BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang cukup dalam beberapa dekade. Namun, untuk jangka panjang bahan-bahan baku dari fosil ini akan habis dan produk-produk yang berbasis dari bahan-bahan terbarukan akan menjadi semakin penting. Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap lingkungan dan meningkatnya biaya pengolahan air limbah telah memberikan daya dorong untuk menggantikan sebagian produk-produk berbasis petrokimia dan gas alam dengan produk-produk yang berbasis sumber daya alam terbarukan, seperti karbohidrat dan trigliserida (Ware et al. 2007). Alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu produk yang terbuat dari bahan-bahan alami terbarukan, yaitu dari karbohidrat dan alkohol lemak (El-Sukkary et al. 2008). APG ini merupakan surfaktan nonionik yang mempunyai
sifat-sifat ekologi dan toksikologi yang paling baik dan sifat-sifat antarmuka yang
baik (Rodriguez et al. 2005). APG juga aman untuk mata dan kulit (Mehling et al.
2007). APG biasa digunakan sebagai aditif pada formulasi beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999). APG pertama sekali disintesis dan diidentifikasi oleh Emil Fischer. Proses sintesis APG dengan metode Fischer ini dapat dilakukan dengan dua varian proses, yaitu dengan proses satu tahap (sintesis langsung), yaitu melalui reaksi langsung glukosa dengan alkohol lemak, dan proses dua tahap (butanolisis dan transasetalisasi) (von Rybinski & Hill 1998). Glukosa ataupun pati dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi
surfaktan APG (Holmberg 2001). El-Sukkary et al. (2008) telah mensintesis
sederetan APG melalui proses dua tahap menggunakan glukosa dan alkohol lemak
dengan panjang rantai alkil berbeda, yaitu oktanol (C8), nonanol (C9), dekanol
(C10), dodekanol (C12) dan tetradekanol (C14). Alkil poliglikosida (APG) juga
alkohol lemak (Ware et al. 2007). Panjang rantai alkohol lemak yang mereka
gunakan adalah C8, C10, C12, C16 (heksadekanol) dan C18 (oktadekanol). Böge dan
Tietze (1998) juga telah menggunakan glukosa dan alkohol lemak (dodekanol,
C12) untuk mensintesis APG. Mereka menggunakan proses satu tahap. Corma et
al. (1998) telah membuat alkil glikosida rantai panjang dengan transasetalisasi
butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi
langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang mereka
gunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol).
Tingkat kelarutan glukosa dalam alkohol rantai panjang yang hidrofobik
(alkohol lemak) sangat rendah disebabkan perbedaan kepolarannya. Oleh karena
itu, beberapa peneliti seperti El-Sukkary et al. (2008) dan Ware et al. (2007)
mereaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek (butanol),
yaitu melalui reaksi butanolisis, untuk membentuk alkil (butil) glikosida, dimana
butil glikosida ini lebih mudah larut dalam alkohol lemak. Permasalahan kelarutan
sakarida dalam alkohol lemak dapat diatasi dengan penggunaan solubilizer.
Boettner (1963) dalam Lüders (2000) telah menggunakan pelarut N,N-
dimethylformamide (DMF). McDaniel et al. (1989) dalam Lüders (2000) telah
menggunakan N-methyl-2-pyrrolidone (NMP) sebagai pelarut. Pelarut DMF
relatif mahal sedangkan NMP bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu
solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil
sulfoxida (DMSO) dengan rumus kimia (CH3)2SO yang merupakan asam lemah
dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189oC. Butil glikosida juga dapat
bertindak sebagai solubilizer untuk memperbaiki tingkat kelarutan sakarida
(Luders 1987 dalam Luders 2000). Dengan menggunakan pelarut maka reaksi diharapkan berada dalam fasa homogen, sehingga reaksi polimerisasi glukosa yang tidak diinginkan dapat dihindari. Dengan demikian pengotor-pengotor atau endapan-endapan dari produk reaksi yang berwarna gelap dapat dikurangi. Selain itu penggunaan glukosa lebih mudah menyebabkan produk berwarna gelap karena gula-gula sederhana sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam. Proses degradasi inilah yang
adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa, karena itu pati merupakan pilihan yang tepat sebagai bahan baku yang potensial dalam produksi alkil poliglikosida. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis APG memiliki beberapa kelebihan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa serta pati tidak mudah menyebabkan produk berwarna gelap. Karena itu dalam penelitian ini digunakan pati sagu sebagai bahan baku dalam sintesis APG dan glukosa digunakan sebagai pembanding. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya. 2. Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Mendapatkan informasi analisis kelayakan finansial produksi APG dari pati sagu dan dodekanol serta analisis sensitivitasnya. 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama: 1. Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan sintesis APG dua tahap serta karakteristiknya. Kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida- fluida dan kinetika emulsifikasi, penerapan APG pada pembuatan produk skin lotion. 2. Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu. 3. Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan dodekanol.
1.3.1 Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta
karakteristiknya.
Bagian ini meliputi optimasi kondisi proses asetalisai (sintesis APG satu
tahap) dan optimasi proses sintesis APG dua tahap. Optimasi dilakukan dengan
Faktor-faktor yang diteliti pada sintesis APG satu tahap adalah rasio mol glukosa dengan dodekanol dan suhu asetalisasi. Sedangkan pada produksi APG dari pati sagu, faktor-faktor yang dikaji adalah rasio mol pati sagu dengan dodekanol dan suhu butanolisis. Adapun peubah responnya adalah yield APG. Karakteristik produk yang diuji adalah konfirmasi struktur produk APG dan sifat-sifat aktif permukaan APG, yaitu tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas emulsi dan hydrophile-lipophile balance (HLB). Pada tahap ini juga dilakukan kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida-fluida. Karena APG larut dalam air, fluida yang digunakan adalah air-udara dan air-xilena. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Kemudian dipelajari kinetika emulsifikasi dan uji stabilitas emulsi. Emulsi pada kajian kinetika emulsifikasi terdiri dari air + mineral oil + surfaktan APG. Sedangkan pada uji stabilitas emulsi, emulsi yang digunakan adalah skin lotion yang merupakan produk terapan APG sebagai surfaktan dalam sistem emulsinya.
1.3.2 Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu Pada bagian ini dilakukan pengembangan proses produksi APG. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Bahan baku yang digunakan adalah pati sagu, karena pati sagu banyak tersedia di Indonesia dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Perhitungan neraca massa pada tiap-tiap tahapan proses dilakukan pada keadaan tunak. Kemudian dihitung ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
1.3.3 Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan
dodekanol. Dalam bagian terakhir ini dilakukan analisis prakelayakan finasial untuk menduga kelayakan proses produksi APG dari pati sagu dan alkohol lemak C12 (dodekanol). Untuk ini disusun analisis biaya untuk keperluan produksi surfaktan APG. Analisis finansial untuk proses produksi surfaktan APG terdiri dari dua bagian, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dapat dikategorikan dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung. Modal kerja terdiri dari biaya produksi (operasional) dan biaya umum. Sedangkan biaya produksi dapat dikelompokkan
dalam biaya produksi langsung, biaya tetap, dan biaya overhead pabrik. Penilaian
kelayakan dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu:
NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan Net B/C (Net
Benefit-Cost), BEP (Break Even Point), PBP (Pay Back Period) dan analisis sensitivitas.