• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pemberdayaan 2.1.1 Definisi Pemberdayaan

Sebagai respon terhadap tingginya angka kemiskinan, pemerintah telah meluncurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengelompokkan program-program penanggulangan kemiskinan tersebut berdasarkan segmentasi masyarakat miskin penerima program. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 2009): Pertama, bantuan dan perlindungan sosial. Kedua, pemberdayaan masyarakat. Ketiga, pemberdayaan usaha mikro dan kecil (UMK).

Pada klaster pertama diberikan bantuan dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Bantuan dan perlindungan sosial kelompok masyarakat difokuskan kepada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Jika dianalogikan, klaster pertama merupakan “pemberian ikan” bagi rumah tangga sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. Upaya perlindungan sosial ini diberikan kepada masyarakat miskin yang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidupnya (sandang, pangan dan papan) dan termasuk ke dalam kelas the poorest of the poor. Bantuan perlindungan sosial yang telah dilakukan pemerintah diantaranya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan lain-lain.

Pada klaster kedua, masyarakat miskin akan diberdayakan. Ibaratnya dalam klaster kedua ini, kelompok masyarakat yang siap diberdayakan, “diajari memancing”. Masyarakat telah mencapai taraf hidup yang memadai. Masyarakat juga diberikan akses langsung terhadap sumberdaya kapital atau penyediaan modal ekonomi. PNPM-MP merupakan salah satu cara pemberdayaan yang dilakukan pada klaster ini, dimana masyarakat miskin dibentuk menjadi modal sosial atau kelompok masyarakat yang terlatih, terbina, dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, modal ekonomi yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan, serta kewirausahaan sosial. Mereka yang tidak termasuk atau sudah

(2)

lepas dari klaster 1 didorong dan difasilitasi untuk dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki.

Klaster ketiga terdiri dari kelompok-kelompok yang telah diberdayakan dan ditingkatkan kemandiriannya. Dalam klaster ini, dikenal istilah pendanaan dengan menggunakan kredit dengan bunga pasar. Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro merupakan salah satu contohnya, dimana masyarakat mendapatkan fasilitas pendampingan oleh fasilitator yang ahli dibidangnya. Upaya yang dilakukan melalui pengelompokan pada klaster ketiga ini merupakan kelanjutan dari klaster kedua. Pada klaster ini, modal sosial yang telah dicapai dalam klaster kedua lebih ditingkatkan lagi untuk memandirikan masyarakat miskin. Ibaratnya, masyarakat miskin diberi “ kail, jala, dan perahu untuk mendapatkan ikan”.

Secara rinci penjelasan mengenai tiga klaster program penanggulangan kemiskinan adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Tiga klaster program penanggulangan kemiskinan KLASTER PERTAMA Koordinasi: Menkokesra, Depsos, Diknas, Depkes, Bappenas Sasaran: - RT Sangat Miskin - RT Miskin - RT Hampir Miskin KLASTER KEDUA Koordinasi: Menkokesra, Bappenas Sasaran: - Kel. masyarakat miskin - Kel. masyarakat hampir miskin KLASTER KETIGA Koordinasi: Menko Perekonomian, Koperasi dan UKM

Sasaran: - Pelaku usaha

mikro dan kecil “Bantuan dan Perlindungan Sosial” “ Pemberdayaan Masyarakat” “ Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil”

(3)

Suharto (2005) menjelaskan pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah. Kelompok ini diharapkan akan memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat melainkan juga bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan; (c) berpartisipasi melalui proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kelompok tersebut.

Pemberdayaan mengandung arti bahwa pengembang masyarakat semestinya memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan, untuk menentukan masa depan sendiri, dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya (Yufridawati, 2004). Sumodiningrat (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.

Pandangan yang tidak jauh berbeda diungkapkan Nasdian (2006) dimana pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan kepada individu, kelompok, ataupun komunitas untuk dapat mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan sebagai konsep alternatif pembangunan dengan demikian menekankan otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Sumodiningrat, 2009).

2.1.2 Upaya-upaya Pemberdayaan

PNPM meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan masyarakat dan penguatan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya. Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan terus menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai

(4)

universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Pedoman Pelaksanaan PNPM, 2008).

Upaya pemberdayaan merupakan proses pematahan dari hubungan atau relasi subyek dengan obyek. Kegiatan pemberdayaan melihat pentingnya proses mengalirkan daya (flow of power) dari subyek ke obyek. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemberian kuasa, kebebasan, dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberi kesempatan untuk meningkatkan hidupnya. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek”. Dengan demikian, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek (Nasdian, 2006).

Penguatan lembaga masyarakat yang dimaksud PNPM menitikberatkan pada upaya penguatan para pelakunya. Para pelaku tersebut diharapkan mampu menjadi pelaku nilai dan pada gilirannya mampu menjadi motor penggerak dalam melembagakan dan membudayakan kembali nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan, serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Penguatan ke dalam kelompok menjadi penting untuk dilakukan. Modul khusus komunitas PNPM-MP mendefinisikan penguatan ke dalam kelompok tersebut, Pertama perlu berorientasi kepada pembentukan cadangan atau tabungan yang efektif dan pemupukan modal swadaya. Kedua, penguatan organisasi kelompok yang ditandai oleh pertemuan yang teratur, rutin dan berkelanjutan. Sistem administrasi keuangan tertib dan transparan. Ketiga, penguatan nilai-nilai dalam kelompok, terutama menanamkan sikap keterbukaan di kalangan anggota terhadap hal-hal seperti peluang kerja sama.

Pemberdayaan KSM dilakukan melalui beberapa tahapan perkembangan kelompok. PNPM-MP menetapkan sedikitnya ada empat tahapan kelompok yang wajib diketahui fasilitator atau pendamping. PNPM-MP melalui modul khusus komunitas menyebutkan setiap tahap perkembangan memiliki ciri-ciri dan bentuk-bentuk pendampingannya sendiri. Secara diagramatik, tahap perkembangan, ciri, dan pendampingan fasilitator dapat digambarkan sebagai berikut:

(5)

Tabel 1. Tahapan Perkembangan Kelompok

Tahap Ciri-ciri Peran pendamping dan anggota kelompok

Tahap pertama: perintisan

Umur kelompok masih sangat muda, bahkan ada yang belum berbentuk kelompok.

1. Mengenali satu per satu anggota dan kegiatan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mendorong kehadiran anggota dalam setiap pertemuan.

3. Meyakinkan anggota masyarakat bahwa pertemuan kelompok itu penting.

4. Menjaga agar kehadiran anggota di pertemuan bukan dipengaruhi oleh adanya BLM. Tahap Kedua: Penataan (tumbuh) Kejelasan tujuan, kegiatan, aturan kelompok, peran pengurus,

merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.

1. Menyepakati dan memahami tujuan dan cita-cita kelompok. 2. Menyusun rencana kegiatan

dalam waktu tertentu (3 bulanan, satu kalender musim tanam, tahunan).

3. Menyusun aturan kelompok seperti hari dan tempat pertemuan, ketentuan pengadaan, dan pengembangan modal kelompok serta administrasinya. Tahap Ketiga:

Pengembangan (Berkembang)

Pada tahap ini keadaan rumah tangga kelompok sudah mulai tertata sehingga kelompok perlu difasilitasi untuk mengembangkan isi pertemuan kelompok, modal usaha, dan kerjasama dengan pihak-pihak lain.

1. Memperluas lingkup dan jangkauan program yang dikembangkannya.

2. Kesetaraan kedudukan dan peran perempuan di kelompok harus semakin diperkuat.

3. Kerjasama dengan pihak lain, baik pemerintah maupun swasta harus diperkuat. Memberi kepercayaan penuh dan dorongan bahwa mereka mampu menangani urusan melalui proses latihan dapat dilakukan oleh pendamping atau anggota kelompok.

Tahap Keempat:

Peran fasilitator atau pendamping mulai

1. Peran fasilitator atau pendamping semakin berkurang.

(6)

Pemandirian berkurang dan sebaliknya peran pengurus dan anggota dalam mengambil keputusan semakin banyak. Pembuatan rencana kegiatan dan evaluasinya

dilakukan secara mandiri oleh kelompok.

2. Peran kelompok untuk mengelola pertemuan, rapat pengurus, dan kerjasama dengan pihak lain semakin besar.

Sumber: Modul Khusus Komunitas, Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya

2.1.3 Pemberdayaan Kelompok Swadaya Masyarakat

Margono (2002) dalam Hamzah (2004) menyatakan kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang terhimpun atas dasar adanya kesamaan, berinteraksi melalui pola atau struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dan dalam kurun waktu yang relatif panjang. Sejalan dengan program pengembangan pembangunan dikenal Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sebagai pelaksana program.

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) merupakan kumpulan orang yang menghimpun diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu yaitu kepentingan dan kebutuhan yang sama sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama2. Posisi KSM adalah independent, artinya KSM bukan bawahan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Unit Pengelola (UP).

KSM harus mengembangkan kegiatan mandiri atau mengembangkan akses sumber daya sendiri. KSM juga memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam keseluruhan siklus yang harus berlanjut dan difasilitasi oleh BKM sehingga dapat dijamin anggota KSM ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam setiap tahapan siklus. Agar KSM dalam PNPM Mandiri Perkotaan benar-benar

2

Departemen pekerjaan umum. Direktorat jenderal Cipta Karya. Modul khusus komunitas PNPM Mandiri Perkotaan. 2009

(7)

menjadi wadah bagi pemberdayaan anggota, maka ada beberapa prinsip yang perlu disepakati yang bisa dijadikan pedoman di internal KSM, yaitu:

1. Bebas dalam membuat keputusan

Kelompok bebas menentukan dan memutuskan menurut kesepakatan yang diambil oleh kelompok sendiri. Keputusan kelompok harus merupakan hasil dari permusyawaratan bersama dan tidak diperkenankan adanya dominasi dari perorangan atau beberapa orang yang bersifat pemaksaan kehendak atau intervensi dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun. Kelompok juga berwenang untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan keputusan bersama.

2. Bebas dalam menetapkan kebutuhan. Dalam rangka peningkatan dan penguatan kapasitasnya, KSM perlu meningkatkan dan menguatkan tingkat kemampuan para anggotanya, seperti: peningkatan kesejahteraan, peningkatan wawasan dan pengetahuan serta keterampilan baik bersifat individu maupun kelompok.

3. Berpartisipasi nyata. Setiap anggota wajib berkontribusi kepada kelompok sebagai wujud komitmen dalam rangka keswadayaan serta ikatan kelompok.

2.1.4 Partisipasi dan Kemandirian

Upaya pemberdayaan dilakukan untuk menumbuhkan serta meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat. Partisipasi dan kemandirian masyarakat menjadi penting karena merupakan respon terhadap suatu program penanggulangan kemiskinan.

Partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan Sastro Poerto (1988) dalam Makmur (2005) bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan. Cohen dan Uphoff (1977) dalam Makmur (2005) membagi partisipasi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan.

(8)

2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, sumbangan materi, dan tindakan sebagai anggota proyek.

3. Tahap evaluasi dianggap penting, sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan. Semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme). Sastro Poetro (1996) dalam Zulkarnain (2002) menyebutkan bahwa jenis partisipasi terdiri dari pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, keahlian, barang atau bahan, dan uang. Besar kecilnya partisipasi yang ditunjukkan oleh individu ditentukan oleh karakteristik yang dimiliki. Bagaimana timbul dan berlangsungnya partisipasi dapat dilihat dari dasar partisipasinya yaitu dorongan dan rangsangan. Partisipasi masyarakat ini dapat dilihat dari adanya tahap POAC, yaitu perencanaan (planning), penyusunan (organizing), pelaksanaan (actuating), serta monitoring dan evaluasi (controlling).

Kemampuan warga komunitas dalam, berpartisipasi diharapkan dapat mencapai kemandirian. Kartasasmita (1996) dalam Hamzah (2004) mengemukakan bahwa kemandirian adalah hakekat dari kemerdekaan, yaitu setiap bangsa dapat menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Kemandirian juga dapat diartikan sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan perilaku yang terbaik. Kemandirian kelompok dapat terjadi apabila kondisi

(9)

kelompok tersebut menunjukkan kedinamisan yang ditandai dengan adanya partisipasi aktif yang terus menerus dari anggota kelompok.

Kemandirian dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar penguatan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul. Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka (Nasdian, 2006).

2.2 Modal Sosial dalam Pemberdayaan Golongan Miskin 2.2.1 Definisi Modal Sosial

Modal sosial didefinisikan sebagai “suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world- view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (Colleta & Cullen, 2000 dalam Nasdian 2006). Sementara itu, Djohan (2007) menyebutkan modal sosial merupakan suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama.

Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007) menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity).

(10)

2.2.2 Tipologi dan Dimensi Modal Sosial

Tipologi modal sosial dipandang sebagai bagian penting karena dapat menentukan arah. Djohan (2007) menyebutkan dua tipologi modal sosial, yaitu bonding dan bridging. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Modal sosial terikat (Bonding Social Capital)

Modal sosial terikat umumnya cenderung bersifat eksklusif dan memiliki ciri khas yang lebih berorientasi ke dalam (inward looking) daripada ke luar (outward looking).

2. Modal sosial yang menjembatani (Bridging Social Capital)

Modal sosial yang menjembatani memiliki kecenderungan untuk senantiasa berhubungan, berteman, dan bekerja sama dengan beragam latar belakang manusia atau kelompok. Kelompok ini senantiasa terbuka untuk mengikuti perkembangan dunia di luar kelompoknya (outward looking).

Sementara itu, Adi (2007) mendefinisikan tiga macam bentuk modal sosial yaitu:

1. Bonding capital merupakan modal sosial yang mengikat anggota-anggota masyarakat dalam satu kelompok tertentu.

2. Bridging capital merupakan salah satu bentuk modal sosial yang menghubungkan warga masyarakat dari kelompok yang berbeda.

3. Linking capital merupakan suatu ikatan antara kelompok warga masyarakat yang lemah dan kurang berdaya dengan kelompok warga masyarakat yang lebih berdaya.

Modal sosial memiliki empat dimensi. Nasdian (2006) menyebutkan keempat dimensi modal sosial tersebut, yaitu:

1. Integrasi (integration) yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. Contohnya adalah ikatan-ikatan berdasarkan kekerabatan, etnik, dan agama.

2. Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal. Contohnya adalah jejaring (network) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic association) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik, dan agama.

(11)

3. Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk dalam menegakkan peraturan.

4. Sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relation). Fokus perhatian dalam sinergi ini adalah apakah negara memberikan ruang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya.

Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market), berada pada tingkat vertikal (Nasdian, 2006). Modal sosial vertikal terlihat antara hubungan masyarakat dengan pemerintah yang awalnya cenderung bersifat top down diharapkan menjadi bottom up dengan mengutamakan aras pemberdayaan. Modal sosial horizontal diharapkan terbentuk melalui kesetaraan berbagai stakeholders yang terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

2.2.3 Unsur Penopang Modal Sosial

Djohan (2007) menyebutkan unsur penopang modal sosial yaitu elemen, komponen, atau pondasi yang menjadi ciri khas modal sosial itu sendiri. Adapun penjelasan masing-masing unsur penopang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Partisipasi sosial (Social Participation)

Dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pada masyarakat tradisional dikenal kepercayaan yang diturunkan secara turun temurun atau yang dikenal dengan istilah (repeated social experience) dan kepercayaan yang berhubungan dengan keagamaan (religious beliefs) yang memiliki kohesivitas tinggi. Kedua hal tersebut akan melahirkan partisipasi sosial yang tinggi, akan tetapi tetap dibatasi oleh aturan di dalam komunitas tersebut.

2. Resiprositas atau Timbal balik (Reciprocity)

Pengertian resiprocity adalah pola hubungan individu dalam suatu komunitas atau antar komunitas, yang di dalamnya mengandung kebiasaan saling memberi dan menerima. Pengertian memberi dan menerima ini tidak terbatas pada pemberian yang berwujud materi, melainkan juga ide,

(12)

kesempatan, informasi, pengetahuan, atau saling tukar kebaikan antar-individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri.

3. Saling Percaya (Trust)

Trust merupakan keyakinan bahwa individu lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan bertindak mendukung serta tidak merugikan diri sendiri dan kelompoknya. Trust merupakan fungsi yang sangat penting dalam membangun modal sosial.

4. Penerimaan atas keberagaman (Acceptance and diversity)

Acceptance and diversity merujuk kepada pengertian tentang sikap, tindak-tanduk atau perilaku yang bermuatan penghormatan, kesaling pengertian, dan apresiasi terhadap keragaman, terutama yang berkaitan dengan gender, suku, ras, umur, jenis pekerjaan, status sosial-ekonomi, kepercayaan, dan agama.

5. Norma dan nilai (Norms and value)

Norma adalah aturan kolektif yang diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial. Norma terbentuk dari berulangnya kebiasaan dalam interaksi keseharian yang akan menciptakan aturan-aturan main di masyarakat. Sementara itu, nilai adalah suatu ide yang dianggap penting dalam komunitas tersebut.

6. Perasaanberharga dan mampu berkontribusi (Sence of efficacy)

Inti dari pengertian sence of efficacy adalah anggota kelompok tersebut merasa “dimanusiakan dan dimuliakan”. Kuat atau tidaknya Sence of efficacy biasanya tergantung pada peran pemimpin, baik di lembaga formal, perusahaan, lembaga nonformal maupun di masyarakat.

7. Kerja sama dan proaktif (Cooperation and proactivity)

Kerja sama juga merupakan salah satu unsur penopang modal sosial. Kerja sama akan menjadi instrumen bagi munculnya teamwork dan pengembangan jaringan.

Pandangan serupa diungkapkan oleh Dharmawan (2001) mengemukakan komponen penting modal sosial, yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang sudah terinternalisasi dan kepercayaan sosial

(13)

(Dharmawan, 2002a; 2002b dalam Alfiasari, 2004). Modal sosial memiliki tiga pilar utama, yaitu:

1. Trust atau kepercayaan

Trust atau kepercayaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial. Kepercayaan terbagi ke dalam tiga klasifikasi aras, yaitu:

a. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji yang telah disepakati.

b. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat grup sosial secara efektif.

c. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat.

2. Social Networking atau jaringan sosial

Jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran, yaitu:

a. Ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan keluarga, pertemanan, dan pertetanggaan.

b. Ikatan yang sifatnya lebih umum seperti ikatan pada masyarakat setempat, masyarakat umum, dan masyarakat dalam kesatuan

(14)

kewarganegaraan. Ikatan ini dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang sifatnya umum, serta c. Ikatan kelembagaan yang dikarakteristikan dengan adanya

kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan kekuasaan.

3. Social Norms atau norma-norma sosial

Norma merupakan sebuah pertanda dalam mendukung keberadaan trust antar individu. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, dan ikatan timbal balik.

Masyarakat sejahtera atau socio economic well being merupakan suatu keadaan dimana masyarakat dapat hidup secara mandiri dan sejahtera, dengan atau tanpa bantuan dari siapapun. Latent conflict merupakan suatu keadaan dalam masyarakat dimana muncul potensi-potensi konflik seperti munculnya perbedaan diantara individu, organisasi, maupun lingkungan3. Secara sosiologis4, conflict diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sementara itu, coping dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya.

Modal sosial tinggi akan ditunjukkan dengan Functioning Government serta Cutting ties of social group yang tinggi. Dengan demikian modal sosial vertikal dan horizontal yang tinggi akan mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera (socio economic well being) pada kuadran sebelah kanan atas. Gambar 2 menunjukkan empat kuadran modal sosial. Garis panah biru menunjukkan modal sosial vertikal sedangkan garis panah berwarna orange merupakan modal sosial

3

http://www.rajawana.com/artikel/pendidikan-umum/253-manajemen-konflik.html (diakses 30 Agustus 2010)

4

(15)

horizontal5. Bekerjanya modal sosial, baik vertikal maupun horizontal yang tinggi dalam upaya pemberdayaan masyarakat, akan menunjukkan keadaan masyarakat yang sejahtera (socio economic well being). Sementara itu, modal sosial vertikal dan horizontal yang rendah akan menyebabkan konflik dalam masyarakat. Adapun gambarannya adalah sebagai berikut:

Gambar 2 Empat Kuadran Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan

2.2.4 Modal Sosial dan Peranannya dalam pemberdayaan Masyarakat Modal sosial diperlukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam modal sosial akan dilihat peran serta fungsi dari masing-masing stakeholders yang ada dalam masyarakat itu sendiri guna mendukung tercapainya tujuan pemberdayaan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat yang sifatnya bottom up sangat diharapkan terjadi dalam upaya pemberdayaan tersebut.

Peranan modal sosial dalam menjalin hubungan dengan memperluas link dan network akan menjadi salah satu kunci keberhasilan pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, LSM, maupun swasta. Modal sosial diperlukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin dalam menjalin

5

Disadur dari materi kuliah pengembangan masyarakat yang disampaikan oleh Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS.

Functioning Government (FG) “Tinggi”

Functioning Government (FG) “Rendah” Socio economic well being Conflict Latent Conflict Coping Cutting ties of social group “Rendah” Cutting ties of social group “Tinggi”

(16)

hubungan untuk memperluas link dan network melalui integrasi, pertalian, integritas organisasional, dan sinergi. Modal sosial vertikal terlihat antara hubungan masyakat dengan pemerintah yang awalnya cenderung bersifat top down di harapkan menjadi bottom up dengan mengutamakan aras pemberdayaan. Sedangkan modal sosial horizontal diharapkan terbentuk melalui kesetaraan berbagai stakeholders yang terlibat dalam upaya pemberdayaan masyarakat. 2.3 Kerangka Pemikiran

Saat ini ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. PNPM-MP merupakan program penanggulangan kemiskinan yang saat ini tengah digalakkan oleh pemerintah. PNPM-MP merupakan program pemberdayaan di klaster kedua dengan fokus sasarannya adalah penduduk usia produktif (15-55 tahun). Saat ini, kegiatan yang menjadi fokus dan menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat di Kelurahan Situ Gede yaitu kegiatan lingkungan. Kegiatan PNPM-MP di bidang lingkungan salah satunya adalah program renovasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Pelaksanaan program renovasi RTLH tidak terlepas dari peran serta masing-masing pihak yang terlibat dalam program. Pihak-pihak tersebut antara lain Fasilitator Kelurahan (Faskel), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Relawan dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

Melalui program RTLH, modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ditingkatkan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih berdaya dan mandiri. Modal sosial horizontal ditingkatkan melalui hubungan antar anggota KSM serta antara KSM dengan relawan sedangkan modal sosial vertikal ditingkatkan melalui hubungan yang terjalin antara KSM dengan Faskel serta antara KSM dan BKM. Modal sosial, baik vertikal maupun horizontal dilihat dari komponen-komponen penunjang modal sosial, seperti kepercayaan (trust), nilai dan norma (norms), dan jaringan (networks).

Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat melalui program RTLH dapat dilihat dari adanya partisipasi dan kemandirian KSM di dalam pelaksanaan program. Partisipasi merupakan keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan. Partisipasi akan terbagi kedalam 4 tahapan, yaitu tahap pengambilan keputusan,

(17)

tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan menikmati hasil. Sementara itu, kemandirian KSM akan dikategorikan menjadi tiga, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Selain itu, melalui upaya pemberdayaan ini, sangat penting pula untuk mengetahui karakteristik kelompok dan tahapan perkembangan kelompok.

(18)

Keterangan: Menyatakan hubungan

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Karakteristik Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)

Tiga pilar utama modal sosial horizontal antar sesame anggota KSM serta antara KSM-Relawan (Dharmawan, 2001):

1. Kepercayaan (trust) 2. Nilai dan norma (norms) 3. Jaringan (networks)

Tiga pilar utama modal sosial vertikal antara KSM-Faskel serta antara KSM-BKM

(Dharmawan, 2001)

1. Kepercayaan (trust) 2. Nilai dan norma (norms) 3. Jaringan (networks) Pemberdayaan KSM 1. Partisipasi 2. Kemandirian Tahapan Perkembangan KSM (PNPM-MP, 2008): 1. Tahap perintisan 2. Tahap penataan 3. Tahap pengembangan 4. Tahap pemandirian Program RTLH

(19)

Definisi Konseptual

1. Pemberdayaan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang.

2. Upaya pemberdayaan dilakukan dengan meningkatkan modal sosial di masyarakat, baik modal sosial vertikal maupun horizontal melalui tahapan perkembangan kelompok yang dimulai dari tahap perintisan, penataan, pengembangan, dan pemandirian.

3. Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial vertikal umumnya terjadi pada hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, seperti hubungan antara KSM dengan Faskel dan BKM. Modal sosial horizontal terjadi pada hubungan antara sesama anggota serta antara KSM dan Relawan.

4. Trust merupakan keyakinan bahwa individu lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan bertindak mendukung serta tidak merugikan diri sendiri dan kelompoknya.

5. Jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial.

6. Norma adalah aturan kolektif yang diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial.

7. Dimensi modal sosial dibedakan ke dalam empat dimensi, yaitu Integrasi (integration), Pertalian (linkage), Integritas organisasional (organizational integrity), dan Sinergi (synergy). Dimensi pertama dan kedua berada pada tingkat horizontal, sedangkan dimensi ketiga dan keempat, ditambah dengan pasar (market), berada pada tingkat vertikal.

8. Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme).

(20)

9. Cohen dan Uphoff (1997) membagi partisipasi ke dalam tiga bagian, yaitu tahap pengambilan keputusan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan menikmati hasil.

10. Kemandirian dapat diartikan sebagai perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan perilaku yang terbaik. 11. Kemandirian dikategorikan menjadi tiga, yaitu kemandirian material,

kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Hipotesis Pengarah

1. Bekerjanya unsur-unsur modal sosial seperti kepercayaan, jaringan sosial, dan nilai atau norma akan mendukung pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.

2. Pemberdayaan kelompok merupakan pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok.

3. Pemberdayaan kelompok merupakan suatu proses sosial dan untuk meningkatkan kemandiriannya, akan melalui berbagai tahapan perkembangan kelompok dan bentuk pendampingannya tersendiri.

4. Partisipasi yang tinggi ditunjukkan oleh kelompok atau masyarakat yang terlihat dari setiap pelaksanaan program.

5. Kemandirian dapat terwujud bila partisipasi kelompok tinggi dan dapat ditunjukkan dalam setiap pelaksanaan program.

Gambar

Gambar 1. Tiga klaster program penanggulangan kemiskinan KLASTER PERTAMA Koordinasi: Menkokesra, Depsos, Diknas, Depkes, Bappenas Sasaran:  -  RT Sangat Miskin -  RT Miskin -  RT Hampir Miskin KLASTER KEDUA Koordinasi: Menkokesra, Bappenas Sasaran: -  Kel
Tabel 1. Tahapan Perkembangan Kelompok
Gambar 2 Empat Kuadran Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan  2.2.4  Modal Sosial dan Peranannya dalam pemberdayaan Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

TENTANG: PENUGASAN DOSEN TIDAK TETAP PENGAMPU MATA KULIAH TANGGAL : 7 AGUSTUS 2017.. 1

Dari Tabel 2 terlihat, bahwa momen maksimum (positif dan negatif) pada kondisi rusak dengan beban hidup 3% beban D, nilainya telah melewati momen tahanan

Dari hasil survei terhadap 32 manajer berbagai perusahaan di Indonesia, disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah variabel pemoderasi yang memperkuat hubungan antara

Adapun pengertian lain yang dimaksud dengan anak usia dini berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah suatu upaya

Irama: Teratur, kecuali pada yang hilang Frekwensi: Biasanya kurang dari 60x/menit Gelombang P: Normal, kecuali pada yang hilang Interval PR: Normal, kecuali pada yang hilang

Maluku Utara (2012) SD-B merupakan sekolah yang berada di selatan Kota Ternate yang diharapkan dapat mengembangkan sekolahnya karena berada disekitar

(2) Dokumen pertanggungjawaban biaya sebagaimana pada ayat (1) terdiri dari : SPPD, bukti tanda terima pembayaran lumpsum oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai

26-Jan Kerja bakti membersihkan dan mengatur ruang kelas Bimbel bersama murid Ke Pasar membeli bahan warung. 27-Jan Bekerja