• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Isnawijayani; 41 - 49 41

Peranan Perguruan Tinggi dalam Media Literacy Bagi Masyarakat

Oleh: Isnawijayani Abstract

Communication Media has been developed in the form of printed Media and electronic Media. This development is not only easy to communicate and receive information fast wherever and whenever we go but also cheap. Besides positive impacts, it has negative influence to children and teenagers growth and adults. In other word it brings great influence to people. That is why Media literacy is needed so people will be able to know what Media is. Media presents through a long process. What we see is not 100% true. There are politics, economics, culture etc in it. People have to know and understand Media.

Key words: Media literacy, information, media effect, people

Pendahuluan

Tulisan ini bukan asli pemikiran penulis, melainkan dari berbagai sumber referensi dan reduksi pemikiran para ahli. Sementara deskripsi tentang persoalan media, lebih banyak didasarkan pada pengalaman penulis selama 5 tahun menjadi dosen Komunikasi dan menjadi Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Selatan. Pembahasan tentang topik ini diawali dengan latar belakang lahirnya Media literacy, pemaknaannya, dan Media literacy di Perguruan Tinggi. Penulis menutup bahwa Media literacy perlu disampaikan kepada masyarakat melalui Perguruan Tinggi. Mudah-mudahan rangkuman pemikiran ini bermanfaat bagi kita semua.

Mengapa Harus Ada Media Literacy?

Dahulu berkomunikasi memerlukan waktu dan tidak cepat mendapat respon. Sekarang, seiring perkembangan teknologi, media baru muncul sebagai alternatif yang digunakan masyarakat yang hemat waktu, mudah dan efektif. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Dalam Media Now (2009) kehadiran teknologi media menjadikan konvergensi (titik temu) teknologi media, telekomunikasi, dan komputer. Teknologi mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Yang tadinya orang membaca suratkabar, kini beralih ke media online yang lebih murah dan media ini mudah diakses bahkan dapat dibaca lewat hand phone.

Buku Understanding Media–The Extensions of Man (Marshall McLuhan, 1999), mengatakan medium is message (pesan media ya media itu sendiri). McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan media yang beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media menciptakan dan mempengaruhi kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat. Hal ini juga yang menjadikan globalisasi. Sehingga McLuhan menyampaikan Teori Determinime Teknologi yang menuai kritik dan berbagai tuduhan, ia melebih-lebihkan

(2)

Isnawijayani; 41 - 49 42

pengaruh media. Contoh benar media berpengaruh, enam atau tujuh tahun yang lalu, internet masih merupakan barang baru tetapi sekarang, bagi yang tidak tahu menggunakan internet akan di anggap gaptek (gagap teknologi), manusia jadul (jaman dulu).

Menurut Everett M. Rogers dalam bukunya Communication Technology; The New Media in Society (Mulyana, 1999) mengatakan era hubungan komunikasi di masyarakat, terdiri dari era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif, yang dikenal dengan media komputer, videotext, teletext, teleconferencing, TV kabel dan sebagainya.

Perkembangan media cetak dan elektronik setelah reformasi di Indonesia sudah begitu cepat. Untuk media cetak yang awalnya banyak sekali, lama kelamaan jumlahnya menurun karena ketatnya persaingan. Media cetak yang dapat bertahan hanya yang masuk dalam kelompok media besar. Seperti kelompok Kompas GraMedia, Pos Kota, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, kelompok Femina, dan lain-lain. Begitu juga televisi dan radio, ada televisi dan radio publik, komunitas, swasta, dan tv berlangganan. Tercatat 14 Stasiun TVRI Pusat dan Daerah, 160 tv Swasta (10 tv Swasta dari Jakarta dan 150 tv Swasta Lokal, 6 TV Publik Lokal, dan 18 TV Komunitas. Hingga April 2008, (Sendjaja, 2008) awalnya hanya 19 buat tv berlangganan dan akan bertambah dengan adanya 31 pemohon TV Berlangganan Digital (Terestrial, Satelit, Mobile dan lain-lain). Namun demikian secara keseluruhan penetrasi tv berlangganan masih sangat kecil, hanya 0,7% dari total populasi rumah tangga di Indonesia. Walaupun banyak pemohon baru secara umum, peluang pasar tv Berlangganan masih sangat terbuka. Sementara untuk Radio Siaran sampai akhir tahun 2008 berjumlah 2504 buah terdiri dari 58 Stasiun RRI, 2038 Radio Swasta, 369 Radio Komunitas, dan 38 Radio Publik Lokal.

Masih menurut Sendjaja (2008), jumlah stasiun penyiaran Free to Air (FTA) tv yang ada di Indonesia (melalui proses merger dan akuisisi) akan semakin sedikit jumlahnya (tinggal beberapa saja), sementara jumlah operator tv berlangganan (termasuk tv dengan teknologi Digital Video Broadcasting atau DVB) akan semakin banyak jumlahnya (puluhan bahkan ratusan).

Di Sumatera Selatan, media cetak dan dunia penyiaran ikut berkembang. Sekarang terdapat 20 suratkabar (9 terbit di Palembang dan 11 di kabupten/kota), 90 Radio Siaran (24 di Palembang dan 64 di kabupaten/kota, dan 4 buah tv (3 di Palembang, 1 di kabupaten). Rencana akan menjadi 8 siaran tv di Sumatera Selatan, sehingga menjadi 20 siaran tv dengan tv besar dari Jakarta. Sementara di Baturaja terdapat 4 Radio Siaran Swasta, 1 Radio Siaran Publik, dan 1 Radio Siaran Komunitas dan 2 suratkabar yang salah satu suratkabar itu masuk dalam kelompok Jawa Pos.

Secara keseluruhan peningkatan jumlah media di atas merupakan isyarat baik bagi kebebasan media seiring demokratisasi ekonomi dan politik. Selanjutnya tentu saja timbul persaingan dalam media. Keadaannya semakin ketat karena mencakup kompetis. Ada tiga kelompok kompetisi, yaitu: kompetisi antar media cetak; kompetisi antar media elektronik radio dan (televisi); serta Kompetisi antara media cetak dan media elektronik. Kompetisi ini tidak hanya meliputi aspek isi, penyajian berita atau bentuk liputan lainnya, tetapi juga periklanan. Sehingga cara, gaya dan strategi kompetisi masing-masing media massa berpartisipasi sebagai respons terhadap tuntutan pasar. Pengiklanlah yang direspon, bukan pembaca, penonton, atau pendengar media. Oleh karena itu hampir semua isi media nampak seragam.

Sekarang, terbentuk kelompok media yang besar dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi, sehingga proses pembelian media sedang terjadi dimana-mana. Gejala ini mungkin hanya meningkatkan keuntungan bagi beberapa orang yang terlibat dalam industri

(3)

Isnawijayani; 41 - 49 43

media. Terjadilah konglomerasi. Bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest). Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi kepentingan publik. Konglomerat tentu bertujuan memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Dengan sendirinya hal ini berpengaruh pada isi media. Terjadi hegemonisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting) karena berbenturan dan menyesuaikan kepentingan akan keuntungan bisnis.

Dalam hal ini media massa berperan menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan untuk membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikirannya agar mengikuti apa yang dilakukan media. Media dengan kekusaannya memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak. Apa yang diberitakan dalam suratkabar, radio, televisi dan film dapat direkayasa, sesuai keinginan dan tujuan yang dikehendaki pemilik modal ditambah fakta-fakta pendukung. Hal ini terjadi juga pada media di wilayah Sumatera Selatan. Nampaknya terjadi, saya di Media berkuasa, maka saya dapat membuat opini publik..

Contoh lain film yang kita konsumsi kebanyakan dari dunia barat seperti Amerika, yang membangun masyarakat dunia bahwa Amerika hebat, superhero, polisi dunia, penyelamat dunia. Film-filmnya menggambarkan Amerika sebagai sosok “jagoan”. Kita menjadi percaya bahwa semua tindakan Amerika adalah untuk kepentingan seluruh bangsa di dunia. Hal lainnya dalam dunia fashion. Semua remaja putri, ibu-ibu, dan anak laki-lakipun mengikuti gaya busana yang terus menerus muncul di media, berganti hingga ada mode baru yang ditampilkan. Media selalu memunculkan remaja putri dengan rambut lurus berponi, kaus ketat, jeans boot cut, dan sepatu hak tinggi. Karenanya ramai-ramai rambut di re-bounding, termasuk ibu-ibu yang bekerudungpun mengikuti gaya ini. Kalau rambut mengembang datang ke kampus, rasanya kurang percaya diri. Konsep cantik dan gantengpun diberikan oleh media. Tampan adalah seperti dalam film Meteor Garden dan cantik adalah berkulit putih, berambut panjang dan kebule-bulean.

Media yang paling mudah di akses adalah televisi. Menurut Rachmiatie (2009:68) budaya yang diperkenalkan dan terus menerus disosialisasikan televisi bercorak pop atau urban, padahal kita tahu masyarakat Indonesia sangat majemuk. Dalam sinetron remaja, televisikah? yang mengajarkan orang tua untuk memberi izin anaknya yang masih duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Televisikah? yang mengajarkan anak-anak usia sekolah saat ini boleh keluar malam dan pulang pagi? Tentu kita masih ingat kasus Smack Down yang mengajarkan kekerasan. Meski hanya hiburan, anak-anak tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang permainan, terjadi peniruan tingkahlaku (Isnawijayani: 2007). Semuanya menjadi wajar. Tidak heran jika nampak di kota-kota besar, kriminalitas dilakukan remaja, keseragaman dalam cara bergaul, cara berpakaian, dan gaya hidup yang berlebih di kalangan remaja, bahkan anak-anakpun mengikuti bergaya dewasa.

Secara langsung teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat). Setiap saat kita semua menyaksikan realitas baru itu.. Media massa dalam kehidupan manusia di abad 21, ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita (Slamet Mulyana: 2009). Media massa tidak objektif lagi, pandangan teori hegemoni; peran media massa bukan lagi sebagai pengawas (watchdog), pemerintah, tetapi malah mendukung kehidupan kapitalis. Hal ini terjadi di negara Barat, bahkan Indonesia? Lihat saja berita-berita di suratkabar, televisi, radio, media online ramai memberitakan konflik

(4)

Isnawijayani; 41 - 49 44

yang menakutkan, kekerasan, pelecehan seksual, kawin cerai, perselingkuhan, hal ini menjadikan masyarakat kita takut? Atau justru merasa senang?

Melihat keadaan di atas, bagi yang telah mengenal seluk beluk media tentu menjadi frustasi, karena harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media massa tidak sesuai harapan. Tapi bagi khalayak yang awam, maka menjadi sebuah kepercayaan yang menganggap hal itu benar-benar adanya.

Di sisi lain, Katherine Miller (2005:258) mengatakan bahwa media massa memberikan kepuasan bagi khalayaknya, sesuai dengan katagori dan kebutuhan masing-masing. Ada empat kategori gratifikasi khalayak, yaitu:

1. Informasi, dengan indikator: menemukan kejadian dan kondisi yang relevan, mencari nasehat dalam praktek sehari-hari atau opini dan pilihan keputusan, memuaskan, belajar melalui pendidikan mandiri dengan pengetahuan mendapatkan rasa aman;

2. Identitas Pribadi, dengan indikator: menemukan penguatan nilai pribadi, menemukan model perilaku, mengindentifikasi dengan nilai lain, memahami diri lebih dekat;

3. Integrasi dan Interaksi Sosial, dengan indikator: memahami keadaan orang lain (empati sosial), mengenali orang lain dan merasa memiliki, menemukan basis untuk bercakap-cakap dan berinteraksi sosial, menemukan pengganti untuk pertemanan real life, membantu mengemban peran sosial, dan membuat seseorang mampu berhubungan dengan keluarga, teman, dan masyarakat, dan;

4. Hiburan, dengan indikator: melarikan diri dari masalah, bersantai, memperoleh nilai budaya dan keindahan, mengisi waktu, melepas emosi, daya tarik seksual.

Uraian di atas sejalan dengan pandangan normatif, bahwa media massa (terutama radio dan tv) harus berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, fungsi ekonomi, dan kebudayaan (Pasal 4 UU32/2002). Pada dasarnya untuk mencerdaskan bangsa, membentuk watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa serta diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Tetapi fakta yang terjadi justru sebliknya, Lalu apa yang harus kita lakukan dari perguruan tinggi? Salah satunya adalah ikut memberikan media literacy kepada masyarakat atau khalayak.

Media Literacy

Media Literacy atau melek media (Rachmiatie, 2009:64) adalah suatu istilah yang digunakan sebagai jawaban atas maraknya pandangan masyarakat tentang pengaruh dan dampak yang timbul akibat isi (content) media massa yang cenderung negatif dan tidak diharapkan. Khalayak perlu diberi kemampuan, pengetahuan, kesadaran, dan ketrampilan secara khusus.

Literasi media diberi pengertian (Chang, Sup, 2001: 424) yaitu; a) Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan (National Leadership Conference on Media Literacy, 1992); b) Pengetahuan tentang bagaimana fungsi media bagi masyarakat (Paul Messaris, 1990); c) Pemahaman kebudayaan, ekonomi, politik, dan keterbatasan teknologi dalam suatu kreasi, produksi, dan transmisi pesan; d) Pengetahuan khusus, kesadaran, dan rasionalitas sebagai proses kognitif dalam memperoleh informasi, dan; e) Fokus utama mengevaluasi secara kritis tentang pesan dan cara mengkomunikasikannya. Kemudian memahami sumber dan teknologi komunikasi, simbol yang digunakan, pesan yang diproduksi, diseleksi, diinterpretasi, dan akibat yang ditimbulkan.

Bagaimana seseorang dikatakan melek media, indikatornya adalah; a) Mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkatogori/mengklasifikasi) media, mana yang bermanfaat dan

(5)

Isnawijayani; 41 - 49 45

mana yang mudarat; b) Memahami bahwa media, terutama televisi merupakan lembaga yang sarat dengan kepentingan publik, ekonomi, dan sosial budaya; c) Memahami bahwa radio dan televisi bukan menampilkan realitas dan kebenaran satu-satunya , namun dapat merupakan rekayasa dari pelaku-pelakunya; d) Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi; e) Menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak mempunyai hak dan kewajiban atas isi siaran radio dan televisi; f) Menyadari dampak media dan mengidentifikasi hal-hal yang harus dilakukan ketika menggunakan media; g) Selektif, pandai memilih dan media yang akan digunakan, dan; h) Hanya menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan tertentu.

Membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap orang-orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media. Secara sederhana, media literacy pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya berkenaan dengan keberadaan media massa, di samping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak lain yang kurang baik. Beberapa dampak tersebut antara lain; a) Mengurangi tingkat privasi individu; b) Meningkatkan potensi kriminal; c) Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya; d) Internet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial, serta; e) Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000).

Tujuan dasar media literacy ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.

Di sisi lain dari Bandung School of Communication Studies (2008), Media literacy, yang diterjemahkan menjadi „melek media‟, adalah kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media. Media literacy adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh siapa saja, sehubungan dengan banyaknya media massa yang ada di tengah-tengah kita. Menjadi penting karena fakta bicara, tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak di antaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Media literacy bermaksud membekali khalayak dengan kemampuan untuk memilah dan menilai isi media massa secara kritis, sehingga khalayak diharapkan hanya memanfaatkan isi media sesuai dengan kepentingannya.

Perguruan Tinggi dan Media Literacy

Fokus dunia pendidikan nasional adalah membangun sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu pendidikan menjadi satu-satunya tumpuan harapan bagi bangsa dan negara untuk bertahan ditengah persaingan global yang semakin dahsyat. Dalam kaitan pembentukan manusia modern itulah kita melihat betapa pentingnya peranan perguruan tinggi sebagai jenjang tertinggi dalam sistem pendidikan formal di negara kita yang hendaknya dapat menghasilkan tenaga-tenaga ahli dan dapat pula mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai lembaga yang melaksanakan pendidikan tinggi bagi masyarakat.

Penyelenggaraan tridarma perguruan tinggi didasarkan kepada semangat pelaksanaan otonomi perguruan tinggi, yakni otonomi keilmuan yang melekat pada dosen dan otonomi pengelolaan keuangan yang melekat pada pengelola perguruan tinggi. Melihat kenyataan yang ada dari perkembangan teknologi, terutama penggunaan media yang diakses oleh dosen,

(6)

Isnawijayani; 41 - 49 46

mahasiswa, pengelola, dan masyarakat luas, maka media literacy dapat dimasukkan dalam kurikulum pengajaran atau menjadi ceramah umum dosen dalam kuliah umum awal kuliah atau penerimaan mahasiswa baru. Dan setiap kali dosen memberikan kuliah, dapat disisipkan bagaimana menyikapi semua media komunikasi yang digunakan. Terutama dari media apapun, dapat diakses melalui handphone yang selalu ada digenggaman tangan.

Dalam hal penelitian, lembaga perguruan tinggi dapat mengkaji isi media, manajemen media, SDM media sehingga menghasilkan produk yang dapat merugikan perkembangan anak dan remaja. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi perusahaan media, masyarakat luas dalam memandang content media.

Sementara untuk pengabdian kepada masyarakat media literacy, dapat menjadi ceramah bagi penambahan pengetahuan masyarakat tentang media. Sehingga masyarakat tidak menelan mentah-mentah informasi yang diterima. Oleh karena itu, setiap anggota civitas akademika baik secara perseorangan maupun bersama-sama memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengemban dan melaksanakan otonominya itu, khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Media literacy dapat dijadikan bahan ceramah bagi mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan bagi dosen yang melakukan pengabdian kepada masyarakat. Karena bagi negara-negara maju dan berkembang media literacy telah masuk kurikulum SD hingga perguruan tinggi. Di Indonesia sudah mulai diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan ada program tentang media literacy di Dirjen Pendidikan Tinggi, tetapi nampaknya belum berkembang.

Sementara itu, sesuai dengan Deklarasi UNESCO mengenai pendidikan media (Dokumen Grundwald)/UNESCO Declaration of Media Education (2006) diperoleh beberapa konsep penting mengenai pendidikan media. Konsep tersebut adalah: Pertama; memulai dan mendorong program-program pendidikan media secara komprehensif, mulai dari tingkat pra-sekolah sampai universitas, dan pendidikan orang dewasa – yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan mendorong perkembangan kesadaran kritis, dan konsekuensinya, melahirkan kompetensi yang lebih besar di kalangan pengguna media cetak dan elektronik. Idealnya, program seperti ini mencakup analisa produk media, penggunaan media sebagai sarana ekspresi kreatif, serta memanfaatkan secara efektif dan berpartisipasi dalam saluran media.

Kedua; mengembangkan pelatihan untuk para guru dan tokoh masyarakat (intermediaries) untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap media, dan melatih mereka dengan metode pengajaran yang tepat, yang memperhitungkan penguasaan yang sudah dimiliki namun masih bersifat fragmentaris terhadap media yang dimiliki banyak siswa. Ketiga, mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan manfaat pendidikan media, dalam bidang-bidang seperti psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi; serta yang lainnya. Keempat, mendukung dan memperkuat tindakan-tindakan yang dilakukan dan mencerminkan pandangan UNESCO serta bertujuan untuk mendorong kerjasama internasional dalam pendidikan media. Semua ini dapat dilakukan oleh perguruan tinggi, dengan demikian terdapat peranan perguruan tinggi dalam media literacy bagi masyarakat.

Media literacy yang paling mudah diberikan adalah memberikan pengetahuan bagaimana Menonton Sehat Televisi, materi yang diberikan adalah :

1. Televisi bukan saja sarana media tetapi juga dapat berfungsi sebagai sarana sosial, budaya, ekonomi dan politik;

(7)

Isnawijayani; 41 - 49 47

2. Televisi dalam kondisi tertentu memiliki kekuatan pengaruh lebih besar terhadap khalayaknya dibandingkan dengan media massa lainnya, radio, suratkabar, majalah, dan film;

3. Dunia televisi di Indonesia telah berkembang menjadi industri yang menjual isi program sebagai komoditas;

4. Televisi dapat mempunyai pengaruh yang kuat (powerfull) terhadap khalayaknya;

5. Pengaruh televisi tidak hanya di tatanan kognitif (kesadaran dan pengetahuan), tetapi juga sampai ketataran afektif (sikap) dan konatif (perilaku);

6. Televisi sangat persuasif memasuki ruang kehidupan setiap orang tanpa diundang;

7. Televisi ibarat orang asing yang masuk ke rumah kita tanpa diundang dan mengajarkan hal yang baik dan buruk untuk anak-anak kita;

8. Televisi memiliki kemampuan membentuk opini, citra, imajinasi, ekspetasi, dan memberikan pembelajaran banyak hal. Pengaruhnya dapat positif dan negatif;

9. Sisi baik televisi: mendapatkan informasi (pencarian, pengawasan, kepastian), pengembangan diri, fasilitas dalam hubungan sosial, sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan, bagian dari kehidupan rutin, dan mendapatkan hiburan membantu melegakan emosi, dan;

10. Sisi buruk televisi: distorsi informasi, dramatisasi realitas atau fakta palsu, melanggar atau merampas privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran khalayak, pembelajaran hal-hal yang tidak benar atau pantas, dan bersifat a-sosial.

Menonton televisi diibaratkan dengan mengkonsumsi makanan yang kebanyakan tidak mengandung nilai gizi, kurang ada manfaatnya, makan terlalu banyak, tidak baik untuk kesehatan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk membatasi tayangan televisi = DIET TV yang artinya: kapan harus menonton, berapa lama, dan jenis tontonan. Oleh karena itu DIET TV sama dengan DIET BADAN agar tidak menjadi gemuk, harus teratur, disiplin, dan mengikuti petunjuk dokter. Kita adalah dokternya. Dampingi anak dalam menonton tv.

Penutup

Kegiatan perguruan tinggi dalam proses pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat ditambahkan media literacy baik internal maupun eksternal. „Melek media‟, kemampuan untuk memilah, mengakses, dan menganalisis isi media harus dimiliki oleh siapa saja, karena banyaknya media di sekeliling kita. Dan tidak semua isi media massa bermanfaat bagi khalayak. Banyak diantaranya yang tidak mendidik dan hanya mengedepankan kepentingan pemilik/pengelola media untuk mendapatkan keuntungan.

Secara bertahap harus segera diikutsertakan dalam kurikulum, kegiatan, ataupun tambahan pengetahuan bagi seluruh civitas akademika yang dapat diberikan pada keluarga dan masyarakat. Akhirnya secara tidak langsung mempromosikan Unbara bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bucy, Erik P. 2005. “Living in The Information Age, A New Media Reader Chang Sup, Choi 2001”. A Strategy for Introducing Media Education IntoTthe Korean Setting, Korean Journal of Journalism & Communication Studies, Special English Edition.

(8)

Isnawijayani; 41 - 49 48

Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2008. “Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Implikasi Sosial dan Akademis”. Makalah Disampaikan dalam Semiloka ISKI, Bandung

Isnawijayani. 2008. Pengaruh Nonton Televisi. Artikel dalam Media Informasi DAMAS, Edisi 12 Juni 2008. Palembang: TP PKK Sumsel

Miller, Katherine. 2005. Communication Theories, Perspectives, Processes, and Contexts, Mcgraw-Hill International Edition

McLuhan, Marshal. 1999. Understanding Media, The Extension Of Man. London: The MIT Press.

Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Slamet. 2009. Perkembangan Media Massa dan Media Literasi di Indonesia

Rachmitie, Atie. 2009. Sistem dan Kebijakan Komunikasi Penyiaran di Indonesia. Bandung: KPID Jawa Barat

Tirani, Edwin, dkk. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006. Jakarta: Forum Wartawan Peduli Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Melalui iklan-iklannya, produsen pembalut mempersuasi perempuan untuk menggunakan produknya dengan cara mengontruksi menstruasi sebagai lawan dari tubuh yang bersih dan

Deskripsi Matakuliah : Matatakuliah ini mengkaji : pendekatan dan sistematika filsafat, filsafat pendidikan, kebudayaan sebagai isi pendidikan, teori-teori kebenaran, teori

Akibat dari pertambahan jumlah penduduk di Kota Malang maka PDAM Kota Malang sebagai Perusahaan Daerah yang bergerak dan berusaha memberikan pelayanan air bersih

Metode Model Pembelajaran Interaktif Alat Pelajaran Waktu Jenis Penilaian Hasil Belajar Siswa. Menyebutkan ikon-ikon program

Sedangkan rata-rata jumlah folikel antral normal terendah terdapat pada kelompok kontrol yang diperiksa pada hari ke-20, namun tidak berbeda signifikan dengan kelompok

Buku ini disusun untuk memberi gambaran awal hasil ST2013 mengenai jumlah rumah tangga usaha pertanian, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum, dan jumlah perusahaan

Temuan ini mendukung penelitian Schleifer & Vishny (1997) yang dikatakan bahwa blockholders me- miliki investasi yang baik dalam bentuk hutang dan saham yang besar