• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Tanah Gambut Berserat Permasalahan dan Solusinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perilaku Tanah Gambut Berserat Permasalahan dan Solusinya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Perilaku Tanah Gambut Berserat Permasalahan dan Solusinya

(Behaviour of Fibrous Peat, Problem and The Solution).

Faisal Estu Yulianto.

Dosen Teknik Sipil Universitas Madura, Pamekasan, Jl. Raya Panglegur, KM. 3,5 Pameksan, email: faisal_ey@yahoo.co.id

ABSTRAK

Tanah gambut merupakan tanah dengan kandungan organik yang tinggi (>75%) dan kandungan abu yang kecil. Oleh sebab itu, tanah gambut mempunyai sifat fisik dan teknis yang merugikan bagi bangunan sipil yang berada di atasnya seperti pemampatann yang besar dan daya dukungnya yang rendah. Beberapa metode perbaikan tanah telah banyak diterapkan pada tanah gambut seperti pengelupasan lapisan gambut dangkal, pembebanan awal, cerucuk kayu, corduroy maupun stabilisasi tanah. Namun, metode perbaikan yang telah diterapkan tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian masing masing. Dari beberapa kasus perbaikan tanah gambut yang telah dilakukan metode stabilisasi tanah merupakan metode terbaik yang dapat diterapkan selain karena ramah lingkungan metode stabilisasi lebih murah dibandingkan metode lainnya.

Kata kunci: gambut berserat, metode perbaikan tanah, ramah lingkungan

ABSTRACT

Peat soil is a soil with high organic content (> 75%) and low ash content. Therefore, peat soils have bad physical and engineering properties for buildings on it such as high ompressibility and low bearing capacity. Several methods of soil improvement have been applied to peat soils such as replacement soil, preloading, mini wood piles, corduroy and soil stabilization. However, the method of improvement that has been applied has advantages and disadvantages of each. In these cases, the soil stabilization was best method that can be applied because environmentally friendsly and cheaper than other methods.

Keywords: tuliskan 3-5 kata kunci yang terkait dengan isi makalah

PENDAHULUAN

Tanah gambut terbentuk dari dari tumbu tumbuhan yang memiliki tingkatan dekomposisi yang bervariasi. Tanah gambut umumnya berwarna coklat tua sampai dengan hitam. Karena terbentuk dari proses pelapukan dan pembusukan tumbuh tumbuhan; maka tanah gambut memiliki bau yang khas. Tanah gambut bisa dijumpai di daerah pengunungan, dataran tinggi dan dataran rendah; dimana daerah tersebut teredam air dalam waktu yang sangat lama. Van de Meene (1984) menjelaskan bahwa, pembentukan gambut di Asia tenggara dimulai pada 18000 tahun yang lalu. Sedangkan gambut Indonesia terbentuk mulai kira-kira 5.000 hingga 8.000 tahun yang lalu.

Proses pembentuan tersebut menyebabkan tanah gambut mempunyai sifat fisik maupun sifat teknis yang tidak menguntungkan bagunan sipil yang berada di atas tanah gambut. Sifat fisik tersebut antara lain kadar air (Wc) yang mencapai 900%, berat volume tanah yang cukup kecil (0,8 - 1,04 gr/cm3), angka pori yang besar berkisar antara 5-15, dan

kandungan organik yang tinggi >75% (Mochtar, N.E., 1999, 2000; Yulianto, FE. dan Mochtar, NE., 2010, 2012, 2014, 2015). Sifat fisik yang tidak menguntungkan tersebut secara otomatis mempengaruhi perilaku tekni tanah gambut. Tanah gambut mempunyai daya dukung yang sangat rendah 57 kPa (Jelisic dan Lappanen, 2002) dan pemampatan

(2)

yang besar daan tidak merata sehingga banyak bangunan sipil rusak akibat perilaku tersebut (Mohtar, NE., dkk., 2014).

Beberapa metode perbaikan tanah telah diterapkan pada tanah gambut berupa, perbaikan tanah secara fisik, mekanis maupun kimia. Hanya saja, metode perbaikan yang telah diterapkan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Paper ini akan mendiskusikan permasalahan metode perbaikan tanah gambut dan solusinya yang paling baik dan ramah lingkungan.

SIFAT FISIK DAN TEKNIS TANAH GAMBUT BERSERAT

MacFarlane dan Radforth (1965) membagi tanah gambut menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu : tanah gambut berserat (fibrous peat) dengan kandungan serat mencapai 20% atau lebih dan tanah gambut tidak berserat (amorpous granular peat) dengan kandungan serat lebih kecil dari 20%. Perilaku tanah gambut tidak berserat menyerupai tanah lempung sedangkan tanah gambut berserat mempunyai perilaku yang sangat berbeda dengan tanah lempung (Mochtar, N.E., 1999, 2000). Pengujian laboratorium dan pengujian lapangan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan teknis tanah gambut berserat sesuai dengan

Peat Testing Manual (1979). Tabel 1 menunjukkan sifat fisik hal pengujian laboratorium

maupun lapangan. Berdasarkan Tabel diketahui bahwa parameter fisik dan teknis gambut Tabel 1. Sifat Fisik Tanah Gambut Berserat Palangkaraya

No Sifat Fisik Satuan Nilai

Hasil oleh Peneliti lainnya 1 Spesific Gravity (Gs) - 1.37 1.4 - 1.7 2 Kadar Air (wc) % 670 450 - 1500 3 Berat Volume gr/cm3 0.99 0.9 - 1.25

4 Berat Volume kering gr/cm3 0.139 -

5 Angka Pori (e ) - 11.4 6.89 - 11.09

6 Keasaman (pH) - 3.5 – 5.5 3-7

7 Kandungan Organik (Oc) % 98 62.5 - 98

8 Kadar Abu (Ac) % 2.0 2 - 37.5

9 Kadar Serat (Fc) % 59.6 39.5 - 61.3

- Kadar serat kasar % 56.25 35.35 – 49.69

- Kadar serat medium % 29.38 31.94 – 35.84

- Kadar serat halus % 14.37 18.37 – 29.00

11 Uji geser langsung : Phi () 0 25, 36, 42 30o - 50o

: C kPa 0.5 -

12 Vane shear kPa 5, 7, 12 5 – 10

berserat masih berada dalam rentang hasil pengujian oleh peneliti lainnya (Hanrahan 1954, Lea 1959, MacFarlane and Radforth 1965, MacFarlane 1969, Mochtar, NE. et al. 1991, 1998, 1999, 2000, Pasmar 2000, Harwadi dan Mochtar, NE., 2010 dan Yulianto, FE dan

(3)

Mochtar, NE., 2010, 2012, 2014, 2016, 2017). Menurut ASTM D4427-92 tanah gambut yang diteliti dapat diklasifikasikan sebagai “tanah gambut (Hemic) dengan kandungan abu rendah dan keasaman tinggi” atau “peat soil (hemic) with low ash content and high

acidity”. Pori dalam tanah gambut berserat juga mempunyai struktur yang berbeda dengan

tanah lempung (Yulianto, FE., dan Mochtar, NE., 2010, 2015, 2016). Gambut berserat mempunyai 2 tipe pori (Mochtar, NE. dan Yulianto, FE., 2017), yaitu makro pori merupakan pori yang yang berada daiantara serat gambu dan mikropori yang merupakan pori dalam serat gambut (Gambar 2).

Gambar 1. Foto SEM gambut berserat Palangkaraya yang menunjukkan: (a) serat gambut dan makro pori, (b) mikro pori

Nilai wc yang besar menunjukkan bahwa jumlah air dalm pori gambut mempunyai komposisi berat 6,7 kali berat butiran solid. Hal ini bisa dikatakan bahwa hampir sebagian besar pori gambut berserat ditempati oleh air. Perilaku ini menyebabkan tanah gambut saangat sensitif dengan beban yang bekerja di atasnya. Tentunya perilaku air dalam pori gambut akan berpengaruh pada perilaku pemampatan gambut berserat (Yulianto, FE., dkk., 2016). Pemampatan tanah gambut berserat sangat berbeda dengan perilaku pemampatan pada tanah lempung (Mochtar, NE. et al., 1998, 1999, 2000) karena faktor distribusi serat yang ada dalam tanah gambut. Kondisi ini menyebabkan teori Tersaghi (1925) atau beban bertahap untuk menentukan koefesien pemampatan tidak dapat diterapkan karena adanya garis patah yang ada dalam kurva tanah gambut (Gambar 2). Sehingga, metode beban satu tahap atau metode Gibson dan Lo (1969) diterapkan untuk menentukan pemampatan yang terjadi pada gamut berserat. Gambar 3 menunjukkan perilaku pemampatan gambut berserat dengan menggunakan beban satu tahap. Terdapat 4 (empat) tahap pemempatan yang terjadi pada tanah gambut berserat, yaitu: pemampatan segera (Si) yang merupakan pemampatan segera dan terjadi sangat cepat, pemampatan primer (Sp) merupakan keluarnya air dalam makro pori, pemampatan sekunder (Ss) merupakan keluarnya air dalam mikro pori gambut berserat dan pemampatan tersier (St) yang merupakan proses pelapukan serat gambut akibat sangat berkurangnya air yang ada dalam pori gambut. Hanya saja, proses dekomposisi atau pelaukan pada serat gambut dapat terjadi pada nilai kadar air gambut dibawah 200% dan berlangsung sangat lama (Huuteunen dan Kujala, 1996; Jelisic & Lappanen, 2001; Yulianto, FE., dkk., 2014; Yulianto, FE. dan Mochtar, NE., 2015, 2016; Mochtar, NE. dan Yulianto, FE., 2017).

(4)

Gambar 2. Kurva pemampatan tanah gabut berserat dengan beban bertahap (Mochtar, NE., 199; 2000).

Gambar 3. Kurva pemampatan tanah gabut berserat dengan beban satu tahap (Yulianto, FE. dan Mochtar, NE., 2015).

Tanah gambut merupakan frictional material/non kohesive material (Adam, 1965), sehingga kuat gesernya hanya mengandalkan kekuatan sudut geser dalamnya (), oleh sebab itu distribusi serat pada tanah gambut sangat mempengaruhi besar nilai sudut geser dalamnya. Dari 3 kali pengujian geser langsung yang dilakukan didapatkan nilai yang

14.0 14.5 15.0 15.5 16.0 16.5 17.0 0.1 1 10 100 1000 10000 100000 P e m a m p a ta n V e r ti k a l (m m ) Waktu (Menit) Gambut Berserat Initial sp st si ss

(5)

variatif yaitu, 25o, 36o dan 42o; hal ini disebabkan adanya ukuran serat yang berbeda pada

setiap sampel gambut yang di uji.

PERMASALAHAN KONSTRUKSI DI ATAS TANAH GAMBUT DAN SOLUSINYA

Konstruksi bangunan sipil di atas tanah gambut seringkali bermasalah akibat sifat fisik dan teknis tanah gambut yang buruk. Gambar 4 menunjukkan efek gambut pada konstruksi jalan yang mengalami penurunan yang tidak sama. Kerusakan tersebut terjadi karena tanah

Gambar 4. Kerusakan konstruksi jalan yang berada di atas tanah gambut

gambut masih dalam kondisi initial (tanpa perkuatan) sehingga daya dukungnya rendah dan ketebalan lapisan tanah gambut yang cukup tebal. Sebagai tanah organik, tanah gambut memerlukan perlakuan khusus untuk dijadikan pondasi bagi bangunan sipil. Tanah gambut juga mempunyai fungsi yang sangat penting bagi lingkungan hidup (Wibowo, 2009; Kieley, et.all., 2002), yaitu:

1. Perlindunagan pada fungsi hidrologi wilayah atau tata air, sebagai kawasan resapan, penyimpan air dan pencegahan banjir.

2. Sebagai daerah penyimpanan carbon dan gas metana serta gas lainnya yang dapat dengan mudah terlepas jika lahan gambut mengalami penurunan kadar air.

3. Daerah perlindungan pada pemanfaatan hutan gambut dan ekosisitemnya.

Mochtar, NE (2000) memberikan dua faktor yang perlu diperhatikan untuk melakukan perbaikan pada tanah gambut berserat, yaitu:

1. Ketebalan lapisan tanah gambut : ketebalan lapisan gambut merupakan faktor terpenting dalam menentukan metode perbaikan tanah yang tepat. Semakin tebal lapisan gambut maka pemampatan yang akan terjadi juga semakin besar dan lama serta memerlukan biaya yang semakin besar.

2. Jenis tanah dibawah lapisan gambut : secara umum, lapisan tanah dibawah tanah gambut adalah lempung lunak atau pasir (Jelisic and Lappanen, 2002; Mochtar, NE., 2000). Jika lapisan dibawah gambut merupakan pasir maka pemampatan yang terjadi hanya pada lapisan gambut saja. Namun, jika di bawah lapisan gambut adalah lempung lunak, maka penting untuk memperhitungkan pemampatan yang akan terjadi pada

(6)

lempung lunak terlebih metode perhitungan besar pemampatan pada gambut berserat dan lempung sangat berbeda.

Solusi Perbaikan Tanah Gambut

Metode pengelupasan (Gambar 5) tanah gambut (Replacement Method) meruapakn metode yang sering dilaksanakan pada gambut dengan tebal lapisan tidak lebih dari 1 meter. Tanah gambut yang dikupas digantikan dengan tanah urug yang berkuaitas baik. Kelebihan metode ini adalah mudah dilaksanakan namun memerlukan volume tanah urug yang cukup besar. Metode ini tidak menghasilkan gambut kering dengan volume besar dan mudah terbakar serta memerlukan tanah urug dalam volume yang besar sehingga dapat merusak lingkungan daerah penambangan.

Gambar 5. Metode pengelupasan tanah gambut

Pemberiaan beban awal dan embangkmen (Preloading and Surcharge) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6 diterapkan pada gambut dengan tebal lapisan tidak lebih dari 3 meter (Jelisic and Lappanen, 2002; Harwadi and Mochtar, NE., 2010). Penggunaan metode ini pada gambut sangat dalam akan menyebabkan penurunan yang terjadi sangat lama bahkan sangat dimungkinkan urugan yang berada diatasnya akan tenggelam. Selain itu, penggunaan metode pembebanan awal dimungkinkan terjadinya pelepasan karbon pada gambut akibat penurunan kadar air lapisan gambut dibawan embangkmen.

Metode cerucuk kayu (Gambar 7) cukup baik digunakan pada gambut yang mempunyai tebal lapisan 3-4 meter dengan lapisan pasir dibawahnya (Yulianto dan Harwadi, 2009; Yulianto dan Mochtar, NE., 2012). Hal ini disebabkan, beban dari struktur bagian atas dapat dipindahkan dengan baik pada lapisan pasir dibawah gambut. Hanya saja, metode ini memerlukan kayu dalam jumlah yang sangat besar sehingga akan mampu merusak lingkungan hutan dan dimungkinkan biaya konstruksi yang besar.

Penggunaan kayu sebagai lantai kerja (Galar kayu/Corduroy) banyak diteapkan di beberapa daerah di Kalimantan. Metode ini menggunakan kayu berdimensi 7-10 cm sebagai landasan untuk kronstuksi jalan raya pada gambut dengan ketebalan maksimal 3 meter (Gambar 8). Namun, metode ini anya dapat diterapkan pada gambut denga tebal lapisan tidak lebih dari 3 meter. Penggunaan galar kayu pada lapisan gambut sangat dalam

(7)

mengakibatkan penurunan yang tidak merata sehingga kayu yang dijadikan landasan akan patah dan konstruksi di atasnya mengalami kerusakan.

Gambar 6. Metode pemberian beban awal dan embangkmen.

Gambar 7. Metode cerucuk kayu

Gambar 8. Metode galar kayu (Corduroy)

Penambahan bahan kimia pada gambut berserat atau stabilisasi tanah gambut banyak dilakukan pada gambut dengan tebal lapisan lebih dari 3 meter (Mass Stabilization) seperti yang diterapkan di Eropa, Amerika dan Australia (Jelisic and Lappanen, 2002; Keller,

(8)

2002; Souliman, 2011) dengan hasil yang sangat baik. Bahkan metode ini mampu diterapkan pada gambut (Temperate Peat/Gambut Sub tropis) dengan tebalan lapisan sampai dengan 8 meter (Gambar 9). Meskipun metode ini masih belum diterapkan pada gambut tropis (Gambut berserat) namun hasil penelitian model laboratorium beberapa Peneliti menunjukkan bahwa stabilisasi pada gambut berserat juga menghasilkan peningkatan sifat fisik dan teknis tanah gambut lebih dari 30% dari kondisi awal (Hebib and Farrel, 2003; Huat, et.all., 2009; Yulianto dan Mochtar, NE., 2010; 2012; Kolay P, 2011; Kusumawardani dan Mochtar, NE., 2012; Afif M dan Yulianto, 2014; Mochtar, NE., et.all., 2014). Metode ini (Mass Stabilization) juga mempunyai kelebihan lainnya yaitu, lebih murah dibandingkan metode perbaikan tanah gambut lainnya (Jelisic and Lappanen, 2001; Mochtar, NE. et.all., 2014), lebih berwawasan lingkungan karena pengunaan admixture yang lebih ramah lingkungan dan karbon yang terlepas dari gambut tidak lebih dari 25% (Mochtar, NE. and Yulianto, 2016) meskipun kadar air gambut yang distabilisasi sekitar 200%.

Gambar 9. Metode Stabilisasi seluruh lapiasan tanah.

KESIMPULAN

Dari penjelasan yang disampaikan di atas dapat diberikan beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Tanah gambut Indonesia termasuk dalam tanah gambut berserat, hemic dengan keasaman yang tiggi.

2. Perilaku pemampatan tanah gambut berserat sangat berbeda dengan tanah lempung karena gambut berserat mempunyai dua proi yaitu makropori dan mikropori.

3. Konstruksi bangunan sipil di atas tanah gamut banyak mengalami kerusakan akibat daya dukung gambut yang rendah dan pemampatan yang besar serta tidak merata. 4. Stabilisai tanah gambut berserat merupakan metode yang paling efektif dengan biaya

yang lebih murah serta mempunyai dampak lingkungan yang kecil jika dibandngkan metode perbaikan gambut lainnya.

(9)

Daftar Acuan

Adam, J.I. (1965), The Engineering Behaviour of a canadian Muskeg. Proc. Sixth

International Conference On Soil Mechanics and Foundation Engineering. Vol.1, pp 3-7.

Gibson, R.W., Lo, K.Y (1961), A Theory of Consolidation of Soils Exhibiting Secondary

Compression, Acta Polytecnica Scandinavia.

Hebib, Samir & Farrell, E.R, (2003), Some Experiences on The Stabilization of Irish Peats,

Canadian Geotechnical Journal 40 : 107-120.

Huat Bujang, B. K, Maail, S and Mohamed, T. A. (2005), Effect of Chemical Admixtures on the Engineering Properties of Tropical Peat Soils, American Journal of Applied

Sciences 2 (7): 1113-1120, ISSN 1546-9239, 2005.

Huttunen, E., and Kujala, K. (1996), On the stabilization of organic soils, In Proceedings

of the 2nd International Conference on Ground Improvement Geosystem, IS-Tokyo

96. Vol. 1, pp. 411-414.

Jelisic, N., Leppänen, M., (2002), Mass Stabilization of Peat in Road and Railway

construction, Swedish Road Administration, SCC-Viatek Finlandia.

Keller Ground Engineering Pty Ltd, (2002), Lime Cement Dry Soil Mixing, PO. Box. 7974 baulkham Hills NSW Australia.

MacFarlane, I.C. dan Radforth, N.W. (1965), A Study of Physical Behaviour of Peat Derivatives Under Compression, Proceeding of The Tenth Muskeg Research

Conference. National Research Council of Canada, Technical Memorandun No 85.

Mochtar, N. E. dan Mochtar, Indrasurya B. (1991), Studi Tentang Sifat Phisik dan Sifat Teknis Tanah Gambut Banjarmasin dan Palangkaraya Serta Alternatif Cara Penanganannya untuk Konstruksi Jalan, Dipublikasi sebagai hasil penelitian BBI

dengan dana dari DIKTI Jakarta.

Mochtar, NE. et al. (1998), Koefesien Tekanan Tanah ke Samping At Rest (Ko) Tanah Gambut Berserat serta Pengaruh Overconsolidation Ratio (OCR) Terhadap Harga Ko, Jurnal Teknik Sipil, ITB, Vol. 5 N0. 4.

Mochtar, NE. et al. (1999), Aplikasi Model Gibson & Lo untuk Tanah Gambut Berserat di Indonesia, Jurnal Teknik Sipil, ITB, Vol. 6 N0. 1.

Mochtar, NE., (2002), Tinjauan Teknis Tanah Gambut Dan Prospek Pengembangan Lahan Gambut Yang Berkelanjutan, Pidato Pengukuhan Guru Besar ITS Surabaya. Mochtar, NE, Yulianto, FE., Satria, TR., (2014), Pengaruh Usia Stabilisasi pada Tanah

Gambut Berserat yang Distabilisasi dengan Campuran CaCO3 dan Pozolan, Jurnal

Teknik Sipil ITB (Civil Engineering Journal ITB), Vol. 21, No. 1, Hal 57-64.

Mochtar, N.E. dan Yulianto, F.E. and (2017), Behaviour Change In Peat Stabilized With Fly Ash And Lime Caco3 Due To Water Infiltration, ARPN Journal o Engineering

and Applied Science, Vol. 12, No. 17.

Souliman, M. I. and Zapata, C. (2011), International Case Studies of Peat Stabilization by Deep Mixing Method, Jordan Journal of Civil Engineering, Volume 5, No. 3, 2011. Terzaghi, K. (1925), Principles of Soil Mechanics. Engr. News Record, Vol. 95, pp.

832-836.

Van De Meene (1984), Geological Aspects of Peat Formation in The Indonesian-Malyasin Lowlands, Bulletin Geological Research and Development Centre, 9, 20-31.

Wibowo, Ari ( 2009), Role of Peatland in Global Climate Change, Jurnal Tekno Hutan

(10)

Yulianto, F.E. and Mochtar, N.E. (2010), Mixing of Rice Husk Ash (RHA) and Lime For Peat Stabilization, Proceedings of the First Makassar International Conference on

Civil Engineering (MICCE2010), March 9-10, 2010.

Yulianto, F.E. and Mochtar, N.E. (2012), Behavior of Fibrous Peat Soil Stabilized with Rice Husk Ash (RHA) and Lime, Proceedings of 8th International Symposium on

Lowland Technology September 11-13, 2012, Bali, Indonesia.

Yulianto, F.E., Harwadi., Kusuma W.M., (2014), The Effect of Water Content Reduction to Fibrous Peat Absorbent Capacity and Its Behaviour, Proceedings of 9th

International Symposium on Lowland Technology September 29-October 1, 2014, Saga, Japan.

Yulianto, F.E., Mochtar, N.E., Mila Kusumawardani (2016), The Effect Of Curing Period And Thickness Of The Stabilized Peat Layer To The Bearing Capacity And Compression Behavior Of Fibrous Peat, International Journal of Apllied

Engineering Research, Vol. 11, No. 15.

Yulianto, F.E. and Mochtar, N.E. (2016), The Effect Of Curing Period And Thickness Of The Stabilized Peat Layer To The Bearing Capacity And Compression Behavior Of Fibrous Peat, ARPN Journal o Engineering and Applied Science, Vol. 11, No. 19.

Gambar

Tabel 1. Sifat Fisik  Tanah Gambut Berserat Palangkaraya  No  Sifat Fisik  Satuan  Nilai
Gambar  1. Foto SEM gambut  berserat Palangkaraya  yang  menunjukkan:
Gambar 3. Kurva pemampatan tanah gabut berserat dengan beban satu tahap  (Yulianto,  FE
Gambar 4. Kerusakan konstruksi jalan yang berada di atas tanah gambut
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pemerintahan yang baik harus dirancang untuk memenuhi ketentuan efisiensi, akuntabilitas, dan pemeliharaan arsip sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mesin vacuum frying adalah mesin pengolahan makanan dengan menggunakan sistem vacuum. Dalam pengoperasiannya mesin bekerja pada suhu maksimal 95°C dengan tabung utama vacuum.

Simulasi dan analisis desain mobil listrik menggunakan stress analysis pada Software Autodesk Inventor Professional 2013 dengan metode Finite Element Analysis

Klasifikasi ketel uapdapat dibedakan berdasarkanpemakaian, letak dapur, jumlahlorong, bentukdan letak pipa, sistem peredaran air, jenis bahan bakar, tekanan kerja ketel, dan

Semen adalah bahan ikat hidrolis berupa bubuk halus yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang telah dipanaskan kemudian dicampur dengan bahan lain

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas dan mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah judul

Mengingat konstruksi yang kompleks, maka analisis kontruksi secara manual memiliki berbagai keterbatasan, karena harus melakukan beberapa asumsi yang menyebabkan

Mengidentifikasi permasalahan yang ada di SMA Negeri 3 Tegal yang selanjutnya dibuat pertanyaan yang mengarah pada masalah tersebut yang mana harus dicari penyelesainya dengan