IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PREPARASI
1. Pembuatan Bak Kultivasi Raceway
Bak kultivasi untuk kultur mixed microalgae didesain berbahan fibreglass dengan dimensi (100 x 60 x 40) cm3 = 240 000 cm3 = 240 L sebanyak 3 unit, yang dilengkapi dengan sekat dibagian tengah untuk alat bantu sirkulasi (lihat Gambar 6).
Gambar 6. (a) Bak dan (b) Wahana Kultivasi Aktual
Pompa Submerged Kran Kontrol Sekat Sirkulasi (a) (b)
32 Sirkulasi media kultur secara kontinu dilakukan secara sederhana oleh dua buah pompa submerged yang dipasang secara berlawanan arah sehingga aliran media berputar mengelilingi sekat di tengah bak. Sirkulasi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pengendapan mikroalga, self shiding, stratifikasi suhu, serta homogenasi media (Kabinawa, 2008). Selain itu, bak juga dilengkapi dengan dua buah kran pada bagian atas dan bawah serta diletakkan pada posisi yang berlawanan arah.
2. Karakterisasi Limbah Cair Agroindustri (COD, Nutrien, dan pH)
Sebelum limbah dipakai sebagai nutrien, terlebih dahulu dilakukan karakterisasi limbah dari segi COD, nutrien (N, P, K), serta pH (lihat Tabel 9).
Tabel 9. Hasil Karakterisasi Ketiga Jenis Limbah Cair Agroindustri Jenis Sampel Limbah Cair COD (mg/L) TKN (mg/L) Ortofosfat (mg/L) Kaliuma (mg/L) pH Limbah RPH (L1) 3 693 350 14.8 113.45 7.13 Limbah Ternak (L2) 32 000 1 490 8.0 304.70 8.83 Limbah Gula (L3) 3 200 0b 0.6 107.70 6.03 a
nilai bukan rataan b nilai sangat kecil sekali
Limbah RPH (L1) mengandung senyawa-senyawa organik biodegradable dalam jumlah besar, dan juga bahan-bahan tersuspensi atau koloid seperti lemak, protein, dan selulosa. Kandungan senyawa organik L1 cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari limbah domestik sehingga sangat berbahaya jika dilepaskan begitu saja ke lingkungan (Caixeta et al., 2002). Kandungan senyawa organik yang cukup tinggi dalam L1 ini dapat dilihat dari nilai COD yakni 3 693 mg/L. Selain senyawa organik, L1 juga mengandung senyawa anorganik yang tinggi. Nilai pH L1 cenderung netral yakni 7.13, termasuk pH yang sesuai bagi pertumbuhan mikroalga.
Sebelum dipakai sebagai nutrien, L1 disaring dahulu dengan saringan 35 mesh untuk memisahkan padatan kasar seperti sisa-sisa kotoran sapi berupa rumput
33 halus. Setelah disaring, komposisi utama L1 terdiri dari cairan darah encer, lemak dan padatan tersuspensi (Yahaya dan Lawal, 2008). Komposisi ini berkontribusi terhadap kandungan nutrien limbah RPH yang cukup berimbang (lihat Tabel 9) yakni total kjeldahl nitrogen (TKN) 350 mg/L, ortofosfat 14.8 mg/L, dan kalium 113.45 mg/L. Ketersediaan nutrien menyebabkan bakteri patogen seperti salmonella dan shigella, telur parasit, serta spora/kista anaerobik juga terdapat dalam limbah.
Limbah cair peternakan (L2) memiliki komposisi berupa urine, air pencucian/mandi hewan (Soehadji, 1992), serta sejumlah padatan yang berasal dari feses hewan. Adanya urine pada L2 mengakibatkan tingginya konsentrasi amonia (Kim et al., 2009). Hal ini menjadi sebab tingginya kadar TKN (1 490 mg/L) pada L2. Nitrogen berlebih akibat amonia pada L2 tidak diperkenankan, karena ion amonium adalah racun bagi kebanyakan organisme akuatik (Kim et al., 2009). Nilai COD pada karakterisasi L2 (32 000 mg/L) lebih tinggi dari nilai COD pada L1 dan L3. Hal ini disebabkan terutama oleh ion amonium yang mengkonsumsi oksigen sehingga mengurangi oksigen terlarut. Konsentrasi kalium cukup tinggi (304.70 mg/L) dapat bersumber dari feses hewan yang terikut dalam limbah. Kadar ortofosfat L2 (8.0 mg/L) lebih rendah dari L1, diduga pertumbuhan mikroalga lebih lambat pada L2 mengingat peran PO43- dalam transfer energi dan sintesis asam nukleat. Nilai pH 8.83 pada L2 masih termasuk pH yang sesuai bagi pertumbuhan mikroalga.
Limbah cair pabrik gula (L3) berasal dari hampir seluruh tahap produksi gula dari bahan baku tanaman tebu. Limbah cair hasil pencucian tebu ini mengandung konsentrasi TSS cukup tinggi serta konsentrasi gula cukup signifikan akibat kerusakan tebu saat pemanenan mekanis. Nilai COD L3 cukup tinggi (3 200 mg/L) akibat mengandung senyawa organik terutama gula. Menurut Akbar dan Khwaja (2006), pembuangan L3 dengan COD tinggi ke badan air dapat menciptakan kondisi septik, bau menyengat, serta penyerapan zat besi serta garam-garam terlarut lainnya yang mengakibatkan warna badan air berubah menjadi kehitaman dan sangat beracun bagi organisme perairan. Konsentrasi TKN (0 mg/L) dan ortofosfat (0.6 mg/L) pada L3 sangat kecil, diduga pertumbuhan mikroalga saat kultivasi akan terhambat atau bahkan tidak terjadi. Adanya senyawa anorganik dibuktikan oleh konsentrasi kalium L3 yang cukup signifikan (107.70 mg/L). Nilai pH L3 yakni 6.03 tidak termasuk pH pertumbuhan mikroalga, namun diduga mikroalga mampu bertahan.
34 3. Karakterisasi Konsorsium Mikroalga
Sampel konsorsium mikroalga dalam sistem kultur ini berasal dari Danau LSI IPB, diduga memiliki banyak kandungan mikroalga dengan parameter fisik badan air yang berwarna hijau tua (lihat Gambar 7). Selain itu mikroalga Danau LSI diyakini telah beradaptasi dengan cuaca dan iklim di daerah Bogor.
Gambar 7. Danau LSI IPB
a. Kerapatan sel
Umumnya sel mikroalga mengandung pati yang digunakan sebagai cadangan makanan dalam tubuhnya (Carr, 1966). Oleh karena kandungan pati tersebut, larutan lugol lazim dipakai sebagai bahan pewarnaan mikroalga untuk memudahkan perhitungan. Warna kehitaman akan timbul akibat reaksi larutan lugol terhadap pati yang terdapat pada mikroalga tersebut. Selain sebagai agen pewarna, larutan lugol juga berfungsi sebagai preservatif terhadap sampel mikroalga. Preservasi dilakukan apabila terdapat waktu tunda sebelum analisis dan untuk memudahkan perhitungan terhadap mikroalga motil. Penggunaan Lugol secara berlebihan dapat menyebabkan beberapa jenis mikroalga (terutama flagellata) mengalami overstain, kehilangan flagel, dan bahkan hancur (Sournia, 1978).
Perhitungan kerapatan sel pada penelitian ini dilakukan terhadap sel yang berwarna kehitaman akibat pewarnaan dengan menggunakan larutan lugol (lihat Gambar 8). Jumlah sel konsorsium mikroalga danau LSI IPB yang terhitung pada
35 haemacytometer tanggal 23 Juni 2009 yakni sebanyak 81 sel. Kerapatan selnya yakni (81/9) x 25 x 10 000 = 2 250 000 sel/ml. Hasil perhitungan kerapatan sel ini memiliki kekurangan yakni kemungkinan sel – sel mikroorganisme lain yang memiliki kandungan pati juga terhitung. Kerapatan sel konsorsium mikroalga selama penelitian diasumsikan tidak jauh berbeda dari karakterisasi ini. Pertimbangan utama yakni daya adaptasi tinggi dari konsorsium mikroalga kultur alami terhadap perubahan faktor pembatas pertumbuhan.
b. Prevalensi dan Dominansi Jenis Mikroalga
Pada penelitian ini konsorsium mikroalga didefinisikan sebagai campuran berbagai jenis mikroalga yang secara alamiah hidup bersama-sama dengan berbagai jenis mikroorganisme lain. Melalui metode pencacahan dengan Sedgwick Rafter Counting, pengaruh mikroorganisme lain dalam perhitungan sel mikroalga dapat diminimalkan.
Perlu diperhatikan bahwa komunitas jenis mikroalga serta jumlah individu per komunitas pada konsorsium dapat berbeda dari waktu ke waktu. Namun diasumsikan bahwa selama kurun waktu penelitian kelimpahan total konsorsium mikroalga tidak banyak berubah. Hal ini diakibatkan tingginya ketahanan konsorsium mikroalga alamiah yang telah beradaptasi (terbiasa) dengan perubahan faktor penghambat pertumbuhan yang terdapat pada lingkungan hidupnya. Bahkan konsorsium mikroalga mampu secara konstan bertahan hingga enam tahun meskipun terjadi perubahan laju dilusi maupun perubahan musim (Benemann et al., 1987).
(a) (b)
36 Pada Tabel 10 diatas, terlihat bahwa mikroalga jenis Selenastrum sp. merupakan jenis mikroalga paling banyak dalam konsorsium. Hal ini karena Selenastrum bersifat relatif lebih tahan terhadap toksisitas lingkungan hidupnya. Selenastrum merupakan salah satu jenis alga hijau (Chlorophyceae) non-motil, bersel tunggal, berbentuk bulan sabit, ukuran 40 – 60 µm3, serta dapat dengan mudah ditemukan di ekosistem air tawar (NIWA, 1998). Meskipun pada tabel tersebut,
Organisme Kelimpahan (ind/L) CYANOPHYCEAE: Microcystis sp. EUGLENOPHYCEAE: Euglena sp. Trachelomonas sp. CHLOROPHYCEAE: Ankistrodesmus sp. Dictyosphaerium sp. Gloeocystis sp. Westella sp. Gloeotilla sp. Kirchneriella sp. Selenastrum sp. XANTHOPHYCEAE: Centritractus sp. CRYPTOPHYCEAE: Cryptomonas sp. DINOPHYCEAE: Glenodinium sp. 4 444 356 178 8 800 5 600 266 4 622 3 733 2 311 18 400 89 711 178 Jumlah Taksa
Kelimpahan Total (ind/L) Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi 13 49 688 1.87 0.73 0.206 Tabel 10. Hasil Analisis Prevalensi dan Dominansi
37 jumlah taksa yang terhitung hanya 13 komunitas jenis mikroalga, namun pada konsorsium jumlah tersebut tidak mutlak. Kemungkinan besar terdapat komunitas jenis mikroalga lain yang tidak terhitung, karena jumlahnya sangat kecil pada sampel yang digunakan dalam perhitungan.
Hasil perhitungan indeks keragaman pada konsorsium mikroalga (Tabel 10) danau LSI IPB sebesar 1.87. Sehingga dapat diketahui bahwa komunitas masing-masing jenis mikroalga dalam konsorsium pada level kestabilan sedang. Dengan kata lain, terdapat beberapa komunitas dengan jumlah individu lebih besar dari pada lainnya, namun belum cukup mendominasi secara keseluruhan pada konsorsium. Indeks keseragaman pada konsorsium danau LSI IPB berada pada nilai 0.73. Indeks ini mendekati nilai 1, sehingga dapat diartikan bahwa jumlah individu masing-masing spesies yang berhasil dihitung pada konsorsium relatif sama. Indeks dominansi konsorsium mikroalga pada penelitian ini yakni sebesar 0.206. Indeks ini mendekati nilai 0, sehingga dapat diartikan bahwa tidak terdapat spesies mikroalga yang mendominasi spesies mikroalga lainnya. Artinya walaupun Selenastrum dari segi jumlah paling banyak, namun jumlah tersebut tidak mendominasi pada konsorsium.
4. Pembuatan Kultur Percobaan
Kultur percobaan dengan memakai ketiga limbah (lihat Gambar 9), dilakukan untuk mengetahui kebutuhan waktu pertumbuhan konsorsium mikroalga melalui observasi kurva pertumbuhan. Hal ini penting karena tingkat pertumbuhan konsorsium alamiah mikroalga akan berbeda pada lingkungan yang berbeda.
Gambar 9. Kultur Percobaan L1, L2, dan L3
L3
L1 L2
38 Kultivasi pada L1 dan L2 memperlihatkan bahwa konsorsium mikroalga telah melewati seluruh fase pertumbuhan hingga fase kematian, meskipun terdapat perbedaan waktu inisiasi pada setiap fase. Sedangkan kultivasi pada L3 memperlihatkan kecenderungan tidak terjadinya pertumbuhan.
Gambar 10. Kerapatan Sel pada Kultur Percobaan L1, L2, dan L3
Menurut data kerapatan sel (lihat Gambar 10), fase kematian kultur L2 dan L3 terjadi setelah hari ke – 12, sedangkan menurut data konsentrasi sel (lihat Gambar 11), fase kematian kedua jenis kultur terjadi setelah hari ke – 8. Perbedaan yang mencolok pada hasil analisis kerapatan dan konsentrasi sel pada kultur L2 disebabkan oleh tingginya faktor kontaminasi (baik bakteri maupun material asing yang biasa terdapat pada feses hewan) yang mempengaruhi perhitungan.
Berbeda pada L1 dan L2, kerapatan sel kultur L3 cenderung tidak menunjukkan adanya pertumbuhan konsorsium (konstan). Hal ini dapat diakibatkan oleh kadar nutrien utama yakni nitrogen dan ortofosfat pada L3 jauh lebih kecil dari L1 dan L2. Namun pada data konsentrasi sel, kultur L3 terlihat mengalami pertumbuhan meskipun lebih singkat dari kultur lainnya. Dugaan awal yakni pertumbuhan tersebut bukan milik konsorsium mikroalga melainkan sel mikroorganisme kontaminan yang menyukai kandungan gula cukup tinggi pada L3.
4 10 4 6 18 16 1 1 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0 5 10 15 20 K er a p a ta n S el ( se l/ m l) J u ta Waktu (Hari) L1 L2 L3
39 Gambar 11. Konsentrasi Sel pada Kultur Percobaan L1, L2, dan L3
Berdasarkan kurva pertumbuhan konsorsium mikroalga yang diperlihatkan oleh kedua analisis, waktu yang dibutuhkan untuk kultivasi konsorsium mikroalga pada ketiga jenis limbah hingga memasuki fase kematian yakni sekitar 15 - 16 hari. Kebutuhan waktu tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa pertumbuhan konsorsium mikroalga telah mencapai fase kematian. Namun dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga seperti tinggi rendahnya kontaminan yang lazim terdapat pada limbah, waktu kultivasi dapat lebih panjang akibat masa adaptasi lebih lama. Perlu diingat bahwa penelitian ini dilakukan dengan pendekatan lapangan, sehingga data hasil penelitian yang didapatkan bersifat fluktuatif namun memiliki kecenderungan tertentu.
0.07 0.22 0.40 0.38 0.14 0.14 0.66 0.58 0.77 0.72 0.41 0.30 0.01 0.40 0.01 -0.10 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 0 5 10 15 K o n se n tr a si S el ( g r a m /L it er ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
40 B. KULTIVASI
1. Kultivasi Media Limbah dengan Sirkulasi
Kultivasi media limbah (L1/L2/L3) dengan sirkulasi, volume total kultur per bak (media + inokulum konsorsium mikroalga) diatur dengan dimensi panjang x lebar x tinggi yakni 100 x 60 x 30 cm3 = 180 000 cm3 = 180 Liter. Konsentrasi media limbah ditentukan cukup tinggi yakni 75% dari volume total yakni sekitar 135 Liter. Penentuan ini berdasarkan pada hasil penelitian Mulyadi (1999) yang menjelaskan bahwa daya serap mikroalga (dalam hal ini Dunaliella tertiolecta) terhadap nutrien semakin tinggi pada konsentrasi limbah yang semakin tinggi (dalam hal ini limbah domestik). Media dibuat pada ketiga unit bak kultivasi, dimana setiap bak digunakan untuk satu jenis limbah sebagai nutrien. Inokulasi konsorsium mikroalga dilakukan dengan konsentrasi 25% dari volume total yakni sekitar 45 Liter. Selain itu, pada kultivasi dengan sirkulasi ini digunakan juga pompa submerged sebagai alat bantu sirkulasi mengelilingi sekat yang ada di tengah bak kultivasi.
a. Pertumbuhan Konsorsium Mikroalga pada Kultur Sirkulasi
Secara umum terlihat bahwa pertumbuhan sel konsorsium mikroalga yang diharapkan terdapat pada kultur media L1 (Gambar 12). Hal ini berdasarkan relatif jelasnya fase-fase yang harus dilalui pada pertumbuhan konsorsium mikroalga, meskipun waktu pertumbuhan fase lengkap lebih lama dari kultur percobaan yakni sekitar 25 – 30 hari. Pada kultur media L1, terlihat bahwa fase lag terjadi pada selang hari ke – 0 sampai hari ke – 2. Fase eksponensial dan fase penurunan laju pertumbuhan terjadi pada selang hari ke – 2 sampai hari ke – 5. Sedangkan fase stasioner terjadi pada selang hari ke – 5 sampai hari hari ke – 18. Rata-rata kerapatan sel pada fase stasioner kultur media L1 yakni 77 000 000 sel/ml. Setelah hari ke – 18, konsorsium mikroalga pada kultur media L1 telah memasuki fase kematian. Hal ini terlihat dari terus berkurangnya kerapatan sel konsorsium mikroalga pada kultur tersebut.
41 Gambar 12. Kerapatan Sel pada Kultur Sirkulasi
Pertumbuhan konsorsium mikroalga yang cukup baik pada media L1 didukung oleh keseimbangan kandungan nutrien didalamnya. Kandungan nutrien pada L1 tersebut seperti nitrogen dalam berbagai bentuk serta fosfat, secara konsekuen berkontribusi terhadap terjadinya eutrofikasi bila dibuang ke badan air (Kim et al., 2009). Selain itu faktor pendukung baiknya pertumbuhan konsorsium pada media L1 adalah kesegaran sampel L1. Sampel limbah rumah pemotongan hewan (L1) diambil tepat setelah proses penyembelihan sapi, sehingga kontaminasi oleh bakteri atau mikroorganisme lainnya cenderung rendah.
Berbeda dari kultur media L1, pertumbuhan pada kultur media L2 belum memperlihatkan fase – fase lengkap pertumbuhan. Mengenai hal ini Przytocka-Jusiak (1976) menerangkan bahwa tingginya kadar amonia yang terdapat secara alamiah pada limbah hasil kegiatan peternakan dapat menghambat pertumbuhan serta aktivitas fisik mikroalga. Meskipun begitu konsentrasi amonia yang efektif menyebabkan toksisitas sangat bervariasi tergantung spesies mikroalga dan kondisi kultur. Selain itu pada hari-hari tertentu di awal kultivasi, terdapat lapisan lendir yang menutupi bagian atas kultur media L2. Hal ini mengganggu distribusi cahaya ke dalam kultur sehingga pertumbuhan terhambat. Pada Gambar 11, terlihat bahwa rata-rata kerapatan sel L2 jauh lebih tinggi dari kedua kultur lainnya (L1 dan L3). Hal ini terjadi karena adanya kendala teknis perhitungan kerapatan sel konsorsium mikroalga pada kultur media L2, yakni besarnya kemungkinan mikroorganisme atau
69 50 84 78 42 50 146 180 153 200 180 27 27 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 5 10 15 20 25 30 35 K er a p a ta n S el ( se l/ m l) J u ta Waktu (Hari) L1 L2 L3
42 material asing dengan kandungan pati ikut terwarnai dengan Lugol sehingga kemungkinan besar ikut terhitung. Hal ini mengingat bahwa L2 merupakan limbah cair peternakan dengan kandungan feses sapi yang mengandung pati gagal cerna serta berbagai jenis bakteri didalamnya yang juga mengandung pati.
Berdasarkan grafik hasil perhitungan kerapatan sel (Gambar 11), terlihat stagnansi pertumbuhan konsorsium mikroalga pada kultur media L3. Hal ini terjadi karena konsorsium mikroalga kekurangan unsur nitrogen dan ortofosfat, sedangkan kadar keduanya dalam L3 sangat kecil sekali. Kurangnya unsur nitrogen bagi mikroalga berpengaruh terhadap kemampuan mensintesis protein, asam-asam lemak tak jenuh, dan juga pembentukan klorofil. Sedangkan kekurangan ortofosfat mempengaruhi kemampuan mikroalga dalam hal transfer energi dan sintesis asam nukleat, serta berpengaruh terhadap morfologi sel.
b. Perubahan Konsentrasi Nutrien dan pH pada Kultur Sirkulasi
• Konsentrasi Nitrogen
Unsur nitrogen disebut sebagai nutrien atau biostimulan karena memiliki peranan penting untuk pertumbuhan protista dan tumbuhan. Pada mikroalga, sumber N sangat dibutuhkan sebagai makronutrisi yang berperan terutama untuk sintesis protein, sintesis klorofil, sintesis asam nukleat (DNA dan RNA), dan juga sintesis berbagai asam lemak tak jenuh. Konsentrasi nitrogen dalam media juga sangat menentukan komposisi sel mikroalga yang dihasilkan. Di sisi lain bila unsur nitrogen yang terdapat pada limbah memiliki jumlah berlebihan, hal ini akan mengakibatkan kerugian pada badan air penerima akibat timbulnya pertumbuhan mikroalga yang tidak terkendali.
Kadar nitrogen yang terukur pada analisis Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) terdiri dari NH3-N (nitrogen amonia) dan juga nitrogen organik yang umumnya terdapat pada berbagai jenis protein. Pada Gambar 13 terlihat bahwa kadar nitrogen pada kultur media L1 dan L2 cenderung menurun hingga level sangat rendah seiring dengan semakin lamanya waktu kultivasi. Pada kultur media L1, terjadi penurunan dari konsentrasi TKN 300 mg/L menjadi 50 mg/L atau menurun 83.33%. Sedangkan pada L2, terjadi penurunan dari konsentrasi TKN 390 mg/L menjadi 40 mg/L atau
43 menurun 89.74%. Hal ini menunjukkan bahwa konsorsium alamiah mikroalga cukup efektif menyisihkan kadar nitrogen yang terdapat pada kedua media limbah karena penurunan TKN hampir mendekati 100%. Sedangkan pada kultur media L3 kadar nitrogen sejak awal karakterisasi memang sangat kecil. Sehingga hampir tidak ada perubahan yang berarti pada kadar nitrogennya (lihat Gambar 13).
Gambar 13. Perubahan Konsentrasi TKN pada Kultur Sirkulasi
• Konsentrasi Nitrat (NO3-)
Nitrat merupakan produk turunan nitrogen yang paling teroksidasi dalam limbah. Nitrogen sebagai nutrien diserap oleh tanaman air umumnya dalam bentuk nitrat. Sehingga nitrat sebenarnya yang paling berperan dalam peristiwa algae blooming. Menurut Kirchman (2000), nitrat merupakan jenis nitrogen yang paling dinamis dan menjadi bentuk paling dominan pada sungai, keluaran air tanah, dan desposisi atmosfer ke laut.
Pada kondisi nitrogen berlebih dimana nitrogen dalam bentuk NH3 tersedia dalam konsentrasi rendah, NO3- akan bertindak sebagai nutrien untuk pertumbuhan ganggang secara eksesif. Selain itu konversi dari NH4+ menjadi NO3- akan menggunakan sejumlah besar oksigen terlarut dalam badan air atau limbah (Davis dan Cornwell, 1991). Dua kondisi ini menjadi alasan kuat mengapa kadar nitrat penting untuk dikontrol dalam kultivasi konsorsium mikroalga.
300 50 390 40 -20 -19 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 5 10 15 20 25 30 35 K o n se n tr a si T K N ( m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
44 Gambar 14. Perubahan Konsentrasi Nitrat pada Kultur Sirkulasi
Pada Gambar 14 diatas dapat dilihat bahwa meskipun terdapat fluktuasi pada beberapa titik, secara keseluruhan terdapat kecenderungan penurunan senyawa NO3 -pada ketiga kultur media limbah sirkulasi. Khusus untuk kultur media L1 dan L2 terdapat kenaikan NO3- di awal kultivasi. Pada kultur media L1 kenaikan terjadi yakni dari 0.183 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0.24 mg/L pada hari ke-3. Sedangkan pada L2, kenaikan terjadi dari 0.037 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0.2 mg/L pada hari ke-7. Jika dibandingkan dengan perubahan konsentrasi TKN pada kultur media L1 dan L2 (lihat Gambar 13), terlihat bahwa kenaikan kadar NO3- ini seiring dengan penurunan drastis TKN terutama pada interval waktu 0 – 5 hari. Hal ini terjadi akibat semakin banyaknya konsorsium mikroalga yang merombak nitrogen dalam bentuk NH3 (amonia) menjadi nitrogen dalam bentuk NO3- (nitrat). Perubahan ini terjadi dalam ruang lingkup proses nitrifikasi, yakni diperolehnya energi untuk pertumbuhan dari hasil oksidasi senyawa nitrogen terutama amonia. Khusus untuk kultur media L1 dimana fase pertumbuhannya terlihat lengkap (lihat Gambar 12), jika dibandingkan dapat dilihat bahwa proses kenaikan konsentrasi senyawa nitrat ini terjadi pada saat fase eksponensial pertumbuhan terutama pada interval waktu 0 – 5 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiesmann (1994) bahwa karakteristik khas dari proses nitrifikasi adalah konsumsi oksigen yang tinggi dan produksi biomassa yang rendah.
Hal berbeda terdapat pada kultur media L3 dimana tidak terdapat kenaikan konsentrasi nitrat pada awal kultivasi, konsentrasi nitrat justru semakin menurun.
0.183 0.240 0.144 0.030 0.025 0.037 0.200 0.190 0.009 0.027 0.113 0.110 0.026 0.016 0.011 -0.050 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0 5 10 15 20 25 30 35 K o n se n tr a si N O3 (m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
45 3.81 6.00 1.42 3.20 5.80 4.10 4.10 6.50 3.85 2.00 0.48 3.70 0.80 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 0 5 10 15 20 25 30 35 K o n se n tr a si O r to -P O4 (m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
Konsentrasi nitrat pada hari ke-0 adalah 0.113 mg/L menurun hingga 0.011 mg/L pada hari ke-22. Konsentrasi rendah nitrat ini diakibatkan sedikitnya kandungan nitrogen dalam bentuk amonia yang dapat dinitrifikasi. Hal tersebut dibuktikan dengan sangat kecilnya kadar TKN pada L3 (lihat Tabel 9).
• Konsentrasi Fosfat (PO4)
Senyawa fosfat yang dianalisis pada penelitian ini yakni dalam bentuk ortofosfat. Ortofosfat merupakan bentuk fosfat anorganik terlarut yang secara umum mendominasi perairan. Pada kenyataannya, senyawa fosfat yang terdapat di alam berubah secara terus menerus baik dalam bentuk organik, anorganik, partikulat, maupun terlarut (NCSU Water Quality Group, 2002).
Gambar 15. Perubahan Konsentrasi Fosfat pada Kultur Sirkulasi
Pada Gambar 15 terlihat bahwa meskipun terjadi fluktuasi, konsentrasi ortofosfat pada kultur media L1 dan L2 cenderung mengalami penurunan sedangkan pada kultur media L3 cenderung mengalami kenaikan tipis. Pada kultur media L1 terjadi kenaikan konsentrasi ortofosfat dari hari ke-0 sebesar 3.81 mg/L menjadi 6.00 mg/L pada hari ke-7. Setelah hari ke-7 konsentrasi ortofosfat menurun lagi hingga konsentrasi menjadi 1.42 mg/L pada hari ke-16, kemudian meningkat kembali menjadi 3.20 mg/L. Pada kultur media L2 terjadi penurunan konsentrasi dari hari ke-0 sebesar 5.8ke-0 mg/L menjadi 4.1ke-0 mg/L hingga hari ke-16. Setelah itu terjadi kenaikan konsentrasi hingga 6.50 mg/L pada hari ke-24, disusul oleh penurunan
46 kembali menjadi 3.85 mg/L pada hari ke-28. Pada kultur media L3, konsentrasi ortofosfat pada hari 0 sebesar 2.00 mg/L menurun hingga 0.48 mg/L pada hari ke-7. Setelah itu konsentrasi meningkat hingga level 3.70 mg/L pada hari ke-15, dan menurun lagi hingga level 0.80 mg/L pada hari ke-27. Fluktuasi yang terjadi ini mencerminkan perubahan bentuk senyawa ortofosfat yang disebabkan oleh kultivasi konsorsium mikroalga dilakukan secara terbuka dan non-aseptis memakai konsorsium langsung dari sumber perairan alami.
Fosfat anorganik terlarut dalam bentuk ortofosfat dicerna oleh mikroalga dan diubah kedalam bentuk fosfat organik. Sel mikroalga kemudian pecah akibat dimakan oleh bakteri detritivor atau zooplankton. Sebagian besar fosfat organik yang telah dicerna oleh bakteri dan zooplankton tersebut diekskresikan kembali sebagai fosfat anorganik. Fosfat anorganik kemudian kembali dimanfaatkan oleh mikroalga untuk pertumbuhan (NCSU Water Quality Group, 2002). Ketika ortofosfat (fosfat anorganik) diubah ke dalam bentuk fosfat organik oleh mikroalga, maka konsentrasi ortofosfat akan menurun. Sebaliknya ketika fosfat organik kembali diekskresikan oleh bakteri dan zooplankton menjadi ortofosfat, maka konsentrasi ortofosfat akan meningkat. Kecenderungan penurunan konsentrasi ortofosfat pada kultur media L1 dan L2 (lihat Gambar 15) terjadi akibat adanya pertumbuhan mikroalga yang cukup pesat. Kecenderungan kenaikan ortofosfat pada L3 diduga akibat rendahnya pertumbuhan konsorsium mikroalga akibat kekurangan nutrien utama yakni nitrogen. Sel mikroalga kemudian pecah akibat dimakan oleh bakteri detritivor dan zooplankton, kandungan ortofosfat kemudian diekskresikan terus menerus namun hanya dicerna oleh sel mikroalga dengan kerapatan semakin rendah.
• Konsentrasi Kalium (K)
Selama masa kultivasi, konsentrasi kalium pada kultur media L1, L2, maupun L3 umumnya cenderung mengalami penurunan meskipun terjadi fluktuasi berupa kenaikan di beberapa titik (lihat Gambar 16). Khusus untuk kultur media L1, penurunan konsentrasi kalium sangat kecil. Pada hari ke-0 konsentrasi kalium pada kultur media L1 sebesar 113.45 mg/L, konsentrasi kemudian meningkat pada hari ke-11 menjadi ke-115.4 mg/L. Setelah itu konsentrasi berangsur-angsur menurun hingga pada hari terakhir analisis yakni hari ke-32 konsentrasi menjadi 111.1 mg/L. Pola
47 113.5 115.4111.7 111.1 304.7 374.1 62.8 52.6 22.1 107.7 11.2 8.1 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 350.0 400.0 0 5 10 15 20 25 30 35 K o n se n tr a si K ( m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
fluktuasi turun naik ini juga terjadi pada kultur media L2. Pada hari ke-0, konsentrasi kalium pada kultur media L2 sebesar 304.7 mg/L. Fluktuasi terjadi pada hari ke-6 dimana konsentrasi meningkat menjadi 374.1 mg/L. Setelah itu konsentrasi menurun drastis hingga pada hari ke-30 konsentrasi kalium tinggal 22.05 mg/L.
Fluktuasi konsentrasi kalium selama masa kultivasi disebabkan oleh dinamika adaptasi konsorsium mikroalga terhadap media L1 dan L2. Kenaikan kadar kalium yang terjadi pada periode awal kultivasi (hari ke-11 pada L1 dan hari ke-6 pada L2) terjadi akibat kematian mikroalga yang disebabkan oleh mikroorganisme kontaminan. Selama fase lag pertumbuhan konsorsium mikroalga, bakteri dan zooplankton yang terdapat secara alamiah pada L1 dan L2 akan memakan sebagian mikroalga sehingga kalium anorganik yang terdapat dalam sel mikroalga terpancar keluar. Hal ini terjadi hingga pada suatu saat jumlah mikroalga lebih banyak dari pada jumlah bakteri dan juga zooplankton. Pertumbuhan pesat mikroalga ini bersamaan dengan pengambilan unsur kalium anorganik secara masal sehingga terjadi penurunan konsentrasi kalium hingga akhir masa kultivasi. Penurunan konsentrasi kalium pada L3, tidak disebabkan oleh pertumbuhan mikroalga, namun oleh pertumbuhan mikroorganisme lain yang juga membutuhkan kalium (lihat Gambar 16).
48 6 7 8 9 0 5 10 15 20 25 30 35 N il a i p H Waktu (Hari) L1 L2 L3 Trend L1 Trend L2 Trend L3
Kalium merupakan salah satu makronutrien yang penting bagi pertumbuhan sel konsorsium mikroalga. Umumnya di dalam sel, kalium berbentuk kation K+ yang berperan penting menentukan permeabilitas membran sel serta dalam hal transportasi fosfat antara lingkungan dan sel (Medveczky dan Rosemberg, 1971). Sebagai kofaktor, kalium juga berperan mendorong kerja enzim yang berkaitan dengan sintesis materi dalam sel (Brdjanovic et al., 1996).
• Nilai pH
Selama masa kultivasi, nilai pH terukur berfluktuasi namun memiliki kecenderungan menuju kisaran nilai pH tertentu (lihat Gambar 17).
Gambar 17. Perubahan nilai pH pada Kultur Sirkulasi
Sebagai contoh pada kultur media L1, nilai pH pada masa awal kultivasi (hari 0 – 4) berada pada kisaran pH 6.00 – 7.00. Namun pada hari ke-5 hingga seterusnya nilai pH berada pada kisaran pH 7.00 – 8.00. Rata – rata nilai pH pada kultur media L1 adalah 7.30. Perubahan nilai pH ini sesuai dengan pernyataan FAO (1996) bahwa pertumbuhan mikroalga pada umumnya berada pada kisaran pH 7.00 – 9.00. Pada kultur L2, justru nilai pH terlihat lebih stagnan, meskipun terdapat fluktuasi yang terjadi pada kisaran pH 7.00 – 9.00. Rata – rata nilai pH pada kultur media L2 adalah 8.00. Kecenderungan stagnansi kultur media L2 pada pH 8 disebabkan karena nilai tersebut mendekati pH optimal kebanyakan kultur mikroalga yakni 8.20 – 8.90 (FAO, 1996). Pada kultur media L3, pH dari awal hingga akhir masa kultivasi berada
49 pada kisaran 7.00 – 8.00. Rata-rata nilai pH pada kultur media L3 yakni 7.72. Fluktuasi pada nilai pH ketiga kultur, lebih disebabkan karena faktor teknis yakni ukuran volume kultur. Semakin besar volume kultur, karakteristik sampel pada setiap titik sampling akan semakin bervariasi.
Secara umum pertumbuhan konsorsium mikroalga pada kultur media L1, L2, dan L3 dengan sirkulasi secara analitik terlihat cukup baik, namun terdapat masalah yang cukup penting untuk ditindaklanjuti. Secara normal jika konsorsium mikroalga yang diinokulasikan ke dalam kultur sebagian besar tergolong chlorophyceae, maka seharusnya ciri-ciri fisik pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat terlihat secara kasat mata akibat timbulnya warna kehijauan yang berasal dari klorofil. Namun pada kultur sirkulasi khususnya pada kultur media L1 (karena fase pertumbuhan terdeteksi lengkap) tidak terlihat perubahan warna tersebut. Kasus ini mungkin terjadi sebagaimana pada penelitian terdahulu, Martinez et al. (1999) menemukan bahwa pengadukan dapat mengurangi kandungan klorofil pada mikroalga. Pengadukan kultur mengakibatkan distribusi cahaya lebih merata, sehingga mikroalga tidak perlu memproduksi klorofil dalam jumlah besar untuk menangkap banyak spektrum cahaya. Lee et al. (1987) juga membuktikan bahwa terdapat hubungan terbalik antara jumlah klorofil dan pencahayaan.
2. Kultivasi Media Limbah tanpa Sirkulasi
Pada dasarnya kultivasi tanpa sirkulasi ini dilakukan untuk membuktikan pengaruh pengadukan terhadap warna kultur. Kultivasi pada media limbah (L1/L2/L3) tanpa sirkulasi dilakukan pada tiga buah aquarium, volume total kultur per aquarium (media + inokulum konsorsium mikroalga) diatur dengan dimensi panjang x lebar x tinggi yakni 40 x 25 x 27 cm3 = 27 000 cm3 = 27 Liter. Perbandingan konsentrasi limbah dan inokulum ditentukan sama seperti pada kultivasi dengan sirkulasi yakni 75% : 25%. Pada kultivasi tanpa sirkulasi ini tidak digunakan pengaduk, dengan harapan warna kultur akan terlihat berwarna hijau pada saat kultivasi berlangsung. Analisis yang dilakukan pada kultur media limbah tanpa sirkulasi ini hampir sama dengan analisis pada kultur sirkulasi. Perbedaannya terletak pada analisis kadar nitrogen (TKN) yang ditiadakan dengan asumsi karakteristik
50 penurunan kadar nitrogen sama seperti kultur sirkulasi. Analisis tidak dilakukan per hari, namun dilakukan ketika terjadi perubahan warna yang jelas pada hari-hari tertentu. Pengambilan sampel dilakukan pada bagian atas kultur dengan asumsi mikroalga lebih banyak berkumpul di bagian atas mendekati ke arah cahaya matahari.
a. Pertumbuhan Konsorsium Mikroalga pada Kultur tanpa Sirkulasi
Secara umum kondisi kultur tanpa sirkulasi ini sesuai dengan yang diharapkan yakni terjadinya perubahan warna (lihat Gambar 18).
Gambar 18. Penampakan Kultur tanpa Sirkulasi pada (a) Hari ke-4 dan (b) ke-10 L1 L2 L3 L1 L2 L3 (a) (b)
51 10 18 40 29 230 140 600 96 23 16 7 10 0 100 200 300 400 500 600 700 0 2 4 6 8 10 12 14 K er a p a ta n S e l (s e l/ m l) J u ta Waktu (Hari) L1 L2 L3
Perubahan warna ketiga kultur secara jelas terlihat pada Gambar 18. Kultur media L1 berubah warna dari merah kehijauan pada hari ke-0 menjadi hijau pekat pada hari ke-10. Sedangkan pada kultur media L2, karena awalnya juga berwarna hijau pekat, perubahan warna tidak terlalu tampak kontras meskipun setelah hari ke-8 kondisi kultur tampak lebih encer. Sedangkan pada kultur media L3 yang berwarna kecoklatan pada hari ke-0, warna tidak berubah menjadi hijau namun tetap kecoklatan namun memudar pada hari-hari berikutnya. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan pada kultur media L3 dengan sirkulasi dimana pertumbuhan tidak terjadi. Kultivasi pada ketiga kultur tanpa sirkulasi dihentikan pada hari ke-16 ketika warna hijau telah berkurang.
Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan sel pada kultur tanpa sirkulasi (Gambar 19), terlihat bahwa selama masa kultivasi 16 hari pertumbuhan mikroalga pada kultur media L1 dan L2 cenderung menunjukkan fase pertumbuhan lengkap, meskipun pada L1 perubahan kerapatan sel tidak terlihat jelas pada grafik. Sedangkan pada kultur media L3, terjadi kecenderungan penurunan jumlah kerapatan sel per hari yang menandakan tidak terjadi pertumbuhan konsorsium mikroalga.
Gambar 19. Kerapatan Sel pada Kultur tanpa Sirkulasi
Pada kultur media L1, fase pertumbuhan eksponensial diduga kuat dimulai pada hari ke-8 hingga hari ke-10 tercatat jumlah kerapatan sel tertinggi yakni sebesar 40 000 000 sel/ml. Kerapatan sel konsorsium mikroalga kemudian mencapai fase kematian pada hari ke-13 ditandai penurunan kerapatan sel menjadi 29 000 000
52 Tabel 11. Prevalensi dan Dominansi Mikroalga Pada
Kultur Media L1 tanpa Sirkulasi
sel/ml. Khusus untuk kultur media L1, dimana warna hijau sangat kontras terlihat pada hari ke-10, dilakukan pemeriksaan prevalensi dan dominansi untuk membuktikan bahwa warna hijau benar disebabkan oleh mikroalga.
Hasil perhitungan indeks keragaman pada konsorsium mikroalga (Tabel 11) hasil kultivasi media L1 tanpa sirkulasi yakni sebesar 0.05. Sehingga dapat diketahui bahwa komunitas masing-masing jenis mikroalga dalam konsorsium tidak stabil. Dengan kata lain, terdapat komunitas mikroalga yang cenderung mendominasi komunitas mikroalga lainnya pada konsorsium. Indeks keseragaman pada konsorsium kultur L1 tanpa sirkulasi berada pada nilai 0.04. Indeks ini mendekati nilai 0, sehingga dapat diartikan bahwa jumlah individu masing-masing spesies yang berhasil dihitung pada konsorsium relatif berbeda satu sama lain. Indeks dominansi konsorsium mikroalga pada penelitian ini yakni sebesar 0.99. Indeks ini mendekati nilai 1, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat spesies mikroalga yang mendominasi spesies mikroalga lainnya. Dalam hal ini spesies mikroalga yang mendominasi adalah Chlorella sp..
Meskipun Chlorella sp. tidak ikut terhitung pada saat karakterisasi (lihat Tabel 10), bukan berarti Chlorella sp. tidak ditemukan dalam habitat alamiahnya di Danau LSI-IPB. Chlorella sp. kemungkinan berada dalam jumlah sangat kecil, karena Chlorella sp. ini merupakan salah satu jenis mikroalga yang mampu bertahan pada kondisi ekstrim. Seperti dilaporkan Tam dan Wong (1996) bahwa pada kondisi
Organisme Kelimpahan (ind/ml) CHLOROPHYCEAE: Chlorella sp. Scenedesmus sp. Ankistrodesmus sp. 18 425 000 94 444 33 333 Jumlah Taksa
Kelimpahan Total (ind/ml) Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi 3 18 552 777 0.05 0.04 0.99
53 amonia tinggi yakni 1 000 mg/L serta pH pada kisaran netral, Chlorella sp. masih mampu menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik.
Pertumbuhan konsorsium mikroalga pada kultur media L2 tanpa sirkulasi ini berbeda jika dibandingkan dengan kultur yang sama dengan sirkulasi. Pada kultur L2 sirkulasi, hingga hari terakhir belum menunjukkan pertumbuhan karena kendala teknis yakni ikut terhitungnya mikroorganisme dan material asing yang mengandung pati. Pada kultur media L2 tanpa sirkulasi kesalahan ini diminimalkan dengan meniadakan pengadukan, sehingga mikroorganisme dan material asing tidak tercampur secara intensif dengan konsorsium mikroalga. Faktor amonia yang mampu menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroalga secara logis juga akan berkurang akibat kontak material asing dan mikroorganisme yang berperan sebagai carrier amonia dengan konsorsium mikroalga berkurang. Oleh karena itu perhitungan kerapatan sel mikroalga pada kultur media L2 lebih menunjukkan fase-fase pertumbuhan. Kerapatan sel mikroalga pada L2 hari ke-4 yakni sebesar 230 000 000 sel/ml, kemudian menurun menjadi 140 000 000 sel/ml pada hari ke-8. Penurunan ini terjadi akibat adaptasi konsorsium mikroalga terhadap kehadiran mikroorganisme pesaing serta kadar amonia yang cukup tinggi pada L2. Pertumbuhan fase eksponensial terjadi setelah hari ke-8 hingga tercapai kerapatan sel tertinggi pada hari ke-10 yakni 600 000 000 sel/ml. Pertumbuhan puncak pada hari ke-10 ini sesuai dengan dimulainya fase stasioner pertumbuhan konsorsium mikroalga pada kultur percobaan media L2 (lihat Gambar 10). Setelah hari ke-10, kerapatan sel berangsur-angsur menurun hingga pada hari ke-13 hanya tertinggal sebesar 96 000 000 sel/ml.
Keragaan pertumbuhan konsorsium mikroalga pada kultur media L3 tanpa sirkulasi terlihat sama dengan hasil kultur percobaan maupun kultur sirkulasi yakni terjadi penurunan. Pada hari ke-4 kerapatan sel kultur media L3 sebesar 23 000 000 sel/ml. Kerapatan sel terus menurun pada hari-hari berikutnya hingga pada hari ke-10 kerapatan sel tinggal 7 000 000 sel/ml, meskipun pada hari ke-14 terjadi kenaikan tipis menjadi 10 000 000 sel/ml. Kenaikan tersebut dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroorganisme lain yang memanfaatkan kandungan gula pada L3.
54 0.012 0.011 0.007 0.016 0.021 0.010 0.016 0.010 0.010 0.000 0.005 0.010 0.015 0.020 0.025 0 2 4 6 8 10 12 K o n se n tr a si N O3 (m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3 b. Perubahan Kadar Nutrien dan pH pada Kultur tanpa Sirkulasi
• Konsentrasi Nitrat (NO3-)
Pada umumnya konsentrasi nitrat selama masa kultivasi pada media limbah tanpa sirkulasi terlihat menurun meskipun terlihat adanya fluktuasi. Berbeda dari kultur sirkulasi, fluktuasi berupa kenaikan konsentrasi yang disebabkan oleh peristiwa nitrifikasi (perubahan senyawa amonia menjadi nitrat) tidak terlihat pada kultur media L1, namun sangat jelas terlihat pada kultur media L2.
Pada kultur media L1, konsentrasi nitrat pada hari ke-4 tercatat sebesar 0.012 mg/L. Kemudian pada hari ke-8 konsentrasi menurun tipis pada level 0.011 mg/L. Konsentrasi terus menurun hingga hari ke-10 konsentrasi tersisa sebesar 0.007 mg/L. Proses nitrifikasi pada kultur media L1 tidak terekam dengan baik (lihat Gambar 20). Bila dibandingkan dengan kurva pertumbuhan konsorsium mikroalga berdasarkan kerapatan sel (lihat Gambar 19), proses nitrifikasi diduga terjadi sebelum hari ke-8. Dugaan ini berdasarkan fakta bahwa kenaikan konsentrasi nitrat pada proses nitrifikasi terjadi pada saat kerapatan sel rendah sesuai dengan pernyataan Wiesmann (1994).
Gambar 20. Perubahan Konsentrasi Nitrat pada Kultur tanpa Sirkulasi
Sebaliknya pada kultur media L2, kenaikan konsentrasi akibat peristiwa nitrifikasi terlihat jelas terjadi pada hari ke-8 pada level 0.021 mg/L setelah
55 sebelumnya pada hari ke-4 konsentrasi hanya sebesar 0.016 mg/L. Setelah hari ke-8 konsentrasi nitrat berangsur-angsur menurun hingga pada hari ke-10 konsentrasi tinggal 0.010 mg/L.
Pada kultur media L3, konsentrasi nitrat justru terus menurun. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kadar nitrogen TKN pada saat karakterisasi pada L3 sangat kecil, sehingga sangat sedikit konsentrasi NH3-N yang dapat dikonversi menjadi NO3 oleh konsorsium mikroalga yang ditumbuhkan pada L3 tersebut. Pada hari ke-4 konsentrasi awal nitrat pada kultur media L3 sebesar 0.016 mg/L. Konsentrasi kemudian terus menurun hingga pada hari ke-8 dan hari ke-10 konsentrasi berada pada level 0.010 mg/L.
• Konsentrasi Fosfat (PO4)
Hasil pengamatan konsentrasi fosfat pada ketiga kultur media Ll, L2, dan L3 menunjukkan kecenderungan menurun (lihat Gambar 21). Pada kultur media L1, konsentrasi fosfat dalam bentuk ortofosfat pada hari ke-4 sebesar 4.83 mg/L. Kenaikan ortofosfat terjadi pada hari ke-8 dimana konsentrasi menjadi 9.44 mg/L. Kenaikan ini merupakan tanda bahwa selama selang waktu hari ke-4 hingga ke-8 terjadi pemanfaatan konsorsium mikroalga sebagai makanan bagi mikroorganisme lain berupa bakteri detritivor dan zooplankton, sementara pertumbuhan mikroalga sendiri masih dalam fase lag. Namun setelah hari ke-8 aktivitas mikroorganisme tersebut menurun seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan konsorsium mikroalga pada hari ke-10 (lihat Gambar 19). Pada hari tersebut konsentrasi fosfat dalam bentuk ortofosfat turun hingga 1.32 mg/L.
Perubahan konsentrasi fosfat pada kultur media L2 cenderung menurun seiring waktu kultivasi. Berbeda dari kultur media L1, pada kultur L2 tidak terlihat adanya fluktuasi konsentrasi. Konsentrasi fosfat terus menurun dari 10.42 mg/L pada hari ke-4, 9.29 mg/L pada hari ke-8, hingga akhirnya sisa fosfat dalam L2 tinggal 0.28 mg/L. Ketiadaan fluktuasi memperkuat dugaan bahwa terjadi persaingan kuat antara pertumbuhan mikroorganisme kontaminan dengan pertumbuhan konsorsium mikroalga. Ketika bakteri dan zooplankton yang telah memakan mikroalga mengekskresikan kembali fosfat dalam bentuk ortofosfat ke dalam media, konsorsium mikroalga segera mengambil kembali ortofosfat tersebut sehingga
56 4.80 9.00 1.32 10.40 9.30 0.28 2.20 3.70 0.25 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 0 2 4 6 8 10 12 K o n se n tr a si O rt o -P O4 (m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3
ortofosfat dalam media tidak terakumulasi terlalu lama. Siklus tersebut terjadi terus menerus hingga pada akhirnya masa pertumbuhan mikroorganisme kontaminan berangsur-angsur berhenti sementara konsentrasi ortofosfat dalam media limbah berangsur-angsur berhenti seiring dengan fase eksponensial pertumbuhan mikroalga pada hari ke-10 (lihat Gambar 21).
Gambar 21. Perubahan Konsentrasi Fosfat pada Kultur tanpa Sirkulasi
Pada prinsipnya perubahan konsentrasi ortofosfat pada kultur media L3 hampir sama dengan perubahan konsentrasi pada kultur media L1. Perbedaan yang cukup mendasar yakni pada kultur media L3 tidak tampak adanya pertumbuhan konsorsium mikroalga yang ditandai dengan tidak berubahnya warna kultur. Pada hari ke-4 konsentrasi ortofosfat berada pada level 2.22 mg/L. Kenaikan yang terjadi pada hari ke-8 menunjukkan bahwa terjadi konsumsi mikroalga secara besar-besaran oleh mikroorganisme kontaminan, sementara mikroalga sendiri tidak mengalami pertumbuhan akibat kekurangan nutrien utama berupa nitrogen. Berdasarkan fakta tersebut, penurunan kadar ortofosfat hingga 0.25 mg/L pada hari ke-10 kemungkinan besar disebabkan oleh pemakaian kembali ortofosfat oleh mikroorganisme kontaminan tersebut. Ortofosfat hasil ekskresi mikroorganisme predator mikroalga, kembali dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain yang juga memanfaatkan ortofosfat sebagai nutrien dalam pertumbuhannya.
57 9.9 11.7 9.2 51.7 67.6 0.1 10.0 17.1 9.5 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 0 2 4 6 8 10 12 K o n se n tr a si K ( m g /L ) Waktu (Hari) L1 L2 L3 • Konsentrasi Kalium (K)
Kalium merupakan salah satu makronutrien yang esensial untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme baik mikroalga maupun mikroorganisme lainnya. Sehingga secara alamiah konsentrasi kalium juga berkaitan dengan peristiwa rantai makanan antara mikroalga dan mikroorganisme kontaminan. Secara umum terjadi fluktuasi konsentrasi kalium yang menunjukkan dinamika pertumbuhan mikroalga dan mikroorganisme. Namun menjelang akhir masa kultivasi, konsentrasi kalium pada ketiga kultur terus menurun seiring dengan pertumbuhan pesat konsorsium mikroalga (lihat Gambar 22).
Gambar 22. Perubahan Konsentrasi Kalium pada Kultur tanpa Sirkulasi
Pada kultur media L1 terlihat bahwa perubahan konsentrasi kalium sangat kecil. Kenaikan tipis konsentrasi kalium terjadi yakni dari hari ke-4 sebesar 9.88 mg/L menjadi 11.71 mg/L pada hari ke-8. Pola fluktuasi konsentrasi kalium yang sangat kecil ini juga terjadi pada kultur sirkulasi (lihat Gambar 16). Pada kultur media L2, kenaikan konsentrasi cukup signifikan pada hari ke-8 yakni 67.55 mg/L dari konsentrasi 51.65 mg/L pada hari ke-4. Hal yang sama juga terjadi pada kultur media L3, kenaikan terjadi dari konsentrasi 9.99 mg/L pada hari ke-4 menjadi 17.11 mg/L pada hari ke-8. Kenaikan konsentrasi ini disebabkan karena selama fase lag pertumbuhan konsorsium mikroalga, bakteri dan zooplankton yang terdapat secara alamiah pada L1 dan L2 akan memakan sebagian mikroalga sehingga kalium
58 6.00 7.00 8.00 9.00 0 2 4 6 8 10 12 14 N il a i p H Waktu (Hari) L1 L2 L3 Trend L1 Trend L2 Trend L3
anorganik yang terdapat dalam sel mikroalga terpancar keluar. Ketika pertumbuhan mikroalga mencapai fase eksponensial pada hari ke-10, konsentrasi kalium akan menurun secara signifikan. Hal ini terlihat pada penurunan konsentrasi kalium pada kultur media L1 menjadi 9.22 mg/L dan pada kultur media L2 menjadi sangat kecil yakni 0.111 mg/L. Penurunan konsentrasi juga terjadi pada L3, namun ketiadaan pertumbuhan mikroalga mendukung dugaan bahwa kalium justru dimanfaatkan oleh mikroorganisme kontaminan untuk pertumbuhannya.
• Nilai pH
Secara umum perubahan nilai pH pada ketiga kultur tanpa sirkulasi mengikuti karakteristik pertumbuhan mikroalga pada masing-masing kultur. Pada kultur media L1 dimana terjadi pertumbuhan mikroalga pada hari ke-10 kultivasi, nilai pH menunjukkan kecenderungan menuju pH optimal pertumbuhan mikroalga menurut FAO (1996) yakni 8.20 – 8.90. Pada kultur media L2 walaupun pada awalnya pH turun dari pH 8.00 pada hari ke-4 menjadi pH 7 pada hari ke-8 dan ke-10, namun setelah hari ke-10 pH menuju level 7.51. Sedangkan pada kultur media L3, nilai pH cenderung terus menurun seiring menurunnya pertumbuhan sel konsorsium mikroalga (lihat Gambar 23).
59 3. Kultivasi Media Limbah Sintetik
Kultur L1 dengan sirkulasi telah menunjukkan fase pertumbuhan lengkap hingga hari ke-30, sedangkan hingga hari tersebut kultur L2 belum menunjukkan fase pertumbuhan lengkap. Hal ini memperkuat dugaan bahwa terdapat pengaruh konsentrasi nutrien terhadap kebutuhan waktu pertumbuhan konsorsium mikroalga. Kultivasi media limbah sintetik ini dilakukan untuk membuktikan dugaan tersebut. Limbah sintetik dibuat dalam berbagai serial konsentrasi pupuk NPK, setelah terlebih dahulu pupuk diperiksa kandungan nutrien aktualnya.
Tabel 12. Kandungan Nutrien Aktual Pupuk NPK dalam Media Limbah Sintetik
Jenis Pupuk
Konsentrasi Pengenceran Pupuk (mg/L)
Konsentrasi Nutrien Aktual TKN (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L) K (mg/L) NPK (15:15:15)a 1 000 167.21 0.011 2.05 10.25 a
Merek dagang: PHONSKA, Produksi: PT. Petrokimia Gresik
Serial konsentrasi limbah sintetik disesuaikan dengan hasil karakterisasi konsentrasi nutrien pada L1, L2, dan L3 (Tabel 9) pada tahap preparasi, sehingga kadar nutrien ketiga limbah real (berdasarkan kadar TKN) berada pada interval serial konsentrasi pupuk pada limbah sintetik (lihat Tabel 13).
Tabel 13. Serial Konsentrasi Pupuk dan Nutrien Teoritis pada Limbah Sintetik
Kode Berat Pupuk Dilarutkan (gram) Konsentrasi Pupuk a (mg/L)
Konsentrasi Nutrien Teoritis TKN (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L) K (mg/L) Sy1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Sy2 37.50 1 851.85 309.65 0.02 3.80 18.98 Sy3 75.00 3 703.70 619.30 0.04 7.59 37.96 Sy4 112.50 5 555.56 928.94 0.06 11.39 56.94 Sy5 187.50 9 259.26 1 548.24 0.10 18.98 94.91 Sy6 375.00 18 518.52 3 096.48 0.20 37.96 189.81 Sy7 562.50 27 777.78 4 644.72 0.31 56.94 284.72 Sy8 750.00 37 037.04 6 192.96 0.41 75.93 379.63 Sy9 937.50 46 296.30 7 741.20 0.51 94.91 474.54 a
60 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy9 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy8 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy7 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy6 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy5 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy4 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy3 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy2 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy1
Kultivasi pada media limbah sintetik ini dilakukan pada sembilan buah aquarium dengan volume total kultur per aquarium (media + inokulum konsorsium mikroalga) sama seperti aquarium pada kultivasi tanpa sirkulasi yakni 27 Liter. Perbandingan konsentrasi media limbah sintetik dan konsentrasi inokulum ditentukan sama seperti pada kultivasi dengan sirkulasi dan tanpa sirkulasi yakni sebesar 75% : 25%. Kultivasi ditentukan selama 16 hari sesuai kebutuhan waktu kultivasi pada kultur percobaan. Selama masa kultivasi dilakukan analisis pertumbuhan konsorsium mikrolga serta analisis perubahan kadar nutrien dan sifat fisik pada waktu-waktu tertentu.
A. Pertumbuhan Konsorsium Mikroalga pada Kultur Media Limbah Sintetik
Gambar 24. Kerapatan Sel pada Kultur Limbah Sintetik
K er a p a ta n S el (d a la m j u ta s el/m l) Waktu (Hari)
61 Berdasarkan hasil analisis kerapatan sel (lihat Gambar 24 diatas) terlihat bahwa terdapat konsentrasi optimal dimana pertumbuhan berdasarkan kerapatan sel berada pada level tertinggi. Setelah level optimal konsentrasi nutrien tersebut, berlaku ketentuan bahwa semakin tinggi konsentrasi nutrien maka pertumbuhan akan memakan waktu lebih lama. Pada kultur Sy1 dimana tidak ada penambahan nutrien, pertumbuhan mikroalga tidak terjadi. Pertumbuhan puncak pada kultur Sy2, Sy3, Sy4, dan Sy5 terjadi pada hari ke-6, namun kecenderungan penurunan pertumbuhan selanjutnya pada keempat kultur tersebut berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada kerapatan sel yang teramati terakhir hari ke-13 dibandingkan dengan kerapatan sel puncak pada hari ke-6. Kerapatan sel pada kultur Sy2 hari ke-6 sebesar 10 000 000 sel/ml menurun menjadi 900 000 sel/ml pada hari ke-13, kerapatan sel Sy3 dari 13 000 000 sel/ml menurun menjadi 1 600 000 sel/ml, Sy4 dari 10 800 000 sel/ml menurun menjadi 4 300 000 sel/ml, dan Sy5 dari 11 300 000 sel/ml menurun menjadi 4 600 000 sel/ml. Berdasarkan data penurunan kerapatan sel pada Sy3, Sy4, dan Sy5 dapat dibuat pola yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi nutrien, penurunan kerapatan sel akan cenderung lebih landai. Hal ini juga menunjukkan kecenderungan fase stasioner pertumbuhan konsorsium mikroalga akan lebih lama seiring peningkatan konsentrasi nutrien. Sedangkan pola lebih landai sebelum Sy3 dimana kerapatan sel puncak berada pada level tertinggi, justru disebabkan oleh kekurangan nutrien.
Kerapatan sel tertinggi didapati pada kultur Sy3 pada hari ke-6 dengan nilai sebesar 13 000 000 sel/ml. Sehingga diduga bahwa konsentrasi nutrien pada kultur Sy3 cukup optimal bagi pertumbuhan konsorsium mikroalga. Pada kultur Sy6 puncak pertumbuhan belum dapat teramati karena kerapatan sel terus meningkat hingga hari ke-10. Jika diamati lebih jauh, maka dapat diduga terdapat titik konsentrasi kritis diantara Sy5 dan Sy6 dimana puncak kerapatan sel konsorsium bergeser dari hari ke-6 menjadi lebih lama. Jumlah kerapatan sel pada kultur Sy7, Sy8, dan Sy9 hingga hari ke-8 masih belum menunjukkan fase pertumbuhan eksponensial. Meskipun begitu kerapatan sel yang terhitung menunjukkan kecenderungan pertumbuhan sel yang lebih lama seiring dengan kenaikan konsentrasi.
62 Tabel 14. Prevalensi dan Dominansi Mikroalga Pada
Kultur Media Limbah Sintetik
Selain perhitungan kerapatan sel, diadakan juga pemeriksaan prevalensi dan dominansi mikroalga yang terdapat dalam konsorsium yang dikultivasi pada media limbah sintetik. Dalam hal ini sampel yang diperiksa yakni diambil pada puncak pertumbuhan kultur Sy3 dimana kerapatan selnya lebih tinggi dari kerapatan sel pada puncak pertumbuhan kultur sintetik lainnya. Hasil analisis prevalensi dan dominansi diharapkan mewakili untuk seluruh kultur media limbah sintetik, karena pada dasarnya inokulum yang dipakai seragam.
Hasil perhitungan indeks keragaman pada konsorsium mikroalga (Tabel 14) kultur Sy3 yakni sebesar 0.07. Sehingga dapat diketahui bahwa komunitas masing-masing jenis mikroalga dalam konsorsium tidak stabil. Dengan kata lain, terdapat komunitas mikroalga yang cenderung mendominasi komunitas mikroalga lainnya pada konsorsium. Indeks keseragaman pada konsorsium kultur media limbah sintetik berada pada nilai 0.06. Indeks ini mendekati nilai 0, sehingga dapat diartikan bahwa jumlah individu masing-masing spesies yang berhasil dihitung pada konsorsium relatif berbeda satu sama lain. Indeks dominansi konsorsium mikroalga pada penelitian ini yakni sebesar 0.98. Indeks ini mendekati nilai 1, sehingga dapat diartikan bahwa terdapat spesies mikroalga yang mendominasi spesies mikroalga lainnya. Dalam hal ini spesies mikroalga yang mendominasi adalah Chlorella sp. sama seperti pada kultivasi tanpa sirkulasi.
Organisme Kelimpahan (ind/ml) CHLOROPHYCEAE: Chlorella sp. Scenedesmus sp. Ankistrodesmus sp. 2 630 000 31 111 1 111 Jumlah Taksa
Kelimpahan Total (ind/ml) Indeks Keragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi 3 2 662 222 0.07 0.06 0.98
63 B. Perubahan Sifat Fisik dan Konsentrasi Nutrien
• Perubahan Warna
Selama masa kultivasi terjadi fenomena perubahan warna yang menarik pada kesembilan serial media limbah sintetik. Fakta di lapangan membuktikan terdapat konsentrasi nutrien tertentu diantara kesembilan serial tersebut dimana warna hijau konsorsium mikroalga pada hari-hari tertentu lebih pekat dari serial yang lain (lihat Gambar 25). Pada Sy8 dan Sy9, warna hijau justru belum terlihat hingga analisis perubahan warna terakhir pada hari ke-13.
Keterangan: dari kanan ke kiri Sy1 – Sy9
Gambar 25. Penampakan Kultur Sintetik pada (a) Hari ke-4 dan (b) Hari ke-10 (a)
64 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy9 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy8 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy7 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy6 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy5 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy4 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy3 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy2 0 2 4 6 8 10 12 14 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy1
Berdasarkan hasil analisis perubahan warna (Gambar 26) terlihat bahwa terdapat konsentrasi nutrien optimal dimana warna hijau paling pekat. Setelah tingkat konsentrasi nutrien optimal tersebut, berlaku ketentuan bahwa semakin tinggi konsentrasi nutrien, perubahan warna menjadi hijau khas chlorophyceae akan semakin lama terjadi. Pada kultur Sy1 dimana sama sekali tidak ada nutrien yang ditambahkan, warna kultur tidak berubah signifikan (tidak menjadi lebih pekat) meskipun warna kultur Sy1 sudah terlihat berwarna hijau pada hari ke-2. Perubahan warna hijau pada tingkat rendah tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan konsorsium mikroalga dengan cara mengambil nutrien yang sangat sedikit yang terdapat secara alami pada Sy1. Nutrien alami tersebut diduga kebanyakan berasal dari cairan konsorsium mikroalga yang diinokulasikan.
Gambar 26. Perubahan Warna pada Kultur Limbah Sintetik
N ila i b * k o lo rim et ri (d a la m r ib u ) Waktu (Hari)
65 Pada kultur Sy2, Sy3, Sy4, dan Sy5, warna hijau paling pekat tercatat pada hari ke-6. Namun nilai b* pada puncak pertumbuhan keempat kultur tersebut menurun sesuai dengan peningkatan konsentrasi nutrien yang ditambahkan. Khusus untuk Sy2, kepekatan warna puncak lebih rendah daripada Sy3. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi nutrien belum cukup optimal untuk pertumbuhan konsorsium mikroalga. Kepekatan warna puncak tertinggi pada hari ke-6 terdapat pada kultur Sy3, sehingga diduga konsentrasi nutrien Sy3 cukup optimal untuk pertumbuhan konsorsium. Setelah hari ke-6 terjadi penurunan warna yang cukup drastis pada keempat kultur tersebut di hari-hari berikutnya. Penurunan tersebut juga memiliki kecenderungan tertentu dimana peningkatan konsentrasi nutrien setelah konsentrasi nutrien optimal, pola penurunan kepekatan warna lebih landai. Sedangkan pola landai perubahan warna pada konsentrasi nutrien lebih rendah dari Sy3, lebih banyak disebabkan oleh nutrien dalam konsentrasi rendah. Pada hari ke-6 nilai b* pada kultur Sy2 yang merepresentasikan kepekatan warna berada pada level 6 000. Namun pada hari ke-13 kepekatan warna menurun hingga level 3 400. Nilai b* kultur Sy3 menurun dari kepekatan puncak yakni 12 400, menjadi sebesar 3 520 pada hari ke-13. Nilai b* kultur Sy4 menurun dari kepekatan puncak yakni 6 300, menjadi sebesar 4 000 pada hari ke-13. Nilai b* kultur Sy5 juga menurun dari kepekatan puncak yakni 6 100, menjadi sebesar 4 600 pada hari ke-13. Kelandaian pola penurunan ditunjukkan oleh semakin meningkatnya nilai b* pada hari ke-13, sementara nilai b* puncak pada hari ke-6 menurun.
Pada kultur Sy6, justru terjadi peningkatan aktivitas pertumbuhan mikroalga hingga hari ke-13. Pada kultur Sy6 puncak pertumbuhan belum dapat terlihat karena peningkatan kepekatan warna hingga hari ke-10 belum menunjukkan penurunan. Jika diamati lebih jauh, maka dapat diduga terdapat titik konsentrasi kritis diantara Sy5 dan Sy6 dimana puncak perubahan warna hijau konsorsium bergeser dari hari ke-6 menjadi lebih lama. Perubahan warna pada kultur Sy7 terjadi pada level yang rendah, meskipun pada hari ke-13 kepekatan warna meningkat tipis. Pada kultur Sy8 dan Sy9 hingga hari terakhir pengukuran warna (hari ke-13) belum terlihat tanda-tanda perubahan warna menjadi hijau.
66 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy9 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy8 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy7 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy6 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy5 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy4 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy3 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy2 0 50 100 150 200 250 300 350 0 2 4 6 8 10 12 14 Sy1
• Konsentrasi TSS (Total Suspended Solid)
Pengukuran TSS dapat dengan mudah dilakukan mengingat faktor pengotor pada media limbah sintetis sangat kecil. Seperti halnya pada hasil pengamatan kerapatan sel dan perubahan warna selama kultivasi pada media limbah sintetik berlangsung, konsentrasi TSS juga menunjukkan pola dan kecenderungan yang sama (lihat Gambar 27).
Gambar 27. Perubahan Konsentrasi TSS pada Kultur Limbah Sintetik
Pada kultur Sy1 dimana tidak ada nutrien yang ditambahkan, konsentrasi TSS tidak berubah signifikan meskipun pada hari ke-6 menunjukkan kenaikan tipis. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan konsorsium mikroalga dengan cara mengambil nutrien alami yang sangat sedikit pada Sy1.
K o n se n tr a si T S S ( m g /L ) Waktu (Hari)
67 Posisi puncak konsentrasi TSS pada kultur Sy2, Sy3, Sy4, dan Sy5 tercatat pada hari ke-6. Namun konsentrasi TSS puncak tersebut menurun sesuai dengan peningkatan konsentrasi nutrien yang ditambahkan. Khusus untuk Sy2, konsentrasi TSS puncak lebih rendah daripada Sy3. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi nutrien belum cukup optimal untuk pertumbuhan konsorsium mikroalga. Pada hari ke-6, konsentrasi TSS pada kultur Sy2 berada pada level 210.5 mg/L, kemudian menurun hingga hari ke-13 berada pada level 7.0 mg/L. Pada kultur Sy3, konsentrasi TSS hari ke-6 sebesar 315.5 mg/L. Konsentrasi TSS ini merupakan konsentrasi puncak tertinggi jika dibandingkan dengan kultur sintetik lain, sehingga diduga konsentrasi nutrien Sy3 cukup optimal untuk pertumbuhan konsorsium. Setelah hari ke-6, konsentrasi TSS pada kultur Sy3 kemudian menurun hingga sebesar 28.5 mg/L pada hari ke-13. TSS pada kultur Sy4 menurun dari konsentrasi puncak yakni 172.5 mg/L, menjadi sebesar 51.5 mg/L pada hari ke-13. Pada kultur Sy5, TSS juga menurun dari kepekatan puncak yakni 165.5 mg/L, menjadi sebesar 94.5 mg/L pada hari ke-13. Kelandaian pola penurunan TSS ditunjukkan oleh semakin meningkatnya konsentrasi pada hari ke-13, sementara konsentrasi puncak pada hari ke-6 menurun.
Berdasarkan nilai TSS tertinggi pada kultur media limbah sintetik Sy3 pada hari ke-6, dapat dilakukan perhitungan produktivitas biomassa mikroalga. Perhitungan ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai potensi kultivasi konsorsium mikroalga pada skala yang lebih besar. Misalkan kultur konsorsium mikroalga diaplikasikan pada lahan 1 ha (hektar) dengan tinggi kultur 30 cm maka volume kultur per ha dapat dihitung sebagai berikut.
Diketahui:
Luas lahan = 1 ha = 10 000 m2 Tinggi kultur = 30 cm = 0.3 m
Sehingga:
Volume kultur per ha = (luas lahan x tinggi kultur)/ha = (10 000 m2 x 0.3 m)/ha = 3 000 m3/ha
68 Berdasarkan analisis TSS pada kesembilan kultur media limbah sintetik, diketahui bahwa nilai TSS (konsentrasi sel/biomassa) tertinggi terdapat pada kultur Sy3 yakni sebesar 315.5 mg/L selama 6 hari. Pada volume kultur 3 000 000 L/ha, dapat diketahui produktivitas biomassa mikroalga.
Produktivitas biomassa = TSS x volume kultur per ha
= 315.5 mg/L/6 hari x 3 000 000 L/ha
= 946 500 000 mg/ha/6 hari x 365 hari/tahun = 57 579 kg/ha/tahun
Persentase kandungan minyak kultur Sy3 pada hari ke-8 adalah sebesar 20% (lihat lampiran 27). Kandungan minyak di dalam sel konsorsium mikroalga pada kultur Sy3 hari ke-6 diasumsikan juga sebesar 20%. Sehingga produktivitas minyak dari konsorsium mikroalga dapat dihitung.
Produktivitas minyak = produktivitas biomassa x kandungan minyak = 57 670 kg/ha/tahun x 20%
= 11 516 kg/ha/tahun ≈ 11 516 L/ha/tahun
Produktivitas minyak mikroalga sebesar 11 534 L/ha/tahun masih tergolong rendah. Menurut Chisti (2007) produktivitas minyak mikroalga (basis kandungan minyak 70%) pada kultur kolam raceway mencapai 99 400 L/ha/tahun, sedangkan pada kultur fotobioreaktor dapat mencapai 136 900 L/ha/tahun. Selain faktor daya adaptasi dan faktor spesies mikroalga, kandungan minyak mikroalga juga ditentukan oleh formulasi nutrien terutama berkaitan dengan konsentrasi nitrogen. Hal ini dibuktikan oleh Widjaja (2009), dimana semakin lama mikroalga dalam kondisi kekurangan nitrogen, akumulasi lipid dalam sel mikroalga akan semakin tinggi. Formulasi nutrien optimal bagi konsorsium mikroalga diperlukan untuk menghasilkan konsentrasi biomassa tinggi yang disertai dengan kandungan minyak yang tinggi. Perbandingan kandungan minyak dan produktivitas minyak mikroalga pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.
69 Tabel 15. Keragaman Konsentrasi Biomassa, Kandungan Minyak, dan Produktivitas
Minyak dari Berbagai Kondisi Kultur Mikroalga
Parameter Perhitungan ini Ia IIb
Kandungan Minyak (%) 20 44.8 26.71 Produktivitas Minyak (L/ha/tahun)c 11 516 134 685 10 676 Spesies Mikroalga Konsorsium didominasi Chlorella sp. Chlorella sp. Chlorella vulgaris
Wahana Kultivasi Open Vessel Photobioreactor Photobioreactor
Media Kultivasi NPK (15:15:15) Urea IBI
a
Hsieh dan Wu (2009) b
Widjaja (2009) c
Menggunakan basis tinggi kultur = 30 cm
Meskipun konsorsium mikroalga pada kultur Sy3 hari ke-6 didominasi oleh Chlorella sp. (lihat Tabel 14), ternyata kandungan minyak (20%) dan produktivitas minyak (11 516 L/ha/tahun) yang dihasilkan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Dengan menggunakan kultur Chlorella sp. murni, Hsieh dan Wu (2009) membuktikan bahwa kandungan minyak Chlorella sp. dapat mencapai 44.8% dengan produktivitas sebesar 134 685 L/ha/tahun pada perlakuan konsentrasi awal urea yang rendah pada media pertumbuhan (lihat Tabel 15). Pada penelitian tersebut Hsieh dan Wu (2009) menemukan bahwa peningkatan konsentrasi urea pada media justru mengakibatkan penurunan kandungan minyak dalam sel mikroalga. Pada level konsentrasi urea rendah terdapat konsentrasi urea optimum dimana kandungan minyak tinggi disertai dengan produksi biomassa yang tinggi. Pada penelitian Widjaja (2009) dengan menggunakan kultur spesies Chlorella vulgaris, kandungan minyak yang cukup tinggi (26.71%) tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi yakni hanya sebesar 10 676 L/ha/tahun. Hal tersebut diakibatkan oleh perlakuan nutrien yang belum mencapai optimum sehingga produksi biomassa masih rendah.
Meskipun produktivitas minyak konsorsium mikroalga pada perhitungan ini masih tergolong rendah, namun bila dibandingkan dengan produktivitas dari tanaman penghasil minyak lainnya, produktivitas 11 516 L/ha/tahun termasuk cukup tinggi (lihat Tabel 16).
70 Tabel 16. Perbandingan Produktivitas Minyak Konsorsium Mikroalga Hasil
Perhitungan dengan Produktivitas Minyak Tanaman Lainnya. Jenis Tanaman Trigliserida (L/ha/tahun)
Kedelaia 446
Bunga Mataharib 952
Jarakc 1 413
Kelapad 2 689
Kelapa Sawite 5 950
Konsorsium Mikroalga pada
Perhitungan Ini 11 516
a, b, c, d, e Kabinawa (2008)
Saat ini tanaman kelapa sawit, kelapa, dan jarak merupakan tanaman populer penghasil minyak nabati di Indonesia. Bila dibandingkan dengan ketiga tanaman tersebut (lihat Tabel 16), produktivitas minyak dari konsorsium mikroalga pada perhitungan ini (11 516 L/ha/tahun) jelas lebih unggul meskipun belum optimum. Produktivitas konsorsium mikroalga mencapai dua kali lipat dari produktivitas minyak kelapa sawit (5 950 L/ha/tahun), empat kali lipat dari produktivitas minyak kelapa (2 689 L/ha/tahun), dan delapan kali lipat dari produktivitas minyak jarak (1 413 L/ha/tahun). Produktivitas minyak konsorsium mikroalga pada perhitungan ini juga lebih unggul dari produktivitas minyak tanaman kedelai dan bunga matahari.
• Konsentrasi Nitrogen
Secara teoritis, konsentrasi nitrogen dalam bentuk TKN yang terdapat pada masing-masing kultur media limbah sintetik, seharusnya sebanding dengan konsentrasi pupuk yang ditambahkan. Namun adanya konversi nitrogen pada berbagai proses dalam pertumbuhan konsorsium mikroalga selama masa kultivasi, mampu merubah kecenderungan konsentrasi nitrogen tersebut. Perhitungan konsentrasi nitrogen selama kultivasi dianggap mewakili kecenderungan perubahan konsentrasi nutrien (N, P, K) keseluruhan. Berdasarkan hasil pengukuran TKN selama kultivasi, terlihat bahwa konsentrasi TKN semakin besar sesuai konsentrasi pupuk yang ditambahkan. Namun kecenderungan konsentrasi pada tiap-tiap kultur menunjukkan penurunan. Fluktuasi TKN yang terjadi selama kultivasi, disebabkan oleh aktivitas konversi nitrogen organik dan NH3-N menjadi bentuk nitrogen lainnya oleh mikroalga sesuai dengan karakteristik pertumbuhannya (lihat Gambar 28).
71 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 2 4 6 8 10 12 Sy9 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 2 4 6 8 10 12 Sy8 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 2 4 6 8 10 12 Sy7 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 2 4 6 8 10 12 Sy6 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 2 4 6 8 10 12 Sy5 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 2 4 6 8 10 12 Sy4 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 2 4 6 8 10 12 Sy3 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 2 4 6 8 10 12 Sy2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 2 4 6 8 10 12 Sy1
Gambar 28. Perubahan Konsentrasi TKN pada Kultur Limbah Sintetik
Konsentrasi TKN pada kultur Sy1 tidak menunjukkan perubahan berarti yakni berada pada level negatif (dibawah 0). Nilai negatif ini tidak berarti nitrogen sama sekali tidak ada pada kultur Sy1, namun diinterpretasikan bahwa kadar nitrogen sangat rendah dalam kultur. Bila dibandingkan dengan kurva pertumbuhan berdasarkan kerapatan sel pada masing-masing kultur media limbah sintetik (lihat Gambar 24), terlihat bahwa pada hari ke-6 dimana puncak pertumbuhan kultur Sy2, Sy3, Sy4, dan Sy5 terlihat jelas, konsentrasi nitrogen semakin rendah pada saat pertumbuhan semakin mendekati puncak. Pada kultur Sy2, konsentrasi TKN menurun dari 90 mg/L pada hari ke-2, menjadi 30 mg/L pada puncak pertumbuhan hari ke-6. Konsentrasi TKN kultur Sy3 menurun dari 190 mg/L pada hari ke-2, menjadi 94 mg/L pada puncak pertumbuhan hari ke-6. Konsentrasi TKN kultur Sy4
K o n se n tr a si T K N ( d a la m r ib u m g /L ) Waktu (Hari)