• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan Lombok merupakan suku pedagang di kepulauan tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan Lombok merupakan suku pedagang di kepulauan tersebut."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepulauan Kangean terdiri dari Kecamatan Kangayan, Kecamatan Arjasa dan Kecamatan Sapeken merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur. Kepulauan ini berada di tengah-tengah jalur pelayaran antara wilayah barat dan timur nusantara, didiami oleh beragam suku bangsa yang terdiri dari suku bangsa Mandar, Madura Kangean,1 Makassar, Buton, Bajo dan Bugis.2 Akan tetapi, dominasi suku bangsa di Kepulauan Kangean adalah suku bangsa Mandar, Bajo dan Madura Kangean.

Berbagai suku bangsa di atas memiliki ragam nilai budaya yang dibangun dan dipegang teguh pada masing-masing suku bangsa, misalnya perkawinan adat dari suku bangsa Mandar, Madura Kangean, Makassar, Buton, Bajo, dan Bugis. Sama halnya bahasa ibu yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Nilai budaya yang dibangun dengan perbedaan ini, ternyata dapat disatukan oleh laut, yang tampak pada profesi kebanyakan dari penduduk di pesisir utara pulau Jawa sebagai nelayan.

Para nelayan ini dikenal sebagai bangsa pelaut di antara enam suku bangsa di Kepulauan Kangean, kemudian yang menjadi subjek peneliti dalam penelitian ini adalah dua suku bangsa Madura Kangean dan Mandar. Di antara kedua suku bangsa ini, sebenarnya telah ada batas-batas sosial yang tidak disadari. Ketidaksadaran pada batas-batas sosial dalam kehidupan sehari-hari inilah yang merupakan pembeda di antara mereka dalam hubungan sosialnya.

       1

Orang Madura yang dimaksud adalah orang Madura asal Kepulauan Kangean Kecamatan Arjasa, Kecamatan Kangayan, dan Kecamatan Sapeken. Sukubangsa Madura Kangean selalu membedakan dirinya dengan asal Madura daratan (Madura daratan: Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Bangkalan).  

2

 Beberapa sukubangsa lain berada di Pulau Sapeken (Kecamatan Sapeken), asal Jawa, Bali dan Lombok merupakan suku pedagang di kepulauan tersebut.  

(2)

Walaupun di antara mereka ada perbedaan yang sangat kasat mata, tetapi tidaklah menjadi penghambat dalam hubungan suku bangsa yang ada di Kecamatan Sapeken, interaksi sosial di antara mereka dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari di daratan maupun di atas perahu. Interaksi sosial di antara kedua suku bangsa tampak dalam kerja sama di perahu orang Mandar maupun Madura Kangean, dan begitu juga di daratan sebagai tetangga.

Interaksi sosial mereka merupakan elemen yang kuat dalam saling silang kebudayaan. Sebagai contoh silang kebudayaan terjadi dalam teknologi alat pancing dan tradisi perkawinan. Interaksi sosial tersebut akan membentuk struktur sistem kerja sama di atas perahu antara orang Madura Kangean dan orang Mandar. Artinya, yang berada di atas perahu bisa saja orang Madura Kangean sebagai punggawa (pemilik perahu) dan orang Mandar sebagai nelayan yang bekerja sebagai anak buah. Kegunaan perahu di sini adalah sebagai alat pencari isi laut oleh para nelayan.

Tradisi melaut, orang Mandar masih menggunakan perahu tradisional mereka (Perahu Pakur dan Tiga Roda)3, untuk melakukan pencaharian telur ikan terbang. Di nusantara, pencarian telur ikan terbang menggunakan alat tangkap bernama roppo atau roppong yang berasal dari bahasa Mandar. Berawal dari istilah roppong, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata rumpon. Ada pun orang Bugis mengenal dengan sebutan rumpong (Alimuddin, 2004). Menurut Alimuddin (2005), rumpon adalah alat penangkap ikan yang kini lazim digunakan di berbagai negara. Hal ini juga dipergunakan di berbagai negara, dan bahkan rumpon sebagai inspirasi batas-batas negara di perairan.4

Suku bangsa Madura Kangean masih menggunakan Perahu Mayang dalam berlayar. Para nelayan Madura Kangean juga termasuk dalam salah satu suku bangsa di Kepulauan Kangean yang memiliki tradisi melaut. Penggunaan perahu khas, alat       

3

Sebelum perahu Tiga Roda ada, sukubangsa Mandar mengenal perahu Pakur tetapi perahu ini dimodifikasi akibat bagian bodi depan perahu dianggap mengganggu stabilitas laju perahu sebab terhalang rumput laut. 

4

Dalam catatan Lopa, (1984), para pelaut itu dapat mengetahui perairan Kalimantan, perairan Malaka dan batas-batas perairan kerajaan-kerajaan lain, dengan jalan melihat letak alat penangkap (berlindung) ikan dan tempat perahu mengikatkan diri, yang dinamakan roppo (roppong, rumpon).  

(3)

pancing, hingga penggunaan simbol-simbol suku bangsa merupakan wujud pembeda di antara suku bangsa lain di Kepulauan Kangean. Dari perbedaan inilah di antara suku bangsa memiliki batas-batas tersendiri pada suku bangsa lainnya, interaksi

antara suku bangsa tersebut telah menembus batas perbedaan mereka. Dengan

memiliki naluri yang sama, mereka sangat kuat terhadap laut sehingga melakukan pelayaran yang cukup jauh dari daratan.

Pelayaran dengan pedoman jalur laut yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi, jalur laut yang diseberangi oleh para nelayan Mandar dan Madura Kangean, tentu telah menyeberangi jalur laut nelayan lainnya. Hal inilah yang membuat mereka selalu bertemu. Dalam pertemuan, bisa saja mengalami pergeseran-pergeseran atas dalil penguasaan wilayah-wilayah tertentu. Begitu juga, dengan para nelayan Jawa yang melaut hingga ke Indonesia timur, seperti kasus konflik atas wilayah laut terhadap wilayah tangkapannya (fishing ground) di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, yang terjadi sejak 1930-an (Adhuri, 2003).

Suku bangsa yang ada di Kepulauan Kangean telah menjaga keharmonisan dalam berinteraksi semua pelaut. Keharmonisan interaksi sosial yang dibangun oleh suku bangsa yang berada di Kepulauan Kangean patut sebagai contoh dalam wilayah tangkapan ikan. Di perairan nusantara kerap kali terjadi konflik akibat perebutan wilayah tangkapan ikan. Dalam perebutan wilayah tangkapan, tidak segan-segan para nelayan membakar perahu saingannya, dikarenakan klaim berlebihan terhadap wilayah tangkapannya pada suku bangsa tertentu. Setiap suku bangsa nelayan berasumsi tentang wilayah melaut mereka telah diatur dalam pedoman jalur laut yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.

Pedoman jalur laut yang diwariskan dari generasi ke generasi di atas, tidak menutup kemungkinan terjadinya potensi konflik di antara para nelayan yang lain. Potensi konflik ini, bisa terjadi dikarenakan penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di wilayah tersebut. Dengan melihat latar belakang, saya melihat adanya beberapa permasalahan yang menjadi pembahasan dalam bab berikutnya.

(4)

B. Permasalahan

Dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana interaksi antara orang Mandar dan Madura Kangean berlangsung

dalam bidang: a. Kenelayanan? b. Kemasyarakatan? c. Keagamaan?

2. Mengapa konflik di antara mereka relatif kecil?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ingin melihat interaksi antara orang Mandar dan Madura Kangean dalam bidang kenelayanan, kemasyarakatan, keagamaan dan konflik yang terjadi diantara mereka.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai suku bangsa nelayan yang menetap di Kepulauan Kangean yang membangun hubungan yang lebih mengutamakan keserasian atau keharmonisan walaupun mereka beranekaragam (heterogen).

E. Kajian Pustaka

Kangean adalah kepulauan yang dihuni oleh enam suku bangsa yang mempunyai karakter keras, dan mereka hidup dalam satu wilayah. Dua suku bangsa yang menjadi subjek penelitian, yaitu orang Madura Kangean dan orang Mandar yang terkenal memiliki karakter tidak kenal kompromi dalam hal-hal kecil apapun yang dianggap merugikan mereka dan menekankan arti penting harga diri. Upaya penyatuan kelompok masyarakat yang terintegrasi dalam satu pulau dan menjalani hidup normal sejak turun temurun belum banyak dikaji.

(5)

Salah satu suku bangsa nelayan yang memiliki budaya bahari dan maju dalam beradaptasi adalah orang Mandar. Sebagaimana yang dikatakan Alimuddin dalam karyanya “Orang Mandar Orang Laut” (2005), masyarakat bahari cukup cerdas untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai perubahan alam dan budaya. Ditambahkan oleh Alimuddin bahwa penelitiannya dimaksudkan untuk memperlihatkan cara masyarakat bahari sekarang, khususnya nelayan Mandar, beradaptasi dengan perubahan lingkungan alam dan budaya. Alimuddin mengutarakan ada tiga sisi budaya kebaharian orang Mandar, pertama: sandeq, perahu layar bercadik yang digunakan oleh nelayan Mandar. Kedua: perubahan yang sedang dihadapi oleh nelayan Mandar dalam tradisi menghanyut di tengah laut sembari menangkap ikan terbang dan, ketiga: perubahan dalam tradisi pemakaian

roppong. Karya Alimuddin menjadi penting untuk peneliti ketahui mengenai tradisi

kebaharian nelayan Mandar yang terjadi di wilayah Sulawesi Barat.

Karya Alimuddin yang lain terkait dengan perahu dan orang Mandar dengan judul Sandeq Perahu Tercepat Nusantara (2009). Alimuddin menginginkan agar orang Mandar secara khusus dan secara umum orang Indonesia dapat memahami Perahu Sandeq milik orang Mandar yang merupakan perahu bercadik yang digunakan sebagai kendaraan laut yang khusus menangkap ikan terbang. Perahu Sandeq saat ini tidak hanya digunakan sebagai kendaraan untuk mengincar ikan terbang, tetapi juga digunakan untuk lomba perahu yang diselenggarakan setiap 17 Agustus. Penelitian Alimuddin mengenai orang Mandar dan perahu sandeq merupakan bagian dari penelitian lanjutan dari Orang Mandar Orang Laut, dan penelitian ini penting untuk mengetahui perkembangan teknologi perahu nelayan Mandar yang berada di tanah Mandar-Sulawesi Barat.

Persoalan mengenai nelayan, perahu, ikan dan laut juga telah diteliti dan ditulis oleh Alimuddin, dengan judul Mengapa [Belum] Cinta Laut (2004). Kalimat judul buku ini menghasilkan dua arti sekaligus. Pertama, pertanyaan buat kita, mengapa belum mencintai laut? Kedua, mengapa kita cinta laut? Alimuddin melihat ada persoalan dengan negara dan masyarakat mengenai klaim negara maupun

(6)

masyarakat secara umum, misalnya bahwa negara kita adalah negara maritim. Padahal, sebagian besar rakyatnya mengkomsumsi ikan tidak segar. Hal yang lain bahwa ikan hias lou han yang amat jelek bisa-bisanya dijadikan jimat dan mahal harganya. Tulisan Alimuddin yang banyak mengangkat persoalan-persoalan nelayan dalam sudut pandang berbeda membuat hasil pengamatannya penting buat penelitian saya di Kepulauan Kangean yang begitu kompleks permasalahannya.

Hasil penelitian Salman (2006), dengan judul Jagad Maritim pada komunitas pembuat perahu di Sulawesi Selatan, membahas masyarakat maritim Sulawesi Selatan yang sedang bertransformasi menuju masyarakat industrial. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa transformasi itu ditentukan oleh perkembangan investasi, teknologi, dan manajemen. Tentu penelitian Salman akan banyak memberikan masukan teknologi nelayan dan inovasi yang terkait dengan peneliti, penelitianya yang mengulas nelayan suku Ara di Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Kadir, et al. (2004) melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antarsuku

bangsa dan Ekologi di Karimunjawa. Banyak kelompok suku bangsa nelayan dari

Bugis, Mandar, Buton, dan Jawa. Sekalipun tidak sedemikian kompleks seperti di Kepulauan Kangean, tetapi beragamnya suku bangsa nelayan di Karimunjawa mengakibatkan sekian banyak konflik perebutan sumber daya laut, yang menurut orang Karimunjawa selalu didahului oleh nelayan-nelayan yang tidak bermukim di pulau tersebut, tetapi selalu meraih keuntungan di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Hal inilah yang selalu menimbulkan konflik antara nelayan di wilayah tersebut. Penelitian Kadir merupakan sumber penting untuk memahami interaksi nelayan di Kepulauan Karimunjawa yang menjadi masukan buat peneliti.

Tidak jauh berbeda dengan nelayan di Karimunjawa, penelitian yang berjudul

Kalah di Kampung Sendighi (nelayan Melayu di Indonesia Pasca-Kolonial) yang

dilakukan oleh Junaidi (2007) menguak marginalisasi yang telah terjadi atau yang dirasakan oleh nelayan-nelayan Melayu di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Marginalisasi tersebut sudah terjadi sejak awal kemerdekaan hingga kini. Penelitian berbasis pada teori konstruksi sejarah dan siasat adaptasi untuk menelusuri persoalan

(7)

keterpinggiran yang telah dan sedang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori ilmu antropologi dan mengkritisi beberapa kebijakan penguasa yang tidak memihak kepada komunitas nelayan dengan harapan penguasa lebih memahami kondisi komunitas nelayan tersebut dari sudut pandang bottom up, bukan

top down. Junaidi mengharapkan hasil risetnya ini dapat memberikan kontribusi

solutif pada pemerintah agar keterpinggiran komunitas nelayan dapat ditekan. Penelitian di atas dapat menjadi masukan buat peneliti mengenai peran pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi nelayan Kepulauan Kangean.

Lampe (1989), dalam penelitiannya menulis mengenai Strategi-Strategi

Adaptif yang Digunakan Nelayan Madura dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya. Lampe (2006), dalam Disertasinya tentang Pemanfaatan Sumber Daya Taka oleh Nelayan Pulau Sembilan: Studi Variasi Perilaku Nelayan dan Konsekuensi Lingkungan dalam Konteks Internal Eksternal, mengatakan bahwa masalah

pokoknya adalah mengapa dan bagaimana perilaku nelayan bisa membawa konsekuensi perubahan kondisi lingkungan dan sumber daya terumbu karang? Tujuan studi Lampe adalah ingin menjelaskan perilaku eksplotasi sumber daya terumbu karang dalam konteks sosial budaya internal dan eksternal dengan aplikasi dan pengembangan berbagai asumsi pokok dari pendekatan aksi dan konsekuensi dengan metode penjelasan kontekstual progresif dan berbagai asumsi dalam pendekatan-pendekatan ekologi manusia lainnya yang dinilai relevan (2006).

Berbeda dengan penelitian Siswanto yang melihat dari sisi perlawanan nelayan, Ua (1996) mengulas nelayan Bajo di daerah Flores Timur. Menurutnya, nelayan Bajo tidak saja menjadikan laut sebagai sumber penghidupan, tetapi lebih dari itu, di laut mereka bisa menyusun sejarah, membangun masyarakat, membangun nilai-nilai dan tinggal jauh dari pantai seperti saudara-saudara mereka di Kepulauan Riau Lingga, Kendari, ataupun di Torisiaje dekat Gorontalo. Mereka telah tinggal di darat kira-kira 2 meter ke bibir pantai. Masih ada pula 7 rumah yang menetap di pantai kira-kira 30 meter dari bibir pantai. Sangat jelas ia mengulas nelayan Bajo di Lewoleba dengan mengatakan bahwa pada akhirnya nelayan Bajo banyak belajar dari

(8)

nelayan-nelayan yang lain, dengan melihat peralatan mereka yang canggih dan memetakan laut lewat bagang-bagang mereka sehingga dengan sendirinya para nelayan Bajo memiliki cara tersendiri mengatasi pencaharian hasil laut yang juga pada akhirnya menimbulkan konflik-konflik wilayah antara para nelayan Lewoleba dengan nelayan pendatang.

Zacot (2008) menceritakan secara gamblang Orang Bajo Suku Pengembara

Laut, di Torisiaje-Gorontalo. Dari awal tata kehidupannya hingga ritual-ritual orang

Bajo dan bagaimana mewariskannya kepada generasi berikutnya. Penelitian Zacot banyak memberitahukan tentang bagaimana orang Bajo melahirkan, mendidik anak dan membuang hajat. Penelitian Zacot sangat membantu peneliti melihat sejauh mana nelayan Bajo di Kepulauan Kangean mempengaruhi nelayan Mandar dan nelayan Madura, melihat dominasi bahasa dan tradisi nelayan Bajo sangat mengakar di Pulau Sapeken.

Kusnadi (2006) dalam tulisanya Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan

Perebutan Sumber Daya Alam, mengemukakan berbagai persoalan yang terkait

dengan kehidupan masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Hal tersebut antara lain adalah konflik antara kelompok nelayan karena berebut daerah tangkapan atau melanggar batas geografis wilayah, degradasi lingkungan laut dan pesisir serta pencurian ikan oleh kapal-kapal asing yang sangat merugikan negara. Menurutnya, sampai sekarang isu-isu di atas belum mendapatkan pemecahan yang sungguh-sungguh melalui strategi kebijakan pembangunan yang dirancang oleh pemerintah. Penelitian Kusnadi ada kesamaan permasalahan di wilayah Kepulauan Kangean, sehingga penelitiannya dapat membantu peneliti melihat peta konflik di Kepulauan Kangean.

Tulisan Sabian Utsman (2007) Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat

Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis memaparkan konflik nelayan lokal yang

berpenghasilan rendah dengan nelayan modern yang berpenghasilan dalam jumlah besar. Menurut Utsman, konflik disebabkan oleh sistem penangkapan hasil laut yang berbeda dan wilayah tertentu telah mengusik nelayan tradisional karena wilayah hak

(9)

ulayatnya dilanggar. Utsman dalam hal ini melihat pemerintah belum mampu menengahi aturan-aturan maritim, norma hukum di antara dua kelompok terpenting dalam kehidupan masyarakat pesisir dan kepulauan di Indonesia. Peneliti sangat tertarik dengan penelitian yang dilakukan oleh Utsman karena adanya keterkaitan hak ulayat, pengrusakan lingkungan dan lemahnya pemerintah menegakkan aturan maritim.

Berbicara kemiskinan, hal yang menarik adalah penelitian Huub de Jonge dengan karyanya Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,

dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Karya ini sedikit banyak menjelaskan

nelayan Madura di Kepulauan Kangean dan orang-orang timur asing. De Jonge banyak membahas perekonomian perkebunan juga sedikit perekonomian nelayan. Hal yang menarik bahwa de Jonge sangat kuat dalam memaparkan data-data penduduk dan perekonomiannya secara rinci.

F. Landasan Teori

Berangkat dari pokok persoalan yang dijabarkan di latar belakang, arah yang ingin dicapai ialah sebuah studi tentang interaksi sosial yang terjadi antara orang Mandar dan Madura Kangean di Kepulauan Kangean, yang belum ditemukan konflik di antara kedua suku bangsa tersebut. Belajar dari keberagaman mereka, dugaan sementara adalah mereka memiliki sistem sosial yang hebat hingga mampu menjaga stabilitas sosial di antara sesama nelayan yang memiliki mata pencaharian yang sama.

Menurut Poerwanto (2005), dinamika masyarakat tercermin dari perkembangan dan perubahan yang terjadi, sebagai akibat hubungan individu, kelompok maupun individu dengan kelompok-kelompok. Menurut Poerwanto, kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (accommodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation), dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubungan antar suku bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.

(10)

Sebagaimana yang diutarakan oleh Poerwanto, bahwa dalam kenyataannya interaksi sosial yang terjadi pada berbagai suku bangsa yang ada tidak berada pada suatu posisi yang sama. Salah satu suku bangsa menjadi superordinat dan suku bangsa lainnya subordinat. Menurut Schermerhorn (dalam Poerwanto, 2005), kelompok superodinat ini menjadi kelompok dominan yang memiliki kedudukan tinggi dan hak-hak istimewa (privileges) tertentu. Hal di atas berdasarkan dua dimensi size (jumlah) dan power (kekuasaan).

Akomodasi, seperti dikemukakan oleh Balwin (dalam Poerwanto, 2005), adalah selama proses penyesuaian berlangsung, berbagai konflik berusaha untuk dihindari dan berbagai kebiasaan lama diupayakan untuk diubah untuk disesuaikan sehingga mereka saling terlibat memperoleh ‘sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang baru’. Poerwanto menambahkan bahwa akomodasi sebagai suatu proses ditandai oleh upaya menciptakan dan menjauhkan berbagai hal yang dapat menimbulkan konflik. Menurutnya, upaya itu dilakukan secara sadar, tetapi juga dapat dilakukan secara paksa. Suatu akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan yang ditandai oleh terciptanya keseimbangan hubungan antara orang-perorangan maupun antar kelompok. Akomodasi berbeda dengan adaptasi, sekalipun kedua istilah tersebut sama-sama merupakan bentuk dari adjustment. Istilah adaptasi lebih sering dipakai dalam konteks perubahan struktural yang disebabkan oleh variasi dan seleksi biologis. Sebaliknya yang tercakup dalam pengertian akomodasi erat kaitannya dengan perubahan fungsional, misalnya berubahnya kebiasaan, tatacara dan adat-istiadat seseorang atau sekelompok orang. Akomodasi juga merupakan proses maupun yang menunjuk sebagai suatu keadaan tertentu, erat terkait dengan kompromi dan konversi. Yang dimaksud dengan kompromi adalah sikap persetujuan damai, kesepakatan atau jalan tengah. Sedang, konversi adalah munculnya sifat yang mendua dan terjadinya perubahan pada satu atau beberapa unsur kebudayaan.

Menurut Poerwanto (2005), tanda-tanda awal dimulainya konversi adalah munculnya sifat mendua dan terjadinya perubahan pada salah satu unsur kebudayaan atau lebih. Ia menambahkan bahwa untuk menyesuaikan kepribadian suatu

(11)

akomodasi dalam bentuk konversi amat menekankan arti penting mengadopsi secara sukarela berbagai pola dan etos dari out-group. Selanjutnya, apabila hal tersebut dapat terjadi, akhirnya in-group terlibat secara menyeluruh dengan kebudayaan

out-group. Melalui proses inilah sistem nilai lama berubah menjadi sistem nilai baru.

Schermerhorn (dalam Poerwanto, 2005) mengusulkan agar dalam mengkaji konsepsi integrasi juga dikaitkan dengan konteks campuran dari sistem kemasyarakatan dari suatu komunitas, artinya, aspek sosial-budaya dan politik yang tercakup dalam konsepsi integrasi juga harus diperhatikan. Selanjutnya, suatu integrasi bukan hanya semata menunjuk pada suatu keadaan yang tetap, melainkan selalu mudah berubah karena integrasi merupakan proses yang berjalan terus-menerus dan bukan menunjuk pada suatu keadaan absolut melainkan situasional. Dikemukakan pula bahwa pembahasan masalah integrasi tidak hanya menekankan aspek politik semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial-budaya yang terkandung di dalamnya.

Salah satu cara untuk mengidentifikasi integrasi adalah mempertanyakan posisi superordinat. Ada dua konsep utama yang dipakai sebagai model untuk menganalisis, yaitu sentripetal atau sentrifugal. Menurut Siswanto, sentripetal biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural. Misalnya, berupa penerimaan atas nilai-nilai yang berlaku umum dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Selanjutnya, sentrifugal adalah apabila ada keinginan di kalangan subordinat untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Dijelaskan, bahwa secara kultural kelompok subordinat tetap mempertahankan tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, dan pola-pola rekreasinya. Hal ini diperlukan sistem struktural, adanya kecenderungan untuk melakukan endogami dan mendirikan perkumpulan yang terpisah.

Interaksi antara orang Mandar dan orang Madura Kangean di Kepulauan Kangean berlangsung dalam konteks aktivitas penangkapan ikan, termasuk di dalamnya adalah perihal teknologi kenelayanan. Oleh karenanya diasumsikan bahwa interaksi mereka pun terkait dengan pengalihan teknologi. Untuk itu, dirasa perlu

(12)

membahas persoalan proses perubahan atau pengalihan teknik kenelayanan. Penelitian ini menggunakan pemikiran Everett M. Rogers dan F. Shoemaker dalam karyanya Memasyarakatkan Ide-Ide Baru untuk membahas proses alih teknologi yang berlangsung di antara nelayan Mandar dan nelayan Madura Kangean. Dengan teori inovasi, kita dapat membaca bagaimana masyarakat nelayan Mandar maupun Madura Kangean mengintroduksi ide-ide baru yang berada di luar komunitasnya. Banyak hal yang saling mempengaruhi dalam masyarakat nelayan di Kepulauan Kangean tepatnya di Kecamatan Sapeken, misalnya keterpengaruhan alat tangkap.

Rogers dan Shoemaker, mengatakan kajian tentang perubahan sosial adalah meliputi persoalan bagaimana peranan agen pembaru dan tokoh masyarakat dalam proses itu, bagaimana proses inovasi masuk ke dalam sistem sosial, faktor apa saja yang mempengaruhi kecepatan diterimanya inovasi oleh anggota sistem sosial serta apa akibat yang terjadi dengan komunikasi suatu inovasi ke dalam masyarakatnya (1981).

Selain Roger dan Shoemaker, ada pula Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin yang mampu menjelaskan Teori Konflik Sosial. Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak, arti kata ini kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lainnya (dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z, 2011). Masih dalm penjelasan Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z, dari segi aspek psikologis di balik konfrontasi fisik itu sendiri, istilah konflik menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Mereka berdua menawarkan satu solusi, menurut mereka bahwa dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan definisi Webster yang kedua. Bagi mereka, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan (Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z, 2011). Mereka berdua ahli dalam psikologi sosial yang menjelaskan tentang konflik dua pihak, bukan pada multi pihak.

(13)

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kasus (case study) berciri kualitatif. Sebagaimana, Sairin (2002) berpendapat bahwa pendekatan ini sangat tepat untuk memahami gejala sosial yang terjadi sebagai akibat dari perubahan masyarakat, permasalahan yang diteliti merupakan kelanjutan dari tradisi masa lalu sehingga perlu dipertimbangkan aspek sejarahnya karena merupakan bagian yang penting dalam melihat model kerjasama yang berlangsung.

Kepulauan Kangean yang terdiri dari 68 pulau ini dihuni oleh enam suku bangsa: Madura Kangean, Mandar, Makassar, Bajo, Bugis dan Buton. Pulau Sapeken dipilih sebagai lokasi penelitian karena lokasi tersebut merupakan salah satu pulau terpadat. Dua suku bangsa yang dominan di Pulau Sapeken ialah orang Madura Kangean dan orang Mandar. Penelitian ini memusatkan perhatian pada interaksi antara orang Mandar dan orang Madura Kangean untuk mengetahui interaksi antara suku-bangsa “pribumi” dengan suku bangsa “pendatang”. Di antara lima suku-bangsa pendatang, orang Mandar dipilih karena selain jumlah mereka lebih banyak di Pulau Sapeken, orang Mandar juga sering dipandang berkarakter sama dengan orang Bugis, Buton, Makassar dan Bajo.

Di sini, peneliti melihat orang Bugis, Buton, Makassar dan Mandar tidak terlampau memiliki perbedaan, begitu pula dengan orang Bajo. Jadi, cukup mewakili jika konsentrasi penelitian ini tertuju pada orang Mandar sebagai salah satu suku bangsa yang lebih dominan dan populasi terbanyak selain orang Madura Kangean. Peneliti juga akan mendiskripsikan kondisi geografis tentang keberadaan nelayan Madura Kangean di wilayah kepulauan yang masuk pada wilayah Kabupaten Sumenep, Kepulauan Kangean,

(14)

Kecamatan Sapeken. Selain itu juga, keberadaan orang Bajo di setiap wilayah nusantara dan bahkan di wilayah Asia Tenggara, di sini peneliti tidak menjadikan suku bangsa ini sebagai subjek utama dalam penelitian.

Oleh karena orang Bajo, Makassar, Buton dan Bugis menjadikan sebuah rangkaian dari memahami suku bangsa pelaut dari Mandar. Di sini, peneliti memilih dua suku bangsa yang menarik perhatian ialah orang Madura sebagai “pemilik wilayah geografis-kepulauan” dan orang Mandar sebagai suku bangsa dominan-pendatang.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview). Pengamatan terlibat dilakukan peneliti dalam berbagai ruang lingkup, hubungan masyarakat dengan peristiwa, konteks sosio kultural masyarakat bisa eksis di dalamnya. Melaut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas nelayan dengan mencari ikan sesuai dengan jalur yang menjadi target penangkapan ikan sesuai dengan kebiasaan yang sering dilakukan nelayan. Dengan hal di atas, peneliti berusaha memahami lebih mendalam mengenai kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Peneliti melakukan orientasi lapangan yang dilakukan bermula pada bulan Januari sampai bulan Maret 2010. Berusaha mendokumentasikan pembicaraan informan, membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, untuk menjamin validitas data. Peneliti juga melakukan wawancara agar lebih banyak mendapatkan informasi dengan bertanya atau wawancara mendalam pada beberapa informan kunci. Pedoman wawancara yang peneliti gunakan sifatnya terbuka agar dapat berkembang sesuai dengan keperluan dan situasi yang dihadapi serta untuk membuat informan merasa bercerita dengan saudara sendiri hingga mengungkapkan

(15)

semua pengetahuan dan pengalamannya. Beberapa alat yang peneliti gunakan antara-lain MP 3 (rec), camera poket digital, dan alat tulis.

3. Penentuan Informan

Penelitian ini, informan kunci (key informan) adalah orang-orang yang mengetahui benar seluk beluk masyarakat dan kebudayaan nelayan atau tradisi melaut. Ada dua nelayan asal Madura Kangean dan dua nelayan Mandar yang menjadi informan kunci. Keempat nelayan ini bertempat tinggal di Kecamatan Sapeken. Informan dari tokoh masyarakat ada dua orang dan satu lagi informan dari pejabat Desa Sapeken. Informasi juga diperlukan dari tokoh-tokoh masyarakat dan para pemerhati tradisi maritim yang dianggap cukup lama mendalami tenaga dan pikiran terhadap tradisi maritim, nelayan di Kepulauan Kangean. sesuai dengan sifatnya yang kualitatif maka penelitian ini tidak digunakan daftar pertanyaan melainkan memakai suatu pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok masalah yang akan ditanyakan untuk memperoleh data atau keterangan-keterangan yang diperlukan. Wawancara dilakukan pada bulan januari sampai bulan maret 2010. Tidak semua pulau dikunjungi, hanya lokasi pulau yang terkait dengan subjek peneliti saja yang dikunjungi, pulau Sapeken, pulau Saebus, pulau Pagerungan Besar dan pulau Pagerungan Kecil.

4. Analisis Data

Analis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Ada dua tahap yang ditempuh dalam analisis data ini. Tahap pertama adalah data dipilah-pilah untuk kemudian diambil data yang memiliki relevansi dengan tema pokok penelitian. Proses inilah yang menjadi fokus perhatian dalam penyederhanaan, pengabstrakan, dan informasi data “kasar” yang didapat di lapangan. Tahap kedua adalah penyajian data di mana data direkontruksi dengan deskripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada diagram sankey dapat dilihat besarnya daya loss, hanya 10,78% saja yang diubah menjadi energi listrik, loss daya photovoltaic adalah 89,22% yang tidak dapat

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis

‘Joomla’  di  Balai  Pengembangan  Teknologi  Informasi  dan  Komunikasi  Pendidikan  (BPTIKP) 

masih hidup selama 830 tahun. Sepanjang hidupnya, Mahalalel menjadi bapak dari beberapa anak laki-laki * 5:3 anak laki-lakinya Dalam bahasa Ibrani sudah jelas dari kisah

Seluruh kutu putih yang ditemukan tersebar pada 23 tanaman inang, yaitu: alpukat, belimbing, buah naga, duku, jambu air, jambu biji, jambu bol, jeruk manis, jeruk nipis, jeruk

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) studi pustaka berkaitan dengan pemeliharaan jalan rel, (2) pengumpulan data dari PT KAI Daerah operasi 2 Bandung, dan

Pada penelitian ini varietas kedelai yang memberikan hasil paling tinggi seperti Grobogan dan Burangrang ternyata mempunyai jumlah polong lebih banyak, ukuran biji besar, dan