• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi atau proses pemberian (pengembalian) kewenangan untuk mengelola pemerintahan diaras non pusat (provinsi atau Kabupaten/kota) secara otonom akan selalu terkait dengan suatu proses terik menarik antara kepentingan nasional (pusat) dan kepentingan lokal (daerah). Oleh sebab itu, kesimpulan hasil dan rekomendasi dari penelitian pemekaran daerah sebenarnya tidak akan bersifat hitam putih yang terpisah secara tegas, namun merupakan gambaran yang tidak tegas (“abu-abu”) bahkan seringkali bisa bersifat dilematis atau tarik-menarik antara isu dan kepentingan nasional (pusat) dengan isu dan kepentingan lokal (daerah). Isu atau kepentingan nasional (pusat) yang biasanya bersifat: memelihara pluralisme, kesatuan nasional, dan lebih menekankan efisiensi pelayanan publik, akan berhadapan dengan isu atau kepentingan lokal yang biasanya bersifat ingin menunjukkan identitas atau dignity, bervariasi dan spesifik, serta lebih menekankan efektifitas pelayanan publik.

Demikian pula proses-proses otonomi daerah, bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat sebagai final product (sesuatu yang bersifat final atau selesai) tetapi bersifat on going (atau sesuatu yang terus berjalan). Perkembangan hasil dari proses-proses pemekaran daerah

sangat tergantung dari kemampuan dan kapasitas crafting masing-masing daerah di dalam menyelesaikan permasalahan pemekaran daerah. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat berbeda dari ssatu daerah ke daerah lain. Selain itu hasil dan perkembangan pemekaran daerah juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Hasil pemekaran bisa terlihat negatif karena adanya peran aktor tertentu dan pada kondisi tertentu tetapi pada akhirnya bisa saja pada perkembangannya menjadi bersifat positif oleh adanya aktor lain atau kondisi lain.

Beberapa hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi yang dapat dikemukakan di antaranya dapat dilihat pada uraian skematis di bawah ini.

KESIMPULAN REKOMENDASI

Adanya keterbatasan kapasitas Pemerintah Pusat untuk memahami dinamika pemekaran di aras daerah.

Adanya kecenderungan Pemerintah Pusat untuk menyeragamkan keputusan dan prosedure pelaksanaan pemekaran daerah.

Pemerintah sebaiknya segera membuat kebijakan yang bersifat umum menyangkut institutional design (perencanaan kelembagaan) pemekaran daerah.

Kebijakan pemekaran daerah yang lebih rinci ditetapkan oleh otoritas pemerintahan di atasnya, seperti:

a. Pemerintah provinsi oleh pusat

b. Pemerintaha Kabupaten/Kota oleh Provinsi

c. Pemerintahan Kecamatan/Desa/ Kelurahan oleh Kab/Kota

Dipandang dari sudut kepentingan politik daerah dan socio-cultural daerah (seperti

dignity rakyat dan identitas daerah), pemekaran adalah penting, namun demikian pemekaran daerah memang membutuhkan biaya tinggi dan dukungan dari pusat yang sekaligus juga membebani bagi pusat

Pemekaran daerah, untuk sementara ini, tidak perlu dihentikan tetapi harus dilanjutkan dengan lebih meningkatkan efisiensi organisasi pemerintahan daerah dan pengorganisasian proses-proses pemekaran itu sendiri. Prosedure dan sistem pemekaran daerah perlu terus dikembangkan kearah efisiensi.

Fenomena pemekaran nampaknya akan terus berlanjut sampai ke taraf yang tidak rasional. Penambahan jumlah Daerah Otonomi Baru, pada akhirnya akan membebani Anggaran Negara dan sekaligus menyebabkan tidak efisiennya pelayanan publik.

Hal ini bisa terjadi karena daerah memandang bahwa pemekaran daerah merupakan satu-satunya jalan untuk mengembangkan diri, memberi pelayanan publik yang lebih efektif, dan sekaligus dapat digunakan sebagai jalan untuk menyerap dana dari pusat secara legal.

Kalau selama ini pemerintah pusat hanya mempunyai kebijakan menyangkut pemekaran daerah maka perlu segera dibuat kebijakan yang menyangkut pembatasan jumlah daerah yang dapat mekar atau mekar kembali (jumlah maksimal yang dapat mekar).

Di dalam hal ini kaidah struktur disinfektif atau cost and responsibility dapat digunakan. Perlu pengaturan kembali persyaratan dan perhitungan pemberian DAU dan DAK yang lebih condong ke usaha untuk memperbesar pelayanan publik dan bukan pada pengembangan administrasi pemerintahan atau mengembangkan kekuasaan administrasi daerah).

Diperlukan kebijakan yang memungkinkan adanya pengembangan pelayanan publik

lewat pemekaran kecamatan yang tidak disertai dengan pemekaran daerah (Kabupaten /Kota)

Di beberapa wilayah ditemukan adanya keengganan untuk kerjasama antar-daerah yang tidak berjalan dengan baik (bahkan konflik).

Makna UU No. 32 Tahun 2004 yang menyangkut kerjasama lintas daerah , terlalu banyak diambil-alih oleh pemerintah di atasnya dan usaha ini tidak berjalan dengan baik.

Dalam rangka mengembangkan kerjasama antar (lintas) daerah yang baik, diperlukan adanya pembebasan (perlu ruang) bagi daerah untuk mengembangkan dan melaksanakan prakarsa lokal. Di dalam hal ini pengembangan kerjasama antar daerah, tidak hanya harus menanti pengambilalihan oleh pemerintahan di atasnya namun harus dilakukan oleh mereka sendiri sesuai dengan kondisi dan permasalahan spesifik di daerah masing-masing.

Di beberapa daerah, sengketa antara Daerah Otonomi Baru dengan Daerah Induk selalu terjadi. Hal ini nampaknya terkait dengan tidak adanya penjabaran institusi kelembagaan yang memberi makna bahwa Daerah Otonomi Baru perlu didukung dan bukan dianggap sebagai kompetitor. Daerah Induk harus mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk mengembangkan kerjasama dan pengembangan bersama.

Perlu dirumuskan suatu kebijakan menyangkut manajemen transisi, yang mengatur secara kelembagaan semua proses pemekaran kedepan terutama terkait dengan kerjasama antar daerah dan pengembangan bersama.

Ditemukan adanya ketidak jelasan tentang wilayah yang dianggap Daerah Induk dan wilayah yang dianggap Daerah Otonomi Baru (anak). Demikian pula menyangkut penetapan daerah dijadikan ibukota. Hiruk-pikuk dan keruwetan pemekaran daerah tersebut bisa disebabkan oleh tidak adanya

Institutional design pemekaran (terutama pada masa transisi), dan ketidaktepatan manajemen yang tidak tuntas (walaupun ada juga konflik di daerah menyebabkan keruwetan diatas).

Perlu dirumuskan kebijakan institutional design yang menyangkut kejelasan dan konsekwensi Penetapan Darah Induk dan Penetapan Ibukota

Berbagai karakteristik lokal memiliki pengaruh yang besar terhadap proses sosial politik pembentukan daerah otonom baru. Era reformasi dan semangat desentralisasi merupakan momentum perwujudan dari keinginan memekarkan diri yang dalam berbagai daerah telah ada di dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan tentang pemekaran sekedar dipakai sebagai alat legitimasi legal-formal oleh para elit politik, baik lokal maupun nasional, untuk mencapai

Format pemekaran wilayah (territorial

reform) di masa depan harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh adanya keragaman ekologi maupun sosio-kultural yang merupakan karakteristik lokal. Tanpa adanya pertimbangan akan pentingnya karakteristik lokal, setiap perundangan dan peraturan tentang desentralisasi dan pemekaran wilayah (territorial reform) hanya akan menjadi kerangka legal-formal yang dipakai sebagai alat legitimasi untuk membentuk daerah otonom baru demi

tujuan pemekaran. kepentingan-kepentingan elite politik belaka (elite captures).

Desain desentralisasi dan pemekaran wilayah (territorial reform) tidak

memberi kesempatan bagi

teraktualisasinya potensi daerah dan masyarakat lokal (rakyat) sebagai representasi dari masyarakat sipil (civil

society).

Selain itu dengan kerangka legal-formal yang ada justru mendorong berkembang dan menguatnya sentimen etno-kultural yang sempit yang mendorong terfragmentasinya wilayah geografis berdasarkan batas-batas etno-kultural sempit tanpa mempertimbangkan viabilitas dan interkoneksitas ekonomi antar daerah.

Kebijakan desentralisasi dan pemekaran perlu didesain ulang (redesign) dengan lebih membuka diri untuk berkembangnya ruang publik, yang memungkinkan lahirnya check

and balances.

Selain itu, pada skala makro, diperlukan “rethinking” tentang konsep desentralisasi yang memungkinkan dikembangkannya desain-desain pemekaran wilayah (territorial

reform) yang berbasis “region” dan “regionalism” mengingat kompleksnya konfigurasi geografis, demografis maupun kultural di Indonesia.

Dilihat dari kacamata daerah (rakyat), pembentukan kabupaten baru yang disertai dengan pengembangan kecamatan baru, pada umumnya menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih dekat kepada masyarakat dan manfaatnya dapat lebih langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian efisiensi pelayanan publik perlu diperhatikan (rasio jumlah penduduk yang dilayani dengan jumlah pelayan publik).

Selain itu, resentralisasi pelayanan publik ke aras kabupaten (seperti pengurusan KTP, KK, dll) menyebabkan pembentukan kecamatan baru dan pelayanan publik menjadi tidak efektif lagi.

Perlu adanya (penetapan) kebijakan (bisa sampai kebijakan di aras nasional) beserta konsekwensinya yang memberikan kewenangan yang lebih besar bagi kecamatan baik di Daerah Otonomi Baru maupun di Daerah Induk (daerah lain) untuk memberikan pelayanan publik.

Selian itu dipandang perlu adanya perumusan

collective designing secara partisipatoris yang tidak hanya ada pada tataran grand

design di tingkat pusat, tetapi juga grand

design di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam perumusan kebijakan, tujuan, dan proses pemekaran daerah, seharusnya juga diperhatikan dan diakomodasi kepentingan kelompok yang selama ini terpinggirkan

*****

Dokumen terkait