• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paling tidak ada delapan hal yang akan dibahas di dalam sub bab ini yaitu: (1) Kemampuan Memperoleh Sumberdaya Fiskal; (2) Corak Fiskal pada Awal Daerah Otonomi Baru; (3) Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah; (4) Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural; (5) Rekritmen PNS; (6). Rentang Kendali; (7) Masuknya DPRD Baru; dan (8) Perkembangan DOB.

19

Khusus untuk DOB Kabupaten Bengkayang, pembangunan kantor kabupaten yang megah baru dilakukan pada tahun-tahun terakhir. Bahkan pembangunan rumah dinas Bupati Bengkayang tidak dilakukan. Walaupun rumah dinas bupati tidak dibangun Bupati Bengkayang telah berhasil membangun rumah pribadinya dengan sangat megah.

20

Pada saat penelitian ada investor dari Finlandia yang akan melakukan investasi untuk membangun dermaga di salah satu pulau dari 13 pulau yang ada di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan dan akan membuat industri pengolahan kayu.

21

Pada saat ini sudah muncul pemahaman bahwa adanya perkebunan kelapa sawit tidak selalu menguntungkan, sehingga sebagian Suku Dayak menolak perkebunan kelapa sawit karena dapat merusak lingkungan (tidak dapat menahan air) dan dapat menyebabkan ketergantungan kepada pabrik.

5.1. Kemampuan Memperoleh Sumber Daya Fiskal

Membayangkan Indonesia sebagai sebuah kawasan kepulauan dengan keragaman etnis, bahasa, dan budaya, maka tantangan terbesar untuk keberlangsungan hidup Indonesia sebagai negara-bangsa adalah bagaimana menjaga prinsip keberlangsungan berdasarkan pada distribusi kue pembangunan secara adil. Kue pembangunan, yang adalah terkumpulnya sumber-sumber daya publik (common pool resources), sudah selayaknya dapat diakses melalui mekanisme representasi politik yang adil pula. Prinsip ini merupakan prinsip yang dapat saja mendorong tumbuhnya praktik yang sebaliknya, yakni membangun ketidakadilan dalam membagi kue pembangunan tetapi juga sekaligus memandulkan representasi politik masyarakat sipil (civil society). Ketiadaan representasi politik inilah yang mendorong tumbuhnya oligarkhi berupa kekuasaan di tangan segelintir orang yang secara sistematis melakukan perampokan atas state resources atau elite captures. Jika ini terjadi, maka fenomenanya adalah tragedi atas milik bersama (tragic of the the common). Tantangan seperti inilah yang akan menguji apakah kebijakan penataan daerah yang digulirkan oleh negara akan membawa angin keadilan dalam pembagian kue pembangunan atau justru semakin maraknya praktik investasi politik yang mendorong perampokan sumber-sumber negara.

Kebijakan desentralisasi yang terjadi sekarang ini telah menjadi dasar terjadinya transfer sumber keuangan dan kewenangan yang cukup besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor. Kebijakan desentralisasi yang diikuti munculnya kebijakan pemberian DAU ( dan DAK) ke daerah merupakan konskuensi dari kebijakan desentralisasi kewenangan kepada daerah. Kebijakan keuangan untuk daerah yang demikian telah menjadi alasan bagi masyarakat di daerah untuk berlomba membentuk DOB dengan jalan pemekaran. Dengan demikian kebijakan keuangan pemerintah pusat telah menjadi faktor penarik utama tuntutan pemekaran. Limpahan fiskal yang berasal dari APBN, yang dapat diwujudkan lewat turunnya DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta bantuan lainnnya merupakan sebuah simbol bahwa kue pembangunan (dari negara pusat) dapat diakses melalui mekanisme pemekaran ini. Dengan limpahan fiskal seperti ini sebenarnya menegaskan bahwa sumber satu-satunya kue pembangunan bagi daerah yang akan mekar dapat diakses. Jumlah fiskal sebelum mekar yang diterima ketika itu dibandingkan dengan setelah mekar terlalu jauh bedanya. Kondisi semacam ini, yang terjadi baik di Sambas maupun Buton, menyebabkan semakin banyaknya wilayah yang mencoba memekarkan diri dengan alasan untuk memperoleh limpahan dana dari pusat tersebut.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa hasil wawancara (lewat FGD) dengan sejumlah tokoh di DOB Kabupaten Sambas yang sedang giat berjuang untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Sambas menjadi tiga (Kabupaten Sambas, Kabupaten Sambas Utara, dan Kabupaten Sambas Pesisiran). Demikian pula ada usaha untuk memekarkan kembali DOB Kabupaten Buton menjadi tiga Kabupaten Baru, yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Barat (usaha di DOB Buton ini bahkan telah masuk dalam Perda Kabupaten Buton). Berkaitan dengan usaha ini para elite yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak terlalu memperhitungkan ketidak terpenuhinya

sejumlah syarat untuk mekar (sesuai dengan PP No 129 Tahun 2000), yang memang dapat dimanipulasi. Yang paling penting bagi mereka adalah turunnya DAU dari pemerintah pusat. Dengan demikian maka pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh akses terhadap sumber ekonomi dari pusat. Bahkan kesan ”balas dendam” sangat terasa karena pemekaran merupakan ”pukulan balik” bagi pusat yang sudah cukup lama dan cukup banyak menyerap kekayaan daerah untuk mengembalikan kekayaan tersebut ke daerah.

Kasus nyata yang lain dapat dikemukakan proses pembangunan di DOB Kabupaten Bengkayang. Semenjak menjadi DOB Bengkayang telah mengembangkan jumlah kecamatan

dari semula hanya tujuh kecamatan menjadi 17 kecamatan. Pembangunan kecamatan biasanya akan diikuti oleh pembangunan sarana pelayanan publik yang lain seperti: Puskesmas, Sekolahan (SLTP bahkan SLTA), Polsek, dan lain-lain (lihat lampiran 1). Selain itu dengan adanya Dana Alokasi Umum maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang dapat mengangkat sekitar 500 Calon Pegawai Negeri baru.Gambaran di DOB Kabupaten Wakatabi juga menunjukkan hal yang sama. Perbandingan jumlah dukungan dana dari pusat antara sebelum dan sesudah pemekaran menunjukkan perbedaan yang sangat besar. Dari wawancara di lapang, kasus yang mirip juga terjadi di Bombana. Fakta ini juga menegaskan bahwa negara pusat merupakan sebuah institusi satu-satunya yang dapat memberikan

common pools resources (CPR) seperti ini. Tak ada sumber lain selain negara yang memungkinkan untuk bisa diakses kue pembangunannya. Pada kasus pemekaran di Buton meski dibalut dengan keinginan memperjuangkan identitas etnis, namun harapan memperoleh CPR juga besar.22

Demikian pula untuk DAK yang pada dasarnya merupakan dana untuk kegiatan pembangunan yang lebih banyak dikelola oleh dinas sektoral merupakan sumber utama bagi dinas sektoral di aras regional untuk melaksanakan kegiatannya. Dengan demikian maka DAK juga menjadi salah satu faktor pemacu munculnya DOB, namun penggunaan dari DAK ini seringkali hanya berorientasi kepada rencana dinas yang datang dari atas dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat di daerah.

5.2. Corak Fisik Pada Awal Daerah Otonomi Baru

Di Daerah Otonomi Baru (DOB) yang lewat pemekaran menjadi kabupaten, ketersediaan dana kucuran dari pusat diutamakan atau diprioritaskan untuk membangun sarana dan prasarana fisik, khususnya gedung perkantoran, rumah jabatan bupati dan rumah jabatan wakil bupati (khusus di Kabupaten Bengkayang rumah jabatan bupati sengaja tidak diprioritaskan untuk dibangun), gedung DPRD (khusus untuk gedung DPRD kurang ditunjukkan oleh DOB yang semula sudah menjadi ibu kota kabupaten induk), sementara prioritas berikut barulah untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (seperti jalan, jembatan, dan sebagainya). Walaupun demikian adapula wilayah yang juga memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan publik tanpa terlebih dahulu membangun gedung untuk rumah jabatan kepala daerah. Pola ini mengungkapkan antara lain:

(1). Pertanda visual bahwa DOB yang bersangkutan telah memiliki status baru, sehingga sarana dan prasarana fisik itu menjadi pertanda konkret tentang status baru itu yang pada masa sebelum pemekaran belum ada. Proses pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk kepentingan umum (jalan, jembatan, dan sebagainya) juga mendukung tujuan untuk menunjukkan status DOB itu.

(2). Untuk daerah tertentu, yang memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana fisik untuk kepentingan pejabat dan legislatif (yang bias elite), selain menunjukkan adanya pengalokasian yang tidak langsung bermanfaat bagi rakyat namun juga berfungsi sebagai pengungkapan kebanggaan dan identitas DOB.

(3). Dalam kebanggaan ini yang lebih kuat menonjol adalah citra pembangunan sarana-prasarana yang bias elite, yaitu dibangunnya bangunan rumah-rumah dinas lebih dahulu ketimbang sarana-prasarana jembatan, pelabuhan, jalan, dan puskesmas yang

22

Hasil wawancara dengan Ketua DPRD, Staf WWF dan ketua KNPI (tgl 30/3/2007), diperoleh informasi bahwa, dihitung dari waktu sekarang (2007), Kabupaten Wakatobi sudah memasuki tahun ketiga dalam proses penganggaran. Anggaran tahun pertama (2005) sebesar Rp 47 milyar, tahun kedua (2006) sebesar Rp 280 milyar, dan tahun ketiga (2007) sebesar 300 milyar. Setelah mekar, Kabupaten Wakatobi memperoleh dana pembinaan dari Kabupaten Buton sebesar Rp 1,5 milyar. Sebelum mekar, oleh Kabupaten Buton, wilayah Wakatobi mendapat alokasi pendanaan pembangunan senilai Rp 500 juta

lebih melayani rakyat banyak. Akibatnya pelayanan publik yang seharusnya bisa lebih didahulukan menjadi tertunda.

(4). Pembangunan seperti terurai di atas lebih menegaskan fenomena kedaerahan yang sempit, yang hanya berorientasi untuk daerah sendiri. Pada sisi lain, klaim kedaerahan yang sempit ini merupakan sebuah arena pengukuhan identitas daerah yang selama ini tak dapat dijadikan sebagai faktor posisi tawar terhadap daerah lain (5) Munculnya relasi sosial yang berbasis neo-feodalisme, khususnya di komunitas

Bau-Bau yang memiliki anggapan hanya kelompok tertentu –Kaomu dan Walaka – yang mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kalau di Kalimantan Barat, kebanggaan sebagai Suku Melayu Sambas yang terkait dengan keberadaan Kesultanan Sambas menjadi penentu di dalam menentukan pemimpin

(6) Aktor-aktor pejuang pemekaran, sangat berkepentingan menjadikan dirinya sebagai bagian dari representasi politik masyarakat di DOB, meskipun dalam praktiknya cenderung lebih mengedepankan kepentingan elite itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, maka dalam rangka kehadiran DOB muncul juga fenomena yang bercorak oligarkhis.

5.3. Kemampuan Berotonomi Dalam Konteks Lintas Daerah

Idealnya pemekaran daerah akan mendorong masing-masing DOB untuk mengembangkan kemampuan daerahnya baik berupa PAD, dan sekaligus mampu meningkatkan ekonomi regional. Namun pada kanyataannya sebagian besar DOB masih lebih menggantungkan pengembangan ekonominya pada kucuran dana dari pusat. Di dalam hal ini kampanye elite politik lokal untuk mendatangkan kucuran dana dari pusat yang sekaligus juga mengurangi beban rakyat dari “kewajiban” meningkatkan PAD. Kondisi ini kemudian menjadi penanda adanya kepedulian atau keberhasilan pemimpin lokal terhadap nasib rakyatnya.

Orientasi kepada pengembangan potensi regional bersama dengan DOB sebagai sumber pembiayaan dan kesejahteraan masyarakat dimasa depan belum nampak. Ketiadaan proses persiapan sebelum pemekaran dan ketiadaan masa transisi yang cukup menyebabkan pada periode lima tahun pertama pasca pemekaran kebanyakan DOB masih disibukkan dengan pembangunan infrastruktur fisik, pengembangan keorganisasian, dan pengembangan sumberdaya manusia. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara langsung nampaknya masih minimal.

Makna kawasan regional adalah suatu kawasan (daerah) yang dimungkinkan adanya kerjasama antar-daerah secara sinergis. Kerjasama antar-daerah yang didukung pengembangan kawasan berbasis spatial planning, memungkinkan adanya peningkatan pendapatan asli daerah. Namun jika dilacak dalam politik anggaran nasional yang tertuang dalam APBN, ternyata yang justru ditekankan adalah bukan pengembangan kawasan regional yang terefleksikan dengan adanya kerjasama lintas sektoral; yang ditekankan dalam kebijakan APBN adalah kerja sektoral. Akibat dari kebijakan penganggaran yang demikian, maka sulit membayangkan akan berhasilnya sebuah spatial planning di kawasan yang dimekarkan. Bagi daerah, prinsip regionalisasi dari wilayah yang baru saja mekar sebenarnya akan sangat menguntungkan secara mutualistis. Yang jelas dengan regionalisasi seperti ini akan banyak penghematan dalam aktivitas perekonomian regional. Di sini dapat diharapkan adanya perwujudan kawasan Wakatobi atau Singkawang sebagai salah satu pelabuhan transito dan dorongan bagi daerah-daerah yang berdekatan dengan Wakatobi atau Singkawang untuk saling bekerjasama.

Sesudah pemekaran di kebanyak DOB hampir seluruh kegiatan pembangunan diarahkan kepada pemenuhan prasaranan administratif pemerintahan, seperti gedung-gedung perkantoran, rumah dinas, termasuk jalan-jalan yang menuju ketempat dimana prasarana

pemerintahahn itu berada. Kerjasama untuk membangun ekonomi kawasan bersama belum nampak, demikian pula kerjasama antara daerah induk dan daerah pemekaran nampaknya belum terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya yaitu munculnya persaingan dalam memperebutkan sumber ekonomi. Di Sambas misalnya, masing-masing kabupaten ingin memiliki lapangan terbang dan pelabuhan laut. Kabupaten Singkawang misalnya ingin membangun pelabuhan laut sendiri sekalipun sebelum pemekaran mereka memakai pelabuhan Sintete yang kini masuk kedalam wilayah kabupaten Sambas. Semangat kerjasama ini juga dihambat oleh persoalan perebutan asset dan sengketa tapal batas. Walaupun demikian dibeberapa daerah kerjasama antar daerah juga terjadi (lihat uraian di Bab 6).

5.4. Kebangkitan Kohesivitas Etno-Kultural Dalam Konteks Masyarakat Multikultural

Adanya pemekaran daerah selalu dibarengi dengan bangkitnya kohesivitas etnik yang semula dalam posisi minoritas. Dengan adanya pemekaranp posisi tawar etnik yang semula minoritas tersebut menjadi semakin kuat, terutama dengan derasnya dana fiskal dari pusat. Di dalam hal ini perkembangan kohesivitas etnik ini perlu diletakkan dalam hubungan antar etnik yang bersifat plural.

Dengan kondisi seperti ini, upaya membangun keberagaman representasi politik beragam etnik itu masih merupakan sebuah pertanyaan. Jika prinsip ”kesatuan dalam keragaman” hendak dipertahankan di tengah naik pasangnya identitas lokal etnis, maka beberapa catatan berikut perlu dikemukakan, yaitu:

(a). Pentingnya visi nasionalisme NKRI yang juga menjadi preferensi para pemimpin lokal (politisi dan birokrasi).

(b). Terkait dengan konflik batas wilayah yang sekaligus berimpit dengan isu etnisitas perlu didorong peran mediasi pada aras provinsi untuk mampu menjadi penengah melalui rekonsiliasi konflik,

(c). Perlunya peningkatan kapasitas para pihak yang berkonflik agar bisa menyelesaikan persoalan dengan agenda duduk bersama dengan memanfaatkan regulasi pemerintahan yang telah tersedia.

Pemekaran di Kabupaten Sambas dan di Kabupaten Buton nampaknya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Selain memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dan efektif dari negara, pemekaran juga menyebabkan kelompok tertentu atau etnis tertentu menjadi teraktualisasi identitasnya. Sebagai gambaran masyarakat Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang yang selama ini merasa identitasnya tersubordinasi oleh Suku Melayu maka sesudah pemekaran mereka dapat menunjukkan identitas dirinya secara lebih jelas. Simbol-simbol budaya Dayak terpampang di hampir setiap kantor pemerintahan, dan kantor pelayanan publik yang lain.

Demikian pula kelompok masyarakat Kabupaten Sambas (sebelah utara) yang selama ini identitasnya tertutup oleh elite Singkawang, maka sesudah pemekaran mereka dapat lebih menunjukkan identitasnya ke-Sambasan-nya kembali terutama terkait dengan makna Kasultanan di Sambas.

Di Singkawang perjuangan untuk memperoleh identitas sebagai kota dagang dan kota pariwisata sangat diwarnai oleh persoalan etnisitas terutama dari Suku Cina. Di sini Suku Cina mempunyai kesempatan lebih terbuka untuk menunjukkan identitasnya sebagai suku yang sejajar dengan suku lain. Bahkan terbuka kemungkinan menjadikan Singkawang sebagai Centre of Origin dari Suku Cina di Indonesia. Selain itu Pemekaran Singkawang membuka partisipasi politik yang lebih luas bagi golongan Cina yang selama ini karena politik nasional dan sentiment regional posisi mereka selalu depresif.

Munculnya DOB Kabupaten Bombana juga mencerminkan adanya pengakuan terhadap keberadaan Suku Moronene dan Bugis yang selama ini lebih menjadi subordinasi Suku Buton. Munculnya institusi tandualle merupakan landasan identitas baru wilayah Bombana yang lebih mengetengahkan pandangan territorial-plural-inklusif. Lembaga ini nampaknya dapat menjadi dasar pembangunan wilayah yang lebih mengetengahkan kerjasama yang searas dari pada kerjasama atasan dan bawahan.

5.5. Rekruitmen PNS

Penyelenggaraan daerah otonomi baru (DOB) memerlukan dukungan sumber daya manusia yang memadahi. Dengan demikian pembentukan DOB telah membuka peluang bagi sumber daya manusia di tingkat lokal untuk mengisi jabatan-jabatan yang ada baik di ekskutif maupun legislatif sebagai konskuensi pembentukan DOB. Dari aspek pengisian pegawai ini, pemekaran daerah telah menyumbangkan upaya pengurangan pengangguran di DOB tersebut. Dalam rangka meningkatkan serta mendorong pencapaian pelayanan publik yang efektif dan efisien diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang mempunyai kapabel.

Persoalan yang sedang dihadapi sekarang oleh DOB adalah kurangnya SDM yang memadai. Selain itu, ketersediaan SDM di DOB seringkali tidak bisa memenuhi kompetensi dan kualitas SDM seperti yang sudah ditetapkan dalam regulasi tentang syarat golongan dan eselonisasi untuk menduduki jabatan tertentu di daerah itu. Selama ini kebijakan rekruitmen PNS memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan ini nampaknya sulit untuk diimplementasikan di daerah karena keterbatasan SDM yang ada. Kelemahan lain dari proses rekruitmen ini disebabkan oleh ketidakadaan persiapan pada masa sebelum pemekaran. Tidak adanya masa transisi yang khusus memprogramkan penataan dan rekriutmen pegawai ini menyebabkan beberapa akibat yang kurang baik. Beberapa dampak ketidakadaan masa transisi, yang terjadi baik di Sambas maupun di Buton, diantaranya adalah seperti dibawah ini:

(a). Adanya tarik menarik pegawai lama yang dianggap berkualitas antara DOB dengan Daerah Induk

(b). Munculnya usaha untuk melakukan bongkar pasang pegawai

(c). Para guru yang biasanya mempunyai kemampuan intelektual dan pengalaman yang lebih baik dari kebanyak pegawai, menjadi sangat dibutuhkan, sehingga banyak guru “terpaksa” ditempatkan pada posisi diatas namun dengan kompetensi yang sebenarnya tidak cocok dengan bidang baru yang ditanganinya.

Ke tiga proses penataan pegawai di daerah tersebut biasanya sangat kenthal diwarnai oleh ikatan-ikatan primordia (agama dan suku). Dengan cara ini dimungkinkan adanya dominasi dari suku atau etnis tertentu, yang biasanya merupakan suku mayoritas, di daerah tertentu.

Kondisi yang kurang baik tersebut pada akhir-akhir ini sudah mulai memperoleh masukan dan koreksi dari banyak pihak. Hal ini ditunjukkan oleh adanya keinginan dan kesadaran daerah (baik di DOB maupun Daerah Induk), untuk memulai menyeimbangkan komposisi keetnisan dari pegawai yang ada. Usaha ini lebih nampak nyata di kelompok pegawai golongan bawah (seperti eselon IV atau pegawai baru yang berijazahkan setingkat SLTA). Selain itu adanya seleksi PNS yang bersifat terbuka, yang mendasarkan penerimaan pegawai pada kompetensi calon, menyebabkan variasi etnis pegawai yang diterima menjadi lebih banyak. Dengan kondisi ini maka dominasi etnis tertentu pada PNS di masa depan diharapkan akan lebih berkurang.

5.6. Rentang Kendali Pelayanan Publik

Rentang kendali (span of control) terasa lebih baik pada masa setelah pemekaran. Rentang kendali pelayanan publik yang didukung oleh birokrasi memang didorong untuk

mengarah pada peningkatan pelayanan publik. Sejumlah catatan perlu ditegaskan berkaitan dengan praktik rentang kendali, yakni:

(a). Visi-misi-tupoksi sebuah daerah yang baru mekar perlu dipahami secara sama oleh seluruh jajaran birokrasi dan aktor politik (legislatif). Dengan dipahaminya visi-misi secara sama, diharapkan bahwa penerjemahan di dalam program tahunan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dapat diandalkan untuk mengawal proses good governance; (b). Pemahaman visi-misi-tupoksi seperti ini juga dibarengi dengan kesamaan wawasan

oleh mitra pemerintah (rekanan pemerintah yang akan mengikuti tender). Jika hal ini diabaikan, kapasitas proses governance yang harus bergulir menjadi tereduksi dan akibatnya limpahan fiskal tak dapat dimanfaatkan maksimal;

(c). Selain memahami visi-misi-tupoksi, di kawasan DOB belum dijalankan program pelatihan pegawai secara optimal. Gejala seperti ini nampak di kawasan Wakatobi dan Bombana. Jika program pelatihan ini dapat dijalankan, maka kekurangan dalam mekanisme rekrutmen dapat diimbangi dengan pelatihan yang optimal. Dengan demikian profesionalitas dalam menjalankan good governance berangsur dapat dicapai

5.7. Terbentuknya DPRD di Daerah Otonomi Baru

Pemekaran membuka peluang bagi organisasi-organisasi kekuatan politik (terutama parpol), yang semula hanya ada di kabupaten induk, untuk membentuk kepengurusan organisasinya di tiap DOB. Parpol-parpol itu mendapat peluang untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat konstituennya dalam badan legislatif (DPRD) di DOB. Dengan begitu, pemekaran telah membuka peluang representasi politik secara lebih luas di DPRD-DPRD DOB dibandingkan sebelum pemekaran yang hanya terbuka di DPRD-DPRD kabupaten induk. Dengan begitu, check and balances dapat terwujud di tiap DOB dan tidak hanya kabupaten induk.

Kapasitas anggota-anggota DPRD di DOB masih perlu dikembangkan (antara lain dalam menyusun perda-perda; misalnya jumlah perda yang disusun atas inisiatif DPRD jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perda yang disusun atas inisiatif eksekutif di DOB). Peningkatan kapasitas DPRD itu antara lain dapat mengurangi kecenderungan kolusi atnara DPRD dan ekesekutif dan/atau potensi munculnya oligharki baru.

5.8. Perkembangan Pelayanan Publik

Perkembangan pelayanan publik di DOB merupakan modal dasar bagi munculnya kapasistas sosial-politik daerah. Oleh sebab itu perlu dikemukakanperkembangan pelayanan publik di DOB.

Untuk wilayah seperti Kabupaten Sambas yang mempunyai wilayah yang sangat luas (walaupun jumlah penduduknya sedikit), atau wilayah seperti Kabupaten Buton yang terdiri dari sejumlah pulau (kepulauan) adanya pemekaran membawa dampak yang positif.

Tersebarnya pembangunan fisik yang berupa komplek perkantoran, pelayanan publik, dan perdagangan selain dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan lebih efisien, proses pembangunan fisik itu sendiri (bangunan fisik dan prasarana lain) juga telah memberi kesempatan kerja yang cukup baik. Dengan adanya bangunan fisik dan telah berfungsinya pusat-pusat pelayanan publik, seperti pembangunan kantor kabupaten, kantor kecamatan, kantor desa/kelurahan, rumah sakit, puskesmas, sekolah, dan kantor-kantor lain menyebabkan rakyat di DOB merasakan adanya kemudahan dan keefektifan pelayanan publik. Selain itu letak fasilitas pelayanan publik yang lebih dekat menyebabkan rakyat merasa memperoleh pelayanan yang lebih murah dan mudah.

Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa di sepanjang jalan utama di Kota Sambas telah selesai dibangun paling tidak 20 bangunan baru dengan satu bangunan lama yang direnovasi sebagai kantor Bupati Sambas. Di Jalan Pembangunan ini terdapat satu

bangunan baru yang baru saja diselesaikan yaitu Gedung Pengadilan Negeri Sambas, tetapi sampai sekarang Gedung tersebut belum dipergunakan. Di seberang jalan Pembangunan tepatnya di Jalan Terigas (eks Jalan Sukaramai) terdapat paling tidak lima bangunan baru yang dibangun pasca pemindahan Ibu Kota Kabupaten Sambas. Di luar dua lokasi tersebut,

Dokumen terkait