• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa, negara, dan tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa, negara, dan tanah"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Pendidikan

Jika berbicara tentang pendidikan umum, maka harus disadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat menyediakan atau menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan bangsa, negara, dan tanah air. Apabila negara, bangsa dan tanah air membutuhkan tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang pembangunan, maka segenap proses pedidikan termasuk pula sistem pendidikannya harus ditujukan atau diarahkan pada kepentingan pembangunan masa sekarang dan masa-masa selanjutnya.

Branata (1988) dalam Purwanto (2002: 63) mengungkapkan bahwa Pendidikan ialah usaha yang sengaja diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendapat di atas seajalan dengan pendapat Purwanto (2002: 11) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.

Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Pendidikan bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus dapat meramalkan berbagai jenis

(2)

keterampilan dan kemahiran yang akan datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat dikuasai oleh anak didik.

Pendidikan merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai. Dilihat dari sudut perkembangan yang dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.

Kleis (1974) dalam Purwanto (2002: 81) memberikan batasan umum bahwa :

”Pendidikan adalah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami seseuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya”.

Proses belajar akan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif (penalaran, penafsiran, pemahaman, dan penerapan informasi), peningkatan kompetensi (keterampilan intelektual dan sosial), serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan dan perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespons sesuatu rangsangan (stimulasi). Orang yakin dan percaya

(3)

untuk menanggulangi kemiskinan, cara utama adalah dengan memperbesar jumlah penduduk yang bersekolah dan terdidik dengan baik. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai jalan menuju kemakmuran.

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Dia sangat membutuhkan bantuan yang penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, terutama ibunya, supaya dia dapat hidup terus dengan sempurna, jasmani dan rohani. Orang tualah yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Dalam ilmu jiwa dikenal dengan istilah pertumbuhan dan perkembangan, yaitu supaya anak sempurna dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Pertumbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada jasmani; bertambah besar dan tinggi. Perkembangan lebih luas dari pertumbuhan ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada rohani dan jasmaniah. Dengan kata lain, perkembangan merupakan suatu rentetan perubahan yang sifatnya menyeluruh dalam interaksi anak dan lingkungannya. Menurut Idris (1982: 10) :

”Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa dengan si anak didik yang secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Potensi disini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan, dan keterampilan.”

B. Tujuan Pendidikan

Telah diketahui bersama bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan tergantung kepada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pada pernyataan ini, maka perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan barulah kemudian

(4)

menyusun suatu program kegiatan yang objektif sehingga segala energi dan kemungkinan biaya yang berlimpah tidak akan terbuang sia-sia.

GBHN tahun 1999 mencantumkan tentang tujuan Pendidikan Nasional: ”Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”

Selanjutnya tujuan Pendidikan Nasional tercantum dalan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang menyatakan:

”Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

Pernyataan-pernyataan di atas tampak jelas bahwa pendidikan harus mampu membentuk atau menciptakan tenaga-tenaga yang dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam proses perkembangan, karena pembangunan merupakan proses perkembangan, yaitu suatu proses perubahan yang meningkat dan dinamis. Ini berarti bahwa membangun hanya dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang berjiwa pembangunan, yaitu manusia yang dapat menunjang pembangunan bangsa dalam arti luas, baik material, spriritual serta sosial budaya.

Sejarah pendidikan kita dapat menerapkan perkembangan pendidikan dan usaha-usaha perwujudannya sebagai suatu cita-cita bangsa dan negara, masyarakat atau masa dan memberikan ciri khas pelaksanaan pendidikannya. Setiap tindakan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses menuju kepada tujuan tertentu. Tujuan ini telah ditentukan oleh mssyarakat pada waktu dan tempat tertentu

(5)

dengan latar belakang berbagai macam faktor seperti sejarah, tradisi, kebiasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, politik dan kemauan bangsa.

Berdasarkan faktor-faktor ini UNESCO telah memberikan suatu deskripsi tentang tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk Indonesia sendiri tujuan itu telah ditetapkan dalam ketetapan MPR.

Pertama, UNESCO menggarisbawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju humanisme ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak ide tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata. Manusia harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat yang tidak boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem pendidikan adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.

Kedua, pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan harus membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan aktual oleh pendidikan. Semangat kreatif, non konformis dan ingin tahu, menonjol dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa nilai-nilai itu sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin merombaknya. Di sini pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan kreativitas, atau sebaliknya mematikan kreativitas.

(6)

Ketiga, tujuan pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial. Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan amsyarakat secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Di sini seorang individu merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain bukan sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit dengan segala dimensi kehidupannya.

Keempat, tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya, serta kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan tercapai apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti dimensi fisik, intelektual, emosional, dan etis. Proses ini berlangsung seumur hidup. Jadi konkritnya pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi, karena itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara memimpin pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri, bertanggung jawab dan berbuat sendiri” (UNESCO, 2005: 87).

(7)

C. Jalur Pendidikan

Tuntutan masyarakat akan kebutuhan pendidikan membuat pendidikan terus berkembang sejalan dengan pembangunan nasional. Pendidikan menjadi kunci kemajuan dan keberhasilan dari suatu pembangunan sebuah negara. Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan maka di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 terdapat jalur pendidikan yang di dalamnya terdapat pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal disebut pula sistem pendidikan sekolah. Pendidikan nonformal dan informal disebut pula sistem Pendidikan Luar Sekolah.

Untuk lebih membedakan ketiga jenis satuan pendidikan di atas maka harus ada kriteria yang lebih umum untuk dapat membedakan ketiganya. Oleh karena itu Coombs (1973: 87) membedakan pengertian pendidikan sebagai berikut:

”Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dengan Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk di dalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus”.

Walaupun masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, namun kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina seseorang dalam menghadapi masa depannya.

”Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga,

(8)

hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media masa”

Walaupun demikian, pengaruhnya sangatlah besar dalam kehidupan seseorang, karena dalam kebanyakan masyarakat pendidikan informal berperan penting melalui keluarga, masyarakat, dan pengusaha. Pendidikan dalam keluarga adalah yang pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang kebanyakan berada dalam rumah tangga dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Sampai umur tiga tahun seseorang akan selalu berada di rumah tangga. Pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang, psikiater, kalau menemui suatu penyimpangan dalam kehidupan seseorang, akan mencari sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak orang itu. Coombs dalam Sudjana (2001: 22) :

”Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.

Bagi masyarakat Indonesia, yang masih banyak dipengaruhi proses belajar tradisional, pendidikan nonformal akan merupakan cara yang mudah sesuai dengan daya tangkap rakyat, dan mendorong rakyat menjadi belajar, sebab pemberian pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan kebutuhan para peserta didik.

Ketiga pengertian di atas dapat digunakan untuk membedakan karakteristik dari setiap jalur pendidikan. Namun, Axinn (1974) dalam Sudjana (2002: 67) membuat penggolongan program-program kegiatan termasuk ke dalam pendidikan formal, nonformal dan informal dengan menggunakan kriteria ada atau tidak adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yang berkomunikasi, yaitu

(9)

pihak pendidikan (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta didik (siswa atau warga belajar).

Kegiatan yang ditandai adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yaitu pihak pendidik yang sengaja membelajarkan peserta didik, dan peserta didik yang sengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari pendidik, maka kegiatan tersebut digolongkan ke dalam pendidikan formal atau pendidikan informal. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari pihak pendidik untuk membantu peserta didik guna memperoleh pengalaman, sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu dengan bantuan pendidik, maka kegiatan ini termasuk ke dalam pendidikan informal. Demikian pula apabila hanya pihak peserta didik yang bersengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan seorang pendidik sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu peserta didik tersebut, maka kegiatan ini tergolong pula ke dalam pendidikan informal. Namun apabila suatu peristiwa belajar terjadi tanpa kesengajaan dari pihak pendidik dan pihak peserta didik maka kegiatan ini digolongkan pada pembelajaran secara kebetulan.

1. Konsep Pendidikan Luar Sekolah a. Definisi Pendidikan Luar Sekolah

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 mencantumkan bahwa :

“Sistem pendidikan nasional merupakan sistem terencana yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan

(10)

yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Pancasila”.

Untuk melaksanakan Sistem Pendidikan Nasional, telah dibentuk subsistem pendidikan sekolah dan subsistem pendidikan luar sekolah. Kedua sistem pendidikan tersebut memiliki kedudukan yang sama dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu dari Sistem Pendidikan Nasional. Ruang lingkupnya sangat luas dan kompleks. Agar lebih memudahkan dan memahami pengertian mengenai Pendidikan Luar Sekolah, berikut ini adalah definisi yang diberikan oleh salah satu ahli Pendidikan Luar Sekolah, yaitu Sudjana (1991: 7), memberikan batasan mengenai Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :

”Setiap usaha pendidikan dalam arti luas yang padanya terdapat komunikasi yang teratur dan terarah, diselenggarakan di luar sekolah sehingga seseorang atau sekelompok orang memperoleh informasi tentang pengetahuan, latihan dan bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai yang memungkinkan baginya untuk menjadi peserta yang lebih efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaannya, lingkungan masyarakat dan bahkan lingkungan negara.

Adapun menurut Napitupulu (1981) dalam Sudjana (2001: 49) memberi batasan bahwa :

”Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasi potensi manusia (sikap, tindak, dan karya) sehingga dapat terwujud manusia seutuhnya yang gemar belajar-mengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.”

(11)

Selanjutnya dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.73 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dikemukakan bahwa “Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan atau tidak”. Selanjutnya Coombs dalam Sudjana (2001: 22), mengemukakan pengertian Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :

“Pendidikan Non Formal ialah setiap kegiatan terorganisir dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan Pendidikan Luar Sekolah dilakukan secara terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri atau pun merupakan bagian pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya.

Fungsi Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem Pendidikan Nasional adalah sebagai berikut :

a). Mengembangkan nilai-nilai rohani dan jasmaniah peserta didik (warga belajar) atas dasar potensi-potensi yang dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat juang, loyal, serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan negara.

(12)

b). Untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa peserta didik agar mereka mampu memahami lingkungan, bertindak kreatif dan dapat mengaktualisasikan diri.

c). Untuk membantu peserta didik dalam membentuk dan menafsirkan pengalaman mereka, mengembangkan kerjasama, dan pastisipasi aktif mereka dalam memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan masyarakat.

d). Untuk mengembangkan cara berfikir dan bertindak kritis terhadap dan di dalam lingkungannya, serta untuk memiliki kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam bentuknya yang paling sederhana, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi penghidupan dan kehidupan dirinya dan masyarakat. e). Untuk mengembangkan sikap moral, tanggung jawab sosial,

pelestarian nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri peserta didik dalam perubahan masyarakat dengan berorientasi ke masa depan.

b. Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem nilai dari Pendidikan Nasional mempunyai nilai yang berbeda dengan pendidikan sekolah. Menurut model Paulston dalam Sudjana (2001: 30-33) mencantumkan ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Berikut :

(13)

1). Jangka pendek dan khusus, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang berfungsi bagi kehidupan masa kini dan masa depan.

2). Kurang menekankan pentingnya ijazah, hasil belajar, berijazah atau tidak, dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan pekerjaan atau di masyarakat.

3). Ganjaran diperoleh selama proses dan akhir program, dalam bentuk benda yang diproduksi, pendapatan, keterampilan.

b. Dari segi waktu

1). Relatif singkat, jarang lebih dari satu tahun, pada umumnya kurang dari setahun, lamanya tergantung pada kebutuhan belajar peserta didik, persyaratan untuk mengikuti program ialah kebutuhan, minat, dan kesempatan waktu para peserta.

2). Menekankan masa sekarang dan masa depan. Memusatkan layanan untuk memenuhi kebutuhan terasa peserta didik guna meningkatkan kemampuan sosial ekonominya dalam waktu bebas. Menggunakan waktu tidak penuh dan tidak terus menerus, waktu ditetapkan dengan berbagai cara sesuai dengan kesempatan peserta didik, serta memungkinkan untuk melakukan kegiatan belajar sambil bekerja atau berusaha.

(14)

1). Kurikulum berpusat pada kepentingan peserta didik, kurikulum bermacam ragam atas dasar perbedaan kebutuhan belajar peserta didik.

2). Mengutamakan aplikasi, kurikulum lebih menekankan keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungan. 3). Persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik, karena

program diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mengembangkan kemampuan potensial peserta didik maka kualifikasi pendidikan formal dan kemampuan baca tulis sering menjadi persyaratan umum.

d. Dari segi proses belajar mengajar

1). Dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, kegiatan belajar dilakukan di berbagai lingkungan (masyarakat, tempat bekerja) atau disatuan Pendidikan Luar Sekolah (sanggar kegiatan belajar) pusat pelatihan dan sebagainya.

2). Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, pada waktu mengikuti program, peserta berada dalam dunia kehidupan dan pekerjaannya, lingkungan dihubungkan secara fungsional dengan kegiatan belajar.

3). Struktur program yang fleksibel, program belajar yang bermacam ragam dalam jenis dan urutannya. Pengembangan kegiatan dapat dilakukan sewaktu program sedang berjalan.

(15)

4). Berpusat pada peserta didik, kegiatan belajar dapat menggunakan sumber belajar dari berbagai keahlian dan juru didik. Peserta didik menjadi sumber belajar, lebih menitikberatkan kegiatan membelajarkan peserta didik dari pada mengajar.

5). Penghematan sumber-sumber yang tersedia, memanfaatkan tenaga dan sarana yang terdapat di masyarakat dan lingkungan kerja untuk menghemat biaya.

e. Dari segi pengendalian program

1). Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik, pengendalian tidak terpusat, koordinasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, otonomi terdapat pada tingkat program dan daerah dan menekankan pada inisiatif dan partisipasi di tingkat daerah.

2). Pendekatan demokratis, hubungan antara pendidik dan peserta didik bercorak hubungan sejajar atas dasar kefungsian. Pembinaan program dilakukan secara demoktratis antara pendidika, peserta didik dan pihak lain yang berpartisipasi.

c. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam kualitas dan potensi dirinya melalui pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, hal ini sebagaimana dikemukakan Seameo dalam Sudjana (2001: 47) sebagai berikut :

(16)

“Tujuan Pendidikan Luar Sekolah adalah untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat, dan bahkan negaranya”.

Dengan demikian pendidikan luar sekolah tidak hanya membekali warga belajarnya dengan sejumlah kemampuan (pengetahuan, sikap, dan lain-lain) melainkan juga mempersiapkan warga belajarnya untuk menjadi sumber daya manusia yang mampu mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya di tengah masyarakat. Namun demikian PLS juga mengutamakan pelayanan kebutuhan individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi mereka melalui proses pendidikan sepanjang hayat.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1991 bahwa pendidikan luar sekolah bertujuan :

a). Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.

b). Memenuhi warga belajar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,

c). Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.

(17)

2. Konsep Pengelolaan

Pengelolaan adalah sebuah kegiatan atau usaha yang dapat dipandang sebagai serangkaian proses perilaku seperti diungkapkan oleh Terry (1977: 4) bahwa: “Management is distinct process cinsisting of planning, organizing, actuating and controling, performed to determine and accomplish stated objektives by the use of human being and other resources”. (Pengelolaan adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya).

Menurut Atmosudirdjo, (1962: 179) pengertian pengelolaan dapat dipandang sebagai:

1. Orang-orang yang mempunyai fungsi atau kegiatan pokok sebagai pemimpin-pemimpin kerja.

2. Proses Adanya kegiatan-kegiatan yang berarah ke bawah, jadi berupa kerja untuk mencapai tujuan tertentu.

3. Sistem kekuasaan atau kewenangan supaya orang-orang mejalankan pekerjaannya.

Sarwoto, (1977: 134) bahwa: “Pengelolaan adalah satu proses kegiatan yang dengan memanfaatkan unsur-unsur „man‟, „money„, „material„ dan „method„ (4 M) secara efisien mencapai sesuatu tujuan tertentu”. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengelolaan dapat pula dipandang sebagai sistem kekuasaan dalam arti bahwa dalam pengelolaan terdapatnya pembagian tugas dan wewenang, terjadi proses pengaturan kerja. Seperti yang dikemukakan oleh Moekijat (1991: 6) bahwa “ … pengelola tidak melaksanakan sendiri kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional, melainkan

(18)

mengatur tindakan-tindakan pelaksanaan oleh sekelompok orang yang disebut bawahan”.

Berdasarkan beberapa pengertian pengelolaan tersebut, maka dalam hubungannya dengan pengelolaan pendidikan, dapat disimpulkan bahwa, pengelolaan mengandung tiga aspek, yaitu substansi, proses, dan „setting‟ atau konteks dimana proses pengelolaan itu berlangsung. Aspek substansi pengelolaan berkenaan dengan perangkat tugas pokok sistem pengelolaan dalam penyelenggaraan pendidikan yang komprehensif.

Pandangan filsafat menganggap bahwa pendidikan merupakan upaya menjadikan manusia sebagai manusia yang sesuai dengan fitrahnya. Upaya tersebut, bukan hanya sekedar dipandang dalam arti pengajaran (proses belajar-mengajar), akan tetapi suatu proses dimana manusia dapat belajar sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan harapannya. Dengan demikian, pengelolaan pendidikan merupakan upaya bagaimana menciptakan situasi masyarakat dan bangsa dapat belajar. Aspek proses, berkenaan dengan perangkat operasional sistem pengelolaan pendidikan yang menyangkut proses-proses operasional organisasi dan kepemimpinan. Bila dikaitkan dengan substansi pendidikan maka alasan-alasan mengapa pendidikan memerlukan proses organisasi dan kepemimpinan; Pertama, wawasan tentang kependidikan dan komponen-komponen yang tidak terdapat dalam substansi sistem manapun kecuali dalam sistem pendidikan. Kedua, administrasi pendidikan memfokuskan perhatian pada proses mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dan berperan sebagai

(19)

wahana penyediaan kemudahan (fasilitasi) bagi kepentingan proses tersebut. Ketiga, sistem pendidikan memiliki komponen bukan manusia yang khas berupa kurikulum (materi/bahan, metodelogi/teknologi pendidikan, media dan sumber belajar media serta alat/sarana pendidikan. Keempat, sistem pendidikan memiliki komponen manusia berupa pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Pengadaan, penempatan, pembinaan dan pengembangan (supervisi) tenga pendidik senantiasa bermuara pada keperluan pengembangan potensi peserta didik secara optimal. Kelima, hubungan pengelolaan antara pengelola dan personel atau orang yang dikelola berada dalam posisi yang sederajat. Keenam, efisiensi-efektivitas dan produktivitas pengelolaan kegiatannya memperhatikan harkat dan martabat manusia.

Kekhasan sistem tersebut, merupakan proses yang sangat berbeda dari proses pengelolaan lainnya. Dalam beberapa dari hal mungkin memiliki kesamaan dengan pengelolaan yang lain, bahkan mengadopsi dan atau mengadaptasi teori dan prinsip dari ilmu-ilmu lain, misalnya dari dunia bisnis, sosiologi dan psikologi, tetapi secara hakiki tetap berbeda dari sistem pengelolaan dan ilmu-ilmu lain tersebut.

Aspek setting, dalam wacana General System Theory berkenaan dengan perangakat pendukung sistem administrasi pendidikan, kontek lingkungan yang multi budaya (multicultural). Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan dan kompleksitas praktek pendidikan, menimbulkan pula kerumitan-kerumitan dalam proses pembelajaran. Keanekaragaman

(20)

setiap komponen dari sistem pendidikan memerlukan adanya wahana yang memungkinkan hasil pendidikan diperoleh dengan efektif, efisien, dan produktif, serta sesuai dengan yang dibutuhkan, diinginkan dan diharapkan oleh semua pihak.

Merujuk filosofi pendidikan yang berazaskan demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat, mau tidak mau, suka atau tidak suka, penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan haruslah lebih banyak diprakarsai, dilaksanakan, dikendalikan dan dievaluasi oleh masyarakat sesuai kebutuhan, keinginan dan harapan-harapan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pada tatanan organisasi Sistem Pendidikan Nasional, pengelolaan pendidikan pada jaman otonomi daerah, haruslah lebih banyak merujuk pada konsepsi Community Based Management (CBM). Sedangkan pada tatanan organisasi satuan pendidikan persekolahan haruslah merujuk pada konsepsi yang sejenis dengan apa yang disebut School Based Management (SBM).

Dalam hubungannya dengan istilah “pengelolaan“, pengelolaan dipandang sebagai kemampuan orang-orang, yakni semua orang yang mempunyai fungsi atau kegiatan pokoknya melaksanakan tugas-tugas pengelolaan. Pengelola memiliki tugas untuk melaksanakan semua kegiatan yang dibebankan organisasi padanya.

Sebagaimana dalam Webster‟s New World Dictionary dijelaskan bahwa : “manager-a person who manages the affairs of a business,

(21)

institution, team, etc” (pengelola adalah seseorang yang memimpin semua hal dari suatu pendidikan, badan atau lembaga, tim, dan sebagainya).

Apabila pengelolaan dapat dipandang sebagai serangkaian proses pengelolaan, yang menggunakan fungsi-fungsi pengelolaan, maka pengelolaan dapat pula dipandang sebagai kemampuan orang dalam melakukan proses-proses yang mengacu pada efisiensi dan efektivitas proses kegiatan.

Penerapan pengelolaan bagi suatu organisasi khususnya pada organisasi kependidikan sangat ditentukan oleh struktur hirarki organisasi yang berlaku. Pada kasus organisasi kependidikan di Indonesia mempunyai struktur hirarki yang panjang dan bertingkat (stratum) dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan, sampai ke tingkat kelembagaan (PKBM). Dan terminologi pengelolaan bila dipandang dari hirarki sistem dikenal pula sebutan pengelolaan puncak (top management), pengelolaan tingkat menengah (midle management), dan pengelolaan tingkat bawah (lower management).

Secara operasional pengelolaan pendidikan dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang rasional terhadap masalah-masalah pendidikan, dan aktivitas itu itu dilakukan secara bertahap melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi, serta ahirnya dilaksanakan dengan penuh kebijakan. Ditinjau dari bentuk keorganisasian pengelolaan sistem pendidikan sebagaimana dipaparkan di muka, maka ruang lingkup substansi pengelolaan pendidikan dapat dibagi

(22)

pula ke dalam tingkat-tingkat seperti: tingkat makro, meso dan tingkat mikro. Dengan istilah yang lebih populer, pengelolaan makro adalah pada tingkat pusat (nasional), pengelolaan meso adalah pada tingkat propinsi, sedangkan pengelolaan mikro adalah pengelolaan pada tingkat kabupaten atau kelembagaan. Demarkasi dari pembagian tersebut sebenarnya lebih bersifat konstektual daripada bersifat konseptual dan teknikal (Soenarya, 1988: 1-2).

Fakry Gaffar (1997: 2) mengartikan visi sebagai “daya pandang yang jauh, mendalam dan luas yang merupakan daya fikir abstrak yang memiliki kekuatan amat dahsyat dan dapat menerobos segala batas-batas fisik, waktu, dan tempat”, karena itu, dalam pandangannya, visi adalah kunci energi manusia, kunci atribut pemimpin dan pembuat kebijaksanaan. Visi dipandang sebagai suatu inovasi dalam proses Pengelolaan Strategik, karena baru pada akhir-akhir ini disadari dan ditemukan bahwa visi itu amat dominan peranannnya dalam proses pembuatan keputusan termasuk dalam setiap pembuatan kebijakansaaan dan penyusunan strategi.

Dari sudut pandang Pengelolaan Strategik, visi, kebijaksanaan dan strategi diletakan dalam suatu kontinuun yang utuh. Oleh karena itu, keseluruhan analisis tidak terlepas dari pola fikir ini. Dalam konstruk berfikir ini maka kebijaksanaan dapat diberi arti sebagai seperangkat keputusan yang mendasar dan konprehensif yang dapat dijadikan pedoman dalam tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan strategi adalah infrastruktur yang menjabarkan kebijaksanaan dalam proses perilaku untuk mewujudkan dan merealisasikan visi menjadi suatu kenyataan. Visi,

(23)

kebijaksanaan dan strategi merupakan suatu kesatuan utuh yang diperlukan dalam mengembangkan organisasi pendidikan.

Organisasi pendidikan di Indonesia mengemban tujuan dan misi yang jelas dalam konteks pembangunan bangsa secara keseluruhan. Tujuan ini merupakan arah yang harus dijadikan kiprah oleh setiap pengelolaan pendidikan. Sedangkan misi adalah suatu tanggung jawab dan tugas yang diemban oleh organisasi pendidikan untuk diwujudkan, misalnya membina manusia Indonesia profesional yang beriman dan bertaqwa. Misi dan tujuan walaupun secara teoretik berbeda namun pada hakekatnya merupakan satu kesatuan. Tujuan dan misi ini diikat dan dilandasi oleh suatu norma, suatu keyakinan yang dijadikan pegangan dan dijadikan landasan perjuangan yang disebut nilai atau nilai. Nilai atau nilai ini membentuk landasan yang kokoh bagi tujuan dan misi organisasi pendidikan. Nilai, tujuan dan misi, muncul kepermukaan dari visi. Dengan kata lain nilai, tujuan dan misi pada hakekatnya adalah unsur-unsur yang berkaitan erat yang mempunyai fungsi yang tidak sama namun merupakan satu kesatuan yang utuh yang muncul keluar dari visi.

Pengelolaan Strategik yang akhir-akhir ini banyak menarik perhatian, dan memberikan analisis tentang keterkaitannya dengan visi. Samuel C. Cetro dan J. Paul Peter (1991: 34), memberikan defenisi Strategic Management sebagai berikut: “Strategic Management is a continous, interative process aimed at keeping the organization appropriately matched to its environment”. Dalam defenisi ini unsur berkelanjutan, berulang kembali

(24)

secara sikuensial dalam satu siklus, dan unsur kesepadanan dengan kebutuhan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, merupakan ciri utama dari konsep Strategic Management itu.

Definisi di atas diperjelas lebih jauh melalui konsep proses Strategic Management yang terdiri dari: 1) Menganalisis lingkungan, 2) Menentukan arah organisasi, 3) Merumuskan strategi , 4) Melaksanakan strategi, 5) Melakukan pengendalian Proses Strategic Management ini sikuensial secara logis dan sistematis. Mengkaji lingkungan, difokuskan kepada pemahaman terhadap kebutuhan dan aspirasi serta perubahan-perubahan yang berkembang dimasyarakat sebagai rujukan utama dalam menciptakan kesepadanan organisasi terhadap kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam merumuskan direction organisasi, yang menjadi fokus utamanya adalah menyusun misi dan objektif yang merupakan arah dan kiprah organisasi. Atas dasar kebutuhan yang berkembang di masyarakat, dan dengan misi dan objektif yang jelas, maka strategi organisasi dengan langkah-langkah implementasinya dapat dengan sistematis dibangun sebagai alternatif yang tepat untuk mewujudkan misi dan objektif itu. Kendali organisasi adalah langkah akhir dan diperlukan untuk menjamin bahwa strategi dan implementasinya itu berada pada jalur yang tepat, dan untuk menjamin bahwa kekeliruan, penyimpangan dan kelemahan dapat dihindari. Ini mengandung implikasi bahwa proses pengelolaan berjalan dengan efisien dan efektif.

Definisi dan uraian tentang proses Strategic Management di atas, tampaknya sederhana namun mengandung makna yang cukup mendasar dan

(25)

strategis, karena itu dunia bisnis dan industri berpendapat bahwa Strategic Management bagi mereka, dapat diandalkan karena memiliki fleksibilitas dan daya respons yang tinggi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat. Strategic Management dipandang sebagai suatu terobosan dari suatu proses evolusi managemen yang cukup panjang.

Dalam konsep Strategic Management di atas dimanakah peran dan posisi misi itu? jawabannya adalah: visi berada dalam defenisi Strategic Management itu sendiri. Tanpa visi, seorang manager akan sulit memahami apa yang terjadi di lingkungannnya dengan tajam dan tepat. Tanpa misi, visi, tujuan dan nilai yang diperlukan dalam mengembangkan arah atau kiprah organisasi tidak mungkin dirumuskan dengan tepat dan komprehensif. Strategi dengan implementasinya, sulit diterapkan tanpa merujuk kepada visi yang ada di dalam “organizational direction, mission, and objectives”.

Konsep manajemen atau pengelolaan yang umum dilakukan oleh instansi mengacu pada Planning – Organizing- Actuating – Controling (POAC) yang dikemukakan oleh G.R. Terry. Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi : (1) perencanaan (planning); (2) pengorganisasian (organizing); (3) pelaksanaan (actuating) dan (4) pengawasan (controling).

(26)

1). Perencanaan (planning)

Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa: “Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.”

Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan: (a) membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan; (b) membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; (c) memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran; (d) membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat; (e) memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; (f) memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi; (g)

(27)

membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; (h) meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan (i) menghemat waktu, usaha dan dana.

Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) dalam Winardi (2000:114) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu :

a. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) menggunakan kata-kata yang sederhana, (b) mempunyai sifat fleksibel, (c) mempunyai sifat stabilitas, (d) ada dalam perimbangan sumber daya, dan (e) meliputi semua tindakan yang diperlukan.

b. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal. c. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan

tegas.

Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995:72) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.

Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) dalam Winardi (2000: 132) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : (1) rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, (2) rencana strategis

(28)

merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan (3) rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.

Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya.

Pada bagian lain, T. Hani Handoko (1995: 78) memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:

1. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian pendidikan.

2. Pengembangan profil pendidikan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan pendidikan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya-sumber daya pendidikan yang tersedia. Profil pendidikan menunjukkan kesuksesan pendidikan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.

3. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu,

(29)

pendidikan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi pendidikan.

Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri.

2. Pengorganisasian (organizing)

Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1991) mengemukakan bahwa :

“Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”.

Lousie E. Boone dan David L. Kurtz (1984) mengartikan pengorganisasian: “… as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective”.

(30)

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya.

Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d) organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus fleksibel dan seimbang.

Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko (1995: 79) mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu : (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.

(31)

3. Pelaksanaan (actuating)

Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi.

Dalam hal ini, George R. Terry (1986) dalam Winardi (2000: 156) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran pendidikan dan sasaran anggota-anggota pendidikan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.

Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau

(32)

mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.

4. Pengawasan (controling)

Pengawasan (controling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) dalam Winardi (2000: 157) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans”.

Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995: 125) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa :

“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya pendidikan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan.”

Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai.

(33)

Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.

Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995:141) bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu : (a) penetapan standar pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; (c) pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan (e) pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan.

Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen.

Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya. Dengan

(34)

demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan.

3. Pengertian Kinerja

Kinerja pamong sangat penting bagi setiap organisasi. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran-sasaran strategis, diperlukan kemampuan untuk mengelola kinerja para pamongnya secara tepat. Dalam pengelolaan tersebut, harus selalu konsisten dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi, agar dapat mewujudkan keberhasilan jangka panjang. “An organization‟s long-term success in meeting its strategic objectives rests with its ability to manage employee performance and ensure that performance measures are consistent with the organization‟s needs”. (Mello, 2002: 298).

Dalam artian yang sempit, sejak abad ke-19 kata “kinerja” telah banyak terdapat dalam literatur ilmiah, Namun, menurut Neal dalam Winardi (2000:2-3), apabila memperhatikan buku-buku lama, terlihat bahwa huruf “P” dalam performance, hanya berarti “penmanship”. Penulisan semacam ini tidak muncul lagi sejak awal tahun 1950-an dalam ulasan-ulasan mengenai penilaian terhadap kinerja.

(35)

Menurut The Scribner – Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada, tahun 1979, “performance” berasal dari akar kata “to perform” yang mempunyai beberapa “entries” berikut:

a. To do or carry out; execute; b. To discharge or fulfill, as a vow; c. To portray, as a character in a play;

d. To render by the voice or a musical instrument; e. To execute or complete an undertaking;

f. To act a part in a play; g. To perform music;

h. To do what is expected of a person or machine. (Suyadi, 1999:1-2)

Berdasarkan uraian di atas, Suyadi (1999: 2) menyatakan bahwa arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Beberapa rumusan lain mengenai pengertian “kinerja”, sebagai terjemahan “performance” adalah sebagai berikut :

a. “Performance is the accomplishment of an employee or manager‟s assigned duties and the outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period”. (Harvey & Bowin, 1996: 140). b. “Performance is the end result of activity. Which measures to select to

assess performance depends on the organizational unit to be appraised and the objectives to be achieved”. (Wheelen & Hunger, 2004: 243). c. “Performance is the record of outcomes produced on specified job

functions or activities during a specified time period”. (Bernardin, 2003: 143).

d. “Performance is the end result of an activity”. (Robbins & Coulter, 2003: 554).

e. “Performance is the organization‟s ability to attain its goals by using resources in an efficient and effective manner”. (Daft, 2003: 10).

(36)

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian di atas, dapat disimpulkan secara singkat, sebagai berikut:

a. Kinerja adalah prestasi atas tugas-tugas yang diberikan kepada pamong atau pengelola;

b. Kinerja merupakan hasil yang dicapai atas kegiatan yang dilakukan selama waktu tertentu;

c. Kinerja merupakan kemampuan organisasi untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif.

Kinerja dalam pengertian ini, mengandung makna bahwa keberhasilan setiap organisasi mencapai tujuan, sangat ditentukan oleh kinerja para karyawannya. Demikian pula halnya dengan organisasi BPKB, keberhasilannya sangat ditentukan oleh Pamong Belajar sebagai subsistem BPKB dari sebuah sosial open system. Optimalisasi kinerja Pamong Belajar perlu didesain dalam kerangka kebijakan yang digariskan dalam administrasi pendidikan, sebagaimana telah diuraikan dalam sub-bab sebelumnya.

Kinerja Pamong Belajar merupakan fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Apabila kemampuan dan/atau motivasi seseorang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, maka akan berdampak negatif terhadap kinerjanya. “Employee performance is as a function (f) of the interaction of ability (A), and motivation (M), that is, performance = f (A x M). If either is inadequate, performance will be negatively affected” (Robbins, 2005: 192).

Berdasarkan pendapat tersebut, maka kemampuan, termasuk kecerdasan dan keterampilan, perlu dipertimbangkan di samping motivasi

(37)

pamong, apabila diharapkan akurasi ramalan terhadap kinerja pamong. “An individual‟s intelligence and skills (subsumed under the label ability) must be considered in addition to motivation if we are to be able to accurately explain and predict employee performance” (Robbins, 2005: 192).

Di samping kemampuan dan motivasi, kepada Pamong Belajar juga perlu diberi kesempatan untuk berkinerja sesuai dengan yang diharapkan. Karena, meskipun seorang pamong mempunyai motivasi dan kemampuan yang memadai, mungkin terdapat kendala-kendala yang merintanginya. “We need to add opportunity to perform (O) to our equation : performance = f (A x M x O). Even though an individual may be willing and able, there may be obstacles that constrain performance” (Robbins, 2005: 192).

Searah dengan kutipan-kutipan di atas, Rivai dan Fawzi (2005: 15-17) menyatakan bahwa, kinerja adalah kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya atas hasil yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun), dimana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pamongan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya pencapaian tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral dan etika.

Sesuai dengan uraian di atas, Sutermeister juga menyatakan bahwa unsur esensial bagi kinerja yang baik adalah kemampuan dan motivasi. Both

(38)

ability and motivation are essential ingredients to good employee performance Sutermeister, (1976: 11). Sedangkan motivasi sangat ditentukan oleh komitmennya terhadap organisasi serta kepribadian masing-masing Pamong Belajar. “A committed employee perceives the value and importance of integrating individual and organizational goals”. (Gibson, Ivancevich & Donnelly, 1997: 186). Perasaan tersebut sangat tergantung pada kepribadian setiap individu. “Each major theoretical approach improves our understanding of personality”. “Each approach attempts to highlight the unique qualities of an individual that influence her behavior patterns”. (Gibson, Ivancevich & Donnelly, 1997: 113)”. “Personal characteristics include personality actors (attitudes), aptitudes, or physical or mental traits needed to perform the job”. (Bernardin, 2003: 56) dalam Winardi (2000: 155).

Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara kemampuan, komitmen dan kepribadian dengan kinerja yang ditampilkan seseorang. Hubungan tersebut relevan juga bagi pamong, artinya, terdapat hubungan erat antara kinerja Pamong Belajar dengan kemampuan, komitmen dan kepribadian Pamong Belajar.

Drucker (1977: 237-242) dalam Winardi (2000: 153) mengemukakan bahwa kinerja dalam pengertian yang luas, seperti diuraikan di atas, mempunyai 5 (lima) dimensi, yaitu:

a. Dimensi fisiologis, yaitu manusia akan bekerja dengan baik, bila berada dalam konfigurasi operasional bersama tugas dan ritme kecepatan sesuai dengan keadaan fisiknya.

(39)

b. Dimensi psikologis, yaitu bekerja merupakan ungkapan kepribadiannya karena seseorang yang mendapatkan kepuasan kerja akan berdampak pada kinerja yang lebih baik.

c. Dimensi sosial, yaitu bekerja dapat dipandang sebagai ungkapan hubungan sosial di antara sesama individu.

d. Dimensi ekonomi, yaitu bekerja adalah kehidupan bagi seseorang; imbalan jasa yang tidak sepadan dapat menghambat individu dalam berprestasi, demikian pula sebaliknya.

e. Dimensi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara apa yang diperoleh dari pamongan dengan kebutuhan hidup, akan memacu seseorang untuk berusaha lebih giat guna mencapai keseimbangan. Ketidakseimbangan dapat menimbulkan konflik yang dapat menurunkan kinerja.

4. Standar Kinerja Pamong Belajar

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan bagian yang paling penting dari pengelolaan kinerja, padahal perencanaanlah yang sebenarnya paling penting. Sebab, evaluasi hanyalah melihat ke belakang. Perencanaan melihat ke depan untuk mengoptimalkan kinerja di masa mendatang, bukan menganalisis kinerja yang aktual.

Perencanaan kinerja adalah sebuah proses di mana Pamong Belajar dan pengelola bekerja sama untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh Pamong Belajar pada periode waktu tertentu yang akan datang, dan apa yang diformulasikan sebagai kinerja yang sukses. Bagian-bagian penting dari diskusi perencanaan kinerja adalah:

a. Mengidentifikasikan bantuan yang akan disediakan pengelola; b. Mengidentifikasikan kendala-kendala yang menghambat

pencapaian, serta cara-cara mengatasinya;

c. Mengembangkan pemahaman bersama tentang arti penting relatif dari tugas-tugas kerja (prioritas) dan tingkat kewenangan.

(40)

Dalam perencanaan kinerja dapat digunakan “Pengelolaan Berdasarkan Sasaran (Management By Objectives = MBO)” (Bacal, 1989: 64-65) dalam Winardi (2000: 157). Management By Objectives merupakan sistem pengelolaan yang memasukkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, penyusunan tujuan dan umpan-balik sasaran. “Management By Objectives is a management system that incorporates participation in decision making, goal setting, and objective feedback”. (Kinicki & Kreitner, 2003: 146). Partisipasi di sini melibatkan pimpinan dan bawahan. “This process involves having the employee meet with his or her immediate supervisor prior to the time period for which perfomance is to be assessed”. (Mello, 2002: 307) dalam Winardi (2000: 159).

Lebih jelas dapat dinyatakan bahwa Management By Objectives adalah sebuah sistem penyusunan tujuan kolaboratif dari pucuk pimpinan hingga bawah. Sistem ini melibatkan para pimpinan dan bawahan dalam penyusunan tujuan dan dalam menilai kemajuan. “Management By Objectives (MBO) is a system of collaborative goal setting that extends from the top of an organization to the bottom. MBO involves managers and subordinates in setting goals and evaluating progress”. (Griffin & Ebert, 2006:262).

Berdasarkan rumusan pengertian di atas, maka sasaran yang disusun pada tingkat bawah, cocok dengan sasaran-sasaran yang berada di tingkat atas. “As a result, objectives set at a lower level are compatible with the

(41)

objectives at higher levels”. (Harvey & Bowin, 1996:146) dalam Winardi (2000: 161).

Menurut Jones (1987) dalam Winardi (2004: 167), Management By Objectives mencakup 3 (tiga) langkah tertentu yaitu :

Step 1: Specific goals and objectives are established at each level of the organization.

Step 2: Managers and their subordinates together determine the subordinates‟ goals.

Step 3: Managers and their subordinates periodically review the subordinates‟ progress toward meeting goals.

(Jones, 2004: 150-151).

Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pelaksana Management By Objectives adalah menetapkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tertentu pada setiap tingkatan organisasi. Artinya ialah, bahwa Management By Objectives dimulai dengan penetapan sasaran-sasaran organisasi secara keseluruhan. “Management By Objectives starts when top managers establish overall organizational objectives”.

Selanjutnya, sasaran-sasaran itu mengalir ke bawah di seluruh organisasi sebagai pimpinan pada tingkat bagian, dengan fungsi menetapkan sasaran mereka untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi. Akhirnya, para pimpinan pada tingkat terendah dan para pamong secara bersama-sama menetapkan sasaran-sasarannya yang akan memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan fungsional.

Then objective-setting cascades down throughout the organization as managers at the divisional and functional levels set their objectives to achieve corporate objectives. Finally, first-level managers and workers jointly set objectives that will contribute to achieving functional goals.

(42)

Pada langkah kedua, para pimpinan dan bawahan mereka bersama-sama menetapkan tujuan para bawahan. Karakteristik penting dari Management By Objectives adalah adanya sifat keikutsertaannya. Pimpinan pada setiap tingkat duduk bersama para bawahan yang melapor secara langsung kepada pimpinan mereka, dan bersama-sama mereka menetapkan tujuan-tujuan yang sesuai dan dapat dikerjakan, dan memusyawarahkan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian akan memperkuat komitmen mereka untuk mencapai tujuan dan memenuhi anggaran mereka. Ini juga akan menunjukkan bahwa apa yang dipikirkan oleh bawahan dapat diwujudkan secara realistik.

An important characteristic of management by objectives is its participatory nature. Managers at every level sit down with the subordinate managers who report directly to them and together they determine appropriate and feasible goals for the subordinate, and bargain over the budget that the subordinate will need so as to achieve these goals. The participation of subordinates in the objectives-setting process is away of strengthening their commitment to achieving their goals and meeting their budgets. Another reason why it is so important for subordinates (both individuals and teams) to participate in goal setting is so they can tell managers what they think they can realistically achieve.

(Jones, 1987 dalam Winardi 2004:151).

Sebagai langkah terakhir dalam Management By Objectives ialah para pengelola dan bawahan mereka, secara berkala meninjau kemajuan pencapaian tujuan. Sesuai kesepakatan, pimpinan diharapkan akuntabel dalam upaya memenuhi sasaran-sasaran yang telah ditentukan. Penilaian atas kemajuan mereka, dibicarakan bersama secara periodik. “Once specific objectives have been agreed upon for managers at each level, managers are

(43)

accountable for meeting those objectives. Periodically, they sit down with their subordinates to evaluate their progress”. (Jones, 1987 dalam Winardi 2004: 151).

Common suggestions for a successful MBO program include: 1). Identify subordinate responsibility areas and how they fit together.

Even relatively simple jobs may have several areas in which goals can be set.

2). Discuss and establish performance targets. For example, one benchmark is prior performance, although”success” in certain jobs may be subjective or open to interpretation.

3). Discuss and agree on how performance will be assessed. When standards aren‟t quantifiable, use behaviors or activities that result in success as indicators.

4). Prioritize goals. Since most jobs have multiple goals, rank ordering them in terms of importance is useful for focusing subordinates efforts.

5). Establish a time frame for achievement. Deadlines usually should be set for all goals.

(Sweeney & McFarlin, 1982 dalam Winardi 2002:102)

Dalam perencanaan kinerja, penekanan pada penyusunan sasaran serta seringnya dilakukan penilaian akan menjamin bahwa sasaran-sasaran akan dapat diwujudkan. Hal tersebut disebabkan karena adanya komitmen pribadi dan motivasi, serta peningkatan kinerja dan kepuasan kerja. Peranserta individual dalam penyusunan tujuan dan sasaran akan cenderung menjadikan lebih komit.

Management By Objectives, which emphasizes the setting of objectives and frequent evaluation to be sure that those objectives are being met. MBO has been widely used to achieve personal commitment and motivation and to improve both performance and job satisfaction. Typically, if individuals participate in setting their own goals and objectives, they tend to be committed to achieving them. (Rowe, et al., 1994:501).

Adapun tujuan yang hendak dicapai tersebut, di samping tujuan organisasional dan terpenuhinya anggaran operasional, juga bertujuan untuk

Gambar

Gambar 2.2.    A Graphic Illustration of the Sosial Systems Definition Using a  School Building as the unit of Analysis
Gambar 2.4. STRATEGI CAPAIAN SASARAN PTK-PNF TAHUN 2010

Referensi

Dokumen terkait

Membangun Geodatabase dan Domain untuk data-data : Tataguna Lahan (Land use), Kemiringan Lereng (Slope), Infiltrasi Tanah (Soil Infiltration), Kerapatan Aliran dan (Drainage

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama proses pembelajaran dan hasil diskusi kolaborasi guru peneliti dengan guru bahasa Inggris kelas IV menyatakan bahwa

漱石『文学論』成立過程の一側面 : 中川芳太郎筆草稿「第五編 集合Fの差異」を視座として 服部, 徹也Hattori, Tetsuya 慶應義塾大学国文学研究室

Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks dapat dilakukan dengan membuat kurva titrasi antara potensial larutan dengan volume titrant, atau dapat juga

sistem pemeriksaan, pengukuran dan penilaian terhadap fungsi-fungsi MSDM dengan pendekat- an swa periksa dan/atau pemeriksaan oleh pihak kedua menggunakan

Dari tabel 2 terlihat besarnya energi pada setiap putaran mesin, jika dilihat dari kerja yang dihasilkan (36.63 kW) kita akan mengasumsikan bahwa putaran mesin pada 3302 rpm

Perencanaan bangunan Solo Convention and Exhibition Center sebagai pusat konvensi dan ekshibisi yang dilengkapi dngan fasilitas penunjang yang representatif yang ditekankan

Sumber data dari penelitian ini adalah data yang terdokumentasikan oleh peneliti yang telah melakukan survey di lapangan dan mencatat setiap pukulan yang dilakukan