• Tidak ada hasil yang ditemukan

REMAJA HINDU DAN BUSANA ADAT KE PURA : PERKEMBANGAN BUSANA ADAT REMAJA HINDU DALAM ERA GLOBALISASI PERSPEKTIF TRI KERANGKA DASAR AGAMA HINDU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REMAJA HINDU DAN BUSANA ADAT KE PURA : PERKEMBANGAN BUSANA ADAT REMAJA HINDU DALAM ERA GLOBALISASI PERSPEKTIF TRI KERANGKA DASAR AGAMA HINDU"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

REMAJA HINDU DAN BUSANA ADAT KE PURA :

PERKEMBANGAN BUSANA ADAT REMAJA HINDU DALAM ERA GLOBALISASI PERSPEKTIF TRI KERANGKA DASAR AGAMA HINDU

Oleh

I Gst Ngrh A Gd Yoga Semara

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Email: yogasemara98@yahoo.com

Abtract

Today globalization greatly affect times. All aspects of being changed as a result of globalization. Including lifestyle like westernized, ranging from attitudes, speech, and dress. One of the most striking change is a matter of appearance (clothing style). Clothing style became one of the things that greatly affect a person's personality in the current era of globalization

Globalization is an inevitable phenomenon, but it also opened vast opportunities. Globalization has brought great progress and fundamental changes in the lives of the people of Bali, particularly Hindus are conflicts of culture. Now, globalization is not a new thing to talk about. The pressure of globalization are the biggest challenges today must look for solutions.

Abstrak:

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi zaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk gaya hidup yang suka kebarat-baratan, mulai dari sikap, bicara, maupun dalam berbusana. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah soal penampilan (gaya pakaian). Gaya pakaian menjadi salah satu hal yang sangat mempengaruhi kepribadian seseorang di era globalisasi saat ini.

Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini harus dicarikan solusi.

I. Pendahuluan

Tekanan globalisasi dewasa ini memang membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam berbusana adat ke Pura oleh generasi muda Hindu di Bali. Banyak generasi muda yang kurang memahami dan juga ada yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke

(2)

jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan transparan dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini. Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi orang yang mempunyai pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan

Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam menggunakan busana adat ke pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat kepura terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan.Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat Bali. Sehingga masyarakat menjadi lebih paham dang mengerti makna-makna yang terkandung dalam busana adat kepura.Jika kita telusuri Tattva dan etika dalam berbusana ke Pura. Orang berbusana adat yang baik untuk ke pura yakni berbusana yang enak dipandang. Tidak kebablasan seperti busana yang pendek-pendek, kebaya yang tipis dan transparan, penggunaan kamben yang di atas lutut. Walaupun semua itu adalah trend atau mode kita harus juga mengetahui apa makna dari pakaian adat ke Pura.

Jadi berpakaian ke pura itu di harapkan pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran. Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi dalam pemakaian pakaian adat ke Pura, namun kita sebagai penganutnya harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura. Tentu itu akan mengakibatkan sebuah penyimpangan dalam berpakaian kepura.Sebagai generasi muda memang sudah harus sepatutnya mempelajari dan mampu memahami dan juga melakasakan etika dalam berpakaian untuk persembahyangan ke Pura. Pikiranlah yang utama dalam mengantarkan bhakti kita kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Dan apabila hanya karena mengikuti trend dan mode pakaian yang dikenakan bisa menggagu konsentrasi tentu saja itu akan membuat terganggunya situasi persembahyangan yang khusyuk.

(3)

Berpenampilan tetap cantik atau tampan, rapi dan bersih pada saat melakukan persembahyangan yang bertujuan agar perasaan nyaman muncul, sehingga persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus menggunakan pakaian kebaya, dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk Acara persembahyangan, dan rambut sewajarnya, demikian juga aksesoris. Dan jangan lupa agar filosofis dalam berpakaian tidak dilupakan. Karena itu adalah sebuah budaya yang patut untuk di pertahankan. Dengan berpakaian rapi, nyaman untuk digunakan dan tidak mengganggu penglihatan orang lain serta dengan tidak melupakan unsur-unsur filosofis berpakaian itu akan jauh lebih baik daripada memakai pakaian transparan dan memakai kamben cukup tinggi hingga memperlihatkan paha. Pada akhirnya kembali kepada pemakai busana tersebut apa kata hati nurani (atmanasthuti)nya. Pantaskan sebuah trend busana tersebut dipakai untuk melakukan yadnya atau persembahyangan, sedangkan untuk melakukan semua itu diperlukan pikiran yang suci umat. Diperlukan kesadaran semua umat untuk turut mensucikan pura antara lain dengan kesucian pikiran diri sendiri dan orang lain.

II. Pembahasan

2.1 Perkembangan Busana Adat ke Pura Remaja Hindu

Pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi dengan suatu bagian dari pengada hakiki. Pakaian atau busana dikatakan sebagai suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia (Artini 2013:3). Saat ini banyak generasi muda yang menggunakan trend kebaya seperti gambar di atas. Entah apa yang mereka pikirkan. Dari hal tersebut membuat suatu gagasan menguhubungkan generasi intelek untuk menciptakan budaya ajeg Bali melalui cara berpakaian adat ke pura. Mengingat berpakaian adat ke pura merupakan ciri khas dari Provinsi Bali umumnya, memang terlihat anggun jika seseorang ke pura dengan pakaian sedemikian rupa dan menggunakan aksesoris yang berlebihan. Namun ada baiknya jika seseorang pergi ke pura berniat untuk menghadapkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa tidak menggunakan pakaian bersih dan sopan serta sesuai dengan Tattva yang ada dalam tatanan agama dan budaya.

Dalam salah satu Dharma Wacana Ida Pedanda Gede Made Gunung (2013) mengatakan ―bahwa pakaian itu merupakan produk budaya manusia, sehingga Agama Hindu tidak menyeragamkan pakaian penganutnya karena kitab suci agama Hindu adalah wahyu Tuhan bukan produk manusia yang mengayomi, mengangkat, dan memaknai budaya lokal, walaupun demikian Agama Hindu mengajarkan Susila‖. Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman

(4)

dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran. Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi, namun sebagai penganut agama Hindu yang benar harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di pura.

Pada zaman sekarang ini kurangnya minat generasi muda (yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) untuk memakai tata rias rambut model sanggul, termasuk menatanya dengan model pepusungan, juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan wanitanya, lebih banyak menata rambutnya dengan cara membiarkan rambutnya terurai (megambahan), baik dengan potongan rambut pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di bagian belakang seperti gelang karet, ada juga yang menggunakan pita pengikat atau bando dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut, mereka cenderung tampil apa adanya tanpa sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja karena terpengaruh model punk, cukup banyak anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan model acak-acakan.

Adapun contoh-contoh perubahan busana adat kepura diera globalisasi sekarang seperti :

1. Pemakaian baju kebaya/brokat bagi busana wanita menjadi lebih transfaran, modis dan memakai lengan pendek.

2. Pemakaian kamben/kain bagi busana wanita sedikit lebih tinggi atau diatas lulut.

3. Pemakaian asesoris yang berlebihan sehingga terkesan modis dan mahal seperti bross, hiasan kepala.

4. Pemakaian udeng/destar bagi busana laki-laki yang tidak benar, tidak memiliki ikatan ujung udeng menghadap keatas.

5. Pemakaian kamben/kain bagi busana laki-laki yang tidak memiliki kancut (ujungnya lancip menyentuh tanah) dan ada juga yang memakai kamben model sarung yang bukan termasuk busana kepura.

6. Pemakaian tinggi saput dan jarak kamben bagi busana laki-laki yang salah biasanya sejengkal dari mata kaki.

7. Pemakaian sanggul yang salah, gadis memakai pusung tagel dan wanita yang sudah berkeluarga memakai pusung gonjer atau bahkan dengan rambut terurai.

2.2 Perspektif Tri kerangka Agama Hindu

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Tattva, Susila dan ritual atau

(5)

ketiga aspek ini saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari agama Hindu yaitu ―Moksatam jagadhita ya ca iti Dharma‖ tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga dalam setiap melaksanakan aktivitas agama Hindu tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Berkaitan dengan busana adat ke Pura dalam rangka mengikuti

Upacara persembahyangan yang masuk kategori sebagai pakaian

―tradisi-religi‖, tentunya dimaksudkan untuk digunakan pada ruang dan waktu saat melakukan hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara-Bhatari. Dan untuk kepentingan itu jelas memerlukan persyaratan mendasar yaitu Asuci laksana,dimana umat ketika datang pedek tangkil ke Pura sepatutnya terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi, dan sopan.

Pada dasarnya tata busana yang digunakan pada saat berlangsungnya Upacara keagamaan, yakni sesuai dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:

1. Busana atau pakaian pada Uttama Angga(kepala). 2. Busana atau pakaian Madyama Angga(badan),

3. Busana atau pakaian Kanistama Angga(dari pinggang ke bawah)

2.3 Kajian Tattva, Etika dan Ritual dalam Busana Remaja Hindu

Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab

Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat

tempat yang dipijak adalah Dharma.Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar.

Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan

(6)

memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma.Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti.

2.3 Penyebab dan Dampak Perubahan Gaya Busana Adat ke Pura di Era Globalisai

Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Dalam konteks fenomena berpenampilan dalam berbusana adat kepura bagi umat Hindu.Busana Adat ke Pura kian menyimpang, yang merupakan tradisi busana adat ke pura saat ini terjadi bergeseran. Bahkan, busana yang kini sering dipergunakan umat ke pura kian menyimpang. Kendati tak ada aturan baku soal tata busana adat ke pura, namun tetap diperlukan pakaian sopan dan tidak berpakaian tembus pandang (Bali Post) Minggu (8/12/2014).

Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini tentunya dapat berpengaruh negatif. Dewa Putu Metayana, salah satu tim juri mengatakan, generasi muda sekarang boleh mengikuti perkembangan mode berpakaian namun hanya dilaksanakan dalam

Upacara resepsi atau menghadiri Upacara perkawinan. Untuk berpakaian ke

pura memang tidak ada aturan baku. Namun, sembahyang ke pura tentu harus berpakaian sopan dan tidak berpakaian embus pandang. Tidak hanya berpakaian, mulai dari penataan rambut harus rapi. Sedangkan untuk pakaian brokat yang sekarang mengalami banyak modifokasi hendaknya hanya dipakai saat pesta.

III Penutup

Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi bentuk penampilan saat berbusana adat kepura remaja Hindu hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Banyaknya perubahan busana yang sedikit menyimpang seperti : busana pakaian wanita yang terlalu transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan. Pemakaian sanggul yang kadang tertukar dengan perempuan yang lajang daan yang sudah berkeluarga. Bagi busana laki-laki dalam pemakaian busana udeng/destar kebanyakan tidak memakai symbol ikatan ujung udenga yang menghadap keatas, pemakaian kancut yang salah.

(7)

pengaruh busana dari luar yang diadopsi serta dikombinasikan dengan budaya lokal busna Hindu. Umat Hindu mengikuti trend busana yang berkembang. Serta perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu kedepan seperti kurangnya pemahanan Tattva/filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap busana adat kepura.

IV Daftar Pustaka

Artini, Ni Made Rai. 2013. Menyoroti Etika Umat Hindu “Ke Pura

Berpenampilan Selebritis‖ Skripsi :Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja.

Dilistone, F.W. 2002, The Power of Syimbol. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Gunarta, I Wayan. (2013) Makalah Seminar tema ― Filosofi Pakaian Adat

Bali‖ HUT Kota Bangli. KEMENAG.

Mantra, Ida Bagus , 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan

Dharma Sastra.

Sudarsana, I. K. (2016, October). Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Hindu Melalui Efektivitas Pola Interaksi Dalam Pembelajaran Di Sekolah. In SEMINAR NASIONAL AGAMA DAN BUDAYA (SEMAYA II) (No. ISBN : 978-602-71567-6-0, pp. 132-140). Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar bekerjasama dengan Jayapangus Press.

Sudarsana, I. K. (2016, October). The Importance Of Morals Teaching In Shaping The Students‘ Characters In School. In Dharma Acarya

Faculty International Seminar (DAFIS) (No. ISBN : 978-602-71567-5-3,

pp. 367-376). Dharma Acarya Faculty Hindu Dharma State Institute (IHDN) Denpasar in Association with Jayapangus Press.

Sudaharta, Tjok Rai. 2007 Upadesa Tentang Ajaran-AjarEan Agama Hindu, Surabaya : PARAMITA

Referensi

Dokumen terkait

sehingga karya tugas akhir yang berjudul Penciptaan Animasi 2D Tanpa Dialog Berjudul “Blabla” dapat terselesaikan dengan baik.karya ini dibuat demi menerapkan ilmu yang

19 Ennek köszönhető, hogy az 1991 -es szerb ostrom során lerombolt, a horvát honvédelem szimbólumának számító, hivatalosan 31 670 állandó lakossal, valójában csupán

dalam pelaksanaannya. Berdasarkan kendala yang dihadapi dan berbagai permasalahan yang muncul dalam pembahasan di sidang- sidang UNCOPUOS, dianalisis bentuk upaya perubahan

Kata sintaksis berasal dari kata Yunani ( sun = ‘ dengan’ + tattein ‘menempatkan’. Jadi kata sintaksis secara etimologis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi

 Namun, peningkatan kebutuhan semen tahun 2017 ini masih tidak sesignifikan penambahan kapasitas produksi yang diprediksi mencapai 102 juta ton.. Tingginya kapasitas

Pada pasal 5 (ayat 1) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk pengembangan pegawai yang mendorong terhadap peningkatan kerja. Selanjutnya pada ayat

olom adalah batang tekan &ertikal dari rangka struktur yang memikul beban dari balok" olom merupakan suatu elemen struktur tekan yang memegang peranan penting dari

Objektif kajian ini untuk menghasilkan MPK yang mempunyai skop kandungan isi serta ciri-ciri yang menarik supaya dapat membantu meningkatkan kefahaman pelajar serta menarik