• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat …

6. PERKEMBANGAN RELASI SOSIAL-POLITIK …

6.4. Relasi Sosial-Politik Antara Daerah dengan Pemerintah Pusat …

Dalam perkembangannya, kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terkait dengan

territorial reform-nya direspon oleh daerah secara berbeda. Respon daerah tersebut terjelma ke dalam alasan atau faktor pendorong maraknya keinginan daerah untuk melakukan pemekaran daerah, yaitu: 1) Motivasi untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, dan ketertinggalan pembangunan di daerah-daerah; 2) kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan, dll; 3) adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan bagi daerah-daerah pemekaran (seperti disediakannya dana alokasi umum bagi pemerintah daerah otonom), bagi hasil (revenue sharing) sumber daya alam, dan disediakannya sumber-sumber pendapatan asli daerah); 4) motif politik ekonomi (bureaucratic and political rent-seeking) dari pemekaran daerah. Disamping itu masih ada motif “tersembunyi” didorongkannya upaya pemekaran dari pusat, yaitu gerrymander atau usaha-usaha pembelahan daerah secara politik.

Dalam implementasi kebijakan territorial reform di Indonesia dewasa ini, teridentifikasi tiga pola proses yang teramati. Pertama, proses pemekaran sarat dengan kolaborasi antar-elite lokal, pengusaha, dan elite nasional. Kondisi seperti ini menyebabkan biaya pemekaran daerah menjadi tinggi dan pada gilirannya menimbulkan persekongkolan yang tak sehat. Dalam roundtable disscusion, Percik-DRSP (2007) terungkap bahwa kolaborasi antara elite-elite dalam pemekaran menjadi arena untuk sharing baik kekuasaan maupun ekonomi (proyek-proyek) apabila daerah baru terbentuk. Kedua, dalam proses pemekaran ini sangat kuat nuansa penggunaan paradigma public administration yang muncul dalam wujud pemenuhan syarat yuridis-formal. Tetapi sebaliknya, terungkap dalam

proses roundtable disscusion,26 meskipun pada tataran kebijakan pemekaran daerah didominasi oleh logika administratif yang lebih mengedepankan pemenuhan persyaratan administratif yang bersifat formal, dalam tataran implementasi justru aspek politik yang lebih dominan dan sering menggeser aspek-aspek formal adminstratif. Proses pemekaran sering dimanfaatkan sebagai ajang melakukan investasi politik di daerah oleh elite-elite nasional sehingga pemenuhan tuntutan pemekaran tidak didasarkan pada pertimbangan yang obyektif.

Ketiga, kepercayaan adanya kebesaran masa lalu mendorong keinginan untuk membentuk provinsi dengan warna etno-kultural dominan. Ingatan kolektif menjadi pengikat untuk melakukan gerakan bersama untuk membentuk daerah (provinsi) baru. Ingatan kolektif tersebut semakin memperoleh peluang sebagai dasar untuk memekarkan diri dengan lahirnya kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang dimaksudkan lebih memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan identitas budaya lokal yang mengekpresikan dirinya dalam pembangunan telah menjadi pendorong aspirasi kelompok yang selama ini merasa tertekan dan terpinggirkan untuk memiliki unit wilayah administratif yang mewakili ingatan kolektif tentang batas-batas territorial sebelumnya.

Seperti diketahui, pemekaran daerah di Indonesia sampai saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 199927 sebagai penjabaran dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam perspektif nasional, sebagaimana termuat dalam PP No. 129/1999, tujuan pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan pertumbuhan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan serasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, setiap kebijakan pemekaran dan pembentukan daerah baru harus menjamin tercapainya akselerasi pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran seringkali hanya merupakan agenda elite yang menjadi inisiator-inisiator pemekaran. Inisiator ini bisa berupa elite daerah di daerah atau elite daerah yang ada di Jakarta. Elite daerah yang ada di daerah ini meliputi para politisi lokal, ekskutif lokal (camat yang daerahnya akan menjadi wilayah dari daerah yang akan dimekarkan), pemimpin tradisional, aktivis LSM maupun para pengusaha lokal yang berharap jika suatu daerah berhasil dimekarkan para aktor tersebut akan memperoleh sharing baik kekuasaan maupun proyek-proyek. Proses pemekaran

26

Bandingkan dengan Riwanto Tirtosudarmo, 2007. Pemekaran sebagai Arena Perebutan dan Pembagian Kekuasaan – Kritik terhadap Dominasi “Public Administration School” dalam kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Percik-DRSP, Seminar Internasional ke-8. Public administration school yang dmaksudkan Riwanto adalah: dalam territorial reform ini aspek legal-formal dan administrasi publik ini kemudian melupakan aspek keruangan (spasial-geografis) dan dimensi sosial-kultural. Konsep yang seharusnya dipertimbangkan, misalnya, adalah pertimbangan bioregion yang memiliki “ecological boundaries” yang perlu dipertimbangkan sebelum batas administratif diputuskan. Konsep bioregion inipun sangat erat hubungannya dengan aspek sosio-kultural, hal.3-6;10-11; Bdk. Gabe Ferazzi, 2007, hal.5; hal 22-23.

27

Keberadaan PP No. 129 tahun 1999 ini oleh beberapa kalangan sudah dianggap tidak relevan lagi untuk mengatur tentang penataan daerah sehingga muncul dorongan yang kuat untuk mengubah PP No. 129 Tahun 1999 tersebut. Salah satu pihak yang mendorong supaya PP No. 129 Tahun 1999 diuabah adalah Dewan Perwakilan Daerah. Dalam Pengantar Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap 11 RUU Inisiatif DPR RI tentang Pembentukan Daerah tanggal 6 Meret 2007, DPD mendesak supaya penyempurnaan PP No. 129 Tahun 1999 segera dilakukan mengingat semakin kompleknya persoalan pemekaran daerah. Penyempurnaan yang didesakkan oleh DPD ini termasuk juga dipikirkan tentang model pembentukan daerah baru melalui masa persiapan dalam kurun waktu 1-2 tahun dan juga mengoptimalkan dan mensinergiskan peran lembaga negara yang ada.

tidak dilakukan melelui proses horizontal learning atau kesediaan saling belajar dari para elite daerah sehingga hanya akan mengulang kesalahan dan menumpuk persoalan.28

Persoalan yang menyangkut relasi sosial-politik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Otonomi Baru akan selalu terkait dengan gencarnya usaha daerah untuk menyerap dan memanfaatkan DAU dan DAK dan Inefisiensi pelayanan publik,

(1) Pemanfaatan DAU dan DAK

Turunnya DAU dan DAK secara langsung ataupun tidak langsung menjadi sumber dana bagi geliat ekonomi dan pembangunan. Sejumlah program pembangunan dan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan), perkantoran pemerintahan, dan sarana pelayanan publik lain (rumah sakit atau puskesmas), dapat dilaksanakan karena adanya dana tersebut. Pelaksanaan proyek pembangunan tersebut selain secara langsung memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi para pekerja di dalam proses pembangunannya juga menyebabkan pelayanan publik menjadi lebih baik. Selain itu DAU juga memungkinkan pemerintah daerah mengangkat pegawai baru yang jumlahnya bisa mencapai 500 orang pertahun.

Dengan demikian adanya DAU dan DAK memang benar-benar mampu memberikan dampak positif bagi daerah. Dalam perkembangannya adanya DAU dan DAK ini seringkali memang menjadi tujuan utama dimekarkannya suatu daerah, dengan tanpa memperdulikan beban negara yang dapat semakin besar.

Walaupun adanya DAU dan DAK memberi dampak yang benar-benar positif bagi perkembangan DOB namun dilihat dari semakin beratnya beban anggaran yang haruys ditanggung oleh negara maka aspek efisiensi pemanfaatan DAU dan DAK selalu menjadi pokok relasi sosial-politik antara DOB dan Pemerintah Pusat yang kurang harmonis.

(2) Inefisiensi Pelayanan Publik

Begitu gencarnya pembangunan prasarana perkantoran untuk memberi pelayanan publik, kadang-kadang untuk wilayah tertentu menjadi tidak efisien karena jumlah yang dilayani terasa terlalu sedikit. Kondisi ini terjadi di dua wilayah penelitian (Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara). Sebagai gambaran dapat dikemukakan di Kabupaten Bengkayang terdapat kecamatan baru (baru dibentuk) yang hampir satu hari penuh tidak dikunjungi oleh rakyat. Tersedianya aparat birokrasi di kecamatan yang bersangkutan kurang dimanfaatkan karena sedikitnya jumlah warga yang haris dilayani dan tidak adanya program pembangunan yang jelas yang seharusnya mereka jalankan.

Terlepas dari dampak positif yang memungkinkan munculnya efektifitas pelayanan publik, namun untuk wilayah tertentu pelayanan publik menjadi tidak efektif dan lebih menjauhkan rakyat dari pusat pemerintahan. Kasus masyarakat Kecamatan Sungai Raya yang semula memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan lebih dekat dengan pusat pemerintahan, sesudah ada pemekaran wilayah justru menjadi lebih jauh dari pusat pemerintahan.

Adanya resistensi warga terhadap inefisiensi pelayanan publik, seperti kasus di Kecamatan Sungai Raya, sebenarnya tidak hanya dilandasi ketidakpuasan atas tidak efisiennya pelayanan publik oleh pihak kabupaten namun juga didorong oleh adanya ketidakpuasan dan kekawatiran oleh adanya perubahan status kemapanan (kekuasaan). Warga Sungai Raya yang semula merupakan etnis mayoritas, dengan adanya pemekaran menyebabkan mereka menjadi kelompok minoritas di Kabupaten Bengkayang.

28

Hasil Roundtabel Discussion Percik-DRSP, “Mengembangkan Kebijakan Penataan Daerah yang Peka Terhadap Perspektif Lokal”, diselenggarakan di Kampoeng Percik pada tanggal 20 Juli 2007.

Inefisiensi pelayan publik seperti kasusu diatas memungkinkan adanya relasi sosial-politik antara Pemerintah Pusat dengan DOB menjadi kurang harmonis. Walaupun demikian tindak lanjut (usaha) untuk mengatasi masalah ini nampaknya belum jelas.

Dokumen terkait