• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Komitmen

Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah organisasi, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen. Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung makna yang confuse. Loyalitas disini secara sempit diartikan sebagai seberapa lama seorang karyawan bekerja dalam suatu organisasi atau sejauh mana mereka tunduk pada perintah atasan tanpa melihat kualitas kontribusi terhadap organisasi. Muncul suatu fenomena di Indonesia bahwa seorang karyawan akan dinilai loyal, bilamana tunduk pada atasan walaupun bukan dalam konteks hubungan kerja.

Menurut Alwi (2001) komitmen organisasi adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkret yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian, gagasan, dan tanggung jawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Sedangkan Robbins (1998) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu

(2)

12

dan tujuan-tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Komitmen organisasi yang tinggi berarti terdapat kepemihakan kepada organisasi yang tinggi pula. Komitmen sebagai prediktor kinerja seseorang merupakan prediktor yang lebih baik dan bersifat global, dan bertahan dalam organisasi sebagai suatu keseluruhan daripada kepuasan kerja semata. Seseorang dapat tidak puas dengan pekerjaan tertentu dan menganggapnya sebagai kondisi sementara, tapi tidak puas terhadap organisasi adalah sebagai suatu keseluruhan, dan ketidakpuasan tersebut bila menjalar ke organisasi, dapat mendorong seseorang untuk mempertimbangkan diri minta berhenti.

Menurut Dessler (2000) dalam Djati dan Khusaini (2003;32) komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai kekuatan relatif identifikasi individu terhadap organisasinya, yang dapat dilihat paling tidak dengan 3 faktor, yaitu.

1) Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi.

2) Kemauan untuk mengusahakan kepentingan organisasi.

3) Keinginan yang kuat untuk mempertahankan jadi anggota organisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas nampak bahwa komitmen organisasi bukan hanya kesetiaan pada organisasi, tetapi suatu proses yang berjalan dimana karyawan mengekspresikan kepedulian mereka terhadap organisasi dan prestasi kerja yang tinggi. Komitmen organisasi sebagai suatu sikap karyawan, bagaimanapun juga akan menentukan perilakunya sebagai perwujudan dari sikap (http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/)

(3)

13

Begley dan Czajka (1993) mengemukakan bahwa komitmen organisasi yaitu sebagai suatu keyakinan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keamanan menggunakan segala upaya untuk mewujudkan kepercayaan pada organisasi, serta sebuah keyakinan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sedangkan Gibson (1995) menyebutkan bahwa komitmen organisasi melibatkan 3 sikap yaitu.

1) Identifikasi dengan tujuan organisasi

2) Perasaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi 3) Perasaan loyalitas terhadap organisasi.

Hasil risetnya menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen bisa berakibat menurunnya efektivitas organisasi. Muchinsky (2001) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah derajat tingkat dimana seorang karyawan merasakan suatu perasaan, pengertian, serta kesetiaan kepada organisasi. Sejalan dengan hal tersebut Allen dan Meyer (1990) menguraikan 3 (tiga) komponen, yaitu : (1) komponen afektif, yang mengacu kepada kecenderungan emosional karyawan, sebagaimana diidentifikasikan oleh organisasi; (2) komponen berkelanjutan, yang mengacu kepada biaya-biaya yang diperoleh selama hidup dalam organisasi (3) komponen normatif, yang mengacu kepada kewajiban-kewajiban karyawan terhadap organisasi.

Meyer (1997) menyatakan bahwa di dalam komitmen organisasi secara umum mencerminkan hubungan antara karyawan dengan organisasi, dan hal itu mempunyai implikasi bagi karyawan untuk memutuskan tetap berkeinginan

(4)

14

menjadi anggota organisasi tersebut, dan ini memungkinkan bagi karyawan untuk tetap tinggal bersama-sama dalam organisasi tersebut. Morrow (1993) berpendapat bahwa seseorang dapat merasa terikat dan komitmen dengan lingkup organisasi dikarenakan faktor pekerjaan, jabatan, dan keberadaannya. Terkait dengan hal tersebut Brown, (1996) atas dasar pengetahuan meta-analisa mengemukakan bahwa terdapat hubungan korelasi antara komitmen organisasi dan pekerjaan lain yang terkait. Korelasi tersebut digambarkan terkait dengan keseluruhan kepuasan kerja, kinerja, berhenti dalam bekerja, dengan kepribadian seorang karyawan. Maier & Brunstein (2001) berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi dalam mencapai tujuan. Meyer dan Allen membagi komitmen organisasi menjadi 3 macam atas dasar sumbernya.

1) Komitmen Afektif, Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.

2) Komitmen Berkelanjutan, Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.

(5)

15

3) Komitmen Normatif, Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Komitmen

Komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Angle dan Perry (Temaluru, 2001 dalam Wisatya) menunjukkan bahwa salah satu prediktor terhadap komitmen adalah masa kerja seseorang pada organisasi tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Makin lama seorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi yang lebih tinggi.

2) Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi tersebut.

(6)

16

3) Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan organisasi dan individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna, sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi.

4) Akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang. Beberapa karakteristik pribadi juga dianggap memiliki hubungan dengan komitmen adalah: (1) usia dan masa kerja, (2) tingkat pendidikan, (3) jenis kelamin, (4) peran individu di dalam organisasi, (5) faktor lingkungan pekerjaan.

Menurut Martin dan Nichols (Amstrong,1999 dalam Wisatya) ada tiga pilar besar dalam komitmen. Ketiga pilar itu adalah.

1) Adanya perasaan menjadi bagian dari organisasi (a sense of belonging to the organization).

2) Adanya ketertarikan atau kegairahan terhadap pekerjaan (a sense of excitement in the job).

3) Adanya keyakinan terhadap manajemen (a sense of believing to management).

Kriteria untuk mengukur ada atau tidak adanya derajat komitmen ( Marcia, 1993:208-210) sebagai berikut.

(1) Knowledgeability, yaitu kemampuan mengetahui berbagai jenis pekerjaan yang telah ia pilih sesuai keputusan awal dirinya. Secara sederhana, dosen yang komit dapat diketahui dari apa yang ia dapatkan. Jika seorang dosen telah komit terhadap sesuatu, maka perilakunya akan konsisten

(7)

17

berhubungan dengan komitmennya. Misalnya seorang dosen tidak begitu saja dipercaya bahwa ia komit terhadap mengajar, jika pengetahuannya tentang pelajaran yang ia mampu sangat minim dan ia tidak berusaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya.

(2) Activity directed toward implementing the chosen identity elements, yaitu kegiatan terarah mengimplementasikan keputusan awal tentang pekerjaan yang telah dipilih. Untuk mendapatkan sesuatu, dosen tidak cukup hanya memikirkannya, tetapi ia harus mencari pengalaman-pengalaman yang relevan. Komitmen menghendaki keterlibatan perilaku dalam, hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ia janjikan.

(3) Emotional tone, yaitu keterlibatan emosional berkaitan dengan komitmennya. Secara esensial emosi atau afeksi bagi status-status identitas adalah sebagai berikut: Status Achievement cenderung memiliki keyakinan diri yang solid, puas dengan dirinya sendiri. Status Foreclosure cenderung memiliki kebenaran diri (self-righteousness) yang tidak fieksibel. Status Moratorium memiliki semangat juang, intensitas, kadang-kadang cemas dan tidak realistis dalam bertindak. Status Diffusion memiliki emosi sedih, bermuram durja atau terisolasi atau sebaliknya memiliki kegembiraan yang berpindah-pindah. Secara umum komitmen ditandai dengan kepercayaan diri dan hampir tidak ada keragu-raguan diri, suka berbicara (bukan sebaliknya pendiam) pada bidang yang sudah diyakini.

(4) Identiffication with significant others, yaitu usaha-usaha mengidentifikasikan dirinya terhadap orang-orang yang telah bekerja di

(8)

18

bidang, pekerjaan yang dipilih atas dasar minat dirinya, misalnya berkenalan, berbicaradan berdiskusi dengan dosen jika pilihannya adalah dosen. Bagi dosen yang penting adalah figur yang langsung dan realistik seperti guru besar (profesor), rektor dan contoh-contoh yang mempunyai konsekuensi langsung bagi pengambilan keputusan vokasional. Dosen yang punya identitas lebih mampu membedakan aspek-aspek yang positif dan negatif (yang ia tolak) pada figur significant others, bukan sekedar meniru model yang dilihat. Dosen yang kurang beridentitas lebih meniru model yang dikagumi secara persis atau berharap dapat hidup dengan standar-standar yang dimiliki model tersebut.

(5) Projecting one’s personal future, yaitu dosen telah mempunyai arah yang semakin jelas tentang masa depannya berkaitan dengan pekerjaan yang telah dipilih. Pada dosen, komitmen akan berupa perencanaart 5 tahunan yang rasional dan realistis. Komitmen pada suatu bidang tertentu akan men-basilkan perilaku yang konsisten dengan bidang itu, dan akumulasi perilaku tersebut akan menghasilkan ide-ide yang jelas tentang masa depannya. Dosen yang tidak punya komitmen akan cenderung memiliki pengalaman yang terpotong-potong dan tersebar tanpa arak yang jelas. (6) Resistance to being swayed, yaitu mencoba bertahan pada pekerjaan yang

telah dipilih, tidah mudah goyah dan ganti pilihan walaupun ada informasi-informasi negatif tentang pekerjaan yang dipilih atau di bidang lain yang lebih menarik, misalnya seseorang tetap memilih guru walaupun ada informasi bahwa lulusan ilmu pendidikan juga banyak yang

(9)

19

menganggur atau, walaupun ada yang mengajak untuk menjadi seorang aktor. Respon terhadap godaan dari identitas yang lebih tinggi ditandai oleh tiga aspek yaitu (a) pengakuan akan adanya kemungkinan berubah, (b) dapat menghubungkan antara kemungkinan berubah dengan kemampuan dirinya dan kesempatan yang ada dimasyarakat, (c) keraguan untuk terlalu mudah berubah kecuali dalam tekanan lingkungan yang jelas.

Aktivitas memperoleh informasi tentang berbagai jenis pekerjaan secara mendalam dan atas inisiatif sendiri, alternatif pilihan jenis pekerjaan (biasa beberapa pekerjaan) yang sesuai dengan dirinya, dan keputusan awal tentang pekerjaan tertentu yang akan ia tekuni di masa datang.

2.1.3 Pengertian Komitmen Afektif

Menurut pendapat Meyer dan Allen (1991) komitmen afektif Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.

Menurut situs http://rumahbelajarpsikologi.com Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.

(10)

20

Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).

Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.

Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal

(11)

21

demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).

Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

2.1.4 Pengertian Komitmen Berkelanjutan

Menurut pendapat Meyer dan Allen (1991) komitmen berkelanjutan didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.

Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu

(12)

22

tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan.

Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.

Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam organizational citizenship ataupun extra-role.

Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak berhubungan dengan

(13)

23

kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik (http://rumahbelajarpsikologi.com).

E.1.5 Pengertian Komitmen Normatif

Menurut pendapat Meyer dan Allen (1991) komitmen normatif, Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.

Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).

Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa

(14)

24

tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997).

Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative commitment dan role-job performance. Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997).

Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan affective commitment.

Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment, normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar

(15)

25

organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja ( http://rumahbelajarpsikologi.com)

2.1.6 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, dimana ada perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2001). Blum (As’ad, 2001) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu di luar kerja. Sementara Luthans (1998) menyatakan bahwa ada tiga dimensi penting dalam kepuasan kerja, yang meliputi.

1) Kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap suatu situasi kerja, 2) Kepuasan kerja sering ditentukan oleh seberapa bagus hasil kerja

memenuhi atau mungkin melebihi harapan,

3) Kepuasan kerja menggambarkan beberapa sikap terkait.

Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap terhadap pekerjaan dan kondisi-kondisi yang terkait seperti kondisi kerja dengan atasan dan rekan kerja dan harapan-harapan pekerjaan terhadap pekerjaannya saat ini dan di masa yang akan datang.

Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sebaliknya orang yang tidak puas dengan pekerjaannya

(16)

26

menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya. Masalah kepuasan kerja sebaiknya diperhatikan dengan baik oleh pihak manajemen karena besar pengaruhnya terhadap tingkat absensi, turnover, semangat kerja, dan permasalahan lainnya. Hasil studi Kinicki, McKee-Ryan, Schriesheim, & Carson (Mueller, 2003 dalam Wisatya) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (pre-withdrawl cognition), intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover.

2.1.7 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Luthan (1998) faktor – faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah sebagai berikut.

1) Pekerjaan itu sendiri adalah pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang menarik dan menantang, tidak membosankan, serta pekerjaan yang dapat memberikan status,

2) Upah dan gaji merupakan faktor yang kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja,

3) Promosi yaitu kesempatan di promosikan memiliki pengaruh yang beragam terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda – beda dan bervariasi pula imbalannya,

4) Supervisi merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja, ada dua dimensi gaya pengawasan yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu berpusat pada karyawan dan pengaruh kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku,

(17)

27

5) Kelompok kerja yaitu rekan kerja yang tergabung dalam kelompok kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi karyawan individu,

6) Kondisi kerja merupakan aspek yang juga mempengaruhi kepuasan kerja. Kondisi kerja yang nyaman akan memberikan stimulant positif terhadap kepuasan kerja yang dirasakan karyawan.

Menurut Gilmer (As’ad, 2001) terdapat 10 faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu.

1) Kesempatan untuk maju yaitu kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama masa kerja oleh organisasi untuk kemajuan karyawannya,

2) Keamanan kerja sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja. Keadaan yang aman mempengruhi perasaan positif karyawan dalan bekerja,

3) Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperoleh,

4) Perusahaan dan manajemen yang baik adalah faktor yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini pun menentukan kepuasan kerja karyawan,

5) Pengawasan, bagi karyawan supervisor dianggap sebagai figure ayah sekaligus atasan. Supervisi yang buruk berakibat absensi dan turnover,

(18)

28

6) Faktor intrinsik dari pekerjaan adalah atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas, akan dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan,

7) Kondisi kerja termasuk di sini adalah kondisi tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parker,

8) Aspek sosial, dalam pekerjaan merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan,

9) Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan mengakui pendapat maupun prestasi karyawan. Keadaan ini akan sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan,

10) Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.

2.1.8 Faktor-faktor yang Memberikan Konstribusi terhadap Kepuasan Kerja

Menurut Blum dalam Moh. As,ad (2001), faktor-faktor yang dapat memberikan kepuasan kerja adalah sebagai berikut.

(19)

29

2) Faktor sosial meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan serikat pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan masyarakat.

3) Faktor utama dalam pekerjaan meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial terhadap pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil, baik yang menyangkut hal pribadi maupun tugas.

2.1.9 Pentingnya Kepuasan Kerja

Robbins menyatakan bahwa ada tiga alasan mengapa kepuasan kerja penting, yaitu.

1) Ada bukti yang jelas bahwa karyawan yang tidak puas lebih sering melewatkan kerja dan lebih besar kemungkinan mengundurkan diri dari pekerjaannya.

2) Telah diperagakan bahwa karyawan yang puas bekerja lebih baik dan usia kerja lebih panjang.

3) Kepuasan pada pekerjaan dibawa ke kehidupan karyawan di luar pekerjaan.

2.1.10 Pengukuran Kepuasan Kerja

Menurut situs http://wangmuba.com pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa statistik maupun dari segi pengumpulan

(20)

30

datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini biasanya melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan kelompok kerja (Riggio:2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan.

1.Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global

Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya .

2.Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan

Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara

(21)

31

konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manejemen, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan.

3.Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan

Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1) Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya? Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “Berapa yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan, maka semakin besar kepuasannya.

Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan. Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan

(22)

32

kepada penyilid ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden.

2.1.11 Pendekatan yang digunakan untuk Pengukuran Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (Wibowo:2007) ada dua pendekatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu.

1. Single Global Rating yaitu meminta individu merespon atas suatu pertanyaan seperti; dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda? Individu bisa menjawab puas dan tidak puas. 2. Summation Scoren yaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang maing-masing elemen. Faktor spesifik yang diperhitngkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja (http://wangmuba.com).

2.1.12 Indikator – Indikator Kepuasan Kerja Karyawan

Pada dasarnya kepuasan kerja sangat tergantung kepada apa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dengan apa yang mereka peroleh. Ini semua sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kepuasan kerja bertalian erat dengan tingkat jabatan dan intensif seseorang dalam suatu perusahaan. Menurut Utama (2001), semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu organisasi, pada umumnya tingkat kepuasannya pun cenderung lebih tinggi pula. Untuk suatu hal, dewasa ini adanya biaya pemotongan, penstrukturan

(23)

33

kembali, dan pendorongan kinerja mengarahkan seseorang untuk secara logis mengaitkan kompensasi dan kinerja. Namun tekanan yang berkembang pada kompensasi untuk kinerja juga berakar dengan kecenderungan tim perbaikan mutu dan program komitmen pekerja.

Menurut Rivai (2004) insentif adalah alat untuk memotivasi pekerja guna mencapai tujuan organisasi. Sebab, ini merupakan bentuk kompensasi yang berorientasi pada hasil kerja. Salah satu alasan penting pembayaran insentif kerena adanya ketidaksesuaian kompensasi yang dibayarkan eksekutif dengan pekerja lain. Menurut Rivai (2004) program insentif adalah salah satu cara untuk memungkinkan seluruh pekerja merasakan bersama kemakmuran perusahaan. Selain itu, ada kesadaran yang tumbuh bahwa program pembayaran tradisional seringkali tidak bagus dalam menghubungkan pembayaran dengan kinerja. Jika organisasi mau mencapai inisiatif strategis mereka, maka pembayaran perlu dihubungkan dengan kinerja sedemikian rupa sehingga pembayaran itu mengikuti tujuan organisasi.

1) Bonus Tahunan

Banyak perusahaan menggantikan peningkatan pendapatan karyawan berdasarkan jasa dengan pemberian bonus kinerja tahunan, setengah tahunan aturan triwulanan. Umumnya bonus ini sering dibagikan sekali dalam setahun. Bonus mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan peningkatan gaji. Pertama, bonus meningkatkan arti pembayaran karena karyawan menerima upah dalam jumlah yang besar. Seorang karyawan yang

(24)

34

bijaksana dapat mempertinggi nilai bonus dengan menginvestasikannya secara cermat, tetapi kecil kemungkinan karyawan melakukan hal ini ketika suatu peningkatan disebar sepanjang tahun (pada tiap bulan) berupa gaji/insentif. Kedua, bonus memaksimalkan hubungan antara bayaran dan kinerja. Tidak seperti peningkatan gaji permanen, bonus harus diperoleh secara terus menerus dengan kinerja diatas rata-rata dari tahun ke tahun, sebagai contoh: bank-bank besar dapat memberikan bonus atau terkadang disebut juga dengan jasa produksi hingga mencapai 3 kali gaji bruto setiap tahunnya, yang dibayarkan setelah neraca diaudit.

2) Insentif Langsung

Tidak seperti sistem bayaran berdasarkan kinerja yang lain, bonus langsung tidak didasarkan pada rumus, kriteria kinerja khusus, atau tujuan imbalan atas kinerja yang kadang-kadang disebut bonus kilat ini dirancang untuk mengakui kontribusi luar biasa karyawan. Imbalan yang digunakan oleh 95 persen dari seluruh perusahaan ini mengakui lama kerja (88 persen), prestasi istimewa (64 persen), dan gagasan inovatif (42 persen). Seringkali penghargaan itu berupa sertifikat, plakat, uang tunai, obligasi tabungan, atau karangan bunga.

3) Intensif Individu

Intensif individu adalah bentuk bayaran intensif paling tua dan paling populer. Dalam jenis program ini, standar kinerja individu ditetapkan dan

(25)

35

dikomunikasikan sebelumnya, dan penghargaan didasarkan pada output individu. Intensif individu digunakan oleh sebagian kecil (35 persen) dari total perusahaan dalam seluruh kelompok industri kecuali perusahaan sarana umum. Perusahaan-perusahaan sarana umum lebih lambat menerapkan program-program semacam ini karena regulasi mereka membatasi otonom tenaga kerja.

4) Intensif Tim

Intensif tim berada di antara program individu dan program seluruh organisasi seperti pembagian hasil dan pembagian laba. Sasaran kinerja disesuaikan secara spesifik dengan apa yang perlu dilaksanakan tim kerja. Secara strategis, intensif tim menghubungakan tujuan individu dengan tujuan kelompok kerja (biasanya sepuluh orang atau kurang), yang pada gilirannya biasanya dihubungkan dengan tujuan-tujuan finansial.

5) Pembagian Keuntungan

Program pembagian keuntungan terbagi dalam tiga kategori. Pertama, program distribusi sekarang menyediakan persentase untuk dibagikan tiap triwulan atau tiap tahun pada karyawan. Kedua, program distribusi yang ditangguhkan menempatkan penghasilan dalam suatu dana titipan untuk pensiun, pemberhentian, kematian atau cacat. Inilah jenis program yang tumbuh paling pesat karena keuntungan dari segi pajak. Ketiga, program gabungan sekitar 20 persen perusahaan dengan program pembagian

(26)

36

keuntungan mempunyai program gabungan. Program ini membagikan sebagian keuntungan langsung kepada karyawan, dan menyisihkan sisanya dalam rekening yang ditentukan.

6) Bagi Hasil

Program bagi hasil (gainsharing) dilandasi oleh asumsi adanya kemungkinan mengurangi biaya dengan menghilangkan bahan-bahan dan buruh yang mubazir, dengan mengembangkan produk atau jasa yang baru atau yang lebih bagus, atau bekerja lebih cerdas. Biasanya program ini hasilnya melibatkan seluruh karyawan dalam suatu unit kerja atau perusahaan.

2.1.13 Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi

Kepuasan mempunyai banyak dimensi. Secara umum tahap yang diamati adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri, namun pekerjaan juga mempunyai definisi yang berbeda bagi orang lain.

Tidak ada rumusan sederhana untuk memperkirakan keputusan tenaga kerja. Lagipula, hubungan produktivitas dan kepuasan kerja tidak jelas seluruhnya. Faktor kritisnya adalah apa yang diharapkan tenaga kerja dari pekerjaan dan apa yang mereka terima sebagai penghargaan dari pekerjaan mereka.

(27)

37

Jika tenaga kerja berkomitmen pada organisasi, meraka mungkin lebih produktif. Komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut. Penelitian menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi cenderung pengaruhi satu sama lain. Orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan orang-orang yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar.

Komitmen organisasional memberi titik berat secara khusus pada kelajutan faktor komitmen yang menyarankan keputusan tersebut untuk tetap atau meninggalkan organisasi yang pada akhirnya tergambar dalam statistik ketidakhadiran dan keluar-masuk tenaga kerja. Seorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang kurang berkomitmen pada organisasi baik melalui ketidakhadiran atau masuk-keluar (Mathis dan Jackson, 2001 : 100).

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Beberapa hasil penelitian sebelum penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Nyoman Adi Wisatya (2009), dari Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Udayana Denpasar melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Komitmen Organisasi dan Job Insecurity serta Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention Agen Penjualan pada PT Prudential Life Assurance di Denpasar “. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada atau

(28)

38

tidaknya pengaruh nyata komitmen organisasi, Job Insecurity, dan kepuasan kerja terhadap Turnover Intention agen penjualan di PT. Prudential Life Assurance di Denpasar serta variabel mana yang paling dominan pengaruhnya antara komitmen organisasi, Job Insecurity, dan kepuasan kerja terhadap Turnover Intention agen penjualan di PT. Prudential Life Assurance di Denpasar. Perbedaan penilitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel terikat. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat turnover intention sedangkan pada penelitian yang sedang berlangsung menggunakan variabel terikat komitmen dosen. Sedangkan persamaan pada penelitian terdahulu dan penelitian ini adalah terletak pada variabel bebas yaitu sama menggunakan kepuasan kerja.

2) Liche Seniati (2006), dari Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Masa Kerja Trait Kepribadian, Kepuasan Kerja, dan Iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada Universitas Indonesia”. Penelitian ini Respondennya berjumlah 302 orang, yang mewakili 12 fakultas di Universitas Indonesia. Responden terdiri dari 43,7 persen pria dan 55,3 persen wanita. Ada 17,2 persen responden berpendidikan sarjana, 60,9 persen berpendidikan magister, dan 21,2 persen berpendidikan doktor. Rentang usia responden adalah kurang dari 30 tahun (6,3 persen), 31-44 tahun (36,1 persen), dan 45-69 tahun (49,0 persen). Lama kerja responden berkisar antara 1-2 tahun (2,6 persen), 2-10 tahun (24,5 persen), dan lebih dari 11 tahun (70,9 persen. Responden meliputi golongan III/a sampai III/d (59,6 persen) serta golongan IV/a sampai

(29)

39

IV/e (36,1 persen). Analisis model pengukuran merupakan analisis faktor dengan metode konfirmatori yang dilakukan untuk memperoleh variabel terukur yang dapat menjadi indikator dari suatu variabel laten. Berdasarkan hasil analisis faktor, diperoleh nilai muatan faktor yang berkisar antara -0,18 sampai dengan 0,95. Variabel terukur yang dipilih menjadi indikator adalah variabel yang memiliki muatan faktor yang lebih besar dari 0,50 (Hair, Anderson, Tatham, & Black, 1995). Responden penelitian ini mempunyai komitmen afektif yang berada pada taraf agak tinggi (skor rata-rata = 4,59), serta komitmen rasional dan komitmen normative yang berada pada taraf sedang (skor rata-rata = 3,33 dan 3,87). Secara keseluruhan komitmen dosen pada universitas berada pada taraf sedang (skor rata-rata = 3,93). Skor responden pada semua trait kepribadian berada pada taraf agak tinggi. Skor trait kindness merupakan trait yang paling menonjol (skor rata-rata = 4,82), diikuti trait conscientiousness (skor rata-rata = 4,57), trait openness to experience (skor rata-rata = 4,11), dan trait extraversion (skor rata-rata = 4,07). Kepuasan rata-rata responden pada semua aspek pekerjaan berada pada taraf sedang (skor rata-rata = 3,59). Kepuasan terhadap rekan kerja tergolong agak tinggi (skor rata-rata = 4,10). Kepuasan yang berada pada taraf sedang adalah kepuasan terhadap komunikasi (skor rata-rata = 3,70), kepuasan terhadap pimpinan (skor rata-rata = 3,41), dan kepuasan terhadap kondisi kerja (skor rata-rata = 3,17). Adapun alasan kepuasan kerja global yang paling banyak dikemukakan dosen adalah karena adanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, suasana kerja menyenangkan, serta pekerjaan

(30)

40

sebagai dosen tidak monoton. Persepsi responden terhadap iklim psikologis berada pada taraf sedang. Skor iklim psikologis secara keseluruhan maupun masing-masing dimensinya adalah sebagai berikut. Iklim psikologis secara keseluruhan (skor rata-rata = 3,87), persepsi terhadap karakteristik kelompok kerja (skor rata = 3,96), persepsi terhadap karakteristik peran (skor rata-rata = 3,92), dan persepsi terhadap karakteristik manajemen (skor rata-ratarata-rata = 3,68). Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel bebas. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel bebas masa kerja trait kepribadian dan kepuasan kerja sedangkan pada penelitian yang sedang berlangsung menggunakan variabel bebas kepuasan kerja. Sedangkan persamaan pada penelitian terdahulu dan penelitian ini adalah terletak pada variabel terikat yaitu sama menggunakan komitmen dosen. 3) A.A. Istri Kumbawati (2006), dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Denpasar melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja Karyawan Restoran Kokokan Thai Club Ubud Gianyar “. Menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat dan signifikan antara kepemimpinan dengan kepuasan kerja karyawan Restoran Kokokan Thai Club Ubud Gianyar. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi Rank Spearman antara kepemimpinan dengan kepuasan kerja diperoleh nilai ρ.hitung sebesar 0,73 sedangkan harga tabel untuk n = 26, taraf kesalahan 5% sebesar 0,392 , ini berarti bahwa nilai ρ.hitung (0,73) > ρ.tabel (0,392) dengan demikian Ho ditolak. Artinya terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kepemimpinan dan kepuasan kerja karyawan. Perbedaan

(31)

41

penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat. Pada penelitian terdahulu variabel bebas menggunakan kepemimpinan sedangkan pada penelitian ini variabel bebas menggunakan kepuasan kerja. Pada penelitian terdahulu variabel terikat menggunakan kepuasan kerja sedangkan pada penelitian ini menggunakan komitmen. 4) Achmad Sudiro, dari Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang,

melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Timbal-Balik Antara Kepuasan Kerja Dengan Kepuasan Keluarga dan Komitmen Kerja Serta Dampaknya Terhadap Prestasi Kerja dan Karier Dosen. Penelitian ini dilakukan dengan jalan menyebarkan kuesioner kepada Dosen yang terpilih menjadi sampel dengan kriteria dosen tersebut sudah berkeluarga dan menduduki jabatan Lektor hingga Guru Besar. Dengan menganalisis kuesioner tersebut dapat diketahui beberapa karakteristik responden. Berdasarkan, Usia, Jenis kelamin, Jumlah tanggungan, pendidikan, masa kerja. Dari hasil penelitian yang dilakukan di tiga Universitas Negeri Di Jawa Timur diketahui gambaran mengenai responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 79 persen dan responden yang berjenis kelamin perempuan sebesar 31 persen. Sedangkan menurut jabatan sebagai berikut : Lektor sebanyak 44 persen, Lektor Kepala sebanyak 49 persen dan Guru Besar sebanyak 7 persen. Sedangkan masa kerja responden sangat bervariasi, masa kerja antara 0 – 10 tahun sebesar 9,16 persen, masa kerja antara 11–20 tahun sebesar 36,67 persen, Masa kerja antara 21–30 tahun sebesar 37,50 persen, sedangkan masa kerja yang paling lama adalah lebih dari 30 tahun

(32)

42

sebesar 16,67 persen. Perbedaan penilitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel terikat. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat prestasi kerja dan karier dosen sedangkan pada penelitian yang sedang berlangsung menggunakan variabel terikat komitmen dosen. Sedangkan persamaan pada penelitian terdahulu dan penelitian ini adalah terletak pada variabel bebas yaitu sama menggunakan kepuasan kerja.

5) Putu Pradiva Putra Salain (2010), dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Denpasar melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Kompetensi Terhadap Kepuasan Kerja Dosen (Studi Kasus pada Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana) “. Menyimpulkan bahwa kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan kerja Dosen pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Hal ini ditunjukkan uji F yang menghasilkan nilai

Fhitung (56,104) lebih besar dari Ftabel (2,45). Kompetensi pedagogik,

kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial berpengaruh secara parsial terhadap kepuasan kerja Dosen pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Uji t menunjukkan nilai

thitung untuk seluruh variabel sudah lebih besar dari ttabel (2,276). Nilai thitung

untuk variabel kompetensi pedagogik sebesar 3,579, kompetensi profesional sebesar 3,531, variabel kompetensi kepribadian sebesar 2,776 dan variabel kompetensi sosial sebesar 3,034. Variabel kompetensi professional berpengaruh dominan terhadap kepuasan kerja Dosen pada Jurusan

(33)

43

Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Ini ditunjukkan koefisien beta yang telah distandarisasi dari variabel kompetensi profesional (0,293) lebih besar dibandingkan variabel kompetensi pedagogik (0,266), variabel kompetensi kepribadian (0,224) dan variabel kompetensi sosial (0,240). Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada variabel bebas. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel bebas kompetensi sedangkan pada penelitian yang sedang berlangsung menggunakan variabel bebas kepuasan kerja.

2.3 Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara yang masih perlu di uji kebenarannya. Berdasarkan landasan teori dan penelitian sebelumnya maka hipotesis dari penelitian ini adalah.

1) Kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap rekan kerja, dan kepuasan dengan atasan serta kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri secara simultan berpengaruh terhadap komitmen dosen jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

2) Kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap rekan kerja, dan kepuasan dengan atasan serta kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri secara parsial berpengaruh terhadap komitmen dosen jurusan Manajemen pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang perlu diperhatikan pada rancangan rumah tinggal Jepang adalah di dalam hunian masih menyediakan washitsu yaitu ruang bergaya tradisional Jepang dengan lantai tatami

Tindakan yang telah dilakukan pada tanggal 24 Juli 2012 jam 08.15 WIB mengkaji timbang berat badan dengan hasil sebelum sakit 55 kg dan 48 kg saat dikaji, observasi dan catat

#%nyatakan ia rakaat *%rtama itu kalima! au!id- yan& k%dua kalima! Rasul. Kalima! au!id itu asal dari*ada ibu s%kalian amalan dan kalima! au!id /u&a asal dari*ada

Hasil uji fisik dan mekanik kertas dari pelakuan NaOH dan CaO, kertas perlakuan NaOH memiliki indeks tarik dan indeks sobek yang lebih tinggi dibandingkan

Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengidentifikasi gulma yang ditemukan pada pertanaman jagung serta menginterpretasikan pengendalian

Pada proses ini, besi cair hasil dari tanur sembur dimasukkan ke dalam reaktor silinder. Udara panas disemburkan dari lubang-lubang pipa untuk mengoksidasi karbon

Berdasarkan landasan teori penulis mendapatkan hipotesis bahwa terdapat perbedaan profil disolusi kurkumin dalam sistem dispersi padat ekstrak kunyit dengan berbagai

Nilai konsumen yang dipersepsikan lebih unggul adalah ketika bauran pemasaran yang ditawarkan oleh perusahaan dirasakan lebih tinggi oleh pasar sasaran dibandingkan