TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku
Menurut Thaha (2000: 2930), perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati secara langsung ataupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai hasil dari interaksi antara sesorang atau individu dengan lingkungannya (P=F(I,L). Makmin (2001:8186) mengatakan bahwa perilaku adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu karena pembawaan (hereditas) dan interaksi dengan lingkungan sesuai dengan tingkat perkembangan (P=f (H,E,T). Secara umum, perilaku manusia adalah hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Hereditas atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan yang mempengaruhi perkembangan perilaku tersebut. Mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya suatu perilaku disebut proses belajar (learning process).
Menurut Skinner (Salkind 1989), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Ada dua respon yaitu: (1) respondent response atau reflextive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan tertentu relatif tetap, dan (2) operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan perkembangannya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perilaku dibedakan atas dua bentuk: (1) bentuk pasif, yaitu perilaku yang terjadi dalam diri manusia yang tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain, seperti berpikir, pengetahuan dan sikap, dan (2) bentuk aktif, yakni perilaku yang dapat diamati secara langsung. Bentuk pertama disebut juga covert behaviour dan kedua overt behaviour. Walgito (2003:13) membaginya dengan perilaku yang tidak tampak (inner behavior) dan perilaku yang tampak (over behavior).
Perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) faktor predisposisi (predisposing factor), yakni faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti pikiran dan motivasi untuk berperilaku yang meliputi pengetahuan, sikap, kepecayaan atau keyakinan, nilai dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk berperilaku, (2) faktor faktor yang mendukung (enabling factors), yakni yang mendukung timbulnya perilaku sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah lingkungan fisik dan sumbersumber yang ada di keluarga dan masyarakat, dan (3) faktorfaktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors), yakni faktor
yang merupakan pembentukan perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku seperti keluarga, teman, guru atau mubaligh.
Ada tiga cara untuk pembentukan perilaku yaitu: (1) dengan cara pembiasaan (kondisioning), didasarkan pada teori learning kondisioning oleh Pavlov, Thordinke dan Skinner, (2) dengan cara memberi pengertian (insight), yang didasarkan atas teori belajar kognitif oleh Kohler, dan (3) dengan cara menggunakan model, yang didasarkan pada teori belajar sosial oleh Bandura dalam (Walgito, 2003:1617). Jadi kalau orang tua ingin membentuk perilaku religius terhadap anak remaja mereka, orang tua harus melatih atau membiasakan anakanak mereka sejak dini melaksanakan ajaran agama seperti: shalat, puasa, bertingkah laku baik, dan lain sebagainya. Setelah menjadi kebiasaan remaja, diikuti dengan memberikan penjelasan, pengertian, dan pemahaman (hikmah) dari perilaku religius yang dilakukan, dan kemudian dilanjutkan dengan memberikan keteladanan oleh orang tua, guru, tokoh agama dan masyarakat tentang perilaku religius.
Bloom dalam Winkel (1996: 244254), membagi perilaku ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor, kemudian oleh para ahli pendidikan dikembangkan menjadi halhal yang dapat diukur yaitu pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Bloom mengklasifikasi ranah kognitif ke dalam enam kemamuan yaitu: (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5) sintesis, dan (6) evaluasi; ranah afektif ke dalam lima kemamuan yaitu: (1) penerimaan, (2) partisipasi, (3) penilaian, (4) organisasi dan (5) pembentukan pola hidup; ranah psikomotor ke dalam tujuah kemamuan yaitu: (1) persepsi, (2) kesiapan, (3) gerakan terbimbing, (4) gerakan yang terbiasa, (5) gerakan yang kompleks, (6) penyesuaian pola gerakan, dan (7) kreativitas.
Asngari (2001:17) mengatakan bahwa, untuk mengubah perilaku seseorang, kita dapat melakukanya dengan mengubah salah satu dari ketiga ranah (kognisi, afeksi dan psikomotor) atau keseluruhan ranah tersebut. Perubahan pada salah satu ranah itu akan saling mempengaruhi yang lainnya. Dengan kata lain, perubahan pada salah satu akan memberi efek pada perubahan ranah lainnya.
Perubahan perilaku yang disengaja dan direncanakan pada dasarnya merupakan esensi dari pendidikan atau penyuluhan. Slamet (2001:9) mengatakan bahwa penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku merupakan program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk memberdayakan, memdanirikan sasaran, dan membangun
masyarakat madani. Penyuluhan bukan program charity yang bersifat darurat atau ad hoc, melainkan sistem yang berfungsi secara berkelanjutan, untuk menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan dirinya sendiri dan masyarakatnya.
Individu dalam masyarakat mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarkat di mana individu berada. Sosialisasi sebagai proses transmisi antar generasi terjadi melalui interaksi sosial, dan fungsinya untuk bertahan dan kelangsungan susatu masyarakat melebihi satu generasi. Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilainilai dan normanorma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota kelompok masyarakat (Ihromi, 2004:30). Dalam proses sosialisasi, individu dipengaruhi oleh keturunan (heredity) dan lingkungan (environment).
Interaksi adalah kunci terjadinya sosialisasi untuk itu diperlukan agen sosialisasi, yakni orangorang di sekitar individu yang mentransmisikan nilainilai dan normanorma tertentu, baik secara langsung atau tidak langsung. Agen sosialisasi ini merupakan orang yang paling dekat (significant other) dengan individu, seperti orang tua, kakakadik, saudara, teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Sosialisasi bisa berlangsung secara tatap muka, tapi juga bisa dalam jarak tertentu melalui media, atau surat menyurat, atau bisa juga formal maupun informal, baik sengaja atau tidak sengaja.
Ada dua tahapan sosialisasi yaitu: (1) sosialisasi primer, yang dialami individu pertama kali dalam pembentukan kepribadiaannya, dan sebagai agennya adalah keluarga (terutama kedua orang tua), dan (2) Sosialisasi sekunder, sebagai proses memperkenalkan individu kedalam dunia baru dan kehidupan yang objektif di masyarakat, sebagai agen sosialisasi adalah sekolah, teman sebaya, lembaga pekerjaan dan masyarakat (Ihromi, 2004).
Ketika masa remaja, agen sosialisasi diperankan oleh teman sebaya (peer group) dan sekolah. Sebab remaja melewatkan sebagian besar waktunya di sekolah terutama bersama teman sebaya. Karena itu sekolah memberikan peluang kepada remaja untuk dapat bergaul dengan teman sebaya dan mempersiapkan mereka supaya dapat hidup dan bertahan di masyarakat.
Jadi perilaku adalah kemampuan bertindak yang dimiliki oleh seseorang hasil kombinsi pengetahuan, sikap dan keterampilan (kognitif, afektif dan
keterampilan/psikomotor) atau sebagai hasil dari interaksi potensi bawaan dengan lingkungan melalui belajar. Belajar hakikatnya merubah perilaku individu secara keseluruhan aspek perilaku atau salah satunya melalui pendidikan formal atau penyuluhan (nonformal). Perilaku itu ada yang tampak dan dapat diamat seperti melaksanakan shalat, dan yang tidak tampak seperti pengetahuan terhadap Tuhan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keyakinan, faktor lingkungan fisik dan sumber daya, dan faktor pembentuk (kelompok referensi). Perilaku seseorang dibentuk melalui pembiasaan, pengertian atau pemahaman, dan penggunaan model (pentauladanan).
Perilaku seseorang sebagai kombinasi dari pengetahuan, sikap dan keterampilan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya melalui proses belajar, diantara lingkungan itu adalah lingkugan sistem nilainilai, seperti ajaran agama. Agama sebagai salah satu sistem nilai dan sistem sosial terdiri dari ajaran tentang keyakinan, ritual, penataan sikap mental (akhlak) dan tata aturan duniawiah atau hubungan dengan sesama. Untuk itu perlu diuraikan tentang dimensi keberagamaan bagaimana individu beragama dan peran agama bagi individu dan masyarakat.
Religiusitas (Keberagamaan)
Religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Ia tidak hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (ibadah), tetapi juga dalam melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan nilainilai agama yang diyakininya. Ia tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak (zahir), seperti shalat dan menolong orang yang miskin, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati (batin) seseorang, seperti iman dan zikir kepada Allah. Keberagamaan itu meliputi dimensi keyakinan/iman, praktik agama (ritual), pengalaman rohaniah, pengetahuan agama dan tingkah laku (akhlak).
Dimensi keyakinan berisi pengharapanpengharapan seseorang religius berpegang teguh pada pandangan teologis/ketuhanan tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut, yang dalam Islam disebut aqidah, seperti yakin adanya Allah Yang Maha Esa. Dimensi praktik (ritual) mencakup perilaku penyembahan/pemujaan, ketaatan atau kepatuhan dan halhal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap dokrin agama (teologi) yang dianutnya, dalam Islam disebut Ibadah, seperti mendirikan shalat lima waktu. Dimensi pengalaman rohaniah, berisikan
perasaanperasaan, persepsipersepsi dan sensasisensasi yang dialami seseorang dalam berhubungan dengan kekuatan Tuhan/supranatural (pengalaman batin), seperti merasa tenang dan sejuk hatinya setelah shalat atau membaca Alquran. Dimensi pengetahuan agama meliputi sejumlah pengetahuan minimal dan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang tentang agamanya, seperti pengetahuan tentang rukun iman dan Islam. Dimensi pengamalan atau konsekuensi adalah merupakan akibat dari dimensidimensi sebelumnya yang tampak dalam perilaku seseorang dalam kehidupan seharihari atau aktualisasi nilainilai agama yang sudah terintegralisasi pada berbagai aspek kehidupan, dalam Islam disebut akhlak, seperti: perilaku tawaduk, jujur, tasamuh, ta`awun (Muhaimin, 2002:293294).
Magill (1993:2096) memberikan batasan religiusitas :“… a person’s attitude toward religion in general; more specifically, the intensity of way in which a person is religious”. Religiusitas merupakan sikap seseorang terhadap agama secara umum, bukan hanya terhadap salah satu aspeknya saja dari agama, lebih khusus lagi religiusitas adalah intensitas cara seseorang untuk menjadi seorang yang beragama.
Para psikolog sosial membedakan dua cara seorang menjadi beragama (ways of being religious), yaitu: (1) cara yang komitmen terhadap agama, dimana agama dipikirkan secara saksama dan diperlakukan dengan sungguhsungguh sebagai tujuan akhir (an end in itself), dan (2) agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tujuan yang berpusat pada diri sendiri (Roldan Robertson, (ed.), 1980: 299). Perbedaan ini melahirkan dua cara orang menjadi seorang beragama, yaitu beragama intrinsik dan ekstrinsik. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah religiusitas (religiousity) intrinsik dan ekstrinsik atau orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik.
Religiusitas intrinsik merupakan cara beragama yang memiliki komitmen terhadap agama secara seksama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguhsungguh sebagai tujuan akhir. Religiusitas ini beroperasi dalam pusat kepribadiaan dan “membanjiri” seluruh kehidupan dengan motivasi dan arti nilai agama, memandang serius ajaran mengenai persaudaraan dan berusaha untuk menghubungkan semua kebutuhan yang berpusat pada diri sendiri dengan ajaran agama (Allport, 1967:33). Dengan kata lain semua kebutuhan dan keiginan dirinya ditarik ke dalam ajaran agama. Cara beragama ini juga menjunjung tinggi kemurnian hati nurani, visi, pengertian dan komitmen yang memberikan makna pada ritualritual keagamaan yang dilakukan.
Individu intrinsik menemukan motif utamanya berperilaku dalam ajaran agama, kebutuhankebutuhan lain yang dimilikinya dianggap kurang signifikan jika tidak diharmonisasikan dengan keyakinankeyakinan dan aturan agama. Individu intrinsik tidak akan mengkompromikan keyakinannya dalam situasi di mana lebih dari satu motif agama berperan (mixedmotive situation). Pada individu intrinsik, ajaranajaran agama diinternalisasi dan diikuti secara penuh atau total (Allport, 1967: 35). Karenanya agama berfungsi sebagai framework dalam menjalani kehidupannya. Inilah yang dalam ajaran Islam disebut orang mukhlishin dan muttaqin.
Ini berbeda dengan religiusitas ekstrinsik yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan yang berpusat pada diri sendiri. Religiusitas ekstrinsik benarbenar bersifat utilitarian, agama berguna dalam menjamin keselamatan, kedudukan sosial, ketenaran, dukungan sosial dan dukungan atas cara hidup yang dipilih (Allport,1967:36). Sifat religiusitas ini, penekanan diberikan pada penampilan luar dari agama, aspekaspek tangible, ritualized dan institutionalized dari agama yang banyak dianggap sebagai tanda ketaatan dalam kebudayaan.
Individu ekstrinsik mengamalkan ajaranajaran agama yang dianutnya lemah atau longgar; dibentuk secara selektif sehingga sesuai dengan kebutuhankebutuhan pribadi yang lebih primer (Allport, 1967:37). Jadi, pelaksanaan ajaran agama dan upaya menjauhkan diri dari larangan agama akan sangat tergantung pada kebutuhankebutuhan lain dari individu tersebut. Bila ia menganggap pelaksanaan ajaran agama menghambat kebutuhannya yang lebih penting, seperti kedudukan sosialnya, maka ia akan cenderung mengabaikan ajaran agama tersebut. Dengan kata lain, individu ekstrinsik akan menarik semua ajaran agama kepada sudut kebutuhan dan keinginannya. Inilah yang dalam wacana Islam disebut kepribadian fasiq dan munafiq.
Dalam mendefinisikan religiusitas, sekurangkurangnya terdapat tiga kriteria penting yaitu: (1) tingkat kepercayaan/keyakinan seseorang (the degree of a person belief), (2) intensitas dia mengikuti kegiatan keagamaan di mesjid/gereja dan sebagainya (How often he/she attends in services), dan (3) Seberapa penting dan sering dia beribadah (How important dan how often he/she prays). Untuk mengukur kadar religiusitas seseorang dapat diketahui melalui lima dimensi yaitu: (1) keterlibatan ritual, (2) keterlibatan ideologi, (3) keterlibatan intelektual, (4) pengalaman keagamaan, dan (5) pengamalan/aktualisasi ajaran agama dalam kehidupan seharihari. (Glock et al.:1965:20). Menurut Tamminen (Paloutzian, 1996:12), religiusitas adalah
ketergantungan terhadap Tuhan dan kehidupan abstrak serta komitmen kepribadian seseorang, pengalaman dan komitmen, cara berfikir, berbuat, dan berperilaku moral serta tindakan lainnya.
Chapter 2 Pena dan Frehill dalam Journal for the Scientific Study of Religion (JSSR) mengemukakan pula bahwa kadar keberagamaan seseorang dapat dilihat melalui: (1) frekuensi mengikuti kegiatan agama, upacara agama dan peristiwa peristiwa keagamaan, (2) seberapa sering mendiskusikan masalahmasalah agama, dan (3) berapa sering meluangkan waktu untuk kehidupan beragama dengan keluarganya. (Pena, et al.,1998:624).
Pendapat Pena dan Frehill di atas, pada prinsipnya mempunyai kemiripan dengan Woodroof (Benda, 1997:35) di mana untuk mengukur religiusitas seseorang bisa dilihat dari delapan aspek yaitu: (1) kehadirannya ke tempat ibadah (church attendence), (2) waktu beribadah (time in prayer), (3) mempelajari kitab suci (study the bible/holy book), (4) aktivitas di tempat ibadah (study in church), (5) keterlibatan/ kontribusi keuangan(contribution), (6) menikmati kehidupan beragama (share joy dan problems of religious life), (7) membicarakan masalahmasalah agama dalam keluarga atau dengan temanteman (talk about religion with family dan friends), dan (8) mencoba mengajak orang untuk memeluk agama dan beribadah (try to convert someone).
Pengukuran terhadap tingkat keberagamaan atau religiusitas dapat dilihat dari tiga dimensi keterlibatan keberagamaan, yaitu: keterlibatan pikiran (rohani), keterlibatan fisik (raga), dan keterlibatan keuangan (harta). Bila seseorang semakin banyak/sering melibatkan dirinya dalam kehidupan beragama, maka semakin tinggi pula tingkat religiusitas seseorang. Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah melibatkan diri dalam kegiatan ibadah baik yang bersifat ritual maupun yang nonritual, maka berarti tingkat religiusitasnya rendah. Menurut Paloutzian, pengaruh agama dapat positif maupun negatif terhadap kehidupan pribadi seseorang maupun dalam tingkat kehidupan sosial. (Paloutzian,1996:20).
Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai penyelamatan, edukatif, kontrol sosial, persaudaraan dan transpormatif (Hendropuspito,1997:4557). Agama yang fungsional akan dapat menyelamatkan seseorang atau masyarakat dari berbagai kerusakan dan petaka sebab agama berisikan hudan (petunjuk), bimbingan dan tuntunan ke arah hidup yang baik dan bermakna. Edukasi agama akan membimbing untuk menumbuhkembangkan potensi rohaniah fitri manusia secara positif dan optimal.
Kontrol sosial agama bertanggung jawab atas adanya normanorma yang baik yang diberlakukan untuk masyarakat dan mengawasi tingkah laku masyarakat supaya sesuai dengan tujuan mulia agama. Nilai ukhuwwah (persaudaraan) akan menuntun manusia untuk bersatu, kooperatif dan merasa sama (equal) yang dapat melahirkan tingkah laku toleran, ta`awun, empati, simpati, kasih sayang dan sebagainya. Fungsi transformatif agama akan mampu merubah dan memperbaiki individu dan masyarakat dari suatu keadaan yang kurang manusiawi atau konservatif kepada keadaan yang lebih baik dan bermutu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa religiusitas adalah proses bagaimana seseorang menjadi individu beragama yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, meliputi aspek: (1) keterlibatan ideologi/keyakinan, (2) keterlibatan ritual/ibadah, (3) pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan seharihari, (4) pengalaman batin keagamaan, dan (5) keterlibatan intelektual/pengetahuan. Boleh jadi keterlibatan itu secara intrinsik, yang ditunjukkan dengan perilaku berpusat pada nilai agama atau secara ekstrinsik di mana agama ditarik kepada kebutuhan dan kepentingannya atau agama berpusat pada dirinya. Agama yang fungsional dalam kehidupan individu dan sosial akan mampu menyelamatkan, menumbuhkembangkan potensi yang fitri, bertanggung jawab dan mengawasi norma sosial, membuat kehangatan antar sesama dan merubah serta memperbaiki individu dan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi.
Perilaku beragama yang berarti kemampuan bertindak sebagai kombinasi dari aspek pengetahuan, sikap dan pengamalan seorang beragama sebagai hasil interaksi dirinya dengan ajaran agama yang dianut melalui proses belajar dalam keluarga, sekolah, komunitas dan masyarakat luas. Perilaku ini mencakup lima dimensi agama keyakinan/iman, ibadah ritual, pengalaman batin/rasa agama, pengetahuan agama dan pengamalan/aktualisasi agama dalam kehidupan seharihari.
Bagaimana dan pada taraf apa keberagamaan individu, selain dipengaruhi oleh lingkungan juga oleh keadaan diri sendiri atau fase perkembangan hidupnya. Untuk itu pengenalan terhadap fase perkembangan manusia dan berbagai ciricirinya amat penting, terutama fase remaja. Maka uraian di bawah ini akan menjelaskan fase perkembangan remaja dengan berbagai ciriciriya.
Perkembangan Remaja
Menurut psikologi perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1980:14), ada sebelas periode kehidupan manusia berdasarkan bentukbentuk perkembangan dan polapola tingkah laku, diantaranya adalah masa remaja. Masa remaja ini dibagi ke dalam praadolescence yaitu umur 10 atau 12 tahun sampai 13 atau 14 tahun; masa remaja awal yaitu umur 13 atau 14 sampai 17 tahun; dan masa remaja akhir 17 tahun sampai 21 tahun. Hampir sama dengan pembagian di atas, Havinghurst (Monks, 1982:2324) membagi tahapan perkembangan manusia menjadi 6 tahapan, di antaranya masa remaja/adolescence pada umur 1218 tahun. Klasifikasi lain yang hampir sama menempatkan masa remaja termasuk dalam masa adolescence yaitu masa transasi dari masa anak–anak menuju masa dewasa awal yang dimulai pada umur 10 sampai 12 tahun dan berakhir pada umur 18 sampai 22 tahun (Santrock dan Yussen, 1989:1415). Batasan lain diungkapkan oleh Irwin dan Millstein (1990: 344) bahwa masa adolescence terjadi pada umur 1119 tahun yang terbagi masa remaja dalam 3 fase, yaitu: (1) Fase adolescence awal yaitu pada umur 1113,5 tahun, (2) Fase adolescence pertengahan yaitu pada umur 13,516 tahun, dan (3) fase adolescence akhir yaitu pada umur 1619 tahun. Masa adolescence adalah masa terjadinya perubahan dalam sistem fisiologi dan biokimia serta perilaku. Perubahanperubahan besar yang dialami oleh remaja yang meliputi perubahan biologis, adanya gap antara perkembangan biologis dan perkembangan sosial, adanya kebingungan dalam pikiran adolescence tentang peran orang dewasa, adanya kesulitan untuk melihat apa yang akan terjadi dan adanya kemudahan akses pada ancaman yang potensial seperti alkohol, narkoba, senjata tajam dan perilaku lain yang merusak (Munss, 1990:56).
Masa adolescence adalah masa di mana individualisme mulai muncul, yaitu keinginan melibatkan identitas yang menyangkut diri sendiri (self) yang terpisah dari orang tua untuk mulai tergantung pada diri sendiri (independent self ). Psikologi dari budaya Barat mengasumsikan bahwa hidup seseorang akan lebih bervariasi dan berarti apabila mengandalkan pada diri sendiri dan percaya pada kekuatan kontrol personal. Budaya di Asia dan Amerika Tengah lebih banyak mengandalkan pada kolektivisme atau dapat juga disebut interdependent self, identitas lebih dikaitkan dengan orang lain (others) seperti keluarga, teman, dan rekan kerja. Secara detail konsep diri (self concept) dapat dibedakan berdasarkan independent dan interdependent.
Pada independent memiliki ciri: (1) identitas berkaitan dengan personal yang didefinisikan dengan ciriciri atau tujuan individu, (2) halhal yang penting adalah 'Me' yaitu prestasi dan pemenuhan personal serta hakhak pribadi, (3) didukung oleh budaya individualistik Barat, sedangkan Interdependent bercirikan: (1) identitas berkaitan dengan sosial yang didefinisikan dengan hubungan dengan orang lain, (2) halhal yang penting adalah 'We', yaitu tujuan dan solidaritas kelompok atau grup, hubungan dan tanggung jawab sosial, dan (3) didukung oleh budaya kolektivistik Asia dan negara dunia ketiga (Myers, 1999: 43).
Adapun perbedaan konsep diri (self concept) antara lakilaki dan perempuan juga dikemukakan oleh Lever (Myers, 1999:175) yang terlihat pada perilaku di masa anakanak. Anak lakilaki cenderung untuk berusaha mandiri (independence) dengan berusaha untuk memperlihatkan identitasnya yang terpisah dari pengasuhnya, yakni ibunya. Sedangkan anak perempuan cenderung senang menerima rasa saling ketergantungan (unterdepedensi) dengan berusaha untuk memperlihatkan identitasnya melalui hubungan sosial. Dalam beraktivitas, anak lakilaki cenderung bergabung dengan aktivitas kelompoknya, sedangkan anak perempuan cenderung bermain dengan kelompok yang lebih kecil dengan menunjukkan perilaku yang kurang agresif, lebih banyak sharing, lebih banyak menjalin hubungan yang lebih akrab, dan lebih banyak berdiskusi dengan akrab dibandingkan dengan anak lakilaki. Tanen (Myers,1999:180) menambahkan bahwa masa dewasa lakilaki cenderung untuk menfokuskan diri lebih kepada tugastugas (tasks) dan berusaha untuk menggalang hubungan dengan kelompok yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang cenderung untuk menfokuskan diri pada hubungan personal. Lebih lanjut lagi, di dalam grup perempuan cenderung untuk memberi lebih banyak dalam dana, bantuan, empati serta menunjukan dukungan yang lebih dibandingkan dengan lakilaki, sedangkan lakilaki lebih banyak membicarakan dan memberikan informasi dibandingkan dengan perempuan (Myers,1999.184).
Gender dalam analisa psikologi menempati tempat yang penting dan dibahas secara baik terutama dalam analisa persamaan dan perbedaan perilaku. Gender diartikan sebagai "the characteristics people associate with male and famale" (Myers, 1999:182 183). Perbedaan perilaku antara lakilaki dan perempuan di antaranya adalah: (1) Laki– laki memasuki masa puber dua tahun setelah perempuan dan meninggal lima tahun lebih awal dari perempuan, (2) perempuan cenderung merasa rapuh (vulnerable) dan
mengalami gangguan kecemasan (anxiety) dan depresi dua kali lipat dibandingkan dengan lakilaki, (3) Lakilaki cenderung melakukan percobaan bunuh diri sebanyak tiga kali lipat dan cenderung untuk menjadi pecdanu alkohol (alcoholic) sebanyak lima kali lipat dibandingkan perempuan, dan (4) Lakilaki cenderung untuk banyak menderita hiperaktif, gangguan bicara pada masa anakanak, cenderung untuk menunjukan perilaku pribadi antisosial di masa dewasa dan cenderung untuk tidak mau mendengar siapapun dibandingkan dengan perempuan (Myers, 1999:183).
Perkembangan PsikoSeksual
Menurut teori perkembangan psikoseksual oleh Sigmund Freud (Freud's psychosexual stages), dinyatakan ada lima tahapan perkembangan manusia, yaitu meliputi tahapantahapan: (1) Oral, (2) Anal, (3) Phallic, (4) Laten, dan (5) Gential. Masa remaja termasuk pada tahapan kelima, yaitu tahapan gential yang berlangsung mulai masa puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit (Santrock dan Yussen,1989:282295). Karena itu, remaja yang kurang memiliki pengendalian diri sangat mungkin untuk terlibat dalam perilaku seks akibat perkembangan hormon seksual yang terjadi. Peranan agama, orang tua, guru dan media massa sangat penting dalam mengarahkan remaja agar tidak terjerumus ke dalam perilaku seks bebas.
Perkembangan PsikoSosial
Berdasarkan tahapan psikososial dari Erikson yang dikenal dengan Erikson's the psychososial stages, membagi delapan tahapan perkembangan manusia yang meliputi: (1) Tahapan trust versus mistrust pada priode infancy (setara dengan tahapan oral menurut teori Frued), (2) Tahapan autonomy versus shame, selfdoubt pada periode awal anakanak 23 tahun atau early childhood (setara dengan tahapan anal menurut teori Frued), (3) Tahapan initiatif versus guilt pada periode anakanak 36 tahun atau play age (setara dengan tahapan phalic menurut teori Freud), (4) Tahapan industry versus inferiority pada periode 69 tahun atau school age (setara dengan tahapan laten menurut teori Frued), (5) Tahapan indentity confusion versus role diffusion pada periode 1015 tahun atau adolescence, (6) Tahapan intimacy versus isolation yang terjadi pada masa dewasa awal atau young adulthood, (7) Tahap generativity versus stagnation pada periode dewasa pertengahan atau adulthood, dan (8) Tahapan ego integrity versus despair atau senescence pada periode dewasa terakhir (Dariyo, 2004).
Masa remaja termasuk pada tahapan kelima, yaitu tahapan pencarian identitas yang mana individu ingin mengungkapkan dan mengerti siapa dirinya dan apa yang diinginkan di masa depan. Pada tahapan ini orang tua sangat berperan dalam membantu anaknya untuk memahami dirinya dan mengeksplorasi berbagai peranan dalam kehidupan seharihari. Apabila anak remaja dapat mengeksplorasi peranannya dengan perilaku baik dan dapat menemukan jalur yang tepat bagi hidupnya, maka anak tersebut akan mencapai identitas positif (a positive identity). Sebaliknya, apabila anak tersebut terlalu dipaksa oleh orang tuanya dalam mengeksplorasi peranan sehingga anak kurang cukup kesempatan memahami cara pengeksplorasian peranannya sendiri, maka akan terjadi kebingungan terhadap identitas (a identity confusion) akan semakin besar (Dariyo, 2004).
Masa remaja yang diawali dengan masa pubertas dicirikan dengan perhatian subjektif yang besar pada diri sendiri. Pada remaja puber, ciriciri penting lainnya adalah: (1) 'sang aku' menjadi segalanya, (2) tidak menghendaki campur tangan dan penguasaan orang tua atau orang dewasa lainnya, (3) tidak segansegan mengemukakan kecaman terhadap orang tua, guru atau orang dewasa lain, (4) kebutuhan untuk bergabung dengan temanteman sebaya kuat sekali, (5) berusaha untuk menemukan nilainilai hidup dan menetapkan citacitanya, (6) perasaan emosional yang sangat tinggi, dan (7) adanya kesadaran perasaan religius, etis, estetis, dan nasionalis dalam dirinya.
Perkembangan Kognitif
Menurut teori perkembangan kognitif dari Piaget (Piaget's cognitive structural stages) ada empat tahapan perkembangan kognitif manusia. Tahap (1) sensorimotor pada masa infant (setara dengan tahapan oral dan onal menurut Freud, tahapan trust vs mistrust, autonomy vs shame menurut Erikson), (2) tahapan preoperasional pada masa anakanak awal (setara dengan tahapan phallic menurut Freud dan tahapan initiative vs guilt menurut Erikson), (3) tahapan concrete operational pada masa anakanak pertengahan dan akhir (setara dengan tahapan latency menurut Freud dan tahapan industry vs inferiority menurut Erikson), dan (4) tahapan formal operasional yang dimulai pada masa adolescence (setara dengan tahapan gential menurut Freud dan tahapan identity vs confusion diffusion menurut Erikson ) (Santrock dan Yussen,1989:295).
Piaget (Dariyo, 2004) melakukan studi tentang struktur kognitif anak yang terjadi pada masa puber adolescence. Perubahan dalam struktur kognitif yang menyangkut transisi dari pemikiran tahapan operasional ke pemikiran tahapan formal yang muncul selama masa adolescence tergantung pada modifikasi kualitatif termasuk: (1) Kemampuan kognitif yang telah dikembangkan menyangkut keterampilan yang dicirikan berfikir abstrak, (2) Kemampuan untuk menghubungkan satu elemen khusus dengan elemen khusus lainnya, sehingga mengarah pada analisa kombinasi, yang selanjutnya mengarahkan adolescence untuk dapat menghubungkan satu elemen dengan semua elemen yang lainya, dan (3) Proses berpikir konkrit yang terbalik seperti jika A = B, maka B=A. Selanjutnya pada tahap operasional formal, adolescence dapat mengambil aliran politik mana yang dipercayai dan kemungkinan dapat berbeda dari golongannya. Ditambahkan pula bahwa studi perkembangan adolescence ke dewasa awal adalah lebih sulit dibandingkan dengan studi tentang anakanak, kerena anakanak relatif kurang kreatif dibdaningkan dengan remaja. Namun demikian, studi tentang anak dan remaja membantu untuk mengerti perkembangan selanjutnya di masa dewasa awal. Periode umur 1520 tahun menandakan adanya mulai masa spesialisasi profesionalisme yang mempunyai konsekuensi terhadap program hidupnya.
Ditambahkan oleh Elkind (Dariyo, 2004) mengenai ide tentang pemikiran ' adolescence egocentrism' melalui tahapan teori kognitif dari Piaget yang meliputi perkembangan emosional–sosial, kesadaran interpersonal dan personality. Egosentrisme muncul karena di saat adolescence yang sekarang dapat mengetahui/menyadari pikiran orang lain, namun adolescence tersebut masih gagal untuk membedakan antara objek yang dipikirkan oleh orang lain dan objek yang menjadi fokus perhatianya sendiri. Sebagai konsekuensi dari sifat egosentrisme ini adalah adanya antisipasi dari adolescence tentang reaksi orang lain terhadap dirinya. Antisipasi tersebut berdasarkan pikiran bahwa orang lain mengganggu atau mengkritik dirinya sebagaimana dirinya mengkritik dirinya sendiri.
Perkembangan Sosial
Berdasarkan teori belajar sosial (Sosial learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anakanak belajar bersosialisasi melalaui pengamatannya terhadap orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (atau dikatakan sebagai imitation atau meniru), anak secara kognitif merepresentasikan tingkah laku orang lain dan kemudian diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Observasi ini merupakan
dimensi yang amat penting dalam perkembangan sosial anak. Model perkembangan dan belajar dari Bandura terdiri dari tingkah laku (behaviour), orang tersebut (the person), dan lingkungannya (the environment). Teori belajar sosial menempatkan aspek lingkungan sebagai suatu determinan yang sangat penting dalam perkembangan anak, demikian juga proses kognitif. Dalam perkembangan sosial, anak perlu memperhatikan pentingnya selfefficacy, yaitu kepercayaan diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa dia dapat mengawasi atau melakukan tindakannya. Dalam pdanangan Bandura, harapan seorang anak akan selfefficacy merupakan aspek yang kritis dalam perkembangan sosial yang positif pada anak. Isuisu yang dapat dikaitkan dengan perkembangan anak adalah:
(1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang pada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong atau dibantu, dipelihara, dan dirawat, disayang dan dilindungi,
(2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain.
(3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan keunggulan individu.
(4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran (Santrock dan Yussen, 1989: 291293).
Menurut Margon (Dariyo, 2004) disebutkan bahwa pengaruh sosial merupakan hal yang berperan penting dalam perkembangan anak. Pengaruh sosial dapat berupa: (1) Peniruan (imitation) yang meliputi peniruan vokal dan perilaku seseorang, (2) Penyesuaian sosial (sosial conformity) terdiri atas penyesuaian diri terhadap orang lain dan penyesuaian terhadap norma dan peraturan, yang keduanya menggambarkan situasi di mana anak berubah keyakinan dan kepercayaan supaya dapat lebih mirip dengan karakteristik anggota suatu grup, dan (3) Kepatuhan (obedience), menggambarkan situasi di mana yang berpengaruh mempunyai hak yang kuat sehingga anak mempunyai kewajiban untuk mengikuti segala perintah.
Ciriciri perkembangan sosial remaja adalah sebagai berikut: (1) status anak remaja dalam mayarakat masih tidak menentu, (2) rasa emosional yang tinggi seperti cepat marah, takut, cemas, ingin tahu, iri hati, sedih, dan kasih sayang, (3) perasaan yang tak stabil seperti kesedihan yang tibatiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri berganti dengan keraguaan, rasa alturisme atau mementingkan orang lain
berganti dengan sikap acuh tak acuh, dan (4) mempunyai banyak masalah yang berhubungan dengan: (a) keadaan jasmaninya, (b) kebebasannya, (c) nilainilai yang dianutnya, (d) peranan pria dan wanita dewasa, (e) lawan jenis, (f) masyarakat, dan (g) kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar untuk diselesaikan karena menganggap orang tua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran dan perasaannya.
Perkembangan Moral
Jean Piaget (Asri, 2004:28) membagi tahapan perkembangan moral, yang meliputi: (1) Tahapan premoral yang menyangkut tidak adanya rasa kewajiban untuk memerintah, (2) Tahapan heteronomous, yang baik adalah kepatuhan literal untuk memerintah dan ketaatan karena adanya kekuatan dan hukuman (untuk umur 48 tahun), dan (3) Tahapan otonomi yang mana tujuan dan konsekuensi untuk mengikuti aturan adalah dipertimbangkan berdasarkan reciprocity dan exchange (umur 812 tahun). Selanjutnya, Jhon Dewey mengembangkan tiga tahapan perkembangan moral (berdasarkan studi Piaget sebelumnya), yang meliputi: (1) preconventional yang dimotivasi oleh implus biologi dan sosial yang menghasilkan moral, (2) Tahapan perilaku conventional di mana individu menerima dengan sedikit kritik ulasan/pertimbangan (reflection) tentang stdanar dari grupnya, dan (3) Tahapan perilaku otonomi di mana perilaku dituntun oleh pemikiran individu dan dinilai oleh dirinya sendiri apakah suatu tujuan dianggap baik dan tidak begitu saja menerima stdanar grupnya tanpa ulasan/pertimbangan (reflection).
Selanjutnya, berdasarkan konsep tahapan perkembangan moral dari Piaget dan Dewey, Kholberg, (Asri, 2004:2832) kemudian mengembangkan tahapan perkembangan moral yang meliputi :
(1) Tingkat Preconventional yang menyangkut tanggapan anak terhadap peraturan budaya dan label baik dan buruk, namun menginterpretasikan labellabel ini dalam artian secara fisik atau hedonistik sebagai akibat dari tindakan (imbalan dan hukuman). Tingkatan ini terdiri dari dua tahapan, yaitu :
Tahapan 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan yang menyangkut konsekuensi fisik dari aksiaksi yang bersifat baik atau buruk.
Tahapan 2: Orientasi Instrumental relatif yang menyangkut tindakan yang benar apabila meliputi tindakan yang secara instrumental memuaskan kebutuhan seseorang dan terkadang kebutuhan orang lainya. Hal ini menyangkut hubungan
antara manusia (menyangkut elemen fairness, eciprocity, dan pembagian yang setara).
(2) Tingkat conventional yang menyangkut pemeliharaan harapan dari keluarga, grup atau bangsa yang dipahami/dirasakan sebagai suatu yang berharga (sikapnya meliputi conformity, loyality, maintaining, dan supporting). Tingkatan ini terdiri dari dua tahapan, yaitu :
Tahapan 3: Orientasi hubungan interpersonal atau 'good boynice girl' yang menyangkut perilaku baik yaitu yang dapat menyenangkan dan menolong orang lain.
Tahapan 4: Orientasi 'Hukum dan keteraturan (the law dan order) yang menyangkut orientasi terhadap otoritas, peraturan yang tegas dan pemeliharaan keteraturan sosial.
(3) Tingkat Post–conventional, otonom dan prinsip yang meyangkut adanya usaha yang tegas dalam mendefinisikan nilainilai moral dan prinsip yang sudah divalidasi terlepas dari kewenangan grup. Tingkatan ini terdiri dari 2 tahapan, yaitu:
Tahapan 5: Orientasi sosial kontrak dan legalisasi yang menyangkut adanya tindakan yang benar yang didefinisikan berdasarkan hakhak individu dan stadar secara umum.
Tahapan 6: Orientasi prinsip etika universal yang menyangkut adanya hakhak yang didefinisikan berdasarkan pilihan prinsipprinsip etika yang mengedepankan suara hati, logika, komperhensif, dan universal dan konsisten. Dinyatakan oleh Kohlberg bahwa ada 10 nilainilai moral yang universal yang harus diketahui dan ditanamkan kepada remaja, yaitu meliputi hukuman (punishment); kepemilikan (property), aturan–aturan yang berhubungan dengan kewenangan, hukum, kehidupan, seks, kemerdekaan, keadilan yang menyebar (distributive justice), dan kebenaran (truth).
Perkembangan Keyakinan/Iman
Fowler membagi perkembangan keyakinan itu kepada tujuh tahapan, yaitu: (1) Keyakinan elementer (primal faith) usia 03 tahun, (2) Keyakinan intuitifproyektif usia 37 tahun, (3) Keyakinan Mistisharfiah usia 712 tahun, (4) Keyakinan Sintesis Konvensional usia 1220 tahun, (5) Keyakinan Individualreflektif usia 20 tahun ke
atas, (6) Keyakinan EksistensialKonjungtif usia sekitar 35 tahun ke atas, dan (7) Keyakinan Eksistensiuniversal kirakira usia di atas 45 tahun (Supratiknya, 1995:111 222).
Keyakinan sintesiskonvensional yang terjadi pada usia remaja mengalami perubahan yang radikal akibat munculnya kemampuan kognitif baru, yaitu operasi formal. Maka, remaja mulai mengambil alih pandangan orang lain menurut pola perspektif antar pribadi secara timbal balik, yang penekanannya adalah mengintegrasikan gambaran diri yang berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas yang pokok adalah menciptakan sintesis identitas. Usaha menciptakan identitas pribadi dan seperangkat arti baru dalam hidup ini bersifat kompromistis. Identitas diri dibentuk oleh pengaruhpengaruh teman sebaya, sekolah, pekerjaan, media massa, kebudayaan populer dan kelompok religius, maka sintesis kompromistis terbentuk melalui interaksi antara berbagai pengaruh ini.
Fase remaja merupakan fase yang menentukan masa dewasa. Keberhasilan melewati masa ini dengan baik akan berpengaruh positif terhadap masa dewasa. Untuk itu, ada beberapa tugas perkembangan yang harus dilakukan pada masa remaja (Havighurst 1958) yaitu:
(1) Mencapai relasi baru dengan teman sebaya dan lawan jenis (2) Mencapai maskulinitas dan feminimitas dari peran sosial (3) Menerima perubahan fisik dan menggunakan secara efektif
(4) Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya
(5) Menyiapkan perkawinan dan kehidupan keluarga (6) Menyiapkan diri berkarir secara ekonomi
(7) Menemukan pilihan dari nilainilai dan sistem moral/etika dalam berperilaku (8) Mencapai tingkah laku sosial sesuai dengan yang diharapkan
Perkembangan biologis, kognitif, sosial, moral dan keyakinan yang terjadi pada masa remaja akan berpengaruh terhadap perilaku keberagamaan mereka. Sosialisasi ajaran agama yang dilakukan oleh orang tua, guru, tokoh agama dan media massa, yang kurang memperhatikan ciriciri dan tugas perkembangan remaja akan berakibat kurang fungsionalnya ajaran agama dalam kehidupan. Untuk itu perlu dijelaskan perilaku religiusitas remaja.
Perilaku Religiusitas Remaja
Masa remaja menduduki tahap yang krisis (jugencrise) dalam perjalanan hidup seseorang. Disebut masa krisis karena pada masa ini muncul gejalagejala yang menunjukkan adanya pembelokan dalam perkembangan, suatu kepekaan dan labilitas yang meningkat. Seperti krisis di keluarga, sekolah, masyarakat, dan keyakinan atau agama. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada remaja turut dipengaruhi oleh perkembangan itu. Maksudnya, penghayatan remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan banyak terkait dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2001:74) adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan pikiran dan mental, perkembangan perasaan, perkembangan sosial, perkembangan moral, sikap dan minat, ibadah, dan (2) Konflik dan keraguan, yang diakibatkan kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama, kebiasaan, dan pendidikan.
Keraguan yang ditimbulkan oleh faktorfaktor di atas pada akhirnya akan membawa konflik dalam diri remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pilihan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk dalam beragama. Keraguan ini akan melahirkan beberapa bentuk konflik anatara lain:
(1) Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu,
(2) Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam paham, ide dan lembaga/organisasi keagamaan,
(3) Konflik yang terjadi akibat pemilihan antara taat beragama atau sekuler, (4) Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan lama dengan menerima
halhal yang baru dalam beragama.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama remaja amat tergantung pada kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin tersebut. Tetapi, di sisi lain, kemampuan remaja dalam mengatasi hal ini belum didukung dengan kematangan kejiwaannya. Karena itu, mereka sangat memerlukan bimbingan, pembinaan oleh tokoh agama, dan dialog dengan suasana yang kondusif bagi berkembangan rasa keagamaan mereka ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, ketika hal ini tidak mereka dapatkan, maka tidak jarang remaja mengatasinya dengan cara bergabung pada peer group (teman sebaya) untuk berbagi rasa dan pengalaman. Dan
kalau peer group itu bukan kumpulan dari remaja yang berasal dari keluarga baikbaik serta memiliki tradisi keagamaan yang benar, maka dapat dipastikan keyakinan mereka akan rusak, ritualnya akan longgar dan akhlaknya akan berantakan, tidak baik.
Dalam kenyataannya, kegoncangan dan kehausan yang dialami oleh remaja dalam beragama selalu berbeda dengan harapan yang mereka inginkan. Nilai ajaran agama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rohani dan mengisi kekosongan jiwa mereka tidak selamanya sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain, terdapat mazhab, sekte dan aliran dalam agama yang masingmasing mengklaim akan kebenarannya. Tokoh agama yang tadinya mereka idolakan, sekarang berperilaku tidak bermoral (terpuji). Ajaran agama yang mereka terima di rumah, sekolah dan masyarakat selalu paradoks dengan realitasnya di tengahtengah kehidupan. Ajaran agama juga tidak dikomunikasikan kepada mereka secara baik dan benar oleh orang tua, pendidik (guru agama) dan tokohtokoh agama. Semuanya ini memperburuk sikap keagamaan remaja dan berpotensi memunculkan perilaku menyimpang. Kemungkinan yang timbul dari suasana yang paradoks ini adalah mereka akan semakin jauh dari ajaran agama atau mereka menjadi penganut agama yang radikal dan konservatif.
Keluarga, menurut para pendidik, merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anakanaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberi anugerah oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang oleh para orang tua kepada anakanak mereka, hingga secara moral mereka merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi dan melindungi serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar untuk pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama berhubungan dengan unsurunsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas karena masalah kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian melalui fungsifungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsurunsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang (Jalaluddin, 2001: 75). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tidak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada orang tua.
Menurut Rasulullah SAW, fungsi dan peran orang tua begitu penting bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anakanak mereka. Menurut beliau dalam sebuah hadis yang intinya: “Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama mana yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka” (HR. Bukhari, dalam Shahih Bukhari Kitab Janaiz bab 80).
Oleh karena itu, keyakinan agama yang benar, kebiasaan dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak yang baik di waktu remaja bahkan sampai dewasa akan sangat tergantung pada pendidikan, kebiasaan dan suasana keagamaan yang dialaminya sejak masa anakanak. Demikian pula sebaliknya, keyakinan agama yang keliru, ketaatan yang longgar dalam beragama dan akhlak yang kurang terpuji dilakukan remaja, juga sebagai akibat atau buah dari masa anakanak.
Pada masyarakat berperadaban modern, tradisi tersebut tak mungkin dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugastugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan, sekolahsekolah pada hakikatnya merupakan lembaga pendidikan yang artifisial (sengaja dibuat) untuk membantu tugas orang tua.
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan perannya, sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anakanak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolahsekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anakanak, terkadang orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anakanak mereka. Mungkin saja, orang tua yang berasal dari keluarga taat beragama akan memasukkan anakanak mereka ke sekolahsekolah agama. Sebaliknya, orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolahsekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anakanak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anakanak tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui lembaga pendidikan formal terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young,
walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaluddin, 2001), barangkali pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokohtokoh agama yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Pendidikan agama (relegious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku keagamaan (religious behavior).
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun, besar kecilnya pengaruh dimaksud tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilainilai agama, sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntutan agama.
Kebiasaan adalah cara bertindak ataupun berbuat seragam. Pembentukan ini, menurut Weterington, melalui dua cara. Pertama dengan cara pengulangan, dan kedua dengan sengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga, pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui lembaga pendidikan formal cara kedua akan lebih efektif. Dengan demikian pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di lembaga pendidikan barangkali banyak tergantung pada bagaimana implementasi prencanaan pendidikan agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan) itu.
Fungsi sekolah, dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini, guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima dan mengamalkan pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut McGuire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua adanya pemahaman; dan ketiga adanya penerimaan (Ancok,1989: 4041). Dengan demikian, pengaruh lembaga pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung kepada para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat
menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode, dan alatalat bantu yang memungkinkan anakanak memberikan perhatiannya. Kedua, guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan agama yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan seharihari. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifatsifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur, adil dan dapat dipercaya dan lain sebagainya. Sifatsifat ini akan sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.
Selain hal itu, rasa keagamaan remaja di sekolah akan bertambah jika didukung oleh suasana religius, seperti kebiasaan shalat berjamaah di sekolah, pakaian rapi dan muslimah, suasana dialogis, demokratis dan suasana yang tidak kontroversi antara nilai agama dengan kenyataan yang ada di sekolah.
Lembaga pendidikan yang ketiga yang mempengaruhi seseorang adalah lingkungan masyarakat. Anakanak mulai memasuki lingkungan sosial sejak dia mulai memiliki jiwa sosial. Dalam masyarakat ditemukan banyak fenomena yang tidak homogen, seperti pendidikan, profesi, kultur dan nilai yang dianut, pandangan hidup, faham keagamaan dan sebagainya. Semua fenomena ini akan mempengaruhi jiwa remaja, termasuk juga keberagamaannya. Bila suatu masyarakat mempunyai sikap kontrol sosial tinggi, kontrol terhadap perilaku keagamaan anggotanya pun juga akan tinggi atau kuat. Sebaliknya, jika sikap keagamaannya longgar dan pdanangan hidupnya materialistis, ini juga akan berakibat pada terjadinya ketaatan keagamaan yang longgar dan sikap individualistis dari anggotanya, termasuk remaja.
Selain itu, keberagamaan remaja juga dipengaruhi oleh peer group, akses terhadap informasi, lingkungan sosialbudaya dan sistem penyuluhan agama (dakwah). Ketika semua fenomena ini kondusif bagi tumbuh dan terinternalisasinya nilainilai agama dalam kehidupan seseorang/remaja, maka tingkat keberagamaannya akan kuat dan tercermin dalam perilaku seharihari.
Keberagamaan masa remaja ditandai dengan perilaku yang kritis akibat ada kesenjangan antara ajaran yang diterima degan kenyataan dalam kehidupan seharihari. Remaja cenderung romantis. Karena itu dalam perilaku beragama pun menunjukan perilaku seharusnya (ideal) tapi sering lupa dalam pelaksanaannya. Berbagai sekte, mazhab dan pandangan dalam beragama dan kondisi remaja yang masih labil cenderung menunjukkan perilaku skeptis dalam beragama. Untuk itu perlu diuraikan faktorfaktor yang kondusif untuk pembentukan dan perkembangan beragama remaja yang sesuai dengan harapan.
FaktorFaktor yang Mempengaruhi Keberagamaan Remaja Kondisi Keberagamaan
dalam Keluarga
Keluarga adalah unit universal yang sudah ada di dalam kebudayaan manapun, didalam ada sistem dan peraturan. Tanpa adanya aturan atau fungsi yang dijalankan oleh keluarga, manusia tidak bisa menghasilkan suatu kebahagiaan, atau arti (meaning). Bahkan dengan tidak adanya peraturan akan menghasilkan suatu generasi penerus yang tidak mempunyai daya kreasi yang lebih besar, dan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arahan. Ditambahkan oleh Chapman bahwa keluarga di kebudayaan Barat selama tiga puluh tahun terakhir telah mengalami perubahan yang luar biasa dan sudah kehilangan jalan, bingung dan ragu jalan mana yang harus di tempuh.
Levy (Megawangi,1999: 40) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi adalah meliputi: (1) Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi, yaitu cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilainilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan normanorma yang berlaku. Keluarga berperan dalam menciptakan stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan dan dukungan bagi anggotanya. Namun apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka akan timbul berbagai hal yang negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat .
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mencapai perkembangannya, termasuk perkembangan keberagamaannya. Karena keluarga berperan sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan fisikbiologis dan sosio psikologis manusia. Secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai: (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan pisik dan psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan, (4) model perilaku yang tepat bagi anak untuk dapat belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5) pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk kemampuan anak dalam memecahkan masalah yang dihadapi untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan, (7) pemberi bimbingan dalam belajar motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri, (8) stimular bagi pengembangan anak dalam mencapai prestasi di sekolah dan masyarakat, (9) pembimbing dalam pengembangan aspirasi, dan (10) sumber persahabatan dan teman bermain bagi anak sampai usia berkeluarga (Syamsu, 2002: 38).
Bagi para ahli sosiologi, fungsi keluarga dikelompokkan ke dalam: 1) fungsi biologis, 2) ekonomi, 3) edukatif, 4) sosialisasi, 5) perlindungan (protektif), 6) rekreatif, dan 7) religius (penanaman nilainilai agama). Keluarga yang fungsional ditdanai oleh adanya ciriciri berikut: 1) saling mencintai dan menghargai, 2) bersikap terbuka dan jujur, 3) orang tua menerima perasaan, mendengarkan anak dan menghargai pendapatnya, 4) ada sharing masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, 5) bersinergi untuk berjuang mengatasi masalah hidup, 6) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, 7) melindungi dan mengayomi anak, dan 8) ada komunikasi yang baik.
Alexdaner A.Schneiders (Syamsu, 2002: 43) mengatakan bahwa keluarga yang ideal ditandai oleh: (1) minimnya pertengkaran dan perselisihan antar anggota keluarga, (2) ada kesempatan untuk menyatakan keinginan dan perasaan, (3) penuh kasih sayang, (4) penerapan disiplin yang tidak keras dan kaku, (5) ada kesempatan untuk bersikap mandiri, (6) saling mencintai dan menghargai (respek), (7) ada musyawarah keluarga dalam memecahkan masalah, (8) menjalin kebersamaan dan kerjasama, (9) orang tua memiliki emosi yang stabil, (10) berkecukupan secara ekonomi, dan (11) mengamalkan nilainilai agama dan moral.
Pengamalan nilainilai agama dapat diupayakan dengan menciptakan kondisi religius dalam keluarga, seperti melaksanakan shalat berjamaah, puasapuasa sunat,
menyantuni fakir miskin dan anak yatim, tadarus dan tadabur Alquran, membaca buku/majalah/koran tentang masalah agama, mengikuti pengajian atau ceramah agama, mendiskusikan dengan anggota keluarga masalah agama, membiasakan mengucapkan salam, berdoa, menghiasi rumah dengan aksesoris yang bernuansa Islami dan keteladanan akhlakul karimah oleh orang tua.
Penelitian membuktikan bahwa : (1) remaja yang komitmen agamanya lemah memiliki resiko empat kali lebih tinggi dari remaja yang komitmen agamanya tinggi untuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif (NAZA), dan (2) remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius, beresiko untuk terlibat penyalahgunaan NAZA jauh lebih besar dari remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang religius.
Disfungsional keluarga dan ditambah dengan erosi nilainilai agama dalam keluarga akan melahirkan remaja yang: (1) berperilaku nakal, (2) mengalami depresi, (3) melakukan tindakan kekerasan dan kriminal, (4) melakukan hubungan seksual bebas secara aktif, (5) meningkatnya penderita HIV/AIDS di kalangan remaja, dan (6) kecenderungan terhadap miras dan obatobatan terlarang (Syamsu, 2002: 4145).
Status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap proses sosialisasi anak. Status sosial dapat diukur dari pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Berdasarkan kreteria ini ada empat kelas sosial, yaitu:
(1) Lowerclass adalah pekerja manual yang tidak memiliki keterampilan, seperti buruh banguan.
(2) Workingclass adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan tertentu, seperti tukang jahit, sopir dan tukang bangunan.
(3) Middleclass adalah pegawai kantoran atau profesional, seperti guru dan pegawai administrasi.
(4) Eliteclass, sama dengan middleclass hanya kekayaan dan latar belakang keluarga lebih tinggi (Ihromi, 2004: 49).
Selain hal di atas, yang juga dapat mempengaruhi perkembangan beragama remaja dalam keluarga adalah perlakuan orang tua terhadap anak (parenting style). Dalam kaitan ini, Diana Baumrind (Syamsu, 2002:5153) melakukan penelitian untuk melihat kontribusi parenting style (authoritarian, permissive, dan authoritative) terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual siswa. Hasilnya ditemukan bahwa (1) remaja yang orang tuanya bersikap authoritarian cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak, (2) remaja yang orang tuanya bersikap permissive