• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESENTRALISASI 2007 PROSES DAN IMPLIKASI SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESENTRALISASI 2007 PROSES DAN IMPLIKASI SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN: STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES DAN IMPLIKASI

SOSIAL-POLITIK PEMEKARAN:

STUDI KASUS DI SAMBAS DAN BUTON

Dari Percik untuk

USAID Democratic Reform Support Program (DRSP)

dan Decentralization Support Facility (DSF)

December 2007

D

E

S

E

N

T

R

A

L

IS

A

S

I

2

0

0

7

(2)

DAFTAR ISI

1. PENGANTAR...……….………...1

1.1. Tujuan Studi ……….…...……….………...1

1.2. Penentuan Lokasi Studi ….……….….……….……….…………....1

1.3. Pengumpulan Data....……….…….………...4

2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL………...4

2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran………...4

2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah.…….……….…...5

2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional ….……….…...8

3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH ….……….….….………11

3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah ….……….….……….………...…11

3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran ….……….…………...17

4. PROSES SOSIAL POLITIK PEMEKARAN DAN PELESTARIAN HASIL PEMEKARAN ….……….….……….……….…...………20

4.1. Proses Perjuangan Pemekaran ….……….….……….……….……...…20

4.2. Proses Pelestarian Hasil Pemekaran ….……….……….…………...25

5. PERKEMBANGAN KAPASITAS SOSIAL-POLITIK DOB ……….……...…27

5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal ….……….….……...…28

5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru ….……….….………...29

5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah ...…..30

5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural ….……….……….………...…31

5.5. Rekruitmen PNS ….……….……….…………...32

5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik ….……….……….………...…32

5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru ….……….………33

5.8. Perkembangan Pelayanan Publik ….……….……….…………...33

6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK ….……….………...34

6.1 Perkembangan Relasi Sosial-Politik Antar Masyarakat Sipil……….…………....34

6.2. Relasi Sosial-Politik Antara Masyarakat dengan Pemda ….……….………..36

6.3. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda ….……….………...38

6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat ….……...……40

6.5. Relasi Sosial-Politik Antar Pemda Dengan Negara Lain ….……….…..……43

(3)

1.

PENGANTAR

Peningkatan jumlah daerah otonom baru pada era reformasi menunjukkan perkembangan yang menakjubkan. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2004 telah lahir tujuh provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota; yang baru. Informasi terakhir menunjukkan bahwa sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di Indonesia pada era reformasi ini sehingga masyarakat seolah-olah menginginkan dibentuknya daerah-daerah otonom baru? Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat yang diharapkan akan mensejahterakan penduduk di wilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena beban APBN untuk membiayai daerah otonom baru akan semakin berat. Lebih dari itu, pemekaran yang marak ini belum tentu akan lebih mengefisiensikan kinerja pemerintahan, mendekatkan pelayanan publik dan belum tentu pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat seperti yang dikemukakan oleh para pemrakarsanya. Meskipun telah cukup banyak kajian yang mencoba mengevaluasi gejala pemekaran ini namun umumnya terfokus pada segi dampak dan sedikit sekali yang mencoba melihat segi prosesnya secara sosial politik. Memahami proses sosial politik pemekaran sangat diperlukan karena dengan demikian diharapkan bisa dianalisis keterkaitan dan dinamika berbagai aspek sosial politik yang berpengaruh dalam proses terbentuknya daerah otonom baru. Bertolak dari keinginan untuk memahami proses sosial politik pembentukan daerah otonom baru itulah kemudian disepakati oleh DRSP-USAID (Democratic Reform

Support Program- USAID) Jakarta, Yayasan Percik Salatiga dengan dibantu oleh peneliti LIPI, untuk mengadakan suatu penelitian kualitatif yang mendalam tentang proses sosial- politik pemekaran atau terbentuknya daerah otonom baru. Dengan pertimbangan mayoritas pembentukan daerah otonom baru terjadi di luar Jawa penelitian ini diarahkan ke wilayah luar Jawa.

1.1. Tujuan Studi

Studi tentang pemekaran ini, khususnya yang diselenggarakan terhadap pemekaran di wilayah kabupaten luar Jawa, adalah telaah kasus pemekaran untuk mengungkapkan dinamika sosial-politik-budaya berkaitan dengan pemekaran, sehingga teridentifikasikan berbagai aspek dari pemekaran, yaitu proses terjadinya pemekaran, faktor-faktor penyebab pemekaran (baik faktor pendorong dari dalam maupun faktor penarik dari luar), aneka dampak yang telah terjadi sesudah pemekaran, dan upaya-upaya berkenaan dengan pemeliharaan hasil proses pemekaran.

Sesudah melalui pembicaraan intensif, seminar internal, dan diskusi-diskusi disepakatilah beberapa tujuan studi yang lebih empirik sifatnya yaitu untuk:

(1) Menggambarkan faktor-faktor penyebab pemekaran daerah

(2) Menggambarkan faktor-faktor yang memfasilitasi pemekaran daerah (3) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran daerah

(4) Menggambarkan proses sosial-politik pemekaran dan pelestarian hasil pemakaran daerah

(5) Menggambarkan perkembangan kapasitas sosial-politik Daerah Otonomi Baru (6) Menggambarkan perkembangan relasi sosial-politik

1.2. Penentuan Lokasi Studi

Adalah sebuah kenyataan yang menarik bahwa maraknya pemekaran daerah yang lebih bersifat pemecahan daerah ini lebih banyak terjadi di luar Jawa daripada di Jawa.

(4)

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, seperti luas wilayah yang sangat luas, jumlah penduduk yang semakin banyak, dan kehendak masyarakat lokal untuk memekarkan diri. Berbeda dengan masyarakat lokal di Jawa yang relatif homogen, masyarakat lokal di luar Jawa sangat heterogen dan terfragmentasi secara etno-kultural. Luasnya wilayah dan masih miskinnya sarana transportasi seringkali menyebabkan komunikasi antar komunitas yang berbeda secara etno-kultural menjadi terbatas. Keadaan semacam ini diduga ikut berpengaruh terhadap besarnya keinginan masyarakat di luar Jawa untuk membentuk daerah otonom baru. Mempertimbangkan beberapa hal di atas, studi ini akan ditekankan di wilayah luar Jawa. Untuk menentukan lokasi studi yang lebih tepat maka pihak DRSP, Yayasan Percik, dan LIPI memulai langkahnya dengan mengadakan diskusi, mencari informasi dari banyak pihak (seperti Bappenas, Depdagri, dan Depkeu, dan juga dengan rekan-rekan peneliti lain atau pakar pemekaran daerah), dan melakukan studi literatur. Berdasar hasil penjajagan awal inilah kemudian ditentukan dua wilayah studi yaitu: Wilayah Studi Kabupaten Sambas, di provinsi Kalimantan Barat; dan Wilayah Studi Kabupaten Buton, di provinsi Sulawesi Tenggara.

Wilayah Studi Kabupaten Sambas dipilih karena pemekaran di wilayah ini merupakan pemekaran yang pertama yang terjadi di era reformasi sebelum keluarnya UU No 22 Tahun 1999. Pemekaran Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Sambas terjadi pada tanggal 20 April 1999 dengan ditetapkannya UU No. 10 tahun 1999. Bersamaan dengan Pembentukan Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemisahan dari Kabupaten Sambas, ibu kota Kabupaten Sambas juga berpindah dari Singkawang ke Sambas. Dalam perkembangannya, dua tahun setelah pembentukan Kabupaten Bengkayang (2001) terjadi lagi pembentukan daerah baru yaitu Kota Singkawang. Sementara itu di Kabupaten Sambas yang baru, pada tahun 2002an juga muncul tuntutan pemekaran dua wilayah baru yang terjadi hampir bersamaan yaitu Kabupaten Sambas Pesisir (KSP) dan Kabupaten Sambas Utara (KSU). Selain itu Kabupaten Sambas dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih heterogen dipandang dari segi suku dan agama, dimana suku dan agama tertentu mendominasi wilayah tertentu.

Wilayah Studi Kabupaten Buton dipilih karena pemekaran di Kabupaten Buton baru terjadi pada tahun 2001 dan Kabupaten Buton dipilih karena corak masyarakatnya dapat dianggap lebih homogen dilihat dari segi agama. Namun dari segi adanya dominasi suku tertentu terhadap suku lain tidak terlalu kelihatan. Selain itu Kabupaten Buton dipilih sebagai lokasi studi karena proses pemekaran di lokasi ini menunjukkan geneologi pemekaran yang relatif “lengkap”, yaitu dari wilayah induk (Kab. Buton) telah memunculkan Kota Bau-Bau pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2003 dari sisa wilayah induk mekar menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Akhirnya pada Januari 2007, sisa dari wilayah induk Kabupaten Buton telah terjadi persiapan pemekaran ke dalam dua wilayah pemekaran lagi, yaitu Buton Tengah dan Buton Selatan.

Perlu dikemukakan bahwa hasil penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang memang harus dan akan diperbaiki yaitu:

(a). Penelitian ini lebih menekankan ke wilayah atau lokasi penelitian di Daerah Otonomi Baru yang sudah agak lama mengalami pemekaran, sedangkan untuk Daerah Otonomi Baru yang baru kembali mengalami pemekaran belum tercakup dalam penelitian ini. (b). Di dalam desain penelitian dirancang akan dilaksanakan suatu proses checking dan

pendalaman lewat beberapa kegiatan, seperti: Seminar, raoun table discussion, dan kegiatan konsultasi publik di bebarap daerah. Dua kegiatan yang pertama telah dilakukan namun untuk kegiatan konsultasi publik ini belum dilakukan.

(5)

1.3. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan lewat beberapa cara yaitu dengan melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan kunci baik pada aras provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan aras desa/kelurahan, dengan menggunakan pedoman pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan observasi baik pada aras kabupaten/kota, kecamatan, maupun desa/keluruhan menyangkut aspek proses dan fasilitas pelayanan publik yang ada, perkembangan fisik, dan kondisi wilayah Daerah Otonomi Baru. Untuk melengkapi data pada tataran yang lebih general dikumpulkanlah data sekunder baik dari dinas sektoral, pemerintah daerah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupten/kota dan provinsi), maupun dari pihak NGO atau swasta. Pada akhirnya dilakukan cheking dan pelengkapan data dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD), baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Penelitian ini dilakukan sejak akhir Bulan Maret sampai Pertengahan April 2007, oleh staf Percik yang dibantu beberapa staf LIPI, staf pengajar Program Pascasarjana Universitas Tanjungpura, Pontianak dan staf pengajar Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari.

Berikut ini adalah uraian yang merupakan ringkasan laporan penelitian yang dapat dijadikan bahan pertimbang untuk pengambilan kebijakan secara cepat dan tepat di dalam proses pemekaran daerah.

2. PEMEKARAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF NASIONAL

Sejak bergulirnya arus reformasi, bangsa Indonesia menaruh harapan besar terhadap perubahan-perubahan sistem bernegara. Dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan administrasi daerah terkandung harapan bahwa pembentukan, pemisahan, penggabungan dan penghapusan daerah akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga, akibat pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban dan relasi-relasi yang harmonis antar-daerah.

2.1. Sejarah Pemekaran dan Perkembangan Makna Pemekaran

Pada tahun 1880, perdebatan tentang perlunya desentralisasi pemerintahan di Daerah Jahan Hindia Belanda mulai santer disuarakan oleh anggota Dewan Rakyat (Tweede Kamer) yang didukung oleh kaum Swasta Belanda yang bergerak di berbagai bidang perkebunan. Kelompok ini merasa bahwa kekuasaan sentralistik di tangan seorang Gubernur Jenderal dianggap terlalu besar. Namun demikian baru pada tanggal 23 Juli 1903 munculah Undang-Undang yang memungkinkan adanya desentralisasi. Undang-Undang undang yang lengkap yang disebut sebagai Wet Houndende Decentralizatie in Nederlandsch Indie (disingkat sebagai

Decentralisatie Wet 1906) mulai diundangkan untuk mengurangi kekuasaan sentral yang berpusat di Belanda (Wignjosoebroto, 2004).

Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralistis pusat namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat, potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar. Proses desentralisasi yang mulai tertata ini mengalami keruntuhan dengan masuknya Pemeritahan Militer Jepang yang bersifat fasis. Sejak saat itu, sistem kekuasaan pemerintahan menjadi tersentralisasi kembali. Munculnya UUD 1945 yang menjadi dasar Republik Indonesia Merdeka, yang pembentukannya dipengaruhi oleh adanya keberadaan Jepang yang bersifat fasis menyebabkan warna sentralistis menjadi lebih kuat dengan bentuk Negara Kesatuan. Baru sesudah para pemimpin negara dapat berpikir lebih jernih dan tidak dipengaruhi oleh pemerintahan Jepang yang fasis, menyebabkan makna desentralisasi menjadi lebih memperoleh tempat yang utama terutama dengan munculnya UUD Republik Indonesia Serikat, tahun 1955, yang menjadi dasar munculnya bentuk Negara Indonesia

(6)

Federal. Di sini wilayah-wilayah luar Jawa menjadi mempunyai kewenangan yang lebih nyata dan besar. Makna Kebinekaan di Indonesia menjadi lebih nyata dan diakui.

Munculnya Dekrit Presiden pada tahun 1959, yang menyatakan kembali menggunakan UUD 1945 yang mendasari adanya Negara Kesatuan, menyebabkan kekuasaan yang desentralisasi digantikan dengan kekuasaan yang sentralistis kembali. Di sini makan Ketunggal Ikaan menjadi lebih nyata katimbang warna Kebhinekaan. Runtuh nya Orde Baru yang ditandai oleh perubahan politik yang luar biasa pada tahun 1998 menyebabkan wilayah luar Jawa yang selama hampir 40 tahun merasa kurang diperhatikan dan kurang memperoleh perlakuan yang adil telah mendorong (memaksa) Pemerintahan Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999). Di sini desakan politik dari daerah telah mendorong pemerintahan pusat untuk mengembalikan kekuasaan/kewenangan ke daerah. Dengan kata lain makna Kebhinekaan di dalam kekuasaan pemerintahan lebih menonjol dan lebih dikehendaki dibandingkan makna Ketunggal-Ikaan.

Walaupun ada usaha untuk kembali meresentarlisasi kekuasaan dengan munculnya UU No 32 Tahun 2004 (Suwondo 2005), namun dorongan untuk lebih mewujudkan makna Kebhinekaan menjadi lebih jelas dan menggebu-gebu. Selama sekitar 9 tahun sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 telah muncul (mekar) sekitar 150 Kabupaten/Kota Baru. Terlepas dari kemampuan sosial-politik-ekonomi untuk secara teknis dapat dikatakan sebagai “benar-benar mampu mekar”, namun kapasitas sosial-politik dan keinginan daerah untuk memperoleh pembagian “kue pembangunan” yang lebih adil nampaknya menjadi lebih besar, lebih kuat, dan akan sulit dibendung. Makna desentralisasi kekuasaan tidak hanya berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dari baik dari Pemerintahan Pusat maupun dari Daerah Induk.

Tarik menarik antara desentralisasi dan sentralisasi kekuasaan tidak terlepas dari makna negara dan rakyat memaknai antara Ketunggal-Ikaan dengan Kebhinekaan. Tarik menarik tersebut terjadi sejak lama dan memang menunjukkan adanya permasalahan selaku Bangsa (Indonesia) secara keseluruhan. Walaupun demikian makna Kebhinekaan dengan segala atribut identitas sosail-politik kedaerahan menjadi hal utama yang nampaknya lebih didesakkan oleh rakyat yang mau-tidak mau harus memperoleh perhatian baik dari Pemerintahan Pusat maupun Pemerintahan Induk.

2.2. Kebijakan Pemekaran Daerah

Dalam kondisi negara yang lemah (strong society and weak state), maka munculnya Undang-undang Otonomi Daerah merupakan salah satu usaha untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk menjaga keutuhan NKRI. Dengan demikian maka “nada” atau isi dari UU No 22 Tahun 1999 tersebut lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya sendiri-sendiri. Prinsip kebebasan, demokrasi, partisipasi (kewenangan pada rakyat) menjadi prinsip bahkan menjadi tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.1

Era reformasi yang diawali pada tahun 1998 dengan tergesernya paradigma desentralisasi administratif, yang dianut Orde Baru, menjadi desentralisasi politik pasca UU 22 Tahun 1999. Pemekaran daerah atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik, oleh

1

Pada masa Otonomi Daerah ini, sebenarnya perbedaan bentuk NKRI dan “Negara Federal Indonsia” sudah hampir tidak ada. Hal ini bisa dilihat bahwa, seperti di Negara-negara federal, yang tetap diatur atau dikuasai oleh pemerintah pusat adalah masalah atau aspek Pertahanan, Keamanan, Moneter dan fiskal, Politik Luar Negeri, dan Peradilan. Bedanya untuk di Indonesia masih ditambah dengan permasalahan atau aspek agama masih harus diatur oleh Pemerinah Pusat.

(7)

pemerintah pusat, di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta keleluasaan mengatur dan mengurus daerah.

Kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah berdasar UU No. 5 Tahun 1975. Kebijakan pemekaran daerah pada Orde Baru, memang bersifat elitis dan memiliki karakter sentralistis, yang perencanaan dan implementasi pemekaran lebih merupakan inisiatif pemerintah pusat, daripada partisipasi dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.

Meskipun pada masa Orde Baru kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis, namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik), sebelum pembentukan daerah otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi DOB, misalnya sebelum menjadi kotamadya disipakan terlebih dahulu sebagai kota administratif. Demikian juga pembentukan kabupaten baru akan didahului dengan dibentuknya wilayah kawedanan. Sedangkan daerah transisi untuk tingkat propinsi dikenal dengan karesidenan. Dalam masa transisi pembentukan daerah baru tersebut, lebih menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, misalnya dengan penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dll. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah kemudian dibentuk DOB.

Proses-proses penyiapan teknokratis tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini, kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik daripada proses teknokratis.

Semakin meningkatnya jumlah daerah otonomi baru di Indonesia sebenarnya harus dipahami dari mekanisme lokal dan mekanisme nasional. Pertama dari konteks lokal, dinamika kepentingan elite lokal menjadi penyumbang terbesar dari banyaknya dan semakin meningkatnya usulan pemekaran daerah. Dari peta jumlah usulan pemekaran daerah, usulan pemekaran kebanyak berasal dari daerah luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur yang merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam tetapi kondisi ekonominya stagnan. Kondisi perkembangan ekonomi yang stagnan sementara peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan pendidikan cukup berhasil, telah berdampak pada banyaknya semberdaya manusia lokal yang terdidik yang tidak mempunyai ruang untuk mengabdikan dirinya di daerah. Dengan demikian harapan terbesar untuk berkembang terletak pada arena negara. Ketika institusi pemerintahan sudah tertutup, pilihan rasional yang tersedia adalah membentuk institusi-institusi pemerintahan baru.

Sementara itu, regulasi pusat juga membuka peluang dan mendukung alasan untuk pengurangan pengangguran melalui pemekaran daerah. Kebijakan susunan dan kedudukan legislatif dan eksekutif, paling tidak sudah memberikan lowongan pekerjaan yang menarik bagi sekitar 20 orang, seperti sebagai: kepala dearah dan wakil kepada daerah, sekretaris daerah, asisten, kepala-kepala dinas, kepala kontor, dan pegawai-pegawai. Dilihat dari sisi masyarakat, pembentukan Daerah Otonomi Baru, termasuk juga pembentukan kecamatan baru, merupakan suatu proses pengembangan, pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat dan wilayahnya.

(8)

Pembentukan daerah baru yang disertai dengan pembentukan kecamatan baru, peningkatan pembangunan, pengembangan fasiltas pelayanan publik, dan kesempatan kerja sebagai PNS, di sekitar wilayah yang akan dijadikan ibu kota DOB dapat dipastikan akan disertai dengan peningkatan pembangunan fisik berupa pembangunan jalan, listrik, telephon, dan lain-lain. Dalam konteks masyarakat lokal yang demikian, pemekaran daerah merupakan cara masyarakat untuk “memaksa” pemerintah pusat agar memperhatikan pembangunan di daerah.

Dengan demikian dari aspek politik lokal, pemekaran daerah merupakan kesempatan/peluang bagi elite-elite lokal untuk duduk di DPRD ataupun ekskutif. Sedangkan bagi elite politik nasional, pemekaran daerah dapat dilihat sebagai upaya menciptakan daerah-daerah pemilihan baru yang mungkin berguna bagi pemilu. Hal ini berimplikasi bagi terciptanya transaksi politik antara elite lokal dan elite nasional. Pandangan ini dibenarkan oleh salah satu anggota Komisi II DPR yang menyatakan bahwa pemekaran daerah adalah sebuah bentuk kompensasi kepentingan politik dari partai-partai politik di DPR. Dengan demikian, pemekaran daerah telah berdampak pada terciptanya daerah-daerah otonom baru yang berimplikasi politis pada penambahan daerah-daerah pemilihan baru. Implikasi lebih lanjut dari adanya penambahan daerah-daerah pemilihan baru tersebut adalah semakin meluasnya conflick of interest antara partai-partai politik di tingkat nasional yang diwakili oleh elite-elite politik di DPR RI dan ini berdampak pada prose pemekaran yang lebih didasarkan atas pertimbangan politik daripada kebutuhan untuk menata daerah dalam tingkat nasional.

Kedua, dari konteks nasional, peranan regulasi juga telah menjadi penyumbang meningkatnya tuntutan dan pembentukan DOB karena kebijakan meloloskan tuntutan DOB terletak pada pemerintahan pusat. Kebijakan adanya dua pintu pemekaran juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalan “mudah” bagi masyarakat. Ketika pintu pemerintah tertutup, maka masyarakar akan menggunakan celah melalui pintu DPR yang relatif lebih mudah.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa selama sembilan tahun berotonomi sejumlah dampak positif dari prinsip otonomi telah muncul seperti:

(1). Berkembangnya prinsip demokrasi, partisipasi, dan kebebasan memang mencuat ke permukaan

(2). Di lihat dari sudut rakyat di aras lokal, munculnya Daerah Otonomi Baru menyebabkan adanya perkembangan infrastruktur (gedung pemerintahan, jalan, puskesmas, sekolahan, dan lain-lain)

(3). Pelayanan publik menjadi lebih dekat terutama di bidang pelayanan pemerintahan. (4). Identitas sosial-politik lokal menjadi mempunyai kesempatan untuk diakui

eksistensinya.

Walaupun ditemui sejumlah hasil yang menggembirakan namun sejumlah masalah juga muncul dan semakin-lama menjadi semakin besar, yaitu:

(1). Kenthalnya warna kedaerahan (termasuk ide dominasi putra daerah) di dalam semua proses dan bidang sosail, politik, budaya, dan ekonomi

(2). Banyaknya Provinsi dan Kabupaten/Kota baru yang kemunculannya selalu menimbulkan konflik kepentingan antar elite yang pada akhirnya berdampak pada konflik antar massa masing-masing pendukung

(3). Ketidak jelasan relasi antar fungsi dalam sistem pemerintahan pusat dengan daerah dan antar daerah. Selain itu juga muncul ketidak jelasan peran Gubernur di dalam mengkoordinasi dan mensinergikan kinerja antar kepala daerah yang ada “dibawahnya” (Bupati dan Walikota). Hal yang terakhir ini muncul karena adanya pasal 4 ayat 2 dari UU No 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “masing-masing daerah otonom berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain”

(4). Pertentangan antar wilayah (bahkan antar desa) untuk memperebutkan Sumber Daya Alam menjadi sangat tidak rasional

(9)

(5). Persaingan antara eksekutif dan legislatif di aras lokal (Pemerintah Desa dengan Badan Perwakilan Desa atau BPD), di aras regional antara Bupati/Walikota dengan DPRD Kabupaten/Kota atau antara Gubernur dengan DPRD Provinsi, bahkan pertentangan sampai di tingkat nasional yang dipuncaki dengan dengan jatuhnya Pemerintahan Gus Dur.

Adanya dampak positif dan negatif dari adanya proses pemekaran wilayah yang lebih menunjukkan Kbhinekaan ini memang merupakan konsekwensi logis yang akan muncul. Persoalannya adalah bagaimana usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi sebanyak mungkin kemungkinan dampak negatif dan mendorong semaksimal mungkin munculnya dampak positif. Usaha ini harus dilakukan baik oleh rakyat dan pemeritahan di aras lokal maupun oleh pemerintahan di aras nasional.

2.3. Implementasi Pemekaran Dalam Perspektif Nasional

Dari aspek proses, keputusan pemekaran daerah merupakan respon terhadap tuntutan pemekaran daerah. Jadi pemekaran daerah biasanya diawali oleh adanya kemauan politik masyarakat yang juga didukung oleh pemerintahan daerah setempat. Kemudian pemerintah daerah membuat usulan yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melaui gubernur yang disertai lampiran hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga independen atas biaya APBD daerah setempat dan persetujuan DPRD. Di tingkat pusat, apabila usulan tersebut dipandang layak akan ditindaklanjuti oleh Mendagri yang akan memproses lebih lanjut dan menugaskan tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi dasar rekomendasi bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Mengenai realitas peran DPOD ini, Eko Prasodjo berpendapat bahwa peran DPOD hanya bersifat formalitas sebagai ”pengetuk” palu. Yang lebih berperan adalah tim teknis yang anggotanya mayoritas terdiri dari direktur-direktur di Depdagri.2 Disamping itu peran konsultan juga cukup penting.3 Kinerja dari Tim Observasi Pusat/Tim Teknis ini oleh beberapa pihak cukup diragukan. Seorang anggota DPD dari Kalbar menyangsikan observasi yang dilakukan Tim Observasi Pusat yang diangkat oleh DPOD untuk melakukan penelitian secara sungguh-sungguh mengingat yang dilakukan hanyalah monitoring dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bersumber pada informasi elite. Tim ini lebih banyak melakukan penelitian dokumen dan ”temu muka” formal dengan ”masyarakat” yang sebagian besar adalah elite-elite di daerah.

Di tingkat pusat, mekanisme pemekaran daerah dilakukan melalui dua pintu yang oleh seorang pejabat Depdagri dipilah ke dalam cara yang normal dan cara yang tidak normal.4 Cara yang normal yaitu cara yang mengikuti jalur atau pintu ekskutif, dan cara yang dipandang tidak normal yaitu melalui jalur atau pintu legislatif kemudian baru mengikuti prosedur eksekutif. Kedua cara tersebut tidak terkait dengan aspek legalitas karena keduanya

2

Sebagai contoh yang bisa memberi gambaran dominasi Depdagri dalam pokok ini, diantaranya adalah dalam kasus calon Kabupaten Buton Utara (Pemekaran dari Kabupaten Muna), Propinsi Sultra, Tim Observasi Pusat/Tim Teknis (dari DPOD) yang berkunjung ke lapangan adalah: (1) Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Daerah Depdagri (sebagai koordinator tim); (2) Direktur Kawasan Khusus Ditjen PUM Depdagri (anggota); (3) Satu orang staff dari Depdagri (sebagai sekretaris merangkap anggota); (4) Staf dari Depdagri (anggota); (5) Empat staf dari Depdagri (masing-masing sebagai anggota); (6) Satu orang staf ahli Menteri dan Kementrian PAN (anggota); Staf Ahli Hukum dan HAM dari Sekretaris Kabinet (anggota); (7) Staf Khusus Mensesneg dari Sekretarian Negara (anggota); (8) Asdep Partisipasi Politik Kemenko Bidang Polhukam (anggota); (9) Direktur Penanganan Konflik Ditjen Kesbangpol Depdagri (anggota); (10) Direktur Fasilitas Rancangan Peraturan daerah Departemen Hukum dan HAM (anggota); (11) Kepala Pusat Batas Wilayah dari bakorsurtanal (anggota); (12) Staf dari Departemen Keuangan (anggota); (12) Satu Tenaga Ahli (anggota).

3

Wawancara dengan Eko Prasojo, anggota Tim Pakar DPOD dan seorang guru besar Universitas Indonesia, di Jakarta, 24 April 2007.

4

Wawancara dengan Dody, Ryadmaji Kepala Bagian Penataan Daerah Dirjen Otonomi Daerah, Depdagri pada tanggal 9 April 2007 di Jakarta.

(10)

sama-sama berdasarkan hukum. Berdasarkan hukum, proses pemekaran melalui pintu DPR memang dimungkinkan karena berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen tahun 20005, DPR memiliki kekuasaan sebagai badan pembentuk undang-undang. Pengaturan dalam UUD tersebut dipertegas dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.6 Sebagai implikasinya DPR berhak mengajukan RUU inisiatif termasuk pemekaran daerah. Dikatakan sebagai cara tidak normal karena DPR membuat RUU Pemekaran dan mengajukannya kepada presiden, yang mana hal ini memberi kesan bahwa seolah-olah ada dualisme kekuasaan yang memegang peranan dalam proses pemekaran daerah di Indonesia. Selain DPR dan ekskutif (dalam hal ini Depdagri), lembaga-lembaga seperti DPD dan DPOD juga memiliki peran dalam pemekaran daerah meskipun harus diakui peran tersebut kurang signifikan. berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 atau UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 129 Tahun 1999.

Terhadap kewenangan DPR dalam penyusunan UU tersebut diperoleh tanggapan dari seorang pemerhati desentralisasi, Alfitra Salamm. Menurut Alfitra Salamm, sebuah UU seharusnya disetujui bersama, baik oleh ekskutif maupun legislatif. Apabila ada sebuah RUU yang tidak disahkan oleh Presiden dalam batas waktu yang ditetapkan, maka RUU yang bersangkutan seharusnya gugur (tidak sah) dan otomatis tidak dapat diundangkan, terutama yang menyangkut pemekaran. Rasionalisasi dari pandangan ini adalah bahwa masalah pemekaran daerah merupakan domain ekskutif (karena menyangkut operasional pemerintah daerah) sehingga sebaiknya ”pintu” pemekaran daerah cukup lewat Depdagri saja. DPR dan DPD cukup mengawasi kebijakan pemerintah mengenai pemekaran.7 Sementara itu keterlibatan DPR dalam pemekaran daerah juga dipandang bisa menimbulkan conflict of

interest karena ada kepentingan-kepentingan tertentu yang diperjuangkan pada daerah pemekaran.8 Proses pemekaran bisa dijadikan investasi politik di daerah baru. Selain itu dengan pemekaran daerah berarti terjadi perluasan daerah pemekaran dan perluasan lembaga-lembaga pemerintahan, maka pemekaran daerah akan menjadi arena baru bagi partai-partai politik untuk menempatkan kader-kadernya di DPRD dan kekuasaan-kekusaan lain di daerah yang baru tersebut. Pemekaran daerah melalui DPR tidak dapat dilepaskan dari kepentingan politik untuk memperoleh kekuasaan politikny di tingkat lokal.

Ketentuan perundang-undangan di atas yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum justru berdampak pada ketidakpastian hukum. Yang terjadi selama ini, menurut Alfian Salamm, ketika proposal pemekaran yang diajukan oleh daerah ditolak oleh Depdagri, umumnya para pengusul (biasanya dengan tekanan mobilisasi massa) lari ke anggota DPR-RI (khususnya komisi II) untuk memperjuangkannya. Anggota DPR-RI kemudian mengabulkannya dengan alasan ”aspirasi konstituen”. Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk menolak RUU inisiatif DPR, sedangkan posisi DPD lemah.

Sejalan dengan pandangan di atas, menurut pejabat Depdagri, meskipun kebijakan pemekaran daerah sangat sarat dengan logika administratif, dalam implementasi justru aspek politik yang lebih menonjol. Menurutnya, dari sekian banyak usulan pemekaran daerah yang

5

Lihat UUD 1945 hasil amandemen IV yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, pada pasal 20 (ayat 1) menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”.

6

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 17 dinyatakan bahwa RUU yang dapat diajukan oleh DPR antara lain berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan, penggabungan serta pemekaran pusat-daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan. Selanjutnya pasal 17 (ayat 5) bermaksud memberikan kepastrian hukum dengan mengatur: “ Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama (dengan DPR-pen) tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”.

7

Wawancara dengan Alfian Salamm, mantan anggota DPOD (dari unsur ADEKSI) di Jakarta, April 2007.

8

(11)

lebih cepat disetujui adalah usulan pemekaran yang diusulkan melalui pintu DPR. Anggota DPR dengan menggunakan tekanan politiknya seringkali justru ”mengingkari” persayaratan-persayaratan administratif dan melakukan tekanan-tekanan politik ke DPOD9. Tetapi di lain pihak, DPR juga mengaku memperoleh tekanan dari rakyat di daerah. Hal ini tampak misalnya ketika rapat anggota DPRD, di balkon ruang rapat sudah ditunggu oleh orang-orang daerah untuk mendengar keputusan diloloskannya atau tidak usulan pemekaran yang diajukan. Dari pengalaman implementasi kebijakan pemekaran daerah, terutama menyangkut aspek proses, dapat dilihat bahwa daerah dapat dengan mudah melakukan pemekaran. Ada dua asumsi teoritik yang mendasari mudahnya proses pemekaran. Asumsi yang pertama adalah peraturan atau persyaratan yang tidak terlalu detail sehingga memudahkan inisiator-inisiator pemekaran melakukan terobosan. Asumsi kedua adalah bahwa peraturan dan persyaratan (adminstratif) sudah detail tetapi karena kuatnya tekanan politis menjadikan proses pemekaran dapat dengan mudah dilakukan.10

Kekuasaan formal yang memutuskan disetujui atau tidak disetujuinya usulan pemekaran daerah ada pada sidang DPOD. Namun, dalam proses sidang tersebut terdapat sebuah proses yang memframe (mengarahkan) bahwa sidang DPOD hanya bersifat formalitas sehingga pihak yang memiliki the real power adalah Tim Observasi/Teknis yang menyiapkan dan menganalisis angka-angka kualitatif yang mudah untuk dimanipulasi. Di balik kekuasaan formal itu terdapat kekuasaan non formal yang menentukan berhasil atau tidaknya usulan pemekaran daerah. Dengan demikian, kekuasaan yang menentukan proses pemekaran terletak pada birokrasi yang menempatkan Tim Teknis dan Konsultan hanya sebagai alat legitimasi intelektual dari sebuah proses yang tertutup bagi publik. Birokrasi di balik Tim Teknis dan Tim Konsultan inilah sebagai pihak-pihak yang disebut sebagai the real power.11

Dari aspek keuangan negara, evaluasi pemekaran daerah selama enam tahun menunjukkan bahwa terdapat 94% daerah yang mengandalkan dana dari pusat (DAU dan dana perimbangan). Jadi hanya beberapa daerah yang bisa survive dengan pendanaan sendiri. Pengalokasian dana bagi daerah baru hasil pemekaran sebagian besar anggaran justru tidak dipakai untuk pelayanan publik. Alokasi dana untuk pelayanan publik hanya sebesar 30%, infrastruktur berupa perkantoran sebesar 20%, untuk belanja rutin gaji pegawai sebesar 42%, dan 20% dana dialokasikan untuk belanja lain-lain. Dengan demikian pemekaran daerah yang sudah dilakukan belum memenuhi standar pelayanan publik yang ideal. Sementara itu dampak yang paling dirasa pada aras nasional adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan belanja negara. Pada APBN tahun 2006 misalnya, penyelenggaraan pemerintahan daerah pemekaran memerlukan ± 250-300 triliun rupiah (±20% dari PDB). Menurut catatan APBN tahun 2000-2004, dana yang dialokasikan untuk belanja daerah meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1999 dana untuk penyelenggaraan pemerintah daerah berjumlah Rp. 29,9 trilyun (2,6 dari PDB), meningkat menjadi Rp. 33,1% trilyun (3,4% dari PDB) pada tahun 2000. Peningkatan inipun terjadi pada tahun selanjutnya, yaitu 81,1 trilyun (5,6% terhadap PDB) tahun 2001, Rp 94,8 trilyun (5,9% terhadap PDB) tahun 2002, Rp 116,9 trilyun (6% terhadap PDB) tahun 2003, dan Rp. 130 trilyun (6,2% terhadap PDB) tahun 2004.12 Peningkatan pengeluaran negara tersebut adalah karena pembentukan daerah baru memerlukan kantor polisi baru, kantor agama baru, kantor pengadilan baru, dll.

Dari sisi politik keamanan, pemekaran daerah akan mendorong berkembangnya lembaga-lembaga militer dan kepolisian di luar Jawa terutama di daerah-daerah rawan konflik sosial dan konflik separatisme. Kehadiran aparat keamanan di daerah pemekaran terutama di luar Jawa dapat menjadi persoalan di masa depan jika mereka tidak dapat dikontrol oleh pemerintah dan masyarakat nasional. Selain itu pemekaran daerah akan membuka peluang bagi tumbuhnya etnosentrisme yang menjadi tantangan bagi integrasi nasional. Dalam realitasnya, elite lokal yang mengusulkan

9

Hasil Roundtabel Discussion, Percik-DRSP : “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah Yang Peka Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007.

10

Ibid

11

Wawancara dengan Eko Prasojo di Universitas Indonesia Depok pada tanggal 16 April 2006.

12

(12)

pemekaran daerah seringkali mengusung simbol-simbol etnis dan perbedaan budaya sebagai basis dari legitimasi politik pemekaran daerah.

3. MUNCULNYA IDE PEMEKARAN DAERAH

Ide dan perjuangan pemekaran daerah sebenarnya sudah lama ada di kalangan rakyat Sambas dan Buton. Proses perjuangan pemekaran itu sendiri juga sebenarnya berjalan lamban namun tidak disertai dengan tindak kekerasan. Munculnya ide pemekaran (dalam makna pemecahan) daerah dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (1) faktor-faktor penyebabnya, yang mencakup (a) faktor pendorong pemekaran yang berada di lingkungan internal daerah yang ingin mekar, dan (b) faktor penarik yang berasal dari lingkungan eksternal; dan (2) faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran. Faktor-faktor-faktor penyebab pemekaran maupun faktor-faktor yang memfasilitasi munculnya pemekaran dapat berlaku di dua wilayah penelitian (Sambas dan Buton) namun dapat juga bahwa faktor-faktor tertentu hanya berlaku di salah satu wilayah penelitian.

Beberapa faktor penyebab terjadinya pemekaran di antaranya adalah (a) faktor-faktor pendorong seperti (1) faktor kesejarahan, (2) faktor tidak meratanya pembangunan, (3) rentang kendali pelayanan publik yang jauh, dan (4) tidak terakomodasinya representasi politik dan (b) faktor penarik, yaitu kucuran dana (fiskal) dari pusat. Sedangkan faktor yang memfasiltasi munculnya pemekaran diantaranya adalah: (1) Proses persiapan untuk mekar; (2) Political crafting oleh para elite; (3) Kondisi perpolitikan nasional; dan (4) faktor tuntutan kemanan daerah perbatasan.

Perlu dikemukakan sebelumnya bahwa secara kronologis formal, Wilayah Induk Kabupaten Sambas mengalami pemekaran yang pertama, adalah dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999, tanggal 22 April 1999 (mendahului munculnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemekaran daerah). Undang-undang tersebut menetapkan Sambas menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas dengan Ibu Kota di Sambas13. Kemudian pada tahun 2001 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 ditetapkanlah Singkawang, yang semula merupakan bagian dari Kabupaten Bengkayang, menjadi Kota Otonom. Dengan demikian Kabupaten Induk Sambas telah mekar menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang.

Kabupaten Induk Buton secara kronologis formal telah mengalami pemekaran yang pertama pada 21 Juni 2001 dengan keluarnya UU Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan Bau-Bau sebagai Kota Otonom. Kemudian pada tahun 2003, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003, Kabupaten Buton mengalami pemekaran yang kedua dengan terbentuknya DOB Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana. Dengan demikian maka Kabupaten Induk Buton telah mengalami pemekaran menjadi DOB Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Otonom Bau-Bau.

3.1. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah

Sebuah territorial reform sebagaimana diamanatkan dalam UU 22 tahun 1999 dan PP 129 tahun 2000 sebenarnya mengusung pesan bagaimana teritori ditata dalam kebijakan penggabungan, penghapusan, dan pemekaran. Pilihan pada salah satu dari tiga kebijakan

13

Di sini, sebenarnya ada ketetapan yang menunjukkan adanya pemindahan letak Ibu Kota Kabupaten Sambas, yang semula ada di Kota Singkawang dipindahkan ke Sambas. Dengan keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1999 tersebut, Kota Singkawang yang semula menjadi Kota Administratif dan sekaligus sebagai Ibu Kota Sambas telah dipahami sebagai penurunan status hanya menjadi kecamatan dan menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya tetap berstatus sebagai kota administratif (lihat UU No. 12 Tahun 2001, pasal 5 dan pasal 12 ayat (2).

(13)

tersebut secara administrasi publik merupakan sebuah evaluasi, apakah kemudian sebuah atau beberapa daerah sekaligus akan mengalami penggabungan, penghapusan, ataupun pemekaran. Bagi kebanyakan negara maju, kebijakan territorial reform biasanya berbentuk amalgamasi atau penggabungan yang merupakan sebuah pilihan yang harus ditempuh karena pertimbangan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik. Sedangkan bagi sejumlah negara yang berkembang (termasuk Indonesia), beberapa kebijakan territorial reform memang lebih berbentuk sebagai pemecahan. Persoalannya adalah mengapa semua bentuk territorial reform di Indonesia mengambil bentuk pemecahan (yang untuk selanjutnya disebut sebagai pemekaran daerah), apa saja yang menjadi penyebab terjadinya pemekaran, dan apakah pemekaran merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber-sumber sosial, ekonomi, dan politik bagi daerah yang bersangkutan ? Semua pertanyaan itulah yang akan diungkapkan dalam uraian berikut.

Beberapa faktor penyebab yang berupa pendorong munculnya pemekaran saling berkaitan satu dengan yang lain. Sementara faktor penyebab berupa penarik yang berperan dalam pemekaran adalah kucuran dana (fiskal) dari pusat.

3.1.1. Faktor-faktor Penyebab Yang Berupa Pendorong: (1) Faktor Kesejarahan

Aspek yang berkaitan dengan sejarah baik di Sambas maupun Buton nampaknya menjadi pendorong munculnya ide untuk mekar, walaupun dengan intensitas yang tidak sama. Keberadaan Kasultanan Sambas ataupun Buton pada masa-masa sebelum kemerdekaan menjadi faktor yang menentukan. Di Kabupaten Buton, aspek kesejarahan terkait dengan masih bertahannya ingatan/kesadaran kolektif komunitas di wilayah Buton. Modal sosial dalam bentuk ingatan kolektif atau kesadaran kolektif tentang sejarah kejayaan masa lalu Kesultanan Buton yang terekam dalam benak komunitas masyarakat di Buton dan wilayah yang akan dimekarkan, menginspirasi bahwa dengan ingatan kolektif ini kejayaan masa lalu dapat diraih kembali dengan memanfaatkan momentum pemekaran daerah untuk kemudian membentuk sebuah wilayah teritori Provinsi Buton Raya.14 Kejayaan masa lalu yang dimaksud adalah bahwa Kesultanan Buton pernah menjadi kawasan transito dagang berbasis kelautan, pusat pemerintahan yang otonom tidak tersubordinasi oleh siapapun. Bagi Komunitas Buton ingatan kolektif ini dapat berfungsi sebagai perekat sosial sehingga kohesivitas sosial menjadi pendorong pemekaran wilayah termasuk munculnya Bau-bau sebagai kota otonom yang sekaligus juga mengukuhkan identitas Buton. Penetapan Bau Bau sebagai Kota Otonom terealiasi pada 21 Juni 2001 dengan terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2001.

Di Sambas aspek kesejarahan yang berkaitan dengan ingatan kolektif kejayaan Kasultanan Sambas juga terasa namun lebih terasa di Daerah Otonomi Baru Sambas (hasil pemekaran Kabupaten Induk Sambas), sedang di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang tidak terlalu kelihatan. Keterikatan yang lemah dengan ikatan memori kejayaan

14

Sejak 1538 di wilayah Buton berdiri Kesultanan Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton, Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi serta dua daerah di bagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang). Pada tahun 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan. Setahun sebelumnya di wilayah Kesultanan Buton, berdasarkan UU 29 Thn 1959, dibentuk dua kabupaten, yaitu Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagan-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan. Jejak peninggalan Kesultanan Buton hingga kini masih tersisa baik yang berupa tempat dan bangunan kraton, benteng maupun kultur yang pernah berkembang pada masa kesultanan, yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Buton (terutama yang tinggal di Pulau Buton) mengenai kejayaan kesultanan. Ingatan kolektif tentang kejayaan Kesultanan Buton ini pada gilirannya memberi warna dalam proses pemekaran di Kabupayen Buton. Meskipun derajad pengaruhnya berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya.

(14)

Kasultanan Sambas di Kabupaten Bengkayang dan Singkawang nampaknya terkait dengan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan daerah induk dan adanya politik identitas dari kedua wilayah tersebut. Ide pembentukan Provinsi Sambas Raya nampaknya juga lebih banyak terdengar dan diusahakan di Daerah Otonomi Baru Kabupaten Sambas, yang sedang gencar mengusahakan pemekaran kembali Daerah Otonom Baru Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran. Strategi pemekaran kabupaten yang baru ini memang diusahakan dalam rangka membentuk Provinsi Sambas yang dapat mengingatkan masa kejayaan Kasultanan Sambas.15 Di Sambas aspek kesejarahan yang menonjol lebih banyak berupa ketegangan, persaingan, dan bahkan konflik berulang antar etnis yang penyebabnya dapat dilacak pada rentang sejarah yang panjang. Pada jaman kolonial Belanda tindakan represip pemerintah terhadap pemberontakan yang berbau ikatan kesukuan dilakukan dengan memanfaatkan dukungan dari suku yang lain. Situasi ini menempatkan relasi yang saling berhadapan antar suku. Situasi ini tidak berubah sesudah jaman kemerdekaan. Situasi kesejarahan ini memunculkan pandangan yang dianut secara luas dilingkungan para elite politik dan tokoh adat setempat bahwa ”pemisahan” dominasi suku pada DOB yang berbeda melalui pemekaran akan menyelesaikan problem laten antar etnis.

(2) Ketimpangan Pembangunan

Faktor tidak meratanya pembangunan sangat dirasakan oleh wilayah-wilayah yang bukan merupakan pusat kegiatan atau pusat pemerintahan (ibu kota). Ketidakmerataan pembangunan bisa terjadi karena pihak elite birokrasi pemerintahan, legislatif, dan pelaku pembangunan yang kebanyakan tinggal di pusat pemerintahan, sering tidak memprioritaskan daerah pinggiran dan perbatasan untuk memperoleh jatah pembangunan yang adil. Pengalaman kurang menyenangkan dengan daerah induk ini terasa, baik di Buton maupun di Sambas.

Gambaran adanya pengalaman kurang menyenangkan dalam hubungan dengan wilayah induk di Buton dapat dilihat dari tertinggalnya pembangunan fisik (prasarana dan sarana pelayanan publik) di tiga Daerah Otonomi Baru (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau). Bagi tiga kawasan yang mekar (Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kota Bau-Bau), kondisi sebelum mekar merupakan cermin dari situasi yang kurang menyenangkan dengan alasan berbeda. Bagi Kota Bau-Bau alasan utama adalah karena pertimbangan tidak adanya otoritas (kewenangan) dalam menetapkan/mengatur kota Bau-Bau dengan kompleksitas masalah perkotaan yang muncul. Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana memiliki argumentasi bahwa selama belum mekar, tidak dimungkinkan adanya pelayanan publik yang maksimal, dibandingkan apa yang bisa diberikan pada kabupaten induk. Diskriminasi pelayanan publik, rentang kendali yang terlalu panjang, dibandingkan dengan kawasan yang dekat pusat pemerintahan, terasa sebagai praktik ketidakmerataan pembangunan. Praktik ketidakadilan ini sekaligus juga merupakan perwujudan praktik marginalisasi oleh wilayah induk bahkan oleh negara pusat terhadap wilayah pinggiran. Dengan demikian pemekaran merupakan satu-satunya jalan yang paling

15

Usaha untuk memindahkan ibukota Sambas dari Singkawang ke Sambas yang dilakukan sejak tahun 1961 juga merupakan usaha untuk mengingatkan akan adanya kejayaan masa lalu Sambas. Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas. Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang, sehingga sebagian besar pembangunan fisik ada di sekitar Singkawang. Perjuangan untuk mengembalikan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas baru berhasil dengan keluarnya UU No. 10 Tahun 1999.

(15)

cepat dan efektif untuk memperoleh akses ekonomi dan politik untuk membangun wilayahnya.

Gambaran yang tidak jauh berbeda juga terjadi di DOB Kabupaten Bengkayang dan Sambas. Usaha untuk memindahkan (mengembalikan) Ibu Kota Sambas dari Singkawang ke Sambas dan adanya usaha untuk memekarkan diri dari wilayah Bengkayang untuk menjadi DOB Kabupaten Bengkayang merupakan gambaran adanya ketidak puasan DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang terhadap Singkawang (sebagai Ibu Kota Sambas) karena tidak meratanya pembangunan pelayanan publik. Secara faktual dapat diamati bahwa (juga data sekunder) menunjukkan ketertinggalan wilayah pedalaman dan perbatasan dibandingkan wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan Singkawang.

(3) Luasnya Rentang Kendali Pelayanan Publik

Usaha untuk mendekatkan pelayanan publik ke rakyat sebenarnya bisa dilakukan dengan memperbanyak (menyebarkan ke pinggiran) pusat-pusat pelayanan publik (seperti kantor kecamatan, puskesmas, Polsek, sekolah, dll), membangun prasarana jalan, dan memberi kewenangan untuk melayani publik ke aras kecamatan. Namun selama belum ada pemekaran (sejak jaman Orde Lama sampai Orde Baru), semua pembangunan lebih banyak terpusat di ibu kota kabupaten. Oleh sebab itu pemekaran merupakan jalan tercepat (langsung) dan efektif untuk mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat.

Untuk wilayah Kalimantan Barat (termasuk Kabupaten Induk Sambas) yang mempunyai wilayah sangat luas dengan garis perbatasan yang sangat panjang maka pelayanan terhadap kepentingan publik menjadi suatu prioritas yang harus diusahakan oleh kabupaten induk. Sebagai gambaran, rakyat di wilayah pinggiran atau perbatasan untuk mencapai Ibu Kota Kabupaten Sambas harus menempuh perjalanan sekitar 200 Km yang harus ditempuh (sebelum mekar) selama minimal 4 jam dengan ongkos kendaraan bisa mencapai Rp 50.000,-. Kondisi ini mendorong munculnya DOB Kabupaten Sambas dan DOB Kabupaten Bengkayang. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Buton yang wilayahnya sangat luas dengan bentuk wilayah kepulauan. Hanya dengan memekarkan diri dengan membentuk DOB Kabupaten Wakatobi, DOB Kabupaten Bombana, dan sampai derajat tertentu Kota Otonom Bau-Bau maka pelayanan publik menjadi lebih dekat, murah, dan efisien.

(4) Tidak Terakomodasinya Representasi Politik

Representasi politik dari suatu wilayah tertentu menjadi satu kebutuhan yang sangat penting. Bagi daerah-daerah pinggiran yang mayoritas penduduknya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan mayoritas penduduk di wilayah Kabupaten Induk, selalu merasa bahwa aspirasi mereka tidak terwadahi karena wakil-wakil yang duduk di pemerintahan dianggap tidak merepresentasikan aspirasi kelompoknya. Ketidakterakomodasikannya kepentingan dan representasi politik mereka menyebabkan mereka berusaha untuk memekarkan diri demi untuk menunjukkan eksistensi dan politik identitas mereka.

Mekarnya Kabupaten Bengkayang dari Kabupaten Induk Sambas (juga mekarnya Kota Singkawang) menunjukkan adanya usaha dari mayoritas rakyat di Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda. Mayoritas penduduk di DOB Kabupaten Bengkayang (kecuali Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, dan Kecamatan Capkala) adalah Suku Dayak yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan), sedangkan mayoritas penduduk Kota Singkawang adalah Suku Cina yang beragama Non Islam. Kedua wilayah tersebut jelas berbeda dengan wilayah DOB Kabupaten Sambas yang didominasi oleh Suku Melayu yang beragama Islam. Oleh sebab itu kedua wilayah DOB tersebut mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan identitasnya yang memang berbeda dengan identitas mayoritas daerah induk. Sebagai

(16)

gambaran, pada akhir-akhir ini telah marak pemakaian simbol-simbol kesukuan dan agama di tempat umum dan perkatoran DOB Kabupaten Bengkayang dan Singkawang. Semua itu menunjukkan adanya usaha untuk menunjukkan eksistensi dari identitas yang memang berbeda.

Kondisi yang sama juga terjadi di DOB Kota Singkawang. Pada awal Pemekaran Kabupaten Sambas (UU Nomor 10 Tahun 1999) secara langsung telah meninggalkan Kota Singkawang yang semula menjadi ibukota Kabupaten Sambas telah dipahami sebagai penurunan status Singkawang menjadi hanya sekedar kecamatan, walaupun menurut ketentuan perundang-undangan sesungguhnya Singkawang tetap berstatus sebagai kota administratif (lihat juga catatat kaki no. 15). Kondisi ini menjadi penyebab utama munculnya tuntutan rakyat Singkawang untuk mekar dan mandiri menjadi kota. Secara faktual, Singkawang sudah menikmati menjadi Ibu Kota Kabupaten sejak keluarnya UU No 27 Tahun 1959 (lebih dari 40 tahun), tiba-tiba status kotanya turun hanya menjadi Ibu Kota Kecamatan dengan keluarnya UU No 10 Tahun 1999. Dalam kondisi semacam ini banyak fasilitas fisik yang kemudian ditinggalkan tanpa ada pemeliharaan. Selama statusnya turun, yaitu sekitar dua tahun, Singkawang menjadi kota yang hampir tidak tersentuh dengan pembangunan. Bahkan sejumlah bangunan fisik perkantoran tidak dimanfaatkan.

Keinginan para elit Singkawang untuk memperjuangkan pemekaran, selain dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap penurunan status dan kemerosotan kualitas kesejahteraan hidup kota Singkawang, juga diwarnai kekhawatiran para elit Melayu untuk berada dibawah dominasi Dayak bila Singkawang menjadi bagian dari Bengkayang. Semua kondisi tersebut menyebabkan perjuangan untuk memekarkan diri merupakan satu-satunya jalan yang paling cepat untuk mengatasi permasalahan ini.Gambaran yang sama juga ditemui di Kabupaten Induk Buton terutama di DOB Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Bagi Wakatobi soal representasi politik tidak terlalu kuat dibandingkan dengan semangat mewujudkan pelayanan publik. Sedangkan komunitas Bombana merasa bahwa selain kurangnya akses untuk memperoleh sumber ekonomi dan politik, juga kurang terepresentasikannya komunitas Moronene (yang merupakan mayoritas suku di DOB Kabupaten Bombana), yang selama ini merasa termarginalkan. Upaya memisahkan diri bagi Bombana sebenarnya telah dilakukan semenjak tahun 1948.16 Namun karena hegemoni pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, usaha ini baru berhasil dilakukan pada tahun 2003. Usaha ini sebenarnya bukan merupakan prakarsa tunggal karena di Bombana juga tinggal penduduk Kabaena dan suku Bugis. Komunitas Bombana ini, untuk membangun kohesivitas sosialnya, mengembangkan cara pandang ”territorial-pluralis-inklusif” yang mengandalkan tiga pilar Rumbia (Moronene) - Poleang (Bugis) – Kabaena (Moronene). Komunitas ini melandasi diri dalam lembaga tandualle. Sebelum Bombana mekar, pemerintah Kabupaten Buton melakukan hegemoni atas Bombana. Namun, pada saat yang sama, meskipun baru berhasil pada tahun 2003, komunitas Bombana telah pula berhasil melakukan counter-hegemony atas pemerintahan kabupaten induk. Kesadaran kolektif ini juga menjadi kian mengerucut karena representasi politik (anggaran) melalui legislatif dari Bombana tak juga mampu mewujudkan keadilan akses kue pembangunan. Bombana, yang telah memberi kontribusi hampir 50 persen terhadap pendapatan Kabupaten Buton, ternyata alokasi pembangunan infrastruktur wilayah Bombana dirasakan tidak adil. Dengan posisi representasi seperti itu maka langkah pemisahan diri menjadi jalan keluar terbaik bagi Bombana untuk membangun governance sendiri. Degan begitu Bombana akan memiliki

16

Di masa Hindia-Belanda komunitas sosial Moronene yang terhimpun dalam Kerajaan Moronene dimasukkan dalam wilayah administrasi Kesultanan Buton. Masuknya Kerajaan Moronene ke dalam Kesultanan Buton ini dipandang sebagai praktik hegemoni Kesultanan Buton atas Kerajaan Moronene. Ingatan kolektif inilah yang juga mendorong usaha pemisahan diri dari Kabupaten Buton.

(17)

identitas sendiri, otonom, dan representasi politik yang dibangun kelak tak direcoki dengan hierarki yang tidak adil dalam membagi kue pembangunan.

3.1.2. Faktor Penyebab Yang Berupa Penarik (Kucuran Dana Dari Pusat).

Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Kusus), merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya kue pembangunan (atau dalam bahasa lain disebut dengan common pools resources-CPR) bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut. Kondisi semacam ini terjadi baik di Sambas maupun di Buton.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang

diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke daerah.

Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti: Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan

common pools resources seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga besar.17

17

Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280 milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatibi memperoleh dana pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta.

(18)

3.2. Faktor-Faktor Yang Memfasilitasi Pemekaran

Dalam bagian ini akan disajikan sejumlah faktor pendukung yang yang memungkinkan para aktor yang terlibat dalam proses pemekaran menggulirkan usaha pemekaran. Cakupan dari faktor yang akan disebutkan berikut bisa jadi merupakan bentuk-bentuk ketersediaan kerangka regulasi nasional, proses dan saluran-saluran prosedur yang harus ditempuh, dan kemungkinan pengalaman yang sudah dirintis sebelumnya. Sejumlah faktor pendukung mengapa pilihan pemekaran menjadi keputusan banyak daerah yang akan mekar disajikan dibawah ini.

(1) Persiapan Pemekaran

Persiapan untuk memekarkan wilayah di Kabupaten Sambas sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang lama dan berjalan damai. Kabupaten Sambas yang pertama, terbentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat. Berdasarkan UU tersebut, Ibu Kota Kabupaten Sambas ditetapkan di Sambas. Sejak tahun 1963 status kawedanan dihapus sehingga wilayah Pemerintahan Kabupaten Sambas berubah menjadi 15 wilayah kecamatan dan pada tahun 1988, kecamatan bertambah menjadi 19 kecamatan. Dua kecamatan diantaranya merupakan bagian wilayah dari Pemerintahan Kota Adminstratif Singkawang.

Lintasan sejarah panjang tersebut tidak hanya menampakkan adanya usaha untuk mekar namun dibalik semua peristiwa formal tersebut juga menunjukkan peristiwa dan gejala yang meletakkan berbagai suku di Kalbar untuk bersaing dan saling berhadapan. Perseteruan antar suku tersebut dapat dilacak kembali sejak pemerintahan Belanda. Sudah sejak jaman kasultanan melayu yang Islam, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menghadapi pemberontakan dari para sultan. Pada abad 19 pemerintah Belanda juga harus menghadapi kerusuhan di kongsi-kongsi penggalian tambang oleh orang-orang Cina yang datang dari daratan Cina. Sementara itu komunitas Dayak di pedalaman yang kurang berkembang secara ekonomis memperoleh kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan dari kehadiran zending. Kedekatannya dengan Belanda menyebabkan Suku Dayak “menjadi mempunyai jarak” dengan kedua suku (Melayu dan Cina) lain yang juga merupakan suku-suku utama.

Pemekaran Kabupaten Sambas sebenarnya tidak lepas dari adanya tuntutan awal pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas dari Singkawang ke Sambas. Perjuangan untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten ini diawali dengan adanya aspirasi, tuntutan, dan gerakan masyarakat Sambas yang muncul pada tahun 1961. Tuntutan pemindahan ini didasarkan pada UU No. 27 tahun 1959 tentang Pembentukan daerah Tingkat II Di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 1953), yang dalam pasal 3 ayat (1) menetapkan Daerah Tingkat II Sambas berkedudukan di Sambas.

Kenyataan menunjukkan (de facto) bahwa Ibu Kota Kabupaten Sambas berada di Singkawang. Penunjukkan ini menyebabkan konsentrasi pembangunan berada di Singkawang, yang kebetulan mayoritas sukunya adalah Suku Cina. Hal ini menyebabkan Sambas, yang mayoritasnya Suku Melayu, kemudian hanya menjadi daerah pinggiran yang secara fisik menjadi tertinggal. Perkembangan politik semasa Orde Baru juga tidak memberikan perbaikan posisi hubungan antar etnis di atas. Pada tahun 1967, pada akhir era konfrontasi dengan Malaysia telah membawa nasib buruk bagi Etnis Cina. Pada masa itu muncul tuduhan bahwa komunitas Cina di hulu-hulu sungai, di pedalaman, dan di perbatasan dengan Serawak, merupakan sumber dukungan logistik dari kelompok PGRS/PARAKU. Atas dasar tuduhan tersebut, mereka di kejar-kejar, banyak yang di bunuh, dan dipaksa pindah dari daerah hulu sungai di pedalaman, ke kota-kota di pesisiran, melalui sebuah

(19)

operasi militer yang didukung oleh para tokoh adat Dayak setempat. Diantara tahun 1967- 1972 setidaknya 100.000 etnis Cina di relokasi.

Dengan demikian proses pemekaran Kabupaten Sambas yang berjalan sudah sangat lama dan kelihatannya damai, namun pada kenyataannya proses damai tersebut sebenarnya berada di atas tumpukan bara persaingan dan pertentangan antar etnis yang sangat kuat, yang setiap saat akan meledak. Ketegangan dan konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura pada sekitar tahun 1997, kemudian mengalami akselerasi konflik yang luar biasa pada era reformasi. Peristiwa “penghapusan” Suku Madura dari Daerah Kabupaten Sambas pada Era Reformasi, yang dilakukan baik oleh Suku Dayak maupun Suku Malayu, sebenarnya juga merupakan manifestasi ketegangan dan konflik tersebut. Dengan demikian maka pemekaran daerah dari Kabupaten Sambas menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang, yang kebetulan ketiga wilayah kabupaten/kota baru tersebut jatuh sama dengan perbedaan suku dan agama di masing-masing wilayah, merupakan satu-satunya jalan bagi masing-masing kelompok di atas memperoleh akses ekonomi dan politik di Kalimantan Barat. Selain itu muncul pula pandangan di kalangan kelompok elite dari suku-suku utama di Sambas, yang menganggap adanya pemekaran Kabupaten Sambas akan dapat meredam ketegangan dan konflik antar suku-suku utama di Kalimantan Barat (Sambas).

Dari uraian proses perjuangan yang sangat panjang tersebut maka munculnya pemekaran dapat lebih dipercepat karena proses penyiapannya sudah berjalan lama. Adanya persiapan pemekaran juga terjadi di Kabupaten Buton. Dari catatan yang terdokumentasikan, proses pemekaran di kabupaten Buton diawali dengan keluarnya SK Bupati Kabupaten Buton Nomor 46 Tahun 1999 tertanggal 25 Mei 1999 tentang pembentukan Tim Khusus untuk mempersiapkan Bau-Bau menjadi kota otonom, pemindahan kabupaten Buton dan pembentukan Kabupaten Wakatobi. Meskipun SK ini tidak menyebut Kabupaten Bombona, tetapi prakarsa lokal untuk mempersiapkan pemisahan diri Bombana dari Kabupaten Buton telah jauh dirintis sebelumnya. Bagi Kabupaten Buton Baru (sisa setelah dimekarkan) atau sering disebut dengan kabupaten induk, prakarsa mekar ini juga berimpit dengan keinginan untuk mewujudkan kembali kejayaan Kesultanan Buton melalui pembentukan Provinsi Buton Raya. Alasan lain bagi kabupaten induk untuk melepaskan sebagian wilayahnya adalah rentang kendali yang memang panjang dengan kawasan yang akan dimekarkan ini.

(2) Political Crafting Oleh Elite

Dengan melihat perkembangan sosial politik dan fisik baik di Sambas maupun Buton, nampak ada sejumlah permasalahan mendasar yang dapat menyebabkan pemekaran di wilayah masing-masing. Namun demikian semua faktor tersebut tidak akan mencapai hasil seperti sekarang kalau tidak ada campur tangan elite lokal, regional, dan pusat yang memanfaatkan kondisi yang ada untuk memekarkan daerah. Semua permasalahan tersebut merupakan kombinasi faktor yang sangat kuat yang oleh elite lokal, regional, dan pusat dijadikan dasar bagi ide dan perjuangan pemekaran daerah. Di dalam hal ini dapat terjadi bahwa di satu pihak para elite daerah (atau elite pusat yang berasal dan berakar di daerah) memiliki peluang untuk memperoleh akses ke sumber-sumber ekonomi dan politik bagi kepentingan pribadi (rent seekers), namun di lain pihak bisa juga memang betul-betul di desak oleh rakyat di daerahnya untuk memperjuangkan pemekaran agar semua permasalahan tersebut dapat diatasi

Munculnya aktor-aktor elite yang hadir sebagai pejuang pemekaran yang dengan alasan apapun mampu mendorong penyiapan proses proses menjadi sebuah kenyataan. Para elite ini ternyata memegang peranan penting dalam membaca dan sekaligus menyikapi perkembangan tata pemerintahan. Mereka juga mengikuti perjalanan sejarah Kabupaten Sambas atau Kabupaten Buton yang sebelumnya merupakan bentuk Kasultanan Sambas dan Kasultanan Buton kemudian terjadi pembekuan monarki yang diikuti dengan pembentukan

Referensi

Dokumen terkait

Subjek yang digugurkan dalam ayat perintah ialah subjek yang terdiri daripada kata ganti nama diri kedua iaitu kamu, awak, anda dan yang sama maksud dengannya.. Contoh: Ayat

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dengan limpah karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul

Aplikasi teori Vygotsky tentang Zona Perkembangan Proksimal (ZDP) ini adalah bahwa peran guru sebagai mediator pada kegiatan belajar siswa saat mereka saling berbagi pengetahuan

Adapun secara rinci simpulan dalam penelitian ini adalah: (1.) Bentuk kesalahan yang paling banyak dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal kalor yakni:

Aplikasi telah digunakan oleh 20 responden yang menonton video dan menunjukkan Salient Area dengan menggerakkan jari.. Aplikasi merekam pergerakan jari dalam

Pemodelan FEA untuk pengujian keausan pin-on-disc antara baja dengan baja dibuat dengan penyederhanaan geometri pin dan disc (piringan) dengan model 2D, seperti

Salah satu jenis camilan yang memiliki kandungan gizi lengkap, mengandung antioksidan dan serat pangan adalah keripik simulasi dengan bahan tepung bekatul substitusi