• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trimeresurus toba-kah? Si Ular Bermata Merah. Kisah Kawin Haram antara Odorrana hosii dengan Hylarana kampeni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Trimeresurus toba-kah? Si Ular Bermata Merah. Kisah Kawin Haram antara Odorrana hosii dengan Hylarana kampeni"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Trimeresurus toba-kah?

Catatan Kedua nan

Istimewa dari Bunglon

Sikulikap

Sensasi Malam

Minggu di Herping

Pertama

Tokek Rumah, Rajanya

Penghuni Rumah di Tahura

Pocut Meurah Intan

S i U l a r B e r m a t a M e r a h

Kisah Kawin “Haram” antara

Odorrana hosii dengan

Hylarana kampeni

(2)

DAFTAR ISI

Pembimbing

Ketua Departemen Biologi FMIPA USU

Konsultan Kontribusi

Mistar Kamsi, Giyanto, Munawar Kholis, Joko Guntoro

Penanggung Jawab

Rachmi

Pemimpin Redaksi

Akhmad Junaedi Siregar

Editor

Chairunas Adha Putra

Administrasi

Desy Hikmatullah, Siska Handayani

Kontributor

Khairul Umri, Tengku Gilang Pradana, Arfah Nasution

Disainer

Tim Kreatif Herpetologer Mania Diterbitkan oleh Herpetologer Mania

Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup

(BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU

Redaksi menerima kontribusi Anda untuk tulisan dan foto seputar herpetofauna. Silahkan kirim ke e-mail:

herpetologermania@gmail.com. ISSN: 2407-8425

SALAM REDAKSI

8 Si Ular Hijau Bermata Merah Trimeresurus

toba-kah?

16 Catatan Kedua nan Istimewa dari Bunglon Sikulikap

18 Kisah Kawin “Haram” antara Odorrana hosii dengan Hylarana kampeni

23 Sensasi Malam Minggu di Herping Pertama 26 Katak dan Kodok, Sang Pahlawan Sawah

yang Mulai Terancam

30 Tokek Rumah, Rajanya Penghuni Rumah di Tahura Pocut Meurah Intan

32 Pesona Herpetofauna Batang Toru Blok Timur

38 Kesimpulan dari Misteri Kodok Si Penggendong Telur?

44 Wajah Amfibi & Reptil dari Kalimantan Timur

Assalamu ‘alaikum Wr Wb.

Dengan bangga kami kembali menyapa Anda, sahabat Herpetologer Mania. Di penghujung Juni 2015 ini kami kembali hadir untuk Anda. Edisi kedelapan ini merupakan edisi yang dikeluarkan dengan cukup susah payah. Kesulitan ini bukanlah berita buruk, tapi justru sebaliknya adalah kabar baik. Staf redaksi yang dulunya memiliki waktu yang banyak untuk memperhatikan majalah ini kini mulai berkurang karena harus mulai fokus ke pekerjaannya masing-masing. Jajaran redaksi sudah banyak yang mengisi posisi yang baik di tengah-tengah masyarakat. Tapi kami pastikan, kualitas majalah ini akan kami pertahankan semampunya.

Konten edisi kedua pada tahun ini diangkat dari dua pulau besar Indonesia, yakni Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera ada cerita dari Chairunnisa Ummanah, mahasiswa dari Universitas Medan Area (UMA) Sumatera Utara. Di samping itu, Junaydy Michael Angelo Ginting menyumbang tiga artikel sekaligus yakni sebuah tingkah yang tak biasa dari dua jenis amfibi saat melakukan ampleksus, peran katak dan kodok di persawahan dan hasil herping-nya di hutan Batang Toru Blok Timur. Dari utaranya Sumatera, Propinsi Aceh, Agus Nurza menemukan temuan istimewa yakni bunglon Sikulikap (Gonocephalus lacunosus), yang kemudian dilengkapi tulisan dominannya tokek rumah di Tahura Pocut Meurah Intan sehingga tulisan dari propinsi serambi Mekkah itu terasa semakin kaya.

Berita utama kami angkat dari ekspedisi rutin Komunitas Herpetologer Mania yang kebetulan dilaksanakan di air terjun Sikulikap di perbatasan dua kabupaten, yakni Kabupaten Deli Serdang dengan Kabupaten Karo. Pemilihan lokasi ini diawali dari catatan pertama kali bunglon Sikulikap. Namun, ekspedisi tidak menjumpai bunglon endemik Sumatera itu, tapi justru menemukan jenis lain yang tak kalah menarik. Dialah Trimeresurus toba. Untuk Anda, Rachmi yang kini menjabat

sebagai ketua Komunitas Herpetologer Mania menceritakannya untuk kita simak.

Kita kemudian bergerak ke arah pulau Borneo, tepatnya di Kalimantan Timur. Sidahin Bangun yang sejatinya juga adalah orang Sumatera, menyumbangkan foto-fotonya untuk dimuat di majalah ini. Dalam sebuah proyek survei habitat orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), Sidahin membelah hutan dan menerobos aliran sungai-sungai. Apa yang menarik di hadapannya juga dia dokumentasikan, termasuklah amfibi dan reptil. Kita bisa melihatnya di rubrik Image. Tak lupa pula Redaksi memuat yang sedikit “gantung” dari diskusi di fesbuk Herpetologer Mania tentang misteri si kodok penggendong telur. Semua yang terlibat di penelitian itu menyepakati sebuah kesimpulan. Anda bisa membacanya di halaman berikutnya agar tidak menjadi tanda tanya.

Kabar-kabar terbaru dari dunia herpetologi juga kami rampung. Ada temuan katak pohon jenis baru yakni Rhacophorus indonesiensis sehingga menambah daftar Rhacophoridae di Pulau Sumatera menjadi 15 spesies. Begitu juga dengan informasi tentang Congress of Herpetological Society of Indonesia dan tentang penghargaan kepada Ibu Mirza D. Kusrini dapat Anda simak di edisi ini. Akhirnya Redaksi mengucapkan terima kasih atas dukungan pembaca dan penulis setia majalah Herpetologer Mania selama ini. Dan kami tidak lupa mengucapkan selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Salam

(3)

Nursahara Pasaribu

Ketua Departemen Biologi FMIPA USU

SALAM KONSERVASI

SAHABAT HERPETOLOGER

Chairunisa Ummanah adalah salah satu peserta dari Universitas Medan Area (UMA) yang ikut berdiskusi tentang herpetologi dalam memperingati Hari Biodiversitas Dunia pada 15 Mei 2015 yang lalu. Ketika di lapangan, untuk mempraktikan metode pengamatan herpetofauna di Bumi Perkemahan Sibolangit Sumatera Utara, beliau merasakan sensasi herping yang benar-benar baru. Untuk itu, gadis kelahiran Medan, 12 Juni 1996 ini akhirnya dengan senang hati berbagi cerita melalui Majalah Herpetologer Mania edisi kedepalan. Nah, mari kita rasakan apa yang beliau rasakan dengan membuka halaman berikutnya.

Chairunisa Ummanah

Agus Nurza

K

ini kita telah memasuki pertengahan tahun 2015.

Pertengahan tahun adalah masa paling penting jika diukur dalam sebuah proses. Pada masa ini, kegiatan-kegiatan menjadi puncak karena sudah diawali dengan pemanasan dan nantinya diakhiri dengan penyelesaian alias sentuhan akhir. Kita selalu menginginkan sebuah akhir yang selaras dengan niat awal.

Tahun 2015 adalah periode masa yang menyatakan sebuah peradaban kemajuan teknologi. Kita mengenalnya dengan tahun modern di mana nampaknya teknologi sedang memuncak. Pada tahun ini, manusia telah berhasil merangkai aneka peralatan untuk memudahkan langkah-langkah perjalanan hidupnya. Dengan kemajuan teknologi, orang-orang tidak perlu lagi membalik tanah dengan cangkul, membaca di depan buku kertas, mengisi absen tulis dan menyeduh kopi seperti yang lalu-lalu. Semuanya sudah ada alat bantunya, bahkan sebagian besarnya tinggal menekan sebuah tombol pada remote atau mengusap-usap layar sentuh di genggamannya.

Perubahan peralatan yang dipakai akhirnya mengubah gaya hidup manusia. Gaya hidup ini juga turut mengubah morfologi, fisiologi dan tingkah laku manusia itu sendiri. Kita akhirnya banyak melihat manusia berkulit lebih putih karena kurang kontak dengan sinar matahari, atau menyaksikan orang-orang membicarakan hal-hal yang tidak dekat dengan sekitarnya karena banjir informasi di mana-mana, perut orang-orang buncit dan kegemukan karena kurang bergerak dan banyak perubahan lainnya.

Sejatinya, setiap perubahan tersebut selalu diikuti dengan perubahan lainnya. Ada yang menamainya dengan istilah dampak. Nah, tahun 2015 ini, dampak-dampak itu semakin jelas karena diawali dengan perubahan-perubahan yang tinggi. Dalam ranah konservasi dan sebagai pribadi yang ramah lingkungan tetap saja kita diajak untuk tetap menjaga kesederhanaan di atas dampak kemudahan yang ada. Jika tidak, konsumsi kita akan meningkat dan gesekan pengrusakan alam akan membesar. Di depan Anda, Majalah Herpetologer Mania edisi kedelapan sedang bercerita kembali. Majalah ini kembali hadir dengan semangat yang sama sebagai media silaturahmi dan sarana untuk berbagi untuk kita semua. Saya mengucapkan selamat terbit kembali.

Agus Nurza sejatinya adalah pengamat burung. Dengan demikian, jika kita ingin memiliki teman untuk pengamatan burung di Propinsi Aceh khususnya, cukuplah kita menghubungi pria tamatan SMUN 4 Banda Aceh ini. Bukti keterlibatannya dengan dunia perburungan adalah terbentuknya Aceh Birder sebagai wadah pengamat burung di Propinsi Aceh. Di samping itu, beliau juga menjadi salah satu pendiri Cicem Nanggroe. Pada sebuah kesempatan ketika pengamatan burung akhir Februari 2015 yang lalu di Takengon, Agus Nurza menjumpai seekor bunglon bermata biru. Setelah didiskusikan soal jenisnya, Agus merasa perlu untuk bercerita melalui majalah ini. Bunglon apakah ini? Mari kita simak sama-sama.

Pria kelahiran Berastagi, 12 Desember 1993 ini memiliki nama lengkap Junaydy Michael Angelo Ginting. Sejak kecil sudah memiliki ketertertarikan dengan dunia satwa. Saat menduduki masa sekolah, beliau cenderung mempelajari taksonomi hewan secara umum. Beliau terlibat dengan kegiatan lapangan, penelitian maupun pengamatan sejak memasuki perkuliahan di Jurusan Biologi Universitas Sumatera Utara. Di masa perkuliahan, beliau mulai fokus belajar kembali taksonomi hewan yang lebih spesifik, khususnya mempelajari herpetofauna dan taksonomi serangga. Selain suka menonton anime series, travelling, dan mendengarkan musik, anggota Biopalas Angkatan “Rotan Hutan” ini memiliki hobi lain seperti menulis novel, cerpen maupun drama. Saat ini beliau tengah menjalani risetnya mengenai hubungan kekerabatan Anura berdasarkan morfometrik. Nah, pada edisi Junaydy menuliskan tiga artikel sekaligus. Saatnya kita menyimak.

(4)

Amfibi & Reptil

Bukan untuk Dipelihara

dan Diperdagangkan

(5)

BERITA UTAMA

Si Ular Hijau

Bermata Merah

Teks oleh Rachmi

(6)

BERITA UTAMA

S

ebelum memulai ekspedisi, kami sudah memiliki target temuan yakni sangat berharap bertemu dengan salah satu bunglon endemik Pulau Sumatera yaitu Gonocephalus

lacunosus dengan nama

Tepat pada pukul 10.00 WIB pagi, tim ekspedisi Herpe-tologer Mania berangkat menuju lokasi survei herpe-tofauna di daerah pinggiran Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Setiba di sana kami disambut hawa dingin yang bersekongkol dengan gerimis di dataran tinggi itu. Hawa dingin memaksa kami untuk mengisi lambung yang kosong selama perjalanan sekitar dua jam yang lalu.

Inggerisnya, Sikulikap

Anglehead Lizard. Holotype

spesies ini berasal dari kawasan air terjun Sikulikap dan sampai saat ini belum ada catatan temuan terbaru mengenai spesies tersebut. Ekspedisi kali ini terdengar

seperti sebuah bisikan alam. Kiri kanan jalan yang dipenuhi tumbuhan herba jelatang merupakan ranjau bagi kami. Namun hembusan angin dari air terjun dan suara musik tidak henti-hentinya yang berasal dari rumah makan di pinggir jalan itu juga tidak mau kalah mengiringi. Setelah berjalan memasuki hutan beberapa kilometer, kami pun menemukan lokasi yang cocok untuk

camping. Kemudian

sebagian besar dari kami bergegas menegakkan tenda. Sebagian memasak dan yang lain survei lokasi untuk herping nanti malam.

Herping akan dilakukan

dengan durasi dua hari. Pengamatan dilakukan pada siang dan malam hari. Pada siang hari, pengamatan dilakukan secara langsung dengan menyusuri sungai dan menjelajahi daratan di hutan sekitar camp, sedangkan pengamatan pada malam hari dilakukan dengan metode Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS). Pengambilan data dilakukan di tiga lokasi sungai dengan masing-masing lokasi

dilakukan pengambilan data sebanyak satu kali sepanjang 500 meter mengikuti aliran sungai. Hari pun mulai gelap, kami mulai memeriksa alat-alat untuk herping.

Headlamp, baterai

cadangan, kamera digital,

GPS (Global Positioning System), meteran dan buku

catatan, kami rasa sudah lengkap. Tim kemudian melanjutkan survei ke arah sungai dengan melewati jalur yang sangat terjal dan sedikit becek karena hujan. Sebelum sampai di sungai yang kami tuju, seekor ular hijau bermata merah menyambut kami.

Ular tersebut tampak seolah berbicara kepada kami sambil menjulurkan lidahnya. “Selamat datang wahai tim Herpetologer Mania di habitatku nan indah ini”begitulah Nampak dia menyapa. Upsss… suara itu tidak terdengar, namun tersirat dari tingkah laku ular hijau itu yang ditemani sayup-sayup suara air terjun dan hewan nokturnal lainnya.

Ular hijau bermata merah itu bertengger di atas daun pepohonan yang berada di daerah yang sangat terjal, sehingga membuat kami sulit untuk mendokumentasikannya.

Namun kami tidak menyerah begitu saja, masih banyak jalan menuju Roma. Kami saling membantu sebagaimana mestinya sesama tim. Ada yang memberi sentuhan kepada ular hijau itu agar bergerak ke arah yang lebih baik dan aman untuk difoto. Kami masih penasaran dengan spesies ular ini, secara morfologi terlihat seperti Trimeresurus, namun Trimeresurus apa ya? Kami hanya tahu sampai marganya saja. Karena masih penasaran, kami menangkapnya untuk keperluan identifikasi lebih lanjut. Usai mendokumentasikannya,

Dok Chairunas

Adha Putra

Dok Chairunas

Adha Putra

Dok Junaedi Siregar

Dok Junaedi Siregar

Beberapa view dari Trimeresurus toba.

(7)

kami turun ke arah sungai. Wah… saudara-saudara! kami disambut lagi oleh ular, namun kali ini ularnya berwarna merah bata dan unyu-unyu, namanya

Pareas malaccanus.

Di sepanjang sungai, kami menemukan kodok dan katak yang jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan ekspedisi-ekspedisi sebelumnya. Saya sedikit kecewa untuk temuan jumlah amfibi. Kiri kanan trek yang kami lalui sangat banyak cicak hutan (Cyrtodactylus

marmoratus). Berbagai

pose menawan

diperlihatkan cicak tersebut kepada tim Herpetologer Mania. Bahkan pose eksotik mereka mampu mengalahkan model-model profesional, ditambah lagi dengan tekstur dan warna kulit mereka yang spesial. Iris bola matanya bagaikan

stomata yang setengah membuka, sungguh unik dan menarik jika diamati lebih lama.

Saking penasarannya dengan si ular hijau

bermata merah temuan pertama, kami pun meneliti bagian morfologinya lebih lanjut setelah pulang dari ekspedisi. Kami memperoleh data morfologi sebagai berikut :

Ciri morfologi ular ini ternyata sangat mirip dengan data morfologi

Trimeresurus toba menurut

jurnal yang kami baca: A

New Species of Pitviper of the Genus Trimeresurus (Popeia) from Northern Sumatra. Spesies ini

sudah lama tidak tercatat

No. Kelas Famili Species Jmlh Ind. Habitat

1. Amfibi Bufonidae Bufo juxtasfer 2 Sungai 2. Dicroglossidae Limnonectes kuhlii 1 Sungai 3. Rachoporidae Rhacophorus appendiculatus 1 Lantai hutan 4. Reptil Agamidae Bronchocela cristatella 1 Pepohonan lantai hutan 5. Agamidae Draco haematopogon 1 Pepohonan lantai hutan 6. Colubridae Pareas malaccanus 4 Pinggir sungai 7. Viperidae Trimeresurus toba 1 Pinggir sungai

8. Gekkonidae Cyrtodactylus marmoratus 12 Sungai, lantai hutan, tebing-tebing perbukitan Berikut data temuan amfibi dan reptil di Sikulikap:

BERITA UTAMA

TL (Total Lenght) = 385 mm

SVL (Snout – Vent Lenght) = 320 mm TaL (Tail Length) = 69 mm

VED (Vertical Eye Diameter) = 2 mm DSR (Dorsal Scale Row) = 21 Supralabial Scale = 9 Ventral Scale = 156

MSR (Dorsal Scale Rows at Midle Body)= 21 DEL (Distance Lower Eye Margin) = 7 mm

kembali di Sumatera dan diperkirakan spesimen terakhir lebih dari 100 tahun yang lalu. Wowww….

amazing! Jika ini jenis

yang sama, temuan ini merupakan salah satu momen menarik sepanjang ekspedisi HM.

Setelah kami mengukur seluruh morfologi tubuh dari ular itu, kami mengawetkannya dengan menggunakan alkohol 70%. Tak puas rasanya dengan identifikasi yang belum menemukan titik terang, anggota Herpetologer Mania lain yang sedang

kuliah di Jawa pun membawa spesimen ke Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) LIPI untuk studi komparasi dengan jenis yang mirip. Di laboratorium tersebut, identifikasi untuk marga ularnya cukup mudah, yakni Trimereserus. Marga Trimeresurus sendiri memiliki beberapa karakter di antaranya tubuhnya berwarna hijau, umumnya memiliki jumlah sisik antara 19-21 pada bagian dorsalnya. Jika diperhatikan, ular ini tanpa garis di belakang matanya. Marga Trimeresurus

Cyrtodactylus spp.

Hutan di bawah air terjun Sikulikap (kiri), dan tim berpose di air terjun Sikulikap (kanan).

Dok Junaedi Siregar

(8)

Karakter P. popeiorum P. sabahi P. toba Spesimen

Jumlah sisik MSR 20-21 20-21 20-21 21 Jumlah sisik ventral ≥ 158 ≤158 153-156 156 Garis Ventrolateral Merah atau orange terang (J) dan putih tipis (B). Merah (J) dan putih (B). Berwarna putih tipis (J/B) atau

tidak ada (B). Tidak Ada. Warna mata Merah dalam Merah dalam; kuning atau

oranye terang. Kuning-oranye. Merah dalam. Garis Pos-okular Ada (J/B) Tidak ada Tidak Ada. Tidak Ada. Persebaran Sumatera Bagian Barat dan Kep.

Mentawai Endemik Borneo Endemik Sumatara Bagian Utara

Sumatera Bagian Utara

kemudian disebut Popeia karena para peneliti mempertimbangkan

Trimeresurus sebagai super

genus yang memiliki pohon monofiletik antara pitviper Asia dan Amerika. Proses identifikasi selanjutnya yang kami kerjakan adalah membandingkannya dengan taksa tertentu yang memiliki kemiripan dengan spesimen yang kami periksa. Untuk sementara, dugaan kami mengarah pada beberapa spesies yaitu Trimeresurus (Popeia)

popeiorum, Trimeresurus

(Popeia) sabahi dan

Trimeresurus (Popeia) toba. Kami mengeluarkan Trimeresurus (Popeia) barati dari pemeriksaan

karena spesies yang satu ini sangat berbeda pada jumlah sisik MSR (17-19 sisik) dan adanya garis ventrolateral berwarna coklat kemerahan. Identifikasi ini cukup pelik karena karakter dari spesimen itu mirip dengan spesies sabahi yang konon merupakan endemik Borneo. Tentu untuk memastikannya kita harus berhadapan dengan

BERITA UTAMA

Referensi:

David P, Petri M, Vogel G and Doria G., 2009. A New Species of Pitviper of the Genus

Trimeresurus (Popeia)

from Northern Sumatra. Vol C: 326 – 337.

Tengku Gilang Pradana dan Desy Hikmatullah sedang melakukan pengamatan morfologi ular Trimeresurus.

Bersama ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia, Amir Hamidy saat melakukan cek silang jenis ular Popeia toba.

Tabel perbedaan antara Popeia popeiorum, P. sabahi dan P. toba Sedangkan dua karakter

tersebut merupakan karakter kunci dari

identifikasi. Spesimen yang hanya satu individu saja ini kemungkinan masih remaja jika dilihat dari ukuran tubuh ular yang masih di bawah rata-rata. Jadi, jika sangat mirip, akankah kita menetapkannya sebagai Trimeresurus

(Popeia) toba? Atau akan

kita tuliskan sebagai

Trimeresurus cf toba?

*** Satu ungkapan untuk

herping ini: “Herping

itu adalah cinta, yang merupakan hasrat

pemerhati ampibi dan reptil yang terpendam sejak lama untuk menyelami proses-proses kehidupan, merajut siklus-siklus di alam, dalam diam di keheningan malam gelap gulita namun merdu tiada terkira, terdengar hanya oleh segelintir manusia”, (Rachmi, 2015). pembahasan biogeografi

spesies yang lebih jauh lagi. Sebelumnya, kami beranggapan bahwa spesimen akan mengarah pada spesies popeiorum yang persebarannya umum di wilayah Sumatera. Namun untuk menetapkan sebagai spesies toba kami masih ragu karena warna mata yang kurang cocok. Beberapa keterangan tambahan juga kami dapatkan bahwa ada karakter yang mungkin dapat berubah terkait umur individu misalnya warna mata dan garis ventrolateral tubuh.

Dok Chairunas

Adha Putra

Dok Chairunas

(9)

Catatan Kedua nan Istimewa

dari Bunglon Sikulikap

(Oleh Agus Nurza & Akhmad Junaedi Siregar, foto oleh Agus Nurza)

Pada akhir 2014 yang lalu, Herpetologer Mania melakukan sebuah ekspedisi herpetofauna di lokasi temuan perdana dan terakhir sebuah reptil endemik Sumatera, namanya bunglon sikulikap (Gonocephalus lacunosus). Ekspedisi yang dilaku-kan dua hari dan dua malam itu dibuat untuk mengungkap jenis amfibi dan reptil, khususnya bunglon sikulikap di lokasi temuan asal muasal spesimen holotipe-nya.

B

unglon sikulikap adalah salah satu jenis dari marga Gonocephalus. Diperkirakan sedikitnya ada 10 jenis yang

mendiami pulau Sumatera, yakni Gonocephalus beyschlagi, G. borneensis, G. chamaeleontinus, G. grandis, G. klossi, G. kuhlii, G. lacunosus, G. liogaster, G. megalepis,

dan G. sumatranus. Marga Gonocephalus mudah dikenali dengan ciri-cirinya yang memiliki timpanum yang jelas, tubuhnya yang ramping dan tertutup sisik kecil, memiliki kantung gular serta terdapat surai pada individu jantan. Sampai menit terakhir ekspedisi herpetofauna yang dilakukan Herpetologer Mania, bunglon sikulikap tidak ditemukan sama sekali. Bahkan para pemerhati tersebut sampai bergurau bahwa Manthey, si penemu sepasang bunglon sikulikap jantan betina di lokasi yang sama mungkin saja dia salah mencatat. Rasanya

tidak mungkin satu jenis hanya dijumpai hanya sekali saja.

Tepat pada tanggal 27 Februari 2015 yang lalu, jam 20.32 WIB, Agus Nurza memosting status di fesbuk dengan judul “Tak Ada Burung, ...”. Pemerhati unggas tamatan Universitas Syiah Kuala itu kemudian mengunggah dua foto reptil dan menandai dua nama temannya yang pemerhati amfibi dan reptil, Chairunas Adha Putra dan Akhmad Junaedi Siregar. Kedua nama terakhir langsung menganalisa apakah ini yang namanya bunglon sikulikap yang dicari selama ini? Dan ternyata iya. Bunglon sikulikap yang dicari-cari itu adalah jenis yang dijumpai Agus Nurza di Takengon Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh pada tanggal 27

Pebruari 2015 yang lalu. Bunglon ini baru tercatat sekali oleh Manthey, si peneliti pertama yang juga memberi nama jenis atas namanya. Nama Inggerisnya adalah

manthey’s forest dragon. Sedangkan

nama Indonesianya belum ada. Oleh karena itu kita sebut saja namanya bunglon sikulikap karena ditemukan pertama kali di sekitar air terjun Sikulikap. Nama yang mudah diingat oleh orang Sumatera, terutama suku Karo, salah satu suku khas Sumatera Utara yang mendiami daerah tersebut.

Meskipun catatan Agus Nurza adalah yang kedua, tapi itu adalah sekedar catatan “formal”. Bunglon sikulikap jika dicari dengan Google, maka kita bisa melihatnya di situs Kamikaze Reptile bertuliskan aksara Jepang. Mereka kelihatan mengandangkan semua

reptil-reptil yang ditampilkan pada website. Jadi timbul dugaan bahwa website tersebut adalah situs perdagangan reptil yang mumpuni.

Pada website tersebut, mereka menampilkan bunglon sikulikap dengan nama yang jelas dan ilmiah “Gonocephalus lacunosus”. Berarti mereka sudah sangat paham dengan jenis dan tentunya reptil itu akan dibanderol dengan harga yang lumayan mengingat jenis ini memiliki catatan yang sangat langka.

Tapi sudahlah, kita lupakan saja pecinta reptil yang lebih dahulu mendapatkannya dan membawanya pulang dari alam. Catatan kedua ini sangat istimewa yang bisa mengungkap distribusinya yang dulu dianggap hanya di sekitaran air terjun Sikulikap, ternyata sampai juga di Takengon, Aceh.

CATATAN

Dok Agus Nurza Dok Agus Nurza

(10)

P

erkawinan beda spesies biasanya disebut perkawinan

interspesifik. Kasus seperti

ini umumnya sering terjadi di Brazil, Bulgaria, U.S.A, dan India. Namun ternyata, hal tersebut juga terjadi di Indonesia.

Kasus ini disaksikan langsung oleh tim lapangan Biopalas (Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup) Dept. Biologi FMIPA USU dalam rangka pelaksanaan penelitian penulis. Bersama dengan tim ini (Jordani Ginting, Nikmah Hadana dan Adetia Girsang, serta bantuan Adrian Hartanto), penulis

Kisah Kawin “Haram” antara

Odorrana hosii dengan Hylarana kampeni

Oleh Junaydy Michael Angelo Ginting

Perkawinan yang sering disebut amplexus merupakan hal biasa dilakukan katak dalam melancarkan perilaku berbiaknya. Prosesnya yakni pejantan menaiki bagian dorsal betina yang cenderung lebih lebar serta mengaitkan kaki depannya ke sisi perut betina. Dengan bantuan air, katak jantan dan betina saling mengeluarkan cairan masing-masing sperma dan ovum dan terjadilah fertilisasi. Lazimnya amplexus akan terjadi pada jantan dan betina spesies yang sama. Nah, bagaimana jika

ampleksus terjadi pada spesies yang berlainan, dengan

kata lain, beda spesies? Apakah ada perkawinan beda jenis? Jawabannya, Ya.

melaksanakan herping di Bumi Perkemahan Sibolangit yang merupakan salah satu site dari penelitian penulis. Spesies amfibi yang didapat pada waktu itu adalah Limnonectes blythii,

Hylarana siberu, Microhyla berdmorei, Microhyla heymonsi, Polypedates leucomystax, Phrynoidis aspera, Phrynoidis juxtasfera, Leptobrachium hendrecksoni, serta spesies

yang melimpah Odorrana

hosii dan Hylarana kampeni. Semula tidak

ada yang janggal pada apa yang kami lihat. Tapi konsentrasi kami berubah

P E N G A M ATA N

(11)

ketika menyaksikan kejadian yang cukup aneh yakni jantan Odorrana

hosii mencoba membuahi

spesies lain, Hylarana

kampeni.

Fenomena perkawinan beda spesies terjadi ketika aktivitas reproduksi spesies tersebut overlap pada tempat dan waktu yang sama. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih antara perilaku kawin dengan objek yang kurang tepat, alias salah sasaran. Sehingga demi melancarkan hasratnya tersebut, sang jantan biasannya “menyerang” apa saja yang berada di hadapannya, meskipun itu beda spesies, spesies yang sudah mati maupun benda-benda tidak bernyawa lainnya.

Penelitian yang hangat baru–baru ini juga merujuk pada kasus abnormal amplexus pada beberapa Anura (biasanya terjadi pada spesies

Bombina variegata, Bufo bufo, Epidalea viridis, Pelophylax ridibundus, Rana temporaria and Rana dalmatina di Bulgaria).

Dalam penelitian Mollov et al. (2010), misalnya, menemukan setidaknya

ada enam tipe amplexus abnormal dalam anura, yaitu multiple amplexus (banyak jantan dan satu betina), amplexus dari sisi perut (abdominal),

amplexus sesama jantan, amplexus antara jantan

hidup dengan betina mati,

amplexus beda spesies,

dan amplexus antara jantan dengan benda tidak bernyawa.

Perkawinan beda jenis dalam jumlah yang banyak, satu betina dengan banyak jantan, seperti yang dibuktikan langsung oleh Reginaldo dan Paulo (2011), yaitu antara kodok Rhaebo guttatus and Rhinella marina di hutan Amazon. Mereka menemukan kodok jantan

Rhinella marina dan kodok Rhaebo guttatus secara

bersamaan membuahi betina Rhaebo guttatus, dan bahkan menemukan kodok jantan Rhinella marina mencoba membuahi kodok jantan Rhinella

guttatus. Dan masih

banyak lagi kasus

amplexus beda jenis,

seperti antara dua spesies

namun genus sama,

Hypsiboas albomarginatus

dan Hypsiboas

raniceps di Timur Laut

Brazil, Leptodactylus

macrosternum dan Rhinella Granulosa di Danau

Sapucuá, Brazil, dan

Duttaphrynus stomaticus dan Sphaerotheca breviceps di Rajashtan, India. Melihat perilaku yang

menyimpang ini, penulis menempatkan pasangan itu di tempat khusus dan melihat apa yang akan terjadi dengan pasangan “haram” ini. Penulis membuat sebuah wadah dengan air di dalamnya untuk membantu proses

mating. Tanpa melepas

pasangannya, kedua katak itu masih melanjutkan masa-masa mating-nya. Dan tepat selama dua hari, Odorrana hosii terus menempel di betina tanpa melepasnya meskipun akhirnya betina Hylarana

kampeni sudah mati di

tempat.

Dalam kasus mating dengan individu yang mati juga sering terjadi di dunia katak. Fenomena seperti ini disebut necrogamy.

Tapi pada umumnya kasus ini terjadi

ketika seekor betina dibuahi oleh banyak jantan dalam waktu bersamaan. Hal itu menyebabkan betina terhimpit dan mati. Meskipun ada juga beberapa kasus di mana katak jantan membuahi katak betina yang memang sudah mati sebelumnya.

Necrogamy juga terdiri dari

dua, intraspesifik (sama jenis) dan interspesifik (beda jenis). Kasus intraspesifik sempat direkam oleh Diego A. Gómez-Hoyos et al. (2012) di Andes, Columbia. Beliau menemukan kasus tidak biasa yang dilakukan oleh Boettger’s Colombian Treefrog (Dendrosophus

columbianus). Dalam

kasus ini, ditemui banyak betina dalam kondisi mati, membusuk dan berjamur. Sementara kasus yang beda jenis juga diabadikan oleh Waterstrat et al. (2008) antara jantan

Ascaphus truei dan betina

mati Rana aurora, dan Mollov et al. (2010) dalam kasus perkawinan antara jantan Rana temporaria dengan betina mati Rana

temporaria dan betina mati Pelophylax ridibundus.

Tapi beda halnya dengan yang terjadi antara

Odorrana hosii dan Hylarana kampeni. Karena

yang mengawini hanya

satu individu saja, kematian betina Hylarana kampeni diasumsikan terjadi karena perubahan drastis kondisi lingkungan dan pengaruh racun dari Odorrana hosii itu sendiri.

Keragaman hayati telah menciptakan karakter-karakter unik di setiap jenisnya. Semuanya memiliki fungsi ekologis masing-masing yang menentukan perannya di lingkungan. Keadaan tersebut membentuk fisiologis dan tingkah laku spesifik, lengkap dengan nilai anomali serta nilai abnormalnya. Tapi semua itulah yang menciptakan keanekaragaman hayati di lingkungan kita yang menyimpan pengetahuan, misteri, dan ekologi yang sudah seharusnya diketahui. Sehingga alam kita tidak akan pernah habis dengan ilmu pengetahuan yang niscaya akan mengangkat martabat negara di mata dunia.

Referensi :

Davidson et al. Heterospecific amplexus between the frog Leptodactylus macrosternum (Anura: Leptodactylidae) and the toad Rhinella cf.

granulosa (Anura: Bufonidae). Herpetology Notes,

volume 7: 287-288 (2014) (published online on 11 May 2014).

(12)

Diego A. et al. Unusual amplexus in

Dendropsophus columbianus

(Anura: Hylidae). Herpetology Notes, volume 5: 497-498 (2012) (published online on 8 November 2012).

Mollov et al. 2010. Cases of abnormal amplexus in anurans (Amphibia: Anura) from Bulgaria and Greece. Biharean Biologist (2010) Vol. 4, No.2, Pp.: 121-125.

Reginaldo and Paulo. Multiple and heterospecific amplexi between the toads Rhaebo guttatus and

Rhinella marina (Anura: Bufonidae).

Herpetology Notes, volume 4: 167-169 (2011) (published online on 6 May 2011).

Sharma et al. Interspecies mating interactions between Duttaphrynus

stomaticus (Marbled Toad) and

Sphaerotheca breviceps (Indian

burrowing frog) at the central Aravalli foothills, Rajasthan, India. Herpetology Notes, volume 7: 139-140 (2014) (corrected version, published online on 16 April 2014). Stéphanie et al. Interspecific amplexus

between Hypsiboas albomarginatus (Spix, 1824) and Hypsiboas raniceps Cope, 1862 (Anura: Hylidae) in northeastern Brazil . Herpetology Notes, volume 8: 213-215 (2015) (published online on 19 April 2015). Vitor et al. Multiple amplexus

and spawning in the leaf frog

Phyllomedusa iheringii (Hylidae,

Phyllomedusinae). Herpetology Notes, volume 7: 119-120 (2014) (published online on 17 February 2014).

P E N G A M ATA N

H E R P I N G

Sensasi Malam Minggu

di Herping Pertama

Oleh Chairunisa Ummanah

Malam minggu bagi remaja seumurku biasanya dihabiskan berkumpul bersama teman. Atau bagi yang punya pacar bisa merencanakan hang out bersama pasangannya. Bagiku sih, tak ada yang istimewa dengan malam minggu, akukan jomblo, hehe. Oke, I’ll try to share

my experience to you now. I hope you enjoy. Kali ini

sedikit berbeda, tepatnya pada malam Minggu tanggal 16 Mei 2015. Malam ini aku lewati tak seperti biasanya. Aku ikut berpartisipasi di kegiatan pengamatan herpetofauna di Bumi Perkemahan (Bumper) Sibolangit bersama teman-temanku. Nah, bagi yang asing mendengar istilah kegiatan itu, aku jelaskan dulu apa itu herpetofauna.

H

erpetofauna secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu herpeton yang berarti melata dan fauna yang berarti binatang. Jadi herpetofauna bermakna binatang-binatang yang melata.

Sekarang waktunya aku berbagi pengalaman semua tentang pengamatan herpetofauna yang saya lakukan bersama teman-temanku di Bumi Perkemahan Sibolangit. Malam itu, kami

pengamatan di salah satu anak sungai yang mengalir di pinggiran Bumper Sibolangit. Pengamatan ini untuk melihat keberadaan

katak. Tim kami yang terdiri dari lima orang ditugaskan meneliti hewan berkulit licin di anak sungai yang sudah ditentukan panitia. Pemandu yang saat itu berjumlah enam orang memberi pengarahan kepada kami tentang apa saja yang akan dilakukan. Kegiatan ini diawali dengan pencarian katak lalu mengidentifikasinya. Kami juga mempelajari tentang bagaimana cara mengambil gambar katak dengan baik. Tidak hanya itu, kami juga mempelajari tentang cara menangkap katak juga. Hal yang sangat menarik dari kegiatan ini adalah hilangnya rasa jijik dan

Selamat Menunaikan

Ibadah Puasa pada

Bulan Ramadhan 1436

Hijriah bagi yang

Melaksanakannya

Dok Chairunas

(13)

K I L A S F O TO

Santi Nirmala Sari ketika berwisata di kawasan hutan Ekowisata Batu Rongring, Desa Porli, Langkat beruntung menjumpai seekor kura-kura yang unik. Namanya

Heosemys spinosa atau kura-kura berduri.

Pada tanggal 26 Januari 2015 yang lalu di desa pinggiran Taman Nasional Gunung Leuser itu, Santi sempat menimang salah satu jenis dari 40 jenis kura-kura yang dimiliki Indonesia. Beliau merasa bahwa keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi besar sebagai daya tarik keindahan alam.

Heosemys spinosa

takut pada katak. Awalnya, sebagai perempuan tulen yang tergolong lembut dan suka yang bersih-bersih, tentu saja saya sangat jijik dan takut. Di sini kami ditempa menjadi perempuan yang strong. Pada kesempatan ini saya mungkin sudah bisa dibilang wonder woman untuk satu malam. Malam itu aku harus masuk ke dalam sungai sampai satu setengah jam hanya untuk mencari katak yang tak seberapa itu, hehe.

Lumayan dingin juga

sih. Tim kami berendam

lama-lama, dan rasanya tak ada yang sia-sia ketika bertemu dengan berbagai jenis katak yang selama ini tidak pernah saya lihat. Aku tahunya sih cuma kodok bancet, hehe.

Setidaknya kegiatan ini cukup menambah pengetahuanku tentang hewan yang selama ini dianggap menjijikkan. Hewan ini ternyata memiliki keunikan yang dahsyat.

Kalian bisa lihat melalui foto yang aku ambil selama kegiatan tersebut berlangsung.

Okelah. Pengalaman yang saya dapatkan pada malam minggu ini lebih dari biasanya. Bagi saya, kegiatan itu sangat bermanfaat dan jauh lebih berkesan dibandingkan hanya hang out dengan pacar. Semoga Anda merasakan hal yang sama nantinya, mari herping teman-teman.

W

ah, judulnya seram. Tapi janganlah terus membayangkan suntikan maut oleh dokter dengan wajah menakutkan. Mungkin bagi kita yang studi di jurusan biologi, racun dari Odorrana hosii sudah tak asing lagi. Tapi bagaimana yang tidak mengecap pengetahuan biologi seperti yang kuliah di jurusan ekonomi, teknik, sastra dan hukum?

Suntikan Maut ala Odorrana hosii

Aku mau bercerita tentang bahaya racun yang ditularkan Odorrana hosii. Cerita ini

berawal dari herping pertamaku di Bumi Perkemahan Sibolangit. Waktu itu aku mengumpulkan amfibi ke dalam kantong plastik. Di kantong itu, ada 22 individu

dari empat jenis. Sehabis herping, aku kaget melihat individu hampir mati semua. Teman-teman yang lain juga keheranan sepertiku. Perkiraan pertama kami adalah kantung plastik kelebihan muatan dan akhirnya kekurangan oksigen. Tapi setelah kami amati lebih dalam lagi, kami menemukan lendir. Ternyata itu lendir dari salah satu spesies yang bernama Odorrana hosii. Lendirnya beracun dan hampir merenggut semua nyawa di dalam kantung plastik itu. Itulah akhirnya aku memahami kenapa namanya dalam bahasa Inggeris Poisonous Rock Frog!

(14)

P

roduksi beras umumnya kurang stabil di Indonesia. Kadang produksi dapat meningkat dan kadang pula dapat menurun secara drastis. Penurunan produksi beras secara umum disebabkan karena serangan hama. Populasi

hama meningkat secara drastis. Hama pertanian, seperti wereng, walang sangit, dan ulat menyerang buah maupun tanaman padi.

Apabila dilihat secara ekologis, keseimbangan ekosistem akan terganggu

apabila di salah satu komponen jaring-jaring makanan hilang. Anura merupakan salah satu komponen penting dalam sistem ekologis yang tidak dipisahkan karena fungsinya. Anura memiliki peran penting dalam jaring-jaring makanan.

Makanan mayoritas Anura adalah serangga. Karena pakan utamanya berupa serangga atau hama, Anura memiliki peran yang sangat penting dalam penanggulangan masalah hama di sawah (sibernetik). Peran Anura ini dapat dilihat dalam penelitian He dan Gu (1990) bahwa beberapa jenis serangga wereng cokelat dan kepik didapatkan di dalam perut katak. Pratomo (2002) meneliti bahwa di dalam lambung salah satu spesies katak, Rana

cancrivora, terdapat hama

Thrips padi dan Manggot yang merupakan hama utama padi di persawahan Kabupaten Bogor.

Penulis juga membuktikan langsung kemampuan

Anura yang cukup efektif dalam menanggulangi berbagai jenis hama. Riset mengenai kajian kemampuan Anura sebagai predator hama padi ini dilakukan di salah satu desa di Tanah Karo, yakni Desa Juhar di mana penduduk lokalnya masih melakukan perburuan terhadap katak sebagai

bahan pangan. Penulis melakukan pembedahan beberapa spesies Anura yang ditemukan di sawah, yaitu Duttaphrynus melanostictus, Phrynoidis aspera, Phryonidis juxtaspera, Fejervarya cancrivora, Limnonectes blythi, Odorrana hosii,

Hylarana erythraea, dan Polypedates leucomystax.

Di dalam perut katak dan kodok tersebut ditemukan berbagai jenis hama penting maupun hama tanaman lainnya. Jenis-jenis hama penting yang tercatat antara lain dari genus Haplothrips, Leptocorixa, Hydrella,

Katak dan Kodok, Sang Pahlawan

Sawah yang Mulai Terancam

Sudah menjadi tabiat manusia memanfaatkan sumber alam untuk memenuhi dan melanjutkan kehidupannya. Segala sesuatu yang ada di alam bisa dimanfaatkan secara langsung oleh manusia. Alam dijadikan sum-ber ekonomi, rekreasi, dan bahkan sumsum-ber makanan. Namun jika dimanfaatkan secara berlebihan, alam pasti akan berkurang, apabila tidak dikontrol dengan baik. Pa-dahal alam juga memiliki fungsi dari sisi lain yang belum dipahami secara mendalam. Hal tersebutlah yang terjadi pada bangsa Anura, katak dan kodok.

Teks & Foto oleh Junaydy Michael Angelo Ginting

R I S E T

Persawahan di Desa Juhar, salah satu lahan padi yang sering diserang hama.

Jenis-jenis hama tanaman yang menjadi makanan Anura: (1) Amsacta sp, ulat jambu, (2) Helicoverpa sp, ulat tomat, (3) Scotinophora, hama penting padi, (4) Oulema melanoplus, hama biji padi.

1

2 4

(15)

Nilaparvata, Oulema, Pultella, Sexava, Scotinophora, Tryporyza, dan Valanga. Selain itu, ditemukan juga spesies yang merupakan hama tanaman lain seperti hama labu (Epilachna), hama tanaman jambu (Amsacta), hama tanaman kacang (Cydia) dan hama tomat (Helicoverpa).

Dari penelitian ini diketahui bahwa spesies Anura yang cukup ampuh menanggulangi hama adalah dari famili Dicroglossidae. Spesies

Fejervarya cancrivora dan Limnonectes blythi terbukti

dapat mengurangi populasi hama. Hal ini disebabkan keanekaragaman jenis makanan kedua spesies tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan spesies lain. Fenomena

ini dipengaruhi oleh bobot tubuh spesies tersebut yang cenderung lebih besar dan berat.

Meskipun keberadaan Anura sangat penting bagi

pertanian, namun populasi beberapa spesies dari Anura cukup terancam dengan kegiatan manusia. Manusia memburu dan mengonsumsi katak. Beberapa spesies Anura

yang biasanya sering dimakan di antaranya adalah Limnonectes blythi,

Limnonectes macrodon, Fejervarya cancrivora, dan Fejervarya limnocharis. Hal

ini menyebabkan populasi Anura semakin berkurang jumlahnya. Lama kelamaan spesies akan menuju ke angka kepunahan. Seperti spesies Limnonectes blythi, menurut IUCN, sudah mendapat status Near

Threatened, mendekati

terancam.

Sangatlah penting bagi kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang efek dari pemanfatan berlebihan dari Anura yang berpengaruh menimbulkan meledaknya potensi hama di sawah. Akibat yang ditimbulkan hama ini sangat besar, seperti penurunan produksi bahkan kematian tanaman pokok dan mengganggu kesejahteraan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengurangan pemanfaatan berlebihan terhadap Anura. Untuk mengatasi terjadinya kepunahan amfibi dari bangsa Anura, perlu dilakukan upaya-upaya penyelamatan dan

Referensi :

Duellman, W., Trueb, L. 1985. Biology of Amphibians. McGraw-Hill Book Company: New York.

Iskandar, D.T. 1998. Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa

dan Bali. Puslitbang. Biologi LIPI: Bogor.

Nurmainis, 2000. Kebiasaan Makanan Kodok Sawah Rana

Cancrivora di Kabupaten Bogor Jawa Barat (Skripsi).

Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana. Pratomo, H. 2002. Kemampuan Makan Rana limnocharis

dan Rana cancrivora di Persawahan Jawa Barat Sebagai Predator Hama Padi dalam Proyek Pengkajian Dan

Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 9 April 2002. Jakarta.

penyuluhan satwa yang bertujuan menjaga satwa liar agar tetap lestari di alam. Pengetahuan mengenai Anura perlu disebarkan kepada masyarakat agar dapat memahami peran ekologisnya. Upaya ini bisa membuat kita lebih mengenal satwa negara kita, dan tentunya membuat kita lebih mencintainya. Kebanyakan kita

mengabaikan spesies yang sekarang yang jumlahnya masih berlimpah dan masih banyak, padahal kita tidak mengetahui bagaimana kondisi-kondisi di masa yang akan datang. Tidak

menutup kemungkinan, kita tidak akan menemui seekor pun hewan yang dulu sering kita lihat maupun temui. Dan mirisnya, ketika sudah terancam dan menipis, semua berbondong-bondong memakai bendera “konservasi” dengan tujuan masing-masing. Kenapa tidak dari dulu kita melindunginya? Pertanyaan itu akan terucap ketika ada spesies yang mulai menipis di lingkungan. Oleh karena itu, jagalah spesies yang berada di sekitar kita supaya tetap lestari dan menjadi aset negara yang akan terus ada sampai kapan pun.

Penulis sedang mengamati hama pada padi, (1) serangan hama Telicota, (2) serangan hama Nilavarpata.

Pembedahan terhadap lambung Anura.

R I S E T

(16)

FENOMENA

S

ejauh saya berjalan, ini kali kedua saya menemukan tokek rumah. Yang pertama adalah di Kota Binjai. Ketika itu saya bersama teman tertarik menangkap sekumpulan tokek rumah untuk dijadikan bahan percobaan praktikum di Universitas Sumatera

Tokek Rumah, Rajanya Penghuni

Rumah di Tahura Pocut Meurah Intan

Oleh Akhmad Junaedi Siregar

Dok Junaedi Siregar

Dok Junaedi Siregar

Dok Junaedi Siregar

Dok Chairunas

Adha Putra

(1) Rumah pohon Tahura Pocut Merurah Intan, (2) & (3) Jenis dari marga lain dari (Gekko smithii dan Gekko monarchus), (4) Gekko

gecko

Pada Mei 2015 yang lalu, saya mengunjungi Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan yang berada di dua kabupaten yakni Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, Propinsi Aceh. Sebagai orang yang banyak menghabiskan waktu di Propinsi Sumatera Utara, saya memiliki kesan tersendiri ketika menginap dua malam di guest house di kawasan lindung itu. Yang membuat terkesan tidak lain adalah hadirnya tokek rumah (Gekko

gecko)menggantikan cicak rumah (Hemidactylus frenatus) yang sebagaimana biasanya kelihatan di Sumatera Utara.

Utara (USU). Kami berhasil menangkapnya satu ekor. Dari cerita kawan itu, tokek ini diburu di Aceh ketika isu perdagangan tokek masih hangat waktu itu. Tokek yang kami tangkap ini adalah dagangan yang sudah diliarkan kembali karena tidak laku lagi. Tokek menjadi salah satu “bisnis monyet” yang gagal. Tapi di sini, Tahura Pocut Meurah Intan, tokek rumah sangat mudah dijumpai. Suaranya yang sangat nyaring kadang membangunkan kita dari

tidur. Literasi suaranya seolah menyebut namanya, “to…ke…, to…ke…, to…. ke…!!!”. Mungkin saja karena suaranya yang khas ini kemudian orang-orang menyebutnya dengan nama tokek, yang kemudian dalam bahasa Inggeris juga dengan literasi yang hampir sama, yakni tokay gecko,

tokeh dan tuctoo.

Marga tokek sendiri ada tiga jenis yang menghuni pulau Sumatera, yakni

Gekko gecko, Gekko smithii

dan Gekko monarchus. Menurut pengamatan saya

mudah ditemukan, menyusul Gekko smithii. Habitat temuan keduanya cukup berbeda di mana

Gekko monarchus

ditemukan di rumah-rumah dan Gekko smithii didapatkan di sekitar hutan. Dalam laporan lapangan kawan-kawan Herpetologer Mania, nama Gekko gecko tidak pernah tercantum. Juga kalau dilihat dari laporan dan buku-buku yang masih dalam tahap pengerjaan teman-teman yang lain, tokek berbintil merah ini juga tidak

termasuk di dalamnya. Meskipun begitu, ada saja yang mengenal tokek ini. Katakanlah kawan saya menuturkan di rumahnya

di sekitar Kecamatan Sunggal Medan,

tokek yang dimaksud cukup ramai dan sering mengganggu perhatian mereka. Tokek tersebut mencari makan di tempat sampah dan menimbulkan suara berisik. Dugaan sementara bahwa Gekko gecko yang berkeliaran di Kota Medan dan sekitarnya adalah

hasil buruan yang sudah dilepaskan pemburunya. Asal muasal tokek rumah di Medan adalah dari Propinsi Aceh akhirnya kuamini sendiri. Tokek di Tahura Pocut Meurah Intan ini menjadi bukti yang cukup kuat. Di sini mereka seolah-olah menjadi raja di dinding-dinding bangunan. Jika ada serangga yang tersesat di sekitar lampu, maka tokek rumah akan datang dari persembunyiannya dan menangkapnya dengan ganas.

sejauh ini di Sumatera Utara Gekko monarchus adalah jenis yang paling

1

2

(17)

K

egiatan ini berlangsung dari akhir bulan Mei hingga pertengahan bulan Juni 2015 di Kawasan Batang Toru Blok Timur. Kami dari Kota Medan melakukan perjalanan pertama ke Kota Sipirok dengan memakan waktu selama 10 jam. Di sini kami melakukan persiapan sementara. Sejuk dan dinginnya udara Tapanuli Selatan itu langsung menyambut kedatangan kami. Besok harinya setelah persiapan, kami langsung terjun ke lokasi. Ada dua lokasi survei herpetofauna yang kami eksplorasi. Lokasi pertama yaitu Camp Utara. Bukanlah hal yang mudah untuk menggapai lokasi tersebut. Kami harus menyeberangi sungai besar, mendaki perbukitan, dan melewati sungai-sungai kecil. Namun lama kelamaan, keletihan kami segera terbayar begitu tiba di lokasi tempat kami bekerja.

Seperti biasa yang dilakukan saat herping, kami melakukan survei baik siang maupun malam hari. Pengamatan pertama

Herpetofauna Batang

Toru Blok Timur

Pesona

Teks oleh Junaydy Michael Angelo Ginting, foto oleh Mistar Kamsi & Junaydy Michael Angelo Ginting Sungguh kesempatan yang jarang untuk ikut kegiatan

herping bersama ahli herpetofauna dari Sumatera,

Mistar Kamsi di Hutan Batang Toru Blok Timur. Dan ada hal yang lebih menggembirakan lagi, kegiatan ini juga dilakukan bersama salah satu penulis buku Burung-burung di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, yaitu Bas van Ballen, sang ahli suara burung. Berbeda dengan Pak Mistar, beliau akan mengamati jenis-jenis burung gunung di lokasi tersebut. Tapi di sini, kita hanya akan membahas tentang herpetofauna.

SURVEI

kami pilih lokasi di darat. Siang hari, kami belum menemukan apa-apa. Tidak menemukan seekorpun. Tapi hal itu tidak langsung membuat semangat kami berkurang sedikitpun. Kami yakin nanti malam akan mendapatkan spesies yang hebat.

Ternyata benar. Pada survei malam, kami menemukan spesies-spesies yang belum pernah aku temukan sebelumnya, seperti Pelophryne signata. Kodok ini memiliki ukuran kecil. Tekstur tubuh bagian dorsal berbintil-bintil kecil dan bagian ventralnya halus bercak-bercak putih. Spesies ini biasanya ditemui di hutan primer dataran rendah sampai perbukitan, pada vegetasi tingkat herba atau tumbuhan bagian bawah. Tak lama berselang, kami juga menemukan

Polypedates macrotis.

Bedanya dengan P.

leucomystax, yaitu karena

adanya garis berwarna cokelat gelap dari mata dan menutupi bagian timpanium dan menyempit pada bagian sisi perut. Spesies ini umumnya ditemukan di genangan air di sekitar jalan logging, tapi kami menemukannya menempel

di pohon. Kemudian, kami juga menemukan

Ingerophrynus divergens,

yang sebenarnya sudah sering ditemukan. Untuk reptil, kami menemukan banyak spesies cicak besar,

Cyrcodactylus marmoratus

dan C. consobrinus. Pada hari kedua, kami masih survei di bagian daratan. Di antara track sepanjang 300 meter, kami menemui ular Boiga

nigriceps. Ular ini memang

umum ditemukan di hutan primer. Selain itu, kami juga menemukan spesies

Polypedates colleti. Semua

benar-benar Anura yang belum pernah penulis temui sebelumnya. Ciri khas dari spesies ini yaitu memiliki corak jam pasir di punggungnya.

Nah, yang paling mencuri perhatian saat survei yaitu Rhacophorus

nigropalmatus, Wallace’s Flying Frog. Mistar Kamsi

mengatakan bahwa spesies ini adalah spesies

Polypedates colletti

Cyrtodactylus consobrinus

(18)

SURVEI

yang jarang ditemukan. Kaki depan maupun kaki belakang memiliki selaput yang sangar lebar seperti sayap dan digunakan sebagai pengendali saat meluncur dari satu pohon ke pohon lain.

Biasanya beliau menemukan spesies ini di Kawasan Leuser, dan ternyata terdapat juga di hutan Tapanuli. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa hutan Tapanuli masih benar-benar murni dan belum dieksplorasi lebih dalam. Spesies ini umumnya mendiami hutan primer dengan hutan yang memiliki kanopi yang tertutup rapat. Selain amfibi, ada pula reptil yang cukup menarik perhatian, yaitu

Trimeresurus sp. Ular ini

berwarna hijau dengan bagian ventral kepalanya berwarna putih. Ukurannya mencapai lebih dari satu meter. Ada yang unik dari spesies ular berbisa ini. Spesies ini akan menempati lokasi di mana dia istirahat sebelumnya alias menetap pada satu lokasi. Dia bukanlah spesies pengelana seperti ular pada umumnya.

Masih banyak lagi spesies yang belum pernah penulis temui sebelumnya tapi didapatkan di hutan Batang Toru, seperti

Draco melanopogon, Aphaniotis acutirostris, Eutrophis multifasciata,

dan Bronchocela critatella.

Di sungai-sungai, kami juga menemukan Hylarana

picturata, Limnonectes macrodon, Limnonectes cf sisikdagu dan Hylarana kampeni.

Semarak dan semangat yang membara herping

kali ini tidak akan terhenti pada satu lokasi saja. Kami berlanjut ke lokasi berikutnya, yaitu Dolok Saut. Dibandingkan yang pertama, lokasi kedua ini dipenuhi bukit-bukit yang tinggi menjulang. Jadi, memungkinkan untuk

menemukan spesies unik lainnya.

Pada hari pertama di Dolok Saut, kami langsung menemukan spesies

Leptophryne barbonica,

Kodok Jam Pasir. Kodok kecil tanpa parotoid yang jelas ini sangat mudah dikenali dengan adanya corak jam pasir di bagian dorsalnya. Selain itu, kami menemukan spesies yang cukup mudah ditemukan di berbagai lingkungan seperti

Hylarana chalchonota dan Phrynoidis juxtaspera.

Namun ada hal yang paling penulis dambakan selama ini di hutan ini. Penulis berharap menemukan katak bertanduk dari genus Megophrys. Penulis belum pernah menemukannya selama ini. Keinginan itu timbul begitu mendengar suara “prank-prank” yang berbunyi berirama di tengah hutan menjelang sore. Tapi sayang, sekalipun kami tidak menemukannya. Namun semangat belum pernah mereda sekalipun. Hal itu terbukti ketika kami menemukan spesies

Philautus aurifasciatus,

katak pohon emas. Selain itu, kami menemukan

kembali Hylarana kampeni. Kami juga menemukan anomali perkawinan, ampleksus interspesifik antara Hylarana kampeni dan Huia sumatrana. Anura lain ditemukan juga seperti katak purba bermata biru,

Leptobrachium sp. Untuk

reptil, kami menemukan ular Pareas malaccanus,

Pareas laevis dan

Trimeresurus cf popeorum.

Berbagai jenis cicak,

Hemiphyllodactylus sp. dan Cyrcodactylus sp.

Tidak terasa, akhirnya perjalananan herping berakhir dan membuat kami bersiap-siap untuk meninggalkan lokasi ini. Tapi, tiba-tiba Pak Bas datang tergopoh-gopoh membawa sesuatu di tangannya. Ternyata seekor

Megophrys! Keinginan

untuk menemukan dan melihat katak bertanduk akhirnya tercapai tanpa terduga-duga. Dan kabar baiknya lagi, kata Mistar Kamsi, spesies ini bukanlah spesies Megophrys nasuta yang umum dikenal, tapi

Megophrys parallela.

Dengan begitu sudah terbayar keinginan penulis untuk melihat katak bertanduk.

(1) Megophrys paralella, (2) Polypedates macrotis, (3) Pelophryne

siganata, (4) Rhacophorus nigropalmatus

1 2

4 3

(19)

Keanekaragaman jenis herpetofauna membuktikan bahwa hutan Tapanuli benar-benar terjaga kelestariannya. Semoga keberadaan satwa liar tetap menjadi bagian dari komponen hutan tersebut. Semoga kita tetap menjaga lingkungan hutan kita agar tetap terjaga sampai kapanpun. Marilah mewariskan hutan terbaik pada anak cucu kita yang niscaya akan menjadi jaminan kesejahteraan negara. Agar hutan tetap hidup, tetap indah, tetap berirama dengan kenangan indah yang abadi.

Kenangan yang bukan hanya sekedar bayangan semu tapi benar-benar konkrit di mana kita kini dan kelak.

SURVEI

(Atas) Bronchocela critatella, (tengah) Aphaniotis acutirostris, (bawah) Eutrophis multifasciata

(Kiri) Trimeresurus cf popeorum, (kanan atas) Pareas malaccanus, (kanan bawah) Boiga sp.

Selamat dan sukses kepada Ibu Mirza D. Kusrini

sebagai penerima penghargaan

“Marsh Award for Terrestrial Conservation

Leadership 2015”

atas kontribusi beliau terhadap konservasi

amfibi di Indonesia yang diberikan oleh Marsh

Christian Trust dan FFI.

dari

Marsh Award for

Terrestrial Conservation

Leadership 2015

Mirza D. Kusrini

(20)

P E N G A M ATA N

Kesimpulan dari

Misteri Kodok

Si Penggendong Telur?

Di satu kesempatan ketika membantu penelitian salah satu mahasiswa biologi FMIPA USU di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, kami yang bergiat di komunitas Herpetologer Mania diajak untuk ikut serta dengan maksud memudahkan penelitiannya. Penelitian ini dilakukan seperti biasanya dengan metode yang umum dan efektif, yakni visual encounter survey - night stream (VES NS).

(21)

PENGAMATAN

S

ebenarnya bagi Komunitas Herpetologer Mania, sudah bisa sedikit menebak hasil temuan penelitian berdasarkan ciri-ciri habitat yang ada seperti ketinggian, bukaan hutan dan iklim mikro yang tampak sekilas. Terlebih-lebih penelitian ini dilakukan dengan metode yang sudah sering diaplikasikan sehingga hasilnya ditaksir tidak jauh berbeda dengan observasi yang sudah dilakukan dengan habitat yang tidak

jauh berbeda. Meskipun demikian, pada herping pertama Herpetologer Mania sudah mencatat satu jenis tambahan ke daftar amfibi temuan Herpetologer Mania, yakni jenis Hylarana

nigrovittata. Waktu itu, jenis

ini cukup umum didapatkan di satu aliran sungai yang sedikit kecil dan tenang. Sedangkan di aliran sungai yang besar sekitar 100 meter di bawahnya, jenis ini tidak ditemukan sama sekali.

Di luar jenis Hylarana

nigrovittata tadi, kontan tak

ada yang menarik untuk dibicarakan. Hanya saja, sehari sebelum berbenah pulang ke Kota Medan, tepatnya pagi hari, saya bersama Sidahin Bangun ingin mendokumentasikan kembali katak yang mungkin tidak kami temukan, tapi didapatkan tim yang lain. Ketika membuka satu plastik spesimen, kelihatan ada kejadian yang unik, yakni sejenis kodok (Bufo sp) menggendong telur. Peristiwa ini kemudian saya unggah ke salah satu grup fesbuk pemerhati amfibi dan reptil yang sudah beranggotakan lebih dari seribu orang untuk didiskusikan. Kejadian unik ini sempat memancing komentar-komentar pemerhati herpetofauna dengan hadirnya aneka pendapat yang berbeda. Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa kodok yang belum teridentifikasi tersebut dikutip di salah satu jalur penelitian sungai kecil berarus lambat. Ketika itu, kodok tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik bersama

dengan jenis-jenis yang lain yang dianggap perlu untuk diidentifikasi dan diukur morfologinya. Jenis yang bersama kodok itu antara lain adalah Hylarana

nigrovittata, Limnonectes blithii dan Lephtophryne borbonica.

Kodok (Bufo spp)

penggendong telur adalah sesuatu yang hampir mustahil, karena belum ada catatan ini sebelumnya. Khususnya di Pulau Sumatera sendiri, kejadian menggendong telur belum pernah tercatat. Peristiwa amfibi yang menjaga telur dan merawat berudunya lebih dikenal di Indonesia Bagian Timur.

Meskipun catatan sudah kuat di atas kertas dan temuan ini bisa dianggap sebagai sebuah error penelitian – namanya juga alam Sumatera yang masih menyimpan berjuta pertanyaan – banyak juga pihak yang tertarik untuk memastikan fenomena ini, apakah sebuah perilaku baru yang belum tercatat dari suku Bufonidae. Sampai-sampai peneliti dari Universitas Arlington, Amerika Serikat juga minta dikirimi foto dan keterangan

seperlunya.

Karena ketidaktersediaan sampel spesimen, mahasiswi yang penelitian beserta anggota

Herpetologer Mania dan dengan peneliti lokal di Kota Medan memberi kesimpulan bahwa kodok puru tadi tidaklah sedang menggendong telurnya. Tapi tidak sengaja tiga telur tersebut lengket ke bagian tubuhnya. Telur tersebut juga dipastikan bukanlah parasit tapi telur yang berasal dari individu lain di kantong plastik yang sama. Kemungkinan terbesarnya adalah telur Limnonectes

blythii yang pada saat

pengambilan sampel sedang mempersiapkan lubang meletakkan telur. Dan ketika terbungkus semalaman di dalam kantong, beberapa telurnya keluar dan lengket ke kulit kodok yang lebih kesat. Nah, meskipun banyak kejadian yang sebenarnya sudah mengikuti teori ilmu yang sudah disusun, di Sumatera masih potensial untuk mendapatkan temuan-temuan baru sebagaimana temuan jenis-jenis baru oleh LIPI akhir-akhir ini. Jika ada yang unik, mari berdiskusi.

Dok Junaedi Siregar

Dok Sidahin Bangun

Lephtophryne borbonica (kiri) dan Bufo sp (kanan).

(22)

Amir Hamidy & Hellen Kurniati

Redaksi Herpetologer Mania mengucapkan

Selamat & Sukses kepada:

Atas publikasi temuan jenis baru katak pohon

Rhacophorus indonesiensis.

Keterangan foto:

A. Bintik hitam pada

tangan

B. Bintik hitam pada

selaput kaki

(Copyrigth Hamidy &

Kurniati. 2015)

Temuan Rhacophorus indonesiensis sebagai jenis baru

telah dipublikasi di jurnal Zootaxa pada petengahan

April 2015 yang lalu oleh Amir Hamidy dan Hellen

Kurniati dari LIPI. Jenis baru ini melengkapi catatan

jumlah spesies dari marga Rhacophorus menjadi

15 spesies untuk Pulau Sumatera dan jumlah

ini merupakan yang terbanyak untuk Kawasan

Sundaland.

Spesies ini ditemukan di tiga wilayah di

Sumatera, yaitu di Teluk Nauli (Sumatera

Utara), Sungai Durian (Kerinci Seblat

National Park) dan Merangin (Jambi, 50 km

dari Sungai Durian). Karakter morfologi

pembeda yang mencolok pada spesies

ini adalah adanya bintik hitam di

permukaan ventral jari tangan dan

selaput jari kakinya.

Referensi:

Amir Hamidy & Hellen

Kurniati. 2015. A New

Species of Tree Frog

Genus Rhacophorus

from Sumatra,

Indonesia

(Amphibia, Anura).

Zootaxa 3947

(1): 049–066.

(23)

IMAGE

Wajah Amfibi & Reptil dari

Kalimatan Timur

(24)

Gambar

Tabel perbedaan antara Popeia popeiorum, P. sabahi dan P. toba

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok ini mencakup usaha perkebunan mulai dari kegiatan pengolahan lahan, penyemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman rumput-rumputan semusim lainnya

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: menganalisis bagaimana

Pelaksanaan sistem penjajaran SNF sebagaimana dikemukakan dalam penelitian Asmayanti (2011) tentang Tinjauan Tata Kelola Sistem Filing Rekam Medis Rawat Jalan Di RSUD

4 Sebagai pengembangan dari hasil tersebut, maka dalam penelitian ini akan dibuktikan bahwa syarat perlu dan syarat cukup keterbatasan dari perumaman operator integral

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Hasil penelitian bahwa sebagian karakter kualitatif seperti warna lidah daun, warna leher daun, warna helai daun, warna batang dan ruas batang tidak terdapat

Alasan mengenai pemilihan pabrik Tempe Tahu untuk Analisis Pengendalian Proses Produksi ini karena Tahu Tempe merupakan produk yang berbahan baku hasil pertanian