangkap trawl tidak sesuai zonasi yang sering dilakukan oleh nelayan Bali. Pemerintah melakukan pengawasan untuk mencegah nelayan ilegal

fishing yang dapat memicu konflik dengan nelayan

setempat.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah ialah menjadi mediator utama untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dengan memanggil perwakilan dari kedua pihak nelayan dan memfasilitasi kedua kelompok yang berselisih untuk sama-sama mencari solusi atau

(12)

titik terang. Apabila persoalannya besar maka dapat diproses sesuai aturan-aturan yang berlaku. Upaya tersebut sebagai bentuk antisipasi

terjadinya konflik besar berkepanjangan

yang menimbulkan kerugian material seperti pembakaran kapal, pengurasakan alat tangkap maupun korban jiwa.

Peran Tokoh Agama

Dilihat dari proses produksi nelayan saat ini sering memperlihatkan tindakan eksploitasi yang berpotensi konflik sehingga dibutuhkan kehadiran pemuka agama seperti Pendeta, Pastor Paroki dan Ustad untuk meredam potensi konflik yang ada. Upaya yang dilakukan pemuka agama seperti menghimbau kepada seluruh umat untuk tetap menjaga perdamaian, selalu hidup rukun dan menegaskan untuk selalu menyelesaikan bentuk persoalan secara damai. Upaya tersebut dilakukan secara rutin melalui tempat ibadah baik masjid, gereja maupun di rumah nelayan. Langkah lain yang dilakukan seperti himbauan lewat kelompok doa atau persekutuan-persekutuan. Ajaran-ajaran hukum umat Kristiani “hukum cinta kasih” dan ajaran Islam “ hidup damai” terus disampaikan.

“Kita sering berkumpul dengan

pemimpin-pemimpin agama lain seperti pastor,

pendeta. Kita berkomitmen agar

mengajarkan perdamaian, persoalan

apapun di laut maupun darat harus

diselesaikan secara damai, jangan ada konflik. Himbauan-himbauan seperti itu kita selalu sampaikan dan sejauh ini insya Allah tidak ada konflik yang besar seperti di daerah- daerah lain” (Ustad Yayan).

Upaya tersebut dilakukan pemuka agama untuk menjaga kondusif kelompok kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kelapa Lima agar hidup rukun, damai dan tetap menjaga persaudaraan. Sampai saat ini kontrol yang dilakukan oleh pemuka agama kepada masyarakat nelayan berdampak positif, dapat dilihat dari beberapa persoalan antar nelayan tetapi dapat diselesaikan secara damai.

Peran Pemilik Perahu

Pada struktur sosial nelayan Kelapa Lima, pemilik perahu (bos) berada pada strata teratas yang diikuti oleh juragan. Peran pemilik perahu dalam mengatasi konflik ialah sebagai mediator apabila terjadi insiden saat proses penangkapan

seperti terjadi penabrakan perahu, penabrakan pukat hingga rusak. Pemilik perahu dalam menyelesaikan konflik memiliki pengaruh yang sangat besar untuk meredam emosi anak buah kapal agar tidak terjadi konflik yang serius kearah anarkis. Pemilik perahu juga memiliki wewenang terhadap mekanisme menyelesaikan persoalan, apakah diselesaikan secara kekeluargaan (damai) dengan menggantikan kerugian yang dialami atau persoalan tersebut dapat diproses melalui jalur hukum. Seorang pemilik perahu mengatakan:

“Kami sesama pemilik perahu selalu membangun hubungan yang baik, kami sering berkumpul baik bos nelayan kecil

sampai nelayan besar jadi ketika ABK kita yang sedang menangkap terjadi insiden

seperti penabrakan kapal, penabrakan pukat nanti kita sudah diinformasikan oleh

juragan jadi sesama bos bertemu dam mencari jalan keluar” (N.M).

Upaya yang dilakukan pemilik perahu selama ini berdampak positif jika dilihat potensi konflik yang ada cukup besar namun pendekatan-pendekatan yang dilakukan para pemilik perahu dapat meredam konflik. Adapun upaya lain yang dilakukan oleh pemilik perahu yakni memberikan himbaun kepada anak buah kapal untuk mentaati aturan yang sudah dibuat dan selalu menghindari konflik antar nelayan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 1960an alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Kelapa Lima masih bersifat dan relasi kerja nelayan masih bersifat kekeluargaan sehingga belum terbentuk pola kerja yang bersifat eksploitas. Memasuki periode 1980-an, beberapa nelayan sudah memodifikasi alat penangkapan yang digunakan; pola bagi hasil yang dilakukan sama besar. Periode 1991, alat tangkap yang digunakan sudah modern memperlihatkan sistem kerja sangat berbeda. Perubahan alat tangkap pada periode ini berimplikasi pada perubahan pola bagi hasil yang memperlihatkan cara-cara eksploitasi. Pada periode 2001-sekarang, alat tangkap yang digunakan modern, adanya nilai kesenjangan antara sesama nelayan dan pola hubungan kerja yang memperlihatkan eksploitasi. Perubahan alat tangkap yang terjadi disebabkan oleh adanya bantuan alat tangkap dari pemerintah dan migrasinya nelayan ke Kecamatan Kelapa Lima. Perubahan teknologi penangkapan telah menimbulkan berbagai potensi konflik yang cukup

(13)

besar sehingga tidak menutup kemungkinan berubah menjadi konflik manifes pada suatu waktu. Potensi konflik yang ada yakni potensi konflik yang dipicu pola hubungan. Potensi konflik cara produksi dan penggunaan alat penangkapan dan potensi konflik tumpang tindih wilayah penangkapan. Dalam mengatasi berbagai potensi konflik yang ada seringkali melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas yang berperan sebagai mediator seperti peran pemerintah, peran tokoh agama dan peran pemilik armada.

PENUTUP

Proses terbentuknya kelas sosial nelayan di Kecamatan Kelapa Lima dimulai sekitar tahun 1991-an dengan masuknya teknologi penangkapan yang lebih modern dan kompleks seperti purse seine, perahu pancing dan bantuan teknologi mesin dari pemerintah. Seiring dengan perubahan teknologi penangkapan tersebut, pada saat ini struktur kelas sosial nelayan di Kecamatan Kelapa Lima terdiri atas buruh nelayan (buruh tetap dan buruh tidak tetap), nelayan kecil, nelayan menengah, dan nelayan besar. Potensi konflik pada komunitas nelayan di Kecamatan Kelapa Lima cukup besar, potensi konflik ini utamanya bersumber pada masalah hubungan produksi, cara produksi dan penggunaan alat tangkap, tumpang tindih wilayah penangkapan. Pengelolaan potensi konflik di kalangan nelayan Kecamatan Kelapa Lima sejauh ini berjalan cukup efektif hal ini ditandai dengan kenyataan bahwa sejauh ini tidak ada konflik menifes (terbuka) yang terjadi di kalangan nelayan di Kecamatan Kelapa Lima. Pengelolaan konflik ini melibatkan beberapa pihak yang cukup berpengaruh yakni pemerintah (DKP), tokoh agama dan pemilik armada.

Terdapat beberapa opsi rekomendasi kebijakan yang harus diperhatikan yakni pemerintah diharapkan memperhatikan kondisi stratifikasi sosial dalam komunitas nelayan dengan memberikan bantuan modal kepada nelayan kecil karena sejauh ini nelayan kecil tidak mampu mengakses alat tangkap yang modern, dan pemerintah terus melakukan sosialisasi aturan-aturan kepada nelayan agar dapat dipahami sehingga penangkapan ikan selalu berpedoman pada kebijakan yang telah dibuat. Dalam mencegah konflik yang terjadi pemerintah diharapkan mengandeng pihak-pihak yang memiliki otoritas

dalam mengatasi konflik seperti pemuda agama dam

pemilik armada. Langkah tersebut sebagai upaya pengawasan kepada nelayan guna meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik terbuka.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rilus A. Kinseng dan Bapak Satyawan Sunito, yang telah membimbing mulai dari penulisan proposal sampai penulisan jurnal. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kota Kupang, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang, Bapak camat Kelapa Lima dan tokoh masyarakat, tokoh agama serta masyarakat nelayan Kecamatan Kelapa lima yang telah membantu penelitian ini dalam memberikan informasi terkait dengan tujuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Annisa, L., Satria, A., & Kinseng, R.A. (2009). konflik nelayan di Jawa Timur. (Studi kasus perubahan struktur agraria dan diferensiasi kesejahteraan komunitas pekebun di Lebak, Banten. Sodality:

Jurnal Sosiologi Pedesaan. Vol.3 No.1 April 2009: 113-124.

Attamimi, G.R., Kinseng, R.A.,& Agusta,I. (2018). Kelas dan Ketimpangan Struktural

Masyarakat Nelayan Di Kota Ambon. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(3):228 236.

Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. (2018).

Statistik Produksi Ikan. Kupang: BPS 2018. Creswell, J.W. (2016). Research Design, Pedekatan

Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran. Yogjakarta, ID: Pustaka Pelajar.

Data Profil Kecamatan Kelapa Lima. (2018). Mata Pencaharian Masyarakat Kelapa Lima. Kantor Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang.

Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitarive Research. Yogjakarta, (ID): Pustaka Pelajar.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang. (2018).

Produksi Ikan di Kota Kupang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Kupang.

Fisher, S., Jawed L., Steve, W., Dekha I.A., Richard, S., & Williams, S. (2001). Mengelola konflik: keterampilan dan strategi untuk bertindak. Jakarta: The British Council.

Imron, M. (2003). Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan. Masyarakat dan Budaya, (1)5: 63-82. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia Nomor 6/KEPMEN-KP/2018 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Produktivitas Ikan di Indonesia pada tahun 2018.

(14)

Kinseng, R.A. (2007). Konflik-Konflik Sumber daya Alam di Kalangan Nelayan di Indonesia. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1):87-104. Kinseng, R.A. (2013). Identifikasi Potensi, Analisis, dan

Resolusi Konflik. Di dalam Victor PHN, Lucky Adrianto, Nia Januarini [ed]. Coral Governance. Bogor (ID): IPB Press.

Kinseng, R.A. (2014). Konflik Nelayan. Jakarta, (ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Kusnadi. (2000). Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan

Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Mahmud, A., Satria, A., & Kinseng, R.A. (2016).

Teritorial dan Konflik Nelayan di Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan

dan Perikanan. Vol 11 No. 1 Juni 2016: 46-54Marshal, C., & Rossman, B.G. (1989).

Designing qualitatif Research. India: Sage-Pub-lication,Inc.

Neuman, WL. (1999). Sosial Research Methods. Qualitative and Quantitative Approaches Fourth Edition. United State of America

Patriana, R., & Satria A. (2013). Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim. (Studi kasus nelayan

Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan

Kalipucung, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat). Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Vol 8. No.1 Tahun 2013.

Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No 71 tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Rizky, M. F., Anna, Z., Rizal, A., & Suryana, A.A.H. (2018). Socio-Economic and Environment Analysis of Trap Fishery Will Karangsong Village Indramayu of West Java. Jurnal Kebijakan Sosek Kelautan dan Perikanan. Volume 8 No. 2 Desember 2018: 63- 75.

Royandi, E., Satria, A., & Saharuddin. (2018). kelompok kepentingan dan relasi kuasa dalam pengelolaan sumber daya laut palabuhanratu. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 8. No 2 Desember 2018: 163-173.

Satria, A. (2002). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo.

Syahdin. (2013). Perubahan Moda Produksi dan Potensi

Konflik pada Kalangan Nelayan. (Studi kasus

pada kalangan nelayan Bugis Sape, Kabupaten

Bima, Nusa Tenggara Barat).Tesis Program Studi Sosiologi Pedesaan.IPB University.

Vibriyanti, D. (2019). Descriptive Analysis of Socio Economic Factors Influencing to Fishers’ Household Income (Case Study: Kendari City). Jurnal Kebijakan sosial ekonomi kelautan dan perikanan. Volume 9 No. 1 Juni 2019: 69- 78.

Widihastuti, R. & Rosyidah, L. (2019). Profit Sharing System of Fishing Business in The Aru Islands. Jurnal Kebijakan Sosial ekonomi kelautan dan perikanan. Volume 8 No. 1 Juni 2018: 63- 73.

Wijaya, A. (2009). Manajemen Konflik Sosial Dalam Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Pertentangan dan Pertikaian Nelayan Tradisional di Kelurahan Pasar Bengkulu dengan Nelayan Modern di Kelurahan Kandang Kota Bengkulu). Program Magister IAP,PPSUB. Wacana Vol.12. ISSN: 14411-0199.

Yulianty, C., Kurniasary, N., Muhartono, R.,& Priyan, N.F. (2019). Implikasi Kebijakan Relokasi Kapal Izin Pusat Terhadap Nelayan Lokal Di Kepulauan Aru.

Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa, variabel partisipasi masyarakat, memoderasi peran pemerintah, peran swasta dan modal sosial terhadap pembangunan pariwisata

Diharapkan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan kondisi sosial masyarakat pemulung utamanya kondisi ekonomi mereka, dan juga anak-anak pemulung untuk dapat

Kisaran nilai rata-rata TSS di perairan pantai kecamatan Kota Lama Kota Kupang adalah 263 Mg/l, hasil analisa menunjukan bahwa zat padatan tersuspensi melampaui

Beberapa lokasi di wilayah Kelurahan Oesapa terdapat ekosistem mangrove yang masih relatif stabil, tetapi semakin tipis jika dibandingkan dengan keadaan 5-10 tahun silam,

Jenis ikan hasil tangkapan yang didaratkan di TPI Oeba Kota Kupang merupakan jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan pada perairan Kota Kupang, dimana jenis-jenis ikan tersebut

Permasalahan yang dihadapi oleh nelayan di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang adalah hidup di daerah yang kumuh, tingkat pendidikan yang belum memadai, pendapatan yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan hutan mangrove yang berada pada kawasan wisata dan berdekatan dengan pemukiman Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Oesapa Barat

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan oleh peneliti tentang Strategi Bertahan Hidup Nelayan Pada Saat Musim Penghujan di Kelurahan Oesapa Kecamatan