Volume 2, Nomor 2, Juni 2019 262 ejournal.ymbz.or.id
CHANGE
LEADERSHIP
COMPETENCY
PADA
BADAN
USAHA
MILIK
NEGARA
Amanda Setiorini1), David Panjaitan2)
1
Universitas Krisnadwipayana, Jakarta email: [email protected]
2
Akademi Akuntansi Permata Harapan, Batam email: [email protected]
ABSTRAK
Definisi change leadership yang disyaratkan kepada pemimpin BUMN tampak tidak sesuai dengan kondisi perubahan yang dihadapi BUMN itu sendiri. Peraturan yang dibuat tanpa benar-benar memahami esensi perubahan mensyaratkan kompetensi yang keliru, yang berdampak pada kegagalan BUMN bersaing di era disrupsi ini.
Kata kunci: perubahan, kepemimpinan, kompetensi, BUMN ABSTRACT
The definition of change leadership required by BUMN leaders does not seem to be in accordance with the conditions of change faced by the BUMN itself. Regulations made without truly understanding the essence of change require wrong competence, which results in the failure of competing BUMN’s in this disruption era
Keywords: change, change leadership, competency, BUMN
PENDAHULUAN
Dalam melakukan pemilihan Direktur BUMN, Kementerian BUMN melakukan fit
and proper test untuk menguji dua belas kompetensi utama, meliputi aligning performance for success, visionary leadership, customer focus, change leadership, strategic orientation, innovation and creativity, driving execution, empowering, business acumen, building business partnership, enthusiastic, dan integrity (Said, 2015). Dari hasil riset yang dilakukan
PPM Manajemen terhadap hasil uji kompetensi tahun 2012-2015, ditemukan 4 kompetensi dengan senjang terbesar, yaitu aligning performance for success (senjang 74%), visionary
leadership (senjang 72%), customer focus (senjang 68%), dan change leadership (senjang
68%).
Kesenjangan pada aspek leadership tampaknya perlu mendapat perhatian bersama, karena pada posisi top management BUMN, seharusnya aspek kepemimpinan memegang peranan yang signifikan. Tetapi justru di sinilah terdapat kesenjangan yang cukup besar. Baik
visionary leadership maupun change leadership memiliki kesenjangan lebih dari 50%.
Tulisan ini ingin menggali lebih jauh mengenai change leadership, yang berdasarkan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-03/MBU/02/2015 tahun 2015 didefinisikan sebagai “Kemampuan untuk secara terus menerus mencari (atau mendorong orang lain mencari) kesempatan-kesempatan untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang berbeda dan inovatif untuk mengatasi masalah-masalah dan kesempatan-kesempatan organisasi; memfasilitasi implementasi atau membantu penggunaan dari pengetahuan (dari organisasi yang lebih besar atau di luar organisasi) untuk mengidentifikasi masalah-masalah potensial atau peluang—peluang peningkatan; memfasilitasi kebutuhan diri sendiri dan orang lain untuk mendapatkan cara yang lebih baik dalam masalah pekerjaan”.
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 263 ejournal.ymbz.or.id
Change leadership sebagai sebuah kompetensi untuk para pemimpin BUMN sangat
dibutuhkan untuk kondisi dewasa ini yang dikenal sebagai era disrupsi. Perubahan yang terjadi dengan sangat cepat perlu disikapi dengan cara yang berbeda, tidak dapat lagi disamakan dengan periode sebelumnya dimana perubahan masih dapat diprediksi. Namun nilai senjang yang ditampilkan dalam data di atas menunjukkan bahwa masih ada ketidaksesuaian antara kondisi yang diharapkan dengan realita yang terjadi.
Besarnya peran seorang pemimpin dalam melakukan perubahan telah dinyatakan dalam berbagai forum ilmiah. Namun tidak sedikit orang maupun organisasi yang gagal melakukan perubahan, meski sudah memiliki change leader.
Change leaders bertanggung jawab, baik untuk mendesain proses perubahan
maupun untuk mengawasi perkembangan proses tersebut (Anderson & Anderson, 2001, p. 150). Pernyataan tersebut memiliki implikasi bahwa keberadaan seorang change leader juga harus sesuai dengan perubahan yang terjadi.
Selanjutnya Anderson juga menggolongkan perubahan ke dalam 3 jenis, yaitu
developmental change, transitional change, dan transformational change (Anderson &
Anderson, 2001, p. 31):
1. Developmental change adalah jenis perubahan yang merupakan pengembangan dari keterampilan, metode, standar kinerja, atau kondisi yang sudah ada, yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini maupun di masa depan.
2. Transitional change adalah respons perubahan yang lebih signifikan dari lingkungan sekitar. Umumnya dimulai dengan kesadaran akan adanya masalah atau adanya kesempatan yang belum dimanfaatkan, serta bahwa kondisi yang ada perlu diperbaiki untuk melayani tuntutan masa depan.
3. Transformational change adalah perubahan radikal dari satu kondisi ke kondisi lain, yang membutuhkan perubahan budaya, perilaku, dan pola pikir agar perubahan tersebut dapat berhasil dan bertahan.
Anderson juga menyebutkan tiga jenis change leadership dalam bentuk kontinum (Anderson & Anderson, 2001, p. 151), yaitu:
1. Controlling: cenderung menggunakan alat manajemen proyek untuk merancang proses perubahan sesuai dengan metodologi yang telah ditentukan, kemudian mengimplementasikannya dengan sedikit atau tanpa variasi.
2. Facilitative: menggunakan model proses perubahan komprehensif untuk merancang proses perubahan sejak awal, kemudian secara sadar mengubah implementasi desain tersebut sesuai desain yang muncul selama proses terjadi.
3. Self-organizing: tidak menggunakan metodologi terstruktur, tetapi memungkinkan proses transformasi untuk mengatur dirinya sendiri.
Lewin (1951) mengungkapkan bahwa perubahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) tahapan, yang meliputi:
1) Tahap Unfreezing (pencairan)
Proses perubahan ini harus memiliki motivasi yang kuat untuk berubah dari keadaan semula dengan meerubah terhadap keseimbangan yang ada. Masalah biasanya muncul akibat adanya ketidakseimbangan dalam sistem. Tugas perawat pada tahap ini adalah mengidentifikasi masalah dan memilih jalan keluar yang terbaik.
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 264 ejournal.ymbz.or.id
2) Tahap Moving(bergerak)
Proses perubahan tahap ini dapat terjadi apabila seseorang telah memiliki informasi yang cukup serta sikap dan kemampuan untuk berubah. Pada tahap ini perawat berusaha mengumpulkan informasi dan mencari dukungan dari orang-orang yang dapat membantu memecahkan masalah.
3) Tahap Refreezing (pembekuan)
Tahap ini dimana seseorang yang mengadakan perubahan telah mencapai tingkat atau tahapan yang baru dengan keseimbangan yang baru. Tugas perawat sebagai agen berubah berusaha mengatasi orang-orang yang masih menghambat perubahan.
Lewin (1951) mengidentifikasi beberapa hal dan alasan yang harus dilaksanakan oleh seorang manajer dalam merencanakan suatu perubahan, yaitu:
1) Perubahan hanya boleh dilaksanakan untuk alasan yang baik. 2) Perubahan harus secara bertahap.
3) Semua perubahan harus direncanakan dan tidak secara drastis atau mendadak.
4) Semua individu yang terkena perubahan harus dilibatkan dalam perencanaan perubahan.
Menurut Kurt Lewin, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi, individu, atau kelompok. Jadi, ia memfokuskan pada pernyataan “mengapa”, yaitu mengaopa individu-individu, kelompok, atau organisasi berubah. Dari situ ia mencari tahu bagaimana perubahan dapat dikelola dan menghasilkan sesuatu. Lewin berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan keengganan (resistances) untuk berubah. Perubahan itu sendiri dapat terjadi dengan memperkuat “driving forces” itu, atau melemahkan “resistances to change”.
Lewin merumuskan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu unfreezing, changing, refreezing. Unfreezing merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Changing merupakan langkah yang berupa tindakan, baik memperkuat “driving forces” maupun memperlemah resistances”. Refreezing merupakan upaya membawa kembali organisasi kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium).
Kepemimpinan
Menurut Robbins & Coulter (2012:461) “Leadership is a process of influencing a group to
achieve goals.” (“Kepemimpinan adalah proses memengaruhi suatu kelompok ke arah
tercapainya tujuan”)
Menurut Armstrong (2016:4) “Leadership is the process of getting people to do their best to
achieve a desired result.” (“Kepemimpinan adalah proses membuat orang melakukan yang
terbaik untuk mencapai hasil yang diinginkan”)
Menurut Schermerhorn (2013:352) “Leadership is the process of inspiring others to work
hard to accomplish important tasks.” (“Kepemimpinan adalah proses menginspirasi orang
lain untuk bekerja keras guna menyelesaikan tugas-tugas penting”)
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan tersebut, bahwa kepemimpinan adalah perilaku seorang individu yang memimpin suatu kegiatan dimana
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 265 ejournal.ymbz.or.id
seorang pemimpin tersebut untuk memengaruhi orang lain agar mau bekerja sama guna mencapai tujuan organisasi.
Tipe kepemimpinan menurut Schermerhorn (2013:359) sebagai berikut: 1. Kepemimpinan Otokratis (Autocratic Leadership)
Seorang pemimpin dengan gaya otokratis bertindak dengan cara memerintah dan mengendalikan secara tidak sepihak. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini berfokus pada otoritas dan ketaatan, sedikit melimpahkan wewenang, menyimpan informasi untuk dirinya sendiri, dan cenderung bertindak secara sepihak dan mengendalikan.
2. Kepemimpinan Hubungan Manusia (Human Relations Leadership)
Seorang pemimpin dengan gaya ini secara interpersonal melibatkan perhatian orang lain, peka terhadap perasaan dan emosi, dan cenderung bertindak dengan cara yang menekankan keharmonisai dan hubungan kerja yang baik.
3. Kepemimpinan Demokratis (Democratic Leadership)
Seorang pemimpin dengan gaya demokratis memberi keputusan dengan pengikutnya, memberikan partisipasi, dan mendukung kerja tim yang dibutuhkan utuk pencapaian tugas. 4. Kepemimpinan Bebas (Laissez-faire Leadership)
Seorang pemimpin dengan gaya laissez-faire menunjukkan sedikit perhatian terhadap tugas, membiarkan kelompok membuat keputusan, dan bertindak dengan melakukan sikap “yang terbaik dan tidak mengganggu”.
5. Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)
Kepemimpinan visioner menggambarkan seorang pemimpin yang membawa situasi menjadi jelas dan meyakinkan tentang masa depan, dan juga pemahaman tentang tindakan yang dibutuhkan untuk sampai di sana dengan sukses. Seorang pemimpin yang benar-benar hebat sangat hebat dalam mengubah visi menjadi prestasi, dimana pemimpin bersikap baik dalam mengkomunikasikan visi dan membuat orang termotivasi dan terinspirasi untuk mengejar visi dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Kepemimpinan visioner membawa makna pada pekerjaan orang-orang (membuat apa yang mereka anggap layak dan berharga). 6. Kepemimpinan Melayani (Servant Leadership)
Kepemimpinan melayani berpusat pada pengikut dan berkomitmen untuk membantu orang lain dalam pekerjaan mereka. Kepemimpinan melayani didasarkan pada melayani orang lain dan membantu mereka sepenuhnya menggunakan talenta sehingga organisasi memberi manfaat kepada masyarakat. Pemimpin yang melayani menyadari bahwa kekuatan dalam organisasi bukanlah kuantitas.
7. Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)
Seorang pemimpin karismatik mengembangkan hubungan khusus pemimpin-pengikut dan menginspirasi pengikut dengan cara yang luar biasa.
8. Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership)
Konsep awal mengenai kepemimpinan transaksional dikemukakan oleh Jame MacGregor Burns and Bernard Bass. Kepemimpinan transaksional mengarahkan usaha orang lain melalui tugas, penghargaan dan struktur. Kepemimpinan transaksional sebagai
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 266 ejournal.ymbz.or.id
kepemimpinan berdasarkan transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan kebutuhan, spesifikasi serta kondisi penghargaan atau hadiah yang akan diberikan kepada bawahan jika bawahan memenuhi atau mencapai syarat-syarat yang ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan transaksional melihat kebutuhan bawahan sebagai motivator potensial dan menyadarkan bawahan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh bawahan akan mendapat penghargaan yang pantas. Kepemimpinan transaksional berhubungan dengan kebutuhan bawahan yang difokuskan pada perubahan (attention on exchanges), dimana pemimpin memenuhi kebutuhan bawahan dalam perubahan untuk meningkatkan kinerja.
9. Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)
Seorang pemimpin transformasional sangat menginspirasi dan membangkitkan semangat dan kinerja yang luar biasa. Pemimpin transformasional menggunakan kepribadian mereka untuk menginspirasi para pengikut. Pemimpin membuat pengikut sangat bersemangat dengan pekerjaan dan tujuan organisasi mereka yang mereka perjuangkan untuk kinerja yang luar biasa. Para pengikut antusias dengan pemimpin, setia, dan mengabdikan gagasannya, dan bersedia bekerja sangat keras utuk mencapai visi pemimpin. Seorang pemimpin transformasional unggul sebagian karena rasa dedikasi, kepercayaan diri, dan antusiasme yang tinggi yang mereka bawa ke suatu situasi.
10. Kepemimpinan Direktif (Directive Leadership)
Membiarkan pengikut mengetahui apa yang diharapkan: memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana, penjadwalan pekerjaan yang harus dilakukan, mempertahankan standar kinerja yang pasti, mengklarifikasi peran pemimpin dalam kelompok.
11. Kepemimpinan Mendukung (Supportive Leadership)
Melakukan sesuatu untuk membuat pekerjaan lebih menyenangkan, memperlakukan anggota tim sama, ramah dan mudah didekati, menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan bawahan.
12. Kepemimpinan Berorientasi Prestasi (Achievement-Oriented Leadership)
Menetapkan tujuan yang menantang, mengharapkan tingkat kinerja tertinggi, menekankan perbaikan kinerja yang terus menerus, menunjukkan kepercayaan diri dalam memenuhi standar yang tinggi.
13. Kepemimpinan Partisipatif (Participative Leadership)
Melibatkan anggota tim dalam pengambilan keputusan, berkonsultasi dengan mereka dan meminta saran, menggunakan saran saat mengambil keputusan.
Kompetensi
Menurut Wibowo (2012:324) memberikan pengertian kompetensi adalah: “Kemampuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut”.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 10 menyatakan kompetensi adalah: “Kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”.
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 267 ejournal.ymbz.or.id
Spencer and Spencer yang dikutip Moeheriono (2014:5) memberikan pengertian kompetensi adalah: “A competency is an underlying characteristic of an individual that is causually related to criterian referenced effective and or superior performance in a job or situatuion”. (“Kompetensi sebagai karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar individu yang memiliki hubungan kausal atau sebab akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superiordi tempat kerja atau pada situasi tertentu”)
PEMBAHASAN
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 19 tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Maksud dan tujuan pendirian BUMN diantaranya adalah mengejar keuntungan dan menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Indonesia memiliki 115 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di berbagai sektor, seperti properti, transportasi dan pergudangan, konstruksi, industri pengolahan, dan pengelolaan sampah. Namun, tidak banyak BUMN yang siap menghadapi era transformasi saat ini, karena umumnya BUMN terlanjur berukuran besar dan tidak lincah menghadapi perubahan. Beberapa di antaranya mengalami kerugian karena tidak mampu menangkap perubahan kebutuhan pasar.
PT Garuda Indonesia, Tbk, misalnya. Pernah mengalami kerugian yang cukup masif, kemudian berhasil keluar dari jebakan harga tiket murah yang dimainkan pesaingnya, dan menjadi maskapai yang cukup menguntungkan di bawah pimpinan Emirsyah Satar. Namun belakangan kembali mengalami kerugian.
Contoh lain adalah PT Kereta Api Indonesia yang berupaya menyediakan transportasi murah untuk pemenuhan kebutuhan orang banyak, namun terjebak dalam pelayanan yang sangat buruk selama beberapa dasawarsa. Hingga Ignasius Jonan berhasil memperbaiki layanan perusahaan tersebut.
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa faktor kepemimpinan berperan besar dalam pengelolaan BUMN. Tidak salah jika dua penilaian kompetensi diberikan pada faktor kepemimpinan, yaitu visionary leadership dan change leadership. Terkait dengan era disrupsi saat ini, pembahasan akan lebih ditekankan pada change leadership pada para pemimpin BUMN.
Jenis Perubahan
Sebelum menganalisis mengenai change leadership yang perlu dimiliki para pemimpin BUMN, perlu dikenali terlebih dahulu perubahan seperti apa yang dihadapi oleh BUMN dewasa ini. Berdasarkan pengelompokan jenis perubahan oleh Anderson (Anderson & Anderson, 2001, p. 31), yaitu developmental change, transitional change, dan
transformational change, tampak bahwa perubahan yang dihadapi adalah jenis perubahan
ketiga, yaitu transformational change. Perubahan jenis ini bukan sekadar mengembangkan atau memperbaiki kondisi yang sudah ada sebelumnya, bukan pula untuk mengatasi masalah yang ada, tetapi meliputi perubahan budaya, perilaku, serta pola pikir dari segenap insan BUMN.
Untuk mengejar keuntungan, sebagai salah satu tujuan didirikannya, BUMN harus bersaing dengan korporasi lain yang dikelola dengan profesionalitas tinggi. PT Pos Indonesia,
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 268 ejournal.ymbz.or.id
misalnya, perlu meningkatkan layanannya untuk bersaing dalam industri pengiriman barang. Layanan surat-menyurat yang kini sudah digantikan dengan surat elektronik menutup sebagian besar pendapatan PT Pos Indonesia. Sementara untuk pengiriman barang, PT Pos Indonesia mendapat saingan yang lebih muda dan lebih lincah, seperti TIKI, JNE, J&T, dan sebagainya.
Di sini PT Pos Indonesia perlu memanfaatkan kelebihan yang dimiliki, misalnya jaringan yang sangat luas sampai ke pelosok Indonesia. Selain itu, layanan filateli seharusnya dapat lebih dikembangkan untuk menyasar kolektor perangko yang bersedia mengeluarkan uang untuk menambah koleksinya. Untuk itu diperlukan pemikiran dan langkah-langkah strategis yang tidak dapat dilakukan jika karyawan PT Pos Indonesia masih terjebak dengan cara berpikir lama dan mengandalkan berbagai layanan yang sekarang sudah tidak lagi diperlukan.
Juga tidak dapat dilakukan jika pemimpinnya masih membiarkan budaya kerja lama yang lambat dan kurang agresif. Salah satu alasan banyak orang lebih menyukai JNE, misalnya, adalah karena layanannya yang tergolong prima. Baik pengirim maupun penerima bahkan dapat melacak keberadaan kiriman mereka. Seharusnya PT Pos Indonesia juga dapat menerapkan sistem serupa. Jika PT Pos Indonesia memberikan layanan yang tidak transparan, misalnya, bahkan tidak diketahui ada tidaknya masalah dalam proses pengiriman, sudah pasti layanan tersebut akan ditinggalkan.
BUMN juga didirikan dengan tujuan untuk menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Beberapa waktu lalu dilansir berita bahwa PT Pos Indonesia membebaskan biaya pengiriman buku setiap tanggal 17 ke seluruh Indonesia. Pada kenyataannya, titik-titik penerimaan buku tersebut sangat terbatas. Ke Jayapura, misalnya, hanya bebas biaya untuk pengiriman kepada beberapa taman baca yang sudah terdaftar. Padahal, dengan jangkauan yang demikian luas, PT Pos Indonesia seharusnya dapat masuk ke daerah yang lebih terpencil lagi di Papua, agar pemerataan bacaan dapat dilakukan secara lebih masif.
Kesempatan ini perlu segera diambil sebelum diambil oleh perusahaan pengiriman lainnya. Kejelian melihat kesempatan ini tidak dapat dilakukan jika PT Pos Indonesia masih menunggu pelanggan datang seperti zaman dahulu. Saat ini perusahaan pengiriman lain masih dibatasi kesulitan menjangkau luasnya Indonesia. PT Pos Indonesia seharusnya tidak terlalu mengalami kendala dalam hal ini sehingga dapat menjadi kesempatan yang baik untuk membuat diferensiasi.
Paparan di atas menjelaskan transformational change yang dihadapi PT Pos Indonesia. Untuk menghadapi transformational change ini, pola pikir, budaya, dan perilaku baru harus ditanamkan kepada segenap stakeholder dan shareholder PT Pos Indonesia. Khusus untuk kepemimpinan dalam transformational change, gaya kepemimpinan yang paling sesuai dapat dianalisis dari ketiga jenis change leadership.
Change Leadership yang Dibutuhkan
Dalam bukunya Beyond Change Management, Anderson menyebutkan tiga jenis
change leadership (Anderson & Anderson, 2001, p. 151) yang merupakan kontinum dari controlling, facilitative, hingga self-organizing. Controlling change leadership cenderung
memandang perubahan sebagai sebuah proyek yang memiliki titik awal maupun akhir yang jelas. Sementara perubahan yang dialami oleh BUMN cenderung tidak memiliki awal dan
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 269 ejournal.ymbz.or.id
akhir yang dapat disepakati. Sementara self-organizing change leadership masih sulit dilakukan pada BUMN yang didominasi industrial mindset.
Mengenai industrial mindset dapat dijelaskan sebagai berikut. Salah satu landasan dalam industrial mindset adalah kelangkaan. Hal ini memunculkan perspektif serba kekurangan. Banyak organisasi yang tidak mampu berubah mengatakan bahwa mereka tidak memiliki sumber daya atau solusi yang cukup baik untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Organisasi ini tidak memandang stakeholder sebagai sumber daya untuk melakukan perubahan.
Hal ini juga disebabkan karena landasan industrial mindset yang lain, yaitu terlalu menekankan pada bagian demi bagian dan memandangnya sebagai sesuatu yang terpisah.
Industrial mindset kurang mementingkan hubungan antar bagian dan bagaimana mereka
terkoneksi untuk menjadi sesuatu yang lebih utuh.
Industrial mindset juga memandang perubahan sebagai peristiwa yang terpisah dari
keseharian operasional BUMN, serta memiliki awal dan akhir yang jelas. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya bahwa transformational change tidak dapat dijelaskan dengan cara yang sama. Karena ketiga alasan inilah maka self-organizing change leadership tidak dapat dilakukan pada BUMN yang masih didominasi industrial mindset.
Karena itu gaya kepemimpinan yang paling sesuai bagi BUMN untuk menghadapi
transformational change adalah facilitative change leadership, dimana proses perubahan
dirancang sejak awal namun pemimpin secara sadar mengubah implementasinya sesuai dengan kondisi yang muncul selama proses perubahan.
Untuk menjadi facilitative change leadership dan self-organizing change leadership, dibutuhkan emerging mindset. Emerging mindset dilandasi oleh kesadaran bahwa pola pikir berdampak pada hasil, ada lebih dari cukup sumber daya untuk dapat berhasil, setiap bagian saling berhubungan dan membentuk keutuhan, serta adanya proses yang berkelanjutan (Anderson & Anderson, 2001, p. 115). Pola pikir ini menuntut pemimpin untuk melihat dinamika perubahan pada organisasi, karyawan, dan dirinya sendiri, serta untuk melihat keterkaitan antara dirinya, karyawan, dan bagian-bagian lain dalam organisasi sebagai suatu kesatuan yang saling memengaruhi.
Change Leadership dalam BUMN
Dari sejumlah pemimpin BUMN yang ada, hanya beberapa diantaranya yang berhasil membawa organisasinya melalui perubahan dalam era disrupsi ini. Kebanyakan BUMN masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam memenuhi tujuan pendiriannya. Sejumlah BUMN masih merugi, yang berarti belum memenuhi tujuan untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya, serta penerimaan negara pada khususnya.
Jika belum mampu mendapatkan keuntungan, kemungkinan BUMN juga masih kesulitan memenuhi tujuan-tujuan lain, seperti menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; serta turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Kriteria change leadership yang digunakan dalam pemilihan pemimpin tampaknya belum merujuk pada kondisi perubahan yang sedang dihadapi oleh BUMN. Definisi change
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 270 ejournal.ymbz.or.id
leadership dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER-03/MBU/02/2015 lebih sesuai untuk menghadapi developmental change dan transitional
change, bukan transformational change seperti yang dihadapi BUMN. Padahal, transformational change membutuhkan kepemimpinan yang benar-benar berbeda, dan hal
tersebut tidak dapat dipenuhi oleh change leadership pada definisi tersebut.
Ketidaksesuaian antara persyaratan change leadership yang diajukan dengan jenis perubahan yang dihadapi BUMN dapat menjadi salah satu penyebab mengapa banyak BUMN belum dapat melakukan perubahan signifikan. Pemimpin-pemimpin yang hanya mengikuti keadaan, tidak mampu menciptakan terobosan-terobosan, tidak memahami dinamika perubahan pada diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya, mudah menemui kesulitan dalam mengarahkan organisasi melakukan transformational change. Dibutuhkan orang-orang yang melihat keluar batas organisasi, bukan sekadar pemimpin yang mencari perbaikan di dalam organisasinya.
KESIMPULAN
BUMN menghadapi transformational change yang tampaknya belum terlalu disadari. Karenanya, change leadership yang disiapkan untuk pemimpin BUMN masih belum sesuai dengan kebutuhan transformational change itu sendiri. Ini berakibat BUMN sulit mengikuti tuntutan dan perkembangan zaman.
Hambatan terletak pada definisi change leadership yang dituangkan dalam regulasi. Definisi tersebut tampaknya dibuat tanpa memahami kondisi perubahan itu sendiri, sehingga kondisi yang diajukan pun tidak sesuai untuk memenuhi tuntutan perubahan.
Para pembuat regulasi perlu lebih memahami mengenai perubahan untuk dapat membuat definisi yang jelas mengenai apa yang dibutuhkan untuk memimpin perubahan. Regulasi dibuat untuk mengatur, tetapi regulasi yang salah arah dapat berdampak kesimpangsiuran jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D., & Anderson, L. A. (2001). Beyond Change Management. San Francisco: Jossey-Bass/Pfeiffer.
Armstrong, Michael. (2016). Armstong's Handbook of Management and Leadership for HR, 4th ed. Philadelphia: Kogan Page Limited.
Chaouhan, V. S. & Srivastava, S. (2014). Understanding Competencies and Competency Modeling - A Literature Survey. IOSR Journal of Business and Management
Dessler, Gary (2005). Human Resource Management. New Jersey: Prentice Hall, Tenth Edition.
Dhillon, Jaskaran S. (2014). Challenges of Organisational Behaviour: Leadership
and Its Impact on Performance of Employees: (A Case Study of A Public Sector Bank In Mohali). Journal of Business Management & Social Sciences Research Vol 3 No.11. Dusauw, A.C., Lengkong, V. P. K. & Sendow, G. M. (2016). Pengaruh Pelatihan,
Keterlibatan Kerja dan Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Bank Sulut Go Manado. Jurnal EMBA Vol 4 No.5
Lewin Kurt. 1951. “Force Field Theory in Social Science”. New York: Harper & Row.
Volume 2, Nomor 2, Juli 2019 271 ejournal.ymbz.or.id
Marwansyah & Oemar, Y. (2015). Pengaruh Kepemimpinan dan Komppetensi
Terhadap Motivasi Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Karyawan PT.Bank OCBC NISP Tbk Cabang Pekanbaru. Jurnal Tepak Manajemen Bisnis Vol 7 No.2.
Moeheriono, 2014. Pengukuran Kinerja Berbasis Kompetensi. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia
Robbins, Stephen P. & Coulter, Mary. (2012). Management, 11th ed. New Jersey: Pearson Education, Inc
Said, A. I. (2015, June). Senjang Kompetensi Calon Direksi BUMN. BUMN Insight No. 9
Tahun I. Retrieved from
https://manajemenppm.wordpress.com/2015/06/23/senjang-kompetensi-calon-direksi-bumn/
Schermerhorn, John R. (2012). Exploring Management, 3th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Schermerhorn, John R. (2013). Management, 12th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Wibowo (2012). Manajemen Kinerja. Jakarta: raja Grafindo Persada Undang-Undang RI No. 19 tahun 2003 tentang BUMN