• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMASI BIROKRASI DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMASI BIROKRASI DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI PEMERINTAHAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMASI BIROKRASI

DALAM MENGEFEKTIFKAN KINERJA PEGAWAI

PEMERINTAHAN

Oleh

Kwik Kian Gie∗∗

I. Pendahuluan

Hingga memasuki tahun ke lima sejak reformasi digulirkan, perbaikan birokrasi pemerintah belum memperlihatkan tanda-tanda kemajuan yang berarti. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya perbaikan. Kiranya tidak berlebihan jika Presiden menyatakan bahwa ”kinerja birokrasi amburadul, sulit dikendalikan dan tidak memiliki inisiatif untuk turut menyukseskan agenda negara”.

Makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan Pemberantasan Korupsi, diselenggarakan oleh Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama pada hari Selasa, 5 Agustus 2003, di Jakarta

∗∗ Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan

(2)

Peran birokrasi yang profesional, yang mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat agar masyarakat mampu melakukan kegiatan lainnya secara mandiri belumlah nampak. Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak dan tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang serius dan tegas dalam mencoba memperbaiki birokrasi kita. Upaya tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari penyakit kronis KKN yang diidapnya dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini lembaga dan pada hampir semua kegiatan.

Salah satu amanat agenda reformasi adalah pemberantasan terhadap semua praktek-praktek KKN. Dan kalau sampai tahun ke lima agenda tersebut belum berjalan dengan baik, atau bahkan belum secara serius dilakukan, maka dapat dipastikan bahwa terjadi suatu pengingkaran kolektif, dan sekaligus juga merupakan dosa kolektif, dari para pengambil keputusan di negara ini.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy menunjukkan bahwa kualitas birokrasi di Indonesia termasuk yang terburuk bersama Vietnam dan India. Gambaran ini juga sedikit banyak menyiratkan betapa agenda reformasi birokrasi tidak pernah secara serius menjadi prioritas utama dari pemerintah. Dampak dari sikap itu tercermin dari ketidakmampuan Indonesia untuk keluar dari krisis yang mendera, dan Indonesia bahkan menjadi negara yang paling lambat, bahkan hinggga saat ini belum mampu, keluar dari keterpurukan. Hasil serupa juga ditunjukkan The World Competitiveness Yearbook yang dikeluarkan oleh

(3)

kompetitif birokrasi Indonesia di kelompok terendah sebelum India dan Vietnam.

Reformasi birokrasi juga sangat diperlukan untuk menciptakan clean and

good governance. Sebagai salah satu negara terkorup, kita telah menjadi

bulan-bulanan dan bahan ejekan dalam pergaulan antar bangsa. Betapa tidak, berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan untuk mengatasi berbagai tindakan KKN di lingkungan pemerintahan ternyata sampai saat ini belum mampu mengendalikan korupsi, bahkan korupsi cenderung makin melebar pada hampir seluruh lini kepemerintahan, termasuk juga pada lembaga-lembaga tinggi negara.

Sebenarnya kesungguhan awal untuk melakukan pemberantasan KKN telah ditetapkan melalui Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN dalam salah satu arah kebijakan Penyelenggara Negara yang menyatakan perlunya “membersihkan penyelenggara negara dari praktik KKN dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral”. Kemudian UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN, serta UU 31 Tahun 1999 j.o. UU 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. UU tersebut juga mengamanatkan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Namun berbagai aturan tersebut hanya menjadi dokumen saja tanpa ada keseriusan untuk menjalankannya.

Selain permasalahan KKN, dalam bidang kelembagaan dan ketatalaksanaan, birokrasi di tingkat pusat maupun daerah cenderung semakin banyak dan tambun. Dengan kondisi yang demikian maka organisasi akan cenderung kaku dan lambat dalam mengantisipasi permasalahan yang timbul. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah bahwa dalam penyusunan suatu

(4)

organisasi cenderung lebih ditekankan pada bagan strukturnya saja, dan melupakan jumlah dan kualifikasi personel, sistem pengambilan keputusan, sistem komunikasi serta rentang kendali organisasi (span of control). Struktur organisasi birokrasi yang demikian akan menyempitkan strategi yang dapat dipilih atau digunakan. Pendekatan ini lebih dikenal dengan strategy follows

structure.

Berbagai permasalahan di bidang kelembagaan dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) hal yang meliputi: (a) masalah kondisi struktur birokrasi yang tumpang tindih; (b) ketidakjelasan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan pemerintah dengan yang harus menjadi bagian dari tugas masyarakat; dan (c) belum adanya proses politik yang transparan dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik.

Demikian pula di bidang manajemen birokrasi publik masih dihadapkan pada permasalahan antara lain: (a) rencana kerja dan penugasan yang tidak jelas; (b) sistem rekruitmen tidak sesuai dengan prosedur dan kebutuhan; (c) masih rendahnya penegakkan sistem ganjaran dan hukuman; dan (d) tidak adanya ekspose kinerja birokrasi pemerintah secara transparan sehingga tidak ada umpan balik untuk perbaikan kinerja.

Permasalahan lain yang laten dalam birokrasi adalah secara nasional sumber daya aparatur belum memiliki kualifikasi sebagaimana yang diharapkan. Salah satu indikasinya adalah tingginya ketidaksesuaian antara jenjang pendidikan yang ditempuh dengan tempat/posisi kerja. Berdasarkan data kepegawaian bahwa dari jumlah pegawai sebesar 3.932.766 orang, bagian terbesar (2.330.597 orang atau hampir 60%) berpendidikan SLTA, sedangkan yang berpendidikan perguruan tinggi hanya 614.247 orang (15,6%). Jumlah PNS yang masih didominasi oleh pegawai berpendidikan SLTA, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kinerja birokrasi dalam melaksanakan

(5)

tugas dan fungsinya, misalnya lamban dan kurang mampu melahirkan inovasi yang dapat menunjang pekerjaan secara lebih efektif dan efisien.

Demikian pula kesejahteraan aparatur yang terkait langsung dengan gaji pegawai, jaminan sosial, serta fasilitas hidup lainnya sangat jauh dari memuaskan. Inilah salah satu faktor penting yang menyebabkan pelaksanaan pelayanan publik selama ini tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat. Rendahnya tingkat kesejahteraan PNS diyakini telah mendorong mereka ke arah perbuatan tercela dengan melakukan penyelewengan dan KKN.

Menjadi pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karier, sehingga merupakan suatu hal yang wajar menuntut standar gaji untuk memenuhi kompensasi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi, periode waktu kerja serta tingkat biaya hidup. Namun, sistem gaji PNS saat ini belum menggunakan sistem merit yang mempertimbangkan prestasi kerja, akibatnya PNS yang rajin dan tekun maupun yang malas dalam melaksanakan tugasnya menerima gaji yang sama besarnya. Dengan demikian tidak terjadi korelasi antara kebijakan mengenai gaji dengan tingkat produktivitas PNS. Sehingga istilah PGPS yang asalnya singkatan dari Peraturan Gaji Pegawai Sipil seringkali diplesetkan menjadi Pintar Goblok Pendapatan Sama.

Padahal esensi dari suatu kebijakan remunerasi itu seharusnya didasarkan atas prinsip-prinsip yang meliputi: (a) dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan sekaligus mampu mempertahankan pekerja yang berkualitas yang sudah ada dalam organisasi; dan (b) menyediakan reward terhadap pegawai yang berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi (desired behaviour), seperti perestasi kerja, patuh, disiplin, berpengalaman, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.

(6)

Gejala yang tidak adil tersebut dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos kerja dan disiplin kerja pegawai. Semangat, disiplin, dan etos kerja yang rendah merupakan sumber malapetaka terhadap birokrasi pemerintah. Apabila ini dibiarkan berlanjut aparatur pemerintah akan semakin terdorong untuk mencari sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mengabaikan tugas dan fungsi pokoknya sebagai abdi negara dan masyarakat. Individu-individu tersebut cenderung melakukan perbuatan ilegal (KKN) yang menjadi pathologi dalam tubuh birokrasi pemerintah sebagaimana yang terjadi dewasa ini.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan pengawasan di lingkungan birokrasi pemerintah. Betapa konsep dan pelaksanaan pengawasan internal pemerintah yang ada di seluruh istansi pemerintah baik di pusat dan daerah, belum mampu mengurangi berbagai penyalahgunaan kekuasaan secara signifikan. Bahkan besarnya KKN sedikit banyak juga menunjukkan lemahnya pengawasan yang dilakukan dewasa ini. Hal ini terjadi karena pengawasan internal pemerintah, yang meliputi pengawasan fungsional dan pengawasan melekat, belum bekerja secara optimal. Beberapa penyebab yang dapat ditengarai adalah belum memadainya perangkat pengawasan, rendahnya kesadaran aparat pengawasan untuk melakukan pengusutan, dan masih lambatnya tindaklanjut atas temuan-temuan yang beindikasikan praktek-praktek KKN di lingkungan aparatur pemerintah.

Di samping itu belum adanya konglomerat hitam dan elite birokrasi pemerintah yang dihukum karena kasus yang bernuansa KKN juga semakin memperkuat persepsi masyarakat tentang permainan uang dan aparatur negara yang cenderung kebal hukum.

(7)

II. Upaya Mendorong Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya reformasi di bidang lain. Oleh karena itu tanpa mengabaikan reformasi di bidang lain rekomendasi yang pertama harus dilakukan adalah reformasi birokrasi yang meliputi kelembagaan dan ketatalaksanaan, sumber daya manusia, dan pengawasan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahaan dan pembangunan.

A. Melakukan Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan.

Reformasi kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur organisasi birokrasi pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang tindih pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyusunan organisasi yang didasarkan pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena adanya tuntutan yang mendesak dan mesti dilakukan untuk mendorong proses percepatan reformasi birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang kelembagaan adalah:

1. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi termasuk melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan standard operating procedure atau SOP. Untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan pembenahan besar-besaran di lingkungan birokrasi pemerintah yang mengedepankan desain job discription keseluruhan lembaga. Karena tanpa hal tersebut mustahil dapat menimbulkan efek yang positif bagi kinerja birokrasi pemerintah. Untuk melaksakan hal tersebut diperlukan suatu kejelasan kriteria dalam penyusunan job discription yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan dan dievaluasi, sehingga membawa dampak yang positif pada masyarakat dan birokrasi pemerintah itu sendiri. Penataan kelembagaan tersebut, saya

(8)

sebut structure follows strategy, bukan sebaliknya sebagaimana yang sekarang sedang terjadi di Indonesia.

2. Penerapan Audit Institusi

Selama Indonesia merdeka belum pernah dilakukan suatu audit terhadap kelembagaan birokrasi pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penerapan audit kelembagaan yang kegunaannya adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan yang berkaitan dengan kelembagaan. Hal ini sekaligus merupakan dasar dari upaya untuk melakukan penataan kelembagaan (penghapusan, penggabungan dan pembentukan lembaga baru) serta sekaligus menjadi dasar penentuan kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan, berdasarkan kompetensinya.

Lebih lanjut, audit kelembagaan diharapkan dapat memperjelas dan mempertegas fungsi birokrasi pemerintah di pusat, propinsi, dan kabupaten. Sekaligus dapat memudahkan untuk menentukan patokan standar pelayanan minimal, serta standar kualitas pelayanan dan prosedurnya.

3. Demikian pula di bidang ketatalaksanaan perlu dipertimbangkan sistem rekruitmen dan promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya dan dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana yang berlaku di lingkungan swasta. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dibuat suatu sistem pemberian penghargaan terhadap aparat yang berbuat baik (reward) dan hukuman bagi yang berbuat buruk (punishment), dengan dasar prinsip-prinsip good governance seperti transparan, akuntabel, profesional dan adil.

(9)

B. Peningkatan Kompetensi Aparatur Pemerintah

Upaya untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah baik di pusat dan daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, senantiasa memperhatikan 3 (tiga) hal pokok yang meliputi:

1. Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah

Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah mengamanatkan agar pemerintah memberikan kesejahteraan yang memadai bagi PNS1. Oleh karena itu, amanat UU 43/1999 untuk menciptakan aparatur negara yang sejahtera belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh para pengambil kebijakan. Reformasi birokrasi akan sulit dicapai tanpa meperhatikan kesejahteran pegawai negeri (termasuk TNI/Polri). Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Oleh karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja.

Selama 3 dekade kepemerintahan orde baru, sistem gaji “perjuangan” ini telah menimbulkan social cost , selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. Untuk melakukan penghapusan

1Dalam Undang-undang nomor 43 Tahun 1999 disebutkan pada pasal 7 ayat (1) setiap pegawai negeri

berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan jaminan kesejahteraan. Kemudian dalam

penjelasan UU tersebut diterangkan bahwa; (1) yang dimaksud gaji yang adil dan layak adalah gaji PNS

harus mampu menenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya; (2) pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan baik antar PNS maupun antara PNS dengan swasta.

(10)

terhadap social cost tersebut bukan merupakan hal mudah, dan hal yang inilah yang kita hadapi dewasa ini.

Lambannya birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, tidak dapat dipungkiri sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan (gaji) mereka yang relatif kecil, dan ini sangat berpengaruh terhadap semangat bekerjanya. Dengan gaji yang sangat kecil yang mustahil dapat memenuhi kebutuhannya, tanpa disadari telah mendorong PNS untuk menciptakan tambahan kesejahteraan dengan mensiasati tugas dan kewenangannya.

Oleh karena itu perlu dengan segera dilakukan upaya yang lebih realistis terhadap peningkatan kesejahteraan PNS, TNI, dan Polri, yang disertai degan berbagai fasilitas pendukung lainnya, untuk keberlangsungan jaminan hari tua mereka.

2. Meningkatkan Etika dan Moral Birokrasi Pemerintah

Sebagai bangsa yang religius, seharusnya tindakan tidak terpuji KKN di lingkungan birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai tingkat elite sampai pada aparatur di tingkat bawah, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan KKN. Yang berbeda hanyalah porsi dan caranya saja. Perilaku KKN berawal dari keserakahan materi, kemudian berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan saja perilaku korup di lingkungan birokrasi pemerintah, tetapi persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kedua belah pihak dengan mengorbankan kepentingan negara.

(11)

Demikian pula proses nepotisme yang terjadi di lingkungan birokrasi pemerintah, yang mengakibatkan permasalahan negara dewasa ini tidak mampu diatasi oleh birokrasi pemerintah sendiri. Sebagai contoh praktek nepotisme dalam menduduki posisi strategis menjadi sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Mereka tidak lagi berpikir bagaimana memperbaiki negara ini, tetapi bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan cara mengangkat orang-orang yang dapat mendukung dan loyal terhadap dirinya.

Untuk mencegah hal tersebut diperlukan pembetukan watak etika dan moral birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku yang lebih mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat yang tersingkirkan.

3. Profesionalisme Birokrasi Pemerintah

Sampai saat ini PNS masih didominasi oleh yang berpendidikan SLTA ke bawah. PNS yang berpendidikan SD berjumlah 309.120 orang atau 7,86 persen, SLTP, 214.382 orang atau 5,45 persen dan SLTA, berjumlah 2.330.597 orang atau 59,26 persen. Sedangkan yang berpendidikan perguruan tinggi (DI, DII, DIII, Akademi, Sarjana muda, dan S1, S2 dan S3 berjumlah 1.078.667 orang atau 27, 43 persen. Dengan sebagian besar PNS masih berpendidikan SLTA ke bawah, tentunya mereka belum bisa diharapkan mampu menciptakan kreasi dan inovasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

Untuk mewujudkan profesionalisme PNS perlu dilakukan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan (diklat) di dalam dan luar negeri, yang meliputi diklat gelar, non gelar, serta diklat teknis keterampilan. Berbagai diklat tersebut tentunya diarahkan sesuai dengan kebutuhan bangsa dewasa ini dan di masa yang akan datang. Namun demikian, jika PNS tersebut tidak

(12)

dapat ditingkatkan lagi kemampuannya, perlu dicarikan upaya agar mereka dapat dialihkan pekerjaannya.

Di samping itu dalam upaya meningkatkan profesionalisme PNS perlu diperhatikan sistem rekruitmen yang selama ini telah memberikan konstribusi terhadap rendahnya kompetensi dan motivasi pegawai negeri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Walaupun belum ada penelitian khusus mengenai korelasi hal tersebut di atas, namun ada kencenderungan bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak menunjukkan kinerja yang diharapkan. Kecenderungan ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian kualifikasi yang dibutuhkan, dan rendahnya kapabilitas. C. Pengawasan Aparatur Negara.

Upaya untuk mendorong kepada pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN dapat pula diupayakan kepada peningkatan pengawasan terhadap aparatur negara. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit internal maupun audit eksternal sebagaimana berikut ini.

1. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah.

Upaya untuk meningkatkan peran fungsi aparat pengawasan internal pemerintah (APIP)2, untuk mengurangi praktek KKN di lingkungan aparatur pemerintah sangat berkaitan dengan upaya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan dan kinerja lembaga pengawasan internal pemerintah yang kurang memuaskan di satu sisi, dan kecenderungan makin meluasnya tindakan KKN di sisi lain. Oleh karena

(13)

itu untuk meningkatkan citra APIP, pola kerja profesional harus lebih dikedepankan dengan mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja birokrasi pemerintah sebagai tolok ukur keberhasilan dan atau kegagalan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah kepada masyarakat, dengan melakukan pemantauan, evaluasi dan penilaian kinerja yang didasarkan atas profesionalisme, etika dan moral APIP.

2. Aparat Pengawasan Ekternal Pemerintah

Demikian pula Badan Pemerisa Keuangan (BPK), yang eksistensi dan kewenangannya dijamin dalam UUD 45 hasil amandemen ke empat, diharapkan mampu melakukan pemeriksaan terhadap seluruh kekayaan negara di pusat dan daerah. Ini berkaitan dengan amanat UUD 45 yang menyebutkan bahwa BPK berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap propinsi. Amanat tersebut secara langsung telah menguatkan posisi BPK sebagai satu-satunya lembaga eksternal pengawasan. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa fungsi pengawasan eksternal itu sangat dibutuhkan dalam upaya mendorong percepatan sistem kepemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.

Selain daripada itu, untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN, telah terbit Keputusan Presiden (Keppres) No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Kemudian untuk mempertegas selanjutnya oleh pemerintah bersama DPR-RI telah diputuskan melalui Undang-undang (UU) No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

2 APIP meliputi: Inspektorat Jenderal, Inspektorat Utama, Badan Pengawasan Keuangan dan

(14)

Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Upaya tersebut adalah untuk mengupayakan sistem kepemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.

III. Penutup

Demikian pokok-pokok pemikiran saya dalam kesempatan pertemuan hari ini. Reformasi birokrasi bisa dijalankan, atau setidaknya bisa dimulai, dengan memperhatikan ketiga faktor yang saya sebutkan di atas. Tidak adanya transparansi menyulitkan lahirnya pertanggung jawaban publik. Tidak adanya keterbukaan di kalangan instansi dan pejabat pemerintah mengakibatkan akses rakyat untuk melakukan kontrol menjadi buntu dan mampet.

Reposisi dan restrukturisasi kelembagaan dan ketetalaksanaan perlu untuk segera ditata ulang agar memungkinkan adanya kejelasan antara tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Dengan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif dan efisien pertanggungjawaban publik bisa lebih dikedepankan dan akuntabilitas dapat diwujudkan.

Kesejahteraan dan profesionalisme PNS yang menjadi faktor utama dan yang lain juga perlu mendapat perhatian yang benar-benar serius. Pendekatan yang digunakan tidak dapat lagi mengacu pada pendekatan konvensional yang terbukti tidak akan memecahkan permasalahan. Pemerintah harus berani melakukan langkah-langkah yang drastis dan tegas namun adil agar permasalahan sumber daya aparatur dapat diselesaikan dengan tuntas.

Yang terakhir, sistem pengawasan harus benar-benar diberdayakan dan terbuka kepada publik. Dengan demikian masyarakat akan dapat turut mengawasi keseluruhan proses pengambilan keputusan dan partisipasi

(15)

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat dijamin keberlang-sungannya.■

Jakarta, 5 Agustus 2003

(16)

POLICY SUMMARY

1. Kebijakan Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, meliputi: a. Melakukan redefenisi kelembagaan birokrasi (termasuk standard

operating prosedures atau SOP) dalam melakukan pelayanan kepada

masyarakat.

b. Perlunya melakukan audit kelembagaan terhadap organisasi birokrasi pemerintah di pusat dan daerah, untuk mengetahui sejauh mana tingkat kebutuhan kelembagaan yang idel sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah deasa ini.

c. Perlunya perampingan organisasi birokrasi pemerintah dengan memperhatikan hasil audit kelembagaan birokrasi pemerintah pusat dan daerah.

d. Perlunya suatu sistem rekruitmen dan promosi pegawai sesuai dengan kecakapan dan kemampuannya, dan dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk.

e. Perlunya ada penghargaan terhadap PNS yang berbuat baik (reward) dan hukuman bagi yang berbuat buruk (punishment).

f. Perlunya penyusunan standar pelayanan masyarakat yang cepat, tepat, murah, memuaskan transparan, dengan mengembangkan konsep indeks kepuasan masyarakat yang didukung oleh modernisasi sistem administrasi negara dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi.

(17)

2. Kebijakan di bidang Sumber daya manusia meliputi;

a. Melakukan peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah. Upaya tersebut dengan melakukan penyempurnaan sistem remunerasi PNS, yang didasarkan atas pemberian reward and

punishment kepada setiap PNS yang berprestasi dan juga terhadap

PNS yang melakukan penyalahgunaan tugas dan fungsinya.

b. Meningkatkan Etika dan Moral serta disiplin Birokrasi Pemerintah. Upaya peningkatan penyadaran mengenai etika moral serta disiplin

birokrasi pemerintah, dengan menumbuhkan semangat mengedepankan kepentingan umum dalam memberikan pelayanan.

c. Profesionalisme Birokrasi Pemerintah.

Untuk mendorong kemampuan profesionalisme birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan dan pembangunan, maka dibutuhkan PNS yang memiliki kompentensi yang memadai melalui berbagai pendidikan dan pelatihan, dalam upaya meningkatkan kreatifitas, keterampilan dan kecakapan dalam mengatasi permasalahan di lingkungan birokrasi pemerintah.

3. Kebijakan Pengawasan Aparatur Negara, meliputi;

a. Untuk lebih memberdayakan APIP sebagai lembaga internal pemerintah yamg merupakan aparat audit internal pemerintah, dibutuhkan kemampuan profesional dalam melakukan audit terhadap seluruh instansi pemerintah, sebagai bagian terdepan dalam upaya memberantas KKN di lingkungan birokrasi

(18)

pemerintah. Upaya tersebut perlu di dukung oleh sistem informasi pengawasan berserta sarana dan prasarana pendukungnya.

b. Dengan amandemen UUD 45 yang keempat telah menempatkan BPK sebagai satu-satunya institusi pengawasan eksternal pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Posisi tersebut merupakan satu mata rantai dari upaya kepemerintahan yang baik bebas dari KKN.

Referensi

Dokumen terkait

Hampir setiap hari tentunya kamu berkaca di depan cermin yang ada di kamarmu. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut. Bayangan semu adalah bayangan yang dapat kita lihat

[r]

Hasil penelitian ini menunjukkan secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja modal, Dana Alokasi Umum secara

Dominasi manusia terhadap alam (domination of nature) dipercaya sebagai salah satu penyebab krisis lingkungan, Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa di antara

Peran pemerintah daerah Kabupaten Hal- mahera Barat dalam pemberdayan masyara- kat melalui pengembangn pariwisata, khusunya Panorama Pantai Disa, Kec. Sahu dilakukan

Dari hasil analisis pada tiap variabel menunjukkan bahwa karyawan PT XYZ Surabaya sudah memiliki komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan orga-

Mengenai beberapa pasal dalam UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa setiap pernikahan hanya boleh dilakukan apabila para pihak

Gereja Protestan Maluku Klasis Kota Ambon.. Himpunan Keputusan Sidang XXXVI Klasis Kota Ambon