• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bermimpi Jadi Pemimpin Yang Melek Kebencanaan Oleh : Yan Agus Supianto, S.IP, M.Si Kasi Pencegahan BPBD Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bermimpi Jadi Pemimpin Yang Melek Kebencanaan Oleh : Yan Agus Supianto, S.IP, M.Si Kasi Pencegahan BPBD Kabupaten Garut"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Bermimpi Jadi Pemimpin Yang Melek Kebencanaan Oleh : Yan Agus Supianto, S.IP, M.Si

Kasi Pencegahan BPBD Kabupaten Garut

Dalam suatu kesempatan saya pernah diundang oleh sebuah sekolah dasar untuk memberikan pencerahan kepada adik-adik kelas 3 hingga 6. Sekolah itu sendiri terbilang baru, memiliki konsep sekolah alam, dengan konsep belajar di alam terbuka. Seorang guru pembimbingnya datang menemui saya sambil membawa secuir surat dengan sangat berharap saya untuk menerima kedatangan rombongan anak-anak didiknya. Tentu saya bangga, terlebih dunia baru yang saya geluti saat ini.

“Kalau boleh tahu, mengapa ibu memilih kantor kami sebagai tujuan Visit Learning?”, saya mengawali percakapan kami. Ibu guru muda cantik ini dengan tersenyum menjawab, “Kami hanya ingin mengenalkan pada anak-anak, apa itu bencana, mengapa kita harus belajar darinya. Itu saja”.

Singkat cerita, beberapa waktu kemudian, pada pagi hari, saat sibuk-sibuknya kami di kantor, datanglah rombongan bocah-bocah kecil itu beserta ibu guru pembimbing yang di awal bertemu dengan saya. Saya ajak mereka kumpul di Aula BPBD Kabupaten Garut untuk sekadar memperkenalkan sekilas tentang tugas dan tanggung jawab lembaga kami. Tentu saja gaya bicara saya harus disinergiskan dengan kondisi bocah-bocah itu. Maka, canda tawa melengkapi pertemuan awal di ruangan yang setiap saat menerima kujungan dari luar; studi bandingkah, kunjungan

(2)

sekolah, atau sekadar obrolan santai antar bidang, atau rapat-rapat yang melibatkan SKPD lain.

Setelah pertemuan awal itu, saya ajak mereka naik kendaraan truk serba guna hasil hibah dari BNPB. Mereka saya ajak ke sebuah kelurahan di Kecamatan Garut Kota, yaitu Kelurahan Ciwalen, yang pernah tersentuh program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Bocah-bocah ini dikenalkan dengan lurah setempat, dan diajak berkeliling di seputar kelurahan yang dikelilingi Sungai Cikendi yang kerap menjadi langganan banjir. Kelurahan ini telah dilengkapi rambu arah evakuasi dan titik kumpul. Tentu saja anak-anak bertanya alasan dipasang rambu-rambu itu, termasuk melihat secara langsung sungai yang sering dilanda banjir itu.

Di penghujung, saya ajak mereka mengunjungi kaki Gunung Guntur, sebuah pemandangan primadona Kabupaten Garut yang dilengkapi Objek Wisata Cipanas. Kesempatan tidak saya sia-siakan, mengingat Gunung Guntur adalah Gunung Api bertipe A. Gunung yang dikelilingi kehidupan penduduk dengan strata ekonomi dan sosial yang heterogen, namun pertumbuhan ekonomi yang sangat berbeda dengan wilayah lainnya.

Meski demikian, ada saja dibalik keindahan itu tersimpan potensi bencana yang dapat mengancam penduduk di sekitarnya. Bayangkan, sudah 160-an tahun gunung itu ‘tidur’. Dengan gunung Tipe A, mengingatkan kita pada kejadian bencana di daerah lain, meski tipenya C. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana tipe diatasnya, yang terbayang hanya ketidakberdayaan dan dampak yang terjadi bilamana gunung ini meletus.

(3)

“Bapak kapan gunung ini akan meletus? Kemana kita harus berlari?”, salah sorang murid kelas 5 bertanya. Saya jawab, kita tidak tahu kapan gunung ini akan meletus, meski demikian kita patut mengenali dan memahami tanda-tandanya agar kita dapat memastikan siap tidaknya menghadapi bencana. Pengalaman itu membuat kesadaran saya semakin terbuka, bagaimana bila anak-anak kita tidak memiliki pengetahuan seperti pengalaman anak-anak SD itu. Pengalaman tadi hanya ekspresi saya saja saat anak-anak kita disibukkan dengan kegiatan belajar, tapi disekitar mereka dihantui acaman bencana. Jadi pertanyaan kita : urusan siapa sebenarnya bencana itu?

Persoalan bencana kerap kali (lag-lagi) didengar adalah urusan kita bersama, walaupun, jauh api dari pangganggnya. Orang Garut bilang :”Jauh tina ucapan” (berbeda dengan lisan). Bagaimana mungkin persoalan bencana jadi tanggung jawab satu institusi saja. Saat dampak bencana mengakibatkan orang jatuh sakit, akses jalan jadi terganggu, ekonomi terganggu, belum lagi rasa trauma. Apakah institus ini (BPBD) yang harus mengobati, memperbaiki jalan, atau sekadar memperbaiki ekonomi yang terganggu? Maka dibutuhkan keterlibatan kelembagaan lain, sesuai bidang tugasnya. Itulah yang disebut dengan kebencanaan merupakan urusan bersama. Pertanyaan selanjutnya dimanakah posisi masyarakat dan dunia usaha?

Segitiga biru dilogo BNPB atau BPBD sebenarnya sudah menjawab, dengan ukuran dan warna yang sama (biru), maka tidak ada pemilahan atau prosentasi urusan ketiga unsur itu (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha). Semuanya memiliki peran yang sama. Meski demikian,

(4)

bagaimanapun juga pemerintah bertanggung jawab dalam urusan kebencanaan. Masyarakat dan dunia usaha dapat berperan sesuai kadarnya.

Di suatu kesempatan, saya beserta rekan-rekan fasilitator Desa Tangguh Bencana, memberikan penekanan kepada warga yang difasilitasi, agar selain gagasan, masyarakat dari berbagai kelompok, baik profesi maupun komunitas tertentu perlu menekankan kepada pemimpin masa datang agar persoalan kebencanaan tidak dilihat sebelah mata. Konsep-konsep yang dituangkan dalam Rencana Penanggulangan Bencana Desa (RPBDes) dan Rencana Aksi Komunitas, harus bisa menjawab tantangan kedepan dalam menyikapi persoalan kebencanaan. Masyarakat pemilih sudah saatnya memasukkan menu pilihan pemimpin ideal masa depan dengan salah satu misi Pengurangan Risiko Bencana harus sudah ada dalam visi programnya. Bila tidak, masyarakat bisa mempertimbangkan bahkan mengeksekusi apakah pemimpin ini layak atau tidak jadi pemimpin yang berwawasan pengurangan risiko bencana.

Forum Pengurangan Risiko Bencana di setiap desa bisa menjadi mediator kalu tidak menjadi konsultan kecil di desa itu, bagaimana kriteria pemimpinn ke depan memiliki visinya yang telah tertuang dalam RPBDes. Bila tidak, maka jangan berharap masyarakat akan tangguh dalam menghadapi bencana, bagaimanapun masyarakat masih memiliki sikap manut pada pemimpinnya.

Lihatlah Undang-Undang Desa yang kini menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pemimpin desa khususnya. Seakan bingung apa yang harus dilakukan. Maka keberadaan Forum PRB Desa setidaknya dapat

(5)

menjawab kebingungan itu. Bukankah persoalan kebencanaan adalah salah satu sasaran, arah kebijakan dan strategi yang sudah tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional) 2015-2019?Persoalan kebencanaandi sasaran nasional yaitu dengan menurunnya indeks risiko bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi, dengan arah kebijakan; mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Semua itu dilakukan melalui strategi : internalisasi PRB dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan, penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana, serta peningkatan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penanggulangan bencana.

Artinya persoalan kebencanaan menjadi urusan wajib. Berbicara urusan wajib, maka pemerintah (baik provinsi atau kabupaten/kota) sudah saatnya menempatkan kebencanaan menjadi tolok ukur dari sasaran yang sudah dituangkan dalam RPJMN.

Bila boleh diibaratkan, kondisi BPBD saat ini bagai sebuah keluarga yang baru menikah, ia sudah memiliki Surat Nikah, tapi ia masih numpang di rumah mertua, tidak bisa berinovasi apalagi mempercantik rumahnya karena keterbatasan hak miliknya.Maka, political willpengemban wilayah yang mesti didorong agar persoalan kebencanaan menjadi komitmen bersama. Selama hal itu tidak dilakukan, maka paradigma baru persoalan kebencanaan hanya isapan jempol, dan kita akhirnya dibawa ke alam de javu, memandang persoalan bencana cukup dengan responsif. Padahal,

(6)

ingat, di sekililing kita ada kaum rentan yang perlu perhatian khusus bersama.

Sekadar mengingatkan kita bagaimana data Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013 menempatkan beberapa daerah menjadi nomor satu atau peringkat lainnya sebagai daerah yang memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi ataupun sedang. Kabupaten Garut sendiri, di tingkat nasional secara multi hazard menempati urutan kedua sebagai daerah risiko bencana dibawah Kabupaten Cianjur, dengan skor 238. Meski dibanding IRBI 2011 posisi ini menurun satu tingkat. Apapun risikonya, maka data ini mestinya menjadi warning daerahnya untuk fokus mengelola kebencanaan secara serius. Bila tidak, maka identitas daerah tertinggal akan terus melekat, karena kita telah mengabaikan persoalan kebencanaan sebagai hal biasa. Padahal kerugian yang diakibatkan bencana setidaknya akan menghancurkan pembangunan yang sudah dirintisnya sekian lama.Selama pembangunan berlangsung, sadar tidak sadar berkorelasi dengan ancaman bencana, bila tidak mengindahkan prinsip-prinsip PRB. Bila boleh membandingkan, maka penghematan anggaran akan jauh terlampaui bila kita menerapkan pengarusutamaan pembangunan dalam pengurangan risiko bencana.

Tidak berlebihan bila menyelami apa yang disampaikan dari BNPB tahun 2012 lalu, beberapa manfaat pengurangan risiko bencana (PRB) dalam pembangunan, antara lain setiap US$ 1 yang diinvestasikan untuk PRB, dapat mengurangi US$ 4-7 dari dampak bencana. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang buruk dalam praktek manajemen risiko ternyata menderita 20 kali lipat lebih besar daripada perusahaan yang

(7)

menerapkan PRB. Nilai kerugian per lokasi yang ditanggung akibat manajemen risiko yang buruk mencapai lebih US$ 3 juta, sedangkan yang baik pengelolaannya kerugiannya hanya US$ 620.000.

Pilkada serentak Tahun 2019 bisa dimanfaatkan oleh calon-calon pemimpinnya, maka tidak akan terlambat bila ke depan, sudah mulai merancang visinya dengan kebencaaan menjadi senjata ampuh dalam memenangkan dirinya di tampuk pimpinan; apakah dia calon presiden, gubernur, walikota, bupati, atau sekelas ketua rukun warga.

Bila ini menjadi salah satu visinya, saya jamin dia akan menjadi calon pemimpin masa depan yang berkarakter empati terhadap kebencanaan, bukan hanya sekadar simpati. Maka, bermimpilah jadi pemimpin yang empati terhadap kebencanaan. SEKIAN.

(8)

Keterangan :

Nama Lengkap : YANYAN AGUS SUPIANTO, S.IP, M.Si

Alamat : Perum Bumi Malayu Asri Blok E-24 RT 02 RW 09 Desa Sirnajaya Kecamatan Tarogong Kaler

Kabupaten Garut, Jawa Barat Kode Pos 44151

Jabatan : Kepala Seksi Pencegahan BPBD Kabupaten Garut No. Tlp/HP : 0262-542097/ 081322525670

Prestasi : Peraih juara III Tangguh Award 2015 untuk Kategori Lomba Karya Tulis Jurnalistik

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis berkesimpulan bahwa menghadirkan hati adalah dengan mengingat Allah ketika sedang melaksanakan shalat, jika seseorang

Proses evaluasi pembelajaran menggunakan metode Inquiry pada materi iman kepada rasul Allah kelas VIII MTs Al Hayatul Islamiyah Malang dilaksanakan dengan cara evaluasi

[r]

Jika dikaitkan dengan penelitian yang telah dilakukan tidak adanya hubungan antara kematangan emosi dan perilaku agresi di media sosial pada siswa di SMK X di

Rasio Pemustaka Daerah dibandingkan dengan Jumlah penduduk 192,498 pemus taka di band ing 1,303,77 3 j iw a ( 1 :6, 8) 1 : 6, 7 1 : 6 ,6 1 :6,4 1 : 6 ,5 1 : 6 ,4 1 :

Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar perusahaan lebih fokus untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan variabel bebas yang memiliki pengaruh signifikan terhadap

Diketahui terdapat hubungan faktor dukungan keluarga dan masyarakat dengan keaktifan kader pada kegiatan posyandu di Desa Purwojati. Tujuan khusus.. a) Mengetahui

Persetujuan dari kedua belah pihak adalah konsekuensi prinsip sama-sama rela. Artinya, kedua pihak harus sepakat untuk sama-sama mengikatkan diri dalam mudharabah. Si