• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP DASAR. pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP DASAR. pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000)."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KONSEP DASAR

A. Pengertian

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000).

Demam typoid dan demam paratypoid adalah infeksi akut usus halus (Juwono, 1996).

Demam thypoid adalah infeksi demam sistemik akut yang nyata pada fogosit mononuclear dan membutuhkan tatanama yang terpisah (Smeltzer, 2001)

Berdasarkan berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa thypoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhosa ditandai dengan demam satu minggu.

(2)

B. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Sistem Pencernaan Tubuh Manusia (Sumber: Syaifuddin, 1997)

Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap

(3)

zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.

1. Usus Halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.

Lapisan usus halus : lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum).

Villi usus halus terdiri dari : Pipa berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas : Usus 12 jari (duodenum), usus tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum).

(4)

a. Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.

Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.

Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

b. Usus Kosong (jejenum)

Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong.

(5)

Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.

Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Latin, jejunus, yang berarti “kosong”.

c. Usus Penyerapan (ileum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. 2. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

(6)

Usus besar terdiri dari : kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum).

Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.

Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

3. Usus Buntu (sekum)

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

4. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan

(7)

membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).

Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.

Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.

Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi.

5. Rektum dan Anus

Rectum (Bahasa Latin : regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum akan memicu sistem saraf

(8)

yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

C. Etiologi dan Predisposisi 1. Etiologi

Penyebab demam thypoid adalah Salmonella thyposa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatic), H (flagella), Vi, dan protein membran hialin (Mansjoer, Arief, 2000).

2. Predisposisi

Menurut Sarwono (1996) penyebaran thypoid tidak bergantung pada iklim, tetapi banyak di jumlah di negara yang beriklim tropis. Hal ini

(9)

disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu dan lingkungan.

D. Patofisiologi

Kuman Salmonella typosa masuk melalui mulut, setelah melewati aliran selanjutnya akan kedinding usus halus melalui aliran limfa ke kelenjar mesentrium mengadakan multipikasi (bakteremia). Biasanya pasien belum tampak adanya gejala klinik (asimtomatik) seperti mual, muntah, tak enak badan, nafsu makan menurun, pusing karena segera diserbu sel sistem retikulo endotetial. Tetapi kuman masih hidup, selanjutnya melalui duktus toraksikus masuk ke dalam peredaran darah mengalami bakteremia sehingga tubuh merangsang untuk mengeluarkan sel pirogen akibatnya terjadi lekositopenia.

Sel pirogen inilah yang mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus sehingga timbul gejala demam dan apabila demam tinggi tidak segera diatasi maka dapat terjadi gangguan kesadaran dalam berbagai tingkat. Setelah dari peredaran darah, kuman menuju ke organ-organ tersebut (hati, limfa, empedu), sehingga timbul peradangan yang menyebabkan membesarnya organ tersebut dan nyeri tekan, terutama pada folikel limfosial dan apabila kuman tersebut dihancurkan oleh sel-sel tersebut maka penyakit berangangsur-angsur mengalami perbaikan dan apabila tidak dihancurkan akan menyebar keseluruh organ sehingga timbul komplikasi dapat memperburuk kondisi pasien.

(10)

E. Manifestasi Klinik

Gejala dapat timbul secara tiba-tiba / berangsur-angsur yaitu antara 10 sampai 14 hari. Mulainya samar-samar bersama nyeri kepala, malaise, anoreksia dan demam, rasa tidak enak di perut dan nyeri di seluruh badan. Minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi /diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk dan epistaksis.

Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas yaitu : demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan

tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental. (Sarwono, 1996).

F. Penatalaksanaan

Penalaksanaan thypoid terdiri dari 3 bagian yaitu : 1. Perawatan

Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari. Besar demam / kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah komplikasi perdarahan / perforasi usus. Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostaltik dan dekubitus.

(11)

2. Diet

Dimasa lalu penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan penderita. Pemberian bubur saring ini dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus, karena ada pendapat bahwa ulkus-ulkus perlu diistirahatkan. Banyak penderita tidak menyukai bubur saring karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit dan ini berakibat keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama.

Makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita tifoid.

3. Obat

Obat –obat anti mikroba yang sering dipergunakan ialah: a. Kloramfenikol

Belum ada obat anti mikroba yang dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4x.500 mg sehari oral atau intravena sampai 7 hari bebas demam. Dengan penggunan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam thypid sama dengan kloramfenikol komplikasi pada hematologis pada penggunan

(12)

tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfemikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.

c. Ko-trimoksazol (kombinasi dan sulfamitoksasol)

Dosis itu orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimitropin dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kontrimoksazol demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.

d. Ampicillin dan Amoksilin

Indikasi mutlak pengunaannya adalah pasien demam thypid dengan leokopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampicillin dan amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.

e. Sefalosforin generasi ketiga

Beberapa uji klinis menunjukan sefalosporin generasi ketiga amtara lain sefiperazon, seftriakson dan cefotaksim efektif untuk demam thypoid, tatapi dan lama pemberian yang oktimal belum diketahui dengan pasti.

f. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk untuk demam thypoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.

(13)

Obat-obat Simtomatik: a. Antipiretika

Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam thypoid, karena tidak dapat berguna.

b. Kortikosteroid

Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap (Tapering off) selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dari demam thypoid menurut Rahmat Juwono (1996), adalah:

1. Komplikasi pada usus halus : perdarahan usus, perforasi usus, dan peritonitis.

2. Komplikasi di luar usus halus : bronkhitis dan bronkopneumoni, kolesistitis, thypoid ensefalopati, meningitis, miokarditis, karier kronik.

H. Pengkajian Fokus 1. Identitas

Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat

(14)

2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama

Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.

b. Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit lainnya.

3. Pola-pola Fungsi Kesehatan

a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan

Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi tubuh.

(15)

c. Pola aktifitas dan latihan

Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.

d. Pola istirahat dan tidur

Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.

e. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif

Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.

f. Pola Hubungan dengan orang lain

Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.

g. Pola reproduksi dan seksualitas

Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah menikah dan terjadi perubahan.

h. Persepsi diri dan konsep diri

Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.

i. Pola mekanisme koping

Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.

(16)

j. Pola Nilai Kepercayaan / Keyakinan

Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.

4. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum

Biasanya pada pasien thypoid mengalami badan lemah, panas, pucat, mual, perut tidak enak, anorexia.

b. Kepala dan leher

Biasanya pada pasien thypoid yang ditemukan adanya konjungtiva anemia, mata cowong, bibir kering, lidah kotor ditepi dan ditengah merah.

c. Dada dan abdomen

Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan. d. Sistem integumen

Kulit bersih,turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak. 5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan thypoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

a. Pemeriksaan leukosit

Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam thypoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam thypoid,

(17)

jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam thypoid.

b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typoid.

c. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam thypoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

1) Teknik Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

(18)

3) Vaksinasi dimasa lampau

Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

4) Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

d. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadal salmonella thypi dalam serum klien dengan thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)

2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman)

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

(19)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita thypoid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal : 1) Faktor yang berhubungan dengan klien :

a) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi

b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit : aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6

c) Penyakit-penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam thypoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut

d) Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi e) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat

tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial

f) Vaksinasi dengan tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan

(20)

selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

g) Infeksi klien dengan klinis / subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah

h) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan thypoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu

2) Faktor-faktor Teknis

a) Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada suatu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain

b) Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal

c) Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain

(21)

I. Pathways keperawatan

Air dan makanan yang mengandung kuman Salmonela typhosa Mulut

Saluran pencernaan

Jaringan tubuh Peradangan Pelepasan zat pytogen Proses termoregulasi tubuh

Peningkatan suhu tubuh Hipermetabolisme

Output berlebihan

Limfoid plague payeri Di ileum terminalis Perdarahan dan perforasi

intestinal

Lamina propia Kuman masuk aliran limfe

mesentrial Menuju limfe dan hati

Kuman berkembangbiak Peradangan usus Nyeri tekan Gangguan rasa nyaman nyeri Demam Usus Proses infeksi Merangsang peristaltik usus Diare

Diet rendah serat Penurunan absorbsi pada usus

Konstipasi Perasaan tidak enak diperut,

mual, muntah, anoreksia Intake tidak adekuat

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Kelemahan fisik Keterbatasan aktifitas

Tirah baring lama

Intoleransi aktifitas

(22)

J. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah, nafsu makan menurun.

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.

3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan pada usus).

4. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan penurunan absorpsi dinding usus.

5. Gangguan eliminasi BAB : diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus sekunder, infeksi salmonella thyposa.

6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus.

7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

K. Fokus Intervensi dan Rasional

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah, nafsu makan menurun.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

Kriteria Hasil : BB stabil / peningkatan BB, tidak ada tanda malnutrisi, nafsu makan meningkat.

Intervensi :

(23)

Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet / keefektifan therapi.

b. Dorong tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase sakit akut. Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah

penurunan kalori dan simpanan energi. c. Anjurkan klien istirahat sebelum makan.

Rasional : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.

d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan, dengan situasi tidak terburu-buru.

Rasional : Lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.

e. Catat masukan dan perubahan symtomologi.

Rasional : Memberikan rasa kontrol pada klien dan memberikan kesempatan untuk memilih makanan yang diinginkan, dinikmati, dapat meningkat masukan.

f. Berikan nutrisi parental total, therapi IV sesuai indikasi.

Rasional : Dapat mengistirahatkan saluran sementara memberikan nutrisi penting.

2. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam

kebutuhan cairan terpenuhi.

(24)

Intervensi :

a. Kaji tanda-tanda vital

Rasional : Hipotensi, takikardi, demam, dapat menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan.

b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit.

Rasional : Dapat mengetahui kehilangan cairan berlebihan atau dehidrasi.

c. Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring, hindari kerja / batasi aktifitas.

Rasional : Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan kehilangan cairan usus.

d. Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk adanya darah samar. Rasional : Diet tak adekuat dan penurunan absorbsi dapat

memasukan defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi, potensial resiko perdarahan.

e. Berikan cairan parenteral, tranfusi darah sesuai indikasi.

Rasional : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan untuk memperbaiki kehilangan / anemia.

3. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan pada usus).

(25)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang / berkurang.

Kriteria Hasil : Klien hilang / berkurang.

Klien tampak rileks.

Intervensi :

a. Dorong klien untuk melaporkan nyeri.

Rasional : Untuk dapat mentoleransi nyeri.

b. Kaji laporan kram abdomen / nyeri, catat lokasi, lamanya intensitas (skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri. Rasional : Nyeri selama defekasi seiring terjadi pada klien dengan

tiba-tiba dimana dapat berat dan tidak dimana dapat berat dan terus menerus. Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit / terjadi komplikasi.

c. Tentukan stres luar, misal keluarga, teman, lingkungan kerja / sosial. Rasional : Stres dapat mengganggu respon saraf otonomik dan

mendukung eksasereasi penyakit. Meskipun tujuan kemandirianlah pada klien menjadi penambah stressor. d. Anjurkan klien istirahat / tidur yang cukup.

Rasional : Kelelahan karena penyakit cenderung menjadi masalah berarti, mempengaruhi kemampuan mengatasinya.

e. Dorong penggunaan ketrampilan manangani stres misal teknik relaksasi, latihan nafas dalam.

(26)

Rasional : Memberatkan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.

f. Berikan obat sesuai indikasi.

Rasional : Bantuan dalam istirahat psikologi / fisik, menghemat energi, dan dapat menguatkan kemampuan koping.

4. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan penurunan absorpsi dinding usus.

Tujuan : Selama dalam perawatan kebutuhan eliminasi terpenuhi. Kriteria Hasil : Tidak terjadi gangguan pada eliminasi, BAB kembali

normal. Intervensi :

a. Kaji pola BAB pasien.

Rasional : Untuk mengetahui pola BAB pasien. b. Pantau dan catat BAB setiap hari.

Rasional : Mengetahui konsistensi dari feses dan perkembangan pola BAB pasien.

c. Pertahankan intake cairan 2-3 liter / hari.

Rasional : Memenuhi kebutuhan cairan dan membantu memperbaiki konsistensi feses.

d. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi serat tapi rendah lemak.

Rasional : Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal.

(27)

e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pencahar.

Rasional : Obat itu untuk melunakkan feses yang keras sehingga pasien dapat defekasi dengan mudah.

5. Gangguan eliminasi BAB : diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus sekunder, infeksi salmonella thyposa.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien tidak mengalami diare, BAB normal.

Kriteria Hasil : BAB normal 1-2x/hari, konsistensi berbentuk, perut tidak mulas.

Intervensi :

a. Kaji frekuensi, bau, warna feses.

Rasional : Untuk mengetahui adakah perdarahan. b. Observasi tanda dehidrasi.

Rasional : Untuk mengetahui tanda dehidrasi. c. Observasi peristaltik usus.

Rasional : Untuk mengetahui perubahan peristaltik usus. d. Observasi / monitor intake output cairan.

Rasional : Untuk mengetahui balance cairan. e. Anjurkan klien untuk banyak minum.

Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang melalui diare. f. Hindarkan pemberian makanan / minuman yang dapat menimbulkan

diare.

(28)

6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu tubuh normal.

Kriteria Hasil : Suhu tubuh normal (36-37oC). Intervensi :

a. Kaji peningkatan suhu.

Rasional : Suhu 38,9 menunjukkan proses penyakit infeksi akut. b. Pantau suhu lingkugan, batasi / tambah linen tempat tidur sesuai

indikasi.

Rasional : Suhu lingkungan / jumlah selimut harus dibatasi untuk mempertahankan suhu mendekati normal.

c. Berikan kompres air hangat, hindari penggunaan air es.

Rasional : Membantu mengurangi demam (penggunaan air es menyebabkan peningkatan suhu secara actual).

d. Kolaborasi pemberian antipiretik.

Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam. 7. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan aktifitas sehari-hari kembali normaldan mengharapkan penurunan rasa letih.

Kriteria Hasil : Klien melaporkan kemampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan mengharapkan penurunan rasa letih.

(29)

Intervensi :

a. Kaji derajat kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

b. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan, dorong istirahat sebelum makan.

Rasional : Menghemat energi untuk istirahat dan regenerasi seluler / penyambungan jaringan.

c. Dekatkan alat yang dibutuhkan klien dalam tempat yang mudah dijangkau.

Rasional : Untuk menghemat energi klien.

d. Ajarkan teknik penghemat energi, misal lebih baik duduk daripada berdiri, penggunaan kursi untuk mandi, dsb.

Rasional : Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.

Gambar

Gambar 1. Sistem Pencernaan Tubuh  Manusia  (Sumber: Syaifuddin, 1997)

Referensi

Dokumen terkait

minimum 300 Ma, sedangkan RS Kusta Kediri hanya memiliki alat Mobile Unit dengan kapasitas 150 Ma, maka dari itu pemeriksaan di unit radiologi RS Kusta Kediri terbatas

Wiki juga ialah alat komunikasi dan kerjasama dalam laman web yang boleh digunakan bagi menggalakkan pelajar untuk belajar dengan orang lain dalam satu

1) Untuk membentuk daun agar mengelinting/menggulung. 2) Untuk memecahkan dinding sel pucuk daun teh sehingga cairan keluar di permukaan daun dengan merata. 3) Memperoleh bubuk

Pada penelitian ini, perbandingan sudut azimuth dan elevasi yang digunakan pada satelit incline dengan menggunakan Two Line Elements akan dibandingkan dengan

Dengan sasaran partai politik yang ada di Kabupaten Pelalawan, partai-partai politik yang sepakat untuk berkoalisi, serta pasangan calon bupati dan wakil bupati

dalam SSA untuk meramalkan produksi bawang merah, kemudian hasil ketiga metode tersebut akan dibandingkan dengan mengukur ketepatan peramalannya dengan menggunakan MAPE..

Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa tutupan lahan penting pada wilayah perkotaan seperti ruang terbuka hijau berkayu, ruang terbuka hijau pertanian, badan air, permukiman