• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 1 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

PUTUSAN Nomor 21 P/HUM/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 325, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6006), pada tingkat pertama dan terakhir telah memutuskan sebagai berikut, dalam perkara:

I. MAJELIS NASIONAL KORPS ALUMNI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (KAHMI), badan hukum perkumpulan yang telah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-321.HT.01.03.TH 2003, berkedudukan di Jl. Turi 1 Nomor 14, Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Moh Mahfud, MD., jabatan Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI; Selanjutnya disebut sebagai Pemohon I;

II. YAYASAN RE-IDE INDONESIA, badan hukum yayasan yang telah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-297.AH.01.04 Tahun 2009, berkedudukan di Komplek Bela Casa Blok A3 No. 06. Lt. 2 Depok, Jawa Barat, dalam hal ini diwakili oleh Budi Retno Minulyo, S.IP., M.E., jabatan Ketua Pengurus Yayasan;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon II;

III. Dr. AHMAD REDI, S.H., M.H., kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di Kav. DKI BLK B 1 No. 6 RT.003/RW.009, Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, pekerjaan dosen;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon III;

IV. Dr. SUPARJI, S.H., M.H., kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di Jl. Kp. Melayu Kecil No. 2 RT.010/RW.009, Bukit Duri, Kecamatan Tebet, pekerjaan Dosen;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 2 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

V. Dr. M. ALFAN ALFIAN, M., kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal di Jl. Matahari No. 76 RT.005/RW.011, Jatibening, Kecamatan Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat, pekerjaan Dosen;

Selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; Selanjutnya memberi kuasa kepada :

1. Bisman Bhaktiar, S.H., M.H., M.M.; 2. Veri Junaidi, S.H., M.H.;

3. Jamil B., S.H.;

4. Ikhwan Fahrojih, S.H.; 5. Wahyu Iswantoro, S.H.;

Kesemuanya Para Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam “Tim Hukum KAHMI Penyelamat Aset Negara”, beralamat di Jl. Turi 1 Nomor 14 Senopati Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2017;

Selanjutnya Pemohon I, II, III, IV dan V disebut sebagai Para Pemohon;

melawan:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tempat kedudukan Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat;

Selanjutnya disebut sebagai Termohon; Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan; DUDUK PERKARA

Menimbang, bahwa Para Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 9 Maret 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada Tanggal 14 Maret 2017 dan diregister dengan Nomor 21 P/HUM/2017 telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 325, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6006) dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 3 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

A. Kewenangan Mahkamah Agung;

1. Bahwa berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang, sebagaimana dinyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”; 2. Bahwa kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang tersebut diatur dalam Pasal 31 Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan:

a. Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundangan di bawah undang terhadap undang-undang;

b. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;

c. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada Tingkat Kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung; d. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Bahwa kewenangan tersebut juga diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”;

4. Bahwa kedudukan/hierarki setiap jenis atau bentuk peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 4 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Pembentukan PUU, ditentukan sebagai berikut:

“Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi, dan; g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”;

Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”;

Dalam bagian penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) UU Pembentukan PUU dinyatakan bahwa “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”;

Dengan demikian, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori, maka setiap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Bilamana terdapat ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang, maka ketentuan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

5. Bahwa lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pembentukan PUU menegaskan kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaimana dinyatakan “Dalam hal suatu peraturan perundangan di bawah undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”;

6. Bahwa secara hierarki kedudukan Peraturan Pemerintah adalah di bawah UUD 1945 dan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sehingga didalam pembentukan maupun muatan materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang/Perpu. Jadi apabila suatu Peraturan Pemerintah

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 5 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, maka dapat dimohonkan untuk diuji melalui uji materiil kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; 7. Bahwa kewenangan untuk melakukan uji materi terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang secara teknis telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (selanjutnya disebut “Perma 1/2011”), yang juga menegaskan dalam Pasal 1 butir ke-1 sebagai berikut “Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi;

8. Bahwa Permohonan uji materiil yang diajukan dalam permohonan ini adalah pengujian PP 72/2016, dengan alasan dan keberatan karena beberapa pasal/ayat dan ketentuan dalam PP 72/2016 bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi, yakni: a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara (UU BUMN) (Bukti P-2);

b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) (Bukti P-3);

c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PUU) (Bukti P-4);

9. Bahwa yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan ini adalah Peraturan Pemerintah yang secara hierarkhis berada di bawah undang-undang, sehingga dengan demikian Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan uji materiil PP 72/2016 a quo;

10. Bahwa dengan demikian berdasarkan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah disampaikan sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa dan memutus Permohonan Uji Materiil terhadap PP 72/2016 serta mengingat permohonan a quo diajukan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam Perma 1/2011, maka Permohonan Uji Materiil terhadap PP 72/2016 yang diajukan oleh Para Pemohon, sepatutnya dapat diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 6 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon;

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyatakan sebagai berikut:

1) Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan langsung oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;

2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu:

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang; atau

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; 3) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Nama dan alamat Pemohon;

b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:

1. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau

2. Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan

c. Hal-hal yang diminta untuk diputus;

4) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan;”

2. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Perma 1/2011 menyebutkan bahwa Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu perundang-undangan tingkat lebih rendah dari Undang-Undang, maka dengan demikian Pemohon

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(7)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 7 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

termasuk dalam kualifikasi yang telah ditentukan dalam Perma 1/2011 sehingga dapat dinyatakan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan perkara ini;

3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah subjek hukum yang telah berbadan hukum di Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial untuk memantapkan visi keislaman, kebangsaan dan kecendikiaan yang dalam kegiatannya dapat dilakukan melalui berbagai usaha-usaha pembinaan, pengembangan, advokasi, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya. Pengajuan permohonan pengujian terhadap PP 72/2016 merupakan mandat organisasi dalam melakukan peran kebangsaan sebagai upaya perwujudan masyarakat masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT melalui penegakan hukum dan keadilan. Hal ini tercermin di dalam Anggaran Dasar dan/atau akta pendirian organisasi. (Bukti P-6 dan P-7);

4. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau kelompok masyarakat dan organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

5. Bahwa Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V merupakan warga negara Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Pemohon perorangan yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diberikan hak-hak konstitusional antara lain tetapi tidak terbatas pada:

a. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

b. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 ”Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

6. Bahwa Para Pemohon adalah badan hukum privat dan perorangan yang dirugikan hak hukumnya atas berlakunya pasal/ayat/rincian huruf dalam PP 72/2016 sebagai berikut:

a. Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72/2016: “barang milik negara”;

b. Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016: “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(8)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 8 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”;

c. Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016: “Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”;

d. Pasal 2A ayat (6) PP 72/2016: “anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepemilikan sebagian besar saham tetap dimiliki oleh BUMN lain tersebut”;

e. Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016: “Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:

a. mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum, dan/atau;

b. mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN; 7. Bahwa Para Pemohon adalah badan hukum privat dan perorangan

yang dirugikan atau potensial dirugikan hak hukumnya atas berlakunya PP 72/2016 sebagaimana yang dimohonkan dalam uji materi ini yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya, karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mereduksi hak hukum para Pemohon dalam memperoleh jaminan dan perlindungan hukum serta keadilan dan kesejahteraan selaku warga negara;

8. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon uji materiil PP 72/2016 dan mempunyai hubungan hukum (causal verband) terhadap pengujian PP 72/2016 a quo;

9. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian PP 72/2016 sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(9)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 9 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Perma 1/2011. Oleh karena itu, jelas pula keseluruhan para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan pengujian PP 72/2016 a quo terhadap UU BUMN, UU Keungan Negara, dan UU Pembentukan PUU;

C. Alasan Dan Pokok Permohonan; Pendahuluan;

Bahwa keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam sistem perekonomian nasional merupakan implementasi dari amanat konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) yang menyatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hubungan antara BUMN dengan konsep penguasaan negara juga tercantum dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 (hal. 208) (Bukti P-8):

“… pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(10)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 10 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;

Penguasaan negara melalui penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara juga ditegaskan oleh Prof. Bagir Manan (dalam Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, 1995, hal. 12.) yang merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) termasuk di dalamnya melalui penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara;

Maksud dan tujuan keberadaan BUMN sebagaimana ditegaskan dalam UU BUMN adalah memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, mengejar keuntungan yang dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat;

Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik dan dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan ekonomi swasta besar. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, penerimaan bukan pajak (PNBP) dan hasil privatisasi. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, energi, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi;

Melihat peran penting, maksud dan tujuan keberadaan BUMN yang intinya turut mendukung dalam tercapai tujuan nasional untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, maka keberadaan BUMN harus dijaga agar tetap menjadi milik negara. Dengan tetap menjadi milik negara, maka akan lebih maksimal untuk mendukung pembangunan nasional dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kepemilikan BUMN oleh negara menjamin akses langsung negara terhadap BUMN untuk menjamin

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(11)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 11 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

agar BUMN tersebut tetap berjalan sesuai dengan tujuan pembentukkannya dan tetap berorientasi untuk kepentingan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Lebih dari itu perlu jaminan agar peran pemerintah (negara) sebagai pemegang saham/pemilik modal BUMN tidak dihilangkan atau direduksi dengan privatisasi yang bertentangan dengan undang-undang;

BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan hal tersebut, maka kekayaan/keuangan BUMN merupakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Kekayaan/keuangan BUMN yang merupakan keuangan negara juga telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 (Bukti P-9) dan Nomor 62/PUU-XI/2013 (Bukti P-10) yang pada pokoknya menegaskan bahwa ketentuan tentang kekayaan/keuangan BUMN merupakan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara telah tepat dan konstitusional;

Konsekuensi bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara, maka penyertaan modal negara dan penambahan maupun pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN harus melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara serta berdasarkan mekanisme Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) termasuk juga harus dengan persetujuan DPR RI sebagai lembaga representasi rakyat yang mempunyai fungsi anggaran dan pengawasan. Oleh karena itu, penyertaan modal negara, penambahan maupun pengurangan penyertaan modal negara pada BUMN yang tidak melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI jelas merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; Berdasarkan uraian singkat pendahuluan ini dan bahwa pada tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(12)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 12 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas (PP 72/2016), maka dengan hormat bersama ini kami menyampaikan pokok-pokok permohonan dan alasan sebagai berikut:

I. Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72/2016 bertentangan dengan UU BUMN 1. Bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72/2016 berbunyi “barang milik

negara” (Bukti P-1);

2. Bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf b tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan keseluruhan isi dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PP 72/2016 secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyertaan Modal Negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. kapitalisasi cadangan, dan/atau;

c. sumber lainnya;

(2) Sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa:

a. dana segar;

b. barang milik negara;

c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas;

d. saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, dan/atau;

e. aset negara lainnya;

3. Bahwa jika dijelaskan lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) PP 72/2016 a quo merupakan perubahan dari pasal yang sama dalam peraturan pemerintah sebelumnya, yaitu PP 44/2005 (Bukti P-1A) yang berisi sebagai berikut:

Sumber yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:

a. dana segar;

b. proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, dan/atau; d. aset-aset negara lainnya;

4. Bahwa apabila dimasukan dalam tabel persandingan, maka akan tampak perbedaan PP 44/2005 dengan PP 72/2016 sebagai berikut:

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(13)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 13 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Pasal 2 ayat (2) PP 44/2005 Pasal 2 ayat (2) PP 72/2016

Sumber yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:

a. dana segar;

b. proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau d. aset-aset negara lainnya.

Sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa a. dana segar;

b. barang milik negara;

c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; d. saham milik negara pada

BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau

e. aset negara lainnya.

5. Bahwa dengan perubahan tersebut telah terdapat perubahan isi Pasal 2 ayat (2) huruf b, yang sebelumnya di PP 44/2005 berbunyi “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” dihapus dan diubah menjadi berbunyi “barang milik negara”; 6. Bahwa perubahan Pasal 2 ayat (2) huruf b dengan menghapus isi

huruf b “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” dan mengganti dengan “barang milik negara” bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU BUMN yang berbunyi sebagai berikut:

Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. kapitalisasi cadangan;

c. sumber lainnya; Penjelasan huruf a;

Termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yaitu meliputi pula proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara;

7. Bahwa UU BUMN telah menyatakan bahwa “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(14)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 14 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

merupakan bagian dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN, namun dalam PP 72/2016 dihapus dan digantikan dengan frasa “barang milik negara”. Hal ini merupakan pelanggaran berupa penghapusan dan perubahan norma yang ada di UU BUMN melalui PP 72/2016, sehingga jelas ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72/2016 bertentangan dengan UU BUMN sepajang tidak dimaknai “Proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”;

8. Bahwa dengan dihapusnya ketentuan huruf b atau tidak dicantumkannya ketentuan “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” yang digantikan dengan frasa “Barang Milik Negara” akan memiliki risiko terbukanya mekanisme pencucian aset negara menjadi aset badan usaha lain karena terdapat degradasi dalam proses maupun pengawasannya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada saat suatu barang masih berstatus sebagai Barang Milik Negara, maka pemindahtanganannya memerlukan persetujuan DPR RI atau Menteri Keuangan sesuai dengan batas kewenangannya (vide Pasal 4 ayat (2) huruf d dan g Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Bukti P-11). Namun, apabila Barang Milik Negara tersebut dijadikan penyertaan modal pada BUMN, maka akan bertransformasi menjadi aktiva/aset dari BUMN. Selanjutnya, apabila dikemudian hari akan dilakukan pemindahtanganan barang milik negara tersebut yang telah menjadi barang milik BUMN ke badan usaha lain, maka persetujuan untuk pemindahtanganan aktiva/aset BUMN cukup dengan persetujuan RUPS/Menteri atau Dewan Komisaris (vide Pasal 25 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN (Bukti P-12);

9. Bahwa dari penjelasan tersebut di atas, tampak jelas telah terjadi degradasi dalam proses persetujuan untuk pemindahtanganan suatu Barang Milik Negara yang bertransformasi menjadi aktiva/aset BUMN sebagai akibat penyertaan modal pemerintah, yang sebelumnya saat masih status “Barang Milik Negara” pemindahtanganannya harus melalui persetujuan Menteri Keuangan dan DPR RI, namun saat sudah berubah menjadi “Barang Milik

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(15)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 15 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

BUMN” pemindahtanganannya cukup melalui RUPS atau persetujuan Dewan Komisaris BUMN tersebut;

10. Bahwa karena terjadi degradasi dalam proses persetujuan pemindahtangan atau pelepasan “barang Milik Negara”, akibat dari transformasi Barang Milik Negara menjadi aktiva/aset BUMN karena penyertaan modal negara, maka memiliki risiko dan berpotensi terbukanya mekanisme pencucian aset negara tanpa mekanisme pengawasan DPR RI atau Menteri Keuangan (sesuai dengan batasan yang menjadi kewenangannya);

11. Bahwa dengan perubahan isi Pasal 2 ayat (2) huruf b PP 72/206 a quo, yang tidak lagi mencantumkan “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”, maka perjanjian penerusan pinjaman yang diperoleh negara/pemerintah dari lembaga-lembaga donor (skema konversi two step loan atau subsidiary loan agreement) yang selama ini kerap dilakukan untuk pembangunan infrastruktur (seperti dari Japan Bank for International Corporation/JBIC, Asian Development Bank/ADB, International Bank for Reconstruction and Development/IBRD), yang umumnya memberikan pinjaman lunak dan dengan bunga rendah tidak dapat lagi dilakukan;

Kalaupun toh dapat dilakukan, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN tersebut harus berwujud dahulu dan menjadi Barang Milik Negara baru kemudian dapat dilakukan penyertaan modal negara kepada BUMN yang bersangkutan dan hal ini akan memperpanjang proses dan birokrasi;

12. Bahwa penghapusan kalimat “proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” yang digantikan dengan frasa “Barang Milik Negara” tidak sesuai dengan norma yang ada di UU BUMN, karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada dalam Undang-Undang. Hal ini juga ditegaskan oleh Prof. Dr. A. Hamid Attamimi (dalam Maria Farida Indriati S. Ilmu Perundang-undangan; Jenis, fungsi, dan materi muatan, Kanisius. 1996, hal. 45), yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan atau yang menjadi dasar pembentukkannya. Dengan demikian cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf b PP

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(16)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 16 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

72/2016 bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU BUMN;

II. Pasal 2A ayat (1) dan ayat (2) PP 72/2016 bertentangan dengan UU Pembentukan PUU, UU Keuangan Negara, dan UU BUMN;

1. Bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 berbunyi sebagai berikut: “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”;

Bagian Penjelasan:

Saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas pada hakekatnya merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga pengalihan saham dimaksud untuk dijadikan penyertaan pada BUMN atau Perseroan Terbatas tidak dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (Bukti P-1);

Terdapat Pertentangan Antar Pasal dalam PP 72/2016 (Pasal 2A Ayat (1) Bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (2));

2. Bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 a quo merujuk atau merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal sebelumnya, yaitu Pasal 2 ayat (2) PP yang sama yang berbunyi sebagai berikut:

“Sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa:

a. dana segar;

b. barang milik negara;

c. piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas;

d. saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, dan/atau;

e. aset negara lainnya”;

Dari kutipan isi pasal/ayat di atas, dapat dijelaskan bahwa ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) huruf d “saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas” merupakan rincian dari sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diantaranya adalah saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(17)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 17 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Jadi jelas bahwa apabila menurut Pasal 2 ayat (2) “saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas” merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

Namun, dalam Pasal 2A ayat (1) di PP yang sama diatur tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jadi dengan sendirinya ketentuan dalam Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) di PP yang sama;

Bagaimana mungkin sesuatu yang merupakan bagian atau rincian dari APBN, tetapi di pasal berikutnya diatur tidak melalui mekanisme APBN? Dari uraian di atas telah jelas terdapat pertentangan antar pasal/ketentuan dalam PP 72/2016;

3. Bahwa pertentangan isi atau ketidaksesuaian pasal satu dengan yang lainnya dalam sebuah peraturan perundang-undangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan UU Pembentukan PUU (Bukti P-4) karena melanggar “Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik”, yaitu: “kejelasan rumusan” (Pasal 5) dan melanggar “asas ketertiban dan kepastian hukum” (Pasal 6). Berdasarkan hal tersebut, maka ketidaksesuaian/pertentangan antara Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 dengan Pasal 2 ayat (2) di PP yang sama merupakan pelanggaran dan bertentangan dengan UU Pembentukan PUU;

Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 Bertentangan dengan UU Keuangan Negara;

4. Bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 yang lengkapnya berbunyi “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” bertentangan dengan UU Keuangan Negara. (Bukti P-3);

5. Bahwa ketentuan Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 tersebut di atas yang menyatakan bahwa “tanpa melalui mekanisme Anggaran dan Pendapatan Belanaja Negara” bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara yang menyatakan “Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD”;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(18)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 18 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

Berdasarkan ketentuan tersebut, penyertaan modal negara kepada BUMN mensyaratkan ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN. Dengan ditetapkan dalam APBN, maka melalui proses pembahasan dan memerlukan persetujuan DPR sesuai tahapan pembahasan RAPBN. Hal ini juga telah pernah ditegaskan oleh Pemerintah sesuai dengan Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 (hal. 112) [Bukti P-9] yang menyatakan “…tujuan negara melakukan pemisahan kekayaan negara adalah untuk menempatkan kekayaan negara sehingga dapat dikelola secara korporasi yang nantinya menjadi salah satu upaya yang dapat menjaga potensi penerimaan yang telah menjadi hak negara sehingga menghasilkan manfaat bagi peningkatan perekonomian negara serta meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat. Proses terhadap pelaksanaan hal tersebut harus mendapat persetujuan dari seluruh rakyat Indonesia yang terwakili melalui persetujuan DPR, sehingga pemisahan kekayaan negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara telah mewakili semangat pengelolaan APBN dan distribusi keuangan negara yang efisien sehingga dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;

Pada saat Pemerintah melakukan investasi berupa Penyertaan Modal Negara kepada perusahaan negara, keputusan investasi tersebut harus melalui persetujuan DPR RI yang merupakan representasi dari rakyat dan alokasinya tercantum dalam UU APBN serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, begitu pula dengan divestasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah;

6. Bahwa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas pada hakekatnya merupakan kekayaan negara/keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 menyatakan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Lebih lanjut dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara menyatakan “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(19)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 19 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”. Jadi berdasarkan ketentuan dalam UU Keuangan Negara kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN merupakan keuangan negara, sehingga kebijakan dan perlakuanya harus melalui mekanisme APBN;

7. Bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas harus melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini juga telah dijelaskan oleh Pemerintah sesuai dengan Keterangan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 (hal. 88-89 dan 108) (Bukti P-10) yang menyatakan “Pada saat Pemerintah melakukan investasi berupa Penyertaan Modal Negara kepada perusahaan negara, keputusan investasi tersebut harus melalui persetujuan DPR RI yang merupakan representasi dari rakyat dan alokasinya tercantum dalam UU APBN serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, begitu pula dengan divestasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah”;

Masih dalam Putusan yang sama di bagian yang berbeda (hal. 105), Pemerintah kembali menegaskan tentang keharusan dilakukan proses dengan DPR sebagaimana dinyatakan “Dikarenakan sub bidang fiskal-moneter dan kekayaan negara yang dipisahkan berkaitan dengan hak dan kewajiban negara, maka keuangan negara tersebut harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan cara pengelolaan keuangan negara di mana harus dibicarakan dan diawasi oleh representasi rakyat”;

Dari uraian tersebut di atas, maka jelas bahwa ketentuan Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan Keterangan Pemerintah sendiri yang telah disampaikannya dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk menyatakan Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan UU Keuangan Negara;

Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 Mengkerdilkan Fungsi DPR RI dan Bertentangan dengan Rekomendasi DPR RI;

8. Bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 yang menyatakan “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(20)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 20 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”, maka dengan sendirinya proses penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN tidak melalui proses pembahasan dan persetujuan DPR RI sebagai lembaga representasi rakyat;

Jadi ketentuan a quo yang menyatakan “…tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” telah dengan jelas menghilangkan peran dan fungsi DPR RI;

9. Bahwa dengan adanya Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016, secara nyata telah mengkerdilkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai lembaga representasi rakyat in casu para Pemohon dan rakyat Indonesia, baik pada tataran pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran maupun fungsi pengawasan;

10. Bahwa terkait dengan penyertaan modal negara di BUMN a quo, DPR RI pada tahun 2014 juga telah menyampaikan rekomendasi sesuai hasil Panitia Kerja (Panja) Aset Komisi VI DPR RI sebagaimana surat Nomor No.AG/09727/DPR RI/IX/2014 tanggal 30 September 2014 (Bukti P-13) yang berisi sebagai berikut:

a. Panja Aset BUMN Komisi VI DPR RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk menghentikan proses penjualan/ pelepasan/ pemindahtanganan dan KSO aset BUMN serta pendirian anak perusahaan BUMN yang tidak sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas;

b. Panja Aset BUMN Komisi VI DPR RI merekomendasikan kepada Kementerian BUMN untuk menghentikan pembentukan holding BUMN yang berpotensi untuk menghilangkan BUMN dan mengakibatkan terbentuknya anak perusahaan yang berasal dari induk BUMN (Persero);

Dari hasil Panja Aset BUMN Komisi VI DPR RI tersebut, jelas bahwa Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 telah mengkerdilkan fungsi DPR RI

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(21)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 21 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

dan juga telah tidak mengindahkan rekomendasi DPR RI; Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 Bertentangan dengan UU BUMN;

11. Bahwa Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 yang lengkapnya berbunyi “Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”. Ketentuan dalam ayat ini melanggar Pasal 1 angka 1 UU BUMN (Bukti P-2), yang menyatakan “BUMN adalah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Oleh karena menjadi anak perusahaan dan sahamnya tidak dimiliki oleh negara, sebuah BUMN yang sebelumnya “berstatus BUMN” menjadi “tidak berstatus BUMN” karena saham milik negara dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain. Konsekuensinya, BUMN tersebut tidak lagi berstatus sebagai BUMN namun berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) biasa yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;

12. Bahwa Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 menunjukkan bahwa akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Melalui ketentuan ini berarti telah terjadi penghilangan BUMN atau terjadi “privatisasi model baru” karena terjadi transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan tanpa persetujuan DPR RI. Perlu ditegaskan bahwa sesuai UU BUMN anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN, sehingga Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 merupakan ketentuan yang melegitimasi penghilangan BUMN atau privatisasi yang bertentangan dengan undang-undang, oleh karena itu cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 2A ayat (2) PP 72/2016 bertentangan dengan UU BUMN;

III. Pasal 2A ayat (6) PP 72/2016 bertentangan dengan UU BUMN;

1. Bahwa Pasal 2A ayat (6) menyatakan “anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepemilikan sebagian besar

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(22)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 22 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

saham tetap dimiliki oleh BUMN lain tersebut”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa definisi dari “sebagian besar” adalah 50% + 1 sampai dengan 100%. Pada saat saham tersebut masih dimiliki oleh negara, maka pengalihan 1 lembar saham negara harus dengan persetujuan DPR. Namun, apabila saham yang semula dimiliki oleh negara tersebut bertransformasi menjadi saham milik BUMN induknya, maka pengalihan atas sisa saham dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme korporasi sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal apabila dilakukan diluar mekanisme pasar modal sepanjang masih memenuhi klasifikasi sebagian besar dimiliki oleh BUMN induknya;

Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada diagram di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Gambar Kiri:

- Terdapat BUMN A yang sahamnya dimiliki oleh negara (51-100%) dan publik (0-49%);

- Terdapat BUMN B yang sahamnya dimiliki oleh negara (70%) dan publik (30%);

- Saham milik negara di BUMN B (70%) diinbrengkan ke BUMN A; Gambar Tengah:

- maka jadinya saham negara di BUMN B dimiliki oleh BUMN A dan BUMN B menjadi PT B (sudah bukan BUMN - Privatisasi Jilid I), sementara itu publik masih tetap memiliki saham (30%) di PT B; Gambar Kanan:

- BUMN A dapat melakukan pengalihan saham yang semula milik negara kepada PT C (maksimal 19%, agar tetap BUMN A memiliki

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

(23)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 23 dari 43 halaman. Putusan Nomor 21 P/HUM/2017

minimal 51%), yang selanjutnya PT C akan menjadi pemegang saham PT B (d/h BUMN B - Privatisasi Jilid II);

Dari Gambar Kanan di atas, Pasal 2A ayat (6) PP 72/2016 memperbolehkan BUMN A untuk melepas atau menjual saham PT B kepada PT C sampai paling banyak 19 % karena BUMN A masih memiliki sisa sebagian besar/mayoritas saham pada anak perusahaan BUMN (PT B) yaitu sebesar 51%;

2. Bahwa dari gambaran dan penjelasan tersebut di atas, tampak dengan jelas ketentuan Pasal 2A ayat (6) PP 72/2016 menimbulkan konsekuensi dapat dilakukannya Privatisasi Jilid II atau penjualan kembali saham BUMN yang telah menjadi anak perusahaan yang prosedurnya cukup melalui mekanisme RUPS dan tanpa memerlukan persetujuan DPR, dengan demikian cukup beralasan apabila Pasal 2A ayat (6) PP 72/2016 dinyatakan bertentangan dengan UU BUMN;

IV. Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 bertentangan dengan UU BUMN; 1. Bahwa Pasal 2 ayat (7) PP 72/2016 yang menyatakan:

“Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:

a. mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum, dan/atau;

b. mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN”; Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 66 ayat (1) UU BUMN (Bukti P-2) menyatakan “Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”. Artinya, hanya BUMN yang dapat diberikan penugasan khusus oleh Pemerintah;

2. Bahwa Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha dengan sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya menyamakan anak perusahaan yang notabene bukan BUMN dipersamakan dengan BUMN merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN;

3. Bahwa BUMN dapat saja memiliki tugas tertentu dan diberikan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Gambar

Gambar Tengah:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Sidik Ragam Kajian Konsentrasi dan Lama Perendaman Stek Pucuk Jati Dalam Larutan Rootone-F Terhadap Rata-rata Bobot Kering Tunas ... Kajian Konsentrasi dan Lama Perendaman

Apabila dalam rentang 3 menit saat mobil dinyalakan dan sensor limit switch mendeteksi adanya tekanan di kursi, maka sebuah sensor yang berfungsi untuk mendeteksi temperatur

ethical knowledge to create responsible communication methods.The students who take this program will receive. Bachelor Degree upon completing their study in

to prepare students for a career as a Market Researcher or Database Designer who be able to analyze any kind of. data that emerge in databases to extract information, it also

University to provide students with knowledge and skills to develop and create a variety of applied technology in the.. field of

Tidak sedang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah atau sedang dalam proses pengangkatan sebagai Kepala Sekolah atau sedang dalam transisi alih tugas

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus diikuti oleh mahasiswa program pendidikan Universitas Negeri Semarang sebagai program

Berani mengambil resiko terlihat mengundurkan diri dari pekerjaanya di kantor dan memilih mendirikan usaha sendiri serta mendirikan usaha yang sama dengan toko yang ada di