• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. oleh segelintir anak, menurut Nasution (2001: 15) pada masa ini pola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. oleh segelintir anak, menurut Nasution (2001: 15) pada masa ini pola"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pandangan terhadap penyelenggaraan pendidikan dari masa ke masa telah berkembang menyesuaikan perkembangan zaman, sebelum penjajahan penyelenggaraan pendidikan diarahkan kepada penyebaran agama dan ideologi, kemudian pada masa penjajahan penyelenggaraan pendidikan hanya dinikmati oleh segelintir anak, menurut Nasution (2001: 15) pada masa ini pola penyelenggaraan pendidikan terdeferensiasi antara anak aristokrasi dan orang kaya yang berbeda dengan pendidikan untuk orang biasa, dan pada masa kemerdekaan pendidikan dijadikan sarana untuk perjuangan dengan menumbuhkan semangat patriotisme dalam berbagai aspek penyelenggaraannya.

Saat ini penyelenggaraan pendidikan menarik untuk diperhatikan, mengingat makin tumbuhnya kesadaran masyarakat maupun pemerintah bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, tidak heran dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang pendidikan sering kali jadi prioritas pembangunan, menanggapi hal tersebut Suyanto (2006: 39) berpendapat :

Pendidikan merupakan kebutuhan yang amat menentukan bagi masa depan bangsa, manakala suatu bangsa tidak memperdulikan pembangunan sektor pendidikan secara serius dan berkelanjutan, mudah diprediksi bahwa dalam jangka panjang bangsa tersebut akan terbelakang dalam banyak aspek kehidupan.

(2)

2 Tumbuh kembangnya pendidikan nasional akan berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya sumber daya manusia secara nasional, para ahli sependapat bahwa pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (Human Quality).

Menyikapi pandangan tersebut UUD 1945 telah memberikan amanah kepada pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional guna terselenggaranya pendidikan yang memberikan kesempatan pendidikan yang luas serta merata bagi seluruh masyarakat, akhirnya di masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1989 lahirlah Undang – Undang No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Setelah 5 tahun Masa Reformasi, tepatnya pada tahun 2003 UU Nomor 2 direvisi menjadi Undang – undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), selama proses revisi UU Sisdiknas, terus mengalami pro dan kontra baik dalam tahap pengesahannya maupun pada tahap pelaksanaanya, ini disebabkan UU Sisdiknas menentukan sistem pendidikan secara nasional termasuk di dalamnya arah dan tujuan pendidikan nasional.

Menyikapi kondisi tersebut Sofian Effendi di dalam Saksono (2008: 124) berpendapat,

“ menetapkan tujuan utama pendidikan nasional bukanlah semata – mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi lebih dari itu tugas pendidikan adalah mentransfer nilai – nilai luhur bangsa, menanamkan semangat kebangsaan, menanamkan identitas bangsa, dan melestarikan serta mengembangkan budaya bangsa, terutama pada pendidikan dasar dan menengah “.

(3)

3 Dilihat dari jenjangnya, pendidikan dasar merupakan jenjang yang strategis untuk menjadi dasar pijakan tumbuh kembangnya peserta didik, pada tataran inilah untuk pertama kalinya peserta didik mengenal kemampuan dasar yang esensial bagi kehidupannya seperti membaca, menulis, berhitung dan menggambar. Namun semenjak diberlakukkannya UU Sisdiknas hingga saat ini upaya pemerintah untuk memberikan pendidikan dasar yang berkualitas serta merata belum bisa terealisasi dengan baik.

Apabila memperhatikan Neraca Pendidikan Daerah (NPD) tahun 2015 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Alokasi untuk pendidikan dalam APBD (Persentase) masih rendah belum mencapai 20%, tercatat Provinsi Papua hanya 0,84% sedangkan Provinsi DKI Jakarta mencapai 18,17% (Badan Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri 2015).

b. Alokasi APBD untuk Pendidikan Per Siswa/Tahun tercatat masih rendah, khususnya pada daerah IBT, untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur tercatat setiap Per Siswa/ Tahun hanya mendapatkan Rp 36.700 (BPKLN 2015).

c. Persentase penduduk tuna aksara tahun 2014 secara nasional berada pada angka 3,7%, khusus untuk daerah IBT masih banyak daerah seperti NTB, Sulbar, Sulsel, NTT dan daerah lainnya masih diatas 3,7%. Tercatat masih 10 provinsi lagi yang belum bebas tuna aksara (Ditjen PAUD Dikmas 2015), dan

(4)

4 d. Rerata uji kompetensi guru Per jenjang tahun 2015 jenjang pendidikan dasar, guru SD rerata uji kompetensi guru tahun 2015 hanya 49,3% sedangkan guru SMP hanya 55,6. Padahal nilai standar kompetensi guru adalah 75 (Ditjen GTK 2015).

Kemudian, penyebaran sekolah Indonesia berdasarkan data yang dirilis Pusat Data dan Statistik Pendidikan – Kebudayaan (PDSP-K) pada tahun 2016 untuk jenjang pendidikan dasar memperlihatkan kondisi seperti gambar dibawah ini :

Penyebaran Sekolah Dasar Tahun 2015

Dari gambar tersebut terlihat, penyebaran sekolah dasar di daerah Indonesia Bagian Timur (IBT) cenderung lebih sedikit dibanding dengan di daerah Indonesia Bagian Barat (IBB).

(5)

5 Penyebaran Sekolah Menengah Pertama Tahun 2015

Dari gambar tersebut dapat dilihat bagaimana penyebaran Sekolah Menengah Pertama pada daerah IBT cenderung lebih sedikit dibanding dengan daerah IBB, di Pulau Jawa hampir secara umum memiliki sekolah menengah pertama hal ini berbanding terbalik di Pulau Papua yang memiliki sedikit sekolah menengah pertama. Ke dua (2) gambar tersebut menyimpulkan adanya disparitas penyebaran sekolah jenjang pendidikan dasar antara IBB dan IBT yang berujung pada tidak meratanya akses pendidikan, khususnya bagi daerah IBT.

Terkait dengan akses pendidikan, sebaran angka partisipasi murni (APM) jenjang pendidikan dasar memiliki manfaat untuk memonitor pencapaian tujuan pendidikan dasar yang diidentifikasi dengan melihat perbandingan antara jumlah murid usia sekolah (SD/SMP) dibagi dengan jumlah penduduk usia sekolah (SD/SMP) dikalikan 100 % sehingga dihasilkan angka partisipasi murni tingkat sekolah (SD/ SMP).

(6)

6 Sebaran Angka Partisipasi Murni (APM) Jenjang SD Tahun 2014/2015

Pada tingkat SD sebaran APM untuk daerah IBT dan beberapa daerah yang termasuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) perlu mendapatkan perhatian khusus terlebih pada daerah perbatasan yang ada di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

(7)

7 Pada tingkat SMP sebaran APM secara umum, belum mencapai angka yang memuaskan, tercatat rata – rata APM SMP berada diangka 60-80 %, hal ini tentunya menjadi bahan pertimbangan dan perhatian pemerintah untuk segera menuntaskan berbagai persoalan terkait penyelenggaraan pendidikan dasar.

Dengan sistem pemerintahan yang demokratis saat ini memungkinkan bagi segenap penyelenggara pemerintahan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah dan pihak terkait perlu merumuskan kebijakan- kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang dituangkan dalam berbagai produk perundangan – undangan nasional tentang pendidikan, mulai dari undang – undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri pendidikan nasional, dan keputusan menteri pendidikan nasional yang dikeluarkan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan secara nasional berdasarkan pada, kebutuhan nasional, daerah maupun kebutuhan bagi para peserta didik itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan Sistem Pendidikan Nasional ada beberapa turunan aturan pelaksanaan dari UU Sisdiknas 2003 diantaranya : 1) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, 2) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, 3) Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, 4) Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, 5) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, 6) Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan sebagainya.

(8)

8 Berbagai kemajuan diberbagai bidang teknologi, komunikasi, informasi, pendidikan, kemudian berkembangnya sistem pemerintahan yang demokratis tentu membawa berbagai perubahan peradaban manusia, upaya untuk beradaptasi dengan kemajuan berbagai bidang tersebut menuntut sistem pendidikan yang

Suitable serta Sustainable terhadap berbagai perubahan. Indonesia sebagai bangsa

telah memiliki sebuah sistem pendidikan yang telah diatur di dalam UU Sisdiknas 2003, persoalannya sekarang ialah, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di banding dengan bangsa lain (Suyanto,2006: 11).

Masuknya UU No. 20 Tahun 2003 di dalam PROLEGNAS tahun 2015-2019 diharapkan mampu mengakomodir isu – isu strategis pendidikan seperti, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, kemudian bagaimana pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat dapat bekerjasama tanpa harus tumpang tindih dalam tugas pokok dan fungsi masing – masing serta bagaimana pemerintah daerah dapat mengupayakan berbagai sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pendidikan di daerahnya.

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagai penyempurnaan UU Nomor 32 Tahun 2004, memberikan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah untuk menjalankan kewajiban memberikan pelayanan dasar terhadap rakyatnya didaerah termasuk didalamnya memberikan pelayanan dasar bidang pendidikan.

(9)

9 Pemerintah daerah kabupaten / kota diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk memberikan pelayanan bidang pendidikan di daerah, sehingga dikenal dengan istilah “ Otonomi dan Desentraliasi Pendidikan “. Menurut McGinn dan Welsh (1999). Ada tiga motif yang melatar belakangi desentralisasi pendidikan, yaitu motif politis, motif pembiayaan (pendanaan), dan motif efisiensi (Zainuddin, 2008: 50).

Selama berlangsungya otonomi dan desentralisasi pendidikan kepada pemerintah daerah, memberikan tantangan tersendiri bagi daerah kabupaten / kota untuk bisa memposisikan dirinya sebagai pendukung atau penghambat penyelenggaraan pendidikan di daerah.

Pelaksanaan kebijakan – kebijakan di daerah sangat tergantung kepada kemampuan para penyelenggara baik ditingkat pusat maupun di daerah, dalam konteks otonomi daerah peran pemerintah daerah lebih besar oleh karenannya perlu memperhatikan berbagai prasyarat yang harus dipenuhi agar pemerintah daerah dapat memposisikan dirinya sebagai pendukung bukan penghambat, menurut Widjaja (2002: 15-16) ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom, 1) adanya kesiapan SDM aparatur yang berkeahlian, 2) adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karakteristik Daerah, 3) tersedianya fasilitas pendukung pelaksanaan pemerintah daerah, dan 4) bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(10)

10 Dari pemahaman tersebut, ada beberapa hal yang menjadi perhatian penulis terkait dengan adanya otonomi dan desentralisasi pendidikan di daerah,

Pertama, kesiapan daerah untuk memenuhi SDM yang berkualitas sesuai dengan

kompetensi yang dibutuhkan bagi penyelenggaraan pendidikan masih belum terlaksana dengan baik.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 mengenai jumlah sekolah, guru dan murid SD di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan memperlihatkan jumlah rasio guru dan murid tahun ajaran 2013/2014 sebesar 1:17 terjadi penurunan bila dibanding dengan jumlah rasio guru dan murid tahun ajaran 2011/2012 sebesar 1:19, namun Suryadi dan Tilaar (1994:103) memberikan catatan bahwa dengan penyediaan sejumlah besar tenaga guru dengan cara “ cepat” (crash program) tidak serta merta mempengaruhi kualitas pendidikan karena pendidikan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh kualitas guru.

Rerata Uji Kompetensi Guru 2015

Nasional 56,69

(11)

11 Memperhatikan gambar rerata uji kompetensi guru, secara umum dapat dilihat bahwa rerata uji kompetensi guru secara nasional berada pada angka 56,69 namun sebagian besar rerata uji kompentensi guru untuk bebarapa provinsi yang ada di Indonesia, mayoritas berada di bawah rata – rata nasional. Hal ini tentunya menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengupayakan peningkatan kualitas tenaga pendidik.

Kedua, minimnya anggaran yang akan mempengaruhi kesiapan daerah

untuk menyediakan alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan, memperhatikan data World Bank tahun 2015 pada bagian belanja di sektor pendidikan (urutan Negara berdasarkan PDB per kapita) 2012. Belanja pendidikan Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan beberapa Negara lainnya, tercatat pada tahun 2011 Indonesia hanya 2,8%, lebih kecil dibanding dengan Negara tentangga seperti Malaysia 5,9%, Vietnam 6,3% dan Thailand 5,8%.

Belanja di Sektor Pendidikan

(Urutan Negara Berdasarkan PDB Per Kapita) 2012

(12)

12 Efisiensi belanja publik untuk kebutuhan pendidikan juga perlu untuk diperhatikan, karena sebagian besar dari hasilnya belum menunjukkan perubahan. Sekitar satu dari sepuluh anak mengulang tahun pertama disekolah dasar dan 6% mengulang tahun kedua (UNICEF,2012).

Terkait dengan praktek penggunaan alokasi anggaran pendidikan, Uditomo (2013: 42-45) menjelaskan berbagai perosalan pembiayaan dan penggunanaan anggaran pendidikan di daerah “ memasukkan gaji pendidik dalam alokasi anggaran akan memengaruhi anggaran untuk pelayanan dan peningkatan kualitas belajar mengajar, berdasarkan penelitian World Bank, hampir dua pertiga anggaran pendidikan di Indonesia digunakan unutk gaji guru dan sertifikasi guru, selain untuk gaji guru, anggaran pendidikan juga lebih banyak digunakan untuk keperluan birokrasi dibandingkan untuk program pendidikan ”.

Dari berbagai data atau fakta yang telah dikemukakan sebelumnya maka peneliti memandang perlu melakukan sebuah kajian terhadap perundangan yang mengatur tentang otonomi dan desentralisasi pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional dengan menggunakan analisis isi (Content Analysis).

Melalui kajian ini peneliti berharap dapat mengetahui prinsip – prinsip otonomi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional yang ada di dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan aturan pelaksana dari UU Sisdiknas 2003 terutama yang berkaitan dengan penyelenggara pendidikan dasar yakni Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010

(13)

13 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Pemerintah.

B. Pertanyaan Penelitian

Dari paparan yang telah diungkapkan sebelumnya maka peneliti melakukan rumusan permasalahan : Bagaimana Undang – Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur desentralisasi dan

otonomi pendidikan dasar ?

Pertanyaan besar tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian untuk lebih mengarahkan peneliti lebih tepat dan jelas, yakni :

1. Siapa saja aktor yang diberikan mandat, bagaimana peran, tipe aktor dan relasinya dalam sistem desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar, yang diatur didalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 ? 2. Bagaimana prinsip desentralisasi pendidikan dasar, yang diatur di

dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 ?

3. Bagaimana prinsip otonomi pendidikan dasar, yang diatur di dalam Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 ?

C. Tujuan Penelitian

Melalui penelitian analisis isi (Content Analysis) peraturan perundangan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar ini memiliki 2 (dua) tujuan, Pertama, secara umum untuk memahami secara komperhensif bagaimana Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 mengatur kebijakan pemerintah dalam

(14)

14 kaitannya dengan desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar, Kedua secara khusus :

1. Memahami secara mendalam siapa saja aktor yang diberikan mandat, bagaimana peran dan tipe aktor dalam sistem desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar, yang diatur didalam Undang – Undang No. 20 tahun 2003.

2. Untuk memahami prinsip desentralisasi pendidikan dasar, yang diatur di dalam Undang – Undang No. 20 tahun 2003

3. Untuk memahami prinsip otonomi pendidikan dasar, yang diatur di dalam Undang – Undang No. 20 tahun 2003

D. Manfaat Penelitian

Penelitian analisis isi (Content Analysis) peraturan perundang - undangan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar diharapkan akan dapat memberikan manfaat penelitian diantaranya :

1. Manfaat akademis

Diharapkan mampu memberikan masukan dalam khasanah teori dan pengembangan ilmu administrasi publik, secara umum dalam mengelola serta menganalisis kebijakan dibidang pendidikan terutama kebijakan pendidikan dasar, dan secara khusus terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dasar, siapa saja aktor penyelenggara, prinsip – prinsip desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional.

(15)

15 2. Manfaat praktis

Dapat dijadikan sumbangan pemikiran, untuk penyempurnaan kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan dasar dalam mewujudkan pendidikan dasar yang berkualitas serta merata di dalam masyarakat yang heterogen dengan berbagai macam keragamannya.

E. Keaslian Penelitian

Dalam studi administrasi publik, studi tentang kebijakan pendidikan telah dibahas oleh beberapa mahasiswa UGM, diantaranya oleh Yuyun Tri Widowati. Tesis dengan judul “ Kebijakan Bangka Belitung Cerdas 2011 dalam Wajar Dikdas 9 Tahun : Studi tentang Implementasi Kebijakan Pada Bidang Pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2008 “, Jurusan Magister Administrasi Publik UGM tahun 2011, menjelaskan bagaimana Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung mengimplementasikan kebijakan Bangka Belitung cerdas 2011 serta kendala – kendala apa saja yang dihadapi dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Secara rinci penelitian ini membahas secara umum kesiapan operasionalisasi program Bangka Belitung cerdas 2011 khususnya pada bidang pendidikan dasar terkait wajar dikdas 9 tahun yang menganalisis data mengenai

(16)

16 Pembahasan lainnya, Jurnal Ida Kintamani (2009) mengenai penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang diterbitkan oleh Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan edisi khusus I tahun 2009, di dalam jurnal tersebut mendeskripsikan mengenai penuntasan wajib belajar pendidikan 9 tahun secara nasional, berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wajib pendidikan dasar telah tuntas secara nasional, sedangkan secara provinsi dan kabupaten kota belum tuntas.

Dan masih banyak lagi penelitian mengenai kebijkan bidang pendidikan baik dari segi formulasi, implementasi, kinerja kebijakan dsb, yang tentu penulis tidak dapat sebutkan semuanya, namun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lainnya adalah, penelitian ini melaksanakan kajian dan analisis terhadap isi kebijakan perundangan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi pendidikan dasar yakni Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan aturan pelaksana dari UU Sisdiknas 2003 terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan dasar.

Referensi

Dokumen terkait

Moewardi tidak mempengaruhi pemanfaatan lahan komersial di sekitar kawasan karena pelayanan kesehatan memiliki total jumlah perubahan yang menurun tetapi pemanfaatan lahan

interaksi yang nyata antara perlakuan dosis pupuk urea dan umur bibit terhadap tinggi, diameter batang, jumlah daun, luas daun, panjang akar dan berat kering bibit kakao

Proses umum yang digunakan untuk mengubah minyak nabati menjadi biodiesel adalah dengan melakukan reaksi transesterifikasi, baik menggunakan katalis asam maupun

Selain itu mengingat luas Batam dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi hingga dualisme kelembagaan yang terjadi di Batam maka diperlukan juga koordinasi

Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

Menghitung simpangan rata – rata bila diberikan data berkelompok dengan panjang kelas genap dan banyak data

Pada kolom sebelah kiri bawah, kita memecahkan sistem persamaan-persamaan linear dengan mengoperasikannya pada persamaan dalam sistem tersebut, dan dalam kolom sebelah

Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada KUHP terdapat beberapa Pasal yang