• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Fisik Kelongsoran Lereng Akibat Percepatan Sentrifugal dengan Beberapa Skenario Kandungan Air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemodelan Fisik Kelongsoran Lereng Akibat Percepatan Sentrifugal dengan Beberapa Skenario Kandungan Air"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pemodelan Fisik Kelongsoran Lereng Akibat Percepatan Sentrifugal

dengan Beberapa Skenario Kandungan Air

(A Laboratory Scale of Physical Modeling of Slope Failure Generated by

Centrifugal Acceleration with Several Water Content Scenarios)

Yudhidya Wicaksana*, Suseno Kramadibrata, Ridho Kresna Wattimena

Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, Bandung 40132, Indonesia

Sari

Kemantapan lereng merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pertambangan. Analisis kemantapan lereng dapat dilakukan dengan metode analitik, metode numerik dan juga pemodelan fisik. Pemodelan fisik untuk mempelajari mekanisme kelongsoran dan menghitung dampak kelongsoran skala laboratorium dilakukan dengan menggunakan alat uji sentrifugal yang dikembangkan di Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang ITB.

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah homogen dengan geometri 15 cm dan sudut kemiringan model lereng 35°. Percepatan sentrifugal maksimum adalah 3,81 g dan diaplikasikan pada model lereng dengan empat variasi kandungan air yaitu 0%, 5%, 10% dan 15%. Mekanisme kelongsoran model lereng dan volume kelongsoran diamati pada setiap variasi kandungan air tersebut.

Hasil peneitian ini menunjukkan bahwa perlu percepatan sentrifugal yang lebih besar untuk melongsorkan model lereng dengan kandungan air yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai kohesi cenderung meningkat dengan meningkatnya kandungan air. Untuk menganalisis konsekuensi longsoran dilakukan pengamatan proses longsoran dan juga perhitungan volume longsoran dengan menggunakan empat buah kamera digital. Selain itu, model umum hubungan antara kohesi dengan percepatan sentrifugal pada uji sentrifugal juga dihitung menggunakan analisis dimensi.

Kata kunci: alat uji sentrifugal, pemodelan fisik, kemantapan lereng, kandungan air, dampak kelongsoran Abstract

Slope stability is one of the most important factors in the surface mining operation. Slope stability problem can be solved with analytical, numerical and physical methods. A laboratory scale experimentation to study slope failure mechanism and consequence was performed by using centrifuge which was built in house by the Laboratory of Geomechanics & Mining Equipment of ITB in Indonesia.

The material used in this study was homogeneous soil with geometry of 15 cm high and 35° of slope angle. Centrifugal acceleration with the maximum of 3.81g was applied to the slope model with the variation of water content of 0%, 5%, 10% and 15%. By spinning the centrifuge at the different levels of acceleration and water contents, the slope failure mechanism and collapsed slope model were investigated.

Generally, the applied centrifugal acceleration to initiate the slope failure gets larger when the water content of the slope model increases. To measure the consequence, four cameras were attached to capture the slope condition during the test. The general relationship model among slope height, water content, cohesion, gravitational and centrifugal acceleration was proposed using dimensional analysis method.

Keywords: centrifuge, physical modeling, slope stability, water content, failure mechanism

*Penulis untuk korespondensi (corresponding author): E-mail: ywicaksana@gmail.com

Tel: +62-22-2502239, Faksimil: +62-22-2504209

I. PENDAHULUAN

Analisis kemantapan lereng dapat dilakukan dengan metode analitik, numerik dan juga pemodelan fisik. Untuk persoalan kemantapan lereng yang sederhana, pemecahan persoalan dengan menggunakan metode analitik dapat dilakukan dengan menggunakan hukum kesetimbangan gaya dan jika pemecahan persoalan sudah terlampau rumit, solusi pendekatan dengan metode numerik merupakan salah satu cara yang lebih baik untuk dilakukan. Namun,

pengamatan langsung terhadap keruntuhan lereng dengan menggunakan metode pemodelan fisik juga merupakan solusi yang tepat untuk menyelesaikan suatu persoalan kemantapan lereng. Dengan menggunakan pemodelan fisik, pengamatan dan perhitungan dari dampak yang akan ditimbulkan akibat longsor dapat dilakukan secara langsung. Pemodelan fisik yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan membuat sebuah model lereng menggunakan material tanah homogen dengan

(2)

beberapa variasi kandungan air yang dibuat pada sebuah kotak lalu kemudian diputar menggunakan motor listrik dengan kecepatan tertentu. Dengan mengubah kecepatan putaran, maka akan menghasilkan percepatan sentrifugal yang dapat mempengaruhi kemantapan model lereng sehingga dapat membuat model lereng tersebut longsor. Penelitian dengan metode pemodelan fisik dengan pendekatan percepatan sentrifugal ini dilakukan untuk melihat fenomena pengaruh air terhadap material penyusun model lereng dan menghitung konsekuensi dari kelongsoran lereng dimana konsekuensi tersebut dapat digunakan untuk mengkuantifikasi resiko dari kelongsoran lereng. II. PEMODELAN SENTRIFUGAL

Pemodelan fisik skala laboratorium dengan menggunakan alat sentrifugal telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa diantaranya adalah Hoek (1965), Joseph (1988), Gomah (1963) dan Misich (1997) dimana pemodelan yang dilakukan secara umum dilakukan untuk mempelajari perilaku massa batuan untuk tambang terbuka dan bawah tanah.

Hoek (1965) melakukan pengujian terhadap model yang dibuat pada skala laboratorium untuk mempelajari perambatan rekahan yang disebabkan oleh dua metode pembebanan yang berbeda yaitu pembebanan terdistribusi seragam (menggunakan mesin tekan) dan pembebanan yang diakibatkan oleh percepatan sentrifugal. Penelitian lain yang dikutip dari Joseph (1988) bahwa Gomah (1963) melakukan percobaan pada lereng batuan homogen dengan menggunakan alat sentrifugal untuk mempelajari distribusi tegangan sebagai fungsi dari tegangan akibat percepatan gravitasi, sudut kemiringan lereng dan ketinggian lereng.

Mengutip dari Joseph (1988) bahwa Sugawara (1982) juga menggunakan alat sentrifugal untuk mempelajari tahapan kelongsoran pada model lereng yang dibuat dengan menggunakan campuran antara semen, pasir dan air. Model lereng dibuat dengan sudut kemiringan lereng antara 50° sampai 80°. Kelongsoran yang diperoleh dari pemodelan fisik tersebut selanjutnya dibandingkan dengan metode elemen hingga dan diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda.

III. EKSPERIMENTASI LABORATORIUM Untuk memperoleh sifat material tanah, pengujian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah ITB sedangkan seluruh pekerjaan selain pengujian penentuan sifat material tanah dilakukan di Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang ITB.

3.1. Penentuan sifat material tanah

Sebelum dilakukan pengujian laboratorium, material tanah dikeringkan dan diayak terlebih dahulu dengan dengan ayakan #14 mesh (ukuran bukaan 1,4 mm).

Pengujian sifat material yang dilakukan antara lain adalah sifat fisik, distribusi ukuran butir, geser langsung dan kompaksi. Parameter yang diperoleh dari hasil pengujian sifat material dirangkum pada Tabel 1.

Pengujian geser langsung dilakukan pada beberapa skenario kandungan air (w). Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan kekuatan geser material (kohesi dan sudut gesek dalam) terhadap keberadaan air. Uji kompaksi juga dilakukan untuk mengetahui jumlah kandungan air yang paling optimal yang dapat membuat kondisi material paling kompak.

Tabel 1. Parameter sifat material tanah

Parameter Nilai Berat spesifik 17.80 kN/m3

Porositas 0.45 Kandungan air alami 20.95 %

Kandungan air optimum (Optimum water content/OMC) 31,30 % Distribusi ukuran butir Kerikil 4,23 % Pasir 12,50 % Lanau 60,73 % Lempung 22,45 % Kohesi w = 0 % 22,03 kPa w = 5 % 23,95 kPa w = 10 % 28,35 kPa w = 15 % 34,04 kPa w = 31,30 % 89,23 kPa Sudut gesek dalam w = 0 % 40,10° w = 5 % 36,21° w = 10 % 34,84° w = 15 % 36,24° w = 31,30 % 41,47° 3.2. Konfigurasi pengujian model lereng pada

alat uji sentrifugal

Alat uji sentrifugal memiliki diemeter putaran sebesar 3,65 m dengan kecepatan maksimum 70 rpm yang digerakan oleh motor listrik. Terdapat dua buah kotak yang terletak di kedua ujung dari lengan putar yang masing-masing berfungsi sebagai tempat model lereng dan tempat beban (counterweight). Pada poros putar dipasang sebuah alat ukur kecepatan putar (rpm-meter) yang terkoneksi langsung pada komputer sehingga kecepatan dapat diamati secara real-time. Alat uji sentrifugal dapat dilihat pada Gambar 1.

Model lereng dibuat dengan spesifikasi: tebal dasar 10 cm, tinggi 15 cm dan sudut kemiringan 35° (lihat Gambar 2). Arah muka model lereng dibuat menghadap keluar pusat putaran. Dengan skema seperti ini maka percepatan sentrifugal yang bekerja searah dengan arah muka lereng dimana dapat diartikan bahwa percepatan sentrifugal tersebut merepresentasikan percepatan horisontal yang bekerja pada model lereng.

Bagian dasar model lereng dibuat dilakukan pemadatan secara merata mengikuti nilai OMC yang diperoleh dari pengujian kompaksi. Bagian badan model lereng dibuat berulang dengan menggunakan

(3)

beberapa variasi kandungan air (w).

Pemantauan model lereng dilakukan dengan menggunakan empat buah kamera digital dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda. Pengambilan gambar dilakukan serempak menggunakan alat pengontrol jarak jauh dengan interval dua detik. Terdapat titik-titik acuan pada sisi dalam kotak dimana masing-masing titik tersebut memiliki koordinat lokal (x,y,z) yang berguna pada saat proses digital image correlation. Selain itu, seluruh proses pengujian juga direkam menggunakan kamera CCTV yang diletakkan tepat berhadapan dengan model lereng yang diamati (lihat Gambar 2).

Gambar 1. Alat uji sentrifugal

Gambar 2. Konfigurasi model lereng dan pemantauan 3.3. Pengujian model lereng dengan berbagai

skenario kandungan air

Terdapat empat skenario kandungan air (w) yang digunakan dalam pemodelan yaitu 0%, 5%, 10% dan 15%. Pengujian pertama kali dilakukan untuk model dengan w = 0% hingga model lereng tersebut longsor dengan percepatan sentrifugal tertentu setelah percepatan sentrifugal mengalami peningkatan secara bertahap. Setelah lereng longsor maka model lereng dibuat ulang dan pengujian kembali dilakukan untuk skenario kandungan air yang lain.

Proses kelongsoran lereng dapat teramati dengan baik pada rekaman kamera CCTV dan volume material yang longsor dapat dihitung dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah longsor. Foto sebelum dan sesudah longsor yang berasal dari empat buah kamera digital kemudian

diproses dengan metode photogrammetry untuk dapat diperoleh kontur tiga dimensi (lihat Gambar 3). Dengan menghitung selisih dari kontur kondisi awal dan kondisi setelah longsor, maka volume longsoran dapat diperoleh.

Percepatan sentrifugal yang diberikan pada model lereng untuk membuat model lereng tersebut longsor adalah 1,5-3,81 g dengan durasi pengujian antara 86-261 detik. Volume longsoran yang diperoleh dari hasil perhitungan adalah 0,002-0,005 m3. Hasil

lengkap eksperimentasi untuk setiap skenario kandungan air dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik percepatan sentrifugal dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Proses pembuatan kontur 3 dimensi dari foto hasil pengamatan.

Tabel 2. Hasil eksperimentasi untuk setiap skenario kandungan air

Parameter Kandungan air

0% 5% 10% 15% Percepatan sentrifugal (g) 1,05 2,35 2,57 3,81 Durasi (detik) 86 157 169 261 Kohesi (kPa) 22,03 23,95 28,35 34,07 Sudut gesek dalam

(°)

40,10 36,21 34,84 36,24 Volume longsoran 0,004 0,005 0,002 0,004

Gambar 4. Percepatan sentrifugal vs. waktu untuk setiap skenario kandungan air

IV. HASIL DAN DISKUSI

4.1. Kelongsoran lereng pengaruh dari air dan percepatan sentrifugal

Mengacu pada Gambar 4, terlihat bahwa model lereng dengan kandungan air yang lebih tinggi

(4)

membutuhkan percepatan sentrifugal yang lebih besar dan waktu yang lebih lama hingga proses longsor terjadi. Pada kondisi model lereng kering (w = 0%), material penyusun model lereng bersifat lepas (loose) dimana tidak adanya air membuat partikel-partikel tanah tidak saling terikat. Kondisi ekstrim lainnya dapat dilihat pada model lereng dengan kandungan air sebesar 15% dimana secara fisik tanah bersifat sangat kompak karena air sangat berperan sebagai pengikat antar partikel tanah. Das (2006) menjelaskan bahwa air dapat berfungsi sebagai softening agent pada partikel-partikel tanah yang membuat permukaan partikel-partikel tanah melunak sehingga dapat mengikat satu sama lain. Hasil ini juga didukung oleh hasil pengujian geser langsung di laboratorium (lihat Tabel 2). Kohesi semakin meningkat seiring dengan peningkatan kandungan air walupun data sudut gesek dalam cenderung berubah tanpa memiliki pola hubungan dengan peningkatan kandungan air.

Gambar 5. Grafik hubungan parameter kuat geser (kohesi dan sudut gesek dalam) degan kandung air Peningkatan nilai kohesi akibat dari peningkatan kandungan air juga diungkapkan oleh Tilgen (2003). Tilgen (2003) melakukan pengujian geser langsung pada material lempung dengan variasi kandungan air pada daerah dry side (6%, 4%, OMC-2%) dan pada daerah wet side (OMC+2%, OMC+4%, OMC+6%) dimana nilai OMC adalah kandungan air optimum yang diperoleh dari uji kompaksi. Hasil dari penelitian Tilgen tersebut menjelaskan bahwa pada daerah dry side (kandungan air belum melewati OMC) kohesi cenderung meningkat dengan peningkatan kandungan air, sedangkan pada daerah wet side kohesi cenderung menurun.

Pada penelitian ini, variasi kandungan air yang digunakan adalah 0%, 5%, 10%, 15% dan memiliki nilai OMC sebesar 31,3%. Nilai variasi kandungan air tersebut dapat dituliskan sebagai OMC-31,30%, OMC-26,34%, OMC-21,34% dan OMC-16,34%. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh variasi kandungan air yang diterapkan pada penelitian ini berada dibawah nilai kandungan air optimum atau daerah dry side sehingga jika mengacu pada Tilgen (2003) maka akan terjadi peningkatan kohesi seiring dengan peningkatan kandungan air.

Kurva peningkatan kohesi sebagai fungsi dari kandungan air dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6, nilai % kohesi = 100 adalah nilai kohesi pada saat kondisi paling kompak atau dengan kata lain pada kondisi OMC.

Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Mitchaels (1959) bahwa penurunan kohesi terjadi dengan adanya pengurangan kandungan air pada bila terjadi di bawah kandungan air optimumnya. Lambe dan Whitman (1979) juga menjelaskan bahwa tanah akan cenderung menggumpal pada daerah dry side kurva kompaksi dan cenderung terdispersi pada daerah wet side kurva kompaksi.

Gambar 6. Kurva kohesi vs kandungan air relatif terhadap OMC dibandingkan dengan Tilgen (2003) 4.2. Model persamaan umum

Untuk memperoleh model persamaan umum antara kohesi dan percepatan sentrifugal pada uji sentrifugal maka dilakukan analisis dimensi dengan variabel sebagai berikut: tinggi model lereng (m), percepatan gravitasi (m/s2), berat spesifik material

(kN/m3), kohesi (kN/m2), kandungan air (kg) dan

percepatan gravitasi (m/s2) – f [h, g, , c, w, a s].

Variabel berulang yang dipilih adalah h, g dan  sehingga persamaan produk tak berdimensinya adalah:

π h g γ c L LT ML T ML T

π h g γ w L LT ML T M

π h g γ a L LT ML T LT

Untuk memperoleh konstanta a1, b1, c1, a2, b2, c2, a3,

b3 dan c3 maka diselesaikan dengan matriks dimensi

(5)

Jika dikembalikan lagi ke persamaan awal, maka produk tak berdimensi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut. π h g γ c c h. γ π h g γ w g. w h γ π h g γ a a g

Tiga persamaan produk tak berdimensi tersebut dapat dihubungkan satu sama lain sehingga persamaan umum yang diperoleh adalah sebagai berikut.

c g . w a . h

Dari persamaan yang dihasilkan tersebut maka diperoleh grafik hubungan antara kohesi dan percepatan sentrifugal untuk setiap skenario kandungan air seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kurva hubungan antara kohesi dan percepatan sentrifugal untuk setiap kondisi kandungan air Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa dengan peningkatan percepatan sentrifugal yang diaplikasikan pada model lereng, maka nilai kohesi yang diperoleh akan cenderung menurun untuk setiap kondisi kandungan air. Hal tersebut diduga akibat dari percepatan sentrifugal pada saat pengujian ditingkatkan secara bertahap sehingga menimbulkan efek pembebanan kejut yang berulang. Pembebanan kejut yang berulang tersebut membuat daya ikat antar partikel tanah mengecil dalam hal ini memperkecil nilai kohesinya.

4.3. Pola kelongsoran

Pola longsoran dapat diketahui dengan pengamatan langsung pada model lereng setelah longsor dan juga menggunakan foto-foto yang diperoleh selama pengujian. Foto-foto yang diperoleh selama

pengujian selanjutnya diolah menjadi grafik digital mengunakan teknik photogrammetry sehingga dapat dibuat penampang pada kondisi setelah longsor. Dari hasil pengamatan model lereng dan penampang pada model lereng setelah longsor pada semua skenario kandungan air diperoleh pola longsoran mengikuti yang lintasan busur (lihat Gambar 8).

Hasil yang diperoleh ini mengikuti asumsi yang digunakan oleh Bishop (1955) pada buku Hoek and Bray (1981) dimana lereng pada material tanah homogen, longsoran dapat diasumsikan sebagai longsoran busur.

Gambar 8. Sketsa pola longsoran yang mengikuti lintasan busur untuk semua skenario kandungan air V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dari fakta yang diperoleh tersebut dapat dinyatakan bahwa percepatan sentrifugal, waktu longsor dan kohesi berbanding lurus dengan kandungan air sedangkan sudut gesek dalam dan volume longsoran tidak memiliki pola hubungan. 2. Kandungan air yang digunakan dalam skenario

pengujian berada di bawah nilai kandung air optimum (OMC/optimum water content) sehingga kohesi cenderung meningkat dengan adanya peningkatan kandungan air.

3. Model persamaan hubungan antara kohesi sebagai fungsi dari perubahan percepatan sentrifugal dan kandungan air adalah sebagai berikut.

c g . w a . h Keterangan:

h = tinggi model lereng (m) g = percepatan gravitasi (m/s2)

c = kohesi (kN/m2)

w = kandungan air (kg) as = percepatan gravitasi (m/s2)

4. Dengan menggunakan persamaan pada butir 3, nilai penurunan kohesi yang diakibatkan oleh pemberian percepatan sentrifugal untuk beberapa skenario kandungan air dapat diprediksi.

(6)

5. Analisis konsekuensi kelongsoran model lereng dapat diamati secara langsung dan volume dapat dihitung dengan menggunakan metode

photogrammetry dimana pada penelitian ini

volume longsoran tidak memberikan pola hubungan dengan peningkatan kandungan air pada model lereng.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang ITB, Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB, Laboratorium Mekanika Tanah ITB dan LPPM ITB yang telah mendukung penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada panitia Workshop dan Seminar Nasional Geomekanika III (WSNG III) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mempublikasikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Das, B.M. (2006). Principle of Geotechnical Engineering, 5th Edition, Nelson, a division of Thomson Canada.

2. Gomah, A.H. (1963). An Application of Photoelasticity to the Stability of Slopes, M.S. Thesis, University of Missouri School of Mines. 3. Hoek, E. (1965). The Design of a Centrifuge for the Simulation of Gravitational Force Fields in Mine Models, Journal of South African Institute of Mining and Metallurgy, Vol. 65, No. 9. 4. Hoek, E. and Bray, J.W. (1981). Rock Slope

Engineering, the Institute of Mining and Metallurgy, London, England, 358 p.

5. Joseph, P.J., Einstein, H.H., Whitman, R.V. (1988). A Literature Review of Geotechnical Centrifuge Modeling with Particular Emphasis on Rock Mechanics, Engineering & Services Laboratory Air Force Engineering & Services Center Tyndall Air Force Base, Florida.

6. Lambe, T.W. and Whitman, R.V (1979). Soil Mechanics, Wiley, New York.

7. Micheals, A.S. (1959). Discussion to “Physical-Chemical Properties of Soils: Soil – Water Systems”, by I. Th. Rosenqvist, ASCE Proceedings Paper 2010.

8. Misich I. (1997). Subsidence Prediction and Mine Design for Underground Coal Mining in The Collie Basin, PhD. Thesis, Curtin University of Technology.

9. Tilgen, H.P. (2003). Relationship between Suction and Shear Strength Parameters of Compacted Metu Campus Clay, M.S. Thesis, the Middle East Technical University.

Gambar

Tabel 1. Parameter sifat material tanah
Gambar 2. Konfigurasi model lereng dan pemantauan  3.3.  Pengujian model lereng dengan berbagai
Gambar 6. Kurva kohesi vs kandungan air relatif  terhadap OMC dibandingkan dengan Tilgen (2003)  4.2
Gambar 8. Sketsa pola longsoran yang mengikuti lintasan  busur untuk semua skenario kandungan air  V

Referensi

Dokumen terkait

untuk mencipkan generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak usia dini dalam hal ini melalui Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu pendidikan

Kluster ini dirancang untuk mendata hasil penelitian disertasi dan tesis yang telah dilakukan dosen PTAI atau penelitian skripsi untuk alumni program S-1 PTAI, namun

Disamping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa, pembebasan budak sebagai

Karena banyaknya persoalan-persoalan yang mengintari kajian ini, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti pada hubungan self efficacy dengan sikap belajar

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas, identifikasi permasalahan yang dapat disimpulkan adalah saat ini persaingan di dunia bisnis semakin kompetitif,

Pengukuran laju aliran digunakan untuk mengukur kecepatan cairan atau gas yang mengalir melalui pipa.. Pengukuran ini dikelompokkan lagi menurut jenis bahan

Ketik nama Desa dimana Anda melakukan RCA Masukkan jumlah SEMUA anak yang ditemui di 20 rumah responden Masukkan jumlah total anak yang SUDAH diimunisasi di 20 rumah

Ditinjau dari tujuan dan ukuran perusahaan, kinerja perusahaan dapat dilihat dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif