BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Studi ini membahas tentang jaminan sosial di bidang kesehatan khususnya tentang implementasi kebijakan transisi dari jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kabupaten Tuban. Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) merupakan kebijakan jaminan kesehatan yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Tuban. Program ini dimulai sejak 2008 yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah bagi masyarakat miskin yang belum terlindungi oleh Jamkesmas selama tiga tahun berjalannya program tersebut. Sedangkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan sebuah program baru yang serentak mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014. Program ini bergerak di bidang pemberian jaminan kesehatan kepada masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan.
Kesehatan merupakan satu diantara tiga kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Karena itulah kesehatan merupakan hak individu tanpa membeda-bedakan yang kaya maupun yang miskin. Sebagai sebuah kebutuhan dasar, kesehatan semakin sulit didapat oleh sebagian warga, khususnya masyarakat miskin. Kesehatan merupakan hal mahal bagi masyarakat miskin, dimana kemiskinan dan penyakit merupakan dua hal yang saling berhubungan dan tidak akan putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau pada kedua sisi, yakni pada sisi kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit. Adanya keterbatasan dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin memberi dampak bagi mereka yang rentan terhadap berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena pada umumnya masyarakat miskin memiliki gizi buruk, pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan kurang, lingkungan pemukiman buruk, biaya kesehatan tidak tersedia, serta kurang mendapat akses tentang informasi kesehatan.
Begitu pula sebaliknya kesehatan juga mempengaruhi kemiskinan. Masyarakat yang sehat mampu menekan kemiskinan karena orang sehat berada dalam kondisi produktivitas kerja tinggi, pengeluaran untuk berobat rendah, investasi dan tabungan memadai, tingkat pendidikan maju, tingkat fertilitas dan kematian rendah, serta stabilitas ekonomi mantap.1
Sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi.2 Negaralah yang bertugas menyediakan segala fasilitas yang diperlukan agar rakyatnya sehat. Kesehatan sendiri merupakan sebuah investasi, karena dengan rakyat yang sehat pembangunan di segala bidang dapat dilaksanakan secara optimal.
Kesehatan dan kesejahteraan diri maupun keluarga merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 25 Ayat (1). Deklarasi tersebut menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak atas pangan,
1Santoso, Djoko, 2010, Orang Miskin Boleh Sehat, Potret Layanan Kesehatan, Surabaya : PT. Jaring Pena, Hal. 12
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.3 Karena itulah harus diupayakan oleh Pemerintah dengan berbagai cara. Salah satunya dengan program asuransi sosial.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan serta Konstitusi Organisasi Keaehatan Dunia (WHO tahun 1948), menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap penduduk. Karena itu setiap individu, keluarga, masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya dan Negara bertanggung jawab mengatur agat terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya, termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 102 Tahun 1952 juga menganjurkan semua Negara untuk memberikan perlindungan minmum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan hal tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Ketetapan MPR Nomor X tahun 2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Tujuan nasional bangsa Indonesia seperti termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
3Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dan SJSN, KemKes RI, hal. 8
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut diselenggarakan program pembangunan nasional secara menyeluruh dan berkesinambungan. Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembagunan nasional tersebut, yang tujuannya adalah agar setiap orang dalam wilayah Negara Republik Indonesia dapat memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya serta mampu berperilaku sehat, sehingga setiap orang dapat melaksanakan fungsi, tugas dan kewajibannya sebagai warga Negara secara optimal.
Kenyataan yang terjadi, derajat kesehatan masyarakat khususnya masyarakat miskin yang ada di wilayah pesisir pantai utara masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari indikator Angka Kematian Bayi (AKB) di Kecamatan Bancar dan Palang yang masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tuban, terdapat kenaikan angka kematian bayi pada tahun 2013 di Kecamatan Bancar dari 20 bayi pada tahun 2012 menjadi 21 bayi di tahun 2013. Hal yang sama juga yang terjadi di di Kecamatan Palang. Di tahun 2012, Angka Kematian Bayi (AKB) berjumlah 9 orang dan di tahun 2013 meningkat menjadi 15 orang bayi.
Berbagai studi telah banyak membuktikan bahwa kehidupan masyarakat pesisir, khususnya keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.4 Dibandingkan dengan kelompok masyarakat miskin lain di desa pertanian atau perkampungan-perkampungan kumuh (slum) di daerah perkotaan, tekanan yang dialami keluarga nelayan miskin, buruh nelayan, nelayan kecil, atau nelayan tradisional relatif lebih mendalam.
4
Andriati, R (2008) Relasi kekuasaan suami dan isteri pada masyarakat nelayan. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik 21(1): 50-58.
Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan atau ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pakaian, makanan, tempat berlindung dan air minum. Kemiskinan juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi kemiskinan itu sendiri. Berdasarkan kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) kemiskinan merupakan hal utama yang harus diperhatikan dan diberantas setiap negara.
Dampak kemiskinan dapat dikaitkan dengan bermacam-macam hal, salah satunya adalah kesehatan. Kesehatan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kemiskinan, karena orang miskin rentan terhadap berbagai macam penyakit disebabkan mereka mengalami gangguan seperti menderita gizi buruk, pengetahuan kesehatan berkurang, perilaku kesehatan kurang, lingkungan pemukiman yang buruk, dan biaya kesehatan tidak tersedia.
Peristiwa mortalitas (kematian) pada dasarnya merupakan kejadian akhir dari peristiwa morbiditas (kesakitan). Bayi dan Balita merupakan golongan masyarakat yang dianggap paling rawan dari aspek kesehatan. Indikator yang berkaitan dengan kesakitan dan kematian bayi dan balita merupakan indikator penting untuk mengukur kondisi sosial dan kesehatan masyarakat. Karena indikator ini terkait dengan kondisi lingkungan yang buruk, kemiskinan dan buta huruf yang selanjutnya digunakan sebagai tolok ukur hasil pembangunan sosial ekonomi suatu negara. Oleh karenanya ada yang berpendapat bahwa taraf hidup kesehatan bayi dan balita adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembangunan suatu negara. Hal ini dimungkinkan karena bagaimana pun juga
anak-anak adalah generasi penerus sehingga merupakan sumber daya manusia guna menunjang pembangunan di masa mendatang.
Sesuai dengan komitmen MDG’s, pada tahun 2015 seluruh negara harus
mampu menekan Angka Kematian Bayi hingga 20 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan MDGs yang dimaksud yaitu untuk menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Diikuti angka AKB 23 kematian per 1000 kelahiran hidup di tahun 2015. Adanya target penurunan Angka Kematian Bayi yang dicantumkan dalam MDG’s ini menunjukkan betapa penting untuk menjadi perhatian kalangan pemerintah terhadap upaya-upaya penurunan AKB. Dengan demikian upaya pencegahan (preventif) terhadap morbiditas jauh lebih efektif daripada upaya pengobatan (kuratif) dalam menurunkan kejadian mortalitas. Morbiditas dan mortalitas penduduk adalah kejadian yang selalu berubah-ubah, karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik medis maupun non-medis.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke pelayanan kesehatan.
Masalah pembiayaan kesehatan tidak saja menjadi masalah sosial, tetapi juga dapat menjadi masalah ekonomi dan bahkan politik sekaligus. Bank Dunia pernah mencatat bahwa dunia telah membelanjakan 2.330 miliar dollar AS di tahun 1994, atau 9 persen dari total pendapatan dunia untuk pemeliharaan
kesehatan. Bill Clinton dalam kampanye calon Presiden tahun 1992 pun mengangkat isu biaya kesehatan sebagai tema kampanye.5
Pada hakekatnya, pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pmemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota berkewajiban memberi kontribusi bagi keberhasilan pelayanan yang optimal. Berdasarkan pengalaman-pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu dan dalam upaya untuk mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien dengan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi sosial pada 2004 dikeluarkan Undang-Undang No. 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang ini menerangkan tentang jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pembentukkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) direalisasikan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) merupakan perubahan yang mendasar bagi perasuransian di Indonesia khususnya asuransi sosial yang mempunyai program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, hari tua, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Selain itu, dikeluarkan pula Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang penetapan Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan
5Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan. Cetakan Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 57-58
yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Jaminan sosial merupakan upaya Pemerintah dalam menangani krisis moneter sejak tahun 2007 yang kemudian terjadi program pengalihan bantuan subsidi bagi masyarakat miskin berupa subsidi bahan bakar minyak untuk sektor kesehatan bagi masyarakat miskin menjadi program Jaring Pengaman Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM).
Program seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Mulai Program Jaring Pengaman Sosial (JPSBK) tahun 1998–2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001, Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKBSBBM) tahun 2002–2004.6
Penyelenggaraan Jaminan kesehatan semesta dicanangkan pertama kali oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2004 sebagai bagian dari kewajiban pemerintah yang diamanatkan oleh konstitusi untuk memberi perlindungan kepada seluruh warga negara dari berbagai permasalahan kesehatan.
Undang-6
http://www.ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/download/.../3301…diakses hari
undang No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional membuka jalan bagi upaya reformasi, khususnya yang berkaitan dengan sistem kesehatan.
Pada tahun 2007 dimulai program Askeskin. Jaminan kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) yang dikelola oleh BUMN, yaitu PT. Askes. Selama tiga tahun berturut-turut, sejak 1 januari 2005, Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan PT. Askes (Persero) untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dengan nama Askeskin. Dalam perkembangannya, pada tahun 2008 Kementrian Kesehatan menghentikan kerjasama dengan PT. Askes (Persero) dan mengelola sendiri program jaminan kesehatan. Sejak itu program ini berubah nama menjadi program jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas, dengan menargetkan masyarakat miskin dan hampir miskin sebagai penerima manfaat program. Tahun 2010 Kementrian Kesehatan mngelola program Jamkesmas untuk 76,4 juta jiwa masyarakat miskin se-Indonesia. Dengan kata lain, sekitar 32,39% dari seluruh populasi telah terlindungi melalui Jamkesmas, sedangkan peserta Jamkesda 11,50% dan yang belum terlindungi oleh program jaminan kesehatan sebanyak 38,83%.7
Berdasarkan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi Manusia Pasal 25 Ayat (1), pasca Perang Dunia II beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke-58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (WHA) menggaris bawahi perlunya
7
Mukti AG. 2012. Arah dan Kebijakan BPJS Kesehatan dalam Mewujudkan Universal Coverage Sesuai UU No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24/2011 tentang BPJS. Yogyakarta : Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan. Fakultas Kedokteran UGM, hal. 5
pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke-58 mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan melalui Universal Health
Coverage diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. WHA
juga menyarankan kepada WHO agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage.8
Terdapat banyak cara atau pendekatan yang biasa digunakan oleh suatu negara dalam memberikan perlindungan jaminan sosial bagi warga negaranya yaitu ; (1) pendekatan asuransi sosial (compulsory social insurance) yang pembiayaan nya diambil dari premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja yang besaranya selalu dikaitkan dengan besarnya upah atau penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja ; (2) pendekatan bantuan sosial (
social assistance ) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun
pelayanan dengan sumber pembiayaan dari negara dan bantuan sosial masyarakat lainnya.9
Produk asuransi kesehatan sendiri di Indonesia merupakan hal yang relatif baru bagi kebanyakan penduduk Indonesia karena istilah asuransi kesehatan belum menjadi perbendaharaan kata umum. Pemahaman tentang asuransi kesehatan masih sangat beragam. Hal ini terkait dengan jauh 8Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dan SJSN, KemKes RI, hal. 8-9
9
Mukti, Ali Ghufron. 2007. Reformasi Sistem Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dan Prospek ke Depan. Yogyakarta : Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan. Fakultas Kedokteran UGM, hal. 5
terbelakangnya Indonesia dalam cakupan penduduk yang terjamin dan dalam pendanaan kesehatan. Jika dibandingkan dengan rata-rata saja, negara-negara maju rata-rata menghabiskan 7,7 PDB untuk belanja kesehatan, Indonesia jauh terbelakang. Negara menengah (middle-income countries) seperti Indonesia 5,8% PDB, tetapi Indonesia hanya mengeluarkan 2,5% PDB, jauh lebih rendah dari rata-rata belanja kesehatan negara miskin yang menghabiskan 4,7 PDB. Belanja publik untuk kesehatan di negara maju mencapai rata-rata 70,1 dari total belanja kesehatan. Artinya, pendanaan kesehatan lebih banyak ditanggung sektor publik, bukan tanggung-jawab masing-masing orang seperti di Indonesia. Di negara menengah belanja kesehatan publik mencapai rata-rata 61,7 dan di negara miskinpun rata-rata masih 51,7 (World Bank, 2006).10 Sementara belanja kesehatan publik Indonesia (dari APBN dan asuransi sosial seperti Askes dan Jamsostek) tidak hanya sekitar sepertiga. Padahal, di seluruh dunia, belanja kesehatan publik melebihi belanja kesehatan privat. Data WHO (2006)11 menunjukan bahwa rata-rata di seluruh dunia belanja kesehatan bersumber dana Pemerintah tahun 2006 mencapai 33%, disusul sumber asuransi sosial (juga termasuk belanja publik) 25%, asuransi privat China hanya 20%, dari kantong sendiri (out of pocket) 18% (bandingkan dengan di Indonesia yang mencapai 60% lebih.12
Ketertinggalan Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Akan tetapi karena kekeliruan faham banyak pejabat dan ahli Indonesia yang memahami bahwa jaminan sosial adalah program membantu 10
WB. Desease Control Priorities in Dev Countries. Check di DCP2 atau ILO 2007 Univ coverage
11
WHO, World Health Report, 2007. Attachements. WHO, Geneva, 2007
12
rakyat miskin, meberikan sedekah/karitas, atau membantu kaum duafa yang sifatnya temporer, maka upaya sistematik untuk seluruh penduduk (cakupan universal) tidak berkembang. Program-program bagi duafa atau orang miskin bukanlah program universal. Yang dimaksud program universal adalah program jaminan sosial yang berlaku untuk semua orang, begitu kata Ekonom terkemuka Stiglizt.13
Sesungguhnya UUD 1945 pasal 34 sudah jelas menugaskan agar negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat, sejalan dengan pandangan Stiglizt. Padahal Foucault menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu menunda lagi untuk mengatur kehidupan manusia yang melorot kesehatannya. Penguasa dapat mengatur atau mendisiplinkan tubuh warga negaranya dengan cara membuat berbagai macam kebijakan yang mengikat agar tubuh menjadi sehat.14 Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.
Masalah jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional di Indonesia sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dan bagaimana praktiknya dimasa sekarang dan mendatang serta faktor apa saja yang mempengaruhinya. Tulisan ini mencoba menjelaskan masalah tersebut mengingat ke depan masalah kesehatan cenderung akan menjadi prioritas dimasa yang akan datang. Setidaknya ada beberapa alasan terkait dengan pentingnya masalah jaminan kesehatan : (1) sektor kesehatan merupakan salah satu indikator penilaian Indeks Pembangunan
13
Stiglizt, J. The Roaring Nineties. 1999
14
Foucault, Michel, 1990. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage. Hal. 251-252
Manusia atau HDI ( Human Development Indeks ) ; (2) semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang ikut berkontribusi pada semakin meningkatnya dana yang diperlukan dalam pembiayaan sektor kesehatan dalam pembangunan ; (3) adanya tuntutan demokratisasi dan bertambahnya jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu mengharuskan negara membuat kebijakan pembiayaan kesehatan melalui jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional yang bisa dinikmati oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali ; (4) kesehatan adalah salah satu unsur utama dalam setiap kehidupan seseorang karena sangat menunjang dalam aktivitas setiap manusia.
Selama ini kajian-kajian tentang program jaminan kesehatan lebih banyak ditinjau dari teori kebijakan. Untuk mengisi kekosongan kajian tentang program jaminan kesehatan, peneliti tertarik mengungkap tentang transisi program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) ke program jaminan kesehatan nasional (JKN) di Kabupaten Tuban dalam perspektif bio-politik.
1.2. Masalah Penelitian
Bertitik tolak dari pemaparan dan kenyataan di atas, maka permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa Negara membuat kebijakan asuransi kesehatan ?
2. Dari perspektif bio-politik, kepentingan-kepentingan apa yang ingin dicapai oleh Negara ?
3. Apa implikasi politik dari kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap kesehatan warga negara ?
1.3. Tujuan
1. Mengidentifikasi faktor-faktor sosial politik yang menyebabkan diambilnya kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ?
2. Menjelaskan adanya kepentingan dari Negara untuk menyehatkan warga negaranya
3. Menjelaskan adanya implikasi politik dari kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terhadap kesehatan warga negara
1.4. Manfaat
1. Secara Teoritik
Menghasilkan analisis akademis dan tersedianya data serta informasi bagi peneliti dan akademisi dalam ilmu pengetahuan dan pengembangan konsep tentang implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2. Secara Praktis
Menghasilkan bahan kajian yang dapat diimplementasikan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah, baik Pemerintah Pusat (secara nasional) dan Pemerintah Kabupaten Tuban serta para stakeholder asuransi kesehatan yang ada, untuk terus meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan asuransi kesehatan terhadap seluruh masyarakat tanpa ada diskriminasi demi mewujudkan masyarakat yang sehat dan berkualitas serta menunjang pelaksanaan kebijakan program Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Juga hasil penelitian ini menjadi rekomendasi kebijakan agar program-program pembangunan masyarakat dapat disusun, secara lebih tepat sasaran, tepat metode dan sesuai dengan tujuannya. Sehingga pembangunan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera bukan lagi sekedar wacana, namun sudah menjadi komitmen bersama khususnya pengambil dan pelaksana kebijakan publik.